Anda di halaman 1dari 5

TRADISI LISAN (PAMALI) DALAM KAJIAN ANTROPOLINGUITIK Oleh : Fatchul Muin *)

Kebudayaan sendiri memiliki banyak definisi dari berbagai sudut pandang para pengamat baik dalam maupun luar negeri. Salah satu definisi yang seringkali dipergunakan dalam menerjemahkan arti kebudayaan yang cukup sering kita dengar dan dijadikan acuan sebagai referensi akademik adalah definisi yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat dalam Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan (1990 : 9) menyatakan bahwa : Kebudayaan adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus di biasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan hasil budi dan karyanya itu. Definisi kebudayaan yang tercantum diatas hanyalah merupakan salah satu dari lebih dari 179 definisi yang pernah di kemukakan dan di rumuskan di atas kertas. Kebudayaan merujuk pada berbagai aspek kehidupan masyarakat yang memiliki nilai dan keterkaitan antara satu sama lainnya dalam suatu kelompok atau komunitas tertentu sehingga memiliki ruang lingkup yang luas dan seakan tidak memiliki batas. Manusia terlahir dengan kebudayaan yang berbeda, menjalankan adat - istiadat warisan nenek moyang berarti menghormati para leluhur. Kepercayaan masyarakat yang terkadang masih dianggap tabu oleh sebagian orang, akan tetapi kepercayaan tersebut dipegang kuat oleh masyarakat Banjar, misalnya. Tabu, pantangan atau pamali bagi masyarakat Banjar masih dilaksanakan dengan patuh khususnya dalam kehidupan sehari-hari, terutama yang berkenaan dengan aktivitas kehidupannya. Pantangan atau pamali merupakan ketentuan hukum yang tidak tertulis Bahasa dan Budaya

Kebudayaan sesungguhnya merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil kerja manusia (Koentjaraningrat, 1981:182). Tentang hubungan antara bahasa
dan kebudayaan, berikut ini dikemukakan sejumlah pendapat:

a. Dell Hymes (1966) mengatakan: ....orang yang mengalami kebudayaan berbeda memiliki pengalaman sistem komunikatif yang berbeda...Nilai-nilai kebudayaan merupakan bagian dari relativitas linguistik. b. Edward Sapir dan Benyamin Lee Whorf mengemukakan pandangan mereka yang disebut dengan Sapir-Whorf Hypothesis, Bahasa tidak hanya menetukan kebudayaan tetapi juga menentukan jalan pikiran penuturnya. c. Alessandro Duranti (1997:27) dalam bukunya Linguistic Anthropology mengatakan: ....mendeskripsikan suatu budaya sama halnya dengan mendeskripsikan bahasa. Bahasa dan budaya merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Bahasa dimanfaatkan oleh penuturnya untuk menyampaikan dan mewadai segala aspek kebudayaan; sementara budaya dalam hal-hal tertentu- dijadikan oleh penutur bahasa sebagai pedoman perilaku, termasuk perilaku berbahasa. Pembahasan bahasa dalam perspektif sosial budaya mencoba mengkaitkan bahasa dengan aspek-aspek sosial budaya, salah satunya, tindak berbahasa. Tindak berbahasa dipengaruhi sistem tata nilai yang berlaku dalam masyarakat. Tindak berbahasa dimaksudkan untuk menyampaikan pesan kepada lawan bicara. Kalimat-kalimat atau ujaran-ujaran dapat dimaksudkan untuk memberikan informasi (kalimat deklaratif), pertanyaan (kalimat interogratif), perintah atau larangan

(kalimat imperatif/larangan), dan menyatakan ketakjuban, keheranan atau keterkejutan (kalimat seru). Di antara bentuk-bentuk kalimat itu ada yang disebut kalimat larangan. Sebagai tradisi lisan, pamali merupakan kalimat larangan yang dipercayai mengandung makna yang tidak sekedar larangan. Bagi mereka yang melanggar, dipercayai akan mendapatkan malapetaka. Pamali sebagai Tradisi Lisan Pamali atau Tabu adalah sesuatu yang dilarang atau dianggap suci (tidak boleh disentuh, diucapkan, dsb); pantangan, larangan. Adapun arti pantangan adalah perbuatan yang terlarang menurut adat. Tabu dalam beberapa jenis. Secara umum tabu adalah larangan yang apabila dilanggar, secara serta merta menimbulkan sanksi negatif yang bersifat supranatural. Ada dua jenis tabu: tabu perbuatan dan tabu pengucapan. Tabu-tabu bahasa dapat dikelompokkan berdasarkan motivasi psikologis yang berada di belakangnya: tabu bersumber pada ketakutan, tabu yang berhubungan dengan sesuatu yang genting dan tidak mengenakkan, tabu yang bersumber pada rasa kesopanan, dan tabu yang berhubungan dengan masalah kesusilaan. (a) Tabu Bersumber dari Rasa Ketakutan Berhubungan dengan subyek dan obyek yang bersifat supernatural telah menyebabkan larangan untuk menyebutkan nama secara langsung. Untuk menyebutkan nama Tuhan atau Allah orang Inggris menyapa dengan Lord,

orang Jawa dengan Gusti, orang Perancis dengan Seigneur, dalam bahasa Indonesia, kita menyebut dengan Yang Di Atas. Makhluk dan benda yang memiliki ciri-ciri supernatural dapat menjadi sumber ketakutan dan tabu. Nama-nama binatang tertentu yang menakutkan sering

diganti dengan bentuk bahasa lain sebagai pelembutnya. Dalam masyarakat Jawa, misalnya, dalam kondisi tertentu tikus diganti dengan den bagus; macam diganti dengan simbah. Dalam masyarakat Banjar, ular diganti dengan ratik; intan diganti dengan galuh. (b) Tabu untuk Persoalan yang genting dan tidak mengenakkan. Pada umumnya terdapat kecenderungan yang manusiawi untuk menghindarkan rujukan langsung dengan peristiwa-peristiwa yang kurang menyenangkan dan genting. Masyarakat sering menyebutkan peristiwa seseorang yang telah meninggal, misalnya, dalam bahasa Jawa, dikatakan tinggal dunyo atau ora ono (untuk orang biasa); dalam bahasa Indonesia dikatakan telah mendahului kita. (c) Tabu Berhubungan dengan Masalah Kesusilaan Ada tiga bidang yang berhubungan dengan tabu kesusilaan, yakni tabu yang langsung berhubungan dengan seks, beberapa fungsi dari organ tubuh, dan sumpah serapah. Misalnya, untuk menyebutkan kelamin produksi pria disebut burung, untuk menyebutkan bagian tubuh wanita yang menonjol di dada disebut buah dada atau diganti dengan kata baru payudara. Datang bulan diganti dengan ada halangan atau dengan menyebut M. *) Dosen FKIP Unlam & Mahasiswa Program Doktor UM Malang

Anda mungkin juga menyukai