Anda di halaman 1dari 156

BAB I.

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Sejak dahulu umat manusia menyadari bahwa kelangsungan hidupnya di muka bumi ini mempunyai hubungan saling ketergantungan

(interdependency) dengan komponen lingkungan alam sekitarnya. Namun kearifan semacam ini sering diabaikan hanya untuk kepentingan sesaat, bahkan dalam tingkat pemanfaatan sumber alam yang melampaui batas ambang dari kemampuan daya dukungnya untuk memperbaharui diri, telah membawa berbagai dampak negatif terhadap keberadaan kehidupan manusia itu sendiri. Sumber daya hutan sebagai bagian dari sumber-sumber alam dengan berbagai keragaman tipe ekosistemnya (mega biodiversity) dan sekaligus sebagai produsen barang berupa kayu dan non kayu serta jasa lainnya, dewasa ini fungsi dan kualitasnya cenderung menurun. Berbagai issu global tentang degradasi kawasan hutan tropis merupakan hal yang sudah tidak dapat dipungkiri lagi. Dalam kaitan ini kawasan hutan tropis Indonesia yang menempati urutan kedua terluas setelah negara Brazil, seyogyanya perlu diselamatkan dari berbagai kerusakan melalui serangkaian upaya baik yang dilaksanakan oleh Pemerintah, swasta maupun partisipasi aktif dari masyarakat Indonesia (stakeholder). Pembangunan kehutanan sebagai bagian integral dari pembangunan

nasional dan daerah yang pada masa lampau selama lebih kurang tiga dekade bertumpu pada pembangunan ekonomi dalam kaitan untuk perolehan devisa negara berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi nasional namun pada pihak lain membawa dampak negatif berupa kerusakan sumber daya hutan dan lingkungan hidup. Oleh karenanya dalam era reformasi saat ini komitmen untuk mengembalikan fungsi setiap kawasan hutan sesuai dengan peruntukannya secara optimal dan lestari merupakan suatu hal yang tidak dapat ditunda lagi.

Upaya dalam penanggulangan kerusakan hutan dan lahan di Propinsi Jawa Barat yang telah dilaksanakan sampai dengan Tahun Dinas (TD) 2001 pada dasarnya belum sebanding dengan laju kerusakan hutan yang terjadi, sehingga belum banyak berdampak nyata dalam memulihkan lingkungan hidup. Selanjutnya disadari pula bahwa dalam pelaksanaan program rehabilitasi pada masa lampau memiliki berbagai kelemahan diantaranya belum terintegrasinya sinergi pelaksanaan sistem perencanaan di daerah/wilayah sehingga antar sektor belum optimal, tida k terjaminnya

kesinambungan pemeliharaan tanaman hutan dan lahan yang telah direhabilitasi serta peranan stakeholder sebagai inisiator dan pengelola rehabilitasi hutan dan lahan belum muncul. Memperhatikan kondisi tersebut di atas, maka Departemen Kehutanan pada TD. 2001 kembali memperhatikan dan meletakkan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan dimaksud sebagai salah satu prioritas pembangunan kehutanan sebagaimana yang telah tertera dalam Rencana Strategis (Renstra) Departemen Kehutanan dan Perkebunan tahun 2001-2005. Lebih lanjut dengan terbitnya UU RI. No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU RI No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan serta UU RI. No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, terkandung makna kewenangan daerah untuk merencanakan dan melaksanakan program pembangunan semakin luas termasuk kewenangan dalam mewujudkan perencanaan dan pelaksanaan operasional di bidang rehabilitasi hutan dan lahan. Dipihak lain terdapatnya perubahan paradigma pembangunan rehabilitasi hutan dan lahan kritis dari pendekatan sentralistik menjadi pendekatan partisipatif dan dari timber manajemen menjadi Forest Resources Management yang melihat bahwa hutan dan lahan sebagai suatu kesatuan ekosistem yang utuh. Sesuai dengan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 419 / Kpts- II / 1999 tanggal 15 Juni 1999 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan, maka luas indikatif kawasan hutan di Propinsi Jawa Barat

berdasarkan ploting pada peta hasil digitasi seluas 791.519,34 Ha dan di luar kawasan hutan seluas 2.763.982,66 ha dengan rincian sevagai berikut : I. KAWASAN HUTAN seluas 791.519,34 ha terdiri dari : A. Hutan tetap seluas 791.519,34 ha terbagi menjadi: 1. Hutan Lindung/Hutan Konservasi a. b. 2. Hutan Lindung KSA-KPA : : : : : : : 302.031,73 ha 170.271,97 ha 0 ha 203.105,71 ha 116.109,93 ha

Hutan Produksi a. b. Hutan Produksi Hutan Produksi Terbatas

B.

Hutan yang dapat dikonversi

II. LUAR KAWASAN HUTAN /APL /AREAL PENGGUNAAN LAINNYA A. AREAL PENGGUNAAN LAINNYA = : (APL) 2.763.982,66 ha

Secara umum kerusakan kawasan hutan di Propinsi Jawa Barat disebabkan antara lain lemahnya sistem dan mekanisme pengawasan dan pengamanan kawasan hutan, belum optimalnya penegakan hukum atas berbagai pengerusakan kawasan hutan, masih berlangsungnya illegal logging,

lemahnya rasa tanggungjawab dan kebersamaan serta kelembagaan masyarakat desa di sekitar kawasan hutan untuk menolak berbagai pengrusakan hutan yang ada disekitarnya yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jaw ab. Menyadari akan betapa kompleksnya dampak negatif yang ditimbulkan akibat kerusakan kawasan hutan dimaksud, maka seyogyanya dalam era otonomi daerah secara lebih sungguh-sungguh mengupayakan terus berbagai kegiatan untuk keberhasilan rehabilitasi hutan dan lahan. Dari berbagai pendekatan rehabilitasi hutan yang telah dilaksanakan selama ini misalnya baik berupa Inpres Reboisasi pada kawasan HL, pola Hutan Kemasyarakatan (HKm) pada kawasan HP, belum juga dapat diandalkan . Hal yang sama

juga terjadi pada kegiatan rehabilitasi lahan baik melalui sistem agroforestry, pembuatan UP-UPSA, sengkedan, terasering dan pembangunan cekdam belum memadai. Dalam hal mempercepat pemulihan secara bertahap dan terencana lahan kritis yang ada, maka diperlukan suatu perencanaan yang terintegrasi, realistik dan partisipatif serta sesuai dengan karakteristik wilayah Jawa Barat yang diwujudkan melalui MP-RHL Daerah. Secara ringkas MP-RHL Daerah Provinsi Jawa Barat tahun 2003 2007 adalah merupakan rencana makro Propinsi yang berisikan materi arahan dan kebijakan, metoda, kaidah pelaksanaan dan strategi penanganan serta rencana dan program. B. Maksud , Tujuan dan Manfaat Materi MP -RHL Daerah Provinsi Jawa Barat tahun 20032007 disusun dengan maksud agar daerah memiliki suatu konsepsi yang jelas untuk melaksanakan upaya RHL sesuai karakteristik daerah. Adapun tujuan MPRHL Daerah ialah menghasilkan arahan makro penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan guna memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan produktifitas hutan dan lahan melalui pelaksanaan yang efektif dan efisien (tepat lokasi, tepat sasaran, ekonomis dan merangsang pertumbuhan ekonomi masyarakat) serta mendukung terwujudnya komitmen dan visi bersama terhadap penanganan sumber daya hutan dan lahan (pasal 2 SK. Menhut No. 7211/Kpts -II/2002 tanggal 29 Juli 2002. Beberapa manfaat yang dapat diharapkan dari MP-RHL Daerah Propinsi Jawa Barat ini, antara lain mencakup : 1. Bahan perencanaan untuk penyusunan program RHL per masing masing kabupaten/kota khususnya sebagai acuan dalam penyerapan dan pengalokasian pendanaan kegiatan RHL melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) Dana Reboisasi (DR) di daerah maupaun dana lain yang tidak mengikat.

2. 3.

Sebagai dasar komitmen bersama dalam penanganan kegiatan RHL. Bahan pengawasan dan pengendalian kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan termasuk untuk monitoring dan evaluasi perkembangan

pelaksanaan kegiatan lapangan. 4. Pedoman dan bahan informasi resmi bagi para pihak investor dan masyarakat umum lainnya dalam berpartisipasi untuk mewujudkan percepatan dan keberhasilan program reboisasi dan rehabilitasi hutan dan lahan. C. Sasaran Secara umum sasaran dari MP-RHL Daerah ini adalah terpulihkannya lahan yang tidak dan/atau kurang produktif pada setiap wilayah DAS/sub DAS maupun wilayah DAS/Sub DAS prioritas yang dianalisis karena kepentingan khusus terkait dengan vital pembangunan di wilayah dan ditempuh secara bertahap dan berkelanjutan. Oleh karenanya sasaran utama rehabilitasi hutan dan lahan di Propinsi Jawa Barat diimplementasikan pada semua kawasan hutan kecuali pada kawasan hutan Cagar Alam (CA), zona inti Taman Nasional (TN) Gn. Gede Pangrango dan TN Gn Halimun. Target keseluruhan sasaran fisik rehabilitasi hutan dan lahan dalam skala Propinsi Jawa Barat serta sesuai dengan data kawasan indik atif RRH (Baplanhut, 2001) seluas 3.033000 Ha.

D. Batasan dan Pengertian 1. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistim berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (pasal 1 ayat 2 UU RI No. 41 tahun 1999 ).

2.

Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap (pasal 1 ayat 3 UU RI No. 41 tahun 1999).

3.

Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang dibatasi punggung-punggung bukit sebagai suatu kesatuan hidrologi yang berfungsi sebagai penerima, penampung, dan penyimpan air hujan untuk kemudian dialirkan ke laut / danau melalui sungai utama.

4.

RHL

dim aksudkan hutan

untuk serta

memulihkan, peranannya

mempertahankan mendukung

dan sistem

meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung dan produktifitas dalam penyangga kehidupan tetap terjaga (pasal 40 UU RI No. 41 tahun 1999). 5. Reboisasi adalah upaya menghutankan kembali lahan kritis dalam

kawasan hutan dalam rangka rehabilitasi lahan 6. Penghijauan adalah upaya pemulihan lahan kritis secara vegetatif dengan komoditi tanaman kehutanan dan perkebunan atau tanaman tahunan di luar kawasan hutan. 7. Rehabilitasi lahan kritis diluar kawasan hutan berorientasi pada

pemberdayaan ekonomi kerakyatan dengan prinsip untuk mengurangi resiko dampak eksternal yang negatif (banjir dan kekeringan). 8. Rehabilitasi lahan kritis diarahkan pada terwujudnya hutan rakyat dan pemulihan lahan untuk usaha tani konservasi. 9. Sistem RHL merupakan sistem terbuka yang melibatkan para pihak yang berkepentingan dengan penggunaan hutan dan lahan. Dengan demikian prinsip RHL diselenggarakan atas inisiatif bersama. 10. Dana Reboisasi adalah dana untuk reboisasi dan rehabilitasi hutan serta kegiatan pendukungnya yang dipungut dari pemegang ijin usaha pemanfaatan hasil hutan alam yang berupa kayu (PP No. 35 tahun 2002 pasal 1 ayat 1).

11. MP-RHL adalah rencana makro tingkat provinsi atau kabupaten/kota yang berjangka waktu 5 (lima) tahun yang berisi mengenai arah, kebijaksanaan dan strategi penanganan RHL berdasarkan prinsip dan kriteria RHL dan penerapannya dalam wilayah administrative dengan tetap memperhatikan rencana RHL berbasis DAS. 12. Pemantapan kawasan hutan adalah serangkaian strategi pengelolaan yang mewujudkan kawasan hutan bebas konflik dan kawasan hutan

yang berfungsi sesuai dengan peruntukannya. 13. Stabilitas ekosistem adalah dipertahankannya struktur dan fungsi ekosistem hutan berikut komponen-komponennya dalam kapasitas optimal yang tidak mengganggu sistem ekologi penyangga kehidupan. 14. Stakeholder adalah masyarakat/komuniti sosial baik perorangan,

kelompok, lembaga dan badan hukum milik pemerintah maupun masyarakat (swasta) yang berminat dan komit serta bertanggungjawab dalam mendukung program rehabilitasi hutan dan lahan di daerah maupun kepatutan dalam menerima manfaat RHL. 15. Hutan Kemasyarakatan adalah hutan negara dengan sistem pengelolaan hutan yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat setempat tanpa mengganggu fungsi pokoknya (pasal 1 Keputusan Menteri Kehutanan No. 31/Kpts-II/2001). 16. Partisipasi masyarakat (stakeholder) adalah segala upaya peran aktif masyarakat dalam ikut serta memulihkan kondisi hutan dan lahan secara kons isten dan mandiri.

BAB II. ARAH PEMBANGUNAN DAERAH

Permasalahan Pokok Daerah


Memperhatikan kondisi umum di daerah sebagaimana yang tertera pada materi Pola Dasar Pembangunan Daerah Propinsi Jawa Barat s/d 2010, beberapa permasalahan pokok yang ada me liputi bidang : 1. Pertanahan. 2. Kehutanan. 3. Perburuhan. 4. Kesehatan. 5. Pertambangan. Sesuai dengan hasil kajian pengelolaan sumber daya alam beberapa permasalahan pokok daerah yang cukup menonjol dari segi lingkungan antara lain meliputi : 1. Penebangan liar (illegal logging) dan kebakaran hutan. 2. Pencemaran air minum. 3. Penggundulan menyisakan tanah yang tak dapat dipanen. 4. Pencemaran sungai/danau. 5. Pencemaran laut. 6. Hilangnya pertanian/tanah pertanian. 7. Perluasan gurem/tanah gersang. 8. Pencemaran kimia pada tanah. 9. Pencemara n udara oleh mobil/industri. 10. Pemakaian zat kimia berbahaya (pestisida/herbisida). Jika ditinjau dari aspek pembangunan kehutanan yang ada di Daerah Jawa Barat, beberapa permasalahan pokok kehutanan yang cukup menonjol antara lain meliputi : 1. Sebagian besar kawasan hutan yang ada belum dan/atau kurang berfungsi sesuai dengan peruntukannya. Hal ini terutama disebabkan

terjadinya okupasi lahan kawasan hutan dan laju penebangan kayu illegal yang relatif cukup tinggi dibanding dengan upaya kegiatan rehabilitasi hutan. 2. Masih lemahnya penerapan penegakan hukum dan sanksi sehingga belum menimbulkan dampak jera terhadap oknum atau masyarakat pelaku perusak hutan.
3. Masih cukup rawannya kebakaran hutan pada musim kering dan upaya

penyuluhan

kehutanan

belum

berdampak

luas

di

tengah-tengah

kehidupan masyarakat.
4. Terjadinya kelangkaan bahan baku kayu lokal secara legal dan harga

kayu illegal relatif cukup mahal. 5. Kemampuan aparat keamanan hutan yang ada di daerah/wilayah sangat terbatas dalam upaya pengamanan kawasan (jumlah personil dan sarana operasional). Selanjutnya secara spesifik permasalahan kehutanan yang cukup nyata dalam kegiatan rehabilitasi hutan, khususnya pada kegiatan reboisasi dan penghijauan pada masa lampau yang menyebabkan kegagalan tanaman antara lain : 1. Di dalam lokasi areal reboisasi terdapat perkebunan rakyat sehingga menyebabkan tanaman reboisasi mengalami kerusakan karena dibakar dan ditebas oleh masyarakat. 2. Jenis tanaman yang dipilih untuk ditanam belum sepenuhnya disesuaikan dengan kondisi iklim lokasi setempat. 3. Kegiatan pemeliharaan terhadap tanaman reboisasi tanaman lepas proyek kurang mendapatkan dan penghijauan pemeliharaan dan

hanya dilakukan untuk waktu 2 (dua) tahun setelah penanaman, sehingga

pengawasan. Dengan kata lain tata waktu pemelihara an tanaman kurang tepat waktu dengan sistem pencairan anggaran. 4. Belum terlihat secara nyata perhatian atau kepedulian masyarakat luas atas kegiatan reboisasi dan penghijauan yang dilaksanakan.

5. Belum terdapat kriteria penilaian mengenai keberhasilan stake holders ditingkat lapangan yang dikaitkan dengan tanggung jawab dalam mengamankan hasil kegiatan pembangunan lingkungan hidup. B. Kebijakan Pembangunan Daerah 1. Umum Secara yakni umum aspek di arah kebijakan pembangunan ekonomi, Daerah politik, Jawa Barat sosial

sebagaimana tertuang dalam Perda Provinsi Jawa Barat meliputi 11 aspek bidang hukum, agama,

budaya/kemasyarakatan, pendidikan, riset dan teknologi, sumber daya alam dan lingkungan hidup, pengembangan wilayah, keamanan dan ketertiban serta koordinasi, pembinaan dan pengawasan. Keseluruhan kebijakan yang ada diarahkan untuk dapat mendukung pembangunan daerah yang berkelanjutan, berkeadilan dan saling sinergik dalam mewujudkan

kesejahteraan masyarakat. 2. Kehutanan Arah kebijakan pembangunan daerah yang terkait dengan sektor kehutanan di daerah sebagai bagian dari aspek sumber daya alam dan lingkungan hidup dari 11 butir kebijakan maka yang terkait dengan kehutanan meliputi 10 butir : a. Mengelola sumberdaya alam dengan prinsip peningkatan

kesejahteraan rakyat dari generasi ke generasi melalui pendekatan mekanisme pasar (market based instrumen) yang terkendali. b. Meningkatkan potensi sumber daya alam dan fungsi lingkungan hidup serta pemanfaatannya dalam melakukan konservasi dan rehabilitasi serta penghematan pengunaannya dengan penerapan teknologi berwawasan lingkungan. c. Mengoptimalkan kewenangan provinsi, kabupaten dan kota dalam pelaksanaan pengelolaan sumber daya alam secara efektif dan efisien agar pemeliharaan lingkungan hidup secara selektif sehingga situasi

dan kualitas ekosisitim tetap terjaga yang diatur dengan perundangundangan dan peraturan daerah. d. Mendayagunakan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat dengan memperhatikan kelestarian dan fungsi keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan berkelanjutan,

kepentingan ekonomi, budaya masyarakat dan penataan ruang penguasaanya diatur oleh peraturan daerah. e. Menerapkan indikator-indikator yang memungkinkan pelestariaan

kemampuan, keterbaharuan dan pengolahaan sumber daya alam yang dapat diperbaharui untuk mencegah kerusakan yang tidak dapat diperbaiki lagi dengan indikator-indikator untuk mengetahui

keberhasilan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan. f. Mengatur penguasaan pemilikan tanah, pengurusan hak-hak tanah dan pengalihan hak atas tanah dengan mengedepankan aspek hukum dan kepentingan umum. g. Meningkatkan penyediaan dan pemanfaatan sumber energi dan tenaga listrik yang relatif murah, berwawasan lingkungan, berkelanjutan dan pengelolaannya diatur dengan peraturan daerah. h. Mempertahankan dan memulihkan kondisi kawasan lindung agar terjaga keseimbangan lingkungan dan berfungsi baik sebagai

perlindungan sumber-sumber air, tanah longsor, banjir, erosi dan sendimentasi. i. Mengatur pengamanan terhadap garis pantai terutama guna menjaga pelestarian tanaman bakau, biota laut, terumbu karang dan lain-lain. j. Mengusahakan pengelolaan sumber daya hutan dan kebun serta kawasan konservasi dengan azas kelestarian dan optimalisasi manfaat dengan mewujudkan peran serta masyarakat. Dari arah kebijakan pembangunan daerah dimaksud dan memperhatikan perkembangan kegiatan pembangunan yang ada dewasa ini, maka upaya penyelamatan sumber daya hutan sudah saatnya memerlukan perangkat

peraturan yang lebih tegas terutama untuk

menghentikan segala bentuk

aktifitas penebangan kayu illegal dari dalam kawasan hutan dan okupasi kawasan hutan oleh masyarakat guna keberhasilan rehabilitasi hutan. Dalam kaitan tersebut maka kontribusi pembangunan kehutanan di daerah/wilayah terhadap PAD hendaknya untuk beberapa tahun ke depan dihitung melalui pendekatan kemajuan mutu baku lingkungan fisiknya. Oleh karenanya upaya kebijakan Pemerintah Daerah dalam solusi

pemenuhan kebutuhan bahan baku kayu lokal untuk sementara waktu hendaknya ditempuh melalui pasokan kayu secara legal dari luar Provinsi Jawa Barat yang sekaligus tatanan mekanisme akan dapat meningkatkan pemasukan bagi kebutuhan PAD. Sebagai barometer ke depan atas upaya keberhasilan rehabilitasi yang ditempuh dapat ditinjau dari beberapa segi antara lain : 1. Menurunnya tingka t degradasi hutan. 2. Meningkatnya pemantapan kawasan hutan. 3. Menurunnya kesenjangan antara suplay dan demand kayu. 4. Meningkatnya pembangunan hutan rakyat, HKM dan HTS. 5. Menurunnya persepsi masyarakat luar daerah atas pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan dan sekaligus membawa konsekuensi positif atas pemantapan ekspor daerah.

Pada akhirnya arah pembangunan daerah Jawa Barat diarahkan untuk mempercepat proses pencapaian tujuan pembangunan nasional dalam suasana demokratis, tenteram, aman, rukun dan damai dengan menjunjung tinggi supremasi hukum dan keadilan untuk kemakmuran rakyat. Dalam hal ini sumber daya alam yang berupa hutan dan lahan dioptimalkan pemanfaatannya secara berkelanjutan.

BAB III.

KONDISI KAWASAN HUTAN DAN LAHAN

A. Kawasan Hutan dan Lahan

1. Kabupaten BOGOR Hutan yang berada di Kabupaten Bogor berdasarkan fungsinya terdiri dari hutan konservasi seluas 5.737,75 Ha, hutan lindung seluas 13.005,30 Ha, hutan produksi seluas 45.983,38 Ha dan hutan rakyat seluas 13.320 Ha sehingga penutupan kawasan hutan di Kabupaten Bogor seluas 64.726,43 Ha (20,41 %) dari luas Kabupaten Bogor yaitu 317.102 Ha. Sesuai UU No.41 tahun 1999 ditetapkan bahwa luas kawasan hutan yang harus dipertahankan minimal 30% dari luas DAS. Bila mengacu ketentuan tersebut Kabupaten Bogor masih diperlukan vegetasi sebesar 9,59% sehingga upaya rehabilitasi hutan dan lahan masih sangat diperlukan, sedangkan kondisi lahan kering di Kabupaten Bogor yang berpotensi sebagai hutan rakyat seluas 38.400 Ha. Pengelolaan hutan yang baik diharapkan memberikan produksi yang baik ditinjau secara kualitas dan kuantitasnya yang secara proposional berimbang antara kapasitas sumber daya dengan ekosistem hutan.

Dalam pengelolaannya di dalam kawasan hutan terdapat sumber daya alam potens ial dimana satu sisi memiliki nilai ekonomi yang tinggi, tetapi berdampak besar terhadap lingkungan secara menyeluruh jika pengelolaannya tidak dilakukan dengan memperhatikan aspek kelestarian hasil.

Hasil utama produk hutan dan produk sampingan hutan pada tahun 2000 di Kabupaten Bogor sebagai berikut : produk utama kayu sebanyak 41.052 m3, produk sampingan jamur sebanyak 3.852 Kg dan bambu 1.111.993 batang.

Kondisi yang ada melalui berbagai kegiatan lapangan yang dilaksanakan oleh Dinas Kehutanan Propins i dan Kabupaten, BP DAS Citarum-Ciliwung dan stake holders lainnya termasuk hasil survey biofisik dan sosekbud, secara umum menunjukkan halhal sebagai berikut : a. Kawasan HSA/KPA untuk lokasi yang berbatasan dengan pemukiman masyarakat pada umumnya telah dirambah untuk berbagai aktifitas pertanian dan sebagian sering mengalami kebakaran. b. Kawasan HL yang masih utuh (kerapatan tegakan sedang sampai rapat) hanya berada pada lokasi-lokasi puncak gunung atau bukit yang mempunyai topografi curam sedangkan selebihnya telah diokupasi oleh masyarakat untuk pemukiman secara illegal dan berbagai usaha pertanian (kebun kelapa, cengkeh dan sebagainya). c. Kawasan HPT dan HP sebagian besar telah berubah fungsinya untuk kegiatan illegal pemukiman dan lahan usaha pertanian lainnya. d. Dari data dan informasi sosekbud masyarakat menunjukan bahwa : 1) Tingkat kesadaran masyarakat/pemukiman (illegal) untuk keluar dari kawasan hutan masih rendah dan memerlukan waktu serta beberapa tahapan guna kemapanan kehidupannya. 2) Pada daerah hulu DAS Ciujung tingkat partisipatif masyarakat (tokoh adat, lembaga keagamaan dan LSM lainnya) sebagian kecamatan dan desa-desa tertentu telah muncul dalam turut serta mengembangkan tugas rehabilitasi hutan. 3) Masih terdapat beberapa pengaruh oknum yang kurang

bertangungjawab yang melibatkan masyarakat sekitar hutan untuk

pemanfaatan tegakan hutan yang tersisa (kelangkaan bahan baku kayu lokal). 4) Belum adanya hal yang nyata mengenai masuknya investor dalam berbagai kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (kepastian usaha, tingkat konflik lahan dan sebagainya). 2. Kota BOGOR dan DEPOK Penggunaan lahan di Kota Bogor terdiri dari : pekarangan 869,286 ha, sawah 1.006 ha, kebun 1.479,67 ha, hutan negara 150 ha, perkebunan 309,621 ha, kolam 117,70 ha, lain-lain 7.917,723 ha, sehingga luas total penggunaan lahan di kota Bogor adalah 11.850 ha. Secara umum terdapat berbagai luasan lahan dari berbagai klasifikasi tinggi adalah sebagai berikut : pada ketinggian 0-200 m dpl terdapat luas 4.028 ha, pada ketinggian 201-250 terdapat luasan 2.925 ha, pada ketinggian 251-300 terdapat luasan 1.695 ha dan pada ketinggian > 301 m dpl terdapat luasan 3.202 ha. Selain itu di kota Depok terdapat Tahura Pancoran Mas seluas + 7,20 ha 3. Kabupaten / Kota BEKASI Kabupaten Bekasi memiliki lahan kering ? 71,311 ha, terdiri dari tanah pekarangan dan bangunan 30.647 ha, tegal, kebun, ladang dan huma 10.887 ha, rawa-rawa 83 ha, tambak dan empang 9.836 ha, tanah tidak diusahakan 944 ha, hutan rakyat dan kayu-kayuan 2.066 ha, yangh sebagian besar berupa tanaman sengon, bambu dan akasia, sertatanah lainnya 16.848 ha. Terdapat juga Hutan Lindung ( Rawa Gembong) seluas + 11.603,70 ha Dari rincian tersebut lahan-lahan yang cukup potensial untuk pengembangan hutan masih cukup luas, hutan rakyat (2.066 ha), tegal, kebun, ladang dan huma ( 10.887 ha ) dan lahan lainnya ( 16.848 ha ), dengan tingkat kemiringan antara 10 25 ? serta kondisi topografi bergelombang.

Secara umum kondisi kawasan hutan yang ada menunjukan hal - hal sebagai berikut : a. Dari data dan informasi sosekbud masyarakat menunjukkan bahwa : 1) Tingkat kesadaran masyarakat relatif masih rendah dan

kecenderungan sebagian masyarakat terlibat dalam aktifitas illegal logging yang didukung oleh kepentingan oknum yang kurang bertangungjawab (keterbatasan kayu legal lokal). 2) Terdapat animo dari berbagai pihak swasta untuk terlibat dalam kegiatan pengelolaan kawasan hutan. Dalam hal ini daerah perlu selektif dan meningkatkan fungsi pengawasan guna menekan laju degradasi kawasan hutan. 3) Budaya masyarakat dalam hal pelaksanaan rehabilitasi hutan cukup bervariasi antara kawasan hutan. 2. Kabupaten / Kota TASIKMALAYA Wilayah Kabupaten Tasikmalaya luas lahan keringnya adalah 126.813,34 Ha, terdapat kawasa hutan negara seluas 47.177,33 Ha yang terdiri dari hutan produksi seluas 29.155,29 Ha dan hutan lindung seluas 18.022,04 Ha. Pada areal hutan produksi dibagi menjadi tiga kelas perusahaan yaitu kelas perusahaan jati seluas 14.039,28 Ha, kelas perusahaan pinus seluas

17.540,99 Ha dan kelas perusahaan mahoni seluas 7.540,03 Ha. Luas hutan rakyat seluas 23.626,21 Ha dengan komoditas dominannya adalah albasia/sengon, mohoni dan bambu. Di wilayah Kabupaten Tasikmalaya terdapat 6 (enam) Sub Daerah Aliran Sungai (Sub DAS) yaitu Sub DAS Citanduy Hulu, Sub DAS Ciseel, Sub DAS Ciwulan Hulu, Sub DAS Ciwulan Hilir, Sub DAS Cilangla dan Sub DAS Cimedang. Luas lahan kritis seluas 17.510 Ha, sedangkan yang sudah ditangani melalui kegiatan penghijauan seluas 7.460 Ha. Sehingga luas lahan kritis sampai dengan saat ini seluas 10.050 Ha.

5.

Kabupaten MAJALENGKA Wilayah Kabupaten Majalengka mempunyai lahan kritis seluas 44.498,02 Ha, Meliputi keadaan sangat kritis 2324.2 Ha, kritis 13.173,71 Ha, agak kritis 18.818.7 Ha dan Potensial Kritis 10.176.41 Ha (ILK, Tahun 1999). Keadaan Hutan di Kabupaten Majalengka meliputi : Hutan Negara seluas 26.383,09 Ha yang terdiri dari HL 5.146,42 ha dan HP 21.236,67 Ha. hutan rakyat seluas 6.646 Ha. Jadi seluruhnya hutan yang ada di Majalengka seluas 30.416,53 Ha (25,2 % dari luas wilayah ). Kondisi hidrologisnya sangat dipengaruhi oleh 2 Sub DAS yaitu Sub. DAS Cilutung, dan Sub Das Cimanuk Hilir. Kedua anak Sungai Cimanuk tersebut sangat mempengaruhi sekali terhadap tindakan atau pola penanganan lahan kritis yang dilaksanakan oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan.

6. Kabupaten CIAMIS / Kota BANJAR Hutan yang berada di Kabupaten Ciamis idealnya 76.773 Ha sedangkan yang ada 36.674,93,93 Ha terdiri dari hutan produksi 27.248,98 ha, hutan lindung 3.082,95 ha dan Hutan Konservasi 6.343 Ha, sedangkan berdasarkan pemanfaatannya terdiri dari : hutan rakyat seluas 28.945,5 Ha, Persuteraan Alam seluas +/- 5.145 Ha dengan luas kebun Murbei +/33,70 Ha. Sedangkan potensi bambu yang tersebar di wilayah Kabupaten Ciamis seluas 3.132 Ha. Luas lahan kritis di Kabupaten Ciamis baik secara hidroorologis maupun ekonomis masih cukup luas yaitu 72.262,78 Ha yang terdiri dari ; sangat kritis 13.460,65 Ha, kritis 4.829,26 ha, agak kritis 37.789,69 Ha dan potensial kritis 16.183,18 Ha. Dalam pengelolaannya di dalam k awasan hutan terdapat sumber daya alam potensial dimana satu sisi memiliki nilai ekonomi yang tinggi, tetapi berdampak besar terhadap lingkungan secara menyeluruh jika pengelolaannya tidak dilakukan dengan memperhatikan aspek kelestarian hasil.

Hasil utama produk hutan dan produk sampingan hutan pada tahun 2000 di Kabupaten Ciamis sebagai berikut : produk utama kayu sebanyak 7.441 M3 Pinus, 21.028,6654 M3, serta Non kayu (getah Pinus) 368,169 Kg. Sedangkan dari Hutan rakyat tercatat untuk Jati 4.397,281 M Mahoni 3, 20.092,227 M3, Albizzia dan rimba lainnya 1.052,773 M3, Kayu Bakar 5.108,456 M3. 7. Kabupaten SUBANG Saat ini KAWASAN HUTAN yang berada di wilayah Kabupaten Subang termasuk KPH Bandung Utara dan KPH Purwakarta dengan luas lahan 36.848,80 ha atau 17,9 % dari luas Kabupaten Subang, termasuk di dalamnya kawasan wisata Tangkuban Perahu, penangkaran buaya Blanakan dan wisata air terjun Curug Cijalu Sagalaherang, sehingga secara proporsional belum mencapai luas kawasan hutan ideal (30 % dari luas wilayah). Luas kawasan hutan Kabupaten Subang adalah 26.053,15 ha, terdiri dari hutan produksi 15.617,35 ha dan hutan lindung 10.435,80 ha. Sedangkan di LUAR KAWASAN HUTAN yang lazim disebut Hutan Rakyat yaitu berdasarkan UU. Nomor. 41 tahun 1999 dalam pasal 5 disebutkan bahwa hutan hak yang berada pada tanah yang dibebani hak milik disebut Hutan Rakyat. Luas Hutan Rakyat 6.866,3 ha berada pada 14 kecamatan yang potensial dengan luas lahan kritis mencapai 18.750 ha (hasil pendataan lahan kritis pada tahun 1998). Upaya penghijauan telah dilaksanakan mulai tahun anggaran 1999/2000 sampai tahun 2002 seluas 4.141 ha dengan rincian sebagai berikut :

Tabel 1. Upaya Penghijauan Kabupaten Subang Tahun 1999 s/d 2002. NO. 1. 2. 3. 4. TAHUN ANGGARAN 1999/2000 200 2001 2002 JUMLAH LUAS PENGHIJAUAN (HA) 2.115 1.638 206 182 4.141

Disamping itu penataan hutan kota direncanakan akan mulai dilaksanakan pada tahun 2003 seluas lebih kurang 14 ha yaitu Hutan Kota Rangga Wulung. Kualitas lingkungan juga menurun terutama pada ekosistim hutan yang berada pada daerah pegunungan termasuk sumber mata air, yang juga menyebabkan ti,bulnya banjir, longsor, pendangkalan sungai yang mengakibatkan bertambah luasnya tanah timbul sepanjang lebih kurang 45 km di pesisir pantai utara (Pantura) Kabupaten Subang sehingga berpengaruh terhadap perkembangan biota ikan karena terganggunya hutan mangrove. 8. Kabupaten PURWAKARTA a. Di dalam Kawasan Hutan Luas kawasan hutan yang masuk ke dalam wilayah administrasi Kabupaten Purwakarta adalah : o o o Hutan Lindung seluas Hutan Konservasi / Cagar Alam seluas Hutan Produksi seluas seluas 1.203,8 ha. b. Di luar Kawasan Hutan 2.365,64 ha 2.700 ha

14.427,02 ha

Pada hutan produksi ini terdapat lahan kosong / lahan kritis

Lahan kritis di wilayah Kabupaten Purwakarta tersebar di 17 kecamatan seluas 8.148 ha dengan pengelempokan tingkat kekritisan lahan sebagai berikut : Sangat kritis Kritis Agak kritis Potensial kritis : 690 ha

: 3.084,5 ha : 3.515,5 ha : 858 ha

9. Kabupaten / Kota SUKABUMI

a. Di dalam Kawasan Hutan (HPK, HPT, HP HL dll)


Luas Hutan di dalam kawasan pada wilayah Kabupaten Sukabumi adalah 121.711 ha terdiri dari :
1. Hutan Produksi (Perhutani) 2. 2. 3. 4. Hutan Lindung (Perhutani) Taman Nasional Gede Pangrango Taman Nasional Gunung Halimun Hutan di wilayah BKSDA

70.036,88 ha 12.579,12 ha 6.832,00 ha


23.520,00 ha 8.743,00 ha

b. Di luar Kawasan Hutan


14.664,00 Hutan Rakyat

Dengan demikian luas keseluruhan baik di dalam maupun di luar kawasan hutan adalah 121.773,40 ha. Berdasarkan fungsinya maka kondisi hutan pada Kabupaten Sukabumi dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

Tabel 2.
No. 1

Kondisi Hutan Kab. Sukabumi Berdasarkan Fungsinya.


Luas (Ha)

KLASIFIKASI FUNGSI HUTAN HUTAN KONSERVASI Tam an Nasional Gede Pangrango Taman Nasional Gunung Halimun Suaka Margasatwa Cikepuh Cagar Alam Cibanteng Cagar Alam Palabuhanratu Caga Alam dan Taman Wisata Alam Sukawayana LUAS TOTAL KAWASAN H UTAN KONSERVASI

6.832,00 23.520,00 8.247,00 437,00 24,00 35,00 39.095,00

HUTAN LINDUNG PT. PERHUTANI: a. BKPH Cicurug b. BKPH Cikawung c. BKPH Bojonglopang d. BKPH Palabuhanratu e. BKPH Jampangkulon 4.082,30 1.615,80 1.460,00 5.265,62 155,40 12.579,12

LUAS TOTAL KAWASAN HUTAN LINDUNG 3 HUTAN PRODUKSI PT. PERHUTANI a. BKPH Cicurug b. BKPH Gede Barat c. BKPH Cikawung d. BKPH Sagaranten e. BKPH Bojonglopang f. BKPH Lengkong g. BKPH Palabuhanratu h. BKPH Jampangkulon i. UP3 Gunung Arca TOTAL HUTAN PRODUKSI PT. PERHUTANI Hutan Rakyat TOTAL HUTAN PRODUKSI KABUPATEN SUKABUMI

5.709,80 5.721,80 3.945,66 7.785,00 4.495,59 15.946,45 12.854,54 13.078,04 500,00 70.036,88 14.664,00 84.700,88

No. 4

KLASIFIKASI FUNGSI HUTAN HUTAN CADANGAN PT. PERHUTANI a. BKPH Cicurug b. BKPH Lengkong c. BKPH Palabuhanratu d. BKPH Jampangkulon TOTAL HUTAN CADANGAN KABUPATEN SUKABUMI Total Hutan Sukabumi Berdasarkan Fungsi

Luas (Ha)

281,72 182,00 600,00 1.390,00 2.453,37 121.773,40

10. Kabupaten SUMEDANG a. Kawasan Hutan Kabupaten Sumedang dengan luas wilayah 152.220 Ha memiliki kawasan hutan seluas 50.079,08 Ha atau 32,90 % dari luas wilayah kabupaten Sumedang. Rincian kawasan hutan adalah sebagai berikut: 1. Hutan Negara (PT.Perhutani) Hutan lindung Hutan Produksi dan HPT = = = 2.224,86 Ha 34.056,92 Ha 36.281,78 Ha

Jumlah 2. Hutan Konservasi (BKSDA) Taman Wisata Alam Cagar Alam Taman Buru Jumlah

= = = =

1.250 126,6

Ha Ha

12.420,70 Ha 13.797,30 Ha

3. Hutan Rakyat

14.150,48 Ha

4. Lahan Kritis (di dalam dan di luar kws htn)

24.070,39 Ha

b. Kawasan Perkebunan Perkebunan Aktif Perkebunan Eks HGU Perkebunan Eks HGU (BJA) Perkebunan Rakyat Jumlah = = = = = 871,48 Ha 782,98 Ha 1.406,4 Ha 16.831 Ha 19.891,86 Ha

11. Kabupaten CIANJUR Luas Lahan kritis di Luar Kawasan Hutan untuk wilayah Kabupaten Cianjur adalah 48.077,60 ha, terdiri dari sangat kritis 283,4 ha, kritis 14.227,10 ha agak kritis 14.893 ha dan potensial kritis 18.674,10 ha. Sedangkan luas lahan kritis pada Kawasan Hutan adalah seluas 5.573,30 ha dengan klasifikasi kritis. Luas kawasan hutan Kabupaten Cianjur adalah 97.938,90 ha yang terdiri dari Hutan Produksi 59.751,79 ha, Hutan Lindung 18.702,11 ha, Taman Nasional 3.590,00 ha serta hutan konservasi yang terdiri dari Cagar Alam 15.845,00 ha, Taman Wisata Alam 50 ha.Di wilayah Kabupaten Cianjur m elintas 6 DAS yaitu DAS Cibuni seluas 82.854,19 ha, DAS Cisadea seluas 76.991,20 ha dan DAS Cipondok seluas 26.948,41 ha, DAS Cimaragang 30.738,04 ha, DAS Cilaki 7.008,28 ha, DAS Citarum 125.383,92 ha sehingga luas keseluruhan DAS yang berada di Kabupaten Cianjur adalah seluas 658.844,98 ha. 12. Kabupaten INDRAMAYU Luas Lahan kritis di Luar Kawasan Hutan untuk wilayah Kabupaten Indramayu adalah 13.304,36 ha dengan klasifikasi kritis. Sedangkan luas lahan kritis pada Kawasan Hutan adalah seluas 5.164,19 ha. Luas kawasan hutan Kabupaten Indramayu adalah 39.754,45 ha..Di wilayah Kabupaten Indramayu melintas 7 DAS yaitu DAS Cipunagara seluas 8.144,47 ha, DAS Kalisewo seluas 67.161,20 ha dan DAS Cilalanang seluas 26.392,56 ha, DAS Cipanas 18.931,33 ha, DAS Pangkalan 16.047,58 ha, DAS Cimanuk 41.616,32 ha dan DAS Ciwaringin seluas 27.617,05 ha sehingga luas keseluruhan DAS yang berada di Kabupaten Indramayu adalah seluas 205.910,51 ha.

13. Kabupaten / Kota BANDUNG Luas Lahan kritis di Luar Kawasan Hutan untuk wilayah Kabupaten Bandung adalah 34.486,30 ha dengan klasifikasi sangat kritis seluas 800 ha, dan kritis 33.686,30 ha. Sedangkan luas lahan kritis pada Kawasan Hutan untuk KPH Bandung Utara adalah seluas 2.035,71 ha dan KPH Bandung Selatan seluas 8.887,04 ha. Luas kawasan hutan Kabupaten /Kota Bandung adalah 80.448,37 ha yang terdiri dari Hutan Produksi 35.452,29 ha, Hutan Lindung 34.485,10 ha serta hutan konservasi yang terdiri dari Cagar Alam 9.331,98 ha, Taman Wisata Alam 589,00 ha dan Taman Hutan Raya (Tahura) 590,00 ha). Di wilayah Kabupaten Bandung melintas 9 DAS yaitu DAS Citarum seluas 283.456,71 ha, DAS Cibuni seluas 12.051,16 ha, DAS Cisadea seluas 914,94 ha, DAS Cipondok 5.482,52 ha, DAS Cimaragang 1.461,51 ha, DAS Cilaki 14.759,81 ha,

DAS Cikondang 2.224,14 ha, DAS Cipunagara 2.166,46 ha dan DAS Cimanuk 2.056,42 ha. sehingga luas keseluruhan DAS yang melintas di Kabupaten Kota Bandung adalah seluas 324.593,67 ha.

14. Kabupaten GARUT Luas Lahan kritis di Luar Kawasan Hutan untuk wilayah Kabupaten Garut adalah 33.085,84 ha . Sedangkan luas lahan kritis pada Kawasan Hutan adalah seluas 5.864,42 ha. Luas kawasan hutan Kabupaten Garut adalah 114.871,93 ha yang terdiri dari Hutan Produksi 55.827,85 ha, Hutan Lindung 40.621,89 ha serta hutan konservasi yang terdiri dari Cagar Alam 17.442,34 ha dan Taman Wisata Alam 979,85 ha.Di wilayah Kabupaten Garut melintas 7 DAS yaitu DAS Cimanuk seluas 106.674 ha, DAS

Ciwulan seluas 3.946,53 ha dan DAS Cipatujah seluas 2.344,22 ha, DAS Cikondang 80.221,13 ha, DAS Cisanggiri 57.490,64 ha, DAS Cilaki

47.896,48 ha dan DAS Citarum seluas 6.875,52 ha sehingga luas keseluruhan DAS yang berada di Kabupaten Garut adalah seluas 305.448,32 ha.

15. Kabupaten KUNINGAN Luas Lahan kritis di Luar Kawasan Hutan untuk wilayah Kabupaten Kuningan adalah 8.052,64 ha, sedangkan luas lahan kritis pada Kawasan Hutan adalah seluas 2.975,97 ha. Luas kawasan hutan Kabupaten Kuningan adalah 33.926,67 ha yang terdiri dari Hutan Produksi 21.297,89 ha, Hutan Lindung 12.617,27 ha serta hutan kons ervasi berupa Taman Wisata Alam 11,51 ha. Di wilayah Kabupaten Kuningan melintas 7 DAS yaitu DAS Citanduy seluas 10.936,88 ha, DAS Cisanggarung seluas 75.809,94 ha dan DAS Jurangjero seluas 6.970,84 ha, DAS Bangkaderes 15.377,10 ha, DAS Cimanggung 9.151 ha, DAS Cimanuk 1.968,66 ha dan DAS Ciwaringin seluas 1.160,51 ha sehingga luas keseluruhan DAS yang berada di Kabupaten Kuningan adalah seluas 121.375,02 ha. 16. Kabupaten / Kota CIREBON Wilayah Kabupaten Cirebon.lahan kritis hanya terdapat di luar kawasan hutan sejumlah 262,49.Ha, pada ladang / tegalan. Sedangkan di dalam kawasan hutan lahan kritisnya 525,17 ha. Luas kawasan hutan Kabupaten Cirebon adalah 5.597,18 ha. Beberapa DAS yang melintasi Kabupaten Cirebon adalah DAS Ciwaringin , DAS Cimanggung, DAS Bangkaderes, DASJurangjero,serta.DASCisanggarung.

17. Kabupaten KARAWANG Luas Lahan kritis di Luar Kawasan Hutan untuk wilayah Kabupaten Karawang adalah 22.757,46 ha, sedangkan luas lahan kritis pada Kawasan Hutan adalah seluas 1.050,34 ha. Luas kawasan hutan Kabupaten Karawang adalah 23.895,33ha..

i.

DAS/Sub DAS 1. Umum

Beberapa kondisi umum DAS/sub DAS dari berbagai aspek manajemen dapat di jelaskan sebagai berikut : a. Aspek Perencanaan 1) Pola RLKT yang tersusun sebagai suatu rencana jangka panjang (? 15 tahun) yang berisi arahan teknis klasifikasi fungsi kawasan, arahan rehabilitasi lahan dan konservasi tanah serta urutan tingkat kekritisan DAS/sub DAS, sebagian dijabarkan dalam Rencana Teknik Lapangan RTL-RLKT (? 5 tahun) yang memuat rencana teknik RLKT, lokasi dan luas kegiatan dan tahapan pelaksanaan, namun belum sepenuhnya dapat terealisir dalam Rencana Teknik Tahunan (RTT) Rancangan. Dalam hal ini produk rencana belum sepenuhnya dapat mengarahkan pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan dan tngkat peranan para stakeholders yang berada i pada setiap DAS/sub DAS belum optimal. 2) Masih dirasakan sulitnya penentuan arah kebijakan rehabilitasi hutan dan lahan sesuai dengan otonomi daerah yang mengacu pada produk rencana yang lama. 3) Perencanaan re habilitasi lahan yang telah ditetapkan relatif sangat cepat berubah dan penguasaan lahan oleh sebagian besar

masyarakat yang belum sepenuhnya terarah. b. Aspek pengorganisasian 1) Pemerintah Propinsi, Kabupaten/Kota baik melalui instansi vertikal maupun dinas otonom belum sepenuhnya dapat merajut kelembagaan antar stakeholder. 3) Organisasi rehabilitasi hutan dan lahan belum sepenuhnya memiki mekanisme kerja yang jelas dan berkesinambungan dalam mewujudkan hasil yang optimal.

4) Pengorganisasian kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan pada setiap wilayah DAS masih perlu disesuaikan dengan karakteristik DAS yang ada. c. Aspek pelaksanaan 1) Volume kegiatan pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan yang mencakup luas dan sebaran lokasi setiap tahunnya masih relatif kecil dibandingkan dengan laju degradasi kawasan hutan dan lahan yang ada sehingga upaya rehabilitasi belum berdampak nyata. 2) Pelaksanaan kegiatan rehabilitasi dalam setiap DAS yang telah ditempuh belum mampu melibatkan tanggungjawab masyarakat setempat. Dalam pelaksanaan kegiatan/keproyekan yang ada selama ini cenderung masyarakat setempat keterlibatannya masih bersifat sebagai tenaga upahan. 3) Sosialisasi penerapan teknik konservasi lahan oleh tenaga teknis fungsional belum berdampak luas di tengah-tengah pola pertanian masyarakat. 4) Pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan sesuai dengan aspirasi stakeholder belum terumuskan secara jelas dan desakan arus perambahan kawasan hutan belum mampu dihentikan oleh masyarakat setempat. d. Aspek pengawasan 1) Sistem monitoring dan pelaporan hasil kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan belum berjalan secara tertib dan lancar serta keberadaan tenaga yang memonitor masih sangat minim. 2) Para pihak yang berkompeten di dalam kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan belum dapat untuk sepenuhnya secara teratur dan tokoh

berkesinambungan

melibatkan

peran

masyarakat/stakeholder dalam pengawasan hasil-hasil kegiatan pembangunan rehabilitasi lahan. 1) Pengendalian mekanisme kerja belum dibakukan pada setiap wilayah DAS melalui forum komunikasi antar pihak terkait dan kondisi masyrakat (etnis budaya) yang ada sangat beragam. e. Lain-lain 2) Kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat berdasarkan hasil peliputan data primer melalui 65 responden yang berkompeten (tokoh masyarakat tani, LSM, stakeholder) untuk ketiga DAS yang sama dengan butir a di atas diperoleh data dan informasi secara umum sebagai berikut : b) Sebagian besar masyarakat yang bermukim di dalam ketiga wilayah DAS adalah masyarakat setempat/asli yang telah hadir sejak lama dan dalam pola kehidupan sehari-hari (> 80 %) bertani dan sangat bergantung dari lingkungan alam sekitarnya. c) Terdapatnya lahan kosong (semak belukar, alang-alang) yang belum dimanfaatkan mengingat keterbatasan modal dan iptek pada masyarakat untuk memulihkannya. d) Dalam kehidupan sehari-hari belum sepenuhnya tercipta secara permanen perangkat hukum adat yang mengatur segi pemanfaatan sumber daya alam secara lestari. e) Kendati aksesibilitas wilayah dalam DAS telah cukup tinggi (sarana transportasi) namun masih terlihat tingkat penghasilan keluarga hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. f) Aspek kelembagaan yang ada secara formal (LKMD, KUD, LMD dan LSM lainnya) dalam meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakatnya masih sangat terbatas dan kendala utama yang dihadapi antara lain meliputi kualitas SDM dalam penanganan lingkungan sangat minim, keterbatasan iptek dan

modal serta informasi, lemahnya sanksi adat bagi perusak lingkungan dan adanya konflik dalam penggunaan lahan khususnya kawasan hutan yang sampai saat ini sebagian besar belum terselesaikan. 2. Skala Prioritas Langkah dalam upaya rehabilitasi hutan dan lahan di Provinsi Jawa Barat telah dimulai sejak tahun 1985 dengan menggunakan DAS sebagai unit perencanaan dan pengelolaan. Dalam hal ini arahan untuk sasaran rehabilitasi mengacu pada tingkat kekritisan DAS/sub DAS. Dalam rangka perumusan skala prioritas penanganan DAS/sub DAS pada MP-RHL Daerah selain aspek teknis dimaksud di atas perlu disesuaikan dengan aspek non teknis lainnya seperti pertimbangan penyelamatan sarana-sarana vital daerah hasil kegiatan

pembangunan, arah kebijakan pembangunan sejalan dengan otonomi daerah dan antusias stakeholder serta harapan kemapuan

pembiayaan rehabilitasi hutan dan lahan secara bertahap dan terencana sesuai dengan potensi yang ada.

BAB IV.

KONDISI YANG DIINGINKAN SESUAI DENGAN ASPIRASI DAN KEBUTUHAN STAKEHOLDER

A. Perencanaan Dari hasil pengolahan data dan informasi primer lapangan maka terdapat beberapa aspek perencanaan yang perlu mendapat perhatian guna mendukung keberhasilan suatu pelaksanaan RHL dengan rincian dari aspek perencanaannya meliputi : 1. Perencanaan RHL pada suatu lokasi seyogyanya didasarkan pada karakterisrik atau rencana pengelolaan DAS dan mempertimbangkan pada pola penguasaan hutan (fungsi lindung, produksi dan konservasi) dan lahan yang ada. 2. Dalam penyusunan rencana kerja tahunan RHL harus melibatkan

kelompok masyarakat setempat agar jenis tanaman, waktu, pengetahuan, budaya masyarakat dan sebagainya dapat diakomodir. 3. Penyusunan rencana RHL lintas kabupaten/kota dilaksanakan oleh provinsi dan rencana operasional dilaksanakan oleh masing-masing kabupaten/kota bersangkutan dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat setempat. 4. Penyusunan rencana RHL hendaknya telah memperhitungkan

pemanfaatan secara optimal tenaga kerja yang tersedia di masyarkat. 5. Sebelum memfinalkan suatu rencana kerja secara terpadu dalam hal ini perlu terlebih dahulu disosialisasikan dengan masyarakat (tokoh) dan para LSM. B. Pengorganisasian Disadari bahwa pengorganisasian atau peranan kelembagaan dalam program RHL merupakan salah satu kunci pendukung keberhasilan, maka dengan

mempertimbangkan kondisi kelembagaan masa lampau, perlu diperjelas keorganisasian yang dinginkan stakeholder, meliputi : 1. Organisasi RHL hendaknya mengakomodasikan tugas dan fungsi serta kewenangan yang ada pada setiap instansi pemerintah dan pranata sosial yang ada (kelembagaan masyarakat dan LSM). 2. Organisasi RHL perlu didukung oleh para tenaga teknis dan fungsional terampil yang berdedikasi dan bertangungjawab untuk wilayah kerja pengelolaannya masing-masing 3. Organisasi RHL harus memiliki mekanisme kerja yang jelas dan mampu menggerakan ataupun memotivasi masyarakat luas dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup. 4. Institusi yang ada memiliki wilayah sasaran lokasi RHL secara jelas dan kemampuannya diketahui oleh masyarakat setempat. 5. Kelembagaan RHL yang ada secara bertahap dapat mengkader kelembagaan masyarakat (pelatihan) dalam upaya mendukung percepatan program RHL. C. Pelaksanaan Tidak dapat dipungkiri bahwa pelaksanaan kegiatan reboisasi dan rehabilitasi lahan pada masa lampau dalam evaluasi keberhasilannya masih sangat jauh dari yang diharapkan dan dipihak lain masyarakat desa dalam sistem pelaksanaannya diperlakukan sebagai buruh proyek. Hal dimaksud membuat kesan bahwa tanggungjawab atas keberhasilan pelaksanaan tanaman menjadi tidak jelas. Berdasarkan hasil pengolahan data primer lapangan untuk ketiga wilayah DAS yang dijadika n sample, kondisi yang diinginkan dalam pelaksanaan program RHL oleh para stakeholder meliputi : 1. Pada setiap tingkatan dalam pelaksanaan RHL hendaknya

dikoordinasikan telebih dahulu dengan para stakeholder yang terkait sesuai sasaran lokasi DAS, guna terwujudnya kesamaan persepsi dan

bentuk

dukungan

serta

meminimalisir

konflik

jika

muncul

dalam

pelaksanaannya. 2. Arahan dan metoda pelaksanaan RHL disesuaikan dengan keadaan setempat. 3. Dalam pelaksanaan RHL harus ditangani oleh tenaga teknis fungsional terampil yang terkait dengan wilayah lokasi DAS yang menjadi tanggungjawabnya. 4. Dalam pelaksanaan RHL oleh kelembagaan yang dibentuk agar dilakukan secara konsisten dengan corak pelaksanaan dialogis. 5. Mengingat keberhasilan pelaksanaan RHL adalah merupakan

tanggungjawab pemerintah Kabupaten/Kota dan para pihak terkait lainnya, maka dukungan anggaran dialokasikan secara memadai sesuai dengan sasaran dan volume kegiatan pelaksanaan termasuk kegiatan pemeliharaan yang memperhatikan musim. 6. Upaya penerapan teknologi dalam pelaksanaan RHL pada setiap DAS/Sub DAS perlu disesuaikan dengan tingkat penguasaan dan kemampuan masyarakat setempat serta karakteristik sosekbud. 7. Adanya dukungan dan kepastian hukum secara konsisten dan

berkesinambungan dalam penerapan sistim insentif pada pelaksanaan kegiatan RHL.

D. Pengendalian
Bentuk kegiatan pengendalian terhadap hasil pelaksanaan reboisasi dan rehabilitasi lahan pada masa lampau yang bertumpu pada unsur birokrat sudah selayaknya dimodifikasi agar pengendalian terhadap masyarakat dapat dilakukan oleh tokoh masyarakat masing-masing wilayah. Dalam kaitan ini dipandang hasil pengendalian atas pelanggaran dari ketentuan teknis yang berlaku dapat diikuti dengan sanksi yang tegas dan tepat. Beberapa hal yang

dinginkan oleh para stakeholder pada aspek pengendalian kegiatan RHL meliputi : 1. Rencana dan hasil pelaksanaan suatu kegiatan RHL perlu dilakukan secara lebih transparan dengan adanya suatu sistem pelaporan yang rinci termasuk publikasi setempat. 2. Dalam hal terdapat konflik perlu disele saikan secara adil dan bijak melalui suatu mekanisme kelembagaan dan tahapan yang telah disepakati. 3. SDM yang menangani sistim monitoring, evaluasi dan pelaporan adalah tenaga yang berkompeten dan bertanggungjawab. 4. Adanya kesempatan kepada para stakeholder untuk lebih banyak berperan serta dalam upaya pengendalian kegiatan RHL sebagai suatu sistem sosial kontrol dengan budaya yang bertanggungjawab.

Secara rinci dimensi, kriteria, indikator dan verifer pelaksanaan program RHL di Propinsi Jawa Barat sebagaimana tertera pada Lampiran 35 Buku II (Lampiran dan Data).

BAB V. METODA DAN TAHAPAN PENYUSUNAN MP-RHL PROPINSI JAWA BARAT

A.

TAHAP INISIASI 1. Penyiapan Rencana Kerja / TOR Penyusunan Rencana Kerja / TOR sebagai dasar pelaksanaan penyusunan MP-RHL agar berjalan dengan baik dan sebagai dasar pertanggungjawaban pembiayaan. TOR MP-RHL Propinsi Jabar memuat : a. sasaran kabupaten b. langkah penyusunan c. pembiayaan d. penjadwalan

2. Pembentukan Tim Penyusun melalui konsultasi dengan Dinas Kehutanan Propinsi. Tim Penyusun terdiri dari representasi instansi dengan bentuk organisasi sbb I. Pelindung : Gubernur Jawa Barat

II. Tim Pengarah

1. Asisten Perekonomian Setda Propinsi jawa Barat 2. Kepala Bapeda Propinsi Jawa Barat 3. Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Barat 4. Kepala Biro Bina Produksi Setda Propinsi Jawa Barat 5. Kepala Unit III PT. Perhutanai (Persero) Jawa Barat dan Banten 6. Kepala Dinas yang membidangi Kehutanan Kabupaten se Jawa Barat 7. Kepala Dinas yang membidangi Pertanian Kabupaten se Jawa Barat

III. Tim Pelaksana Ketua Wakil Ketua Sekretaris : : : Kepala Balai Pengelolaan DAS Citarum-Ciliwung Kepala Balai Citanduy. Pengelolaan DAS Cimanuk-

Kepala Balai Konservasi dan Sumberdaya Alam Jawa Barat I (Korwil UPT Departemen Kehutanan) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Unsur Bapeda Propinsi Jabar. Unsur Dinas Kehutanan Propinsi Jabar. Unsur Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Jabar. Unsur Dinas Perkebunan Propinsi Jabar. Unsur Kantor Wilayah BPN Propinsi Jabar. Unsur BPLHD Propinsi Jawa Barat Unsur BKSDA Jabar I. Unsur BKSDA Jabar II. Unsur BPTH Jawa-Madura.

Anggota

10. Unsur Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. 11. Unsur Taman Nasional Gunung Halimun. 12. Unsur Balai Pengelolaan DAS CitarumCiliwung. 13. Unsur Balai Pengelolaan DAS CimanukCitanduy. 14. Unsur PT. Perhutani (Persero) Unit III Jawa Barat dan Banten. 15. Unsur Balai Pengelolaan Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda. Sekretariat : Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Barat.

Selanjutnya dibentuk kelompok kerja sebagai berikut : 1. Perpetaan 1. Unsur Balai Pengelolaan DAS Cimanuk-Citanduy (ketua) 2. Unsur Balai Pengelolaan DAS Citarum-Ciliwung (anggota) 3. Unsur Dinas Kehutanan Propinsi Jabar (anggota) 2. Pengolahan dan Analisa Data 1. Unsur Balai Pengelolaan DAS Citarum-Ciliwung (ketua) 2. Unsur Balai Pengelolaan DAS Cimanuk-Citanduy (anggota) 3. Unsur Dinas Kehutanan Propinsi Jabar (anggota) 3. Penyusun Naskah 1. Unsur Dinas Kehutanan Propinsi Jabar (ketua) 2. Unsur Balai Pengelolaan DAS Citarum-Ciliwung (anggota) 3. Unsur Balai Pengelolaan DAS Cimanuk-Citanduy (anggota) Tim penyusun MP-RHL di-SK-kan oleh Gubernur Propinsi Jabar.

3. Penetapan Tugas dan Fungsi Tim Penyusun I. Tim Pengarah Memberi arahan dalam misi dan visi MP -RHL agar visi dan misi Kegiatan RHL sesuai dengan program pembangunan propinsi Jabar. II. Tim Pelaksana Ketua Wakil Ketua Sekretaris : Mengkoordinasi Penyusunan MP-RHL Propinsi Jabar. : Membantu Ketua dalam penyusunan MP-RHL yang berada di wilayah kerjanya : Membantu Wakil Ketua dalam penyiapan penyusunan MP-RHL yang berada di wilayah kerjanya : Memberi masukan kepada ketua dalam menyampiakan penyusunan MP-RHL Propinsi Jabar.

Anggota

III. Kelompok Kerja a. Perpetaan : Menyiapkan seluruh peta yang diperlukan dalam proses

penyusunan MP-RHL Propinsi Jabar yang dikoordinir oleh Staf Balai Pengelolaan DAS Cimanuk-Citanduy dengan dibantu oleh Staf Balai Pengelolaan DAS Citarum-Ciliwung dan Staf Dinas Kehutanan Propinsi Jabar. b. Pengolahan Data dan Analisa Data : Melakukan pengolahan data dan analisa data dari hasil survey bio fisik dan sosekbud dalam proses penyusunan MP-RHL Propinsi Jabar yang dikoordinir oleh Staf Balai Pengelolaan DAS CitarumCiliwung dengan dibantu oleh Staf Balai Pengelolaan DAS Cimanuk-Citanduy dan Staf Dinas Kehutanan Propinsi Jabar. c . Penyusun Naskah : Merangkup dan menuangkan hasil pengolahan dan analisa data serta peta dalam bentuk naskah MP-RHL Propinsi Jabar.

4. Penyusunan Outline Master Plan RHL Propinsi Jawa Barat Bentuk outline MP-RHL adalah seperti berikut : Kata Pengantar Lembar Pengesahan Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar Daftar Lampiran Ringkasan I. Pendahuluan A. Latar Belakang Intinya adalah kondisi yang tidak diinginkan dan keharusan merubah kondisi RHL menjadi lebih baik. Disamping itu sebaiknya

dikaitkan

dengan

Kebijakan

Pembangunan

Nasional

Pembangunan Kehutanan / RHL dan Pembangunan Daerah B. Maksud dan Tujuan Menguraikan maksud dan tujuan Master Plan RHL sebagai Pedoman Pembangunan RHL II. Arah Pembangunan Daerah Menguraikan Visi dan Misi Daerah III. Kondisi Kawasan Hutan dan Lahan Menguraikan rincian tentang kondisi awal kawasan hutan dan lahan , serta menyajikan data dan informasi tentang : ? ? ?

Kondisi Biofisik Kondisi Sosekbud Kondisi Kelembagaan

Data disusun dalam bentuk time-series sehingga dapat diketahui trendnya IV. Kondisi yang diinginkan V. Permasalahan (Dengan analisa pohon masalah sehingga diperoleh masalah inti) VI. Rasionalisasi Proyek Menyajikan sebab akibat dari masalah inti yang telah didefinisikan VII. Tujuan dan Master Plan RHL VIII. Perumusan Isu Strategik IX. X. XI. Perumusan Visi dan Misi RHL Strategi , Kebijakan dan Kelembagaan RHL Perumusan Prioritas Lokasi RHL 2003-2007 (Sumber dana DR atau dana lainnya Per Kab / DAS) XII. Rencana Kegiatan RHL 2003-2007 menurut waktu dan lokasi XIII. Penutup Merupakan catatan akhir untuk pengembangan Master Plan RHL

B.

TAHAP PENYIAPAN RENCANA 1. Pengumpulan peta d asar dan data tingkat kabupaten a.Data dan Peta Biofisik, terdiri dari : ? Luas kawasan hutan ? Penutupan lahan (penafsiran citra land sat) ? Iklim ? Tanah ? Topografi ? Hidrografi b.Data Sosekbud ? Demografi ? Tenurial ? Potensi konflik ? Perekonomian local (termasuk pengaruh tengkulak, cukong) ? Data Kelembagaan c.Data pengalaman RHL dimasa lampau ? Pembangunan HKM ? KUT Konservasi ? Persuteraan Alam ? Perlebahan ? Rehabilitasi Mangrove ? Rehabilitasi Hutan ? Penghijauan ? Konservasi Tanah ? Dll d.Data Lingkungan e.Data Pasar f.Data Bisnis g.Data Kabupaten ; data penggunaan lahan, data RTRWK dll.

Dalam penyiapan survey lapangan perlu disiapkan blanko yang diperlukan . Perserta survey terdiri dari tim penyusun MP-RHL Propinsi Jabar dan Staf Dinas Kabupaten yang menangani kegiatan Kehutanan mas ingmasing 1 orang.

2..Pembuatan peta zonasi kawasan lindung, penyangga, budidaya 3..Pengolahan dan Analisa Data Sekunder Data yang diperoleh di lapangan selanjutnya dilakukan pengolahan yang dipilah menurut komponen perencanaan yaitu : a. Kondisi saat ini b. Kondisi yang diharapkan c. Tingkat pengetahuan dan analasis d. Lembaga Perencana e. Rumusan Rencana 4. Ground check pada setiap zonasi kawasan Ground check ini diperlukan untuk mengetahui perubahan-perubahan yang terjadi di lapangan dan dilaksanakan secara sampling 5..Analisa data lapangan 6..Penyusunan Draft I 7.Seminar/konsultasi public, yang dihadiri oleh : a. Instansi Pusat ? Direktorat Jendral RPLS ? Badan Planologi ? Departemen Kimpraswil b. Instansi Pusat yang ada di daerah ? BKSDA Jabar I ? BKSDA Jabar II ? BPTH Jabar ? Taman Nasional Gunung Gede Pangrango

? Taman Nasional Gunung Halimun ? Balai Pengelolaan DAS Citarum-Ciliwung ? Balai Pengelolaan DAS Cimanuk-Citanduy c. Pemda Propinsi ? Bapeda Propinsi Jabar ? Bapedalda Propinsi Jabar ? Dinas Kehutanan Propinsi Jabar ? Dinas Perkebunan Propinsi Jabar ? Asda III Propinsi Jabar ? BPN Propinsi Jabar d. Pemda Kabupaten/kota ? Bapeda Kabupaten ? Dinas yang menangani kehutanan ? Dinas Pertanian ? Dinas Perkebunan ? Bapedalda Kabupaten ? LSM ? Akademi ? Tokoh Masyarakat ? Pengusaha Pengguna Lahan ? BPN Kabupaten ? PU Pengairan ? KPH 8. Penyusunan Draft II 9. Diseminasi draft ke 16 kabupaten dan propinsi 10. Penyusunan Draft III/final untuk disahkan oleh gubernur C. TAHAP FINALISASI 1. Penyusunan, Penilaian dan Pengesahan MP -RHL Propinsi Jawa Barat - Penyusun : Tim Pela ksana / Ketua

- Penilaian - Pengesahan

: Tim Pengarah / Ketua Bapedda : Gubernur Propinsi Jawa Barat

2 . Penggandaan Buku MP- RHL dan peta 3. Distribusi buku dan peta ke Pusat, Propinsi dan kabupaten

Dalam kaitan tahap penyusunan dimaksud di atas, prinsip penyusunan MPRHL sebagai berikut : 1. DAS sebagai satuan pengelolaan yang merupakan suatu kesatuan ekosistem. 2. Pelaksanaan kegiatan yang berkesinambungan (multi year activity) secara terencana. 3. Terdapatnya kejelasan wewenang dan tata hubungan kerja antar instansi terkait di daerah/wilayah dan meminimalkan birokrasi melalui partisipatif dan transparansi. 3. Pemahaman dan penyesuaian penguasaan lahan (tenurial) dan konflik penguasaan lahan. 4. Terdapatnya saling pengertian antara daerah hulu dan hilir DAS dalam hal pendanaan (cost sharing). 5. RHL merupakan bagian kebutuhan masyarakat luas untuk mendapatkan manfaat sosial dan ekonomi guna kesinambungan hidupnya. 6. Pengelolaan kegiatan RHL secara swakelola oleh masyarakat setempat/ lembaga masyarakat.

BAB VI.

PERUMUSAN ISU STRATEGIK

A. Kelembagaan
Peranan dan fungsi suatu kelembagaan yang mampu menggerakkan kegiatan RHL di Propinsi Jawa Barat akan dapat optimal jika dipenuhi beberapa faktor pendukung antara lain : 1. Adanya political will dari Pemerintah Daerah baik di tingkat Propinsi dan Kabupaten/Kota. 2. Terselesaikannya secara bertahap konflik yang ada pada kawasan hutan. 3. Munculnya kesadaran yang kuat dari lapisan masyarakat bawah (grass root). 4. Adanya sistem keterbukaan dalam pelaksanaan program RHL sehingga memungkinkan pengawasan masyarakat (wasmas) berjalan secara efektif. 5. Terdapatnya wadah atau kelompok masyarakat yang bergerak dalam pelestarian sumber daya alam termasuk LSM peduli lingkungan sebagai mitra dari kelembagaan pemerintah yang dibentuk.

Strategi kelembagaan RHL yang perlu dimantapkan dalam pengelolaan DAS/sub DAS hendaknya bercirikan pada : 1. Kelembagaan yang berlapis dari tingkat Pusat, Propinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan sampai tingkat Desa/lokasi dengan pembagian tugas,fungsi dan kewewenangan termasuk tata hubungan kerja kelembagaan yang dijabarkan secara jelas. 2. Kelembagaan yang bersifat kolaborasi dengan kelembagaan masyarakat yang telah ada, khususnya pada lokasi RHL yang spesifik. 3. Segala bentuk perjanjian kerjasama kelembagaan penanganan program RHL dilandasi oleh peraturan dan ketentuan hukum yang berlaku.

4. Aktifitas kelembagaan RHL dari unsur pemerintah akan dikurangi peranannya jika telah muncul kelembagaan masyarakat yang telah handal pada setiap DAS/Sub DAS. 5. Kelembagaan RHL mampu mengenali dan melakukan analisis masalah (mengapa terjadi), analisis keputusan (mana yang harus dipilih), analisis masalah potensial (hal yang mengganggu keberhasilan) dan penilaian situasi (apa yang terjadi).

B. Kawasan Hutan
Issu secara umum yang telah berkembang bahwa peranan dan fungsi kawasan hutan negara di Propinsi Jawa Barat cenderung menurun dengan tingginya laju okupasi kawasan hutan dan meningkatnya perambahan hutan. Di pihak lain upaya rehabilitasi lahan kawasan hutan belum dapat banyak diharapkan dan rehabilitasi lahan milik dari aktifitas penghijauan dan sebagainya belum banyak berdampak nyata. Strategi perencanaan dan pelaksanaan dalam rangka pemantapan peranan dan fungsi kawasan hutan bercirikan pada : 1. Perencanaan RHL pada setiap lokasi yang didasarkan atas karakteristik DAS/Sub DAS termasuk mendukung pola penggunaan lahan yang telah digariskan. 2. Perencanaan RHL mempertimbangkan fungsi setiap kawasan hutan yang ada (HL, HPT, HP dan zona penyangga pada TN Gn. Gede Pangrango dan TN. Gn. Halimun). 3. Perencanaan RHL mempertimbangkan ketersediaan sumber-sumber benih termasuk merencanakan pembangunan lokasi sumber-sumber benih baru secara terwakili. 4. Pelaksanaan RHL yang diprioritaskan pada kesiapan masyarakat dalam melaksanakan kegiatan.

5. Pengawasan dan pengendalian yang dilaksanakan secara terencana, transparan dan bertahap.

C. Teknologi dan Bisnis


Perkembangan dan terobosan teknologi dalam upaya menjamin keberhasilan RHL masih jauh tertinggal dengan perkembangan kerusakan sumber daya alam yang terjadi dan upaya bisnis di bidang RHL belum sepenuhnya menggembirakan yang antara lain disebabkan adanya daur usaha yang cukup panjang dan kepastian usaha yang sulit diprediksi oleh para investor. Beranjak dari kondisi tersebut di atas, maka issu startegi utama dalam teknologi dan bisnis bercirikan pada : 1. Pengembangan dan pengkajian teknologi RHL untuk jenis -jenis pohon unggulan setempat guna mendukung keberhasilan kegiatan reboisasi Inpres, HTI, HKm, HTU termasuk sistem agroforestri di lahan milik. 2. Rehabilitasi pada kawasan HL, HP bekas tebangan dan areal lainnya yang telah ditelantarkan dan hutan konservasi kecuali CA dan zona inti TN yang pada saat ini bebas konflik dan terdapat dukungan dari masyarakat setempat. 3. Penerapan teknik-teknik konservasi tanah secara efektif dan efisien guna menekan seminimal mungkin erosi, tanah longsor dan pendangkalan danau serta penyempitan batang sungai melalui keterpaduan program antar instansi terkait di daerah/wilayah. 4. Pemberlakuan sanksi hukum yang tegas dan berat terhadap setiap bisnis kayu illegal di seluruh wilayah/daerah Jawa Barat 5. Pemanfaatan lahan kawasan HP dengan sistem tumpang sari guna peningkatan ekonomi masyarakat disekitar kawasan hutan sebelum tajuk tanaman pokok (kayu) tertutup melalui pengaturan yang jelas, tegas dan mempunyai kekuatan hukum.

6. Penyebarluasan informasi perdagangan kayu legal dari kawasan HP yang dikelola secara lestari kepada masyarakat luas. 7. Pengaturan restribusi kayu legal secara rasional guna memacu animo para investor yang terlibat dalam program RHL semakin meluas.

D. Infrastruktur
Secara umum kondisi infrastruktur daerah Jawa Barat dalam mendukung keberhasilan program RHL tergolong cukup. Issu strategik utama dalam infrastruktur yang perlu mandapat perhatian antara lain mencakup : 1. Untuk kawasan hutan yang mendapatkan prioritas program RHL, infrastruktur berupa sarana jalan eks logging menuju ke lokasi perlu diblokir guna menghindari kerusakan tegakan lebih lanjut dan sekaligus sebagai jalan inspeksi. 2. Jaringan jalan yang melintasi kawasan hutan perlu diprioritaskan sistem pengamanannya guna menghindari pertumbuhan pemukiman baru. 3. Pada lokasi prioritas program RHL yang belum tersedia infrastrukturnya, pengembangan jaringan jalan disesuaikan dengan kebutuhan dan rencana pengelolaan dari suatu Forest Management Unit (FMU). 4. Untuk setiap lokasi yang dilaksanakan RHL perlu didukung oleh sarana berupa pondok kerja yang terpelihara guna memudahkan pengawasan hasil kegiatan sampai batas waktu dinyatakan tanaman telah mampu tumbuh secara alami. 5. Dalam hal mendukung keberhasilan tanaman dan mencegah munculnya kebakaran hutan terutama pada musim kemarau yang panjang maka prasarana penanggulangan kebakaran perlu dialokasikan sesuai dengan keluasan tegakan/tanaman yang ada antara lain mencakup menara

pengintai kebakaran hutan, kantong-kantong air, ilaran api, jalan inspeksi dan peralatan penanggulangan kebakaran lainnya.

E. Sistim Pendanaan
Kondisi umum sistem pendanaan program RHL di daerah selama ini diperoleh melalui pemerintah pusat yang terdapat pada setiap sektor terkait. Dalam hal ini porsi pendanaan melalui APBN dan dana pemerintah lainnya cukup besar sementara alokasi dana APBD belum terlihat secara nyata. Beberapa ketentuan yang menjadi acuan dalam sistem pendanaan anatara lain UU No. 25 tahun 1999 tanggal 19 Mei 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, PP No. 25 tahun 2000 tanggal 6 Mei 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom, PP No. 104 tahun 2000 tanggal 10 Nopember 2000 tentang Dana Perimbangan dan PP No. 35 tahun 2002 tanggal 8 Juni 2002 tentang Dana Reboisasi. Dalam era otonomi daerah sistem pendanaan program RHL telah mendapatkan kebijakan tersendiri dengan penekanan sebagai berikut :

1. Pengelolaan DR 40 % untuk daerah penghasil dan 60 % untuk pemerintah pusat. DR yang dialokasikan dalam rekening pembangunan hutan atas nama Bupati/Walikota dan dokumen anggaran kabupaten/kota

penggunaanya wajib berpedoman pada rencana RHL yang telah disepakati para pihak terkait di kabupaten/kota yang bersangkutan. 2. Dana dalam rekening pembangunan hutan kabupaten/kota tidak boleh digunakan untuk membiayai kegiatan pendukung rehabilitasi (pasal 13 ayat (4) PP No. 35 tahun 2002). 3. RHL mencakup kegitan reboisasi, penghijauan, pengayaan tananaman atau penerapan teknik konservasi tanah secara vegetatif atau sipil teknis pada lahan kritis dan tidak produktif.

Strategi

dalam

sistem pendanaan yang dipandang perlu diprioritaskan

antara lain meliputi : 1. Dana Alokasi Khusus (DAK) yang berasal dari APBN yang dialokasikan pemerintah pusat kepada daerah untuk membantu membiayai kebutuhan kebutuhan tertentu, perlu dipertegas melalui suatu Perda Propinsi atau Perda Kabupaten/Kota agar pembiayaan program RHL terarah dan konsisten. Dalam hal ini DAK DR tidak dialokasikan pada ka wasan hutan yang dibebani hak namun bersifat pendukung untuk percepatan program RHL. 2. Pemerintah daerah kabupaten/kota membentuk Tim terpadu dalam rangka mengarahkan menggalang dana investor Pemda lokal untuk pembiayaan luar operasional berminat RHL, dan

maupun

yang

berkepentingan terhadap kelestarian hutan dan lahan terutama pada huluhulu DAS/sub DAS. Dalam hal ini tercipta cost sharing antar daerah hulu dan hilir. 3. Setiap pendanaan yang diinvestasikan pada kegiatan RHL dilakukan secara transparan dan teraudit. 4. Dalam tahap lanjutan rehabilitasi lahan milik sepenuhnya menjadi kewajiban pemilik lahan dan munculnya gerakan swadaya masyarakat dalam pendanaan. 5. Adanya kejelasan mengenai kewajiban pemanfaat lahan 6. Untuk mencapai efisiensi pendanaan RHL diupayakan melalui padat karya yang sekaligus menggerakkan masyarakat untuk peduli terhadap kelestarian lingkungannya. F. Sumber Daya Manusia (SDM) Secara umum SDM yang bergerak dalam kegiatan pembangunan kehutanan pada umumnya dapat dimobilisasi untuk mendukung pencapaian program

RHL di daerah/wilayah baik yang berasal dari unsur instansi pemerintah, kalangan perguruan tinggi dan dunia usaha yang bergerak di bidang kehutanan. SDM sebagai suatu issu sentral yang menentukan keberhasilan program RHL perlu dipersiapkan baik secara mental, kualitas dan kemapuan fisik lapangan.

Beberapa strategi yang perlu mendapatkan perhatian dalam program jangka panjang SDM daerah Propinsi Jawa Barat, antara lain : 1. Membina dan memposisikan setiap personil yang ada sesuai dengan bidang keahlian dan kemampuannya secara profesional. 2. Mengupayakan secara bertahap kehadiran SDM yang berbasis keahlian silvikultur, ilmu tanah hutan, kebakaran hutan, ilmu hama penyakit hutan, ilmu sosek sumber daya hutan, biometrika hutan, pemulian pohon hutan baik melalui rekruitmen pegawai maupun program pendidikan lanjutan. 3. Memposisikan SDM yang ada di setiap kelembagaan masyarakat untuk mendapatkan pelatihan dalam program RHL guna memperoleh kaderkader yang cukup dan memadai di setiap wilayah kerja DAS/sub DAS. 4. Menggalang kerjasama LSM luar untuk berbagai kegiatan alih teknologi kepada SDM di daerah melalui program kerjasama yang saling menguntungkan. 5. Mempersiapkan generasi muda lainnya dalam pemahaman yang benar mengenai dampak positif maupaun dampak negatif dari suatu pengrusakan sumber daya hutan dan lahan sejak bangku sekolah dasar melalui informasi media lokal, gerakan sosial dan lain sebagainya secara berkala dan berkesinambungan. Mengacu pada beberapa ulasan dalam perumusan issu strategik DAS/sub DAS dimaksud di atas, maka penyusunan MP-RHL Daerah Propinsi Jawa Barat bermuara pada 6 (enam) butir sasaran strategis yaitu :

1. Adanya perwujudan secara transparansi dan sinergik dalam tahap perencanaan maupun tahap pelaksanaan serta tahap evaluasi atas kegiatan RHL di daerah. 2. Diperolehnya data dan informasi atas kondisi rill sumber daya hutan dan lahan di daerah. 3. Terwujudnya pelayanan data dan informasi sumber daya hutan dan lahan untuk berbagai kepentingan para pihak dan stakeholder yang komit terhadap lingkungan dan kegiatan RHL di daerah. 4. Meluasnya partisipasi masyarakat dan peranan kelembagaan yang efektif dan efisien dalam mendukung kegiatan RHL di daerah. 5. Tersedianya alokasi dana pemerintah dalam memfasilitasi kegiatan lapangan dan infrastruktur pendukung sebelum tergalangnya pendanaan dari masyarakat. 6. Memposisikan Pemerintah Daerah Propinsi sebagai pengawas dan pengendali kegiatan yang dilaksanakan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

BAB VII. PERUMUSAN VISI DAN MISI RHL DAERAH

A. Visi
Beberapa visi pembangu nan RHL dari berbagai instansi yang menangani kehutanan pada tingkat kabupaten sebagai dasar titik tolak dari kegiatan RHL di wilayah Propinsi Jawa Barat antara lain : 1. Visi pembangunan kehutanan Propinsi Jawa Barat adalah terwujudnya kelestarian fungsi hutan sebagai penyangga kehidupan, memperkuat ekonomi rakyat serta mendukung perekonomian nasional bagi kesejahteraan rakyat (Rencana Strategik Kehutanan dan Perkebunan 2001-2005). 2. Visi dari Sub Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Bekasi adalah merupakan bagian dari Dinas Pertanian adalah Mewujudkan Pelaku Agribisnis yang Berdaya saing, Berkerakyatan dan Berkelanjutan. 3. Visi dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bogor adalah Terwujudnya Pengelolaan SDA yang Berkualitas Guna Meningkatkan Produktivitas Kehutanan dan Perkebunan. 4. Visi Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Majalengka

dirumuskan sebagai berikut : Terwujudnya kelestarian fungsi hutan dan kebun ideal sebagai sistem penyangga kehidupan, memperkuat dan mengembangkan agribisnis dan agroindustri bagi kesejahteraan

masyarakat hingga tahun 2010. 5. Visi Dinas Kehutanan Kabupaten Sukabumi yang telah ditetapkan sebelumnya, yaitu : Kabupaten Sukabumi yang damai, tangguh, produktif dan sejahtera lahir batin yang dijiwai oleh nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan.

6. Visi

Dinas

Kehutanan

dan Perkebunan Kabupaten Tasikmalaya

dirumuskan sebagai berikut : Terwujudnya Kelestarian Fungsi Hutan, Lahan dan Perkebunan secara optimal untuk kesejahtraan Masyarakat Tahun hingga tahun2006 7. Visi Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Purwakarta adalah : Terwujudnya kawasan DAS Citarum bagian Tengah yang ideal (luas hutan 30 % dan sedimentasi terkendali) pada tahun 2007. 8. Visi Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Subang adalah : Pembangunan Kehutanan dan perkebunan berorientasi agribisnis yang berwawasan lingkungan pada tahun 2005. 9. Visi Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sumedang adalah : Optimalisasi Pengelolaan Sumber Daya Manusia dan Sumber Daya Hutan dan Kebun melalui Keterpaduan Pengelolaan Aspek Ekologis, Sosial dan Ekonomi secara Transfaran, Partisipatif, dan Berkelanjutan.

Berdasarkan arahan yang terkandung dalam visi tersebut di atas, maka dalam konteks visi RHL Propinsi Jawa Barat disepakati dan dirumuskan adalah Terwujudnya pemulihan hutan dan lahan pada setiap DAS di Propinsi Jawa Barat dalam koridor hukum yang legal guna

kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan .

B. Misi
Dengan memperhatikan visi RHL Propinsi Jawa Barat tersebut diatas dan kondisi kawasan hutan serta lahan yang ada termasuk keinginan sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan para stakeholder, maka dapat dirumuskan 3 (tiga) misi RHL Propinsi Jawa Barat sebagai berikut :

1. Misi Dinas Pertanian Kabupaten Bekasi adalah sebagai berikut : a. Mendorong meningkatnya pengetahuan, sikap dan keterampilan pelaku agribisnis dan aparatur b. Mengembangkan prasarana dan sarana penunjang kegiatan usaha tani c. Mengembangkan usaha tani yang bernilai ekonomi tinggi d. Meningkatkan fungsi sumber daya alam bagi usaha tani yang efisien, produktif, berkela njutan dan berdayasaing tinggi e. Meningkatkan kerjasama dengan perbankan / lembaga ekonomi pedesaan f. Mengembangkan teknologi pengolahan hasil pertanian g. Menciptakan peluang pasar bagi para pelaku agribisnis h. Meningkatkan tugas pokok, fungsi dan kewenangan Dinas Pertanian dalam mewujudkan agribisnis 2. Misi Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bogor adalah sebagai berikut : a. Perlindungan sistem penyangga kehidupan. Tujuan dari misi ini adalah melindungi kawasan-kawasan atau wilayah yang berfungsi sebagai pengatur tata air untuk mencegah terjadinya banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah. Adapun sasarannya adalah: Perlindunganmata air, tebing, tepian sungai, danau dan jurang, Pemeliharaan hidrologi hutan, Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS), Perlindungan terhadap keunikan dan keindahan alam.

b. Membangun SDM yang professional sehingga dapat memberikan pelayanan yang prima. Tujuan misi ini adalah membentuk pegawai/aparat Dinas Kehutanan dan Perkebunan yang memiliki keahlian tertentu di bidangnya masingmasing dan mencintai pekerjaannya serta mematuhi etika profesinya

sebagai abdi negara dan abdi masyarakat. Sedangkan sasarannya adalah : Seluruh pegawai Dinas Kehutanan dan Perkebunan, serta Masyarakat kelompok tani kehutanan dan perkebunan.

c. Meningkatkan mutu produksi komoditas unggulan melalui penerapan teknologi guna menunjang pendapatan petani, Tujuan misi ini adalah untuk meningkatkan produksi kehutanan dan perkebunan dengan memanfaatkan perkembangan taknologi. Adapun ssarannya adalah pengembangan komoditi unggulan dan pemanfaatan teknologi hasil penelitian. d. Mengembangkan kapasitas kelembagaan di bidang kehutanan dan perkebunan. Tujuan dari misi ini adalah mengembangkan kelembagaan kemitraan dalam rangka memanfaatkan peluang pasar dan pengelolaan sumber daya alam. 3. Sejalan dengan visi yang diuraikan diatas, maka misi Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Majalengka Tahun 2002-2006 adalah : a. Memulihkan, mempertahankan dan mengembangkan produktifitas lahan dengan sistem Agrobisnis dan Agroindustri dengan

memperhatikan kelestarian lingkungan. b. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan masyarakat khususnya petani melalui pemberdayaan kelompok tani dan lembaga swadaya masyarakat. c. Meningkatkan pelayanan dan informasi kepada masyarakat dalam tata niaga hasil produksi aneka usaha Kehutanan dan Perkebunan. d. Memberikan kontribusi yang optimal kepada Pendapatan Asli Daerah sendiri demi berlangsungnya Otonomi Daerah. e. Meningkatkan kemampuan sumber daya manusia (petugas) melalui pelatihan dan pendidikan dalam upaya mengoptimalkan kinerja.

4. Misi RHL daerah yang sejalan dengan Misi Dinas Kehutanan Kabupaten Sukabumi adalah sebagai berikut : a. Mempertahankan, memulihkan dan meningkatkan fungsi DAS/Sub DAS dalam menunjang terlaksananya pembangunan daerah untuk kesejahteraan masyarakat. b. Menumbuhkan dan mengembangkan kualitas sumberdaya manusia dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan DAS/Sub DAS. 5. Sebagai penjabaran dari Visi Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Tasikmalaya tersebut di atas maka Misi yang ingin dicapai adalah : a. Mewujudkan keberadaan hutan yang seimbang dan proporsional . b. Mengoptimalkan Fungsi Hutan dan Perkebunan yang meliputi Fungsi Konservasi, Fungsi Lindung dan Fungsi Produksi. c. Meningkatkan daya dukung dan partisipasi masyarakat pada Daerah Aliran Sungai (DAS). d. Mengembangkan dan meningkatkan usaha tani Kehutanan dan Perkebunan kearah Agribisnis yang efektif, efisien dan berkelanjutan. e. Meningkatkan usaha Kehutanan dan Perkebunan disentra-sentra yang mempunyai keunggulan kompetitif dan komparatif. 6. Misi Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sumedang a. Meningkatkan profesionalisme sumberdaya manusia aparatur dan masyarakat b. Meningkatkan upaya rehabilitasi dan konservasi lahan serta

perlindungan hutan dan kebun c. Melaksanakan pengaturan pengolahan hutan dan kebun d. Mengembangkan aneka usaha kehutanan dan perkebunan yang produktif e. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengolahan hutan dan kebun.

Dengan memperhatikan visi RHL Propinsi Jawa Barat tersebut diatas dan kondisi ka wasan hutan serta lahan yang ada termasuk keinginan sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan para stakeholder, maka dari berbagai misi RHL daerah dapat dirumuskan 3 (tiga) misi RHL Propinsi Jawa Barat sebagai berikut : 1. Memantapkan rencana pengelolaan hutan dan lahan yang tidak produktif. Lemahnya validasi data dan informasi berdampak pada mutu rencana pengelolaan hutan pencapaian sasaran rehabilitasi pada setiap DAS/sub DAS. Oleh karenanya rencana pengelolaan dijalankan secara konsisten melalui sistem yang jelas baik di tingkat provinsi sampai ketingkat kabupaten/kota. Rencana pengelolaan hutan lahan yang telah ada selama ini seperti pola RLKT, RTL-RLKT, KPHP dan sebagainya merupakan produk rencana yang saling sinergik dengan rencana makro berupa MP-RHL Daerah. 2. Memantapkan kelembagaan masyarakat dalam pemulihan kerusakan hutan dan lahan. Adanya pemberdayaan kelembagaan masyarakat secara seimbang dengan lingkup kegiatan teknis RHL sehingga kinerja penyelenggaraan RHL dapat meningkat dan berdampak luas dari tingkat kabupaten/kota ke tingkat kecamatan sampai ke tingkat desa/kelurahan. Penggalangan dukungan

stakeholder terutama generasi muda di pedesaan akan lebih terealisasi secara kelompok atau kewilayahan. Dalam hal ini termasuk memfasilitasi forum komunikasi antar LSM guna peningkatan kwalitas kelembagaan. 3. Meningkatkan upaya rehabilitasi hutan dan dan lahan yang partisipatif. Aktifitas kegiatan RHL daerah pada setiap DAS/sub DAS yang ada di kabupaten/kota baik yang dibiayai dari alokasi sumber dana pemerintah m aupun dana swasta atau gabungan pemerintah dan swasta perlu disinergikan secara serasi dan seimbang guna efektifitas dan efisiensi pelaksanaan kegiatan. Dalam kaitan ini terdapat 2 (dua) aspek yang perlu

dikendalikan yaitu penghentian kegiatan illegal logging lahan milik yang ada.

secara dini dan

pembuatan hutan baru termasuk kebenaran penanganan teknis konsevasi

BAB VIII.

STRATEGI, KEBIJAKAN DAN KELEMBAGAAN RHL

A. Strategi RHL Daerah


Strategi yang akan ditempuh dalam penyelenggaraan RHL Propinsi Jawa Barat yakni mencakup segala peraturan dan petunjuk yang harus dilaksanakan dalam mencapai misi RHL sebagaimana tertera pada Bab sebelumnya. Untuk ini maka berbagai strategi yang ditetapkan 5 (lima) tahun kedepan : 1. Pemerintah propinsi berperan melakukan pengarahan, pembinaan dan pengendalian atas dasar evaluasi rencana dan pelaksanaan kegiatan RHL yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota guna keberhasilan program RHL di daerah. 2. Pemerintah kabupaten/kota secara konsisten sesuai lingkup tugas pokok instansinya melaksanakan kegiatan RHL yang telah direncanakan (sasaran dan target tahunan) dan mengevaluasi keberhasilannya termasuk mengupayakan langkah-langkah pemecahan masalah serta sanksi hukumnya. 3. Pemerintah kabupaten/kota dan kelembagaan masyarakat yang ada membuat kesepahaman bersama secara yuridis dalam hal pendanaan, aturan pengelolaan dan pemanfaatan hasil kegiatan rehabilitasi pada setiap wilayah DAS/sub DAS yang diprioritaskan. 4. Pemerintah kabupaten/kota turut membantu penyelesaian potensi konflik yang ada dalam kawasan hutan sebagai sasaran lokasi RHL. 5. Menertibkan tata cara penggunaan/pemanfaatan lahan sesuai ketentuan teknis yang berlaku termasuk mempertahankan secara bijak lokasi yang dipandang berpotensi dalam upaya penyelamatan hutan, tanah dan air. 6. Melanjutkan peningkatan peranan kelembagaan (agama, adat dan sebagainya) sebagai penggerak kesadaran masyarakat untuk

berpartisipasi aktif secara spontan dalam kegiatan RHL kerjanya.

di wilayah

7. Melanjutkan dan meningkatkan mutu forum komunikasi yang ada guna terbangunnya jejaring kerja yang harmonis antara pemerintah dan stakeholder lainnya. 8. Pemerintah kabupaten/kota dalam melaksanakan RHL sesuai dengan target dan sasaran lokasi melibatkan partisipasi aktif masyarakat atau kelembagaan yang a da dan seluruh laporan dilakukan secara transparan. 9. Mengaktifkan peranan unsur kecamatan dan desa/kelurahan setempat untuk dapat memobilisasi partisipasi masyarakat dalam mendukung dan tanggung jawab atas keberhasilan kegiatan RHL. 10. Pemilihan jenis tanaman pokok (kayu) disesuaikan dengan jenis unggulan lokal setempat dan mempunyai nilai ekonomis serta teknis

penanganannya dikuasai secara baik dan benar. 11. Meningkatkan profesionalisme para rimbawan ditingkat lapangan dalam teknis pengolahan lahan, penanaman dan pemeliharaan guna terciptanya percepatan penanganan kegiatan RHL. B. Kebijakan RHL Daerah Dengan mengacu pada kesebelas strategi RHL Propinsi Jawa Barat yang telah di gariskan, maka dalam pelaksananaan kegiatannya perlu terlebih dahulu ditetapkan serangkaian kebijakan teknis yang disesuaikan dengan karakteristik di daerah yakni : 1. Mengembangkan data dasar hutan dan lahan tidak produktif secara akurat. 2. Mengembangkan sistem informasi pengelolaan hutan dan lahan melalui pemanfaatan teknologi yang telah dikuasai dengan mekanisme yang sederhana.

3. Mengembangkan pemantapan kawasan hutan dan lahan sesuai dengan fungsi dan kemampuannya. 4. Mengembangkan rencana pengelolaan hutan dan lahan terpadu serta program RHL yang komprehensif sehingga dapat dijadikan acuan oleh semua stakeholder (fase lanjutan MP -RHL Daerah Propinsi Jawa Barat. 5. Memantapkan forum koordinasi pengelolaan hutan dan lahan di daerah. 6. Mengembangkan kelembagaan pengelolaan hutan dan lahan secara terarah dan bertanggungjawab. 7. Menyelengarakan sosialisasi untuk berbagai jenis kegiatan RHL kepada para stakeholder ditingkat kabupaten/kota sampai ketingkat lapangan secara efisien dan efektif guna kesamaan persepsi dan komitmen yang tegas. 8. Menciptakan modul-modul pengelolaan hutan dan lahan yang disesuaikan dengan karakteristik hutan dan lahannya disetiap kabupaten/kota. Dalam kaitan ini termasuk pengembangan ide-ide strategis sesuai dengan perkembangan situasi. 9. Melanjutkan kegiatan rehabilitasi hutan pada setiap kabupaten kota khususnya yang berada pada daerah hulu sungai pada DAS-DAS prioritas 10. Mengembangkan dan meningkatkan rehabiltasi hutan bakau/mangrove pada wilayah pesisir secara terpadu dengan para stakeholder terkait. 11. Meningkatkan upaya pengembangan usaha perhutanan rakyat dengan diversifikasi jenis tanaman (buah-buahan, dan sebagainya) pada setiap wilayah DAS/sub DAS. 12. Mengembangkan dan meningkatkan minat masyarakat pemukiman ilegal untuk pembangunan hutan kemasyarakatan pada lahan hutan yang

terdapat konflik baik secara kelompok maupun bermitra dengan investor industri perkayuaan, dalam mendorong desentralisasi pengelolaan hutan. 13. Meningkatkan upaya penegakan hukum secara konsisten guna

meminimalkan lahan kritis pada setiap wilayah DAS/sub DAS prioritas. 14. Meningkatkan kerjasama dengan media cetak dan elektronik guna menumbuhkan kesadaran masyarakat luas dalam gerakan penanaman pohon unggulan lokal secara swadaya. 15. Meningkatkan upaya kerjasamanya dalam IPTEK rehabilitasi lahan dengan lembaga pendidikan (perguruan tinggi) setempat, guna efektifitas dan efesiensi penyelenggaran kegiatan RHL. 16. Meningkatkan frekuensi dan intensitas pengawasan guna memperoleh bahan masukan yang tepat dalam menentukan pengendalian kegiatan RHL secara baik dan benar. C. Kelembagaan RHL Disadari dengan adanya kejelasan atas visi, misi, strategi dan kebijakan RHL daerah termasuk target sasaran dan lokasi kegiatan dan dukungan pendanaan serta penguasaan teknis RHL ternyata peranan kelembagaan merupakan salah satu faktor penentuan keberhasilan yang perlu mendapat perhatian. Beberapa hal yang mendasari kebijakan dalam kelembagaan RHL di daerah kabupaten/kota antara lain : 1. Kawasan hutan negara yang bersifat lebih permanen dengan produk barang dan jasa untuk kepentingan umum, maka kelembagaannya lebih bersifat permanen dan kewenangan serta tanggungjawab sepenuhnya pada pemerintah sedangkan kelembagaan masyarakat yang ada bersifat mitra dengan aturan yang tegas dan mengikat.

2. Lahan diluar kawasan hutan yang bersifat kepemilikannya relatif labil dengan produk dan jasa mendukung keseimbangan lingkungan DAS/sub DAS, maka kelembagaannya perlu ditingkatkan kearah yang lebih permanen dalam hal ini peranan pemerintah kabupaten/kota

memfasilitasi terbentuknya kelembagaan masyarakat yang komit terhadap pemulihan lahan lahan tidak produktif sekaligus pengaturan pemanfaatan hasil secara berkesinambungan.

BAB IX.

PERUMUSAN PRIORITAS LOKASI RHL TAHUN 2003-2007

1. Kabupaten Bogor Rehabilitasi hutan dan lahan di Kabupaten Bogor diprioritaskan pada lokasi yang mengalami : 1) penurunan kesuburan tanah yang ditandai dengan rendahnya produktivitas tanah, 2) penurunan kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) yang ditandai dengan tingginya fluktuasi, debit air, erosi dan sedimentasi 3) rendahnya kualitas dan kuantitas produksi tanaman kehutanan dan perkebunan, 4) kurang tersedianya bibit unggul, 5) masih sering terjadi serangan hama dan penyakit yang sukar dikendalikan sejak dini, 6) belum optimalnya daya serap teknologi budidaya kehutanan dan perkebunan, serta 7) belum berperannya kelembagaan yang ada dalam usaha peningkatan produksi maupun dalam pengelolaan sumberdaya alam yang berkualitas.

Berdasarkan berbagai permasalahan yang dihadapi diatas, maka rehabilitasi hutan dan lahan di Kabupaten Bogor dalam periode 2003 2007 diprioritaskan pada program : a. Perlindungan sumberdaya alam dan konservasi tanah b. Peningkatan kualitas dan kuantitas komoditas unggulan c. Pengembangan sumberdaya manusia d. Pengembangan kelembagaan, baik kelompok tani maupun pengusaha dalam peningkatan produksi dan pengelolaan sumberdaya alam. Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan perkembangan jumlah penduduk, permasalahan yang dihadapi pemerintah daerah Kabupaten Bogor berkenaan dengan pengelolaansumber daya alam dan sumber daya tanah dengan

segala komponen yang ada didalamnya termasuk air, biota dan lainnya di masa yang akan datang semakin kompleks. Hal ini terjadi karena pembangunan yang tengah dilaksanakan di berbagai sektor, masih sangat bergantung pada potensi sumber daya alam. Padahal kondisi tanah dan beberapa sumber daya alam yang berperan penting dalam menunjang pembangunan berkelanjutan tersebut telah berada dalam kondisi kritis. Oleh karena itu dikhawatirkan laju pertumbuhan ekonomi dan pertambahan penduduk pada masa yang akan datang tidak seimbang dengan ketersediaan daya dukung lahan dan sumber daya alam yang dibutuhkan.

Keanekaragaman hayati merupakan aset alam yang mempunyai nilai ekonomi yang sangat penting bagi pembangunan. Keanekaragaman hayati juga menopang kehidupan ekonomi masyarakat lokal, termasuk masyarakat tradisional yang mempunyai pengetahuan tentang pemanfaatannya. Keanekaragaman hayati harus dimanfaatkan sepenuhnya secara serasi dan berdaya guna, tetapi tetap memperhatikan aspek keseimbangan lingkungan hidup di dalamnya.

Kebijakan pembangunan daerah yang memperioritaskan keseimbangan ekosistem disemua kegiatan pembangunan harus tetap dipertahankan dan dimantapkan. Semua sektor pembangunan diusahakan untuk menggali seluruh potensi sumber daya yang ada, tetapi harus diusahakan agar tidak merusak tata lingkungan hidup manusia, dan dengan memperhitungkan kebutuhan-kebutuhan generasi yang akan datang. Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan kegiatan pmbangunan yang berkelanjutan (sustensinable development).

Pembangunan yang berkelanjutan adalah pembangunan yang: (1) memberi kemungkinankepada kelangsungan hidup dengan jalan melestarikan fungsi dan kemampuan ekosistem yang mendukungnya, baik secara langsung maupun tidak langsung; (2) memanfaatkan sumber daya alam atau teknologi pengelolaan meningkatkan mampu dan menghasilkannya melestarikan secara lestari; dan (3) memberi ekosistem, kesempatakan kepada sektor lain untuk berkembang bersama-sama; (4) kemampuan fungsi

melindungi serta mendukung kehidupan secara terus menerus; dan (5) menggunakan prosedur dan tata cara yang memperhatikan kelestarian fungsi dan kemampuan ekosistem untuk mendukung perikehidupan, baik masa kini maupun masa yang akan datang.

Dalam pembangunan yang berkelanjutan, sumber daya tanah dan sumber daya alam hendaknya tidak dipandang sebagai produk yang dapat dieksploitasi semaksimal mungkin tetapi harus dianggap sebagai modal yang harus dipertahankan keberadaannya untuk kepentingan pembangunan yang berkelanjutan. Rencana pengelolaan sumber daya tanah dan kandungannya harus dibuat secara efisien, terarah, dan terpdu mengingat adanya interaksi antara komponen sumber daya alam dan hayati. Kegiatan eksploitasi sumber daya alam tertentu diharapkan seminimal mungkin, sehingga tidak

menimbulkan dampak negatif terhadap

sumber daya alam lainnya. Oleh

karena itu diperlukan kesadaran dan pemahaman berbagai pihak mulai dari pengambil keputusan sampai dengan tingkat masyarakat umum yang tinggal di pedesaan, akan arti penting mewujudkan pembangunan nasional yang berkelanjutan dengan melaksanakan kegiatan dan program yang telah direncanakan secara terpadu.

Permasalahan yang dihadapi oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor dalam perlindungan sumber daya alam dan konservasi tanah adalah masalah berkurangnya keanekaragaman hayati di luar kawasan lindung sebagai akibat dari sistem produksi kehutanan yang amat ekstratif dan konversi kawasankawasan yang rawan secara ekologis seperti lahan basah untuk berbagai kepentingan pembangunan. Hutan produksi yang dibabat secara selektif dan dikelola dengan baik akan tetap dapat menjaga keanekaragaman hayati, namun pola yang ada saat ini masih belum dapat menjaga keanekaragaman hayati.

Perusakan terhadap keanekaragaman hayati juga mulai marak dilakukan oleh masyarakat, khususnya sejak kris is ekonomi melanda Indonesia pada pertengahan 1997 yang lalu. Berbagai bentuk penjarahan sering dilakukan masyarakat seperti: pembabatan tanaman perkebunan, pematokan lahan oleh masyarakat, penggarapan lahan oleh masyarakat. Berdasarkan kondisi lahan kritis di Kabupaten / Kota Bogor serta potensi Rehabilitasi Hutan dan Lahan yang ada, maka menurut fungsinya prioritas lokasi penanganan RHL adalah seluas 14.729,07 ha dengan rincian sebagai berikut : a. b. c. d. e. f. Pada Hutan Konservasi (KSA-KPA) Pada Hutan Lindung Pada Hutan Produksi Terbatas Pada Hutan Produksi Pada Hutan Produksi yang dapat di Konversi (HPK) Di Luar Kawasan Hutan (APL = Areal Penggunaan Lain seluas Seluas Seluas Seluas Seluas Seluas 44,32 ha 31,74 ha 0 ha 14.621,60 ha 0 ha 31.410 ha

2. Kabupaten Sukabumi a. Menurut Wilayah Administrasi (Kabupaten/Kota) ? Batasan Yang dipakai sebagai batasan adalah : 1. Mempertimbangkan lokasi dengan keberadaan jumlah penduduk dan budaya masyarakat setempat yang telah sadar akan manfaat rehabilitasi hutan dan lahan. 2. Memperhatikan rencana strategis Kabupaten Sukabumi termasuk rencana RHL Dinas Kehutanan Kabupaten Sukabumi. 3. Mengutamakan rehabilitasi lahan pada lokasi-lokasi yang padat pemukiman termasuk lokasi yang sering mengalami bencana alam tanah longsor dan kekeringan pada musim kemarau. 4. Mempertimbangkan minat para investor yang berkeinginan dalam penanganan lahan kawasan hutan yang rusak. ? Perumusan Prioritas Lokasi RHL - Di Dalam Kawasan Hutan Prioritas RHL di dalam kawasan adalah penanganan Kawasan Cikepuh yang telah rusak berat. - Di Luar Kawasan Hutan Kawasan yang perlu mendapat prioritas adalah wilayah

Palabuhanratu sebagai Ibokota Kabupaten Sukabumi, daerah rawan longsor dan memiliki lahan kritis yang luas, yaitu Kecamatan : Gegerbitung, Jampantengah, Simpenan, Bantargadung, Cisolok, Jampangkulon, Lengkong, Tegalbuleud, Ciemas, Kalibunder dan Sagaranten.

b. Menurut DAS/Sub DAS ? Batasan


DAS/Sub DAS yang perlu mendapat perhatian adalah DAS dengan tingkat kemiringan tinggi dan memiliki lahan kritis yang cukup luas.

? Perumusan Prioritas Lokasi RHL - Prioritas I Prioritas I RHL adalah DAS Cimandiri - Prioritas II Prioritas II RHL adalah DAS Cikaso dan Cibuni Berdasarkan kondisi lahan kritis di Kabupaten Sukabumi serta potensi Rehabilitasi Hutan dan Lahan yang ada, maka menurut fungsinya prioritas lokasi penanganan RHL adalah seluas 48.313,29 ha dengan rincian sebagai berikut : a. b. c. d. e. f. Pada Hutan Konservasi (KSA-KPA) Pada Hutan Lindung Pada Hutan Produksi Terbatas Pada Hutan Produksi Pada Hutan Produksi yang dapat di Konversi (HPK) Di Luar Kawasan Hutan (APL = Areal Penggunaan Lain seluas seluas seluas seluas seluas seluas 182,82 ha 15,87 ha 0 ha 14.994,60 ha 0 ha 33.120 ha

3. Kabupaten Tasikmalaya Sasaran lokasi Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) sebanyak Kecamatan dengan target luas/tahun yang akan 23

dilaksanakan

Rahabilitasi adalah sebagai berikut: 1. Tahun 2003 seluas : 2.335 ha 2. Tahun 2004 seluas : 2.440 ha 3. Tahun 2005 seluas : 2.059 ha 4. Tahun 2006 seluas : 1.719 ha 5. Tahun 2007 seluas : 1.497 ha Jumlah : 10.050 ha

Untuk kegiatan PT. Perhutani (didalam kawasan hutan) dari tanah kosong seluas 8.867,52 Ha diprioritaskan kepada kegiatan penanaman Pinus, Mahoni dan Jati dengan target luas/tahun sebagai berikut: 1. Tahun 2003 seluas : 2.955,84 Ha 2. Tahun 2004 seluas : 2.955,84 Ha 3. Tahun 2005 seluas : 2.955,84 Ha Jumlah : 8.867,52 Ha

Untuk Kegiatan Konservasi Sumber Daya Alam yang dikelola Balai Konservasi Sumberdaya Alam Jabar II di Kabupaten Tasikmalaya yaitu di kawasan Suaka Margasatwa pantai Sindangkerta dengan prioritas rencana kegiatan tahun 2003-2008 yaitu : 1. Rehabilitasi Hutan pantai dengan penanaman Pandan laut didalam kawasan Suaka Margasatwa sepanjang 3 Km. 2. Rehabilitasi diluar kawasan konservasi meliputi: - Desa Cikawung Ading 5 Km - Desa Sindangkerta 4 Km - Desa Ciandum 5 Km - Desa Ciheras 6 Km Berdasarkan kondisi lahan kritis di Kabupaten Tasikmalaya serta potensi Rehabilitasi Hutan dan Lahan yang ada, maka menurut fungsinya prioritas lokasi penanganan RHL adalah seluas 16.614,39 ha dengan rincian sebagai berikut : a. b. c. d. Pada Hutan Konservasi (KSA-KPA) Pada Hutan Lindung Pada Hutan Produksi Terbatas Pada Hutan Produksi seluas seluas seluas seluas 0 ha 19,32 ha 0 ha 15.561,20 ha

e. f.

Pada Hutan Produksi yang dapat di Konversi (HPK) Di Luar Kawasan Hutan (APL = Areal Penggunaan Lain

seluas seluas

0 ha 33.870 ha

4. Kabupaten Bekasi Pada prinsipnya hampir seluruh wilayah kecamatan di Kabupaten Bekasi memiliki potensi lahan kritis atau lahan kosong lainnya yang belum dimanfaatkan dengan baik. Namun mengingat daerah konservasi sebagian besar berada di wilayah selatan, maka prioritas program RHL kami alokasikan di wilayah tersebut, antara lain di Kecamatan Cibarusah, Bojongmangu ( Pengembangan dari Kec. Cibarusah ) dan Serang Baru. Dari ketiga kecamatan tersebut terdapat potensi lahan sebagai berikut :

Tabel.7. Rencana aksi Kabupaten Bekasi Tanah Kering Tegal, Kebun, Kecamatan Ladang & Huma ( Ha ) 1. Cibarusah dan Bojongmangu 2. Serang Baru 3.728 2.502 6.230 1.784 1.784 659 3.883 4.542 6.171 6.385 12.556 Hutan Rakyat ( Ha ) Lahan lainnya ( Ha ) Jumlah Total ( Ha )

Dengan rencana rehabilitasi lahan seluas + 10.000 Ha. selama 5 tahun anggaran diharapkan seluruh lahan kritis dan lahan kosong lainnya terutama di wilayah selatan selesai di rehabilitir.

Tahun 2003 Tahun 2004 Tahun 2005 Tahun 2006 Tahun 2007

: 2.000 Ha. : 2.000 Ha. : 2.000 Ha. : 2.000 Ha. : 2.000 Ha.

Berdasarkan kondisi lahan kritis di Kabupaten Bekasi serta potensi Rehabilitasi Hutan dan Lahan yang ada, maka menurut fungsinya prioritas lokasi penanganan RHL adalah seluas 14.494,10 ha dengan rincian sebagai berikut : a. b. c. d. e. f. Pada Hutan Konservasi (KSA-KPA) Pada Hutan Lindung Pada Hutan Produksi Terbatas Pada Hutan Produksi Pada Hutan Produksi yang dapat di Konversi (HPK) Di Luar Kawasan Hutan (APL = Areal Penggunaan Lain seluas Seluas Seluas Seluas Seluas Seluas 0 ha 4,10 ha 0 ha 0 ha 0 ha 14.490 ha

5. Kabupaten Sumedang A. Menurut Wilayah Administrasi Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) merupakan bagian integral dari sistem pengelolaan hutan dan lahan, yang ditempatkan pada kerangka Daerah Aliran Sungai (DAS). Rehabilitas i mengambil posisi untuk mengisi

kesenjangan ketika sistem budidaya hutan dan lahan, sehingga terjadi deforestasi dan degradasi fungsi hutan dan lahan. Secara prinsip bahwa kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan dapat diimplementasikan pada semua kawasan hutan, kecuali cagar alam dan zone inti Taman Nasional.

Berdasarkan analisa dan data potensi kawasan hutan di Kabupaten Sumedang terdapat kawasan Hutan Lindung seluas 2.389.80 Ha, Hutan Lindung Terbatas, 5.991.81 Ha, Hutan Konservasi 7.014,65 Ha dan Hutan Produksi seluas 31.624,80 Ha, yang seharusnya berdasarkan SK. Menhutbun Nomor 419 / Kpts -II / 1999 adalah Hutan Lindung 8.823,48 Ha, Hutan Konservasi 10.001.50 Ha, Hutan Produksi Terbatas 3.710.381 Ha dan Hutan Produksi seluas 24.872.50 Ha. Sedangkan luas hutan rakyat yang ada di Kabupaten Sumedang seluas 14.150 Ha yang tersebar di 26 Kecamatan. Berdasarkan data tersebut terdapat data yang sangat krusial yaitu terjadi perubahan fungsi kawasan dari fungsi lindung dan konservasi menjadi produksi seluas 6.752.30 Ha sehingga diperlukan program pengembangan fungsi kawasan hutan melalui Program RHL.

B. Menurut DAS /SUB DAS


Prioritas lokasi RHL 2003 s.d 2007 di Kabupaten Sumedang adalah lahan kritis yang tersebar di wilayah Sub DAS: 1. Sub DAS Cimanuk Hulu DAS Cimanuk meliputi Kecamatan Wado, Jatinunggal, Darmaraja, Cibugel, Jatigede dan Cisitu seluas 29.683 Ha. 2. Sub DAS Cipeles DAS Cimanuk meliputi Kecamatan Tanjungsari, Rancakalong, Pamulihan, Cisarua, Cimalaka, Paseh, Sumedang Utara, Sumedang Selatan, Situraja, dan Tomo dengan luas wilayah 44.347 Ha. 3. Sub DAS Cilutung DAS Cimanuk meliputi Kecamatan Tomo, sebagian Jatigede dengan luas wilayah 13.348 Ha. 4. Sub DAS Cimanuk Hilir DAS Cimanuk meliputi Kecamatan Conggeang dan Ujungjaya dengan luas wilayah 22.250 Ha.

5. Sub DAS Cikandung DAS Cipunagara meliputi Kecamatan Buahdua, Tanjungkerta, Tanjungmedar, Surian, Cimalaka dan sebagian

Rancakalong dengan luas wilayah 27.149 Ha.

Dari luas wilayah Sub DAS prioritas tersebut terdapat lahan kritis seluas 18.960 Ha, sehingga perlu ditangani dalam tahun 2003 2007 seluas 852,5 Ha/tahun sebagaimana rincian terlampir.

Berdasarkan kondisi lahan kritis di Kabupaten Sumedang serta potensi Rehabilitasi Hutan dan Lahan yang ada, maka menurut fungsinya prioritas lokasi penanganan RHL adalah seluas 27.550,34 ha dengan rincian sebagai berikut : a. b. c. d. e. f. Pada Hutan Konservasi (KSA-KPA) Pada Hutan Lindung Pada Hutan Produksi Terbatas Pada Hutan Produksi Pada Hutan Produksi yang dapat di Konversi (HPK) Di Luar Kawasan Hutan (APL = Areal Penggunaan Lain seluas Seluas Seluas Seluas Seluas Seluas 132,96 ha 15,18 ha 0 ha 11.712,20 ha 0 ha 15.690 ha

6. Kabupaten PURWAKARTA Prioritas lokasi RHL 2003 s.d 2007 di Kabupaten Purwakarta adalah : a. Penanganan lahan kritis pada catchment are a Waduk Jatiluhur dan Cirata b. Rehabilitasi kawasan konservasi Gunung Burangrang c. Pengembangan pola Pengembangan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) dalam kawasan hutan dan di luar kawasan hutan.

Berdasarkan kondisi lahan kritis di Kabupaten Purwakarta serta potensi Rehabilitasi Hutan dan Lahan yang ada, maka menurut fungsinya prioritas lokasi penanganan RHL adalah seluas 11.243,35 ha dengan rincian sebagai berikut :

a. b. c. d. e. f.

Pada Hutan Konservasi (KSA-KPA) Pada Hutan Lindung Pada Hutan Produksi Terbatas Pada Hutan Produksi Pada Hutan Produksi yang dapat di Konversi (HPK) Di Luar Kawasan Hutan (APL = Areal Penggunaan Lain

seluas Seluas Seluas Seluas Seluas Seluas

5,54 ha 11,22 ha 0 ha 1.566,59 ha 0 ha 9.660 ha

7. Kabupaten SUBANG Lahan kritis di wilayah Kabupaten Subang dan termasuk pada DAS Citarum seluas 18.750 ha yang meliputi : a. Sub DAS Cipunagara (7 kecamatan) dengan luas 13.486 ha b. Sub DAS Ciasem (5 kecamatan) dengan luas 5.184 ha c. Sub DAS Cilamaya (1 kecamatan) dengan luas 80 ha

Upaya yang te lah dilaksanakan melalui kegiatan penghijauan dalam kurun waktu 4 tahun anggaran adalah seluas 4.141 ha yang tersebar di 13 kecamatan, sehingga yang perlu penanganan lebih lanjut seluas 14.584 ha yang tersebar di 13 kecamatan.

Berdasarkan kondisi lahan kritis di Kabupaten Subang serta potensi Rehabilitasi Hutan dan Lahan yang ada, maka menurut fungsinya prioritas lokasi penanganan RHL adalah seluas 27.235 ha dengan rincian sebagai berikut : a. b. c. d. e. f. Pada Hutan Konservasi (KSA-KPA) Pada Hutan Lindung Pada Hutan Produksi Terbatas Pada Hutan Produksi Pada Hutan Produksi yang dapat di Konversi (HPK) Di Luar Kawasan Hutan (APL = Areal Penggunaan Lain seluas Seluas Seluas Seluas Seluas Seluas 1,39 ha 0 ha 0 ha 0 ha 0 ha 25.845 ha

8. Kabupaten CIANJUR Berdasarkan kondisi lahan kritis di Kabupaten Cianjur serta potensi Rehabilitasi Hutan dan Lahan yang ada, maka menurut fungsinya prioritas lokasi penanganan RHL adalah seluas 59.977,27 ha dengan rincian sebagai berikut : a. b. c. d. e. f. Pada Hutan Konservasi (KSA-KPA) Pada Hutan Lindung Pada Hutan Produksi Terbatas Pada Hutan Produksi Pada Hutan Produksi yang dapat di Konversi (HPK) Di Luar Kawasan Hutan (APL = Areal P enggunaan Lain seluas Seluas Seluas Seluas Seluas Seluas 62,33 ha 73,14 ha 0 ha 26.706,80 ha 0 ha 33.135 ha

9. Kabupaten INDRAMAYU Berdasarkan kondisi lahan kritis di Kabupaten Indramayu serta potensi Rehabilitasi Hutan dan Lahan yang ada, maka menurut fungsinya prioritas lokasi penanganan RHL adalah seluas 36.958,67 ha dengan rincian sebagai berikut : a. b. c. d. e. f. Pada Hutan Konservasi (KSA-KPA) Pada Hutan Lindung Pada Hutan Produksi Terbatas Pada Hutan Produksi Pada Hutan Produksi yang dapat di Konversi (HPK) Di Luar Kawasan Hutan (APL = Areal Penggunaan Lain seluas Seluas Seluas Seluas Seluas Seluas 0 Ha 2,07 Ha 0 Ha 14.621,60 Ha 0 Ha 22.335 Ha

10. Kabupaten BANDUNG Berdasarkan kondisi lahan kritis di Kabupaten Bandung serta potensi Rehabilitasi Hutan dan Lahan yang ada, maka menurut fungsinya prioritas lokasi penangan RHL adalah an seluas 50.851,66 ha dengan rincian sebagai berikut : a. b. c. Pada Hutan Konservasi (KSA-KPA) Pada Hutan Lindung Pada Hutan Produksi Terbatas seluas Seluas Seluas 85,95 ha 163,53 ha 0 ha

d. e. f.

Pada Hutan Produksi Pada Hutan Produksi yang dapat di Konversi (HPK) Di Luar Kawasan Hutan (APL = Areal Penggunaan Lain

Seluas Seluas Seluas

21.037,20 ha 0 ha 29.565 ha

11. Kabupaten GARUT Berdasarkan kondisi lahan kritis di Kabupaten Garut serta potensi Rehabilitasi Hutan dan Lahan yang ada, ma ka menurut fungsinya prioritas lokasi penanganan RHL adalah seluas 43.810,26 ha dengan rincian sebagai berikut : a. b. c. d. e. f. Pada Hutan Konservasi (KSA-KPA) Pada Hutan Lindung Pada Hutan Produksi Terbatas Pada Hutan Produksi Pada Hutan Produksi yang dapat di Konversi (HPK) Di Luar Kawasan Hutan (APL = Areal Penggunaan Lain seluas Seluas Seluas Seluas Seluas Seluas 9,70 ha 133,86 ha 0 ha 16.861,70 ha 0 ha 26.805 ha

12. Kabupaten KUNINGAN Berdasarkan kondisi lahan kritis di Kabupaten Kuningan serta potensi Rehabilitasi Hutan dan Lahan yang ada, maka menurut fungsinya prioritas lokasi penanganan RHL adalah seluas 13.185,92 ha dengan rincian sebagai berikut : a. b. c. d. e. f. Pada Hutan Konservasi (KSA-KPA) Pada Hutan Lindung Pada Hutan Produksi Terbatas Pada Hutan Produksi Pada Hutan Produksi yang dapat di Konversi (HPK) Di Luar Kawasan Hutan (APL = Areal Penggunaan Lain seluas Seluas Seluas Seluas Seluas Seluas 1,39 ha 5,52 ha 0 ha 474,02 ha 0 ha 12.705 ha

13. Kabupaten CIAMIS Berdasarkan kondisi lahan kritis di Kabupaten Ciamis serta potensi Rehabilitasi Hutan dan Lahan yang ada, maka menurut fungsinya prioritas lokasi penanganan RHL adalah seluas 34.163,76 ha dengan rincian sebagai berikut : a. b. c. d. e. f. Pada Hutan Konservasi (KSA-KPA) Pada Hutan Lindung Pada Hutan Produksi Terbatas Pada Hutan Produksi Pada Hutan Produksi yang dapat di Konversi (HPK) Di Luar Kawasan Hutan (APL = Areal Penggunaan Lain seluas Seluas Seluas Seluas Seluas Seluas 12,42 ha 12,47 ha 0 ha 2.088,87 ha 0 ha 32.070 ha

14. Kabupaten KARAWANG Berdasarkan kondisi lahan kritis di Kabupaten Karawang serta potensi Rehabilitasi Hutan dan Lahan yang ada, maka menurut fungsinya prioritas lokasi penanganan RHL adalah seluas 22.999,92 ha dengan rincian sebagai berikut : a. b. c. d. e. f. Pada Hutan Konservasi (KSA-KPA) Pada Hutan Lindung Pada Hutan Produksi Terbatas Pada Hutan Produksi Pada Hutan Produksi yang dapat di Konversi (HPK) Di Luar Kawasan Hutan (APL = Areal Penggunaan Lain seluas Seluas Seluas Seluas Seluas Seluas 0 ha 19,92 ha 0 ha 0 ha 0 ha 22.980 ha

15. Kabupaten MAJALENGKA Berdasarkan kondisi lahan kritis di Kabupaten Majalengka serta potensi Rehabilitasi Hutan dan Lahan yang ada, maka menurut fungsinya prioritas lokasi penanganan RHL adalah seluas 16.582,08 ha dengan rincian sebagai berikut :

a. b. c. d. e. f.

Pada Hutan Konservasi (KSA-KPA) Pada Hutan Lindung Pada Hutan Produksi Terbatas Pada Hutan Produksi Pada Hutan Produksi yang dapat di Konversi (HPK) Di Luar Kawasan Hutan (APL = Areal Penggunaan Lain

seluas Seluas Seluas Seluas Seluas Seluas

0 ha 5,52 ha 0 ha 16.561,20 ha 0 ha 15.360 ha

16. Kabupaten Cirebon Berdasarkan kondisi lahan kritis di Kabupaten Cirebon serta potensi Rehabilitasi Hutan dan Lahan yang ada, maka menurut fungsinya prioritas lokasi penanganan RHL adalah seluas 262,59 ha dengan rincian sebagai berikut : a. b. c. d. e. f. Pada Hutan Konservasi (KSA-KPA) Pada Hutan Lindung Pada Hutan Produksi Terbatas Pada Hutan Produksi Pada Hutan Produksi yang dapat di Konversi (HPK) Di Luar Kawasan Hutan (APL = Areal Penggunaan Lain seluas Seluas Seluas Seluas Seluas Seluas 0 ha 1.086,86 ha 0 ha 0 ha 0 ha 262,59 ha

BAB X. RENCANA AKSI RHL TAHUN 2003-2007

A.

Tingkat Pemerintah Propinsi


MP-RHL Daerah Propinsi Jawa Bara t sebagai suatu rencana makro berjangka 5 (lima) tahun yang berisi memuat arahan, kebijakan dan strategi penanganan berdasarkan prinsip dan kriteria RHL dan skala penerapannya berdasarkan wilayah administratif pemerintahan yang berbasis DAS/sub DAS, maka rencana aksi tingkat propinsi sebagai berikut : 1. Tahun pertama a. Melanjutkan inventarisasi hutan dan lahan tidak produktif termasuk konfirmasi data dan informasi dengan kabupaten kota se Jawa Barat. b. Menyusun dan menyajikan data dasar RHL sebagai suatu informasi resmi di daerah. c . Mengusulkan dan mengadakan perangkat keras dan perangkat lunak termasuk pelatihan SDM dibidang SIM hutan dan lahan. d. Melanjutkan monitoring dan evaluasi pengelolaan hutan dan lahan disetiap kabupaten/kota. e. Mengusulkan dan menyelenggarakan pameran/workshop, sosialisasi/diskusi panel/sarasehan, perlombaan dibidang kegiatan RHL. f. Menyiapkan seperangkat bahan materi (pedoman-pelaksanaan, instruksi dan sebagainya) untuk Keputusan Gubernur Jawa Barat dalam rangkaian kegiatan RHL. g. Melaksanakan kerjasama dengan pihak Perguruan Tinggi/Lembaga riset setempat untu kegiatan penelitian pengembangan MP-RHL di daerah. 2. Tahun kedua a. Menyusun bahan arahan penggunaan lahan pada setiap DAS/sub DAS sebagai panduan ditingkat kabupaten/kota.

b. Melanjutkan penyusunan berbagai rancangan kegiatan RHL pada sasaran lokasi prioritas di daerah. c . Melanjutkan pembinaan, monitoring dan evaluasi pengelolaan hutan dan lahan disetiap kabupaten/kota. d. Melanjutkan diskusi/lokakarya mengenai program dan perkembangan kegiatan RHL. e. Menyiapkan berbagai proposal program RHL bagi lembaga donor lokal maupun luar provinsi guna kesinambungan sumber

pendanaan untuk mendukung program RHL didaerah. f. Melanjutkan berbagai pelatihan kepada para stakeholder peminat lingkungan guna keberhasilan program RHL didaerah. g. Menyiapkan dan medistribusikan pedoman-pedoman teknis penyelengaraan kegiatan RHL kepada para multistakeholder yang ada di daerah kabupaten/kota. 3. Tahun ketiga a. Menyiapkan bahan dan rancangan pengembangan bentuk kelembagaan masyarakat serta pengembangan kemitraan lainnya guna mempercepat pemulihan lahan kurang produktif. b. Melanjutkan pembinaan, monitoring dan evaluasi perkembangan pengelolaan hutan dan lahan disetiap kabupaten/kota. c . Menyiapkan prakondisi pengelolaan hutan dan lahan melalui pembangunan model-model pengelolaan hutan dan lahan di lapangan. d. Mensosialisasikan model-model pengelolaan hutan dan lahan melalui pendistribusian bahan cetakan atau memanfaatkan

peranan media elektronik di daerah. e. Menyelenggarakan seminar/ diskusi panel/ sarasehan dalam rangka mempertahankan semangat dan kinerja kegiatan RHL di daerah.

f. Membantu upaya penyelesaian konflik lahan yang berhubungan dengan kegiatan RHL. 4. Tahun keempat a. Melanjutkan dan meningkatkan model-model pengelolaan hutan dan lahan secara tersebar dibeberapa kabupaten/kota. b. Menyelengarakan peningkatan kualitas SDM secara lebih profesional dalam upaya pengelolaan DAS bagi instansi terkait (Provinsi, kabupaten/kota). c . Melanjutkan upaya rutin pembinaan, monitoring dan evaluasi pelaksanaan RHL ditingkat kabupaten/kota. d. Melanjutkan upaya temu wicara lapangan dengan para stakeholder yang telah menunjukan kinerja keberhasilan awal pelaksanaan RHL. e. Melanjutkan upaya sosialisasi pada lokasi prioritas sasaran RHL yang masih berpotensi untuk konflik lahan. f. Melanjutkan berbagai bentuk kerjasama dengan pihak donor yang berminat melaksanakan kegiatan RHL di Propinsi Jawa Barat termasuk rehabilitasi. 5. Tahun kelima. a. Melanjutkan penyempurnaan data dasar SIM hutan dan lahan didaerah. b. Melaksanakan kelanjutan pembinaan dan monitoring atas pengembangan aspek pemasaran hasil kegiatan

pelaksanaan kegitan RHL kabupaten/kota, guna bahan masukan penajaman dalam penyusunan MP -RHL Daerah kabupaten/kota tahap berikutnya. c . Memantapkan kinerja forum konsultasi multistakeholders dalam kesepahaman bersama memperkecil laju degradasi kawasan hutan dan pengembangan program-program kemitraan lainnya.

d. Meyiapkan bahan usulan dalam rangka mendukung materi perda provinsi yang berhubungan dengan pengamanan hasil kegiatan RHL di daerah. e. Melanjutkan upaya penyelesaian berbagai konflik pengunaan lahan kawasan hutan guna kemapanan hidup masyarakat pemukim yang berada didalam kawasan hutan untuk secara bertahap untuk meninggalkan kawasan.

B. Tingkat Kabupaten/Kota Dalam upaya mensinergika n kegiatan pemerintah provinsi dengan

kabupaten/kota yang mengacu pada visi, misi, strategi dan kebijakan RHL di daerah Propinsi Jawa Barat, maka rencana aksi RHL tahun 2003-2007 untuk masing-masing kabupaten/kota sebagai berikut :

1. Kabupaten BOGOR Rencana Aksi Kegiatan Rehabiiltasi Hutan dan Lahan (RHL) untuk tahun 2003 sampai tahun 2007 Kabupaten Bogor dilaksanakan dengan pola pendekatan sebagaimana table berikut :

Tabel 4. Rencana Aksi Kabupaten Bogor

NO. 1 1.

FUNGSI LAHAN 2 Hutan I Konservasi II

KPL 3

LUAS SASARAN (Ha) 4

POLA PENDEKATAN 5

297,49 Reboisasi Khusus 651,22 Pengayaan 948,71 9.598,54 Reboisasi 4.644,46 Social Forestry/Hkm 14.243 2.934,54 Hutan Tanaman 4.401,82 Social Forestry/Hkm 7.336,36 2.255,13 Penghijauan/Konstan 6.346,41 Hutan Rakyat 8.601,54 31.129,61

Jumlah 2. Hutan Lindung I II Jumlah 3. Hutan Produksi I II Jumlah 4. APL I II Jumlah Total

2. Kabupaten SUKABUMI Rencana Aksi Kegiatan Rehabiiltasi Hutan dan Lahan (RHL) untuk tahun 2003 sampai tahun 2007 Kabupaten Tasikmalaya dilaksanakan dengan pola pendekatan sebagaimana table berikut :

Tabel 5. Rencana Aksi Kabupaten Sukabumi

NO. 1 1.

FUNGSI LAHAN 2 Hutan I Konservasi II

KPL 3

LUAS SASARAN (Ha) 4

POLA PENDEKATAN 5

191,24 Reboisasi Khusus 2.333,12 Pengayaan 2.524,36 7.190 Reboisasi 12.282,90 Social Forestry/Hkm

Jumlah 2. Hutan Lindung I II

Jumlah 19.472,90 3. Hutan Produksi I II Jumlah 4. APL I II 1.599,50 Hutan Tanaman 8.232,74 Social Forestry/Hkm 9.832,24 11.793,26 Penghijauan/Konstan 25.211,45 Hutan Rakyat

Jumlah 37.004,71 Total 68.834,21

3.

Kabupaten TASIKMALAYA Rencana Aksi Kegiatan Rehabiiltasi Hutan dan Lahan (RHL) untuk tahun 2003 sampai tahun 2007 Kabupaten Tasikmalaya dilaksanakan dengan pola pendekatan sebagaimana tabel berikut :

Tabel 6. Rencana Aksi Kabupaten Tasikmalaya

NO. 1 1.

FUNGSI LAHAN 2

LUAS KPL SASARAN (Ha) 3 4 0 0

POLA PENDEKATAN 5

Hutan I Konservasi II

2.

Hutan Lindung

I II

230,61 Reboisasi 271,52 Social Forestry/Hkm 743,89 Hutan Tanaman 544,46 Social Forestry/Hkm 799,69 Penghijauan/Konstan 7.598,87 Hutan Rakyat 10.189,04

3.

Hutan Produksi

I II

4.

APL

I II

Total

4. Kabupaten MAJALENGKA Rencana Aksi Kegiatan Rehabiiltasi Hutan dan Lahan (RHL) untuk tahun 2003 sampai tahun 2007 Kabupaten Majalengka dilaksanakan dengan pola pendekatan sebagaimana tabel berikut :

Tabel 7. Rencana Aksi Kabupaten Majalengka

NO. 1 1.

FUNGSI LAHAN 2 Hutan I Konservasi II

KPL 3

LUAS SASARAN (Ha) 4 0 0 0

POLA PENDEKATAN 5

Jumlah 2. Hutan Lindung I II Jumlah 3. Hutan Produksi I II

597,48 Reboisasi 836.48 Social Forestry/Hkm 1.433,96 1.824,27 Hutan Tanaman 11.260,17 Social Forestry/Hkm

Jumlah 13.084,44 4. APL I II 3.367,77 Penghijauan/Konstan 33.319,43 Hutan Rakyat

Jumlah 36.687,20 Total 51.205.60

5.

Kabupaten BEKASI Rencana Aksi Kegiatan Rehabiiltasi Hutan dan Lahan (RHL) untuk tahun 2003 sampai tahun 2007 Kabupaten Bekasi dilaksanakan dengan pola pendekatan sebagaimana tabel berikut :

Tabel 8. Rencana Aksi Kabupaten Bekasi

NO. 1 1.

FUNGSI LAHAN 2 Hutan I Konservasi II

KPL 3

LUAS SASARAN (Ha) 4 0 0 0

POLA PENDEKATAN 5

Jumlah 2. Hutan Lindung I II Jumlah 3. Hutan Produksi I II Jumlah 4. APL I II Jumlah Total

49,10 Reboisasi 1.964,06 Social Forestry/Hkm 2.013,16 0 0 0 429,59 Penghijauan/Konstan 7.255,37 Hutan Rakyat 7.684,96 9.698,12

6.

Kabupaten SUMEDANG Rencana Aksi Kegiatan Rehabiiltasi Hutan dan Lahan (RHL) untuk tahun 2003 sampai tahun 2007 Kabupaten Sumedang dilaksanakan dengan pola pendekatan sebagaimana tabel berikut : Tabel 9. Rencana Aksi Kabupaten Sumedang

NO. 1 1.

FUNGSI LAHAN 2 Hutan I Konservasi II

KPL 3

LUAS SASARAN (Ha) 4

POLA PENDEKATAN 5

452,39 Reboisasi Khusus 185,56 Pengayaan

Jumlah

637,95

2.

Hutan Lindung

I II

1.268,72 Reboisasi 5.920,72 Social Forestry/Hkm

Jumlah

7.189,44

3.

Hutan Produksi

I II

3.192,11 Hutan Tanaman 1.421,48 Social Forestry/Hkm

Jumlah

4.613,59

4.

APL

I II

4.371,00 Penghijauan/Konstan 26.109,85 Hutan Rakyat

Jumlah 30.480,85 Total 42.921,83

7. Kabupaten PURWAKARTA Rencana Aksi Kegiatan Rehabiiltasi Hutan dan Lahan (RHL) untuk tahun 2003 sampai tahun 2007 Kabupaten Purwakarta dilaksanakan dengan pola pendekatan sebagaimana table berikut :

Tabel 10. Rencana Aksi Kabupaten Purwakarta

NO. 1 1.

FUNGSI LAHAN 2 Hutan I Konservasi II

KPL 3

LUAS SASARAN (Ha) 4

POLA PENDEKATAN 5

13,78 Reboisasi Khusus 41,33 Pengayaan

Jumlah

55,11

2.

Hutan Lindung

I II

1.349,65 Reboisasi 449,88 Social Forestry/Hkm

Jumlah

1.799,53

3.

Hutan Produksi

I II

3.011,86 Hutan Tanaman 1.828,63 Social Forestry/Hkm

Jumlah

4.840,49

4.

APL

I II

425,61 Penghijauan/Konstan 3.043,89 Hutan Rakyat

Jumlah Total

3.469,50 10.164,63

8. Kabupaten SUBANG Rencana Aksi Kegiatan Rehabiiltasi Hutan dan Lahan (RHL) untuk tahun 2003 sampai tahun 2007 Kabupaten Subang dilaksanakan dengan pola pendekatan sebagaimana tabel berikut :

Tabel 11. Rencana Aksi Kabupaten Subang

NO. 1 1.

FUNGSI LAHAN 2 Hutan I Konservasi II

KPL 3

LUAS SASARAN (Ha) 4

POLA PENDEKATAN 5

28,15 Reboisasi Khusus 0

Jumlah

28,15

2.

Hutan Lindung

I II

0 4.792,47 Social Forestry/Hkm

Jumlah

4.792,47

3.

Hutan Produksi

I II

1.459,63 Hutan Tanaman 2.170,74 Social Forestry/Hkm

Jumlah

3.630,37

4.

APL

I II

624,74 Penghijauan/Konstan 4.044,26 Hutan Rakyat

Jumlah Total

4.669 13.119,99

9. Kabupaten KARAWANG Rencana Aksi Kegiatan Rehabiiltasi Hutan dan Lahan (RHL) untuk tahun 2003 sampai tahun 2007 Kabupaten Karawang dilaksanakan dengan pola pendekatan sebagaimana tabel berikut :

Tabel 12. Rencana Aksi Kabupaten Karawang

NO. 1 1.

FUNGSI LAHAN 2 Hutan I Konservasi II

KPL 3

LUAS SASARAN (Ha) 4 0 0

POLA PENDEKATAN 5

Jumlah

2.

Hutan Lindung

I II

873,55 Reboisasi 873,55 Social Forestry/Hkm

Jumlah

1.747,10

3.

Hutan Produksi

I II

5.264,03 Hutan Tanaman 1.316,01 Social Forestry/Hkm

Jumlah

6.580,04

4.

APL

I II

221,24 Penghijauan/Konstan 1.960,76 Hutan Rakyat

Jumlah Total

2.182 10.509,14

10.Kabupaten CIAMIS Rencana Aksi Kegiatan Rehabiiltasi Hutan dan Lahan (RHL) untuk tahun 2003 sampai tahun 2007 Kabupaten Ciamis dilaksanakan dengan pola pendekatan sebagaimana tabel berikut :

Tabel 13. Rencana Aksi Kabupaten Ciamis

NO. 1 1.

FUNGSI LAHAN 2 Hutan I Konservasi II

KPL 3

LUAS SASARAN (Ha) 4 0

POLA PENDEKATAN 5

358,42 Pengayaan

Jumlah

358,42

2.

Hutan Lindung

I II

3.897,61 Reboisasi 3.118,09 Social Forestry/Hkm

Jumlah

7.015,70

3.

Hutan Produksi

I II

3.129,16 Hutan Tanaman 1.862,59 Social Forestry/Hkm

Jumlah

4.991,75

4.

APL

I II

4.820,06 Penghijauan/Konstan 27.183,94 Hutan Rakyat

Jumlah Total

32.004 44.369,87

11.Kabupaten CIANJUR Rencana Aksi Kegiatan Rehabiiltasi Hutan dan Lahan (RHL) untuk tahun 2003 sampai tahun 2007 Kabupaten Cianjur dilaksanakan dengan pola pendekatan sebagaimana tabel berikut : Tabel 14. Rencana Aksi Kabupaten Cianjur

NO. 1 1.

FUNGSI LAHAN 2 Hutan I Konservasi II

KPL 3

LUAS SASARAN (Ha) 4

POLA PENDEKATAN 5

261,08 Reboisasi Khusus 578,09 Pengayaan

Jumlah

839,17

2.

Hutan Lindung

I II

4.693,06 Reboisasi 5.061,14 Social Forestry/Hkm

Jumlah

9.754,20

3.

Hutan Produksi

I II

10.939,93 Hutan Tanaman 3.581,53 Social Forestry/Hkm

Jumlah 14.521,46

4.

APL

I II

22.678,52 Penghijauan/Konstan 25.390,08 Hutan Rakyat

Jumlah 48.068,60 Total 73.183,43

12.Kabupaten INDRAMAYU Rencana Aksi Kegiatan Rehabiiltasi Hutan dan Lahan (RHL) untuk tahun 2003 sampai tahun 2007 Kabupaten Indramayu dilaksanakan dengan pola pendekatan sebagaimana tabel berikut :

Tabel 15. Rencana Aksi Kabupaten Indramayu

NO. 1 1.

FUNGSI LAHAN 2 Hutan I Konservasi II

KPL 3

LUAS SASARAN (Ha) 4 0 0

POLA PENDEKATAN 5

Jumlah

2.

Hutan Lindung

I II

71,35 Reboisasi 142,71 Social Forestry/Hkm

Jumlah

214,06

3.

Hutan Produksi

I II

16.115,49 Hutan Tanaman 12.019,84 Social Forestry/Hkm

Jumlah 28.135,33

4.

APL

I II

362,40 Penghijauan/Konstan 7.691,47 Hutan Rakyat

Jumlah Total

8.053,87 36.403,26

13.Kabupaten BANDUNG Rencana Aksi Kegiatan Rehabiiltasi Hutan dan Lahan (RHL) untuk tahun 2003 sampai tahun 2007 Kabupaten Bandung dilaksanakan dengan pola pendekatan sebagaimana tabel berikut : Tabel 16. Rencana Aksi Kabupaten Bandung

NO. 1 1.

FUNGSI LAHAN 2 Hutan I Konservasi II

KPL 3

LUAS SASARAN (Ha) 4

POLA PENDEKATAN 5

274,49 Reboisasi Khusus 608,11 Pengayaan

Jumlah

882,60

2.

Hutan Lindung

I II

7.608,52 Reboisasi 4.827,48 Social Forestry/Hkm

Jumlah

12.436

3.

Hutan Produksi

I II

473,52 Hutan Tanaman 131,54 Social Forestry/Hkm

Jumlah 28.740,39

4.

APL

I II

11.048,99 Penghijauan/Konstan 24.019,54 Hutan Rakyat

Jumlah 35.068,53 Total 77.127,52

14.Kabupaten GARUT Rencana Aksi Kegiatan Rehabiiltasi Hutan dan Lahan (RHL) untuk tahun 2003 sampai tahun 2007 Kabupaten Garut dilaksanakan dengan pola pendekatan sebagaimana tabel berikut :

Tabel 17. Rencana Aksi Kabupaten Garut

NO. 1 1.

FUNGSI LAHAN 2 Hutan I Konservasi II

KPL 3

LUAS SASARAN (Ha) 4

POLA PENDEKATAN 5

227,36 Reboisasi Khusus 90,95 Pengayaan

Jumlah

318,31

2.

Hutan Lindung

I II

10.586,91 Reboisasi 4.740,41 Social Forestry/Hkm

Jumla h

15.327,32

3.

Hutan Produksi

I II

137,26 Hutan Tanaman 14,01 Social Forestry/Hkm

Jumlah

151,27

4.

APL

I II

49.984,12 Penghijauan/Konstan 48.171,51 Hutan Rakyat

Jumlah 98.155,63 Total 113.952,53

15.Kabupaten KUNINGAN Rencana Aksi Kegiatan Rehabiiltasi Hutan dan Lahan (RHL) untuk tahun 2003 sampai tahun 2007 Kabupaten Kuningan dilaksanakan dengan pola pendekatan sebagaimana tabel berikut :

Tabel 18. Rencana Aksi Kabupaten Kuningan

NO. 1 1.

FUNGSI LAHAN 2 Hutan I Konservasi II

KPL 3

LUAS SASARAN (Ha) 4 0 0

POLA PENDEKATAN 5

Jumlah

2.

Hutan Lindung

I II

1.016,53 Reboisasi 13.214,90 Social Forestry/Hkm

Jumlah 14.231,43

3.

Hutan Produksi

I II

111,83 Hutan Tanaman 5.106,82 Social Forestry/Hkm

Jumlah

5.218,65

4.

APL

I II

1.311,15 Penghijauan/Konstan 10.892,67 Hutan Rakyat

Jumlah 12.203,82 Total 31.653,90

16.Kabupaten CIREBON Rencana Aksi Kegiatan Rehabiiltasi Hutan dan Lahan (RHL) untuk tahun 2003 sampai tahun 2007 Kabupaten Cirebon dilaksanakan dengan pola pendekatan sebagaimana tabel berikut :

Tabel 19. Rencana Aksi Cirebon

NO. 1 1.

FUNGSI LAHAN 2 Hutan I Konservasi II

KPL 3

LUAS POLA SASARAN PENDEKATAN (Ha) 4 0 0 5

Jumlah

2.

Hutan Lindung

I II

0 1.086,86 Social Forestry/Hkm

Jumlah

1.086,86

3.

Hutan Produksi

I II

0 0

Jumlah

4.

APL

I II

262,59 0

Jumlah Total

0 1.349,45

17.Kota DEPOK Rencana Aksi Kegiatan Rehabiiltasi Hutan dan Lahan (RHL) untuk tahun 2003 sampai tahun 2007 Kota Depok dilaksanakan dengan pola pendekatan sebagaimana tabel berikut

Tabel 20. Rencana Aksi Kota Depok

NO. 1 1.

FUNGSI LAHAN 2 Hutan I Konservasi II

KPL 3

LUAS SASARAN (Ha) 4 0 0

POLA PENDEKATAN 5

Jumlah

2.

Hutan Lindung

I II

0 0

Jumlah

3.

Hutan Produksi

I II

0 0

Jumlah

4.

APL

I II

11,40 Penghijauan/Konstan 456,07 Hutan Rakyat

Jumlah Total

467,47 467,47

18.Kota BEKASI Rencana Aksi Kegiatan Rehabiiltasi Hutan dan Lahan (RHL) untuk tahun 2003 sampai tahun 2007 Kota Bekasi dilaksanakan dengan pola pendekatan sebagaimana tabel berikut :

Tabel 21. Rencana Aksi Kota Bekasi

NO. 1 1.

FUNGSI LAHAN 2 Hutan I Konservasi II

KPL 3

LUAS SASARAN (Ha) 4 0 0

POLA PENDEKATAN 5

Jumlah

2.

Hutan Lindung

I II

0 0

Jumlah

4.

Hutan Produksi

I II

0 0

Jumlah

6.

APL

I II

95,47 Penghijauan/Konstan 2.219,57 Hutan Rakyat

Jumlah Total

2.315 2.315

19.Kota BANDUNG Rencana Aksi Kegiatan Rehabiiltasi Hutan dan Lahan (RHL) untuk tahun 2003 sampai tahun 2007 Kota Bandung dilaksanakan dengan pola pendekatan sebagaimana tabel berikut :

Tabel 22. Rencana Aksi Kota Bandung

NO. 1 1.

FUNGSI LAHAN 2 Hutan I Konservasi II

KPL 3

LUAS POLA SASARAN PENDEKATAN (Ha) 4 0 0 5

Jumlah

2.

Hutan Lindung

I II

0 0

Jumlah

3.

Hutan Produksi

I II

0 0

Jumlah

4.

APL

I II

0 321,08 Hutan Rakyat

Jumlah Total

321,08 321,08

20.Kota CIMAHI Rencana Aksi Kegiatan Rehabiiltasi Hutan dan Lahan (RHL) untuk tahun 2003 sampai tahun 2007 Kota Cimahi dilaksanakan dengan pola pendekatan sebagaimana tabel berikut :

Tabel 23. Rencana Aksi Kota Cimahi

NO. 1 1.

FUNGSI LAHAN 2 Hutan I Konservasi II

KPL 3

LUAS POLA SASARAN PENDEKATAN (Ha) 4 0 0 5

Jumlah

2.

Hutan Lindung

I II

0 0

Jumlah

3.

Hutan Produksi

I II

0 0

Jumlah

4.

APL

I II

0 285,39 Hutan Rakyat

Jumlah Total

285,39 285,39

21.Kota TASIKMALAYA Rencana Aksi Kegiatan Rehabiiltasi Hutan dan Lahan (RHL) untuk tahun 2003 sampai tahun 2007 Kota Tasikmalaya dilaksanakan dengan pola pendekatan sebagaimana tabel berikut :

Tabel 24. Rencana Aksi Kota Tasikmalaya

NO. 1 1.

FUNGSI LAHAN 2 Hutan I Konservasi II

KPL 3

LUAS SASARAN (Ha) 4 0 0

POLA PENDEKATAN 5

Jumlah

2.

Hutan Lindung

I II

487,65 Reboisasi 37,52 Social Forestry/Hkm

Jumlah

525,17

3.

Hutan Produksi

I II

0 0

Jumlah

4.

APL

I II

38,28 Penghijauan/Konstan 363,72 Hutan Rakyat

Jumlah Total

402 927,17

22.Kota BOGOR Rencana Aksi Kegiatan Rehabiiltasi Hutan dan Lahan (RHL) untuk tahun 2003 sampai tahun 2007 Kota Bogor dilaksanakan dengan pola pendekatan sebagaimana tabel berikut :

Tabel 25. Rencana Aksi Kota Bogor

NO. 1 1.

FUNGSI LAHAN 2 Hutan I Konservasi II

KPL 3

LUAS SASARAN POLA (Ha) PENDEKATAN 4 0 0 5

Jumlah

2.

Hutan Lindung

I II

0 0

Jumlah

3.

Hutan Produksi

I II

0 0

Jumlah

4.

APL

I II

0 280,49 Hutan Rakyat

Jumlah Total

280,49 280,49

23.Kota BANJAR Rencana Aksi Kegiatan Rehabiiltasi Hutan dan Lahan (RHL) untuk tahun 2003 sampai tahun 2007 Kota Banjar dilaksanakan dengan pola pendekatan sebagaimana tabel berikut :

Tabel 26. Rencana Aksi Kota Banjar

NO. 1 1.

FUNGSI LAHAN 2 Hutan I Konservasi II

KPL 3

LUAS POLA SASARAN PENDEKATAN (Ha) 4 0 0 5

Jumlah

2.

Hutan Lindung

I II

0 0

Jumlah

3.

Hutan Produksi

I II

0 0

Jumlah

4.

APL

I II

0 0

Jumlah Total

0 0

24.Kota SUKABUMI Rencana Aksi Kegiatan Rehabiiltasi Hutan dan Lahan (RHL) untuk tahun 2003 sampai tahun 2007 Kota Sukabumi dilaksanakan dengan pola pendekatan sebagaimana tabel berikut :

Tabel 27. Rencana Aksi Kota Sukabumi

N O. 1 1.

FUNGSI LAHAN 2 Hutan Konserva si

KPL

LUAS SASAR AN (Ha) 4 0

POLA PENDEKAT AN 5

3 I

II

Juml ah

2.

Hutan Lindung

I II

87,53 Reboisasi 0

Juml ah

87,53

3.

Hutan Produksi

I II

0 0

Juml ah

4.

APL

I II

16,75 Penghijaua n/Konstan 134,02 Hutan Rakyat

Juml ah Total

150,77 238,30

25.Kota CIREBON Rencana Aksi Kegiatan Rehabiiltasi Hutan dan Lahan (RHL) untuk tahun 2003 sampai tahun 2007 Kota Cirebon dilaksanakan dengan pola pendekatan sebagaimana tabel berikut :

Tabel 28. Rencana Aksi Kota Cirebon

NO. 1 1.

FUNGSI LAHAN 2 Hutan I Konservasi II

KPL 3

LUAS SASARAN (Ha) 4 0 0

POLA PENDEKATAN 5

Jumlah

2.

Hutan Lindung

I II

0 1.086,86 Social Forestry/Hkm

Jumlah

3.

Hutan Produksi

I II

0 0

Jumlah

4.

APL

I II

262,59 Penghijauan/Konstan 0

Jumlah Total

0 0

BAB XI.

PENUTUP ( PENGEMBANGAN MP-RHL DAERAH )

MP-RHL Daerah sebagai suatu kesepahaman dan acuan dalam perencanaan, pengendalian dan evaluasi pelaksanaan kegiatan RHL yang bersifat makro dan berdimensi Provinsi dengan jangka waktu 5 (lima) tahun kedepan masih perlu dirinci lebih detail, realistis oleh masing-masing kabupaten/kota dengan batasan unit pengelolaan pada DAS/Sub DAS. Beberapa hal yang dapat dikembangkan diwaktu mendatang, antara lain mencakup : 1. Data dan informasi kawasan hutan dan lahan kurang produktif per masingmasing kabupaten/kota sesuai hasil penafsiran citra landsat tahun 2001, perlu diakurasikan lebih lanjut dengan melakukan pengecekan lapangan (ground survey) khususnya pada sasaran lokasi prioritas penanganan pertama dan kedua perencanaan guna menghindari bias dari target sasaran RHL. 2. Arahan kebijakan dan strategi penanganan RHL yang telah disusun berdasarkan kriteria, indikator dan verifer RHL perlu dijabarkan dalam skala geografis (institusi, biofisik, sosial, ekonomi dan budaya serta desentralisasi yang telah dikembangkan di setiap kabupaten/kota) termasuk menyusun dan mempublikasikan berbagai pedoman

pelaksanaan dan petunjuk teknis RHL di daerah. 3. Hasil perencanaan kegiatan RHL yang akan dilaksanakan perlu disosialisasikan dengan institusi terkait lainnya di kabupaten/kota bahkan ditindak lanjuti sampai ke tingkat desa/kelurahan sebagai lokasi sasaran kegiatan RHL terutama pada lokasi konflik lahan. 4. Pada waktu mendatang diperlukan peta-peta detail penutupan lahan yang berskala besar (skala 1 : 50.000 atau 1: 25.000) untuk suatu arahan detail rencana pelaksanaan kegiatan lapangan RHL. 5. Dalam keadaan khusus, yakni pada lahan di daerah hulu DAS/Sub DAS yang kondisi hutannya perlu tetap terjaga kelestariannya, maka dibentuk

suatu peraturan dengan wilayah hilir terutama dalam mensubsidi kebutuhan di daerah hulu. 6. Dalam hal menghindari tumpang tindih perencanaan RHL diberbagai fungsi kawasan hutan yang ada, maka pengembangan MP-RHL Daerah ke depan telah merangkum berbagai produk rencana pengelolaan hutan yang ada. 7. Untuk pelaksanaan RHL pada kawasan HL yang te rdapat konflik sebagai akibat meluasnya pemukiman illegal, pengelolaannya perlu melibatkan peran aktif masyarakat atau berbasis masyarakat dengan kesepakatan khusus dan pemilihan jenis tanaman berkayu secara tepat guna (buah, getah, kulit dan sebagainya). 8. Untuk pelaksanaan RHL pada kawasan HP dan HPT yang telah terdapat konflik, maka pengelolaannya disamping tetap melibatkan masyarakat setempat dengan pola HKm, perlu diikuti dengan suatu aturan yang mengikat dan berjangka panjang termasuk kerjasama dengan para investor yang berminat. 9. Untuk pelaksanaan RHL pada kawasan hutan mangrove (bakau) terutama pada daerah pesisir, pengelolaannya dengan melibatkan peran aktif kelompok-kelompok tani desa terdekat. Dalam hal ini penerapannya pola wanamina untuk RHL mangrove merupakan salah satu pilihan. 10. Rehabilitasi lahan kritis di luar kawasan hutan diselenggarakan melalui lingkup kegiatan penghijauan. Selanjutnya pengembangan di waktu mendatang ditempuh dengan pola kemitraan antara masyarakat pemilik lahan dengan pihak investor (donatur). 11. Forum komunikasi yang telah ada saat ini yang terdiri dari unsur pemerintah dan masyarakat perlu ditingkatkan perannya dalam

mengkomunikasikan rencana dan realisasi RHL agar mampu mencari solusi untuk menekan meluasnya lahan kritis di waktu mendatang. Dalam hal ini penduduk Jawa Barat sebagai komponen dari lingkungan hidup (imanen) yang perlu berinisiatif.

12. Dari

sistem

pendanaan

RHL

disamping

Pemerintah

Pusat

mengalokasikan melalui DAK/DR, maka perlu dikembangkan pendanaan operasional lainnya melalui Pemerintah Daerah (Kabupaten/Kota) bahkan dapat dibentuk suatu wadah independen yang dapat menghimpun danadana dari pihak stakeholder (swasta lokal atau pihak investor asing yang berkepentingan dengan fungsi hutan). 13. Pengunaan Dana Reboisasi wajib berpedoman pada rencana rehabilitasi hutan dan lahan yang telah disepakati para pihak terkait di kabupaten/kota yang bersangkutan (pasal 13 ayat 2 PP No. 35 tahun 2002). Dalam hal ini diperlukan suatu percepatan penyelesaian rencana detail MP-RHL Daerah tingkat kabupaten/kota. 14. Sistem pendanaan rehabilitasi mangrove setelah pasca percontohan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang ada selama ini, perlu melibatkan para pengusaha lainnya terutama dibidang pariwisata (hotel dan restaurant) dan pengusaha dibidang perikanan (kelompok nelayan) melalui negoisasi. 15. Menyelenggarakan kabupaten/kota, lomba keberhasilan RHL RHL ditingkat disetiap Provinsi tingkat secara seminar/lokakarya

berkesinambungan untuk mempertahankan semangat para stakeholder yang komit terhadap kelestarian lingkungan hidup.

Anda mungkin juga menyukai