1.1
Latar Belakang Penyakit kronik adalah penyebab utama kematian orang dewasa lebih cepat pada
seluruh wilayah dunia. Sekarang ini penyakit tersebut secara umum tidak begitu banyak dibahas dalam kesehatan internasional atau agenda perkembangan kesehatan dunia. Laporan global dari penyakit-penyakit kronik dari World Health Organization (WHO) mewakili data saat ini dari perkembangan penyakit yang sangat pesat, dan membuat peningkatan jumlah kasus yang membutuhkan aksi segera untuk pencegahan dan kontrol penyakit kronik.1,2 Dalam tinjauan prakatanya pada laporan1, Dr. Lee Jong-Wook, Direktur Jenderal WHO sebelumnya, mengatakan: Kehidupan dari banyak sekali orang di dunia ini sekarang dalam masa yang buruk dan pendek oleh karena penyakit kronik seperti penyakit jantung, stroke, kanker, penyakit respirasi kronik dan diabetes. Terdapat suatu kebutuhan yang harus disegerakan untuk mencegah dan kontrol penyakit kronik dalam konteks kesehatan internasional. Untuk 10-20 tahun ke depan, penyakit menular akan tetap menjadi masalah kesehatan utama dalam populasi pada negara-negara dengan tingkat pendapatan rendah. Bagaimanapun, suatu epidemik dari penyakit kronik diharapkan akan muncul di masa yang akan datang di seluruh negara di dunia, termasuk negara-negara dengan tingkat pendapatan rendah dan menengah.3,4 Ratusan juta orang di seluruh dunia menderita penyakit respirasi kronik yang sebenarnya dapat dicegah. Angka perkiraan prevalensi pada Tabel.1 menunjukan kemungkinan seperti adanya suatu proses yang konservatif. Laporan-laporan WHO dan GARD dari berbagai penyakit respirasi kronik dan faktor resikonya antara lain berkisar pada :
1.
2.
3.
4. 5.
Gejala-gejala respirasi merupakan salah satu penyebab utama konsultasi pada pusat pelayanan kesehatan. Menurut survey pada 9 negara, dalam 76 pusat pelayanan kesehatan, diantara mereka termasuk 54 karyawan kesehatan (71.1%) dan 22 (28,9%) perawat. Jumlah pasien pada pusat pelayanan kesehatan tersebut sebesar 29.399 pasien-pasien dengan gejalagejala respirasi, menunjukkan proporsi pasien dengan gejala-gejala respirasi, diantara mereka yang berusia 5 tahun keatas, yang mengunjungi pusat pelayanan kesehatan berkisar dari 8.4% sampai 37.0%5. Tabel 1. Perkiraan Prevalensi Penyakit Respirasi Kronik
(Sumber : WHO GARD Book, 2007, halaman : 14) Penyakit Paru Obstruktif Kronik menimbulkan dampak pada 210 juta orang didunia. Penyakit Paru Obstruktif Kronik merupakan penyebab utama kematian kelima di dunia sepanjang tahun 2002 dan diproyeksikan menjadi penyebab keempat kematian di tahun 2030.6 Kematian-kematian yang merupakan atribut dari PPOK telah meningkat secara tajam pada Negara-negara dimana terdapat atau tersedia sumber data. Di Negara-negara dengan sumber pendapatan tinggi, PPOK masih merupakan penyakit utama penyebab kematian yang meningkat jumlahnya. Di Amerika Serikat, angka kematian rata-rata yang disebabkan oleh PPOK telah meningkat dua kali lipat diantara periode tahun 1970 dan 2002. 7 Terdapat persepsi bahwa PPOK lebih banyak mengakibatkan dampak pada pasien-pasien berjenis kelamin pria dibandingkan wanita; walaupun demikian, 50.3% dari kematian-kematian yang merupakan
2
atribut PPOK di tahun 2000 di Amerika Serikat lebih cenderung diderita oleh mereka yang berjenis kelamin wanita.8 Di Amerika Latin, kematian karena PPOK telah meningkat sebesar 65.0% pada dekade terakhir ini.9 Intervensi penatalaksanaan telah banyak ditemukan untuk mengurangi kematian akibat PPOK.10 Suatu model prevalensi PPOK telah digunakan untuk memperkirakan prevalensi PPOK pada 12 Negara-negara Asia. Jumlah keseluruhan dari PPOK dengan derajat sedang sampai dengan berat pada 12 daerah di 12 negara tersebut, sebagaimana diproyeksikan oleh model, adalah sebesar 56,6 juta dengan angka prevalensi total sebesar 6,3%. Angka rata-rata prevalensi PPOK untuk Negara-negara tersebut masing-masing berkisar antara 3,5% (China, Hong Kong Special Administrative Region, dan Singapore) sampai dengan 6.7% (Viet Nam).11 PPOK secara hebat dapat menimbulkan dampak pada kualitas hidup.12,13 Terdapat berbagai instrumentasi-instrumentasi generik dan intrumentasi penyakit spesifik yang dapat digunakan untuk mengukur pola kualitas kehidupan berkaitan dengan kesehatan (HRQOL), kesemuanya termasuk berbagai aspek dari fisik, psikologi dan fungsi sosial.14 Hubungan diantara HRQOL dan fungsi paru biasanya sangat lemah, dimana lebih besar hanya pada komorbiditas PPOK-nya saja.15 Serangan eksaserbasi dapat menimbulkan reduksi yang substansial pada HRQOL, baik secara fisik maupun pada domain lainnya.16 HRQOL biasanya akan meningkat pada resolusi dari keadaan eksaserbasi.14 Serangan akut eksaserbasi merupakan komorbiditas yang sering muncul pada PPOK dan merupakan penyebab kematian dan kesakitan. Secara universal tidak terdapat definisi yang layak diterima mengenai eksaserbasi PPOK.17 Kebanyakan definisi menggnakan suatu nilai peningkatan pada gejala-gejala yang membutuhkan peningkatan intervensi atau penatalaksanaan. Faktor-faktor etiologi yang sering adalah bakteri atau infeksi virus serta polusi udara. Tidak terdapat data dari frekuensi, derajat parahnya dan durasi dari eksaserbasi PPOK. Eksaserbasi pada PPOK secara tidak langsung mengiringi riwayat dari PPOK itu sendiri.18 Rujukan ke rumah sakit merupakan atribut utama pada PPOK dan frekuensinya dikenali sebagai pembuat prognosis (prognostic marker).19 Buku putih European Respiratory Society (ERS) menyatakan bahwa jumlah rujukan ke rumah sakit untuk PPOK pada tahun 1993 di Jerman adalah 125.000, di Italia 40.000, dan di Inggris Raya 73.000. 20 Rujukan ke rumah sakit yang beratribut terhadap PPOK meningkat dengan tajam di banyak Negara.
Di Indonesia tidak ada data yang akurat tentang kekerapan PPOK. Pada Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986; asma, bronkitis kronik dan emfisema menduduki peringkat ke-5 sebagai penyebab kesakitan terbanyak dari 10 penyebab kesakitan utama. SKRT Depkes RI 1992 menunjukkan angka kematian karena asma, bronkitis kronik dan emfisema menduduki peringkat ke-6 dari 10 penyebab tersering kematian di Indonesia. Pencatatan Departemen Kesehatan tidak mencantumkan PPOK sebagai penyakit yang dicatat. Karena itu perlu sebuah Pedoman Penatalaksanaan PPOK untuk segera disosialisasikan baik untuk kalangan medis maupun masyarakat luas dalam upaya pencegahan, diagnosis dini, penatalaksanaan yang rasional dan rehabilitasi.21 "Angka penderita PPOK di Indonesia sangat tinggi. Banyak penderita PPOK datang ke dokter saat penyakit itu sudah lanjut. Padahal, sampai saat ini belum ditemukan cara yang efisien dan efektif untuk mendeteksi PPOK," kata guru besar Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS), Prof Dr. dr. Suradi P, (K) MARS, kepada Wartawan, Selasa (6/3). Menurut Dr. Suradi, penyakit PPOK di Indonesia menempati urutan ke-5 sebagai penyakit yang menyebabkan kematian. Sementara data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, pada tahun 2010 diperkirakan penyakit ini akan menempati urutan ke-4 sebagai penyebab kematian. "Pada dekade mendatang akan meningkat ke peringkat ketiga. Dan kondisi ini tanpa disadari, angka kematian akibat PPOK ini makin meningkat," ujarnya.22 Oleh karena itu, peneliti sangat tertarik untuk melakukan penelitian tentang Faktor Resiko Yang Menyebabkan Penyakit Paru Obstruktif Kronis Pada Pasien Wanita Usia Diatas 40 Tahun Di Poli Penyakit Paru RSUDZA Periode April 2011. 1.2 Rumusan Masalah Di Provinsi Aceh, khususnya Kota Banda Aceh, di RSUD Dr. Zainal Abidin, merupakan tempat yang potensial untuk memantau dan mendapatkan data mengenai penyakit PPOK. Selama ini data tentang penyakit PPOK dan faktor resikonya masih simpang siur dan tidak terakumulasi dengan baik. Departemen Kesehatan Indonesia sendiri tidak mencantumkan PPOK sebagai sebuah penyakit yang dicatat. Adanya penelitian ini maka diharapkan dapat menjadi sumber masukan data bagi penyakit PPOK yang merupakan suatu entitas utama
penyakit yang mempengaruhi kualitas hidup banyak orang di dunia dan juga mempelajari faktor resiko PPOK nantinya diharapkan akan memberikan masukan dan panduan intervensi bagi penanggulangan penyakit tersebut. 1.3 Pertanyaan Penelitian
1.3.1 Berapa prevalensi pasien wanita berusia diatas 40 tahun yang menderita PPOK di Poli
pembakaran tradisional pada pasien PPOK pada pasien di Poli Penyakit Paru RSUDZA.
1.3.3 Seberapa besar distribusi frekuensi faktor asupan diet dan nutrisi pada pasien PPOK
di Poli Penyakit Paru RSUDZA. 1.4 1.4.1 Tujuan Penelitian Tujuan Umum Untuk mengetahui faktor resiko PPOK pada pasien berjenis kelamin wanita berusia diatas 40 tahun yang tercatat pernah memeriksakan diri dan berobat, serta didiagnosis PPOK oleh dokter ahli Penyakit Paru di RSUD Dr. Zainal Abidin, Kota Banda Aceh, NAD periode April 2011. 1.4.2 Tujuan Khusus Untuk mengetahui prevalensi pasien wanita berusia diatas 40 tahun yang
1.4.2.1
Untuk mengetahui distribusi frekuensi faktor memasak dengan kayu bakar atau
tungku pembakaran tradisional pada pasien PPOK pada pasien di Poli Penyakit Paru RSUDZA.
1.4.2.3
Untuk mengetahui distribusi frekuensi faktor asupan nutrisi dan diet pada pasien
1.4.2.4
Manfaat Penelitian Bagi Peneliti Menambah pengetahuan dan pengalaman dalam melaksanakan penelitian serta mengetahui prevalensi dan distribusi frekuensi faktor yang berhubungan dengan PPOK.
1.5.1
Sebagai bahan pertimbangan untuk menyusun program penyuluhan dalam rangka memberi pengetahuan yang memadai akan karakterisitik dan faktor resiko yang berhubungan dengan PPOK.
1.5.3 Bagi Dinas Kesehatan Provinsi Aceh dan Dinas Kesehatan Republik Indonesia.
Hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan dan pertimbangan dalam membuat kebijakan-kebijakan dibidang kesehatan di masa mendatang khususnya dalam intervensi dan penatalaksanaan pasien dengan PPOK. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi data dasar bagi penelitian selanjutnya. 1.6 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Zainal Abidin (RSDUZA) Kota Banda Aceh pada pasien wanita yang berusia 40 tahun keatas yang mengidap atau telah terdiagnosis PPOK oleh dokter ahli Penyakit Paru yang mengunjungi Poli Penyakit Paru RSUDZA atau tercatat di Buku Register Pasien periode April 1-20 2011 dan bersedia diwawancara saat penelitian dilakukan. BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1.1
Definisi Penyakit Paru Obstruktif Kronik adalah suatu penyakit heterogen dengan berbagai
macam presentasi klinis. Abnormalitas dasar pada semua pasien yang memiliki PPOK ialah terbatasnya aliran udara. Kemudian, para ahli dari Global Initiative for Obstructive Lung Diseases (GOLD) telah menentukan batasan penyakit tersebut berdasarkan kriteria spirometri dengan menggunakan post-bronchodilator forced expiratory volume dalam satu detik (FEV1) dan rasionya terhadap forced vital capacity (FVC).23 Kriteria utama untuk PPOK adalah suatu rasio FEV1/FVC < 70%. Jadi definisi bronchitis kronik dan emphysema tidak lagi menjadi bagian dari definisi PPOK (Table.2).24 Tabel 2. Definisi Bronchitis Kronik, Emphysema, dan PPOK
(Sumber : WHO GARD Book 2007, halaman : 21) Panduan dari GOLD mendefinisikan PPOK sebagai Suatu penyakit yang dapat dicegah dan diatasi dengan berbagai efek-efek ekstrapulmonal signifikan yang dapat berkontribusi terhadap keparahan pada individu pasien. Komponen pulmonalnya dikarakteristikkan oleh terbatasnya aliran udara yang tidak sepenuhnya dapat pulih kembali. Keterbatasan aliran udara ini bersifat progresif dan biasanya berhubungan dengan suatu respon inflamasi abnormal dari paru-paru terhadap partikel-partikel noxious atau gas-gas. 2.1.2 Klasifikasi
Sub-klasifikasi dibagi menjadi ringan, sedang, berat, dan amat berat yang ditentukan oleh berbagai tingkatan FEV1 sebagai persentase dari nilai yang telah diprediksikan (Table.3).25 Klasifikasi ini ditemukan berkorelasi dengan penemuan-penemuan patologis26 dan sebagai prediktor kematian.27 Tabel 3. Klasifikasi Derajat Keparahan PPOK, Berdasarkan Post-Bronchodilator FEV1
(Sumber : WHO GARD Book 2007, halaman : 22) Stage I: PPOK Ringan (Mild COPD) Dikarakteristikkan oleh terbatasnya aliran udara (FEV1/FVC < 0.70; FEV1 80% prediksi). Gejala-gejala batuk kronik dan produksi sputum dapat muncul, tetapi tidak selalu ada. Pada stage ini, individu biasanya tidak menyadari bahwa fungsi parunya telah mengalami abnormalitas. Stage II: PPOK Sedang (Moderate COPD) Dikarakteristikkan dengan perburukan aliran udara yang amat terbatas (FEV1/FVC < 0.70; 50% FEV1 < 80% prediksi), dengan nafas terasa pendek yang secara tipikal berkembang pada saat latihan serta batuk dan produksi sputum yang kadang-kadang muncul. Pada stage ini pasien-pasien secara tipikal akan mencari pusat pelayanan medis karena gejala-gejala kronik respirasi atau suau eksaserbasi dari penyakit mereka. Stage III: PPOK Berat (Severe COPD) Diakrakteristikkan dengan makin memburukya keterbatasan udara (FEV1/FVC < 0.70; 30% FEV1 < 50% prediksi), nafas yang
makin pendek, berkurangnya kapasitas latihan atau gerakan, mudah lelah, dan eksaserbasi berulang yang hampir selalu menimbulkan dampak pada kualitas hidup pasien. Stage IV: PPOK Amat Berat (Very Severe COPD) Dikarakteristikan oleh keterbatasan aliran udara yang berat (FEV1/FVC < 0.70; FEV1 < 30% predicted or FEV1 < 50% prediksi diambah dengan tandanya gagal respirasi kronis). Kegagalan respirasi didefinisikan sebagai suatu tekanan arteri parsial dari O2 (PaO2) kurang dari 8.0 kPa (60 mm Hg), dengan atau tanpa tekanan arteri parsial CO2 (PaCO2) lebh besar dari 6.7 kPa (50 mm Hg) ketika bernafas pada permukaan laut. Kegagalan respirasi juga dapat menyebabkan efek-efek terhadap jantung seperti cor pulmonale (gagal jantung kanan). Tanda-tanda klinis cor pulmonale termasuk elevasi tekanan vena jugularis dan pitting ankle edema. Pasien-pasien dapat memiliki Stage IV: Very Severe COPD bahkan jika FEV1 > 30% prediksi, walaupun tanpa komplikasi yang tersebutkan diatas muncul. Pada Stage ini , kualitas hidup seseorang sangat dipengaruhi dampak PPOK dan serangan eksaserbasi merupakan ancaman hidupnya setiap waktu.
2.1.3
Prevalensi Data PPOK yang ada sekarang menunjukkan variasi yang berbeda disebabkan
perbedaan-perbedaan pada metode survey, kriteria diagnostik, dan pendekatan analitik.29,30 Metode survey dapat berupa sebagai berikut : Laporan pribadi dari diagnosis PPOK seorang dokter atau kondisi ekuivalennya. Spirometry dengan atau tanpa bronchodilator. Kuisioner yang menanyakan adanya presentasi dari gejala-gejala respirasi. Di Amerika Serikat, tahun 2002, diperkirakan terdapat 24 juta orang dewasa yang memiliki PPOK.31 Suatu model prevalensi PPOK telah dipergunakan untuk memperkirakan prevalensi PPOK pada 12 Negara-negara di Asia. Jumlah keseluruhan dari kasus PPOK ringan sampai dengan berat di 12 wilayah Negara tersebut, sebagaimana diproyeksikan oleh model itu, adalah 56.6 juta orang dengan suatu angka prevalensi berkisar dari 6.3%. angka prevalensi PPOK untuk individu di masing-masing Negara berkisar dari 3.5% (China, Hong Kong Special Administrative Region, dan Singapore) sampai 6.7% (Viet Nam).32
Suatu tinjauan ulang sistematik dan studi meta-analysis pada 28 Negara-negara di dunia diantara tahun 1990 dan 2004, dan suatu studi tambahan lainnya dari Jepang33, menyediakan bukti bahwa prevalensi PPOK (Stage I: PPOK Ringan dan seterusnya) lebih tinggi di kalangan perokok dan mantan perokok, pada mereka yang berusia diatas 40 tahun jika dibandingkan dengan yang berusia di bawah 40 tahun, baik pada pria maupun wanita.
The Latin American Project for the Investigation of Obstructive Lung Disease (PLATINO) memeriksa prevalensi keterbatasan post-bronchodilator (Stage I: PPOK Ringan dan seterusnya) di kalangan penduduk berusia 40 tahun keatas di lima Negara Amerika Latin utama pada kota-kota berbeda di setiap Negara Brazil, Chile, Mexico, Uruguay, dan Venezuela. Pada tiap Negara, prevalensi Stage I: PPOK Ringan dan seterusnya meningkat secara berkala sesuai umur (Gambar 1), dengan prevalensi tertinggi di kalangan mereka yang berusia diatas 60 tahun, berkisar dari paling rendah 18.4% di Mexico City, Mexico, sampai dengan yang paling tinggi sebesar 32.1% di Mentevideo, Uruguay. Pada semua kotakota/Negara. Prevalensi didapatkan lebih tinggi pada pria jika dibandingkan pada wanita. Alasan-alasan untuk perbedaan pada prevalensi di lima kota di Amerika Latin ini masuh dalam penelusuran.34, 35
Gambar 1. Prevalensi PPOK Sesuai Usia di Lima Kota-kota di Amerika Latin (Sumber : GOLD Update 2009, Burden of COPD, halaman : 9)
2.1.4 Patologi, Patogenesis, dan Patofisiologi
Perubahan karakteristik patologik PPOK telah ditemukan pada jalan atau saluran nafas proksimal, jalan nafas perifer, parenkim paru, dan vaskularisasi paru36 (Gambar 2). Perubahan
10
patologik meliputi inflamasi kronik, dengan peningkatan jumlah dan tipe sel-sel inflamasi spesifik pada berbagai bagian yang berbeda di paru, dan perubahan struktural menghasilkan cedera yang berulang dan proses rehabilitasi yang terus-menerus. Secara umum, inflamasi dan perubahan struktural pada jalan nafas meningkat seiring dengan penigkatan berat dan bertahannya pajanan merokok.
Gambar 2. Perubahan Patologik pada PPOK (Sumber : GOLD Update 2009, Pathology, Pathogenesis, and Pathophysiology, halaman : 24) Proses radang pada saluran nafas dalam PPOK tampaknya merupakan suatu proses pengerasan atau pemadatan dari respon radang normal terhadap zat-zat iritan seperti rokok atau menghisap asap rokok. Mekanisme untuk pemadatan ini sampai kini tidak sepenuhnya dapat dijelaskan dan dimengerti tetapi dapat ditentukan secara genetik. Beberapa pasien yang mengidap PPOK tanpa merokok, dengan proses respon inflamasi yang tidak diketahui pada pasien ini.37 Proses radang pada paru-paru kemudian ditambah dengan stress oksidatif dan ekses dari proteinase paru. Secara bersamaan, mekanisme ini berdampak pada perubahan patologik dalam PPOK (Gambar 3).
11
Gambar 3. Patogenesis PPOK (Sumber : GOLD Update 2009, Pathology, Pathogenesis, and Pathophysiology, halaman : 25) Dewasa ini terdapat suatu metode yang baik tentang bagaimana mengetahui apa saja yang mendasari proses PPOK yang menyebabkan abnormalitas karakteristik fisiologi dan gejala-gejala yang ada. Sebagai contoh, pengurangan FEV1 secara primer dihasilkan dari proses radang dan penyempitan jalan nafas perifer, sementara pengurangan hantaran gas muncul dari destruksi parenkim karena emfisema. Beberapa proses tersebut meliputi : 1. Keterbatasan aliran udara dan terperangkapnya udara. 2. Abnormalitas pertukaran gas. 3. Hipersekresi mucus. 4. Hipertensi Pulmonal. 5. Gambaran sistemik lainnya. PPOK melibatkan beberapa gambaran sistemik yang dapat dikenali, terutama pasienpasien dengan penyakit yang berat dan hal ini dapat memiliki dampak yang cukup besar bagi daya kelangsungan hidup dan penyakit-penyakit yang dapat menjadi faktor komorbiditasnya.38,39 ( Gambar 4).
12
Gambar 4. Gambaran Sistemik PPOK (Sumber : GOLD Update 2009, Pathology, Pathogenesis, and Pathophysiology, halaman: 28) Eksaserbasi yang menunjukkan pertambahan respon radang pada pasien PPOK, dan dapat dipicu oleh infeksi karena bakteri atau virus dan juga karena zat-zat polutan dari lingkungan sekitar. Terdapat sangat sedikit informasi tentang mekanisme inflamasi pada serangan eksaserbasi dalam PPOK. Pada serangan eksaserbasi ringan dan sedang terdapat peningkatan jumlah neutrofil, dalam beberapa studi juga menunjukkan peningkatan eosinofil pada sputum dan dinding jalan nafas40. Hal ini berkaitan dengan peningkatan konsentrasi dari beberapa mediator inflamsi seperti TNF-, LTB4 dan IL-8, serta suatu peningkatan jumlah biomarker dan stress oksidatif. Dalam suatu studi juga menunjukkan adanya peningkatan ekspresi dari chemokine41. Selama eksaserbasi terdapat peningkatan yang disebut dengan hiperinflasi dan terperangkapnya udara, dengan pengurangan pada laju ekspirasi, yang selanjutnya menyebabkan dyspnea42. Juga terdapat perburukan nilai atau abnormalitas VA/Q yang menyebabkan hypoxemia berat.
2.2 Faktor-faktor Resiko PPOK yang Dipelajari
2.2.1
Polusi Udara Dalam Ruangan Kayu, kotoran hewan, residu hasil panen, dan minyak tanah, biasanya dibakar pada
udara terbuka atau pada tungku pembakaran tradisional, dapat menyebabkan polusi udara dalam ruangan yang cukup tinggi. Bukti bahwa polusi udara dalam ruangan yang dihasilkan dari pembakaran dan pemanasan biomasssa pada tungku pembakaran tradisional merupakan faktor resiko pada PPOK yang sangat penting (terutama pada wanita di Negara-negara berkembang) terus berlanjut43, dengan beberapa studi case-control44,45 dan beberapa studi
13
lainnya dengan metode studi tidak begitu ketat yang tersedia sebagai bukti data. Hampir 3 juta orang di seluruh dunia yang menggunakan biomassa dan minyak tanah atau batubara sebagai energi utama untuk memasak, menghangatkan, dan berbagai kepentingan rumah tangga lainnya, juga berada dalam populasi beresiko di seluruh dunia. Pada komunitas ini, polusi udara dalam ruangan bertanggung jawab terhadap fraksi resiko PPOK yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan SO2 atau partikel-partikel yang dihasilkan dari emisi kendaraan bermotor, walaupun tinggal di kota besar dengan tingkat kepadatan tinggi dengan penduduk dan kendaraan bermotor yang cukup banyak. Minyak tanah seringkali digunakan oleh wanita untuk memasak menyebabkan bertambahnya nilai prevalensi PPOK dikalangan wanita yang tidak merokok di Timur Tengah, Afrika, dan Asia.46,47 Polusi udara dalam ruangan juga dihasilkan dari membakar kayu dan bahan bakar biomassa lainnya diperkirakan membunuh 2 juta wanita dan anak-anak tiap tahunnya.48 Bahan bakar padat lainnya bertanggung jawab sebagai bahan yang berbahaya di Negara-negara dengan pendapatan rendah dan menengah di seluruh dunia. Walaupun demikian, lebih dari 3 juta orang di seluruh dunia yang hidup dengan pendapatan tersebut bergantung pada bahan bakar padat atau minyak, kayu, kotoran hewan, dan sisa hasil panen, untuk keburuhan energi domestik.49, 50, 51 Material-material ini secara tipikal dibakar secara sederhana dengan tungku pembakaran yang tidak dilengkapi dengan corong asap. Secara berurutan, wanita dan anak-anak dapat terekspos paparan polusi udara yang begitu tinggi setiap harinya dan menghasilkan suatu perkiraan 1.5-1.8 juta kematian yang lebih cepat setiap tahunnya. Di Afrika, sekurang-kurangnya 1 juta orang dengan kematian ini terjadi pada anak-anak dibawah umur lima tahun yang dihasilkan karena infeksi saluran penafasan akut, 700.000 lainnya dikarenakan hasil dari PPOK dan 120.000 lainnya merupakan atribut dari kanker pada orang dewasa, terutama pada wanita.50 Perkiraan global dapat lima kali lebih tinggi. Pada survey populasi di India, bahan bakar tradisional padat seperti kayu memiliki dampak yang besar terhadap fungsi paru, terutama pada wanita.51 Telah diperkirakan juga, melalui suatu model, bahwa polusi udara dalam ruangan dapat menyebabkan perkiraan kumulatif 9.8 juta kematian lebih cepat pada tahun 2030.51
14
Gambar 5. Dua puluh Penyebab Kematian terbanyak di Tahun 2030 (Sumber : WHO World Heath Statistics, 2008)
2.2.2
Diet dan Nutrisi Untuk jangka waktu yang lama, asupan nutrisi telah berkaitan dengan banyak penyakit.
WHO telah mengadopsi pendekatan berbasis luas dibawah Global Strategy on Diet, Physical Activity and Health, yang diumumkan oleh World Health Assembly di bulan Mei 2004 (resolusi WHA 57.17). Faktor diet dimana meningkat atau menurunnya penyakit sebagai resiko dari berbagai penyakit dapat menjadi salah satu faktor penting pada penyakit respirasi kronik. 51,
52
Obesitas merupakan faktor utama dalam diabetes, penyakit kardiovaskular, dan berbagai penyakit kronik lainnya. Bagi pasien PPOK, obesitas telah dinyatakan sebagai suatu
15
faktor resiko untuk berkembangnya dyspnea dan dapat meningkatnya derajat keparahan penyakit.53 Suatu proporsi yang tinggi pada pasien-pasien PPOK mengalami penurunan berat badan yang signifikan, dan rendahnya BMI sebagai marker buruknya prognosis.54,55 Penurunan berat badan yang progresif pada pasien-pasien ini dikarakteristikkan oleh kebutuhan energi spesifik yang disebabkan oleh ketidakseimbangan asupan gizi yang tidak memadai.55 Peranan nutrisi sebagai faktor resiko independen untuk perkembangan PPOK masih belum jelas. Malnutrisi dan penurunan berat badan dapat menyebabkan pengurangan kekuatan otot-otot pernafasan dan daya tahannya, secara perlahan tampaknya dapat mengurangi massa otot respirasi dan kekuatan dari serat-serat otot yang tersisa.56 Hubungan antara kelaparan dan status katabolik/anabolik dengan perkembangan emfisema telah ditunjukan dalam suatu studi eksperimental pada hewan.57 CT-Scan paru pada wanita malnutrisi kronik karena anorexia nervosa seringkali menunjukan perubahan seperti emfisema.58 2.2.3 Status Sosio-Ekonomi Terdapat bukti yang menyatakan faktor resiko bagi perkembangan PPOK secara spesifik berkaitan dengan status sosio-ekonomi.54 Tidaklah jelas, bagaimanapun, bahwa pola ini merefleksikan paparan terhadap polusi udara dalam ruangan atau luar ruangan, kepadatan, nutrisi yang kurang, atau faktor-faktor lain yang berhubungan dengan status sosio-ekonomi yang rendah.55,56
2.2.1
Kerangka Teoritis
16
17
3.1
Kerangka Konsep Sesuai dengan judul penelitian yaitu Faktor Resiko Yang Menyebabkan PPOK Pada
Pasien Wanita Usia Diatas 40 Tahun Di Poli Paru RSUDZA Periode April 2011, maka disusunlah kerangka konsep yang berfokus pada faktor resiko yang berhubungan erat dengan PPOK. Skema konsep dapat dijabarkan sebagai berikut :
Variabel Independen
Variabel Dependen
Status Sosio-Ekonomi
3.2.1
Variabel Dependen
18
No
Variabel
Definisi Operasional
Cara Ukur
Alat Ukur
Hasil Ukur
Skala Ukur
1.
PPOK
Pasien yang telah didiagnosa PPOK oleh Dokter Ahli Penyakit Paru RSUDZA periode 1- 20 April 2011.
Buku Register Pasien Poli Paru RSUDZA yang memuat data pasien yang telah didiagnosa PPOK oleh Dokter Ahli Penyakit Paru RSUDZA periode 1 - s20 April 2011
Kertas Kerja
Nominal
3.2.2
No
Variabel Independen
Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur
1.
Riwayat pernah memasak menggunakan kayu bakar atau tungku pembakaran tradisional didalam ruangan tertutup yang membuktikan adanya paparan inhalasi partikel noxious secara terus-menerus bagi paru.
Wawancara
Kuisioner
-Ya -Tidak
Nominal
19
2.
Body Mass Index atau Quatelet Index menggunakan SI yang dibagi menjadi dua kelompok yaitu dikatakan baik apabila BMI > 18,5 dan dikatakan buruk apaabila BMI < 18,5.
Dihitung dengan mengunakan rumus BMI = massa badan (kg)/(tinggi badan2) (m)
-Baik -Buruk
Ordinal
3.
Status SosioEkonomi
Penghasilan
yang
Wawancara
Kuisioner
Ordinal
mampu diperoleh oleh suatu keluarga setiap bulannya mengambil nilai dengan dasar patokan UMR-UMP tahun 2010 yaitu dikatakan SSE Tinggi jika pendapatan > Rp. 10.000.000, Menengah jika pendapatan Rp. 1.300.000 -10.000.000, dan Rendah bila pendapatan < 1.300.000 tiap bulannya.
20
3.3 3.3.1
PPOK : Pasien wanita penderita PPOK yang berusia diatas 40 tahun yang terdaftar pada Buku Register Pasien Poli Penyakit Paru RSUDZA periode 1 20 April 2011 dan telah didiagnosa mengidap PPOK oleh Dokter Ahli Paru RSUDZA.
Tidak PPOK : Pasien wanita penderita PPOK yang berusia diatas 40 tahun yang terdaftar pada Buku Register Pasien Poli Penyakit Paru RSUDZA periode 1 - 20April 2011 dan tidak didiagnosa mengidap PPOK oleh Dokter Ahli Paru RSUDZA.
3.3.2
Variabel Independen
Ya : apabila pernah mempunyai riwayat menggunakan kayu bakar atau tungku pembakaran untuk keperluan memasak di rumah dalam ruangan tertutup.
Tidak : apabila tidak pernah mempunyai riwayat menggunakan kayu bakar atau tungku pembakaran untuk keperluan memasak di rumah dalam ruangan tertutup.
Baik : apabila hasil pengukuran BMI > 18,5. Buruk : apabila hasil pengukuran BMI < 18,5.
Rendah : apabila pendapatan < Rp. 1.300.000 setiap bulannya. Menengah : apabila pendapatan Rp. 1.300.000 Rp.10.000.000 setiap bulannya. Tinggi : apabila pendapatan > Rp. 10.000.000 setiap bulannya.
21
4.1
Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian Deskriptif dengan menggunakan Cross Sectional
yaitu mengukur variabel independen maupun variabel dependen dilakukan dalam waktu bersamaan.
4.2 4.2.1
Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Poli Penyakit Paru RSUDZA Banda Aceh.
4.2.2
Waktu Penelitian Penelitian dilakukan sejak tanggal 4 20 April 2011. Pengambilan data dilakukan sejak
4.3
Populasi Penelitian Populasi penelitian ini adalah seluruh pasien yang mengunjungi Poli Penyakit Paru
4.4
Seluruh pasien wanita berusia diatas 40 tahun mengunjungi Poli Penyakit Paru RSUDZA periode 1 20 April 2011.
22
Seluruh pasien wanita berusia diatas 40 tahun yang mengunjungi Poli Penyakit Paru yang telah didiagnosa mengidap PPOK oleh Dokter Ahli Penyakit Paru RSUDZA Banda Aceh periode 1 - 20April 2011.
Bersedia di wawancara dan mengisi kuisioner. Bersedia di ukur Tinggi Badan dan Berat Badannya. Cara pengambilan sampel yang digunakan adalah non-probability sampling dengan
teknik judgement sampling, dimana dilakukan pengambilan sampel yang dipilih melalui seleksi bersyarat yang memenuhi kriteria unit sampling.
4.5 4.5.1
Coding yaitu pemberian kode pada data yang diperoleh untuk memudahkan pengumpulan data. 4.5.2 Editing
Editing yaitu memeriksa kembali data untuk menghindari kesalahan data, menjamin data sudah lengkap dan benar. 4.5.3 Tabulating
Tabulating yaitu memasukkan data yang telah diperoleh ke dalam tabel. 4.5.4 Cleaning
Cleaning yaitu mengevaluasi kembali data untuk menghindari kesalahan dalam pengumpulan data.
23
4.6
Analisis Data Analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis univariat. Data yang
diperoleh dari hasil wawancara dicatat dan dikumpulkan, kemudian disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi, persentase, dan tabulasi silang. Analisa Univariat dilakukan untuk mengetahui distribusi frekuensi dan proporsi masing-masing variabel independen dan variabel dependen.
24
Penyajian hasil penelitian memberikan gambaran prevalensi penyakit PPOK di kalangan wanita yang berusia diatas 40 tahun dan distribusi frekuensi faktor resiko PPOK yang terdiri dari riwayat memasak dengan kayu bakar atau tungku pembakaran, asupan diet dan nutrisi, dan status sosio-ekonomi pada pasien-pasien yang yang mengunjungi Poli Paru RSUD Dr. Zainal Abidin, untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. 5.1 Pasien wanita berusia diatas 40 tahun yang menderita PPOK di Poli Penyakit Paru RSUDZA. Dari hasil penelitian pada 68 orang sampel yang datang mengunjungi Poli Penyakit Paru RSUD Dr. Zainal Abidin pada periode 1-20 April 2011, didapatkan hasil penelitian 11 orang sampel mengidap PPOK, dan 57 orang tidak mengidap PPOK. Tabel 5.1.1 Prevalensi pasien wanita berusia diatas 40 tahun yang menderita PPOK di Poli Penyakit Paru RSUDZA periode 1 - 20 April 2011.
Wanita berusia diatas 40 tahun yang mengunjungi Poli Paru RSUDZA PPOK Tidak PPOK Total Frekuensi (n) 11 57 68 Persentase (%) 16,2 83,8 100
25
5.2
Faktor memasak dengan kayu bakar atau tungku pembakaran tradisional pada pasien PPOK di Poli Penyakit Paru RSUDZA. Dari hasil wawancara didapatkan bahwa sampel atau responden yang pernah menggunakan kayu bakar atau tungku pembakaran tradisional sebanyak 42 orang, dan yang tidak pernah menggunakannya tercatat sebanyak 26 orang. Tabel 5.2.1 Distribusi frekuensi faktor memasak dengan kayu bakar atau tungku pembakaran tradisional pada pasien di Poli Penyakit Paru RSUDZA.
Riwayat memasak dengan kayu bakar atau tungku pembakaran tradisional Ya Tidak Total Frekuensi (n) 42 26 68 Persentase (%) 61,8 38,2 100
Tabel 5.2.2 Distribusi frekuensi faktor memasak dengan kayu bakar atau tungku pembakaran tradisional pada pasien PPOK pada pasien di Poli Penyakit Paru RSUDZA.
Memasak dengan kayu bakar atau tungku pembakara n Ya Tidak Total Wanita berusia diatas 40 tahun PPOK Frekue nsi (n) 8 3 11 Persent ase (%) 11,8 4,4 16,2 Tidak PPOK Frekue nsi (n) 34 23 57 Persent ase (%) 50 33,8 83,8 Frekue nsi (n) 42 26 68 (%) 61,8 38,2 100 Total Persentase
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sampel yang pernah memasak dengan kayu bakar atau tungku pembakaran tradisional lebih rentan mengidap PPOK daripada yang tidak pernah memasak dengan kayu bakar atau tungku pembakaran tradisional.
5.3
Faktor asupan diet dan nutrisi pada pasien PPOK di Poli Penyakit Paru RSUDZA.
26
Dari hasil pengukuran BMI didapatkan 32 sampel memiliki BMI yang baik dan 36 sampel memiliki BMI yang buruk. Tabel 5.3.1 Distribusi frekuensi asupan diet dan nutrisi pada pasien di Poli Penyakit Paru RSUDZA.
Frekuensi Asupan diet dan nutrisi (n) Baik Buruk Total 32 36 68 (%) 47,1 52,9 100 Persentase
Tabel 5.3.2 Distribusi frekuensi asupan diet dan nutrisi pada pasien PPOK di Poli Penyakit Paru RSUDZA.
Wanita berusia diatas 40 tahun Asupan nutrisi dan diet (BMI) PPOK Frekue nsi (n) Baik Buruk Total 9 2 11 Persent ase (%) 13.3 2.9 16,2 Tidak PPOK Frekue nsi (n) 23 34 57 Persent ase (%) 33,8 50 83,8 Frekue nsi (n) 32 36 68 (%) 47,1 52,9 100 Total Persentase
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sampel yang memiliki asupan nutrisi dan diet yang baik cenderung lebih rentan terhadap PPOK dibandingkan sampel yang memiliki asupan nutrisi dan diet yang buruk.
5.4
Faktor tingkat status sosio-ekonomi pada pasien PPOK di Poli Penyakit Paru RSUDZA. Dari hasil wawancara didapatkan bahwa sampel yang memiliki tingkat SSE yang tinggi sebanyak 1 orang, 34 orang memiliki tingkat SSE menengah, dan 33 orang memiliki tingkat SSE yang rendah.
27
Tabel 5.4.1 Distribusi frekuensi tingkat status sosio-ekonomi pada pasien di Poli Penyakit Paru RSUDZA
Frekuensi SSE (n) Tinggi Menengah Rendah Total 1 34 33 68 (%) 1,5 50 48,5 100 Persentase
Tabel 5.4.2 Distribusi frekuensi tingkat status sosio-ekonomi pada pasien PPOK di Poli Penyakit Paru RSUDZA
Wanita berusia diatas 40 tahun PPOK SSE Frekue nsi (n) Tinggi Menengah Rendah Total 1 5 5 11 Persent ase (%) 1,5 7,35 7,35 16,2 Tidak PPOK Frekue nsi (n) 0 29 28 57 Persent ase (%) 0 42,7 41,1 83,8 Frekue nsi (n) 1 34 33 68 (%) 1,5 50 48,5 100 Total Persentase
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sampel yang tingkat SSE menengah dan rendah memiliki kemungkinan yang sama dalam kerentanan terhadap PPOK sementara sampel yang memiliki SSE tinggi memiliki kemungkinan persentase yang rendah mengidap PPOK, tetapi sampel yang didapatkan hanya satu orang saja.
28
BAB VI PEMBAHASAN
6.1.
Pasien wanita berusia diatas 40 tahun yang menderita PPOK Data-data PPOK yang ada sekarang ini menunjukkan variasi yang berbeda disebabkan
perbedaan-perbedaan pada metode survey, kriteria diagnostik, dan pendekatan analitik. Walaupun demikian telah terdapat beberapa model prevalensi yang cenderung menunjukkan resiko terpapar PPOK meningkat seiring laju pertambahan usia. Dari hasil penelitian pada 68 orang sampel (wanita yang berusia diatas 40 tahun) yang datang mengunjungi Poli Penyakit Paru RSUD Dr. Zainal Abidin pada periode 1-20 April
29
2011, didapatkan hasil penelitian 11 orang sampel (16,2%) mengidap PPOK, dan 57 orang sampel (83,8%) tidak mengidap PPOK. Hal ini sesuai dengan hasil yang didapatkan pada sebuah studi besar tentang PPOK, the Proyecto Latinoamericano de Investigacionen Obstruccion Pulmonar (the PLATINO Project), yang dilakukan di lima kota terbesar di Amerika Latin, dimana dinyatakan bahwa prevalensi PPOK berkisar diatas 10% pada individu-individu yang berusia lebih dari 40 tahun baik pada pria maupun wanita.
6.2
Faktor memasak dengan kayu bakar atau tungku pembakaran tradisional pada pasien PPOK Dari hasil penelitian didapatkan bahwa sampel atau responden yang pernah
menggunakan kayu bakar atau tungku pembakaran sebanyak 42 orang dan yang tidak pernah menggunakannya tercatat sebanyak 26 orang. Lebih lanjut didapatkan bahwa terdapat 8 orang pasien yang mengidap PPOK dan pernah memasak dengan tungku pembakaran atau menggunakan kayu bakar, sedang 3 orang pasien lainnya tercatat mengidap PPOK tapi tidak pernah menggunakan tungku pembakaran atau memasak dengan menggunakan kayu bakar. The Global Alliance Against Chronic Respiratory Diseases (GARD) (2007) dan Global initiative for Chronic Obstructive Lung Diseases (GOLD) (2009) menyatakan bahwa minyak tanah atau bahan bakar yang digunakan untuk memasak didalam ruangan dan menimbulkan polutan merupakan bahaya utama terhadap kesehatan di negeara-negara miskin dan berkembang. Wanita dan anak-anak balita merupakan populasi yang paling rentan karena mereka dapat terpapar terhadap polusi udara ruangan setiap harinya. Tidak heran bila dalam penelitian ini mereka yang menggunakan kayu bakar atau tungku pembakaran tradisional lainnya lebih banyak mengidap PPOK pada dewasa ini dibandingkan mereka yang tidak pernah menggunakannya.
6.3
30
Berdasarkan penelitian terhadap 68 sampel wanita yang berusia diatas 40 tahun, dengan menggunakan Body Mass Index yang dihitung dengan rumus BMI = Massa Badan (Kg) / (TB) 2 m, maka didapatkan 32 orang sampel mempunyai asupan diet dan nutrisi yang baik dan 36 orang sampel mepunyai asupan diet dan nutrisi yang buruk. Lebih lanjut didapatkan 9 orang sampel dengan asupan diet dan nutrisi yang baik menderita PPOK sedangkan hanya 2 orang sampel dengan asupan diet dan nutrisi yang buruk menderita PPOK. Hal ini sangat bertolak belakang dengan penelitian WHO (World Health Assembly, resolusi WHA 57.17, 2004) sebelumnya yang mengatakan bahwa faktor diet dimana meningkat atau menurunnya penyakit sebagai resiko dari berbagai penyakit dapat menjadi salah satu faktor penting pada penyakit respirasi kronik. GARD (2007) sendiri masih menempatkan status gizi (asupan diet dan nutrisi) sebagai resiko yang memungkinkan bersama-sama dengan resiko pasca penyakit respirasi kronik. Sedangkan GOLD (2009) menyatakan bahwa peranan nutrisi sebagai salah satu faktor resiko independen untuk perkembangan PPOK belumlah dapat dijelaskan. Pernyataan ini tampaknya lebih sesuai dengan hasil penelitian, dimana asupan nutrisi dan diet yang baik saja ternyata bukanlah faktor utama bagi pasien menjadi lebih rentan terhadap paparan PPOK.
6.4
Faktor tingkat status sosio-ekonomi pada pasien PPOK GOLD (2009) menyatakan bahwa hanya terdapat bukti bukti yang lemah yang
menunjukkan perkembangan PPOK sejalan dengan status sosio-ekonomi seseorang. Tidak begitu jelas, apakah pola ini merefleksikan paparan terhadap polutan didalam atau diluar ruangan, keramaian, nutrisi yang buruk, atau faktor-faktor tersebut semuanya berkaitan dengan keadaan sosio-ekonomi yang rendah. Penelitian ini mengungkapkan bahwa terdapat 1 orang sampel memiliki SSE tinggi, 34 orang sampel dengan SSE menengah, dan 33 orang sampel dengan SSE yang rendah. Lebih lanjut 1 sampel ber-SSE tinggi mengidap PPOK, 5 orang sampel ber-SSE menengah mengidap PPOK, dan 5 orang sampel ber-SSE rendah mengidap PPOK.
31
GARD (2007) sendiri tidak mencantumkan SSE sebagai salah satu faktor resiko terhadap perkembangan PPOK tetapi GOLD (2009) : (Prescott E, Lange P, Vestbo J. dalam Socioeconomic status, lung function and admission to hospital for COPD: results from the Copenhagen City Heart Study. Eur Respir J 1999;13(5):1109-14) menyatakan terdapat korelasi antara status SSE yang rendah dengan persentase yang lebih besar rentan terhadap PPOK. Dari penelitian terdapat gambaran yang jelas bahwa status SSE seseorang tidak mutlak dapat dikatakan sebagai faktor resiko PPOK melihat variasi dan distribusi merata PPOK di kalangan sampel pasien dengan SSE menengah dan rendah, sedangkan untuk SSE tinggi sulit untuk membuat perbandingan deksriptif dikarenakan sampel yang didapatkan hanya satu orang.
7.1
Kesimpulan
1. Pada penelitian ini didapatkan bahwa dari 68 orang pasien wanita diatas 40 tahun
yang ingin mendapatkan pelayanan kesehatan di Poli Paru RSUD Zainal Abidin periode 1-20 April 2011 didapatkan hasil penelitian 11 orang sampel (16,2%) mengidap PPOK, dan 57 orang sampel (83,8%) tidak mengidap PPOK.
32
2. Penelitian menunjukkan bahwa sampel yang pernah memasak dengan kayu bakar
atau tungku pembakaran tradisional lebih rentan mengidap PPOK daripada yang tidak pernah memasak dengan kayu bakar atau tungku pembakaran tradisional.
3. Penelitian menunjukkan bahwa sampel yang memiliki asupan diet dan nutrisi yang
baik cenderung lebih rentan terhadap PPOK dibandingkan sampel yang memiliki asupan nutrisi dan diet yang buruk.
4. Penelitian menunjukkan bahwa sampel yang tingkat SSE menengah dan rendah
memiliki kemungkinan yang sama dalam kerentanan terhadap PPOK sementara sampel yang memiliki SSE tinggi memiliki kemungkinan persentase yang rendah mengidap PPOK, tetapi sampel SSE tinggi yang didapatkan hanya satu orang saja. 7.1 Saran 1. Meningkatkan program penyuluhan dalam rangka memberi pengetahuan yang memadai kepada masyarakat akan karakterisitik dan faktor resiko yang berhubungan dengan PPOK serta kewaspadaan terhadap PPOK. 2. Menggalakkan penelitian-penelitian serupa dimasa mendatang agar dapat dijadikan masukan data yang masih sangat kurang dan pertimbangan dalam membuat kebijakan-kebijakan dibidang kesehatan khususnya dalam intervensi dan penatalaksanaan pasien dengan PPOK. KEPUSTAKAAN
Lancet,2005, 366:15781582.
3. Lee J. Global health improvement and WHO: shaping the future. The Lancet, 2003,
366:18211824.
4. Wang L. Preventing chronic diseases in China. The Lancet, 2005, 366:18211824.
33
Pulmonary Disease, Vol. 2004. Department of Health and Human Services, 2004.
9. Menezes AM et al. Prevalence of chronic obstructive pulmonary disease and associated
factors: the PLATINO Study in Sao Paulo, Brazil. Cadernos de Sade Pblica, 2005, 21:15651573.
10. Sin DD et al. Inhaled corticosteroids and mortality in chronic obstructive pulmonary
chronic obstructive pulmonary disease. The American Journal of the Medical Sciences, 2004, 117: Suppl 12A, 49S59S.
14. Doll H, Miravitlles M. Health-related QoL in acute exacerbations of chronic bronchitis
and
chronic
obstructive
pulmonary
disease:
review
of
the
literature.
on health service utilisation and quality of life, a community study. Age and Ageing, 2006, 35:3337.
16. Schmier JK et al. The quality of life impact of acute exacerbations of chronic bronchitis
34
18. MacNee W. Acute exacerbations of COPD. Swiss Medical Weekly, 2003, 133 (17-
18):247257.
19. Dolan S, Varkey B. Prognostic factors in chronic obstructive pulmonary disease.
comprehensive survey on respiratory health in Europe. Huddersfield, European Respiratory Society, 2003.
21. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Asma Di
Indonesia, 2003.
22. Suradi, Prof. dr. P(K), MARS. Suara karya.com, Selasa, 6 Maret, 2010. 23. Global strategy for the diagnosis, management, and prevention of chronic obstructive
pulmonary disease. NHLBI/WHO Workshop Report. National Institutes of Health, National Heart, Lung and Blood Institute, 2001.
24. Guerra S. Overlap of asthma and chronic obstructive pulmonary disease. Current
pulmonary disease. NHLBI/WHO Workshop Report. Update 2003. National Institutes of Health, National Heart, Lung and Blood Institute, 2003.
26. Hogg JC et al. The nature of small-airway obstruction in chronic obstructive pulmonary
(GOLD) classifi cation of lung disease and mortality: fi ndings from the Atherosclerosis Risk in Communities (ARIC) study. Respiratory Medicine, 2006, 100:115122.
28. Global strategy for the diagnosis, management, and prevention of chronic obstructive
pulmonary disease. NHLBI/WHO Workshop Report. Update 2005. National Institutes of Health, National Heart, Lung and Blood Institute, 2005.
29. Halbert RJ, Natoli JL, Gano A, Badamgarav E, Buist AS, Mannino DM. Global burden
35
31. Mannino DM, Ford ES, Redd SC. Obstructive and restrictive lung disease and
functional limitation: data from the Third National Health and Nutrition Examination. Journal of Internal Medicine, 2003, 254:540547.
32. COPD prevalence in 12 Asia-Pacific countries and regions: projections based on the
Chronic obstructive pulmonary disease in five Latin American cities (the PLATINO study): a prevalence study. Lancet 2005;366(9500):1875-81.
35. Menezes AM, Perez-Padilla R, Hallal PC, JardimJR, Muino A, Lopez MV, Valdivia G,
Pertuze J, Montes de Oca M, Talamo C; PLATINO Team. Worldwide burden of COPD in high- and low-income countries. Part II. Burden of chronic obstructive lung disease in Latin America: the PLATINO study. Int J Tuberc Lung Dis. 2008 Jul;12(7):709-12.
36. Hogg JC. Pathophysiology of airflow limitation in chronic obstructive pulmonary
radiologic, and induced sputum features of chronic obstructive pulmonary disease in nonsmokers: a descriptive study. Am J Respir Crit Care Med 2002;166(8):1078-83.
38. Wouters EF, Creutzberg EC, Schols AM. Systemic effects in COPD. Chest 2002;121(5
Suppl):127S-30S.
39. Agusti AG, Noguera A, Sauleda J, Sala E, Pons J, Busquets X. Systemic effects of
2002;121(5 Suppl):136S-41S.
41. Drost EM, Skwarski KM, Sauleda J, Soler N, Roca J, Agusti AG. Oxidative stress and
during symptom recovery from moderate exacerbations of COPD. Eur Respir J 2005;26(3):420-8.
36
43. Warwick H, Doig A. Smoke the killer in the kitchen: Indoor air pollution in developing
countries. ITDG Publishing, 103-105 Southampton Row, London WC1B HLD, UK 2004:URL: http://www.itdgpublishing.org.uk.
44. Oroczo-Levi M, Garcia -Aymerich J, Villar J, Ramirez-Sarmiento A, Anto JM, Gea J.
Wood smoke exposure and risk of chronic obstructive pulmonary disease. Eur Respir J 2006;27:542-6.
45. Sezer H, Akkurt I, Guler N, Marakoglu K, Berk S. A case-control study on the effect of
Implications for the Millenium Development Goals. Environmental Health Perspectives, 2006, 114:373-378.
50. Sumer H. et al. The association of biomass fuel combustion on pulmonary function tests
in the adult population of Mid-Anatolia. Sozial- und Prventivmedizin/Social and Preventive Medicine, 2004, 49:247253.
51. Viegi G et al. Indoor air pollution and airway disease. The International Journal of
relationship between pneumonia in early childhood and impaired lung function in late adult life. Am J Respir Crit Care Med 1994;149(3 Pt 1):616-9.
53. Diaz PT, King MA, Pacht ER, Wewers MD, Gadek JE, Nagaraja HN, et al. Increased
susceptibility to pulmonary emphysema among HIV-seropositive smokers. Ann Intern Med 2000;132(5):369-72.
54. Prescott E, Lange P, Vestbo J. Socioeconomic status, lung function and admission to
hospital for COPD: results from the Copenhagen City Heart Study. Eur Respir J 1999;13(5):1109-14.
37
55. Tao X, Hong CJ, Yu S, Chen B, Zhu H, Yang M. Priority among air pollution factors
for preventing chronic obstructive pulmonary disease in Shanghai. Sci Total Environ 1992;127(1-2):57-67.
56. US Centers for Disease Control and Prevention. Criteria for a recommended standard:
occupational exposure to respirable coal mine dust: National Institute of Occupational Safety and Health; 1995.
57. Wilson DO, Rogers RM, Wright EC, Anthonisen NR. Body weight in chronic
obstructive pulmonary disease. The National Institutes of Health Intermittent PositivePressure Breathing Trial. Am Rev Respir Dis 1989;139(6):1435-8.
58. Sahebjami H, Vassallo CL. Influence of starvation on enzymeinduced emphysema. J
38