Anda di halaman 1dari 34

BLOK NEUROPSIKIATRI II ENSEFALITIS

Nama Nim

: Emilly Vidya A. Relmasira : 2009-83-050

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER UNIVERSITAS PATTIMURA 2012

BAB I PENDAHULUAN

Penyakit infeksi masih merupakan masalah kesehatan yang utama di Negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia. Infeksi-infeksi pada sistem saraf pusat menimbulkan masalah medis yang serius dan membutuhkan pengenalan dan penanganan segera untuk memperkecil gejala sisa neurologis yang serius dan memperkecil angka mortalitas pasien. Diantaranya adalah infeksi pada jaringan otak yaitu ensefalitis. Ensefalitis adalah infeksi pada jaringan otak yang dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme seperti bakteri, virus, parasit, fungi dan riketsia. Peradangan otak merupakan penyakit yang jarang. Angka kejadiannya yaitu, 5 per 100.000 individu. Penyakit ini dapat dijumpai pada semua umur mulai dari anakanak sampai orang dewasa. Paling banyak menyerang anak anak, orang tua dan pada orang- orang dengan sistem imun yang lemah, seperti pada penderita HIV/AIDS, kanker dan anak gizi buruk. Insiden ensefalitis di Inggris pertahunnya mencapai 4 orang per 100.000 penduduk. Di Indonesia sendiri, kasus ensefalitis pada manusia telah banyak dilaporkan, tetapi penyebab ensefalitis tersebut masih belum banyak terungkap karena sulitnya diagnosis dan keterbatasan perangkat diagnostic yang dapat mendiagnosis antigen dan antibody virus yang menyebabkan ensefalitis pada manusia. Di Indonesia virus Japanese Echepalitis sudah banyak diisolasi baik dari vektornya maupun babi dan binatang mamalia yang lain, seperti; sapi, ayam dan kambing. Prevalensi dari kasus Japanesese encephalitis di Indonesia belum diketahui dengan pasti. Enam puluh persen penyebab ensefalitis tidak diketahui, dari penyebab yang diketahui tersebut kira kira 67 % berhubungan dengan penyakit infeksi pada anak. Ensefalitis memiliki komplikasi yang sangat kompleks. Komplikasi jangka panjang dari ensefalitis berupa gejala sisaneeurologi yang nampak pada 30 % anak dengan berbagai agen penyebab, usia penderita, gejala klinik, dan penanganan selama perawatan. Perawatan jangka panjang dengan terus mengikuti perkembangan penderita dari dekat merupakan hal yang krusial untuk mendeteksi adanya gejala sisa secara dini. Komplikasi pada SSP meliputi tuli saraf, kebutaan kortikal, hemiparesis, quadriparesis, hipertonia muskulorum, ataksia, epilepsi, retardasi mental dan motorik, gangguan belajar dan hidrosefalus obstruktif. Untuk orang yang menderita ensefalitis yang berat yang telah mempengaruhi beberapa fungsi otak, komplikasi terberat adalah kematian.

Oleh sebab itu perlu untuk mengetahui lebih mendalam mengenai gejala klinis, diagnosis, dan terapi dari ensefalitis, serta kemungkinan pengaruhnya terhadap gangguan tumbuh kembang anak[1].

BAB II PEMBAHASAN

II. 1

DEFINISI Ensefalitis didefinisikan sebagai suatu inflamasi otak. Dari definisi ini, artinya bahwa ensefalitis

berbeda dengan meningitis, yang mana meningitis adalah suatu inflamasi dari selaput yang membungkus otak[2]. Dari sudut pandang epidemiologis dan patofisiologi, ensefalitis berbeda dari meningitis. Dari sudut pandang terminologi, ensefalitis berasal dari kata ensefalon + itis yang bermakna inflamasi pada parenkim otak. Sedangkan meningitis berasal dari kata meninges + itis yang bermakna inflamasi pada selaput pembungkus jaringan otak (meninges)[1]. Ensefalitis didefinisikan sebagai inflamasi otak yang dihubungkan dengan disfungsi neurologi[3]. Ensefalitis jarang terjadi tapi merupakan kegawatdaruratan neurological yang penting[4]. Secara klinis ensefalitis dapat dijumpai muncul bersamaan dengan meningitis, disebut meningoensefalitis, dengan tanda dan gejala yang menunjukkan adanya inflamasi pada meninges seperti kaku kuduk, nyeri kepala, atau fotofobia[1].

II. 2

ETIOLOGI Ensefalitis biasanya timbul sebagai akibat proses inflamasi akut tapi dapat juga berupa reaksi

inflamasi pasca infeksi penyakit lain (postinfeksius ensefalomyelitis), penyakit kronik degeneratif, atau akibat infeksi virus. Mikroorganisme yang dapat menimbulkan ensefalitis antara lain : 1. Infeksi oleh virus. a. Penyebaran dari manusia ke manusia Mump Morbilli Enterovirus Rubella Herpesvirus

Herpes simplex hominis tipe 1, 2 Varicella zoster virus Cytomegalovirus Poxvirus Variola

b. Penyebaran melalui vector arthropoda (nyamuk) Arbovirus : o o o o o o Eastern equine Western equine Venezuelan equine St. Louis California Japanese encephalitis

c. Ditularkan oleh mamalia berdarah panas Rabies : lewat air liur/ gigitan mamalia (anjing gila Herpes virus simpleks lewat air liur/gigitan kera

2. Infeksi oleh bukan virus. Rickettia Mycoplasma pneumoni Bakteri : TBC Spirochaeta : sifilis Protozoa : Plasmodium, Tripanosoma Fungi : Histoplasmosis, Cryptococcus, Aspergilosis, Mucormycosis, Moniliasis, Coccidioidomycosis

3. Parainfeksi (pasca infeksi, allergi) a. Diasosiasikan dengan penyakit-penyakit yang khas (mikroorganisme ini bisa juga menimbulkan kerusakan jaringan otak secara langsung) Morbilli Rubella Influenza

Varicella Zoster Mump

b. Diasosiasikan dengan vaksin Rabies Pertussis Morbilli Influenza Yellow Fever Typhoid

4. Penyebab tidak diketahui.

Ensefalitis yang disebabkan oleh virus , dapat melalui 2 jalur yakni secara hematogen atau secara neuronal ( saraf perifer atau saraf kranialis). Pada musim panas atau musim semi di Amerika Serikat, jenis patogen yang paling sering adalah arbovirus dan enterovirus. Ensefalitis yang disebabkan oleh arbovirus disebut juga arthropode-borne viral encephalitides. Kelompok virus ini menunjukkan gejala neurologis yang berat dan hampir mirip, disebabkan oleh beberapa jenis arbovirus. Ensefalitis arbovirus dibagi menjadi beberapa jenis, yakni: a. Kelompok sero-group alphavirus Family Togaviridae merupakan agen dari western equine encephalitis (WEE), eastern equine encephalitis (EEE), dan Venezuelan encephalitis. Alphavirus merupakan virus RNA strandpositif, dengan envelope, dan berukuran 69 nm. b. Kelompok sero-group California Family Bunyaviridae merupakan agen dari California encephalitis (CE) sedangkan dari family Reoviridae merupakan agen dari Colorado tick fever. Sero-group Bunyavirus 16, merupakan virus RNA dengan 3 segmen strand-negatif, memiliki envelope, berukuran 75 115-nm. Reovirus merupakan sero-group virus RNA dengan strand-ganda, berukuran 60 80 nm. c. Kelompok sero-group flavivirus Yang paling sering menimbulkan penyakit adalah Japanese B encephalitis virus (menyebabkan Japanese B encephalitis) dan West Nile virus (menyebabkan West Nile encephalitis / WNE).

Virus Japanese B encephalitis ditransmisikan melalui tick dan nyamuk sedangkan virus West Nile mempunyai siklus hidup yang melibatkan burung dan nyamuk. Vektor WNE pada manusia adalah nyamuk dari genus Culex, Anopheles, dan Aedes. Selain jenis ensefalitis yang telah disebutkan sebelumnya, sero-group flavivirus juga dapat menyebabkan St. Louis encephalitis. Enterovirus termasuk dalam family picornavirus. Family picornavirus antara lain virus coxsackie A dan B, poliovirus, echovirus, enterovirus 68 dan 71, hepatitis A virus.

Virus herpes simpleks tipe I (VHS tipe I) merupakan penyebab tersering dari ensefalitis sporadik. Sedangkan VHS tipe II lebih sering dijumpai pada neonatus dengan ensefalitis. VHS merupakan virus DNA yang dapat menyebabkan penyakit lokal maupun sistemik. Pada Anak dan bayi, VHS dapat menyebabkan ensefalitis yang dapat memburuk. Infeksi pada neonatus biasanya didapat selama atau sesaat sebelum bayi dilahirkan, bersumber dari organ genitalia eksterna ibu. Infeksi primer VHS tipe II selama proses persalinan memberikan faktor risiko yang lebih besar terhadap ensefalitis. Infeksi juga dapat terjadi melalui rekurensi, namun baik infeksi primer maupun rekurens keduanya dapat terjadi secara asimtomatik.

Virus mumps dan measles (campak Jerman), merupakan sero-group paramyxovirus yang sering menimbulkan gejala neurologis.3 Measles biasanya tidak menyebabkan ensefalitis pada fase akut, tetapi 1 dari 1000 kasus dapat meningkatkan risiko sindroma autoimun pasca-infeksi measles.

Arenavirus biasanya menginfeksi rodensia. Pada musim dingin biasanya tikus tinggal di dalam rumah (indoor) sehingga risiko kontak manusia dengan ekskret tikus meningkat. Oleh karena itu, lymphocytic choriomeningitis paling sering terjadi selama musim dingin. Meningitis atau meningoensefalitis dapat terjadi 5 sampai 10 hari setelah terinfeksi (masa inkubasi).

Rabies masih merupakan patogen penting di negara berkembang, dimanainfeksi endemik akibat gigitan hewan masih ada. Agen rabies merupakan virus RNA yang dikelompokkan dalam rhabdovirus. Di negara negara Eropa dan U. S. A. rabies biasanya ditransmisikan dari gigitan hewan liar seperti serigala, kelelawar, musang. Masa inkubasinya berlangsung selama 20-60 hari setelah gigitan, atau dapat berlangsung seumur hidup.

Citomegalovirus juga dapat menyebabkan ensefalitis, biasanya bersifat kongenital. Infeksi juga bisa didapat pada masa perinatal melalui kontak dengan sekret maternal selama proses persalinan atau dari ASI, tapi jenis infeksi yang didapat pada masa postnatal ini jarang melibatkan susunan saraf pusat.

Varicella-zostervirus (VZV) jarang sebagai agen penyebab ensefalitis. Jika terjadi ensefalitis oleh VZV maka sering melibatkan serebelum dan biasanya menghilang secara spontan. Keterlibatan serebral pada infeksi VZV jarang terjadi dan sering berhubungan dengan defisit neurologis yang signifikan dan angka mortalitas yang lebih tinggi, tergantung dari respon host.

Malaria serebral merupakan jenis ensefalitis yang dapat terjadi akibat komplikasi terberat pada malaria oleh Plasmodium falciparum. Dibandingkan orang dewasa malaria serebral lebih cenderung terjadi pada anak anak. Biasanya terjadi pada anak berusia kurang dari 6 tahun di daerah endemic malaria.

Ensefalitis pasca-infeksi merupakan penyebab yang relatif sering pada kasus ensefalitis yang tidak didapatkan agen penyebabnya dari parenkim otak, sehingga dipikirkan mungkin sebagai akibat dari respon imunologis terhadap infeksi sebelumnya. Agen yang dapat menjadi pencetus respon imunologis tersebut antara lain measles, rubella, mumps, VZV, dan infeksi M pneumoniae. Juga dapat terjadi setelah imunisasi dengan vaksin dari agen agen tersebut.

Ensefalitis oleh bukan virus dapat disebabkan oleh ricketsia, Mycoplasma pneumoni, Mycobacterium tuberculosis, Spirochaeta (sifilis), protozoa (Plasmodium, Trypanosoma), dan fungi (Histoplasmosis, Cryptococcus, Aspergillosis, Mucormycosis, Moniliasis, Coccidiomycosis).

Ensefalitis yang diasosiasikan dengan vaksin biasanya oleh rabies, pertusis, morbili, influensa, vaccinia, yellow fever, dan typhoid[1][2][4][5][6][7][13].

II. 3

EPIDEMIOLOGI

Frekuensi Sebuah studi menyatakan bahwa insiden ensefalitis mencapai 7-8 kasus/100.000/tahun[4]. Secara internasional, angka insiden dari ensefalitis oleh virus sepertinya lebih rendah dari yang diperhitungkan,

terutama di negara berkembang, disebabkan hambatan pada deteksi patogen. Japanese B encephalitis setidaknya menyerang 50.000 individu per tahun. Dari penelitian terakhir di Finlandia, angka insiden ensefalitis viral pada orang dewasa sebesar 1,4 per 100.000 per tahun. Penyebab utama adalah VHS 16% (Hsv tipe 1 merupakan penyebab terbanyak dengan insidensi 1 di antara 250.000 dan 1 di antara 1000.000[5]), VZV (5 %), mumps (4 %), virus influenza A (4 %). Dari penelitian epidemiologi terakhir di U. S. A angka insiden ensefalitis viral sebesar 3,5-7,4 per 100.000 penduduk per tahun. The Centers for Disease Control and Prevention (CDC) memperkirakan angka insiden ensefalitis viral sebesar 20.000 kasus baru ensefalitis di U. S. A dan sebagian besar bersifat ringan. Dua penyebab utama ensefalitis endemik di U. S. A. adalah VHS dan rabies. Ensefalitis akibat infeksi VHS merupakan yang paling sering terjadi dan mempunyai insiden 2 kasus per 1 juta populasi per tahun, merupakan 10 % dari seluruh kasus ensefalitis di U. S. A. Ensefalitis oleh arbovirus berkisar 150-3000 kasus per tahun tergantung pada kejadian dan intensitas dari transmisi epidemik.

Mortalitas dan morbiditas Angka mortalitas sebagian besar tergantung dari agen ensefalitis tersebut. Ensefalitis oleh VHS menyebabkan mortalitas sebesar 70 % pada pasien yang tidak mendapat terapi, dengan morbiditas berupa sekuele berat pada individu yang dapat bertahan. Japanese B encephalitis merupakan penyebab ensefalitis viral terpenting di seluruh dunia dengan 50.000 kasus baru dan 15.000 kematian per tahun, telah dilaporkan terjadi di China, Asia Tenggara, Daratan India, Filipina, New Guinea, dan Australia. Angka mortalitasnya tergantung pada usia, berkisar dari 2 hingga 20 % dan sekuele terjadi pada 20 % individu yang dapat bertahan.

Jenis kelamin Tidak terdapat perbedaan predileksi dalam hal jenis kelamin, kecuali pada subakut sklerosing panensefalitis, prevalensinya 2-4 kali lebih besar pada anak laki-laki.

Usia Individu dengan usia yang ekstrim berisiko paling tinggi, terutama pada ensefalitis oleh VHS (ensefalitis herpes simpleks / EHS). EHS pada neonatus merupakan manifestasi infeksi yang meluas. Pada bayi, anak, dan orang dewasa lebih cenderung terjadi infeksi yang terlokalisir (paling sering VHS tipe I)[1][4].

II. 4

PATOGENESIS

Virus masuk tubuh melalui beberapa jalan. Tempat masuknya melalui saluran pernapasan, kulit dan saluran pencernaan, dalam beberapa cara yaitu : 1. Setempat : virus hanya terbatas menginfeksi mukosa permukaan dan organ setempat. 2. Penyebaran hematogen primer : virus masuk ke dalam pembuluh darah dan menyebar ke organ-organ dan berkembangbiak di situ. 3. Penyebaran hematogen sekunder : virus berkembang di daerah pertama invasi yaitu daerah mukosa dan menyebar ke organ lain. 4. Penyebaran melalui saraf : virus berkembang di mukosa dan menyebar ke system saraf.

Pada awal infeksi gejala yang timbul hanyalah demam, belum ada gejala-gejala neurologis. Virus akan terus berkembang biak dan menyerang susunan saraf pusat dan akhirnya timbul gejala neurologis.

Gejala neurologis pada ensefalitis muncul akibat : Invasi dan pengrusakan langsung jaringan otak oleh virus yang sedang berkembang biak. Reaksi jaringan saraf terhadap antigen virus akan menyebabkan demyelinisasi, kerusakan pembuluh darah dan perivaskuler. Reaksi aktivitas virus neurotopik yang bersifat laten. Menggambarkan ensefalitis pascainfeksi akibat tingkat demyelinisasi. Virus herper simpleks biasanya menginfeksi korteks serebri terutama lobus temporalis. Arbovirus cenderung menginfeksi seluruh otak. Dan virus rabies mempunyai kecenderungan menginfeksi struktur basal[12].

II. 5

GEJALA KLINIS

Pada permulaan penyakit : panas, sakit kepala, mual, muntah, pilek dan sakit tenggorokan. Pada harihari berikutnya panas mendadak meningkat, kesadaran dengan cepat menurun, anak gelisah, disusul dengan stupor atau koma. Kejang-kejang berlangsung berjam-jam dan mendominasi penyakit. Kelainan saraf berupa paresis, paralysis atau ataksia serebral akut[1].

Ensefalitis viral diperantarai artropoda

Manisfestasi yang khas adalah kejang-kejang, kebingungan, delirium, dan stupor atau koma[7]. Yang menjadi cirri khas ensefalitis primer arbo-virus adalah perjalanan penyakit yang bifasik. Pada gelombang pertama gambaran penyakitnya menyerupai influenza yang dapat berlangsung selama 4-5 hari. Sesudahnya penderita merasa sudah sembuh. Pada minggu ketiga demam dapat timbul kembali. Dan demam ini merupaka gejala pendahulu bangkitnya manisfestasi neurologic, seperti sakit kepala, nistagmus, diplopia, konvulsi dan avute organic brain syndrome[6].

Virus herpes simpleks Terjadi pada kelompok usia berapa saja tetapi paling sering pada anak-anak dan dewasa muda, kira-kira 10% mempunyai riwayat herpes labialis sebelumnya[7]. Gambaran penyakit ensefalitis virus heroes simpleks tidak banyak berbeda dengan ensefalitis primer lainnya. Tetapi yang menjadi cirri khas bagi ensefalitis herpes simpleks ialah progresivitas perjalanan penyakitnya. Mulai dengan sakit kepala, demam, dam muntah-muntah. Kemudan timbul acute organic brain syndrome yang cepat memburuk sampai koma. sebelum koma dapat ditemukan hemiparesis atau afasia. Dan kejang epileptic dapatn timbul sejak permulaan penyakit. Pada pungsi lumbal ditemukan pleositosis limfositer dengan eritrosit. Terdapat ensefalitis hemoragik, nekrotik, paling parah di sepanjang daerah medial dan temporalis lobus serta girus orbitofrontalis. Badanbadan inklusi viral intranuklear Crowdy dapat ditemukan di dalam neuron maupun glia[6].

Virus varisela-zoster (VSV, herpes zoster) Aktivasi kembali suatu infeksi laten setelah infeksi virus chickenpox yang mengakibatkan erupsi kulit vesikuler nyeri dalam daerah distribusi sebuah dermatom. Dapat menyebabkan arteritis granulomatosa atau ensefalitis nekrotikans pada pasien-pasien supresi imun.

Poliomyelitis Virua menyerang LMN dan dapat menyebabkan paralisis flaksid dengan muscle wasting. Kematian dapat terjadi akibat paralisis otot pernapasan dan miokarditis. Reaksi radang biasanya terbatas pada kornu anterior tetapi dapat meluas sampai kornu posterior. Sindrom postpolio yang secara khas terjadi pada tahun ke-25 sampai 35 setelah pulihnya penyakit mula-mula, ditandai oleh kelemahan progresif yangb berkaitan dengan penurunan massa otot dan nyeri sewatu-waktu. Tidak ada bukti-bukti yang menunjukkan menetapnya genom virus polio.

Rabies Menyebabkan eksitabilitas SSP, yang berlebihan, hidrofobia, paralisis flaksid, kematian terjadi akibat kegagalan pusat pernapasan. Nekrosis dan inflamasi neuronal yang luas, paling parah di ganglia basalis, otak tengah, dan medulla. Ditemukan badan-badan Negri (inklusi eosinofilik intrssitoplasmatik) di dalam sel-sel pyramidal hipokampus dan sel-sel Purkinje, tempat-tempat yang biasanya tanpa radang.

Human immunodeficiency virus 1 (HIV 1) Hampir 60% pasien-pasien AIDS mengalami gejala-gejala neurologis, dan perubahan-perubahan neuropatolohik telah ditemukan pada 80-90% pasien. Perubahan-perubahan ini dikelompokkan dalam tiga kategori : infeksi oportunistik SSP (tercatat CMV, sitoplasmosis, virus polyoma, VZv, HSV DAN Kriptokokosis), limfoma SSP primer, dan pengaruh HIV-1 atau tidak langsung.

Ensefalitis parainfeksiosa Ensefalitis yang timbul sebagai komplikasi penyakit virus parotitis epidemika, mononukleus infeksiosa, varisela, dam herpes zoster dinamakan ensefalitis parainfeksiosa. Tetapi ensefalitis ini sebenarnya tidak murni. Gejala-gejala meningitis, mielitis, neuritis kranialis, radikulitis, dan neuritis perifer dapat bergandengan dengan gambaran penyakit ensefalitis. Bahkan tidak jarang komplikasi utamanya berupa radikulitis jenis Guillain Barre atau mielitis transversa sedangkan manisfestasi ensefalitisnya sangat ringan dan tidak berarti. Maka untuk beberapa jenis ensefaltis para infeksiosa, diagnosis mieloensefalitis lebih tepat daripada ensefalitis.

II. 6

DIAGNOSIS

Anamnesis Gejala klinik sangat bervariasi dari ringan sampai berat, pada permulaan penyakit hanya menunjukkan gejala ringan, kemudian koma dan bisa meninggal mendadak. Dari anamnesis bisa didapatkan adanya riwayat febris dengan onset akut. Pasien dengan ensefalitis viral biasanya secara umum mengalami adanya nyeri kepala, demam, dan kaku kuduk sebagai gejala dari iritasi leptomeningeal. Dari heteroanamnesis bisa didapatkan adanya tanda defisit neurologikus fokal, kejang, dan perubahan

kesadaran yang dimulai dengan letargia yang progresif menuju disorientasi, stupor, dan koma. Seringkali didapatkan perubahan tingkah laku dan bicara. Pergerakan abnormal dapat diperoleh dari cerita orang yang merawatnya. Selain adanya febris yang dapat mengarah ke hipertermia dapat juga terjadi poikilotermia akibat keterlibatan aksis hipotalamus-hipofisis. Petunjuk yang spesifik pada anamnesis/ heteroanamnesis tergantung dari agen yang menjadi etiologinya. Penderita dapat memiliki riwayat digigit hewan yang mungkin tidak diterapi dengan antirabies. Masa prodormal virus secara umum berlangsung selama berhari-hari dan terdiri dari adanya riwayat febris, nyeri kepala, mual, muntah, letargia, dan myalgia. Riwayat prodormal yang spesifik didapatkan pada VZV, EBV, CMV, Measles, dan mumps antara lain berupa rash, lymphadenopati, hepatosplienomegali, dan pembesaran kelenjar parotis. Pada SLE bisa terdapat riwayat dysuria dan pyuria. Pada WNE disa didapatkan riwayat letargia yang ekstrim. Bentuk ensefalitis klasik adalah dengan gejala defisit neurologis difus atau fokal. Berdasarkan hal tersebut bisa didapatkan riwayat perubahan tingkah laku dan kepribadian, penurunan kesadaran, kaku kuduk, fotofobia, letargia, kejang fokal atau general terdapat pada 60 % anak yang menderita California encephalitis, disorientasi dengan onset akut, atau keadaan amnesia, kelumpuhan yang bersifat flaksid terjadi pada 10 % dari kasus WNE.

Pemeriksaan fisik Dalam pemeriksaan fisik diamati adanya tanda infeksi virus. Tanda ensefalitis dapat berupa defisit neurologis fokal maupun difus (80 % pasien EHS datang dengan tanda defisit neurologis fokal) sebagai berikut: 1. Perubahan status mental dan/ atau kepribadian. 2. Defisit neurologis fokal, seperti hemiparesis, kejang fokal, dan disfungsi organ yang dipersarafi saraf otonom. 3. Gangguan pergerakan (SLE, EEE, WEE). 4. Ataksia. 5. Defisit nervus kranialis. 6. Disfagia (pada rabies dapat tampak mulut yang berbusa dan hydrophobia). 7. Meningismus (lebih jarang terjadi dibandingkan pada meningitis). 8. Disfungsi sensorik-motorik unilateral.

Adapun ensefalitis herpes simpleks pada neonatus dapat menunjukkan gejala dan tanda sebagai berikut: 1. Lesi kulit herpetik sejak lahir.

2. Keratokonjungtivitis. 3. Keterlibatan orofaring, terutama mukosa bukal dan lidah. 4. Gejala ensefalitis, seperti kejang, irritable, perubahan derajat kesadaran, dan fontanela yang cembung. 5. Tanda tambahan dari VHS yang menyebar berupa syok, ikterus, dan hepatomegaly.

Ensefalopati akibat toksoplasma yang terjadi pada pasien imunosupresif, 75% datang dengan gejala defisit neurologikus fokal, sekitar satu setengah pasien tersebut mengalami perubahan ensefalopatik.

Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Serebrospinalis Sering dalam batas normal. Kadang-kadang didapatkan pleositosis ringan yang didominir oleh limfosit, protein meningkat, glukosa pada permulaannya bisa normal kemudian meningkat, asam laktat normal atau meningkat. Darah lengkap, Urine lengkap Pemeriksaan darah dan urine lengkap dilakukan untuk mengisolasi dan mengidentifikasikan virus. Enzyme-linked immunosorbent assays (ELISA), dapat mengidentifikasi virus yang menyebabkan ensefalitis segera setelah terinfeksi. Polymerase chain reaction (PCR) dapat mengidentifikasi virus DNA walaupun dalam jumlah yang kecil. Pemeriksaan virologi Bahan : likuor serebrospinalis, jaringan otak (hasil nekropsi), dan/atau tinja. Darah jarang memberikan hasil yang positif oleh karena viremia berlangsung sangat singkat. Pemeriksaan serologis Pemeriksaan yang dapat dipakai adalah : uji fiksasi komplemen, uji inhibisi hemaglutinasi, uji netralisasi. Bahan: darah pada fase akut dan fase konvalesen. Positif bila titer antibody pada fase konvalesen meningkat lebih dari/ atau sama dengan 4 kali. Pemeriksaan patologi anatomi (post mortem) Gambaran umum : edema otak, bendungan pembuluh darah dan infiltrasi mononuklear sekitar pembuluh darah. Pada fase permulaan ada reaksi granulossit pada selaput otakyang kemudian

diganti dengan limfosit atau monosit. Contoh Negri bodies, pada rabies, inclusion bodies pada kelompok Herpes virus[1]. II. 7 Biopsy jaringan MRI otak CT Scan Pemeriksaan PCR untuk melihat DNA HSV[10]. DIAGNOSIS BANDING

Anamnesis yang diperoleh dapat menunjukkan eksposur yang mungkin apakah dari individu lain, hewan dengan penyakit rabies maupun nyamuk. Adapun beberapa keadaan yang dapat dipertimbangkan dalam mendiagnosis pasien dengan anamnesis dan gejala yang mengarah ke ensefalitis adalah berbagai penyakit yang dapat menyebabkan ensefalopati, yakni: 1. Infeksi (meningitis, ensefalitis, abses otak). Meningitis bakteri yang mendapat terapi tidak sempurna atau pada fase permulaan penyakit meningitis bakteri yang belum dapat terapi. Pada kasus ini akan didapatkan pada pemeriksaan likuor serebrospinalis : neutrofil dominant, bakteri (+), glukosa normal atau menurun. 2. Keracunan obat-obatan. Salisilat : anamnesis makan obat, panas badan, koma, nafas cepat, likuor serebrospinalis normal[1].

II. 8

PENATALAKSANAAN

Identifikasi agen penyebab penting bukan hanya untuk pengobatan tetapi juga untuk mengetahui prognosis, profilaksis, konseling untuk pasien dan keluarganya dan intervensi kesehatan umum[3]. 1. Tindakan dan perawatan sesuai dengan kejang demam. 2. Pemakaian obat-obatan Dosis obat penurun panas dan anti kejang sesuai dengan kejang demam. a. Dosis obat penurun panas dan anti kejang sesuai dengan kejang demam b. Antibiotika diberikan untuk mencegah infeksi sekunder seperti Ampisillin dosis 50 100 mg/kgBB./haRI dibagi 3 dosis secara i.v. c. Untuk menghilangkan edema otak.

Dexamethason, Dosis 0,5 - 1 mg/kgBB./hari, i.v. atau i.m Dilanjutkan dengan dosis maintanance ,5 mg/kgbb/hari i.v atau i.m dibagi 3 dosis. Dosis diturunkan pelan pelan setelah beberapa hari bila ada perbaikan

Manitol, Dosis 0,5 2,0 gram/kgBB, i.v. dalam 30-60 menit dapat diulang setiap 8-12 jam dengan menggunakan larutan manitol 15-20 % selama 3 hari (tergantung dari respon penderita).

Gliserol, Dosis 0,5-1,0 ml/kgBB.,dengan sonde hidung, diencerkan 2 kali dan dapat diulang tiap 6 jaM Glukosa 20 %, 10 ml i.v. beberapa kali sehari, dimasukkan ke dalam pipa infus.

3. Pengobatan suportif a. Pemberian cairan i.v. (Glukosa 10 %). Pemberian cairan i.v. dimaksudkan untuk mempertahankan keseimbangan air-elektrolit, mencakup kalori dan pemberian obatobatan. b. Pemberian vitamin. c. Pemberian O2 untuk mencegah kerusakan jaringan otak akibat hipoksia[1].

II. 9

KOMPLIKASI

Komplikasi jangka panjang dari ensefalitis berupa sekuele neurologik yang nampak pada 30 % anak dengan berbagai agen penyebab, usia penderita, gejala klinik, dan penanganan selama perawatan.8 Perawatan jangka panjang dengan terus mengikuti perkembangan penderita dari dekat merupakan hal yang krusial untuk mendeteksi adanya sekuele secara dini. Walaupun sebagian besar penderita mengalami perubahan serius pada susunan saraf pusat (SSP), komplikasi yang berat tidak selalu terjadi. Komplikasi pada SSP meliputi : Hidrosefalius: Timbul sebagai akibat adanya bendungan aliran likuor di saluran aquaduktus. Bisa terjadi pada meningoensefalitis oleh virus mump. Sering timbul pada saat fase perbaikan.

Hemiplegia, monoplegia, paresis atau paralysis saraf pusat. Epilepsi: akibat sikatrik yang tersisa di parenkim otak Retardasi mental: sebagai akibat brain damage maka proses organis sebenarnya telah lampau[1]. Ictal Asistol (jarang)[5]. Viral encephalomyelitis (namun jarang)[11].

II. 10

PROGNOSIS

Prognosis dari ensefalitis virus akut bervariasi. Penyebab berupa infeksi virus rabis adalah yang fatal. Ensefalitis Eastern equie memiliki tingka mortlitas sebesar 80%[8].

BAB III PENUTUP

KESIMPULAN Ensefalitis adalah infeksi pada jaringan otak yang dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme seperti bakteri, virus, parasit, fungi dan riketsia. Peradangan otak merupakan penyakit yang jarang. Angka kejadiannya yaitu, 5 per 100.000 individu. Penyakit ini dapat dijumpai pada semua umur mulai dari anakanak sampai orang dewasa. Paling banyak menyerang anak anak, orang tua dan pada orang- orang dengan sistem imun yang lemah, seperti pada penderita HIV/AIDS, kanker dan anak gizi buruk. Pada permulaan penyakit : panas, sakit kepala, mual, muntah, pilek dan sakit tenggorokan. Pada hari-hari berikutnya panas mendadak meningkat, kesadaran dengan cepat menurun, anak gelisah, disusul dengan stupor atau koma. Kejang-kejang berlangsung berjam-jam dan mendominasi penyakit. Kelainan saraf berupa paresis, paralysis atau ataksia serebral akut. Identifikasi agen penyebab penting bukan hanya untuk pengobatan tetapi juga untuk mengetahui prognosis, profilaksis, konseling untuk pasien dan keluarganya dan intervensi kesehatan umum. Prognosis dari ensefalitis virus akut bervariasi. Penyebab berupa infeksi virus rabis adalah yang fatal. Ensefalitis Eastern equie memiliki tingka mortlitas sebesar 80%.

REFERENSI

[1] Rujukan dari internet berupa jurnal : Aspek Komplikasi Ensefalitis dan Penatalaksanaannya, http://indonesia.digitaljournals.org/index.php/idnmed/article/download/684/680, diakses tanggal 10 April 2012. [2] Rujukan dari internet berupa artikel : Encephalitis, http://www.emedicinehealt.com/encephalitis/article_em.htm, diakses tanggal 15 April 2012 [3] Rujukan dari internet berupa jurnal : The Management of Encephalitis, http://infectious-diseases.jwatch.org/cgi/content/full/2008/730/3, diakses tanggal 15 April 2012 [4] Rujukan dari internet berupa Jurnal : Encephalitis, http://jnnp.bmj.com/content/81/10/e6.1, diakses tanggal 15 April 2012 [5] Rujukan dari internet berupa jurnal : Ictal Asystole Secondary to Suspected Herpes Simplex Encephalitis : a case report, http://www.casesjournal.com/content/2/1/9378, diakses tanggal 15 April 2012 ]6] Marjono, Prof. DR. Wahar, Prof. DR. Priguna Sidharta. 2006. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat : Jakarta [7] Robbins, Stanley L. Buku Saku Dasar Patologi Penyakit / Stanley L. Robbins, Ramzi S. Cotran, Vinay Kumar ; alih bahasa, Achmad Tjarta, Sutisna Himawan, A. N. Kurniawan copy editor, Vivi Sadikin, Alexander Halim Ed. 5 Jakarta : EGC, 1999.

[8] Robbins, Stanley L. Basic Patghology. Asian Edition. Japan : Igaku Shoin Ltd. 1976 [9] Rujukan dari internet berupa artikel : Encephalitis, http://emedicine.medsape.com/article/791896-overview , diakses tanggal 15 April 2012 [10] Rujukan dari internet berupa jurnal : Herpes Simplex 1 Ensefalitis Presenting as a Brain Haemorrhage with Normal Cerebrospinal Fluid Analysis, http://www.jmedicalcasereports.com/content/2/1/387, diakses tanggal 15 April 2012 [11[ Rujukan dari internet berupa Jurnal : Viral Encephalomyelitis, http://www.plospathogens.org/article/info%3Adoi%2F10.1371%2Fjournal.ppat.1002004, tanggal 15 April 2012 [12] Rujukan dari internet berupa artikel : Ensefalitis, http://www.scribd.com/mobile/doc/81843217, diakses tanggal 15 April 2012 [13] M. Tierney, Jr., Lawrence, Stephen J. McPhee, Maxine A. Papadakis. Current Medical Diagnosis & Treatmenr 2004, Forty-Third Edition. Medical Publishing Division. 2004 diakses

LAMPIRAN

[1]

[2]

[3]

[4]

[5]

[6]

[7]

[8]

[9]

[10]

[11]

[12]

[13]

Anda mungkin juga menyukai