Anda di halaman 1dari 8

PEMBANGKITAN ATURAN FUZZY MENGGUNAKAN FUZZY C-MEANS (FCM) CLUSTERING UNTUK DIAGNOSA RISIKO PENYAKIT JANTUNG KORONER (PJK)

Resti Ludviani1, Candra Dewi, Dian Eka Ratnawati Program Studi Ilmu Komputer, Jurusan Matematika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Brawijaya Malang Jalan Mayjen Haryono 169, Malang 65145, Indonesia Email1: restiludvi@gmail.com

ABSTRAK Aturan fuzzy biasanya didefinisikan oleh pakar sehingga memerlukan waktu, pengalaman, dan keahlian pakar. Pembangkitan aturan fuzzy secara otomatis oleh sistem dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan ini. Aturan fuzzy dapat diekstraksi dari data dengan menggunakan beberapa teknik, salah satunya adalah Fuzzy C-Means (FCM) clustering. FCM memiliki kelebihan yaitu pusat kelompok dan hasil pengelompokkan tidak mudah berubah dengan adanya data baru yang bernilai ekstrim. Pada penelitian ini, dilakukan pembangkitan aturan fuzzy pada sistem diagnosa penyakit jantung koroner (PJK) untuk mengetahui implementasi FCM clustering dalam pembangkitan aturan fuzzy dan akurasi dari hasil sistem tersebut. Penelitian dilakukan dengan beberapa skenario uji coba, dengan jumlah data latih yang berbeda. Setiap uji coba, dilakukan percobaan sebanyak 5 kali. Hasil uji coba kemudian dianalisis dimana aturan fuzzy dan akurasi sistem dari setiap skenario uji coba dibandingkan sehingga aturan fuzzy yang terbaik dapat diketahui. Hasil penelitian menunjukkan bahwa akurasi maksimum yang dihasilkan sistem diagnosa risiko PJK melalui pembangkitan aturan fuzzy menggunakan FCM adalah 50%, yaitu pada jumlah aturan 2 dengan nilai batasan varian sebesar 0,0338 pada jumlah data latih 70. Kata kunci: aturan fuzzy, sistem fuzzy, penyakit jantung koroner (PJK), clustering, FCM 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebelum ditemukan konsep kecerdasan buatan, suatu permasalahan tidak dapat diprediksi tanpa campur tangan seorang pakar secara langsung sehingga memakan waktu yang lama dalam proses pengambilan keputusan. Seiring dengan perkembangan kecerdasan buatan, suatu permasalahan dapat diprediksi walaupun pakar tidak terlibat secara langsung. Salah satu metode kecerdasan buatan yang sering digunakan untuk menggantikan pakar adalah sistem fuzzy, hal ini karena logika fuzzy terbukti dapat dipakai untuk memodelkan proses berpikir manusia yang penuh ketidakpastian (Priyono, dkk., 2007). Logika fuzzy merupakan logika yang memiliki nilai kekaburan atau kesamaran (fuzzyness) yang digunakan untuk melakukan penalaran (Kusumadewi, 2010). Pada umumnya, aturan fuzzy didefinisikan oleh pakar, dimana proses ini memerlukan waktu, pengalaman, dan keahlian pakar (Arapoglou, dkk., 2010). Namun, terkadang pakar dapat mengalami kesulitan mendefinisikan aturan pada kasus tertentu. Teknik pembentukan aturan secara otomatis oleh sistem dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Aturan fuzzy dapat diekstraksi dari data dengan menggunakan teknik clustering seperti Fuzzy C-Means (FCM). Sistem fuzzy dapat digunakan untuk menangani permasalahan yang rumit seperti diagnosa risiko Penyakit Jantung Koroner (PJK). PJK merupakan kelainan yang disebabkan oleh penyempitan pembuluh arteri yang mengalirkan darah ke otot jantung (Soeharto, 2010). Karena PJK termasuk penyakit yang berbahaya, sistem diagnosa untuk memeriksa risiko PJK akan sangat bermanfaat. Faktor risiko PJK berupa data numerik sehingga dapat digunakan untuk membangkitkan aturan diagnosa risiko PJK. 1.2 Rumusan Masalah Permasalahan yang ada pada skripsi ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana membangkitkan aturan fuzzy dari data faktor risiko penyakit jantung koroner pasien dengan algoritma fuzzy C-means (FCM)? 2. Bagaimana akurasi aturan fuzzy yang terbentuk jika diimplementasikan pada 1

sistem fuzzy untuk diagnosa risiko penyakit jantung koroner? 1.3 Batasan Masalah Masalah yang dibahas pada skripsi ini dibatasi pada: 1. Pembentukan aturan fuzzy didasarkan pada faktor risiko PJK, yaitu umur, kadar LDL, kadar HDL, kolestrol total, trigliserida, dan tekanan darah sistolik. 2. Tidak menangani data yang memiliki missing value pada data latih maupun data uji, sehingga input setiap data harus lengkap. 3. Aturan (rules) hasil pembangkitan digunakan untuk inferensi fuzzy TSK. 4. Diagnosa risiko PJK pada penelitian ini ditentukan berdasarkan kelas risiko PJK pada penelitian yang dilakukan Wahyuni (2011). 1.4 Tujuan Penelitian Skripsi ini dibuat dengan tujuan untuk: 1. Membangkitkan aturan fuzzy dari data faktor risiko penyakit jantung koroner pasien dengan algoritma fuzzy C-means 2. Menghitung akurasi aturan fuzzy yang terbentuk jika diimplementasikan pada sistem fuzzy untuk diagnosa risiko penyakit jantung koroner. 1.5 Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diambil dari skripsi ini yaitu menghasilkan aplikasi yang dapat membangkitkan aturan pada sistem fuzzy untuk diagnosa risiko PJK, sehingga dapat membantu dalam mendeteksi risiko penyakit jantung koroner (PJK) secara dini. 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Jantung Koroner Penyakit Jantung Koroner (PJK) adalah suatu kelainan disebabkan oleh penyempitan atau penghambatan pembuluh arteri yang mengalirkan darah ke otot jantung. Bilamana penyempitan ini menjadi parah maka dapat terjadi serangan jantung. Adapun penyempitan pembuluh arteri ke otak dapat menimbulkan stroke. Kondisi tubuh yang semakin tua dan memburuk oleh bermacam-macam faktor risiko, seperti tekanan darah tinggi, merokok, kadar kolesterol darah yang abnormal, dapat menyebabkan PJK (Imam, 2010). Adapun faktor risiko PJK yang dapat digunakan sebagai parameter untuk diagnosa, yaitu (Wahyuni, 2011): 1. Umur 2. Kadar LDL 3. Kadar HDL

4. Kadar kolesterol total 5. Kadar trigliserida 6. Tekanan darah sistolik Sedangkan diagnosa risiko PJK terbagi dalam beberapa kelas dan rentang nilai sebagai berikut: Tabel 2.1 Rentang nilai kelas risiko PJK
No 1 2 3 4 5 Rentang nilai risiko (y) Kurang dari 10 (y 10) 10 < y 20 20 < y 30 30 < y 40 Lebih dar 40 (y > 40) Kelas risiko PJK Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi

2.2 Logika Fuzzy 2.2.1 Definisi logika fuzzy Logika fuzzy merupakan logika yang memiliki nilai kekaburan atau kesamaran (fuzzyness), yang digunakan untuk membantu pengambilan keputusan dalam suatu permasalahan. Logika fuzzy pertama kali diperkenalkan oleh Lotfi A. Zadeh. Logika fuzzy digunakan untuk menerjemahkan suatu besaran yang diekspresikan menggunakan bahasa/linguistik (Kusumadewi, 2010). 2.2.2 Fungsi keanggotaan Gauss Fungsi keanggotaan (membership function) adalah suatu kurva yang menunjukkan pemetaan titik-titik input data ke dalam nilai keanggotaan ( derajat keanggotaan) yang memiliki interval antara 0 sampai 1. Untuk merepresentasikan bilangan fuzzy, dapat digunakan kurva lonceng Gauss. Nilai kurva Gauss untuk suatu nilai domain x ditunjukkan pada gambar (2.1), dengan fungsi keanggotaan Gauss seperti pada persamaan (2.1) (Kusumadewi, 2010). (2.1)

Gambar 2.1 Kurva Gauss (Kusumadewi, 2010) 2.2.3 Sistem inferensi fuzzy TSK Secara umum bentuk model fuzzy TSK orde-satu adalah: 2

IF(x1 is A1)oo(xN is AN) THEN z = p1*x1++pN*xN+q dengan Ai adalah himpunan fuzzy ke-i sebagai antiseden, dan k adalah suatu konstanta (tegas) ke-i dan q juga merupakan konstanta dalam konsekuen. Apabila komposisi aturan menggunakan metode TSK maka defuzzifikasi dilakukan dengan mencari nilai rata-rata. Misal diasumsikan terdapat dua aturan fuzzy sebagai berikut:
R1: if u is A1 and v is B1 then w= f1(u, v) = p1u +q1v +r1 R2: if u is A2 and v is B2 then w= f2(u, v) = p2u +q2v +r2

3.

Maksimum iterasi = MaxIter; Eror terkecil yang diharapkan = ; Fungsi obyektif awal = P0= 0; Iterasi awal = t = 1; Membangkitkan bilangan random ik. i = 1, 2, , n; k = 1, 2, , c; sebagai elemenelemen matriks partisi awal U. Kemudian, menghitung jumlah setiap kolom dengan persamaan (2.3), (2.3) dengan j= 1, 2, , n. Setelah itu, menghitung derajat keanggotaan awal dengan persamaan (2.4). (2.4)

dimana p1, p2, q1, dan q2 adalah konstanta. Nilai inferensi dari aturan pertama adalah f1(u0, v0) dimana u0 dan v0 adalah input tunggal, dan 1 adalah derajat keanggotaan pada aturan pertama. Nilai inferensi dari aturan kedua adalah f2(u, v) dengan 2 adalah derajat keanggotaan pada aturan kedua. Derajat keanggotaan yang sesuai didapatkan dari Defuzzifikasi hasil inferensi TSK dapat dilakukan dengan metode weighted average yang ditunjukkan oleh persamaan (2.2) (Lee, 2005):

4.

Menghitung pusat cluster ke-k (Vkj) berdasarkan persamaan (2.5), dengan k=1,2, ,c; dan j=1, 2, , m. (2.5)

5.

Menghitung fungsi obyektif pada iterasi ket (Pt) sesuai persamaan (2.6).

2
(2.2) 2.2.4 Fuzzy C-Means (FCM) Fuzzy C-Means (FCM) merupakan salah satu algoritma fuzzy clustering. Fuzzy C-Means (FCM) adalah suatu teknik peng-cluster-an data yang keberadaan setiap titik data dalam suatu cluster ditentukan oleh derajat keanggotaan. Konsep dasar FCM yaitu menentukan pusat cluster, yang akan menandai lokasi rata-rata untuk setiap cluster. Dengan cara memperbaiki pusat cluster dan derajat keanggotaan setiap titik data secara berulang, maka akan dapat dilihat bahwa pusat cluster akan bergerak menuju lokasi yang tepat. Perulangan ini didasarkan pada pada minimisasi fungsi obyektif yang menggambarkan jarak dari titik data yang diberikan ke pusat cluster yang terbobot oleh derajat keanggotaan titik data tersebut. Algoritma Fuzzy C-Means (FCM) adalah sebagai berikut (Kusumadewi, 2010): 1. Input data yang akan di-cluster X, berupa matriks berukuran n x m (n = jumlah sampel data, m = atribut setiap data). Xij = data sampel ke-i (i = 1, 2, 3, , n), atribut ke-j (j = 1, 2, 3, , m). 2. Menentukan: Jumlah cluster = c; Pangkat = w; 6. Menghitung perubahan matriks berdasarkan persamaan (2.7).

(2.6) partisi

(2.7)

7.

dengan i = 1, 2, , n; dan k = 1, 2, , c. Memeriksa kondisi berhenti: Jika: (|Pt Pt-1| < ) atau (t > MaxIter) maka berhenti; Jika tidak: t = t+1, ulangi langkah ke-4.

2.2.5 Ekstraksi aturan fuzzy dari cluster Derajat keanggotaan dapat dicari dengan menggunakan fungsi Gauss karena terdapat n buah titik data (Xij) dan pusat cluster (Vkj). Berdasarkan hal itu, bentuk umum fungsi Gauss pada persamaan (2.1) dapat ditulis menjadi persamaan (2.8) (Kusumadewi, 2010). (2.8)
Keterangan: xij = data i atribut ke-j vkj = pusat cluster ke-k atribut ke-j kj = standar deviasi dari cluster ke-k atribut ke-j

Sedangkan standar deviasi () diperoleh dari persamaan (2.9) (Walpole, 1995). (2.9)
Keterangan: = standar deviasi x = data = mean (rata-rata) n = jumlah data

Mulai proses berikut, derajat keanggotaan hanya melibatkan variabel-variabel input saja. Nilai j=1, 2, , m digunakan untuk menyatakan variabel input saja (m = jumlah variabel input). Nilai output dicari melalui langkah-langkah sebagai berikut (Kusumadewi, 2010): Derajat keanggotaan setiap data i dalam cluster k dikalikan dengan setiap atribut j dari data i, yang dapat dimisalkan dengan dkij dan dihitung berdasarkan persamaan (2.10). (2.10) Proses normalisasi dilakukan dengan cara membagi dkij dan dki(m+1) dengan jumlah derajat keanggotaan setiap titik data i pada cluster k menggunakan persamaan (2.11) untuk dkij dan persamaan (2.12) untuk dki(m+1). (2.11) (2.12) Langkah selanjutnya adalah membentuk matriks U yang berukuran n x (c*(m+1)) Sehingga untuk n titik data akan diperoleh matriks U sebagai berikut: u11 u12 u1m u1(m+1) u1(c*(m+1)) U= u21 u22 u2m u2(m+1) u2(c*(m+1)) . . . . . . . . . . Un1un2 unm un(m+1) un(c*(m+1)) Selanjutnya, dilakukan perhitungan kuadrat terkecil (least square) untuk membentuk matriks K dengan persamaan (2.13) (Fariska, 2008). (2.13)
Keterangan: k = koefisien output Y = nilai target output U = matriks U

2.3 Analisis Cluster Varian digunakan untuk mengukur nilai penyebaran dari data-data hasil clustering. Varian pada clustering ada dua macam, yaitu variance within cluster dan variance between cluster. Kepadatan suatu cluster bisa ditentukan dengan variance within cluster (Vw) dan variance between cluster (Vb) (Man, dkk., 2009). Varian pada setiap tahap pembentukan cluster bisa dihitung dengan persamaan (2.14). (2.14)
dimana, Vc2 = varian pada cluster c c =1..k, dimana k= jumlah cluster nc = jumlah data pada cluster c yi = data ke-i pada suatu cluster = rata-rata dari data pada suatu cluster

Berdasarkan nilai varian cluster yang diperoleh, maka nilai variance within cluster (Vw) dapat dihitung dengan persamaan (2.15). (2.15)
dimana, N = jumlah semua data ni = jumlah data cluster i Vi = varian pada cluster i

dan nilai variance between cluster (Vb) dapat dihitung dengan persamaan (2.16). (2.16)
dimana, sedangkan = rata-rata data pada cluster ke-i = rata-rata dari yi.

Salah satu metode yang digunakan untuk menentukan cluster yang ideal adalah batasan varian, yaitu dengan menghitung variance within cluster (Vw) dan variance between cluster (Vb). Cluster yang ideal mempunyai Vw minimum yang merepresentasikan internal homogenity dan Vb maksimum yang menyatakan external homogenity. Batasan varian dinyatakan dalam persamaan (2.17). (2.17) Berdasarkan persamaan (2.17), semakin kecil nilai batasan varian maka semakin baik pengklasteran yang dilakukan. 2.4 Akurasi Sistem Akurasi merupakan seberapa dekat suatu angka hasil pengukuran terhadap angka sebenarnya (true value atau reference value). Akurasi dapat diperoleh dari persentase kebenaran, yaitu perbandingan antara jumlah diagnosa yang tepat dengan jumlah data 4

Untuk mempermudah komputasi, matriks K yang berukuran c x (m+1), disusun menjadi satu vektor berisi koefisien output yang nantinya digunakan dalam perhitungan inferensi TSK.

keseluruhan (Nugraha, 2006). dinyatakan dalam persamaan (2.18).

Akurasi (2.18)

3. METODOLOGI DAN PERANCANGAN 3.1 Data Penelitian Data yang digunakan diambil dari data penelitian diagnosa Penyakit Jantung Koroner (PJK) yang dilakukan oleh Wahyuni (2011), yang diperoleh dari data rekam medik pasien RSU Saiful Anwar, RSI Unisma Malang, dan laboratorium cek fisik kesehatan. Data yang digunakan sebanyak 100 data pasien yang dinyatakan positif terkena penyakit jantung koroner. 3.2 Perancangan Sistem Sistem memiliki 2 proses utama, yaitu proses pembangkitkan aturan fuzzy dan proses diagnosa risiko PJK dengan sistem fuzzy. Pembangkitan aturan merepresentasikan proses pelatihan sedangkan diagnosa PJK merepresentasikan proses pengujian. Perancangan proses pelatihan dan pengujian ditunjukkan oleh gambar 3.1 dan 3.2.
Mulai Input data PJK & parameter clustering

Data untuk pelatihan berupa dataset PJK yang terdiri atas faktor risiko PJK (umur, kadar LDL, kadar kolesterol total, kadar HDL, kadar (2.18) trigliserida, tekanan darah sistolik) dan nilai risiko PJK. Proses clustering data PJK dilakukan untuk mengelompokan data dan menemukan pusat cluster setiap kelompok. Kemudian, proses analisis varian dilakukan untuk mendapatkan nilai batasan varian (V) untuk setiap jumlah cluster yang diperhitungkan. Rangkaian proses ini dilakukan secara iteratif hingga kondisi berhenti, dimana iterasi mencapai jumlah data dikurangi satu (n1). Kemudian, dilakukan percobaan clustering dengan jumlah cluster terpilih/ideal (c_pil) sebanyak 5 kali. Hasil clustering dipilih berdasarkan nilai batasan varian minimum dari ke-5 percobaan tersebut. Kemudian, proses yang dijalankan adalah ekstraksi aturan fuzzy. Proses ini berguna untuk membangkitkan aturan sebagai dasar penentuan diagnosa risiko PJK dalam sistem fuzzy. Aturan fuzzy yang dihasilkan proses pelatihan berupa data pusat cluster, standar deviasi, serta koefisien output dari jumlah cluster terpilih.
Mulai Input data pengujian (Xj) dan aturan fuzzy (kj dan Vkj)

Apakah c>=2 AND c<n?

Fuzzifikasi

ya

Perhitungan nilai Z
Clustering data PJK

Analisis varian Pilih jumlah cluster varian terkecil (c_pil)

Defuzzifikasi
tidak

Output Diagnosa risiko PJK

For a=1 to 5 Clustering data PJK pada c_pil Pilih hasil cluster dengan varian terkecil a

Selesai

Gambar 3.2 Alur proses pengujian Proses fuzzifikasi berguna untuk mengubah nilai tegas data (crisp) menjadi nilai fuzzy (derajat keanggotaan rentang 0 hingga 1). Proses perhitungan nilai Z berguna untuk mengetahui nilai output tiap aturan berdasarkan derajat keanggotaan terhadap aturan tersebut. Proses defuzzifikasi berguna untuk menghitung nilai tegas (crisp) dari risiko PJK. Perhitungan nilai Z dan defuzzifikasi dilakukan melalui inferensi TSK dengan weighted average. 5

Ekstraksi aturan fuzzy

Output aturan fuzzy

Selesai

Gambar 3.1 Alur proses pelatihan

4. IMPLEMENTASI DAN PEMBAHASAN 4.1 Implementasi Program Implementasi program terdiri atas 2 bagian utama, yaitu: 1. Pelatihan Proses pelatihan dilakukan untuk membangkitan aturan fuzzy. Program untuk pembangkitan aturan fuzzy ditunjukkan gambar 4.1.

4.2 Skenario Uji Coba Skenario terdiri dari 5 kali uji coba dengan jumlah data latih yang berbeda: 1. Uji coba 1, menggunakan 30 data latih. 2. Uji coba 2, menggunakan 40 data latih. 3. Uji coba 3, menggunakan 50 data latih. 4. Uji coba 4, menggunakan 60 data latih. 5. Uji coba 5, menggunakan 70 data latih. Pada proses pelatihan, iterasi maksimum yang digunakan adalah 100 sedangkan kesalahan minimum yang ditetapkan adalah 0,0001. Uji coba dilakukan terhadap beberapa jumlah aturan yang berbeda, yaitu pada jumlah cluster ideal dan beberapa jumlah cluster lainnya sebagai pembanding. Proses pengujian pada setiap uji coba menggunakan 30 data uji. Proses ini akan menghasilkan nilai dan kelas tingkat risiko PJK. Hasil proses tersebut kemudian dibandingkan dengan hasil diagnosa acuan yang ada sehingga dapat diketahui nilai akurasi sistem dalam melakukan diagnosa tingkat risiko PJK.Pelatihan dan pengujian pada setiap jumlah aturan dilakukan sebanyak 5 kali percobaan. Akurasi pengujian setiap jumlah aturan diperoleh dari rata-rata akurasi pengujian yang dilakukan sebanyak 5 kali percobaan. 4.3 Analisis Hasil Uji Coba Pada beberapa uji coba, akurasi tertinggi tidak terjadi pada jumlah aturan ideal. Jumlah aturan ideal ditentukan berdasarkan nilai batasan varian minimum. Perbandingan akurasi sistem maksimum dari semua hasil uji coba ditunjukkan tabel (4.1). Tabel 4.1 Perbandingan akurasi jumlah cluster ideal Uji A Akurasi B Akurasi coba A B 1 3 7% 2 33% 2 3 37% 3 37% 3 3 29% 2 37% 4 3 20% 2 47% 5 3 38% 2 50%
Keterangan: A : jumlah aturan ideal menurut sistem B : jumlah aturan dengan akurasi tertinggi

Gambar 4.1 Program pembangkitan aturan fuzzy 2. Pengujian Proses pengujian dilakukan untuk melakukan diagnosa risiko PJK berdasarkan aturan fuzzy yang terbentuk pada proses pelatihan. Program untuk melakukan diagnosa risiko PJK ditunjukkan gambar 4.2.

Gambar 4.2 Program diagnose risiko PJK

Berdasarkan tabel (4.1), dapat dilihat bahwa ada uji coba 1, akurasi hasil pengujian tertinggi terjadi pada jumlah aturan 2 (33%), yang mana lebih tinggi dari akurasi jumlah cluster ideal 3 (7%). Pada uji coba 3, akurasi hasil pengujian tertinggi terjadi pada jumlah aturan 2 (37%), yang mana lebih tinggi dari akurasi jumlah cluster ideal 3 (29%). Pada uji coba 4, akurasi hasil pengujian tertinggi terjadi pada jumlah aturan 2 (47%), yang mana lebih 6

tinggi dari akurasi jumlah cluster ideal 3 (20%). Pada uji coba 5, akurasi hasil pengujian tertinggi terjadi pada jumlah aturan 2 (50%), yang mana lebih tinggi dari akurasi jumlah cluster ideal 3 (38%). Hanya uji coba 2 yang memberikan hasil yang positif, dimana jumlah aturan ideal menghasilkan akurasi tertinggi diantara jumlah aturan lain yang diujicobakan. Hal ini membuktikan bahwa penentuan jumlah aturan ideal dengan metode analisis varian belum optimal. Setelah melakukan uji coba 1, 2, 3, 4, dan 5, maka akurasi pada setiap uji coba dapat dibandingkan. Grafik perbandingan akurasi sistem pada semua uji coba ditunjukkan oleh gambar (4.3).

Akurasi sistem diagnosis risiko PJK


100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% 2 3 5 8

(faktor risiko PJK) yang dilatih sangat besar pada uji coba 3 tetapi kecil pada uji coba 2. Pembangkitan aturan fuzzy dengan metode FCM yang dilakukan sistem memiliki kelemahan yaitu aturan yang dihasilkan tidak stabil. Berdasarkan hasil uji coba, dapat dilihat bahwa pada beberapa percobaan dengan jumlah aturan yang sama dapat menghasilkan akurasi yang berbeda. Hal ini dapat terjadi karena pada proses pembentukan aturan dengan FCM terjadi pembangkitan nilai derajat keanggotaan matriks awal dilakukan secara random. Randomisasi ini berpengaruh pada nilai koefisien output yang dihasilkan. Koefisien output yang didapatkan melalui proses perhitungan least square sensitif terhadap randomisasi pada proses clustering yang dilakukan oleh FCM. Hal ini menyebabkan sulitnya menentukan aturan terbaik. 5. KESIMPULAN Pembangkitan aturan fuzzy untuk diagnosa PJK diimplementasikan menggunakan metode clustering FCM dengan faktor risiko PJK berupa umur; kadar LDL; kadar HDL; kadar kolesterol total; kadar trigliserida; dan tekanan darah sistolik, serta dengan kelas target output berupa tingkat risiko PJK sangat rendah; rendah; sedang; tinggi; dan sangat tinggi. Aturan fuzzy diekstraksi dari 3 elemen yaitu pusat cluster, standar deviasi dan koefisien output. Akurasi tertinggi yang dapat dihasilkan sistem diagnosa risiko PJK melalui pembangkitan aturan fuzzy menggunakan FCM adalah 50%, yaitu ketika menggunakan jumlah aturan 2 dengan nilai batasan varian 0,0338 pada jumlah data latih 70. Pembangkitan aturan fuzzy dengan metode clustering FCM pada sistem diagnosa PJK lemah karena aturan hasil pembangkitan tidak stabil sehingga menyebabkan sulitnya menentukan aturan yang terbaik. Akurasi sistem pada penelitian ini kurang baik karena pembanding akurasi sistem adalah hasil inferensi sistem yang lain. 6. DAFTAR PUSTAKA Arapoglou, Roi, Kostas Kolomvatsos and Stathes Hadjiefthymiades. 2010. Buyer Agent Decision Process Based on Automatic Fuzzy Rules Generation Methods. http://pcomp.di.uoa.gr/ pubs/WCCI_f427.pdf. Tanggal akses: 13 Maret 2011. Fariska, M. Andy. 2008. Peramalan Multi Atribut Dengan Menggunakan Fuzzy Clustering. http://repo.eepis-its.edu/425 /1/972.pdf. Tanggal akses 19 Mei 2011. 7

uji coba 1
uji coba 2 uji coba 3 uji coba 4 uji coba 5

Akurasi

Jumlah aturan

Gambar 4.3 Grafik akurasi pada semua uji coba Grafik pada gambar (4.3) menunjukkan bahwa uji coba 5 memberikan hasil akurasi tertinggi dibandingkan dengan yang lain. Ini berarti, selama uji coba jumlah data latih 70 menghasilkan akurasi paling tinggi. Selama uji coba, terdapat kecenderungan bahwa semakin banyak data latih kemampuan sistem mengenali pola data semakin baik. Namun demikian, terdapat hasil dimana aturan dari jumlah data tertentu dapat menghasilkan akurasi yang menyamai/melebihi aturan dari jumlah data yang lebih banyak. Hal ini terjadi pada uji coba 2 (40 data latih) dan uji coba 3 (50 data latih), dimana rata-rata akurasi tertinggi uji coba 2 dan uji coba 3 adalah 37%, serta akurasi pada jumlah ideal 3 uji coba 2 adalah 37% sedangkan pada uji coba 3 adalah 29%. Dalam kasus ini, akurasi pada uji coba 2 lebih tinggi daripada uji coba 3. Hal ini dapat terjadi karena tidak dilakukan preprocessing data terhadap dataset PJK. Data diambil secara acak sehingga memungkinkan rentang data dari suatu atribut

Kusumadewi, Sri, Hari Purnomo. 2010. Aplikasi Logika Fuzzy Untuk Pendukung Keputusan. Jakarta: Graha Ilmu. Lee, Kwang H. 2005. First Course on Theory and Applications. New York: SpringerVerlag Berlin Heidelberg. Man L, Chew Lim T, Jian S, Yue L. 2009. Supervised and Traditional Term Weighting Methods for Automatic Text Categorization. Pattern Analysis and Machine Intelligence, IEEE Transactions on. Nugraha, Dany, dkk. 2006. Diagnosis Gangguan Sistem Urinari Pada Anjing dan Kucing Menggunakan VFI 5. Institut Pertanian Bogor. Priyono, Agus, dkk. 2007. Generation of Fuzzy Rules With Substractive Clustering. http://eprints.utm.my/1460/1/ JTDIS43D%5B10%5Dnew.pdf. Tanggal akses: 13 Maret 2011. Soeharto, Imam. 2010. Penyakit Jantung Koroner (PJK): Sebab, Mekanisme, dan Gejala. http://fkunhas.com/penyakit-jantungkoroner-pjk-sebab-mekanisme-dan-gejala20100716347.html. Tanggal akses: 24 Maret 2011. Wahyuni, Kristin. 2011. Diagnosis Penyakit Jantung Koroner (PJK) Berdasarkan Faktor Risiko Menggunakan Metode FES. Skripsi. Universitas Brawijaya Malang. Walpole, Ronald E. 1995. Pengantar Statistika Edisi ke-3. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Anda mungkin juga menyukai