Anda di halaman 1dari 13

Nama NPM Subjek Pengajar

: Bela Harasemesta Putri : 1006661462 : Hukum Acara Perdata dan Peradilan Agama : - Hj. Sulaikin Lubis, SH., MH. - Hj. Wismar Ain Marzuki, SH., MH.

1. A. Surat yang terdapat didalam Al-Quran yang menerangkan tentang Peradilan Agama: a) Q.S. 1 (Al-Fatihah) ayat 6, yang artinya : Ya Allah tunjukkanlah kami jalan yang benar. Yang dimaksud jalan dalam hal ini adalah jalan hidup di bidang hukum b) Q.S. 4 (An-Nisa) ayat 58, yang artinya : Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum diantara manusia, suapaya kamu menetapkan (hukum) dengan adil. c) Q.S. 4 (An-Nisa) ayat 65, yang artinya : Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. d) Q.S. 4 (An-Nisa) ayat 105, yang artinya : Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang berkhianat. e) Q.S. 3 (Ali-Imran) ayat 104, yang artinya : Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyeru kepada yang maruf dan mencegah yang munkar ; mereka adalah orang-orang yang beruntung. f) Q.S. 5 (Al-Maidah) ayat 8, yang artinya : Wahai orang-orang yang beriman, berdiri tegaklah kamu menegakkan kebenaran, karena Allah menjadi saksi dengan adil dan janganlah karena kebencian kamu terhadap sesuatu kaum membuatmu berlaku tidak adil.

g) Q.S. 5 (Al-Maidah) ayat 42, yang artinya : Dan jika kamu memutuskan perkara maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka dengan adil. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil. h) Q.S. 5 (Al-Maidah) ayat 44, yang artinya : Dan janganlah kamu menukar ayatayatku dengan harga yang sedikit. Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. i) Q.S. 5 (Al-Maidah) ayat 45, yang artinya : Barang siapa tidak menghukum (memutuskan) perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim (dhalim). j) Q.S. 5 (Al-Maidah) ayat 47, yang artinya : Dan hendaklah orang pengikut injil, memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah di dalamnya. Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang yang fasik. . k) Q.S. 5 (Al-Maidah) ayat 49, yang artinya : Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan dosadosa mereka. Dan sesunguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. l) Q.S. 5 (Al-Maidah) ayat 50, yang artinya : Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan hukum siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?

B. Sunnah/Hadist Nabi yang menerangkan bagaimana kegiatan didalam peradilan : a) Dari Abi Said, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda : Apabila keluar tiga orang dengan maksud hendak bepergian, hendaklah salah satu diantaranya ada yang dijadikan penanggung jawab (Amir). (H.R. Abu Daud) b) Dari Amr bin Ash r.a., bahwasanya ia mendengar Rasulullah SAW bersabda : Apabila hakim menjatuhkan hukum dengan berijtihad dan ijtihadnya itu benar, maka ia mendapat dua pahala dan kalau dia menjatuhkan hukum dengan berijtihad kemudian ternyata ijtihadnya itu salah, maka ia mendapat satu pahala. (H.R. Muttafaq Alaih)

c) Dari Ummu Salamah r.a., ia berkata bahwasanya Rasulullah SAW bersabda : Sesungguhnya kalian mengadukan perselisihan kepadaku padahal mungkin sebagian kamu lebih lancer (tangkas) hujahnya atau lebih jelas pembicaraannya daripada yang lain, kemudian aku memberikan keputusan kepadanya berdasakan apa yang ak dengar daripadanya, barang siapa yangaku beri sebagian dari hak saudaranya, maka aku memotong baginya sepotong api neraka untuknya. (H.R. Muttafaq Alaih) d) Dari Buraidah, ia berkata Rasulullah bersabda : Hakim itu ada tiga macam, dua macamnya akan masuk neraka dan satu macamnya akan masuk surge. Hakim yang masuk surge ialah hakim yang mengetahui yang hah (hukum yang sebenarnya) menurut hukum Allah, ia menghukum dengan dasar hukum itu. Hakim yang mengetahui ketentuan hukum tetapi ia tidak menghukum berdasarkan ketentuan itu, hakim ini akan masuk ke dalam neraka. Hakim yang tidak mengetahui ketentuan hukum tetapi dengan ketidaktahuannya itu ia menghukum manusia, hakim ini juga akan masuk ke dalam neraka. (H.R. ArBaal dan disahkan oleh Hakim) e) Tidak boleh dengki kecuali kepada dua orang : pada seorang yang dianugerahi Allah harta, lalu dia curahkan harta itu sampai habis untuk membela kebenaran dan pda seorang yang dianugerahi Allah kebijaksanaan, lalu ia memutus perkara dan beramal dengan kebijaksanaan itu.

2. Tabel tentang sejarah peradilan agama sejak masa Pra Pemerintahan Hindia Belanda hingga lahirnya UU No 50 Tahun 2009 :
Praktik pelaksanaan hukum acara peradilan agama sangat sederhana, terdiri dari 3 periode : 1. Tahtim kepada Muahakam Pemeluk agama Islam masih sedikit, diselesaikan dengan cara bertahkim kepada mubaligh yang dianggap mampu dan berilmu agama yang berindak sebagai hakim (muhakam). Periode Ahlul Hilli WalAqdi Masyarakat muslim telah banyak dan teroganisir. Jabatan hakim dilakukan secara pemilihan dan baiat oleh ahlul hilli wal aqdi oleh majelis terkemuka. Periode Tauliyah Masyarakat Islam telah berkembang menjadi kerajaan Islam. Jabatan hakim (qadhi) dilakukan dengan pemberian Tauliyah yakni pendelegasian kekuasaan dari penguasa.

MASA PRA PEMERINTAHAN HINDIA BELANDA

2.

3.

MASA TRANSISI

Tanggal 4 Maret 1620 dikeluarkan instruksi agar di daerah yang dikuasai VOC harus diberlakukan hukum sipil. Instruksi tersebut tidak dapat dilaksanakan karena mengalami perlawanan dari pihak Islam. Pada tahun 1854 Pemerintah Belanda mengeluarkan pernyataan politik yang dituangkan dalam Regelling Reglement (RR) dan dimuat dlam Stbl. Hindia Belanda 1854 No. 129 dan sekaligus dimuat didalam Stbl. Hindia Belanda Tahun 1855 No. 2 dalam pasal 75, 78, & 79 ditegaskan berlakunya hukum Islam bagi orang Islam di Indonesia. Di dalam pasal 1 Stbl. 1882 no 152 disebutkan bahwa di tempat-tempat telah terbentuk pengadilan Landraad maka disana dibentuk Pengadilan Agama. Berlaku teori Receptie, dimana dalam pasal 134 (2) I.S 1925 dinyatakan bahwa hukum Islam tidak berlaku lagi kecuali untuk hal yang dikehendaki hukum Adat. Sebagai tindak lanjutnya, pemerintah mengeluarkan Stbl.1937 No.116 yang mengurangi wewenang Pengadilan Agama hanya mengenai nikah, talak, dan rujuk saja. Pengadilan pada masa penjajahan Belanda tetap berdiri hanyalah dilakukan perubahan nasma yaitu Soorhyo Hooin untuk Pengasdilan Agama, Kaikyo Kootoo Hooin untuk Mahkamah Islam Tinggi. 3 Januari 1946 dibentuk Kementerian Agama dengan Penetapan Pemerintah No.5/SD tanggal 25 Maret 1946 Mahkamah Islam Tinggi (termasuk Pengadilan Agama) yang semula berada pada lingkungan Departemen Kehakiman, diserahkan pada Pengadilan Agama. 1945 1957 Pasal 4 (1) PP No. 45 Tahun 1957 menyebutkan wewenang Pengadilan Agama adalah memeriksa, memutuskan, perselisihan suami-istri yang beragama Islam, dan segala perkara berkenaan dengan nikah, thalaq, rujuk, fasakh, nafaqah, mahar, maskan, mutah, hadanah, waris, wakaf, hibah, sedekah, dan baitul mal. Berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam pasal 63 (1) menyebutkan bahwa Pengadilan Agama berlaku bagi mereka yang beragama Islam dalam ayat 2 disebutkan bahwa setiap keputusam Pengadilan Agama dikukuhkan oleh Pengadilan Negeri. Walaupun pengukuhan tersebut hanya bersifat administratif, namun hal ini menunjukkan bahwa kedudukan Pengadilan Agama belum setara dengan pengadilan yang lain. Pada periode ini masih diperlukan adanya pengukuhan Putusan Pengadilan Agama oleh Pengadilan Negeri. Dengan Keputusan Menteri Agama No. 6 Tahun 1980, nama Pengadilan Agama di seluruh Indonesia diseragamkan menjadi Pengadilan Agama untuk tingkat pertama, dan Pengadilan Tinggi Agama untuk tingkat kedua, dan dalam UU No. 14 Tahun 1985 tentang MA disebutkan bahwa MA merupakan PN tertinggi dari semua Lingkungan Peradilan.

MASAPEMERINTAHAN HINDIA BELANDA I

MASAPEMERINTAHAN HINDIA BELANDA II

MASA PEMERINTAHAN JEPANG

MASA SETELAH KEMERDEKAAN INDONESIA

1957 1974

1974 1989

Setelah UU No.7 Tahun 1989, dikeluarkan 3 peraturan : (1) SEMA No. 1 Tahun 1990 tentang Petunjuk Pembuatan Penetapan sesuai Pasal 84 ayat 4 UU No. 7 Tahun 1989 (2) SEMA No. 2 Tahun 1990 tentang Petunjuk Pelaksanaan UU No. 7 Tahun 1989 (3) INPRES No. 1 Tahun 1991 tentang Penyebar Luasan KHI. a. Untuk memenuhi kebutuhan para pencari keadilan bagi kaum muslim, maka diberlakukan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Aga ma. UU No. 3 Tahun 2006, kemudian d i s e m p u r n a k a n d e n g a n U U No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Berlakuknya UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama merupakan Perjalanan sejarah perundang-undangan Peradilan Agama yang terus berlanjut sesuai dengan p e r k e m b a n g a n hukum di Indonesia, karena kekuasaan kehakiman m e r u p a k a n kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan sehingga perlu diwujudkan adanya lembaga peradilan yang bersih dan berwibawa dalam memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat, dimana keberadaan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana t e l a h diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan ketatanegaraan menurut UUD 1945. Dengan bersumber kepada Pasal 20, Pasal 2 1 , Pasal 24,dan Pasal 25 UUD1945, UU No. 14 Tahun 1 9 8 5 tentang MA s e b a g a i m a n a d i u b a h terakhir dengan UU No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua a tas UU No. 14 Tahun 1985 tentang MA, UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang 5

1989 - 1999

b.

Reformasi

Peradilan Agama d a n U U N o . 4 8 T a h u n 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Peradilan agama merupakan bagian dari sistem penegakan hukum di Indonesia, khususnya bagi orang yang beragama Islam dalam perkara tertentu. Ketentuan tersebut dijelaskan dalam Pasal 2 dan 49 UU No. 7 Tahun 1989 jo. UU No. 3Tahun 2006 jo. UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama. Lahirnya UU No. 7 Tahun 1989 jo. UU No. 3 Tahun 2006 jo. UU No. 50 Tahun 2009 merupakan keinginan untuk melaksanakan UU No. 14 Tahun 1970 jo. UU No. 35 Tahun 1999 jo. UU No. 4 Tahun 2004 jo.UU No. 48 Tahun 2009 tentang PokokPokok Kekuasaan Kehakiman.

3. Asas Hukum dalam Peradilan Agama yang dirumuskan dari UU No. 1 Tahun 1989 jo. UU No. 3 Tahun 2006 jo. UU No 50 Tahun 2009 : (1) Asas Personalitas Keislaman Yang tunduk dan dapat ditundukkan kepada kekuasaan peradilan agama hanya mereka yang beragama Islam. Dengan kata lain, seseorang yang non beragama Islam tidak tunduk dan tidak dipaksakan tunduk pada kekuasaan peradilan agama. Maksud penegasan dari asas ini adalah : a. Pihak-pihak yang bersengketa harus beragama Islam b. Perkara perdata yang disengketakan harus memenuhi perkara-perkara yang termasuk dalam bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan sedekah. c. Hubungan hukum yang melandasi keperdataan tertentu tersebut berdasarkan Hukum Islam. Menurut Prof. Abdul Ghani Abdullah ketentuan UU No. 7 tahun 1989 ini, lebih menekankan pada asas agama pihak pengaju perkara tanpa mempedulikan agama pihak lawan.

(2) Asas Kebebasan UU No. 7 Tahun 1989 merupakan pelaksanaan dari asas kemerdekaan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam pasal 24 UUD 1945. Pasal 1 UU No.14 Tahun 1970 adalah penegasan dari kebebasan dalam pasal 5 ayat 3, pasal 12 ayat 2, dan pasal 53 ayat 4 UU No.7 tahun 1989 yang merupakan pengulangan yang bersifat penekanan dan peringatan bagi aparat yang melakukan fungsi pengawasan dan pembinaan. Dengan kata lain aparat yang melaksanakan fungsi pengawasan dan pembinaan tidak diperkenankan mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. (3) Asas Wajib Mendamaikan Diatur dalam pasal 65 dan 82 UU No. 7 Tahun 1989. Menurut Islam apabila terjadi perselisihan dan sengketa sebaiknya diselesaikan melalui pendekatan ishlah (QS. 49 ayat 10). Karena itu asas kewajiban hakim untuk mendamaikan pihak yang bersengketa sangat sesuai dengan tuntutan ajaran akhlak Islam. (4) Asas Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan Diatur dalam pasal 57 ayat 3 UU no.7 tahun 1989. Intinya adalah, Setiap keputusan dimulai dengan demi keadilan beradasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Jadi yang dituntut dari hakim dalam menerapkan asas ini adalah: a. Sikap moderat, artinya memeriksa dengan tidak tergesa-gesa dan tidak pula sengaja dilambat-lambatkan, secara wajar, rasional dan objektif. b. Tidak boleh mengurangi ketetapan, pemeriksaan, dan penilaian menurut hukum dan keadilan. 5). Asas Persidangan Terbuka untuk Umum Asas ini bertujuan untuk menghindari pemeriksaan yang sewenang-wenang dan menyimpang. Selain itu pemeriksaan ini juga berdampak edukasi dan prevensi yang artinya pemeriksaan terbuka juga untuk menjadi informasi bagi masyarakat, dan menjadi pelajaran yang berguna bagaimana bersikap dan bertingkah laku. Asas ini dikecualikan dalam perkara perceraian. Menurut Yahya Harahap, makna dari asas ini: a. b. c. d. Menyiapkan sarana akomodasi bagi pengunjung. Menjaga ketertiban secara optimal. Pengambilan foto dan pemasangan tape recorder. Asas terbuka unutuk umum meliputi reportase

6) Asas Legalitas Tercantum dalam pasal 58 ayat 1 UU No.14 tahun 1970 yang berbunyi, Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. Asas ini meliputi hak asasi yang berkenaan dengan hak perlindungan hukum dan asas persamaan hubungan dengan di hadapan hukum (asas equality). 7) Asas Equality Makna equality adalah persamaan hak. Jika dihubungkan dengan fungsi peradilan artinya adalah setiap orang mempunyai hak dan kedudukan yang sama di depan sidang pengadilan (sama di depan hukum). Tiga patokan penerapan asas ini : a. Persamaan hak atau derajat dalam proses persidangan /equality before the law. b. Hak perlindugan yang sama oleh hukum /equal protection on the law. c. Mendapatkan perlakuan dibawah hukum /equal justice under the law. 8) Asas Aktif Memberi Bantuan Asas ini dicantumkan dalam pasal 58 ayat (2) UU No. 7 Tahun 1989 jo. Pasal 5 ayat 2 UU No. 14 Tahun 1970 yang berbunyi: Pengadilan membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.

Asas-asas umum dalam Peradilan Agama tersebut di atas merupakan fundamentum dan pedoman umum dalam penerapan seluruh jiwa dan semangat undang-undang, oleh karena itulah pendekatan penafsiran, penerapan, dan pelaksanaannya tidak boleh menyimpang dan bertentangan dengan jiwa dan semangat yang tersurat dan tersirat dalam setiap asas umum. Inilah mengapa asas-asas ini menjadi sangat penting dalam pelaksanaan kegiatan beracara di Peradilan Agama.

Contoh kasus hakim Pengadilan Agama dan pihak yang berperkara : Sumber : http://masalahperceraian.com/contoh_desc.php Contoh kasus dari seorang istri yang hendak mengajukan gugatan cerai pada suaminya di Pengadilan Agama, dengan identitas sebagai berikut : Nama Umur Agama Pekerjaan Status Anak : Susan : 32 tahun : Islam : Pegawai Swasta : Menikah : 1 anak laki-laki, umur 4 tahun

Susan menikah di Jakarta dengan suaminya pada tahun 2001. Ia dikaruniai 1 orang putra berumur 4 tahun. Sudah lama sebenarnya Susan mengalami kekerasan dalam rumah tangga, Suaminya adalah mantan anak orang kaya yang tidak jelas kerjanya apa dan sering berprilaku sangat kasar pada Susan, seperti membentak, berkata kotor, melecehkan dan yang terparah adalah sering memukul. Sehingga akhirnya Susan sering tidak tahan sampai berpikir untuk bercerai saja. Adanya musyawarah dan pertemuan keluarga sudah diadakan beberapa kali tapi tetap tidak merubah prilaku suaminya tersebut. Bahkan sedimikian parahnya dimana si suami melepas tanggung-jawabnya sebagai seorang suami dan ayah karena sudah 2 tahun ini si suami tidak memberikan nafkah lahir untuk sang Istri dan anaknya. Sampai akhirnya, Susan merasa terancam jiwanya dimana terjadi kejadian pada bulan April 2007, Susan dipukul / ditonjok matanya hingga biru yang berujung pada kekerasan terhadap anak semata wayangnya juga. Setelah kejadian itu Susan memutuskan untuk bercerai saja. Proses sidang pun berjalan, hingga pada akhir sidang putusan, hakim mengabulkan gugatan Penggugat. Berikut adalah putusan hakim tersebut yang hanya berisi petitumnya saja :

Dalam kasus ini, hakim harus menerapkan 8 asas-asas umum tadi sebagai landasan dan pedoman dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara di Pengadilan Agama. Hakim dituntut untuk senantiasa menggali, memahami, dan mengikuti nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

4. Kompetensi Relatif dan Kompetensi Absolut Peradilan Agama : Wewenang / kompetensi Peradilan Agama diatur dalam pasal 49 sampai dengan pasal 53 UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang terdiri atas : (1) Kompetensi Relatif, dan (2) Kompetensi Absolut. Kompetensi Relatif Pengadilan Agama berpedoman pada ketentuan UU Hukum Acara Perdata. Oleh karena itu landasan hukum untuk menentukan kompetensi relatif Pengadilan Agama merujuk pada ketentuan di dalam pasal 118 HIR, atau pasal 142 R.Bg. jo. pasal 66 dan pasal 73 UU No. 7 Tahun 1989. Penentuan kompetensi relatif ini bertolak dari aturan yang menetapkan ke Pengadilan Agama mana gugatan diajukan agar gugatan memenuhi syarat formal.

10

Di dalam pasal 118 HIR menganut asas ACTOR SEQUITUR FORUM REI, artinya yang berwenang adalah pengadilan di tempat kediaman tergugat, dengan pengecualian dalam pasal 118 ayat (2), (3), dan (4), yaitu : - Tergugat > 1 orang gugatan diajukan ke pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman salah seorang dari Tergugat. - Tempat tinggal Tergugat tidak diketahui gugatan diajukan kepada pengadilan di tempat tinggal Penggugat. - Gugatan benda tidak bergerak gugatan diajukan kepada peradilan di bawah wilayah hukum dimana barang tersebut terletak - Tempat tinggal yang dipilih dengan suatu akta gugatan dapat diajukan kepada pengadilan di tempat tinggal yang dipilih dalam akta tersebut. Perkara perceraian : a. Cerai talak (oleh suami) dalam pasal 66 UU No. 7 Tahun 1989 kompetensi relatif dalam bentuk cerai talak ditentukan oleh faktor tempat kediaman Termohon, kecuali : dalam hal Termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama, tanpa izin Pemohon, atau Termohon bertempat tinggal di luar negeri, maka kompetensi relatif jatuh kepada Peradilan Agama di daerah hukum tempat kediaman Pemohon. b. Cerai gugat (oleh istri) kompetensi relatif ditentukan faktor tempat kediaman Penggugat (pasal 73 ayat 1 UU No. 7 Tahun 1989), kecuali : Penggugat sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin Tergugat, atau Pengugat betempat tinggal di luar negeri maka kompetensi relatifnya beralih ke tempat kediaman Tergugat. *Bila suami-istri bertempat tinggal di luar negeri, maka kompetensi relatif ditentukan di tempat perkawinan dilangsungkan atau dapat diajukan ke Pengadilan Agama Jakpus. Kompetensi Absolut, adalah kekuasaan yang berhubungan dengan jenis perkara dan sengketa kekuasaan pengadilan. Kekuasaan pengadilan di lingkungan Peradilan Agama adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara perdata tertentu di kalangan golongan rakyat tertentu, yaitu orang-orang yang beragama Islam. Kekuasaan absolut Pengadilan Agama diatur dalam pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang pada pokoknya adalah sebagai berikut : Perkawinan Waris Wasiat Hibah Wakaf Zakat
11

Infaq Shadaqah Ekonomi Syariah.

Peradilan Agama di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Bahwa dengan adanya Amandemen Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang kemudian diganti dengan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh diatur tentang adanya pengadilan khusus di lingkungan Peradilan Agama yang berlaku di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang mempunyai kewenangan yang lebih luas. Sebagaimana diatur dalam Pasal 49 Qanun Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam, kewenangan Peradilan Agama di Aceh meliputiahwal syahsiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum Pidana) yang didasarkan atas syariat Islam dan akan diatur dalam Qanun Aceh.

12

DAFTAR PUSTAKA

Lubis, Sulaikin, et.al., Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta : Kencana, 2006.

13

Anda mungkin juga menyukai