Anda di halaman 1dari 2

ZIAUDDIN M.

KHALIFA 0811243099

Rabu, 17 Oktober 2012

Multicultural Feminism and Postcolonial Feminism

Feminisme multikultural lahir karena adanya kegagalan dari feminisme mainstream dalam memperjuangkan kepentingan-kepentingan perempuan yang termarjinalkan. Feminisme multikultural merupakan varian dari pemikiran feminisme yang pemikirnya mayoritas perempuan-perempuan kulit berwarna. Pemikiran ini berakar pada masyarakat, khususnya perempuan, Amerika Serikat yang heterogen, dimana perempuan terdiri dari banyak ras, etnis, kelas sosial, kecenderungan seksual, usia, agama, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, kondisi kesehatan, dan identitas. Hal ini bertolak belakang dengan ideologi AS yang menolak masyarakat multikultural, karena AS dianggap lebih mementingkan masyarakat yang unity (kesatuan) daripada diversity (keragaman). Fakta yang terjadi adalah bahwa para imigran AS tidak berusaha mempertahankan identitasnya, mereka lebih memilih untuk berasimilasi dengan menjadi Americans (orang Amerika). Hal inilah yang menjadi prinsip dasar dari pergerakan kaum feminis multikultural. Mereka ingin memperjuangkan nilai-nilai diversity. Mereka ingin agar kaum-kaum multikultural diperlakukan secara hormat dan setara. Kaum feminis multikultural berusaha untuk menghilangkan gap antara kaum mayoritas dan minoritas. Mereka ingin agar nilai-nilai tolerance, respect, dan pengakuan atas budaya satu sama lain dijunjung tinggi dalam masyarakat. Tujuan besarnya adalah agar kaum minoritas juga memiliki skill dan hak untuk bertarung dalam pasar ekonomi dan arena politik. Feminisme poskolonial menekankan bahwa penindasan terhadap perempuan di salah satu bagian dunia seringkali merupakan efek dari kejadian yang sama di belahan dunia lain atau dimanapun, dan tidak akan ada perempuan yang bebas dari penindasan selama hal tersebut tidak dihilangkan dimana-mana. Secara spesifik, pemikiran ini fokus terhadap pembagian dunia dalam negara-negara First World, yaitu negara-negara industri dan market-based (Northpenjajah) dan Third World, yaitu negara-negara berkembang (South-dijajah). Hal ini menjelaskan bagaimana hubungan tersebut membuat perempuan-perempuan di Third World

menjadi powerless dan disadvantages. Adanya perbedaan isu-isu strategis dari dua kaum feminis yang berbeda menyebabkan kesenjangan gender. Kaum feminis First World lebih mengutamakan isu-isu gender seperti reproduksi dan seksualitas dalam agendanya, sementara kaum feminis Third World (poskolonial) lebih mengutamakan isu-isu ekonomi dan politik dalam agendanya disamping tidak mengecilkan kepentingan-kepentingan gender lainnya. Kaum feminis poskolonial lebih suka menganggap mereka sebagai womanist, yang digambarkan sebagai kaum feminis berkulit hitam atau feminis kulit berwarna. Kaum feminis poskolonial memiliki dua tujuan jangka panjang, yaitu: 1. Perempuan memiliki hak dan kebebasan untuk memilih, dan memiliki kekuatan untuk mengontrol hidup mereka sendiri baik di dalam rumah maupun di luar rumah. Mampu mengatur hidup dan tubuh mereka sendiri itu penting dalam menjamin martabat dan otonomi setiap perempuan; 2. Penghapusan segala bentuk ketidakadilan dan penindasan melalui atau dalam aturan-aturan sosial dan ekonomi, baik skala nasional maupun internasional. Yang berarti adanya keterlibatan perempuan dalam perjuangan pembebasan nasional, pembangunan nasional, dan perjuangan terhadap perubahan lokal dan global. Menurut feminis poskolonial, personal dan politik adalah satu. Apapun yang terjadi dalam hal-hal privasi sekalipun, di rumah dan di kamar, berpengaruh terhadap hubungan lakilaki dan perempuan dalam lingkup sosial yang lebih luas. Kebebasan seksual dan reproduksi bagi perempuan tidak kurang dan tidak lebih penting dari kebebasan dalam keadilan politik dan ekonomi.

Nb: Maaf Bu, saya telat mengumpulkan tugas. Karena minggu lalu saya tidak hadir perkuliahan Gender dalam HI dan baru mengetahui tentang tugas ini saat perkuliahan kemarin. Terima kasih.

Anda mungkin juga menyukai