Anda di halaman 1dari 17

Budaya Malu

Artikel Lepas
2/4/2012 | 10 Jumada al-Ula 1433 H | Hits: 1.877

Oleh: Kusnadi El-Ghezwa

Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com - Kewajiban berakhlaq mulia bagi seorang muslim merupakan tuntunan syariat yang di ajarkan oleh Rasulullah saw yang berhubungan dengan Allah dengan sesama manusia baik muslim maupun non muslim dan dengan sesama makhluk lain ciptaan-Nya. Maka sudah selayaknya bagi orang muslim untuk mengikuti sunah dan ajarannya untuk terciptanya suatu masyarakat yang harmonis, saling hormat-menghormati serta mampu menciptakan kerukunan umat antar agama. Dalam masalah ini perlu kita sadari bahwa akhlaq dan kepribadian seseorang merupakan faktor yang paling menentukan apakah ia bisa disenangi atau tidak oleh orang lain. Melalui kepribadian seseorang bisa memperlihatkan dirinya kepada orang lain. Oleh karena itu tiap orang harus menjaga akhlaq dan kepribadiannya dengan menampilkan sifat-sifat terpuji dan perilaku yang luhur. Untuk mengaplikasikan sifat-sifat terpuji di dalam kehidupan kita sehari-hari memang tidak semudah yang kita bayangkan, apalagi fitrah manusia memiliki sifat, watak dan karakteristik yang berbeda. Karena itu tidak mungkin orang memiliki tingkat kualitas akhlaq dan kepribadian yang sama persis. Adapun cara untuk memperbaiki akhlaq yang buruk seseorang harus berusaha keras serta mau memaksakan diri untuk melakukan lawannya. Misalnya kebiasaan berbohong atau dusta bisa diperbaiki dengan mengusahakan lawan sifat itu yaitu selalu menjunjung sifat jujur. Kesukaan ingkar janji dan khianat bisa diperbaiki dengan membiasakan diri menepati janji. Meskipun pada mulanya amat berat tetapi bila dibiasakan dengan latihan dan perjuangan secara terus-menerus maka lama kelamaan akan ringan dan mudah. Jika kita tidak membiasakan dengan sifat-sifat terpuji secara otomatis kepribadian kita tak lagi di akui di tengah masyarakat dan sekitarnya. Apalagi di era globalisasi ini orang-orang begitu mudahnya mengingkari janji, saling membohongi dan mengumbar syahwat insani. Padahal kepercayaan menurut kalangan bisnis adalah modal utama yang tentunya harus dimulai dari diri sendiri. Bahkan jika dikaji lebih jauh dusta ingkar dan khianat merupakan sifat-sifat tercela dan termasuk ciri kemunafikan. Sebab di

dalamnya terdapat unsur meremehkan orang lain sifat yang tentunya harus dihindari oleh umat Islam. Rasulullah saw bersabda yang artinya Tanda orang munafik itu tiga walaupun ia puasa dan shalat serta mengaku dirinya muslim. Yaitu jika ia berbicara ia berdusta jika berjanji ia menyalahi dan jika dipercaya ia khianat. Dari hadits di atas dapat ditafsirkan bahwa orang munafik ialah orang yang bertolak belakang antara lahir dengan batinnya yakni lahirnya Islam sedangkan batinnya ingkar. Karena itu Rasulullah melukiskan orang munafik itu sebagai orang yang tak jujur dalam semua hal baik kata-kata maupun perbuatannya. Maksudnya walaupun seseorang mengaku muslim mengerjakan shalat dan puasa selama ia suka berlaku tidak jujur ingkar janji dan berkhianat maka ia termasuk golongan orangorang munafik. Jelasnya sifat munafik sangat meracuni keimanan seseorang. Ironisnya sifat-sifat seperti itu justru banyak terdapat di kalangan umat Islam. Sinyalemen ini bisa kita rasakan kebenarannya dalam kehidupan sehari-hari. Sifat munafik telah menyusup ke lubuk hati kaum muslimin sehingga sering menimbulkan perilaku-perilaku sosial yang sangat menjengkelkan dan merusak nilai-nilai moral. Sekarang apa yang harus kita lakukan untuk menghindari sifat-sifat buruk tersebut? Tentunya karena ini mencakup masalah pembinaan moral umat maka salah satu usaha kongkretnya ialah dengan memasyarakatkan budaya malu di kalangan masyarakat untuk melakukan sifat-sifat tercela itu. Kemudian masyarakat diajak untuk membudayakan rasa bangga dan penghormatan kepada orang-orang yang memiliki sifat-sifat sidik konsisten pada janji dan amanah. Sifat sidik artinya benar lawannya sombong atau dusta. Sidik merupakan sifat utama yang wajib diamalkan oleh semua orang Islam sebagaimana telah diperintahkan oleh Allah. Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar. Bersikap benar tidak suka berbohong mempunyai pengaruh yang besar sekali dalam masyarakat dan merupakan sikap mental yang sangat dibutuhkan untuk membangun kualitas sumber daya manusia guna mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Karena itulah Rasulullah saw sangat tegas melarang umatnya melakukan dusta kecuali pada tiga hal karena alasan untuk mencapai kebaikan dan menegakkan kebenaran yaitu Pertama suami berbohong kepada istri misalnya menjanjikan sesuatu yang patut dijanjikan kepada seorang istri sekedar untuk menghibur dan menyenangkan hatinya. Kedua berdusta dalam perang sebagai siasat pertempuran. Ketiga dusta yang dilakukan sebagai taktik untuk mendamaikan dua orang muslim yang berselisih. Bahkan untuk keadaan berdusta itu bisa menjadi wajib yaitu bila dalam keadaan darurat atau posisinya terdesak seperti untuk menyelamatkan nyawanya sendiri dari kezhaliman dan kekejaman. Tetapi meskipun demikian harus dipahami bahwa apabila suatu tujuan yang baik dan benar itu sudah bisa dicapai tanpa juga bohong atau dusta itu tetap haram hukumnya.

Menepati janji. Allah SWT berfirman Hai orang-orang yang beriman peliharalah janji-janji itu. Perintah untuk memenuhi semua janji sebagaimana ditegaskan dalam ayat di atas sebenarnya merupakan prinsip umum yang harus dipatuhi oleh tiap orang yang terikat kepada suatu janji atau yang mesti berlaku sesuai adat kebiasaan dalam interaksi sosial seperti transaksi jual beli utang piutang kehidupan politik sosial dan sebagainya .Dalam hukum Islam janji adalah utang yang berarti harus dibayar. Ajaran ini jelas sejalan dengan nilai-nilai kedisiplinan yang semakin dituntut bagi perkembangan zaman lebihlebih dalam konteks kehidupan modern. Masyarakat sangat memerlukan sikap hidup dengan disiplin tinggi teguh pada janji serta menghormati peraturan dan norma-norma yang berlaku dalam kehidupan global. Karena itu sebagai petunjuk bentuk ajaran kedisiplinan umat dalam perjanjian Allah SWT telah menunjukkan ketika berjanji bagi orangorang yang beriman Dan janganlah kamu mengatakan bahwa sungguh aku akan mengerjakannya besok pagi kecuali dengan menyebut insya Allah. Tepatilah janji sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungjawabannya. Sifat amanah artinya tepercaya atau jujur lawannya khianat. Amanah yang diajarkan di dalam Islam meliputi banyak hal di antaranya barangbarang yang dititipkan atau uang yang kita pinjam wajib dikembalikan kepada pemiliknya. Bisa juga berupa amanah berupa anak dan keturunan agar dididik menjadi orang yang beriman beramal saleh dan berakhlaq mulia. Amanah juga bisa berupa tugas dan jabatan. Di samping itu ilmu harta pangkat umur kesehatan kecerdasan akal dan sebagainya semua itu merupakan amanah dari Allah yang harus dipelihara dan diamalkan sebaik-baiknya sesuai tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Pemahaman yang luas tentang makna amanah perlu lebih dimasyarakatkan di kalangan umat sebab sifat amanah atau kejujuran itu biasanya hanya dikaitkan dengan bidang materi misalnya jujur tidak mengambil sesuatu yang bukan haknya baik dengan mencuri korupsi manipulasi bisnis ataupun tindakan lain yang intinya sama yaitu mengambil yang bukan haknya. Padahal sebenarnya perbuatan tidak jujur di bidang materi itu hanya salah satu segi dari ketidakjujuran. Kejujuran pada hakikatnya meliputi semua bidang kehidupan yang di dalamnya termasuk bidang ilmu pengetahuan pemikiran kekayaan dan sebagainya. Allah SWT berfirman Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimannya. Sebagai penutup dapat disimpulkan bahwa sifat sidik konsisten pada janji dan amanah apabila benar-benar telah diamalkan oleh kaum muslimin citra Islam pasti akan lebih harum daripada kenyataan selama ini. Sebaliknya citra Islam akan pudar apabila lawan dari sifat-sifat tersebut yaitu bohong ingkar janji dan khianat semakin membudaya di kalangan umatnya. Yang lebih penting lagi bukan masalah citra Islam atau lainnya tetapi tanggung jawab diri kita masing-masing di hadapan Allah SWT. Akhirnya marilah kita renungkan isi hadits peringatan Rasulullah saw berikut ini Tiadalah beriman orang yang tidak amanah dan tiada beragama orang yang tidak menepati janji.

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/04/19669/budaya-malu/#ixzz28Oi7kkB7

Budaya Malu Tanggal : 12-03-2012 13:06, dibaca 161 kali.

Di kantor-kantor, sekolah-sekolah dan tempat-tempat semacamnnya kita sering menjumpai slogan Tumbuhkan Budaya Malu dengan 7 butir malu. Lalu, apakah arti dari budaya malu tersebut? Budaya artinya hal yang sering dilakukan atau kebiasaan sehari-hari. Sedangkan malu mempunyai arti merasa tidak enak hati. Jadi, budaya malu mempunyai arti membiasakan diri untuk mempunyai rasa malu terhadap hal-hal yang negatif. Butir pertama, malu karena pulang terlambat atau pulang cepat. Entah itu terlambat karena hal yang mendesak ataupun karena hal yang disengaja. Apalagi pulang cepat, seringkali kita mempunyai keinginan untuk pulang cepat karena bosan terhadap apa yang kita kerjakan. Kerjakanlah pekerjaan kita tepat waktu, biasakan diri untuk tidak terlambat ataupun pulang cepat dan mempunyai rasa malu terhadap hal itu. Butir kedua, malu karena melihat rekan sibuk melakukan aktivitas. Seperti di kelas contohnya, jika teman sedang melaksanakan piket dan kita diam saja melihat mereka membersihkan ruangan. Seharusnya kita ikut membantu, karena hal itu menyangkut kepentingan kita bersama. Jangan hanya diam, tidak tahu malu. Butir ketiga, malu karena melanggar peraturan. Kebanyakan orang disaat melanggar peraturan pasti punya rasa malu. Tetapi ada juga orang yang sudah kebal akan pelanggaran, disinilah hal yang perlu diperbaiki. Butir keempat, malu untuk berbuat salah. Jika hari ini berbuat salah, maka kedepan berbuatlah yang lebih baik. Jangan terpuruk akan kesalahanmu sekarang, tetapi ambilah hikmahnya. Butir kelima, malu karena bekerja tidak berprestasi. Bekerja pastinya menuntut hal yang maksimal. Jika ingin mencapai pencapaian yang maksimal, berusahalah bekerja keras dengan tidak bekerja setengah-setengah. Apabila jika bekerja hanya sekedar bekerja, hasilnya pasti akan sia-sia. Butir keenam, malu karena tugas tidak terlaksana/selesai tepat waktu. Usaha yang paling tepat untuk menanggulangi hal ini adalah dengan mencicil tugas. Seringkali kita dihadapkan dengan masalah waktu, tetapi jika didukung dengan kemauan keras, kemungkinan hal apapun itu pasti dapat terlaksana. Butir ketujuh, malu karena tidak berperan aktif dalam mewujudkan kebersihan lingkungan kantor/sekolah. Lingkungan yang bersih mampu menambah semangat dalam bekerja. Kita harus bisa menjaga kebersihan lingkungan bersama. Demikianlah budaya malu yang harus kita teladani sejak dini. Karena menumbuhkan Budaya Malu sangatlah penting, agar kita tidak terbiasa dengan sikap malu-maluin. Dalam arti menumbuhakan budaya malu disini, ialah dapat menumbuhkan rasa kedisiplinan diri. Maka hal ini sangatlah baik kita terapkan sejak dini. Dengan kedisiplinan diri yang tinggi, kelak kita akan menjadi orang yang sukses

Membumikan 9 Budaya Sukses


OPINI | 14 July 2012 | 09:44 Dibaca: 73 Komentar: 2 Nihil Dalam rangka menyambut hari kemerdekaan Republik Indonesia ke-63, 17 Agustus 2008 ada baiknya kita melakukan komtemplasi, berfikir sejenak, introspeksi, baik sebagai seorang anak bangsa negara yang mempunyai sumber daya alam sangat kaya, maupun sebagai bagian dari umat dan bangsa Indonesia. Kenapa dengan anugerah Tuhan yang melimpah ruah tersebut, bangsa Indonesia masih tertatih dan merangkak dalam pembangunan manusia seutuhnya, menuju Indonesia sejahtera sesuai dengan amanat Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, menuju keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Komtemplasi tersebut bisa dikonversi dengan komitmen pada pembumian dan kebulatan tekad setiap kita sebagai anak bangsa pada 9 Budaya Sukses. 1. BUDAYA KERJA KERAS. Sudah menjadi rahasia umum bahwa bangsa kita belum termasuk pekerja keras. Banyak sekali kita dapati dalam percakapan sehari-hari pepatah yang merefleksikan hal tersebut, seperti misalnya, alonalon asal kelakon, mangan ora mangan, asal ngumpul, dan lain sebagainya. Berbeda dengan negara lain, misalnya Jepang. Rata-rata jam kerja pegawai di Jepang adalah 2450 jam/tahun, sangat tinggi dibandingkan dengan Amerika (1957 jam/tahun), Inggris (1911 jam/tahun), Jerman (1870 jam/tahun), dan Perancis (1680 jam/tahun). Seorang pegawai di Jepang bisa menghasilkan sebuah mobil dalam 9 hari, sedangkan pegawai di negara lain memerlukan 47 hari untuk membuat mobil yang bernilai sama. Seorang pekerja Jepang boleh dikatakan bisa melakukan pekerjaan yang biasanya dikerjakan oleh 5-6 orang. Datang terlambat dan pulang cepat adalah sesuatu yang memalukan, dan menandakan bahwa pegawai tersebut termasuk yang tidak dibutuhkan. 2. BUDAYA MALU. Malu adalah budaya leluhur bangsa Indonesia yang terinspirasi dari ajaran Islam berdasarkan sabda Nabi, al-hayau min al-iman (Budaya malu termasuk ke dalam ategori iman). Artinya, orang yang punya malu, termasuk tidak ada iman di dalam dirinya. Para orang tua dan leluhur kita senantiasa menasehati anak-cucunya dengan pesan profetik ini. Kita bisa mengambil contoh dari Jepang mengenai budaya malu ini. Misalnya mereka akan melakukan harakiri (bunuh diri dengan menusukkan pisau ke perut) bila melakukan sebuah aib dalam kehidupan masyarakat. Masuk ke dunia modern, wacana harakiri berubah menjadi fenomena mengundurkan diri bagi para pejabat (menteri, politikus, pegawai, dsb) yang terlibat korupsi, gagal menjalankan tugas dan tidak mampu atau lingkungan kerja yang tidak kondusif. Para elit di Jepang merasa malu melakuan penyimpangan yang bukan menjadi miliknya (corrup) dan melakukan pertobatan dengan melakukan harakiri tadi. Mereka malu terhadap lingkungannya apabila mereka melanggar peraturan ataupun norma/peraturan kerja yang sudah disepakati/ditandatangani maupun kesepakatan umum. Budaya Kita, Budaya malu Di kantor-kantor, sekolah-sekolah dan tempat-tempat semacamnnya kita sering menjumpai slogan Tumbuhkan Budaya Malu dengan 7 butir malu. Lalu, apakah arti dari budaya malu tersebut? Budaya artinya hal yang sering dilakukan atau kebiasaan sehari-hari. Sedangkan malu mempunyai arti merasa tidak enak hati. Jadi, budaya malu mempunyai arti membiasakan diri untuk mempunyai rasa malu terhadap hal-hal yang negatif. Butir pertama, malu karena pulang terlambat atau pulang cepat. Entah itu terlambat karena hal yang mendesak ataupun karena hal yang disengaja. Apalagi pulang cepat, seringkali kita mempunyai keinginan untuk pulang cepat karena bosan terhadap apa yang kita kerjakan. Kerjakanlah pekerjaan kita tepat waktu, biasakan diri untuk tidak terlambat ataupun pulang cepat dan mempunyai rasa malu terhadap hal itu.

Butir kedua, malu karena melihat rekan sibuk melakukan aktivitas. Seperti di kelas contohnya, jika teman sedang melaksanakan piket dan kita diam saja melihat mereka membersihkan ruangan. Seharusnya kita ikut membantu, karena hal itu menyangkut kepentingan kita bersama. Jangan hanya diam, tidak tahu malu. Butir ketiga, malu karena melanggar peraturan. Kebanyakan orang disaat melanggar peraturan pasti punya rasa malu. Tetapi ada juga orang yang sudah kebal akan pelanggaran, disinilah hal yang perlu diperbaiki. Butir keempat, malu untuk berbuat salah. Jika hari ini berbuat salah, maka kedepan berbuatlah yang lebih baik. Jangan terpuruk akan kesalahanmu sekarang, tetapi ambilah hikmahnya. Butir kelima, malu karena bekerja tidak berprestasi. Bekerja pastinya menuntut hal yang maksimal. Jika ingin mencapai pencapaian yang maksimal, berusahalah bekerja keras dengan tidak bekerja setengah-setengah. Apabila jika bekerja hanya sekedar bekerja, hasilnya pasti akan sia-sia. Butir keenam, malu karena tugas tidak terlaksana/selesai tepat waktu. Usaha yang paling tepat untuk menanggulangi hal ini adalah dengan mencicil tugas. Seringkali kita dihadapkan dengan masalah waktu, tetapi jika didukung dengan kemauan keras, kemungkinan hal apapun itu pasti dapat terlaksana. Butir ketujuh, malu karena tidak berperan aktif dalam mewujudkan kebersihan lingkungan kantor/sekolah. Lingkungan yang bersih mampu menambah semangat dalam bekerja. Kita harus bisa menjaga kebersihan lingkungan bersama. Demikianlah budaya malu yang harus kita teladani sejak dini. Karena

menumbuhkan Budaya Malu sangatlah penting, agar kita tidak terbiasa dengan sikap malu-maluin. Dalam arti menumbuhakan budaya malu disini, ialah dapat menumbuhkan rasa kedisiplinan diri. Maka hal ini sangatlah baik kita terapkan sejak dini. Dengan kedisiplinan diri yang tinggi, kelak kita akan menjadi orang yang sukses.

MENANAMKAN BUDAYA MALU

Ada suatu sikap yang tampaknya belum membudaya dengan baik di negara ini, yaitu sikap malu. Dalam bahasa Arab malu dinamakan dengan al-hayaa. Seperti yang diajarkan oleh Nabi Muhammad, idza lam tastahi fashna maa syita, yang artinya, jika kamu sudah tidak memiliki rasa malu, maka berbuatlah sesuka hatimu. Malu adalah suatu kondisi di mana kita merasa bersalah jika melakukan suatu perbuatan. Karena itu di dalam bahasa Inggris ashamed atau malu diartikan dengan troubled by guilty feeling, atau merasa terganggu oleh adanya rasa bersalah. Harapannya, rasa malu ini bisa jadi pagar pengaman dari nafsu binatang kita yang kadang liar dan sulit terkendali. Bagaimana rasa bersalah bisa muncul, ini tentunya didasarkan atas beberapa

kemungkinan. Sebagaimana dalam ilmu sosial-keagamaan, dalam proses mencari kebenaran kita bisa menyandarkan pada beberapa ukuran. Pertama, didasarkan atas kebenaran yang dipahami sendiri. Kedua, kebenaran yang diyakini oleh orang banyak. Dan yang ketiga adalah kebenaran dari Allah dan Nabi-Nya melalui pesanNya yang termaktub dalam kitab suci atau petuah utusan-Nya di dalam hadis atau sunnah. Jika dianalogikan, maka rasa malu bisa tercipta, Pertama, atas dasar pemahaman diri sendiri tentang perasaan bersalah. Kedua, berdasarkan keyakinan suatu masyarakat dalam lokal budaya tertentu. Ini biasanya disebut dengan moral. Ketiga, lahir dari pemahaman atas doktrin Ilahi dalam kitab suci maupun dalam sunnah yang dikembangkan oleh Nabi. Ketiga sumber rasa malu ini bisa saja diabsahkan. Namun dengan syarat, adanya cross check atas ketiganya. Dalam bahasa ilmiahnya interconnection atau saling berhubungan dengan saling melengkapi dan memperbaiki. Jika seseorang merasa malu berpenampilan dengan pakaian sederhana dan apa adanya, maka rasa malu atas pemahaman pribadi ini perlu dikoreksi dengan pertimbangan dua sumber berikutnya. Bahwa secara moral, tidak ada orang yang mempermasalahkan. Sedang secara agama, itu bisa menjadi pemicu terbitnya sifat munafik. Karenanya sikap apa adanya perlu diletakkan dalam porsinya, tidak perlu ditutupi dengan mengenakan topeng kemunafikan. Kenapa memiliki rasa malu itu penting dan harus dibudayakan. Karena dengan rasa malu kita tidak akan lagi menyaksikan tindakan amoral dan kekerasan yang meresahkan masyarakat banyak. Orang-orang akan berkompetisi untuk bersikap sosial yang baik dan mengubur tindakan amoral dengan rapi. Karena itu hal ini perlu dibudayakan. Sebagaimana yang kita ketahui, salah satu pengertian budaya adalah tingkat mutu ekspresi manusia. Dalam perihal mencari penghidupan misalnya, kualitas budaya beberapa orang pejabat dapat dilihat melalui pola ekspresi atau cara bagaimana mereka mendapatkan penghidupan. Pejabat si A mungkin merasa tidak cukup dengan gaji dari pangkat jabatannya. Kemudian dengan memanipulasi jabatan dia bergerilya dalam tingkat korupsi yang tidak kentara. Seperti memenangkan tender kontraktor tertentu dengan negosiasi berapa persen dari keuntungan. Bisa juga dengan pemberian izin pertambangan dengan tip berapa persen dari satu ton barang tambang yang diangkut. Sebaliknya pejabat si B, meski kebutuhannya sama mendesak, di mana gaji bulanannya tidak mencukupi untuk keperluan hidupnya, dia bisa saja mengungkapkan hajatnya itu dengan cara-cara yang halus dengan menepiskan laku korupsi. Misalnya, mencari peluang usaha dengan membuka pinjaman ke Bank. Atau dengan menanamkan modal pada kenalan dengan bagi hasil dalam jumlah tertentu. Cara yang bermacam-macam untuk mencari penghasilan tambahan mengindikasikan taraf kedewasaan budaya seseorang. Nah, begitu pula dengan rasa malu, ia perlu dibudayakan. Meski dengan kadar pemahaman yang sangat rendah, rasa malu akan memberi kontribusi yang berarti bagi keamanan dan ketentraman masyarakat. Di Sudan misalnya, para gadis dilarang mengenakan pakaian ketat. Bukan karena apaapa, karena para lelaki di sana kebanyakan tidak kuat menahan libido mereka. Jika tidak diberlakukan larangan, maka akan banyak terjadi tindak pemerkosaan dikarenakan di antara para lelakinya sudah tidak memiliki rasa malu. Kesadaran untuk memiliki rasa bersalah atas sesuatu yang memang secara moral tidak dibenarkan dan secara agama haram untuk dilakukan semestinya wajib dibudayakan. Seperti merusak barang berharga, baik itu milik sendiri maupun milik negara tidak boleh untuk dilakukan. Para mahasiswa dan masyarakat umum semestinya merasa malu ketika dalam demonstrasi mereka merusak fasilitas umum seperti pagar kantor KPU atau DPRD. Mereka semestinya malu ketika melempari lampu-lampu jalanan atau kaca-kaca perkantoran. Begitu juga anak-anak pelajar kita. Begitu lulus ujian akhir, semestinya mereka malu ketika mendemonstrasikan rasa syukur dengan cara-cara yang tidak berbudaya

seperti mencoret-coret baju, berpesta pora, membakar motor sendiri, minumminuman keras, atau bahkan berkelahi satu sama lain. Betapa menyedihkan memang, untuk bergembira saja anak-anak kita tidak mampu menemukan bentuk yang pantas. Apakah ini tanda, bahwa kita telah gagal mendidik anak-anak kita untuk bersyukur dengan cara yang berbudaya. Di sini sebenarnya kita sadar bahwa kadar-kadar primitif budaya anak-anak kita itu sesungguhnya sekedar refleksi atas muatan-muatan primitif kita sendiri yang terbiasa tidak tahu malu. Wallahu alam.

Membangun Budaya Malu Korupsi Korupsi merupakan masalah memalukan bagi bangsa Indonesia. Mulai dari pejabat papan atas hingga masyarakat kelas bawah sebenarnya bisa saja melakukan tindak pidana korupsi. Sadar atau tidak, langsung maupun tak langsung. Pemberantasan korupsi bukan hanya tugas pemerintah khususnya KPK sebagai lembaga terkait, namun semua aspek masyarakat Indonesia. Bagaimana cara kita sebagai rakyat biasa memberantas korupsi sehingga dapat menciptakan Indonesia yang berbudaya malu korupsi? Bisakah kita melakukannya? Sulitkah? Mulai dari diri sendiri, sejak dini, dan melalui agama mari bersama berantas korupsi. Kasus-kasus korupsi sedang merajalela di Indonesia. Banyak pejabat ditangkap dan dimasukkan ke penjara. Namun tak sedikit yang masih bebas berkeliaran. Entah karena kekuasaannya yang besar sehingga dapat berkelit dari hukum, memiliki koneksi kuat atau karena uangnya yang banyak lalu kabur ke luar negeri. Contohnya korupsi Anggaran DPRD Kota Solo oleh mantan anggota DPRD Solo periode 19992004, Hasan Mulachela dan Heru S. Notonegoro yang Dituntut 3,5 tahun hukuman penjara. Mereka dinilai bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersamasama, yang mengakibatkan kerugian negara sekitar Rp 4,27 miliar (Irfan : 2009).[1] Yang pada akhirnya mereka bebas. Kasus terbaru ditetapkannya beberapa anggota penegak hukum terkait keluarnya Gayus Tambunan refreshing dari tahanan. Gayus yang merupakan kunci kasus mafia pajak dapat keluar dari penjara dikarenakan memberikan suap kepada mereka. Sebelum kita membahas lebih jauh, sebenarnya apa korupsi itu? Korupsi berasal dari bahasa latin, Corruptio-Corrumpere yang artinya busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik atau menyogok. Korupsi menurut Huntington (1968) adalah perilaku pejabat publik yang menyimpang dari norma-norma yang diterima oleh masyarakat, dan perilaku menyimpang ini ditujukan dalam rangka memenuhi kepentingan pribadi. Menurut Dr. Kartini Kartono, korupsi adalah tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum. Selanjutnya, dengan merujuk definisi Huntington diatas, Heddy Shri Ahimsha-Putra (2002) menyatakan bahwa persoalan korupsi adalah persoalan politik pemaknaan. Maka dapat disimpulkan korupsi merupakan perbuatan curang yang merugikan negara dan masyarakat luas dengan berbagai macam modus. Seorang sosiolog Malaysia Syed Hussein Alatas secara implisit menyebutkan tiga bentuk korupsi yaitu sogokan (bribery), pemerasan (extortion), dan nepotisme. Alatas mendefinisikan nepotisme sebagai pengangkatan kerabat, teman, atau sekutu politik untuk menduduki jabatan-jabatan publik, terlepas dari kemampuan yang dimilikinya dan dampaknya bagi kemaslahatan umum (Alatas 1999:6). Inti ketiga bentuk korupsi menurut kategori Alatas ini adalah subordinasi kepentingan umum dibawah tujuan-tujuan pribadi yang mencakup pelanggaranpelanggaran norma-norma, tugas, dan kesejahteraan umum, yang dibarengi dengan kerahasiaan, pengkhianatan, penipuan, dan sikap masa bodoh terhadap akibat yang ditimbulkannya terhadap masyarakat. Istilah korupsi dapat pula mengacu pada pemakaian dana pemerintah untuk tujuan pribadi. Definisi ini tidak hanya menyangkut korupsi moneter yang konvensional,

akan tetapi menyangkut pula korupsi politik dan administratif. Seorang administrator yang memanfaatkan kedudukannya untuk menguras pembayaran tidak resmi dari para investor (domestik maupun asing), memakai sumber pemerintah, kedudukan, martabat, status, atau kewenangannnya yang resmi, untuk keuntungan pribadi dapat pula dikategorikan melakukan tindak korupsi. Mengutip Robert Redfield, korupsi dilihat dari pusat budaya, pusat budaya dibagi menjadi dua, yakni budaya kraton (great culture) dan budaya wong cilik (little culture). Dikotomi budaya selalu ada, dan dikotomi tersebut lebih banyak dengan subyektifitas pada budaya besar yang berpusat di kraton. Kraton dianggap sebagai pusat budaya. Bila terdapat pusat budaya lain di luar kraton, tentu dianggap lebih rendah dari pada budaya kraton. Meski pada hakikatnya dua budaya tersebut berdiri sendiri-sendiri namun tetap ada bocoran budaya (Irfan : 2009).[2] Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengan dirinya, dengan cara menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Dari sudut pandang hukum di Indonesia termaktub dalam tiga belas pasal UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 21 Tahun 2001. Menurut UU itu, ada tiga puluh jenis tindakan yang bisa dikategorikan sebagai tindak korupsi. Penjelasan detailnya ada di Bab 3, tetapi secara ringkas tindakan-tindakan itu bisa dikelompokkan menjadi:
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Kerugian keuntungan negara Suap menyuap (istilah lain: sogokan atau pelicin) Penggelapan dalam jabatan Pemerasan Perbuatan curang Benturan kepentingan dalam pengadaan Gratifikasi, istilah lain: pemberian hadiah (Tim KPK). [3]

Korupsi sangat merugikan bagi banyak pihak. Beberapa diantaranya adalah:


1. Penegakan hukum dan layanan masyarakat menjadi amburadul

Lalu lintas bisa menjadi contoh yang pas. Dari mengurus SIM sampai sidang kasus tilang, tidak ada lagi yang berjalan sebagaimana seharusnya. Akhirnya uang dan kekuasaanlah yang berbicara. Bila tidak memiliki dua hal itu jangan harap mendapatkan layanan masyarakat yang baik atau keadilan di mata hukum.
2. Pembangunan fisik menjadi terbengkalai

Banyaknya ruas-ruas jalan yang rusak dan gedung sekolah yang reyot adalah akibat dari korupsi. Mulai dari mengorbankan kualitas bahan bangunan supaya uangnya dapat dikantongi hingga membuat proyek yang sebenarnya tidak perlu. Intinya, sedikit sekali pembangunan fisik di negara ini yang dijalankan dengan tujuan menghasilkan sesuatu yang kuat dan berguna bagi masyarakat.
3. Prestasi menjadi tidak berarti

Seharusnya orang bisa menduduki jabatan tertentu karena Ia memang berprestasi dan kompeten. Tapi kenyataan berbicara lain: siapa saja bisa menduduki jabatan apa saja. Asalkan memiliki uang atau kekuasaan. Hasilnya banyak sekali posisi penting yang diduduki oleh orang yang tidak tepat.
4. Demokrasi tidak berjalan

Pemilihan wakil daerah dapat menjadi contoh yang menarik. Sebab, sudah dipilih tapi lebih mengutamakan kepentingan mereka yang beruang dibanding mereka yang memilih. Melihat situasi ini jangan heran kalau rakyat bisa menjadi tidak percaya dengan demokrasi.

5.

Ekonomi menjadi hancur

Ada dua kata kuncinya: tidak efisien. Mau membuat pabrik, harus nyogok sanasini. Mau membuat usaha dengan modal kecil, kalah dengan perusahaanperusahaan bermodal besar yang dekat dengan pemegang kekuasaan. Tidak heran orang asing mulai enggan investasi di Indonesia. Akhirnya rakyat yang kena dampaknya. Mencari kerja menjadi susah, bertahan hidup apa lagi (Tim KPK). [4] Bila dilihat dari pengertian di atas seolah-olah kasus-kasus korupsi yang terjadi di Indonesia adalah kesalahan dan tanggung jawab pemerintah. Padahal pejabat awalnya juga berasal dari rakyat biasa seperti kita. Mereka tidak begitu saja menjadi pejabat. Melainkan mengalami tahapan dari menjadi pejabat kecil hingga menjadi seperti sekarang. Kita sebagai rakyat juga ikut andil dalam berhasilnya para pejabat korup itu memperoleh kursi kepemimpinannya sehingga mereka dapat menggelapkan uang negara yang bukan haknya. Contohnya adalah pada saat pemilihan Lurah Desa di sebuah Kabupaten di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarata. Rakyat akan memilih calon Lurah Desa yang memberikan uang syukuran jika Ia terpilih menjadi lurah nantinya. Dan akan memberi bantuan ke desa-desa yang suara terbanyak jatuh kepada dirinya. Itulah mental koruptor rakyat yang kini tak jarang dijumpai di Indonesia. Lalu, apa yang menyebabkan orang-orang melakukan korupsi? Menurut Komisi IV DPR-RI, terdapat tiga indikasi yang menyebabkan meluasnya korupsi di Indonesia, yaitu :
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Pendapatan atau gaji yang tidak mencukupi. Penyalahgunaan kesempatan untuk memperkaya diri. Penyalahgunaan kekuasaan untuk memperkaya diri. Dalam buku Sosiologi Korupsi oleh Syed Hussein Alatas, disebutkan ciri-ciri korupsi antara lain sebagai berikut : Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang. Korupsi pada umumnya melibatkan keserbarahasiaan. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungann timbal balik. Berusaha menyelubungi perbuatannya dengan berlindung dibalik perlindungan hukum. Mereka yang terlibat korupsi adalah mereka yang menginginkan keputusankeputusan yang tegas dan mereka yang mampu untuk mempengaruhi keputusankeputusan itu. Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan, biasanya pada badan publik atau masyarakat umum. Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan. Setiap bentuk korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif. Perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas dan pertanggungjawaban dalam masyarakat.

1. 2. 3. 4.

Untuk menghilangkan korupsi kita harus memiliki budaya malu korupsi. Apa itu budaya? Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai kultur dalam bahasa Indonesia. Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbada budaya dan menyesuaikan

perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari. Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia. [5] Kenapa kita harus malu korupsi? Karena malu akan menahan seseorang untuk melakukan sesuatu yang tercela dan menjadikannya takut untuk berbuat sesuatu yang berakibat tercela (Al-atsary : 2004).[6] Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, Malu adalah sebagian dari iman. Kita sebagai rakyat juga bisa melakukan berbagai hal untuk melahirkan budaya malu korupsi. Bagaimana menumbuhkan budaya malu korupsi yang seharusnya dimiliki oleh bangsa Indonesia? 1. Mulai dari diri sendiri Siapa yang akan memulai suatu perubahan jika bukan diri sendiri? Jangan hanya menyalahkan pemerintah yang belum mampu memberantas korupsi dengan baik. Karena pemberantasan korupsi bukan hanya tanggung jawab pemerintah, namun tanggung jawab kita bersama termasuk rakyat. Kita hendaknya bercermin apakah kita ini sudah bersih dari korupsi. Banyak fakta tentang rakyat yang juga melakukan korupsi. Di daerah Purbalingga pernah ada warga yang mengmbil air PDAM tidak melalui kran rumahnya, namun melalui tengah jalan pipa sehingga tidak tercatat di pengukuran air. Contoh lainnya : pengendara sepeda motor yang melanggar peraturan lalu lintas lebih memilih berdamai dengan polisi daripada mendatangi persidangan, pedagang yang mengurangi timbangan, penjual makanan yang memakai bahan kimia berbahaya untuk meningkatkan laba, orang yang sebenarnya mampu tetapi berpura-pura miskin agar mendapatkan dana BLT, dan pengemis yang meminta-minta padahal mampu membeli perhiasan. Dengan keadaan masyarakat seperti itu akan menghasilkan budaya tidak sehat sehingga melahirkan pemimpin-pemimpin berbudaya koruptor yang akhirnya menjadi pejabat korup. Maka untuk menciptakan budaya malu korupsi kita harus memulai dari diri sendiri. Bila diri kita sudah baik, keluarga baik, lalu masyarakat baik dan akhirnya menghasilkan pemimpin yang baik. 2. Penguatan nilai agama Tidak ada agama di Indonesia yang memperbolehkan penganut agamanya melakukan korupsi. Alloh berfirman di dalam Alquran Surat Al-Baqarah ayat 188 yang berbunyi, 188. Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu Mengetahui. Dengan meningkatkan ketebalan nilai agama sesuai kepercayaan masing-masing akan menumbuhkan budaya malu korupsi. Karena seseorang yang taat pada agama yang dipeluknya tentu akan menghindari perbuatan buruk seperti korupsi. 3. Penanaman Pendidikan berbudaya malu korupsi sejak anak-anak Pendidikan untuk malu korupsi baik ditanamkan pada masa anak-anak. Karena pada masa kanak-kanak merupakan masa pembentukan karakter kepribadian seseorang. Komarudin menyatakan dewasa ini pendidikan karakter dan budaya bangsa mutlak harus diberikan pada anak Indonesia sejak usia dini dari lingkungan sekolah dan

sosial mereka. Pendidikan karakter tidak hanya diberikan saat anak duduk di bangku SD sampai Perguruan Tinggi (PT), namun sejak anak duduk di Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) (Sgi : 2010) [7].Bila seorang anak mendapatkan cukup pendidikan kepribadian yang positif seperti malu korupsi akan menjadi daya tahannya sehingga ketika mereka tumbuh dewasa tidak akan mudah tergiur untuk melakukan korupsi. Peran orang tua dalam penanaman budaya malu korupsi sangat besar. Orang tua harus memberi contoh dan mengajarkannya kepada anak. Pendidikan malu korupsi juga dapat diberikan di sekolah dalam bentuk sikap guru yang memberi teladan kepada murid-muridnya. Dapat pula dimasukkan dalam bentuk mata pelajaran seperti Mata Pelajaran Kewarganegaraan. Jadi bila kita menginginkan Indonesia yang berbudaya malu korupsi kita harus memulai dari diri sendiri lalu tularkanlah kebaikan itu ke lingkungan sekitar. Pertebal pula kekuatan spiritual kita lewat agama. Didik dan ajarkan budaya malu korupsi pada anak-anak. Bantul, 12 November 2010 Anaka Dwi Listriyani
[1] Irfan. 2009. Korupsi dan Pengertiannya. http://soloraya.net/2010/01/korupsi-danpengertiannya/. Diakses pada 19 September 2010

[2] ibid [3] Tim KPK. Buku Panduan Kamu Buat Ngelawan Korupsi. Dengan sedikit perubahan diksi [4] ibid [5] http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya [6] Al-atsary, Abu Nuaim. 2004. Tak Tahu Malu Sesukamu. Elfata, hlm. 26. [7] Sgi. 2010. Pendidikan Karakter dan Budaya Bangsa Tanamkan Sejak Dini. Kedaulatan Rakyat, hlm. 1.3

Tentang Budaya Malu


April 26th, 2011 Admin 30 Comments

inoputro(dot)com, Sekelumit masalah tentang budaya malu. tek,,tek,,tek,,, bunyi ketika koin uang 5 ratusan bersentuhan dengan kaca pintu sebuah bis. Seorang pemuda yang tengah menjalani rutinitasnya sehari-hari datang mendekati bis tersebut mau kemana kak,, biasalah, kampus,, seep,, ayo naik,, Budaya tidak malu (guilt culture) adalah budaya dimana seseorang melakukan sesuatu atas dasar rasa tau dirinya, tau bagaimana

kodratnya sebagai manusia. Budaya ini menghubungkan pelakunya dengan rasa sadar akan dosa. kenek biz itu pun mempersilahkan pemuda tersebut untuk masuk ke dalam bis. Posisi bis yang penuh sesak memang sering mewarnai kehidupannya. Penuh, sesak, desak-desakan, bahkan tidak jarang konflik terjadi antar penumpang bahkan dengan kenek bis itu sendiri. Akan tetapi dia hanya menganggap ini sebagai hiburan semata. Belum lagi jika ada bonusnya. Bonus?? Ya, tak jarang seorang wanita cantik yang telah menarik perhatiannya seakan menjadi hadiah terindah walaupun di bungkus dengan suasana yang kurang mendukung. Cciiitt,, di tengah lamunanya derit rem bis yang berhenti membuatnya melepaskan lamunannya. Tak lama kemudian seorang Ibu dengan menggendong bayinya masuk ke dalam bis yang sudah penuh. Mungkin ada alasan tersendiri seorang ibu ini tahan berdiri di dalam bis. Kita tidak bisa menyalahkan bisnya. Toh, memang ibu itu sendiri yang mau. Terbesit rasa ingin menolong dari pemuda tersebut. Setelah menimbang merasakan dan melihat situasi yang ada, pemuda tersebut mempersilahkan ibu tadi untuk duduk di tempatnya. Dengan wajah yang tetap tersenyum pemuda tersebut berdiri di tengah-tengah penumpang lainnya. Itu merupakan sepenggal cerita realita yang tentunya dapat kita pelajari, tentang rumitnya budaya malu itu. Benar saja tentunya banyak sekali alasan bagi pemuda tersebut untuk mempersilahkan Ibu itu untuk duduk. Budaya malu dan budaya tidak malu akan menjelaskan itu semua. Budaya malu (shame culture) merupakan budaya dimana seseorang melakukan sesuatu atas dasar malu. Malu apabila dia tidak melakukannya maka dia akan di cemooh oleh orang lain. Dan itu menjadi motivasinya. Ingin di lihat seakan seorang pahlawan. Berbeda dengan budaya tidak malu tentunya. Budaya tidak malu (guilt culture) adalah budaya dimana seseorang melakukan sesuatu atas dasar rasa tau dirinya, tau bagaimana kodratnya sebagai manusia. Budaya ini menghubungkan pelakunya dengan rasa sadar akan dosa. Seperti seorang pemuda yang setulus hati mempersilahkan seorang Ibu duduk karena dia sadar. Sadar akan perbedaan seorang wanita dan laki-laki. Terlebih dengan sikon yang ada. Selain contoh diatas tentunya kita bisa melihat banyak contoh lain yang ada di lapangan. Yang umum saja tentang tingkah laku para koruptor, para penguasa sekarang, dan contoh-contoh sosial masyarakat lain yang mana mereka hanya mementingkan Ego mereka sendiri. Tanpa sadar akan hakikat suatu perbuatan. Kebanyakan dari mereka hanya mementingkan budaya malunya. Malu apabila mereka tidak dipandang lebih oleh orang lain. Walaupun benar itu memang lumrah saja dilakukan oleh seseorang. Tapi yang jadi pertanyaan apakah sesuatu yang buruk itu harus kita pelihara? Jawabnya pasti tidak. Oleh karena itu marilah kita hapuskan budaya malu (bukan g boleh punya malu ya,,, ) dan mari kita tanamkan budaya tidak malu demi pribadi yang lebih baik lagi. Ada yang punya pendapat lain???

3. BUDAYA HIDUP HEMAT. Budaya hemat merupakan salah satu budaya orang kaya. Tapi sebaliknya merupakan fenomena budaya orang kaya baru. Karena baru menjadi orang kaya mendadak, tingkahnya bagaikan orang kerasukan setan. Sejak kecil kita diajarkan oleh orang tua pepatah, rajin pangkal pandai, hemat pangkal kaya. Menjadi orang kaya dengan hemat merupakan anjuran agama. Atau boleh saya katakan bahwa menjadi kaya melalui sebuah proses mencapainya merupakan sebuah jihad, bukan melalui penimpangan atau potong kompas. Budaya ini bila dikembangkan lebih dalam akan bermakna tidak adanya lagi, mislanya pencuiran, perampokan, korupsi, mark-up proyek, dan penyimpangan lainnya, karena menyadari proses tadi. Cukup ironis bagi kita dengan kondisi ekonomi yang masih berat, disatu pihak kita masih melihat fenomena hedonis banyak dilakukan oleh bangsa kita. Kita bisa ambil sampel misalnya, pembelian barang eksklusif pada level dunia, mobil mewah misalnya, salah satu diantara pembelinya adalah orang Indonesia.

4. BUDAYA LOYALITAS. Loyalitas atau pengabdian meruapakan salah satu budaya bangsa kita. Bahkan kosakata keakuan terambil dalam makna ini, misalnya, abdi (bahsa Sunda), kulo (bahasa Jawa) dan Saya (terambil dari hamba sahaya, dalam bahasa nasional). Pengabdian yang tulus pada negara, pekerjaan, dan lain sebagainya mulai hilang dari masyarakat, dan berganti menjadi budaya aji mumpung ada kesempatan. Saya banyak menemui hal ini dalam lingkungan pergaulan saya. Banyak sekali diantaranya yang mengatakan (niat), Gue sih gak penting digaji kecil, yang penting sabetannya gede. Dan sayangnya fenomena ini berlaku di semua lapisan institusi, lembaga, pemerintahan, masyarakat, dan lain sebagainya. Sistem loyalitas ini seharusnya menjadi bagian dari budaya yang utuh dalam lembaga, institusi dll sehingga yang tidak loyal tidak diperlukan lagi dan dibuang dari komunitas tadi, karena dia juga akan menjadi virus penyakit bagi pegwai yang lain. 5. BUDAYA INOVASI. Inovasi belum menjadi budaya kita. Tapi kita bisa belajar dari bangsa lain yang maju. Mengambil contoh kasusu, Jepang, misalnya, bangsa jepang bukan bangsa penemu, tapi orang Jepang mempunyai kelebihan dalam meracik temuan orang lain dan kemudian memasarkannya dalam bentuk yang diminati oleh masyarakat. Menarik membaca kisah Akio Morita yang mengembangkan Sony Walkman yang melegenda itu. Cassete Tape tidak ditemukan oleh Sony, patennya dimiliki oleh perusahaan Phillip Electronics dari Belanda. Tapi yang berhasil mengembangkan model portable sebagai sebuah produk yang booming selama puluhan tahun adalah Akio Morita, pendiri dan CEO Sony pada masa itu. Sampai tahun 1995, tercatat lebih dari 300 model walkman lahir dan jumlah total produksi mencapai 150 juta produk. Teknik perakitan kendaraan roda empat juga bukan diciptakan orang Jepang, patennya dimiliki orang Amerika. Jepang dengan inovasinya yang dimulai dari peniruan bisa mengembangkan industri yang lebih cepat dan murah. 6. BUDAYA PANTANG MENYERAH. Budaya pantang menyerah merupakan salah satu budaya sukses. Budaya ini identik dengan pepatah, berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Sukses itu tidak instan, karena menyalahi hukum

alam (Tuhan). Tapi ia melalui proses perjuangan yang berdarah-darah, keras dan lama. Budaya ini boleh diistilahkan dengan perjuangan strategis, sedangkan lawannya adalah perjuangan taktis. Perjuangan strategis pasti selalu mengalahkan perjuangan taktis. Misalnya, adu lari. Seorang yang setiap hari latihan (strategis) melawan orang yang tidak pernah latihan lari (taktis), pasti akan memenangkan pertangdinagn adu lari tadi. Kita bisa mengambil sampel Jepang, misalnya. Sejarah membuktikan bahwa Jepang termasuk bangsa yang tahan banting dan pantang menyerah. Puluhan tahun dibawah kekaisaran Tokugawa yang menutup semua akses ke luar negeri, Jepang sangat tertinggal dalam teknologi. Ketika diberlakukan restorasi Meiji, bangsa Jepang cepat beradaptasi dan menjadi pembelajar yang cepat. Kemiskinan sumber daya alam juga tidak membuat Jepang menyerah. Tidak hanya menjadi pengimpor minyak bumi, batubara, biji besi dan kayu, bahkan 85% sumber energi Jepang berasal dari negara lain termasuk Indonesia. Konon, kalau Indonesia menghentikan pasokan minyak bumi, maka 30% wilayah Jepang akan gelap gulita. Rentetan bencana terjadi di tahun 1945, dimulai dari bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, disusul dengan kalah perang, dan ditambah dengan adanya gempa bumi besar di Tokyo. Ternyata Jepang tidak kiamat. Dalam beberapa tahun Jepang sudah berhasil membangun industri otomotif dan bahkan juga kereta cepat. Cukup menakjubkan bagaimana Matsushita Konosuke yang usahanya hancur dari bisnis elektronik di tahun 1945 masih bangkit mulai dari nol untuk membangun industri sehingga menjadi kerajaan bisnis di era sekarang. Akio Morita juga awalnya menjadi tertawaan orang ketika menawarkan produk Cassete Tapenya yang mungil ke berbagai negara lain. Tapi akhirnya melegenda dengan Sony Walkman-nya. 7. BUDAYA MEMBACA. Budaya sukses lain adalah budaya membaca. Kita dalam sejarah bukan kaum yang memiliki budaya membaca. Berbeda dengan negara-negara maju, misalnya Singapore, Hongkong, Jepang dsb. Membaca sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari. Oleh karena jangan terkejut kaget kalau di negara tersebut di setiap tempat dalam kendaraan umum, sebagian besar penumpangnya sedang membaca buku atau koran, bahkan menggunakan laptop. Bukan ngobrol atau tertawa terbahak-bahak bahkan teriak-teriak. Tidak peduli duduk atau berdiri, banyak yang memanfaatkan waktu untuk membaca. Budaya membaca mereka juga didukung oleh kecepatan proses penerjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa setempat. Di Jepang, konon kabarnya legenda penerjemahan buku-buku asing sudah dimulai pada tahun 1684, seiring dibangunnya institut penerjemahan dan terus berkembang sampai sekarang. Biasanya terjemahan buku bahasa Jepang sudah tersedia dalam waktu tidak seberapa lama sejak buku aslinya diterbitkan. 8. BUDAYA KERJASAMA KELOMPOK (GOTONG ROYONG/TEAM WORK) Budaya ini merupakan budaya leluhur bangsa Indonesia. Budaya ringan sama dijinjing, berat sama dipikul. Tapi budaya ini semakin terkikis akibat masuknya budaya hedonis, terutama di kota besar, bahkan sudah masuk ke pedesaan. Semuanya diukur dengan materi (uang). Ada uang ditolong, enggak uang dibiarin. Ambil contoh misalnya, ada mobil mogok di tengah jalan, karena mobil tua dan yang ppunya juga sudah tua. Tidak banyak yang tergerak untuk mendorongnya kecuali kalau diupah, dan saya sendiri pernah mengalaminya. Sikap gotong royong ini harus ditunjukkan dalam pekerjaan, berbagai lapangan pekerjaan dan masuk dalam teamwork. Pekerjaan besar dan berat bila dikerubutin akan menjadi ringan, tapi sebaliknya bila diarkan orang lain sendirian pasti akan terbengkalai dan lama selesainya. Tapi sayang, fenomena ini masih belum menjadi budaya dunia kerja kita, termasuk di lingkungan institusi Indonesia di Tripoli, Libya ini. 9. BUDAYA MANDIRI Budaya sukses lain adalah budaya mandiri. Anak-anak sejak usia dini seyogianya dididik untuk mandiri. Mulai dari memakai baju sendiri, menyiapkan tas dan buku sekolah. Pembantu bukan untuk melakukan semua keperluan anak kita dari A-Z. Pembentukan budaya mandiri sejak dini akan memberikan pengaruh pada dewasa si anak. Mengambil contoh di Jepang, misalnya sejak usia dini anak-anak dilatih mandiri. Seorang anak sejak TK di sana sudah harus membawa 3 tas besar berisi pakaian ganti, bungkusan makan siang, sepatu ganti, buku-buku, handuk dan sebotol besar

minuman yang menggantung di lehernya. Sejak TK setiap anak dilatih membawa perlengkapan sendiri, dan bertanggung jawab terhadap barang miliknya. Lepas SMA dan masuk bangku kuliah hampir sebagian besar tidak meminta biaya kepada orang tua. Mereka mengandalkan kerja part time untuk biaya sekolah dan kehidupan sehari-hari. Andai kehabisan uang, mereka meminjam kepada orang tua dan menggantinya pada bulan berikutnya.

Anda mungkin juga menyukai