Anda di halaman 1dari 2

Realisasi Mimpi

Oleh: oban Kalp Menggapai sebuah cita-cita dan membuatnya menjadi sebuah realitas adalah bermimpi, maka mari bermimpi! Kata sahabat akrabku dari Madrasah Aliyah yang selalu teringat dalam kerumitan otakku. Walaupun pada saat ia mengucapkan statement itu setengah hati aku mengamininya, tapi saya tetap menghargainya. Karena dalam dinamika kehidupan akan selalu ada keterbalikan fakta yang berawal dari sebuah statement yang bersifat empiris. Perkataan Imam Syafii yang sangat monumental pendapatku benar namun ada kecenderungan salah dan pendapat selainku salah namun ada kecenderungan benar memang harus diperhitungkan. Kita tahu bahwa Imam Syafii mempunyai dua fatwa beliau yang sangat dipengaruhi oleh ruang dan waktu, yang kita kenal dengan qaul al-qdm dan qaul al-jadd. Beliau melakukan perombakan pada fatwa-fatwanya tentu mempunyai alasan kuat, salah satunya itu tadi, perbedaan ruang dan waktu. Berkaca pada pengalaman Imam Syafii ini, aku menyakini dan mengamini perkataan sahabatku dengan setengah hati, karena belum menemukan pengalaman tadi. Kembali ke masalah mimpi, sekitar pukul 07.30 aku melakukan perjalanan bersama teman teman alumni Al-Azhar ke sebuah kota klasik yang notabene masih ortodoks baik dari segi akseosorinya maupun sistem pendidikan dan pemikirannya, walaupun di sana sudah banyak sekolah, institusi pendidikan bahkan perguruan tinggi. Misi kami adalah mencari tahu problematika dari stagnasi kota klasik tersebut dan mencoba memberikan wins solution kepada mereka. Dan kami melakukan misi itu cukup unik, yaitu menyamar sebagai mahasiswa baru drop out Universitas kami sebelumnya dan bisa melanjutkannya dengan opsi dipindahkan. Sambutan meriah pun kami dapatkan di kota klasik itu dengan membludaknya para marketer perkuliahan yang saling berebut menyodorkan pamflet perguruan tinggi masing-masing ketika kami baru sampai di mulut kota klasik itu. Inisiatif kami saat itu adalah membagi anggota dengan slogan satu kawan satu perguruan tinggi. Ketika kami berpisah, maka suasana gaduh marketer perkuliah mulai memudar dan lenyap dibawa angin kesibukan mereka dengan costumer-nya masing-masing. Sementara aku juga sibuk dengan mendengarkan penjelasan marketerku sambil mengangguk-angguk walaupun ada sebagian yang tidak aku pahami. Setelah sampai pada salah satu perguruan tinggi di kota klasik itu, aku mencoba dalam sehari menyelesaikan semua urusan administrasi perkuliahan setelah itu baru mencari tempat penginapan yang lumayan atau bahkan termurah sekalipun. Keesokan harinya, aku pergi kuliah untuk pertama kalinya dan seperti biasa perkenalan pun tak terelakkan, namun itu tak berlangsung lama. Kesan pertama kuliah di sana adalah ruangan yang kotor, panas, dan masih serba manual. Namun yang unik, buku-buku yang dibahas adalah buku-buku klasik dengan pemahaman yang jumud. Kemudian, di sana tidak mengenal perkuliahan pada umumnya seperti ketika berdiskusi tidak boleh mengkritisi dosen atau buku yang sedang dibahas. Dengan kata lain, buku dan perkataan dosen adalah absolut, final, dan holistik. Padahal yang namanya pemahaman seorang dosen dan sebuah buku tentang teori adalah relatif kecuali al -Quran dan al-Hadis yang holistik dan

ahistoris. Sebagai mahasiswa baru, aku sadar untuk tidak melakukan pemberontakan metodologi pembelajaran di sana. Karena sangat beresiko besar, yaitu status mahasiswa droup out bener-bener menjadi realitas kehidupanku. Kesan selanjutnya adalah ketika sepulang kuliah, tepatnya di tempat penginapanku, ada semacam senioritas yang berlebihan dan selalu menindas pendatang baru sebagai ajang balas dendam dari perilaku seniornya dulu. Namun, arogansi semacam itu dengan mudah aku matikan dengan mengajak adu keilmuan dan argument. Dan ternyata hasilnya positif. Semenjak kejadian itu, mereka kaget sekaligus kagum dengan beberapa argumentku. Mereka selalu mencoba mengorek informasi latar belakangku, baik secara internal seperti dengan trik-trik pertanyaan yang menjebak, maupun secara eksternal. Dan alamdulill informasi latar belakangku terkunci rapat-rapat. Saat senja kuning mulai meredup, ada seseorang mendekatiku dan mengajakku ke rumahnya. Ketika memasuki dan melihat arsitektur rumahnya, secara spontanitas aku mengernyitkan dahi dan berkesimpulan ternyata putera Yai. Di samping kanan ada sebuah asrama putra yang tidak begitu besar, hanya lima kamar jumlahnya. Di samping timur rumah ada pintu tertutup rapat yang katanya itu adalah asrama putri tapi tak tahu berapa jumlah kamarnya. Setelah dipersilahkan duduk, aku, putera Yai tersebut, Pak Yai dan Bu Yai menghampiriku dengan salam senyum ramah tamahnya. Setelah k ami mengobrol panjang lebar dan bisa jadi mereka telah membaca jalan pemikiran saya ( usnu al-dznku), maka saya minta undur diri dan ditutup dengan harapan Pak Yai untuk sering-sering berdiskusi banyak hal di rumahnya. Dalam benakku, ada secercah harapan untuk mengutarakan pandangan tentang rekonstruksi pandangan dan pemikiran yang ada selama ini. Beberapa hari berlalu, tanpa terasa bulan pun berganti, teman-teman satu almamater sepakat untuk mengadakan rapat konsolidasi guna mengumpulkan problematika masing-masing institusi dan mendiskusikan wins solution dan disepakati berkumpul di tempat aku menginap. Ketika rapat sedang berlangsung, ada seorang yang melihat gerakan kami dan segera melaporkan kepada Pak Yai. Secara diam-diam Pak Yai mendengarkan pembicaraan kami dari awal hingga akhir. Dan beliau berkesimpulan bahwa ini merupakan ancaman tradisi klasik di kota klasik ini. Walaupun pada sesi -sesi diskusi antara saya dan beliau di rumahnya terlihat sepaham dan cenderung setuju untuk melakukan kontruksi pemikiran di kota klasik ini, namun ketika mendengar semua pembicaraan kami yang cenderung pada kesepakatan bersama; merekontruksi dengan menghilangkan pemikiran-pemikiran jumud-nya, maka beliau tidak setuju. Seketika itu beliau dengan sigap masuk ruang rapat kami dan menolak metode rekontruksi kami. Beliau berasumsi bahwa rekonstruksi pada sebuah tradisi jumud adalah tidak tepat, harus ada tahapan-tahapan untuk mencapai ketidak-jumud-an. Akhirnya, dengan penuh hormat kami mempersilahkan beliau untuk menyampaikan perspektifnya dalam hal rekonstruksi kota klasik ini dan wins solution-nya. Namun, lagi-lagi ada pihak ketiga yang mencium pergerakan ini, yang notabene sangat menjunjung tinggi tradisi jumud ini. Maka beberapa hari berikutnya kami disidang dan diinterogasi tentang dari mana, apa tujuannya, dan siapa kami sebenarnya. Salah satu dari mereka mengetahui bahwa kami adalah alumni al-Azhar dan gegerlah kota klasik tersebut. Saking gegernya, maka aku terbangun dari mimpi itu dan lihat jam pukul 09.30 langsung bergegas ke kuliah untuk diskusi dengan tema Agama Tuhan. Sekian.

Anda mungkin juga menyukai