Anda di halaman 1dari 3

Etnik Tionghoa, Pribumi Indonesia dan Kemajemukan: Peran Negara, Sejarah, dan Budaya dalam Hubungan antaretnis

A Foreword
Leo Suryadinata (Institute of Southeast Asian Studies)
Semenjak berabad-abad lalu, etnik Tionghoa berada di Indonesia dengan jumlah cukup besar. Tetapi, karena persoalan menyangkut etnis masih dianggap peka, sebelum tahun 2000, jumlah suku bangsa/etnis di Indonesia tidak pernah dimasukkan ke dalam sensus penduduk Republik Indonesia. Perhitungan jumlah etnik Tionghoa ditaksir berdasarkan sensus tahun 1930. Pada waktu itu, jumlah etnik Tionghoa hanya 1,2 juta, kira-kira 2,03% penduduk Indonesia. Menurut pendapat lain, jumlah etnik Tionghoa di antara 2,5% dan 3% atau bahkan lebih besar, yaitu berkisar antara 45%. Sensus 2000 tidak memberikan jumlah etnik Tionghoa yang lengkap. Hasil perhitungan menunjukkan angka 1,7 juta, atau kira-kira 0,86%. Jika ditambah dengan etnik Tionghoa asing, jumlahnya kira-kira 1,8 juta, yaitu 0,91%. Tetapi menurut perhitungan kami berdasarkan sensus 2000, jumlah penduduk Tionghoa (WNI dan WNA) kira-kira 3 juta orang, yaitu sekitar 1,5% (Suryadinata, Arifin, dan Ananta 2003). Jumlahnya lebih besar daripada sensus 1930, namun angka dalam persen lebih rendah dibandingkan sensus 1930. Menurunnya persentasi etnik Tionghoa mungkin disebabkan oleh tiga faktor utama: angka kelahiran yang menurun, imigrasi ke luar negeri akibat gejolak politik dan sosial, dan kebijakan asimilasi selama Orde Baru. Faktor yang terakhir ini ada hubungannya dengan tema khusus ANTROPOLOGI INDONESIA kali ini, yaitu kebijakan negara Indonesia terhadap minoritas etnik Tionghoa. Leo Suryadinata membahas kebijakan pemerintah Indonesia menyangkut persoalan etnis Cina dari masa ke masa, terutama masa Orde Baru dengan proyek kebijakan asimilasi dan masa pasca rezim Soeharto. Kebijakan ini ditandai dengan penghapusan pilar-pilar kebudayaan Tionghoa (termasuk penutupan sekolah Tionghoa, pembubaran organisasi etnik Tionghoa dan pemberedelan mass media Tionghoa) serta simbol-simbol dan adat-istiadat etnik Tionghoa. Dalam keadaan demikian, sejumlah orang Tionghoa telah dibaur dan tidak merasa sebagai Tionghoa lagi. Leo menegaskan bahwa kelompok etnik Tionghoa tidak lenyap dan jumlahnya masih sangat besar di Indonesia. Dengan berubahnya kebijakan pemerintah menjadi lebih akomodatif, kebangkitan identitas diri etnik Tionghoa bukan hal yang tidak mungkin. Tulisan Charles Coppel membahas kesulitan etnik Tionghoa untuk dapat diterima oleh kaum nasionalis Indonesia sebagai bagian dari nasion Indonesia. Penulis menggunakan perspektif sejarah, sejak zaman kolonial hingga sekarang. Menurut Coppel, masyarakat kolonial membedabedakan penduduk Indonesia berdasarkan ras/suku bangsa yang mempengaruhi pemikiran

ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003

iii

nasionalis-nasionalis Indonesia, sehingga mengakibatkan terpisahnya peranakan Tionghoa dari pergerakan nasional Indonesia. Di samping itu, nasionalisme Tionghoa timbul lebih awal dari nasionalisme Indonesia. Nasionalisme Tionghoa termasuk peranakan, tumbuh terpisah dari dan dikehendaki pemerintah Indonesia rezim Orde Baru dengan kebijakan asimilasinya. Di satu sisi kecenderungan untuk mempertahankan identitas etnisnya terdapat pada sebagian warga etnik Tionghoa; sedangkan di sisi lain, mereka telah merasa menjadi bagian dari masyarakat Indonesia Nasionalisme Indonesia dikonstruksi berdasarkan konsep kepribumian (indigenism), dan etnik Tionghoa dikategorikan sebagai orang asing atau Vreemde Oosterlingen (Foreign Oriental) yang dianggap bukan merupakan bagian dari nasion Indonesia. Nasion Indonesia didefinisikan sebagai milik bangsa pribumi, yaitu kelompok yang mempunyai daerah mereka sendiri. Kedudukan orang Tionghoa sebagai orang asing dibahas oleh Parsudi Suparlan dengan menitikberatkan pentingnya menerapkan konsep kesukubangsaan (atau etnisitas) dalam masyarakat Indonesia. Selanjutnya, konsep pribumi sebagai tuan rumah telah berakar di bumi Indonesia. Etnik Tionghoa dianggap sebagai nonpribumi dan pendatang baru yang tidak bisa diterima sebagai sukubangsa Indonesia sebelum mereka mengasimilasi diri. Menurut Suparlan, pribumi juga mempunyai stereotipe tentang etnik Tionghoa. Mereka memiliki persepsi bahwa etnik Tionghoa merupakan sebuah kelompok etnis yang menduduki tangga ekonomi lebih tinggi dan terpisah dari pribumi. Implikasinya, konsep masyarakat majemuk yang menekankan pada pentingnya kesukubangsaan, akan selalu menempatkan posisi orang Cina sebagai orang asing, walaupun orang Cina tersebut berstatus WNI. Secara tidak langsung, ia mengatakan bahwa etnik Tionghoa yang nonpri harus membaur menjadi pribumi kalau ingin diterima sebagai orang Indonesia. Tidak bisa dinafikan bahwa rezim Soeharto memberlakukan kebijakan asimilasi total. Usman Pelly membahas penerapan kebijakan ini dalam sekolah asimilatif di Sumatra Utara selama zaman Orde Baru. Ia melakukan penelitian lapangan di delapan sekolah asimilatif yang didirikan pada masa Orde Baru. Ia membandingkan nilai-nilai pelajar etnik Tionghoa di sekolah-sekolah ini, yang terdiri atas sekolah nasional swasta. Ia menarik kesimpulan bahwa para pelajar etnik Tionghoa lebih membaur dalam sekolah yang dikelola oleh yayasan agama Islam dibandingkan dengan mereka yang berada dalam lingkungan sekolah nasional. Namun, secara umum pelajar etnik Tionghoa belum terbaur menjadi pribumi sebagaimana yang diartikan dan dikehendaki pemerintah Indonesia rezim Orde Baru dengan kebijakan asimilasinya. Di satu sisi kecenderungan untuk mempertahankan identitas etnisnya terdapat pada sebagian warga etnik Tionghoa, sedangkan di sisi lain, mereka telah merasa menjadi bagian dari masyarakat Indonesia Mely G.. Tan memusatkan perhatiannya pada masalah kaum perempuan yang menjadi korban kekerasan, termasuk perempuan Tionghoa. Ia berpendapat bahwa sumber kekerasan ini berasal dari kebudayaan yang bias gender, yang menganggap perempuan berkedudukan lebih rendah daripada laki-laki. Tulisan Tan membahas keadaan kaum perempuan di Indonesia, terutama perkembangan mutakhir kekerasan terhadap perempuan pada umumnya, dan secara khusus menimpa perempuan etnik Tionghoa. Ia menyatakan bahwa walaupun kekerasan terhadap perempuan telah terjadi semenjak lama, peristiwa Mei 1998 telah memberikan kesadaran baru tentang masalah ini. Hal yang menarik adalah kajian ini mencakup pengalaman perempuan Tionghoa di Kalimantan Barat yang miskin. Mereka diekspor ke Taiwan sebagai isteri atau budak dan mengalami kehidupan yang menderita. Namun, masyarakat setempat acuh tidak

iv

ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003

acuh terhadap penderitaan mereka sebagai bukti adanya kebudayaan yang bias gender. Rupanya, perubahan mindset diperlukan untuk mencapai keadilan, dengan harapan kekerasan terhadap kaum perempuan bisa dibasmi sampai ke akar-akarnya. Dengan tumbangnya rezim Soeharto, kebijakan Pemerintah Indonesia juga berubah. Politik asimilasi telah dihapuskan secara resmi. Pilar-pilar kebudayaan Tionghoa dipulihkan kembali, meskipun pembukaan sekolah Tionghoa ala pemerintahan Sukarno masih tidak diizinkan. Kebebasan menggunakan bahasa Tionghoa telah diakui, bahkan perayaan festival etnik Tionghoa juga telah diizinkan oleh negara. Walaupun diskriminasi etnis belum terkikis habis, namun minoritas etnis mulai mendapat jaminan, sekurang-kurangnya dari sudut hukum. Tulisan Pamela Allen memusatkan perhatian pada masalah kesusasteraan Tionghoa di Indonesia sejak runtuhnya rezim Soeharto. Menurutnya, para penulis Tionghoa Indonesia mulai memberikan suara baru dan lebih menonjol sejak tragedi bulan Mei 1998 melanda masyarakat Tionghoa di Indonesia. Para penulis Tionghoa di Indonesia, yang bergabung dalam beberapa kelompok sastra, mulai menyuarakan pendapat dan perasaan mereka. Namun ketionghoaannya ini tidak sama seperti stereotipe ketionghoaan yang sering dibayangkan sebagian warga Indonesia karena unsur ketionghoaan sudah bercampur dengan tradisi Indonesia. Orientasi dan referensinya bukan lagi kepada negara leluhur, akan tetapi bumi Indonesia dengan semangat keindonesiaan. Dalam tulisannya, Allen membahas sajak-sajak yang ditulis oleh orang-orang kelompok Yinhua (singkatan dari yinni huaren atau etnik Tionghoa Indonesia) yang menulis dalam bahasa Tionghoa dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Walaupun keenam tulisan yang diterbitkan dalam edisi ini tidak semuanya memfokus pada kebijakan negara Indonesia terhadap etnik Tionghoa, kesemuanya menyentuh peran negara dan dampaknya terhadap minoritas Tionghoa, serta persoalan etnisitas di Indonesia. Kedudukan etnik Tionghoa sebagai nonpri mengemuka dalam semua tulisan dengan faktor sejarah dan budaya sebagai penyebab utama. Di samping itu, semua artikel memberikan sekelumit gambaran tentang proses adaptasi minoritas Tionghoa. Dengan munculnya pemerintahan yang lebih demokratis di Indonesia serta globalisasi, proses adaptasi etnik Tionghoa di Indonesia mungkin mengalami perubahan. Dalam tingkatan tertentu, multikulturalisme akan lebih efektif dibandingkan dengan asimilasi. Meskipun demikian, pembangunan nasion Indonesia masih jauh dari selesai. Seiring dengan menguatnya persoalan identitas keetnisan, nasionalisme bisa terancam menjadi nasionalisme suku bangsa yang sempit.

Referensi
Suryadinata, E.N. Arifin dan A. Ananta 2003 Indonesias Population: Ethnicity and Religion in a Changing Political Landscape. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.

ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003

Anda mungkin juga menyukai