Anda di halaman 1dari 3

Diskriminasi Gender

Buruh Wanita:Antara Devisa dan Derita


Posted on August 4, 2007 by Muhsin Labib

Nasib Ceriyati Dapin tak seceria namanya. TKI asal Brebes yang tiba-tiba saja namanya menjadi begitu dikenal akhirakhir ini, bak selebritis. Ia menjadi berita di berbagai media massa setelah berusaha terjun dari lantai 15 rumah majikannya di Malaysia karena tidak tahan disiksa dan gajinya belum dibayar. Ada ratusan kasus serupa yang menimpa buruh perempuan kita baik di dalam (PRT) maupun di luar negeri (TKW). Lebih dari itu, sebagian besar TKI perempuan dalam konstruksi masyarakat patriarkis rentan terhadap tindak kekerasan yang berbasis pada diskriminasi gender. Kasus pelecehan seksual, kekerasan fisik, perkosaan yang mengakibatkan kematian masih sering dialami buruh migran Indonesia. Selain himpitan ekonomi yang tak tertahankan, gaji yang menggiurkan, menjadi faktor dominan mengapa TKI rela meninggalkan tanah kelahirannya dan keluarga. Selain, latar belakang pendidikan tidak memungkinkan untuk bersaing dengan ribuan pencari kerja lainnya. Bahkan, untuk memenuhi persyaratan administrasi saja tidak bisa karena

tidak lulus di tingkat sekolah yang diminta. Kenyataan ini mendorong banyak perempuan untuk mencari kerja yang lebih menghasilkan uang, sekalipun harus ke luar negeri, meninggalkan anak dan suami. Berdasarkan data yang dilaporkan oleh Women Research Institute, kini sekitar 72 % dari kurang lebih empat juta buruh migran adalah perempuan yang bekerja di sektor informal atau pekerjaan rumah tangga. Artinya, sekitar tiga juta perempuan buruh migran sangat rentan terancam diskriminasi dan trafficking. Ironisnya, sebagian besar yang menjadi korban itu adalah buruh ilegal atau yang diberangkatkan dengan data palsu. Demi alasan ekonomi, tidak sedikit buruh perempuan buta huruf yang minta dikirimkan sebagai tenaga kerja dengan data pendidikan yang dipalsukan. Dibandingkan dengan laki-laki, perempuan di negeri ini, biasanya menerima upah lebih rendah dan lebih banyak memasuki sektor kerja informal. Kerja pada sektor ini tidak jarang dipandang sebelah mata, karena dianggap tidak membutuhkan ketrampilan khusus. Sekitar 70.000 TKI dikirim ke luar negeri setiap tahun. Mereka ditempatkan di beragam lapangan pekerjaan seperti perkebunan, pertambangan, pabrik hingga pembantu rumah tangga (PRT). Dalam fikih, tidak ada larangan atas wanita untuk bekerja, selama ada jaminan keamanan dan keselamatan, karena bekerja adalah hak setiap orang. Memang bagi wanita yang berstatus istri, harus mendapatkan izin dari suami untuk meninggalkan rumah, apalagi bekerja di luar negeri. Bahkan bila menelusuri literatur fikih dalam sebagian mazhab, ada pandangan yang menyatakan bahwa suami yang tidak mampu menafkahi istri dan keluarganya tidak berhak melarang isterinya bekerja mencari nafkah. Keharusan meminta izin kepada suami saat akan meninggalkan rumah baik untuk bekerja maupun lainnya, tidak semata-mata demi memosisikan sebagai budak, namun karena keselamatannya merupakan tanggungjawab suami. Dalam fikih jafari, misalnya, istri tidak diwajibkan melakukan tugas-tugas rumah, seperti mencuci dan dan lainnya. Akad pernikahan hanya mengikat istri untuk memenuhi kebutuhan biologis semata. Fikih membenarkan suami dan isteri bekerja di luar rumah dengan syarat-syarat tertentu. Itu berarti fikih tidak

memandang bahwa kewajiban seorang lelaki (misalnya suami) untuk mencari nafkah menjadi penghalang bagi perempuan untuk bekerja di luar rumah juga untuk mencari nafkah. Ke-mubah-an wanita bekerja dalam koridor hukum dan norma moral Islam lebih bisa harus diterima, apabila ia tidak berstatus sebagai istri dan ibu. Apakah semua pengiriman tenaga kerja wanita dianggap sebagai kezaliman? Tentu tidak. Kezaliman dan penganiayaan bisa dilakukan oleh siapa saja di negara mana saja. Bahkan kezaliman tidak hanya dilakukan oleh majikan terhadap buruh, dan bisa sebaliknya. Kezaliman dan penganiyaan terhadap buruh tidak identik dengan negara dan ras tertentu. Jumlah korban TKW di Malaysia, negara yang serumpun dengan Indonesia, tidak lebih kecil ketimbang kasus penganiayaan di negara-negara Timur Tengah. Generalisasi demikian, selain tidak rasional, juga bukan solusi. Di luar semua itu, ke-mubah-an perempuan bekerja tidaklah cukup menjadi alasan pengiriman TKI ke luar negeri. Ia harus dibarengi dengan sejumlah persyaratan lain, seperti jaminan keselamatan, hak untuk mendapatkan gaji yang layak, kebebasan melakukan aktivitas dan melaksanakan ibadah. Karena itu, Pemerintah semestinya tidak hanya gembargembor TKW adalah pahlawan devisa, tapi menutup telinga dari jeritan mereka saat dijadikan objek penipuan, manipulasi, pemerasan dan penganiayaan.

Anda mungkin juga menyukai