Anda di halaman 1dari 129

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 1

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Hindu adalah agama yang universal dan terbuka untuk seluruh umat manusia di
dunia. Sebagai agama universal, tentunya Hindu akan menerima budaya apa saja yang
sesuai dengan falsafah Hindu itu sendiri. Budaya itu akan mengalami akulturasi dengan
Hindu sehingga membentuk suatu corak baru yang khas. Hal ini yang dapat memperkaya
khasanah budaya dalam peradaban Hindu.
Jawa sebagai pulau yang pernah menjadi pusat peradaban Hindu telah menerima
banyak pengaruh dari Hindu. Mulai dari sistem gagasan yang memunculkan falsafah atau
pandangan hidup orang Jawa, sistem sosial dalam masyarakat Jawa serta benda-benda
sebagai perwujudan budayanya. Kesemuanya itu adalah bagian dari peradaban dan
kebudayaan Jawa yang memang diilhami oleh pemikiran Hindu. Bahkan surutnya
peradaban Hindu dan berkembangnya peradaban Islam di Jawa, tidak menjadikan
peradaban Jawa meninggalkan pemikiran-pemikiran Hindu sebelumnya, sebab peradaban
ini telah mengakar dalam nafas kehidupan Jawa
1
.
Eksistensi budaya dan pandangan hidup Jawa yang telah mengkristal dalam setiap
peri kehidupan masyarakat Jawa tersebut kemudian melahirkan salah satu bentuk falsafah
hidup dalam masyarakat Jawa. Sejalan dengan roda perputaran zaman, falsafah hidup Jawa
tersebut telah menjatikan dirinya ke dalam sebuah bentuk paham dan pandangan hidup di
kalangan masyarakat Jawa. Paham ini, oleh sebagian besar pakar budaya Jawa disebut
sebagai Kjawn
2
.
Sentuhan nafas Kjawn tersebut telah merambah dunia batin orang Jawa sehingga
mampu menghasilkan suatu bentuk wawasan teologis hasil akumulasi dari tradisi Hindu,
Budha, Islam dan tradisi leluhur. Wawasan teologis itu berkembang menjadi suatu aliran-
aliran kepercayaan yang sampai sekarang tetap eksis dalam masyarakat Jawa
3
.
Niels Mulder menambahkan, Kjawn sebagaimana disebutkan di atas sering
diistilahkan sebagai "kebatinan orang Jawa"
4
. Dalam dunia batin Jawa, semua lapisan
masyarakat Jawa (ada juga yang Non-Jawa) dari berbagai agama berbaur dalam satu
pandangan dan keyakinan hidup. Kenyataan ini menurut Rassers melahirkan suatu
perspektif lain terhadap Kjawn dan falsafah Jawa itu sendiri. Pandangan ini menyebut
Kjawn sebagai sinkretisme Jawa
5
.
Belakangan ini, pandangan sinkretik atas falsafah Jawa ini banyak ditentang oleh
tokoh-tokoh Jawa. Seraya mengomentari karya Clifford Geertz "The Religion of Java",
Harsja W. Bachtiar dengan sangat tegas menolak istilah sinkretisme tersebut. Pasalnya, ada
satu pluralitas dari pelbagai agama yang dianggap sama-sama benar baik secara individual

1
Miswanto. 2004. Simbolisme dalam Budaya Jawa Hindu. "Warta Hindu Dharma" No.450-455, hal. 25.
2
Sujamto. 1997. Reorientasi dan Revitalisasi Pandangan Hidup Jawa. Yogyakarta:Dahara Prize. hal. 43
3
Endraswara, 2003. Falsafah Hidup Jawa. Tangerang:Cakrawala. hal. 42.
4
Niels Mulder. 1984. Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional. Yogyakarta:Gajah Mada University
Press. hal. 30
5
J.H.C Kern dan W.H. Rassers. 1982. iva dan Budhha. Jakarta:Djambatan. hal. 38-39.

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 2

maupun komunal
6
. Rumusan Geertz yang mengotak-kotakkan masyarakat Jawa ke dalam
tiga golongan (sekarang dikenal dengan istilah trikotomi) yakni Santri, Abangan dan
Priyayi dengan sendirinya telah menghantarkannya pada kesalahpahaman terhadap tafsir
budaya dan masyarakat Jawa. Karena kenyataan yang ada di lapangan menunjukkan bahwa
batasan atas penafsiran tentang kaum Santri, Abangan, dan Priyayi tersebut justru menjadi
kabur. Dalam penelitian ini pun tidak digunakan istilah sinkretisme Geertz untuk
pandangan hidup Jawa, kendati secara ilmiah, hasil karya Geertz yang menumbuhkan
pemikiran kritis tentang paham Jawa patut diberikan penghargaan.
Senada dengan ulasan tersebut serta pandangan dari pakar lain seperti Kern tentang
vermenging, Gonda serta Koentjaraningrat, maka Abdullah Ciptoprawiro memberikan
solusi melalui konsepsinya tentang mosaikisme, yang sedikit berbeda dengan sinkretisme
7
.
Dalam konsep mosaikisme ini, filsafat Jawa mempunyai pola yang tetap, namun unsur-
unsur atau "batu-batunya" akan berubah dengan masuknya budaya baru.
Pola dan konsepsi yang ada dalam filsafat Jawa ini memberikan keteguhan tersendiri
bagi masyarakat Jawa. Sebagai pandangan hidup ia juga meninggalkan endapan spiritual
dalam pengalaman batin orang Jawa. Sehingga manakala falsafah tersebut ditinggalkan,
seakan-akan ada hal yang kurang lengkap dalam hidup orang Jawa
8
.
Fenomena tersebut dapat ditemukan pada hampir sebagian besar masyarakat Jawa
yang secara antropologis bertempat tinggal di daerah Jawa Tengah atau Jawa Timur
9
.
Lebih-lebih pada daerah Kjawn yang menurut Kodiran
10
meliputi wilayah Banyumas,
Kedu, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Malang dan Kediri atau di wilayah Nagari dan
Nagaragung dalam Tri Mandala Praja pada masa Keraton Mataram II
11
.
Meskipun demikian, fenomena budaya itu juga dapat ditemukan pada wilayah selain
yang disebutkan sebelumnya. Ron Hatley membenarkannya dengan menyatakan bahwa
akan selalu ada "Jawa yang lain" di luar keraton (Yogyakarta dan Solo)
12
. Di daerah ini,
agama, adat, seni dan karakter yang diturunkan oleh leluhur Jawa masih dipegang teguh
oleh penduduknya. Daerah-daerah tersebut pada dasarnya adalah peninggalan kerajaan
Hindu-Budha yang secara sporadis menyebar di pegunungan, pesisir dan sebagainya.
Di Jawa Timur daerah-daerah tersebut dapat ditemukan di sekitar pegunungan
Tengger, Raung dan Semeru. Banyuwangi adalah salah satu di antara dari daerah-daerah
tersebut mengingat wilayah ini terletak di sekitar kaki Gunung Raung. Masyarakat Jawa
khususnya yang beragama Hindu di Kabupaten Banyuwangi ini merupakan masyarakat
yang memegang teguh "warisan leluhur" Jawa. Ini pun diakui oleh Andrew Beatty ketika
dia mengadakan penelitian di wilayah Banyuwangi
13
.


6
Clifford Geertz. 1976. The Religion of Java. Chicago : The University of Chicago Press. hal. 529-530
7
Abdullah Ciptoprawiro. 2000. Filsafat Jawa. Jakarta : Balai Pustaka. hal. 27.
8
Endraswara, op.cit. hal. 46.
9
Budiono Herusatoto, 2001. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta : Hanindita. hal. 37.
10
Koentjaraningrat. 1976. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka. hal. 322-327
11
Sujamto. op.cit. hal. 46-47.
12
Andrew Beatty. 2001. Variasi Agama di Jawa, Suatu Pendekatan Antropologi, terj. Achmad Fedyani
Saefudin. Jakarta : Raja Grafindo Persada. hal. 14.
13
Loc.Cit.

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 3

Dari pengamatan yang penulis lakukan selama tinggal di wilayah kota Gandrung ini
dan berusaha untuk menjadi "Jawa", budaya Jawa banyak memberikan andil terhadap
kemajuan spiritual bagi masyarakat Hindu - Jawa. Oleh karena, secara turun-temurun
mereka masih tetap memegang teguh agama Hindu sampai sekarang karena kesesuaiannya
dengan falsafah Jawa. Meski sebagian dari mereka tidak paham betul ajaran agama Hindu,
dengan memahami falsafah dan budaya Jawa yang memang sudah terpatri dalam setiap
gerak langkahnya, bagi mereka hal itu sudah lebih dari cukup
14
.
Banyak tokoh Hindu Jawa yang hingga kini tetap bertahan menjadi orang Hindu
meskipun telah melewati berbagai macam "rintangan dan godaan" dalam perjalanan
hidupnya. Godaan tersebut berupa tawaran untuk masuk agama non-Hindu dengan iming-
iming hadiah dan bonus plus-plus seperti: naik pangkat, harta, kedudukan, nama besar dan
tentunya "jaminan sorga" nantinya. Namun karena keteguhannya sebagai orang Jawa yang
"njawani" maka godaan itu tidak membutakan mata hatinya.
15

Di samping itu meskipun secara formal tekstualnya banyak di antara tokoh Hindu
tersebut yang "kurang memahami (atau bahkan tidak pernah membaca)" Kitab Suci Hindu,
mereka tetap yakin bahwa Hindu adalah sebagai agama yang sesuai dengan falsafah hidup
Jawa yang mereka yakini secara turun temurun. Jika dilihat bagaimana mereka meyakini
pandangan hidup mereka sebagai orang Jawa, besar kemungkinan hal tersebut sebagai
akibat keteguhan mereka terhadap warisan budaya leluhur Jawa itu. Memang secara
tekstual dan sistematis, mereka tidak bisa menjelaskan pemahamannya mengenai falsafah
Jawa. Namun secara kontekstual, mereka lebih bisa mengejawantahkan pemahaman
tersebut dalam setiap aspek kehidupannya.
Dalam pandangan falsafah Jawa, hal tersebut tidak menjadi soal. Hafal kitab bukan
jaminan seseorang akan melaksanakan isi kitab. Tidak tahu kitab pun bukan jaminan
seseorang tidak bisa melaksanakan amanat dari kitab tersebut. Masyarakat Jawa lebih
cenderung memusatkan "pengajian" pada kitab "tls (basah)", yang dimaksudkan dari
tubuh hidup
16
daripada kitab "garing" (kering) yang bersifat mati, kaku dan hanya
terpasung pada dikotomi boleh dan tidak boleh, terlarang dan tidak terlarang, wajib dan
tidak wajib, dan sebagainya. Adi Suripto menjelaskannya melalui sebuah tembang
Dandanggula sebagai berikut
17
.

14
Miswanto, 2009. Esensi Falsafah Jawa Bagi Peradaban Umat Hindu. Surabaya: Paramita, hal.
15
Miswanto. op.cit. hal. 25
16
Beatty. Op.cit. Hal. 224
17
Adi Suripto. 2008. Dharma Kinidung. Denpasar: Widya Dharma. hal.8.

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 4

Sakhing kang dumadi makardi,
Lir Hyang Widhi kang tansah makarya,
Nguribi jagad tan lrn,
Surya, candra lan bayu,
bhumi tirta kalawan agni,
Paparing panguripan,
Mring pamrih wus mungkur,
Anan nuhoni dharma,
Iku dadya stra ctha tanpa tulis,
Nulad lakuning alam.
Terjemahan :
Semua yang ada ini bekerja. Bahkan Tuhan pun bekerja. Menghidupi dunia ini tanpa
henti. Matahari, bulan, angin, bumi, air dan api semua bekerja demi kelangsungan
hidup, dan tanpa pamrih. Dasarnya hanyalah merasa wajib. Alam adalah "ilmu nyata".
Kita wajib meniru dharmanya.

Dari makna yang tersirat dari tembang tersebut, nampak jelas sekali bahwa
pengejawantahan falsafah Jawa sebagaimana ditunjukkan umat Hindu di Jawa merupakan
refleksi atas pemahaman dan pengamalan terhadap apa yang disebutkan sebagai "sastra
ctha" tanpa tulis (ilmu nyata).
Dalam perspektif Hindu, pemahaman yang semacam itu pun tidak disalahkan.
Keutamaan suatu pengetahuan terletak pada aplikasi yang diterapkan dalam kehidupan
nyata. Jika suatu pengetahuan tidak diterapkan, maka pengetahuan tersebut tidak akan
memberikan manfaat dalam kehidupan. Hal ini ditegaskan dalam sebuah petikan sloka dari
kitab Cakya Ntistra IV.15 yang menyebutkan :
F H9 F
Anabhyse via stra
Terjemahan :
Sastra/ilmu yang tidak diterapkan adalah racun
18
.

Secara historis, tak dapat dipungkiri bahwa peradaban Hindu yang pernah hidup dan
mengalami jaman keemasan di Jawa ratusan tahun silam telah memberikan inspirasi dalam
pandangan hidup masyarakat Jawa. Meskipun surutnya kebudayaan Hindu serta
tumbuhnya kebudayaan Islam telah memberikan corak atau pun warna baru dalam falsafah

18
I Made Darmayasa. 1995. Cakya Ntistra. Jakarta:Hanuman Sakti. hal. 34

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 5

dan kebudayaan Jawa, umat Hindu Jawa nampaknya tetap teguh pada kepercayaan
leluhurnya itu. Ini menunjukkan relevansi dari konsepsi Abdullah Ciptoprawiro tentang
mozaikisme sebagaimana telah diulas di muka.
Memang semangat mozaik yang tumbuh dan berkembang pada paham Jawa telah
mengakar hingga seberapapun budaya luar yang masuk ke dalam budaya Jawa, tidak akan
melunturkan keyakinan mereka terhadap leluhurnya itu. Bertumpu pada fenomena budaya
dalam masyarakat Hindu Jawa sebagaimana telah dijelaskan di muka, maka sangatlah
penting bagi mahasiswa Hindu yang ada di Jawa untuk bisa mempelajari dan memahami
kebudayaan Jawa sebagai dasar bagi etnometodologi yang bisa mereka kembangkan dalam
bidang keilmuannya.

B. TUJUAN MEMPELAJARI KEBUDAYAAN JAWA
Adapun tujuan diberikannya mata kuliah Kebudayaan Jawa bagi mahasiswa Hindu
khususnya di Sekolah Tinggi Agama Hindu (STAH) Santika Dharma Jawa Timur ini
adalah supaya mahasiswa:
1. Dapat memahami seluk beluk kebudayaan Jawa atau ragam kebudayaan yang ada pada
masyarakat Jawa sebagai bagian integral dari sejarah kebudayaan Hindu yang ada di
Indonesia pada umumnya dan Jawa pada khususnya.
2. Dapat mencintai budaya dan hasil kebudayaan Jawa yang bernuansa Hindu untuk
nantinya dapat dikembangkan dalam rangka mengembangkan ajaran Agama Hindu di
wilayah Jawa Timur khususnya dan Indonesia pada umumnya.
3. Dapat menggunakan dan mengaplikasikan budaya dan hasil kebudayaan Jawa dalam
rangka membangun keilmuan Agama Hindu di wilayah Jawa Timur pada khsususnya
dan Indonesia pada umumnya.

C. MANFAAT MEMPELAJARI KEBUDAYAAN JAWA
Adapun manfaat mempelajari kebudayaan Jawa bagi mahasiswa Hindu khususnya di
Sekolah Tinggi Agama Hindu (STAH) Santika Dharma Malang Jawa Timur ini adalah:
1. Dapat dijadikan sebagai dasar pertimbangan dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan
pengabdian masyarakat Hindu yang ada di wilayah Jawa Timur khususnya dan
Indonesia pada umumnya.
2. Dapat dijadikan sebagai dasar pendekatan dalam kegiatan pembinaan umat Hindu yang
ada di wilayah Jawa Timur khususnya dan Indonesia pada umumnya.
3. Dapat digunakan sebagai dasar kajian dalam mengembangkan ilmu keagamaan yang
berwawasan budaya lokal (local genius).

D. CARA BELAJAR MENJADI JAWA
Agar dapat mempelajari kebudayaan Jawa dengan baik maka mahasiswa harus bisa
belajar menjadi "Jawa" atau yang dikenal dengan istilah "Njawani". Untuk itulah maka
mereka harus lebih banyak "lakunya" atau prakteknya ketimbang belajar dengan segudang
teori. Praktek akan menjadikan seorang lebih berpengalaman. Dan pengalaman ini adalah
guru terbaik dalam setiap kehidupan (experience is the best teacher).

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 6

Dalam hal ini maka kita dituntut untuk bisa terjun langsung dalam dunia kebudayaan
Jawa. Banyak hal yang bisa kita lakukan untuk bisa menggugah kembali kesadaran
berbudaya Jawa. Upaya-upaya nyata yang bisa dilakukan saat ini adalah dengan
membudayakan kembali kearifan-kearifan lokal yang bisa kita lakukan, misalnya:
membiasakan bahasa Jawa dengan unggah-ungguhing basa yang baik setiap harinya,
menggalakkan kembali macapatan Jawa dan lagu-lagu atau tmbang dolanan Jawa,
membuka kembali kran untuk permainan tradisional bagi anak-anak dan masih banyak lagi
lainnya.
Dan yang terpenting pemerintah dan masyarakat harus mengapresiasi upaya-upaya
tersebut dengan memberikan ruang gerak yang cukup bagi perkembangan seni budaya
yang ada di masyarakat. Dengan begitu vibrasi-vibrasi positif yang digetarkan dari seni
budaya lokal tersebut, maka para generasi kita akan menjadi generasi yang berbudaya.




Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 7

BAB II
KONSEP KEBUDAYAAN

A. PENGERTIAN KEBUDAYAAN
Kebudayaan berasal dari kata dasar "budaya". Kata "budaya" berasal dari kata
Sanskerta "={ (buddhaya)" yang merupakan bentuk jamak dari kata "={ (buddhi)".
Dalam tata bahasa Sanskerta kata ini berasal dari akar kata Sanskerta "N' (budh)" yang
berarti "mengetahui, menyasar, menandai, menganggap, menjaga".
19
Kemudian kata
Sanskerta buddhi dapat diartikan sebagai penglihatan, akal, kecerdasan, pengetahuan,
putusan pengadilan, pendapat, ide, pikiran, kehendak, maksud
20
. Oleh karena itu, tidak
heran kalau budaya selalu dikaitkan dengan akal budi, pikiran, ide, maksud dan kehendak
manusia. Dari kata budaya inilah kemudian mucul istilah kebudayaan.
Kebudayaan sendiri dimaknai sebagai keseluruhan ide atau gagasan, kelakuan
berpola, dan benda-benda hasil kreatifitas manusia melalui proses belajar. Lebih lanjut
dijelaskan oleh Koentjaraningrat bahwa terdapat tujuh unsur kebudayaan universal, yaitu :
(1) sistem religi atau ritual; (2) sistem dan organisasi kemasyarakatan; (3) sistem
pengetahuan; (4) bahasa; (5) kesenian; (6) sistem mata pencaharian; dan (7) sistem
teknologi dan peralatan
21
. Keseluruhan dari unsur budaya tersebut mempunyai keterkaitan
dan saling mampengaruhi antara satu dengan yang lainnya. Jawa telah mewariskan
berbagai macam kebudayaan yang tetap bertahan dan berkembang seiring dinamika jaman.
Lebih jauh, kebudayaan dalam bahasa Inggris disebut "culture" yang berasal dari
Kata Latin "cultura
22
". Kata ini menunjuk pada pengolahan tanah, perawatan dan
pengembangan tanaman atau ternak. Istilah itu selanjutnya telah berubah menjadi gagasan
tentang keunikan adat kebiasaan suatu masyarakat. Berkembang lebih lanjut, ia menjadi
multidimensi bersama dengan munculnya berbagai pendapat tentang apa makna perbedaan
dan keunikan-keunikan itu dalam memahami manusia umumnya sejak abad ke-17 hingga
abad ke-19
23
.
Baru di awal abad ke-20 (sekitar tahun 1920-an) konsep kebudayaan masuk ke
wilayah antropologi, terutama melalui pemikiran Frans Boas, yang kemudian membawa
kecenderungan umum untuk melihat kebudayaan secara pluralistik dan non- evaluatif.
Lantas dalam pengertian modern istilah kebudayaan lebih berkembang lagi dan semakin
kompleks melalui para tokoh macam Gehlen, Bennett, Herskovitz, Mead, Levi-Strauss,
Geetrz, James Clifford, hingga Raymond Williams
24
.
Kebudayaan atau kultur adalah salah satu dari dua atau tiga istilah paling rumit
dalam bahasa Inggris, kata Raymond Williams. Meskipun demikian, yang menarik adalah
istilah itu kini bukan lagi monopoli antropologi. Ia telah menjadi salah satu kategori yang

19
I Made Surada. 2008. Kamus Sanskerta Indonesia. Denpasar:Widya Dharma. hal. 239
20
Ibid. hal. 238.
21
Koentjaraningrat. 1974. Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan. Jakarta :Gramedia. hal. 1-2
22
Kata cultura merupakan bentuk noun dari kata colere yang berarti mengolah atau mengerjakan. Lihat
http://www.id.wikipedia.org./wiki/Budaya. diakses 1 September 2009.
23
Bambang Sugiharto. 2003. "Kebudayaan, Filsafat dan Seni (Redefinisi dan Reposisi)". Harian Kompas,
terbit tanggal 3 Desember 2003.
24
Loc. Cit.

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 8

paling umum digunakan banyak pihak meski dalam berbagai arti yang berbeda-beda.
Dalam hal ini, popularitasnya berjajaran dengan kategori macam gravitasi dalam fisika,
penyakit dalam kedokteran, atau evolusi dalam biologi. Akan tetapi, yang lebih penting
adalah bahwa sejak pertengahan abad 20 hingga awal milenium ketiga ini kebudayaan
menjadi pusat gravitasi bidang filsafat juga.
Meskipun pengertian kebudayaan kini telah menjadi sedemikian luas, toh ada
beberapa tendensi umum yang terus-menerus berlaku dalam pemahaman modern atas
kebudayaan itu, yang sebetulnya kini telah menjadi problematis setelah kemunculan
fenomenologi dan hermeneutik. Pertama, tendensi untuk memandang kebudayaan sebagai
sistem makna secara sinkronik dan a-historis. Kalaupun sejarah dilihat di sana, maka itu
potongan-potongan tertentu saja sejauh relevan dalam penyelidikan makna beserta
konteksnya. Kedua, kebudayaan selalu dilihat sebagai suatu kesatuan yang utuh dengan
konsistensi dan integrasi antarunsurnya, kendati kompleks. Ketiga, kebudayaan dipahami
sebagai semacam konsensus sosial tentang kepercayaan, sikap dasar, dan disposisi yang
tepat. Dengan demikian, kebudayaan sekaligus juga dianggap sebagai prinsip utama
tatanan sosial.
Kebudayaan adalah hasil karya manusia dalam usahanya mempertahankan hidup,
mengembangkan keturunan dan meningkatkan taraf kesejahteraan dengan segala
keterbatasan kelengkapan jasmaninya serta sumber-sumber alam yang ada di sekitarnya.
Kebudayaan boleh dikatakan sebagai perwujudan tanggapan manusia terhadap tantangan-
tantangan yang dihadapi dalam proses penyesuaian diri mereka dengan lingkungan.
Kebudayaan juga dipandang sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk
sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan dan
pengalamannya, serta menjadi kerangka landasan bagi mewujudkan dan mendorong
terwujudnya kelakuan.
Dalam definisi ini, kebudayaan dilihat sebagai "mekanisme kontrol" bagi kelakuan
dan tindakan-tindakan manusia, atau sebagai "pola-pola bagi kelakuan manusia". Dengan
demikian kebudayaan merupakan serangkaian aturan-aturan, petunjuk-petunjuk, resep-
resep, rencana-rencana, dan strategi-strategi, yang terdiri atas serangkaian model-model
kognitif yang digunakan secara kolektif oleh manusia yang memilikinya sesuai dengan
lingkungan yang dihadapinya.
25

Sebagai mekanisme kontrol maka kebudayaan kini telah menjelma menjadi sumber
bagi sistem penilaian sesuatu yang baik dan yang buruk, sesuatu yang berharga atau tidak,
sesuatu yang bersih atau kotor, dan sebagainya. Hal ini bisa terjadi karena kebudayaan itu
diselimuti oleh nilai-nilai moral, yang sumber dari nilai-nilai moral tersebut adalah pada
pandangan hidup dan pada etos atau sistem etika yang dipunyai oleh setiap manusia.
Kebudayaan yang telah menjadi sistem pengetahuannya, secara terus menerus dan
setiap saat bila ada rangsangan, digunakan untuk dapat memahami dan menginterpretasi
berbagai gejala, peristiwa, dan benda-benda yang ada dalam lingkungannya sehingga
kebudayaan yang dipunyainya itu juga dipunyai oleh para warga masyarakat di mana dia

25
J.P. Spradley. 1972. Culture and Cognition. San Francisco:Chandler Publishing Company.

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 9

hidup. Karena, dalam kehidupan sosialnya dan dalam kehidupan sosial warga masyarakat
tersebut, selalu mewujudkan berbagai kelakuan dan hasil kelakuan yang harus saling
mereka pahami agar keteraturan sosial dan kelangsungan hidup mereka sebagai makhluk
sosial dapat tetap mereka pertahankan.
Pemahaman ini dimungkinkan oleh adanya kesanggupan manusia untuk membaca
dan memahami serta menginterpretasi secara tepat berbagai gejala dan peristiwa yang ada
dalam lingkungan kehidupan mereka. Kesanggupan ini dimungkinkan oleh adanya
kebudayaan yang berisikan model-model kognitif yang mempunyai peranan sebagai
kerangka pegangan untuk pemahaman. Dan dengan kebudayaan ini, manusia mempunyai
kesanggupan untuk mewujudkan kelakuan tertentu sesuai dengan rangsangan-rangsangan
yang ada atau yang sedang dihadapinya.
Sebagai sebuah resep, kebudayaan menghasilkan kelakuan dan benda-benda
kebudayaan tertentu, sebagaimana yang diperlukan sesuai dengan motivasi yang dipunyai
ataupun rangsangan yang dihadapi. Resep-resep yang ada dalam setiap kebudayaan terdiri
atas serangkaian petunjuk-petunjuk untuk mengatur, menyeleksi, dan merangkaikan
simbol-simbol yang diperlukan, sehingga simbol-simbol yang telah terseleksi itu secara
bersama-sama dan diatur sedemikian rupa diwujudkan dalam bentuk kelakuan atau benda-
benda kebudayaan sebageimana diinginkan oleh pelakunya. Di samping itu, dalam setiap
kebudayaan juga terdapat resep-resep yang antara lain berisikan pengetahuan untuk
mengidentifikasi tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai sesuatu dengan sebaik-
baiknya, berbagai ukuran untuk menilai berbagai tujuan hidup dan menentukan mana yang
terlebih penting, berbagai cara untuk mengidentifikasi adanya bahaya-bahaya yang
mengancam dan asalnya, serta bagaimana mengatasinya
26
.
Dalam pengalaman dan proses belajar manusia, sesungguhnya dia memperoleh
serangkaian pengetahuan mengenai simbol-simbol. Simbol adalah segala sesuatu (benda,
peristiwa, kelakuan atau tindakan manusia, ucapan) yang telah ditempeli sesuatu arti
tertentu menurut kebudayaan yang bersangkutan. Simbol adalah komponen utama
perwujudan kebudayaan karena setiap hal yang dilihat dan dialami oleh manusia itu
sebenarnya diolah menjadi serangkaian simbol-simbol yang dimengerti oleh manusia.
Sehingga Geertz menyatakan bahwa kebudayaan sebenarnya adalah suatu sistem
pengetahuan yang mengorganisasi simbol-simbol
27
. Dengan adanya simbol-simbol ini
kebudayaan dapat dikembangkan karena sesuatu peristiwa atau benda dapat dipahami oleh
sesama warga masyarakat hanya dengan menggunakan satu istilah saja.
Dalam setiap kebudayaan, simbol-simbol yang ada itu cenderung untuk dibuat atau
dimengerti oleh para warganya berdasarkan atas konsep-konsep yang mempunyai arti yang
tetap dalam suatu jangka waktu tertentu. Dalam menggunakan simbol-simbol, seseorang
biasanya selalu melakukannya berdasarkan aturan-aturan untuk membentuk,
mengkombinasikan bermacam-macam simbol, dan menginterpretasikan simbol-simbol
yang dihadapi atau yang merangsangnya. Kalau serangkaian simbol-simbol itu dilihat
sebagai bahasa, maka pengetahuan ini adalah tata bahasanya. Dalam antropologi budaya,

26
Loc. Cit
27
Clifford Geertz. 1973. The Interpretation of Culture. New York:Basic Books.

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 10

pengetahuan untuk menggunakan, mengkombinasikan dan menginterpretasikan berbagai
macam simbol tersebut dinamakan kode kebudayaan.

B. WUJUD DAN UNSUR KEBUDAYAAN
Menurut wujudnya kebudayaan dapat dibedakan menjadi tiga. Adapun ketiga wujud
kebudayaan tersebut adalah wujud ideal, aktivitas dan hasil karya (benda).
28

1. Gagasan (Wujud ideal)
Wujud kebudayaan ini sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai,
norma-norma dan peraturan-peratuan.Wujud ideal kebudayaan ini yang sifatnya abstrak;
tidak dapat diraba atau disentuh. Wujud kebudayaan ini terletak dalam kepala-kepala atau
di alam pemikiran warga masyarakat. Jika masyarakat tersebut menyatakan gagasan
mereka itu dalam bentuk tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal itu berada dalam
karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat tersebut.
2 Aktivitas (tindakan)
Wujud kebudayaan ini merukan suatu kompleks dari aktivitas, kelakuan berpola dari
manusia dalam masyarakat. Wujud aktivitas ini sering pula disebut dengan sistem sosial.
Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi,
mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu
yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari,
dan dapat diamati dan didokumentasikan.
3. Artefak (wujud benda)
Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan,
dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat
diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret di antara ketiga wujud
kebudayaan. Dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, antara wujud kebudayaan yang
satu tidak bisa dipisahkan dari wujud kebudayaan yang lain. Sebagai contoh: wujud
kebudayaan ideal mengatur dan memberi arah kepada tindakan (aktivitas) dan karya
(artefak) manusia.
Selain ketika wujud tersebut, kebudayaan juga mempunyai dua komponen utama
yaitu komponen material dan komponen non-material. Kebudayaan material mengacu pada
semua ciptaan masyarakat yang nyata, konkret. Termasuk dalam kebudayaan material ini
adalah temuan-temuan yang dihasilkan dari suatu penggalian arkeologi: mangkuk tanah
liat, perhisalan, senjata, dan seterusnya. Kebudayaan material juga mencakup barang-
barang, seperti televisi, pesawat terbang, stadion olahraga, pakaian, gedung pencakar
langit, mesin cuci dan sebagainya. Sedangkan kebudayaan nonmaterial adalah ciptaan-
ciptaan abstrak yang diwariskan dari generasi ke generasi, misalnya berupa dongeng, cerita
rakyat (folklore), tmbang/lagu atau tarian tradisional dan lain-lain.
Sementara itu kebudayaan juga terdiri atas unsur-unsur yang bersifat universal.
Menurut C. Kluckhohn unsur-unsur kebudayaan yang bersifat universal ini terdiri atas:
1. Sistem Bahasa
Bahasa merupakan sistem yang berupa suara-suara berlambang yang digunakan sebagai

28
Koentjaraningrat. 1974. Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia. hal.15.

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 11

alat komunikasi. Bahasa juga digunakan sebagai wahana untuk menyimpan gagasan
baru yang dikembangkan dalam akal manusia
29
.
2. Sistem Teknologi
Teknologi adalah unsur kebudayaan manusia yang berupa sistem alat yang digunakan
untuk menguasi lingkungannya.
30
Teknologi juga digunakan sebagai alat untuk
mempermudah manusia dalam kehidupannya.
3. Sistem mata pencaharian (ekonomi)
Ekonomi dalam kerangka unsur kebudayaan merupakan pola kelakuan dan lembaga-
lembaga yang melaksanakannya dalam proses produksi dan konsumsi keperluan-
keperluan hidup serta dalam bentuk pelayanan-pelayanan.
31
Dalam kebudayaan yang
primitif sekalipun tidak akan lepas dari bagaimana cara makhluk yang berbudaya
tersebut mencukupi kebutuhan-kebutuhan hidupnya.
4. Sistem organisasi sosial masyarakat
Sistem sosial merupakan perangkat kebudayaan yang diciptakan manusia untuk
mengatur hubungan antara manusia dengan sesamanya.
32
Tidak dapat dipungkiri bahwa
manusia adalah makhluk yang tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain (zoon
politicon). Untuk itulah sistem sosial ini diciptakan supaya tujuan bersama yang telah
ditetapkan tersebut dapat tercapai.
5. Sistem pengetahuan
Sistem pengetahuan merupakan unsur kebudayaan yang bertujuan untuk
mengkonseptualisasikan fenomena-fenomena alam dan sebab-sebabnya, dalam urutan-
urutan sebab akibat dan mencari azas-azas umum.
33
Sistem pengetahuan ini berupaya
untuk mentransformasikan fenomena ontos ke fenomena logos.
6. Sistem Religi
Sistem religi adalah unsur universal dalam kebudayan yang berupa sistem keyakinan,
sistem ritual dan umat yang menganutnya berdasarkan getaran jiwa yang biasanya
dikenal sebagai religious emotion (emosi keagamaan).
34

7. Sistem Kesenian
Sistem kesenian merupakan unsur kebudayaan yang berhubungan dengan rasa dan
hasrat manusia akan keindahan (estetika). Sebagai sebuah representasi dari rasa dan
hasrat manusia maka hasil kesenian ini tentu harus dapat dinikmati dan dirasakan oleh
manusia sebagai pendukung kebudayaan itu sendiri.
Setiap unsur universal kebudayaan tersebut terdiri atas tiga wujud sebagaimana
disebutkan di atas. Misalnya kesenian; dalam kesenian ada "sistem gagasan" yang
mendasari "aktivitas" melakukan kegiatan seni yang nantinya akan dapat menghasilkan
suatu "benda" yang bernilai seni. Jika dipolakan secara sistematis maka hubungan antara

29
Ibid. hal 5-6
30
Loc.Cit
31
JWM. Bakker. 1984. Filsafat Kebudayaan Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Kanisius. Hal.44.
32
I Putu Gelgel, dkk. 1995. Sejarah Kebudayaan. Jakarta:Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu
dan Buddha. hal.6.
33
JWM. Bakker. Op.cit. hal.38.
34
Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Anthroplogi Baru. Jakarta: Rineka Cipta. Hal. 376-377.

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 12

wujud dan tujuh unsur universal kebudayaan tersebut dapat digambarkan dalam bentuk
diagram sebagai berikut:
















Gambar 1. Diagram Tujuh Unsur Universal
Keterangan:

= Wujud benda-benda fisik (material system)

= Wujud aktivitas (tindakan)

= Wujud sistem ide / gagasan.

Dalam penerapannya setiap unsur kebudayaan tersebut dapat bersinergi dengan unsur
kebudayaan lainnya dalam bentuk wujud kebudayaan tertentu. Sebagai contoh Tari Siwa
Nataraja di India, Tari Sanghyang di Bali, atau Tari Bedaya di Jawa, selain merupakan
wujud dari unsur kesenian dalam kebudayaan, Tari ini juga merupakan hasil unsur religi
dalam sistem kebudayaan. Dengan demikian sering kali setiap hasil kebudayaan tidak
berdiri sendiri-sendiri melainkan saling bersinergi satu dengan lainnya.


Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 13

BAB III
SEJARAH KEBUDAYAAN JAWA

A. MITOLOGI BUDAYA JAWA
Menurut Koentjaraningrat, secara antropologi budaya manusia Jawa dikatakan
sebagai orang-orang yang secara turun-temurun menggunakan bahasa Jawa dengan ragam
dialek kehidupan sehari-hari dan berasal atau bertempat tinggal di wilayah Jawa Timur dan
Jawa Tengah. Manusia Jawa adalah mayoritas di Indonesia (Herusatoto,2001:37). Hal ini
disebabkan karena sejak Indonesia memasuki jaman sejarah, Pulau Jawalah yang paling
banyak berkembang pesat dibandingkan dengan pulau-pulau yang lain.
Pulau Jawa kala itu digambarkan sebagai wilayah yang panjang punjung pasir wukir
gemah ripah loh jinawi kerta tur raharja sebagaimana yang sering didenggungkan oleh
para dalang tatkala jejeran dalam pementasan wayang kulit. Sebuah kiasan yang
menggambarkan tentang kesuburan, ketenteraman, kemakmuran dan kemajuan dalam
berbagai bidang kehidupan. Namun demikian jauh sebelum masa sejarah, Pulau Jawa juga
seperti pulau-pulau yang lain yang belum mengalami perkembangan yang begitu pesat
dalam bidang kebudayaan baik itu dari segi religi, sistem sosial, pengetahuan, bahasa, seni,
mata pencaharian dan teknologi.
Hal tersebut sebenarnya juga sudah diisyaratkan pada kisah-kisah mitologi Jawa
seperti yang ditulis dalam srat-srat Jawa. Sebagai contoh kisah Ajisaka dalam beberapa
lontar dan srat seperti Tantu Pagelaran, Srat Paramayoga dan Srat Ajisaka yang oleh
sebagian besar masyarakat Jawa diyakini sebagai pangkal sejarah lahirnya peradaban di
tanah Jawa
Dalam mitologi Ajisaka, Jawa dikatakan masih "kosong" sebelum kedatangan Aji
Saka atau yang juga dikenal sebagai mpu Sngkala. Ki Ranggawarsita dalam Srat
Paramayoga menuliskan bahwa Aji Saka adalah seorang raja dari negeri Surati di
Hindustan pada masa Pancamakala, tahun Adam 768, tahun Surya 8154 atau tahun Candra
5306. Pada waktu itu beliau diserang musuh sehingga beliau menderita kekalahan
35
.
Kemudian atas petunjuk dewa ia berangkat bertapa ke sebuah pulau yang disebut
Jawadwipa. Setibanya di sana sang raja madg pandhita menjadi mpu Sngkala. Hal ini
sebagaimana disebutkan dalam cerita Aji Saka berikut ini
36
:

35
C.C. Berg. 1974. Penulisan Sejarah Jawa, terjemahan S. Gunawan. Jakarta : Bhratara. hal. 182
36
Ranggawarsito.

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 14

Pun Jaka Sngkala anakipun mpu Anggojali, patutan saking Dewi Saka, Putranipun
Raja Sarkil ing pulo Najran Sarng Jaka Sengkalajumnng nata, jjuluk Sang Aji
Saka jngkar saking negaripun lajng Nga Jawi, tapa wonten ing rdi kandha
(kendeng?) tlatah banyuwangi jjuluk mpu Sngkala. Anuju ing Surya Adam, tahun
5164, Chandra 5316, mpu Sngkala macak titimangsa tahun jawi : katang tahun
Candra Sengkala 1 Warsa. Tahun Rum anuju angka 444 warsa tahun Adam tahun
Surya 5161 warsa. Tahun Masehi 78 jumnngan nata.
Terjemahan Bebas :
Akhirnya Jaka Sngkala putranya mpu Anggojali, bawaan dari Dewi Saka putra Raja
Sarkil di Pulau Najran. Bersamaan dengan Jaka Sngkala menjadi raja bergelar Aji
Saka, ia lalu pergi dari negaranya ke Jawa. Bertapa di Pegunungan Kndhng wilayah
Banyuwangi dan bergelar mpu Sngkala. Bertepatan dengan tahun Surya 5164, tahun
Candra 5316, mpu Sngkala mpu Sngkala memulai perhitungan Tahun Jawa
terhitung tahun Candra Sngkala yang pertama. Bertepatan dengan tahun Rum 444
tahun Surya 5161, 78 Masehi menjadi raja.

Dalam mitologi Ajisaka, Jawa dikatakan masih "kosong" sebelum kedatangan Aji
Saka atau yang juga dikenal sebagai mpu Sngkala. Ki Ranggawarsita dalam Srat
Paramayoga menuliskan bahwa Aji Saka adalahseorang raja dari negeri Surati di
Hindustan pada masa Pancamakala,tahun Surya 8154 atau tahun Candra 5306. Pada waktu
itu beliau diserang musuh sehingga beliau menderita kekalahan (Berg,1974:182).
Kemudian atas petunjuk dewa ia berangkat bertapa ke sebuah pulau yang disebut
Jawadwipa. Setibanya di sana sang raja madg pandhita menjadi mpu Sngkala.
Cerita selanjutnya hampir sama dengan dongeng-dongeng yang dikenal masyarakat
Jawa, di mana mpu Sengkala mempunyai 2 orang murid bersaudara yang bernama Dora
dan Smbada. Dora dikenal sebagai murid yang patuh tetapi munafik dan suka berbohong,
sedangkan Smbada dikenal sebagai murid yang setia dan jujur.
Seperti telah disinggung di muka, mpu Sengkala mendapat petunjuk dari para dewa
agar melaksanakan perjalanan suci atau semacam dharmayatra ke Jawa. Sang mpu pun
berangkat bersama muridnya yang bernama Dora untuk tugas suci tersebut. Namun,
sebelum berangkat ia memberikan amanat kepada murid yang bernama Smbada untuk
menjaga keris pusakanya. Ia berpesan agar keris itu jangan diberikan kepada orang lain
selain dirinya sendiri.
Ketika mpu Sngkala melaksanakan perjalanan suci ke Jawa tersebut, kebetulan
Pulau Jawa kala itu dikuasai oleh raja raksasa kejam dan suka makan manusia. Raja
raksasa ini dikenal dengan nama Dwatacngkar. Sesampainya di Jawa mpu Sngkala
tergerak untuk membebaskan tanah Jawa dari hegemoni kekuasaan raja raksasa tersebut.
Singkat cerita mpu Sngkala berhasil mengalahkan Dwatacngkar dengan
kesaktian dstarnya. Dalam cerita rakyat yang berkembang di Jawa disebutkan kalau pada
pertarungan tersebut Dwatacngkar tidak mampu menghindar dari dstarmpu Sngkala
yang terus melebar dan melebar. Hingga raja raksasa tersebut terpojok di tepi laut selatan.
Akhirnya dengan kepiawaiannya mpu Sngkala berhasil menjatuhkan Dwatacngkar ke

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 15

dalam samudera dan seketika itu juga raja raksasa ini berubah menjadi wujud aslinya yakni
buaya putih.
Setelah berhasil mengalahkan Dwatacngkar, mpu Sngkala pun menggantikan
raja raksasa tersebut menjadi Raja di tanah Jawa dan bergelar Prabu Ajisaka. Dalam waktu
yang tidak lama Prabu Ajisaka berhasil menata perikehidupan di Pulau Jawa. Selanjutnya,
karena kesibukannya sebagai raja, maka Sang Ajisaka mengutus Dora untuk mengambil
keris pusakanya pada Smbada. Tetapi ia lupa akan pesannya pada Smbada bahwa agar
keris itu tidak diberikan kepada orang lain selain dirinya sendiri.
Smbada yang tahu akan sifat Dora tidak mau menyerahkan keris sang mpu.
Akhirnya, terjadilah peperangan sengit antara Dora dan Smbada yang sama-sama
mendapat amanat atau utusan dari mpu Sngkala. Peperangan ini berlangsung selama
berhari-hari dan berakhir dengan kematian kedua utusan itu.
Setelah sekian lama tak ada kabar maka Aji Saka mengutus dua orang punggawanya
yang bernama Duga dan Prayoga untuk membawa Dora dan Smbada menghadap Aji
Saka. Duga dan Prayoga pun berangkat ke Pulo Majethi untuk menemui Dora dan
Smbada. Namun mereka menemukan keduanya sudah menjadi mayat. Kemudian mereka
pun pulang dan menyampaikannya kabar kematian kedua murid Aji Saka itu. Mendengar
kabar itu, Aji Saka pun kaget dan merasa bersalah. Dalam suasana kesedihannya itu Sang
Aji Saka pun menandai kematian kedua muridnya itu dengan carakan aksara Dnta
Wyajana yang kini dikenal sebagai Akara Jawa.
Beberapa sumber seperti Tantu Pagelaran, Srat Aji Saka, Srat Paramayoga juga
menyebutkan bahwa kematian kedua utusan (Dora dan Smbada) dalam cerita Aji Saka
tersebut telah melahirkan carakan aksara Jawa yang terdiri atas 20 huruf
37
. Berikut
carakan aksara sebagaimana dimaksud.
Tabel 1.
Carakan Aksara Jawa
Aksara Jawa beserta Latinnya
= Ha = Na = Ca = Ra = Ka
= Da = Ta = Sa = Wa = La
= Pa = Dha = Ja = Ya = Nya
= Ma = Ga = Ba = Tha = Nga


37
J.G. de Casparis menyebutkan bahwa sejarah tumbuhnya aksara Jawa dibagi menjadi lima babak utama
yaitu : Aksara Pallawa (abad ke-4 sampai abad ke-8), Aksara Kawi Mula (abad ke-8 sampai abad ke-10),
Aksara Kawi Akhir (abad ke-10 sampai abad ke-13), Aksara Kawi Majapahit (pada jaman Majapahit),
Aksara dan Aksara Kawi Pasca Majapahit abad ke-15 (Hanacaraka). Aksara Jawa mulai dibuat versi
cetaknya sekitar abad ke-19. Lihat http://www.ki-demang.com. Jikalau begitu maka aksara Jawa ini pada
dasarnya mengacu pada aksara Swara Wyajana (Dewanagari) di mana jumlahnya 48 yang terdiri atas 15
abjad (waraml) aksara Swara (vokal) dan 33 abjad Wyajana (konsonan). Lihat I Made Surada. op.cit.
hal. 1. Jumlah 48 tersebut yang (barangkali) kemudian disederhanakan menjadi 20. Untuk itu di sini penulis
telah melampirkan aksara Jawa Kuno (Kawi) dan Bali Kuno sebagai perbandingan.

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 16

Carakan aksara Jawa tersebut jika digabungkan semua akan terangkai menjadi
hanacaraka, datasawala, padhajayanya, magabathanga. Jika diartikan, maka carakan
aksara Jawa tersebut akan menggambarkan cerita tentang Dora dan Sembada sebagaimana
telah disebutkan sebelumnya. Kata "hanacaraka" dapat diartikan sebagai "ada abdi-abdi
(yang setia)", "datasawala" berarti "(mereka) terlibat dalam perkelahian", "padhajayanya"
artinya "(mereka) sama-sama kuat", dan "magabathanga" mempunyai arti "(akhirnya
mereka) menemui ajalnya"
38
.

Gambar 2. Perkembangan Aksara Jawa

Hal tersebut juga dapat ditemukan dalam manuskrip Serat Ajisaka Pupuh VII
(Tembang ananggula) bait 26 dan 27 yang berbunyi :
Dora goroh ture wrdineki
Sembada temen tuhu perentah
Sun kabranang nepsu ture
Cidra si Dora iku
Nulya Prabu Jaka angganggit
Anggit pinurwa warna
stra kalih puluh
Kinarya warga lelima
Wit Ha-na-ca-ra-ka sak warganeki
Pindho Da-ta-sa-wala

Yeku sawarga ping tiganeki
Pa-a-ja-ya-nya ku suwarganya
Ma-ga-ba-a-nga ping pate
Iku sawarganipun
Anglelima sawarganeki
Ran stra sarimbangan
Iku milanipun
Awit ana stra Jawa
Wit sinungan sandhangan sawiji-wiji
Weneh-weneh ungelnya

38
Herusatoto. Op.Cit. Hal. 42-43

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 17


Terjemahan bebas :
Dora dalam ucapannya senantiasa
bohong. Sembada selalu jujur dan
patuh pada perintah (gurunya). Saya
emosi dan marah akan ucapannya.
Ingkar si Dora itu. Lalu Prabu Jaka
mencorat-coret (menulis) diawali
dengan suku kata. Sastra dua puluh
dibuat dalam kelompok yang terdiri
atas lima (suku kata). Dari Ha-na-ca-
ra-ka itu kelompoknya. Kedua da-ta-
sa-wala yaitulah kelompoknya.
Ketigan Pa-dha-ja-ya-nya itu
kelompoknya. Ma-ga-ba-a-nga yang
keempatnya. Itulah
pengelompokannya. Lima-lima (suku
kata) satu kelompoknya. (Yang
demikian itu) sastra sarimbangan
namanya. Itulah sebabnya, mulai ada
aksara/sastra Jawa. Mulai diberi
sandhangan (pengangge swara) satu
per satu. Macam-macam bunyinya.

Secara historis, cerita tentang Aji Saka tersebut memang masih diragukan karena
cerita itu hanyalah dongeng dan Aji Saka sendiri tidak tercatat dalam silsilah raja-raja tanah
Jawa. Tetapi dalam konteks kebudayaan Jawa cerita tentang Aji Saka telah memberikan
gambaran secara kronologis tentang perkembangan peradaban Jawa (masuknya Hindu ke
Jawa). Kata "saka" pada "Aji Saka"berasal dari kata Sanskerta "saka", yang artinya bangsa
Scyth. Di Jawa dikenal sebagai syakakala yang berarti tahun Saka, kemudian menjadi
sngkala dan candrasngkala (perlambang kata yang menunjukkan tahun saka dalam
kesusastraan Jawa). Tarikh Saka sendiri dimulai pada tahun 72 Masehi (Berg,1974:97-99).
Lebih jauh, sesungguhnya ada makna tersirat dalam cerita Aji Saka terkait dengan
asal mula kebudayaan Jawa. "Kekosongan" pulau Jawa sebelum kedatangan Aji Saka
dalam cerita tersebut bukan berarti tidak ada kehidupan, melainkan kosong dalam artian
peradabannya. Oleh karenanya pada masa itu dilukiskan dengan raja raksasa yang kejam
dan suka makan manusia. Kemudian raja itu dapat dikalahkan oleh sang Aji Saka dengan
bantuan dstar atau ikat kepalanya. Ini juga pralambang sebagai musnahnya kebodohan
dan majunya pola pikir atau berkembangnya peradaban di Jawa.
Lebih dari itu sebagaimana telah diceritakan di muka bahwa Aji Saka berasal dari
Negeri Surati atau Bharata Warsa (Hindustan). Jikalau demikian maka segala hal yang ada
dalam cerita ini akan terkait dengan budaya Hindu atau Jawa Kuno pada masa Hindu.
Setiap makna yang terkandung dalam cerita ini pun juga akan bertalian erat dengan
peradaban Hindu dan budaya Jawa pada masa Hindu.


Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 18

Sebagai contoh kata "aji saka" itu sendiri. Kata aji sebenarnya merupakan
penjelmaan dari ilmu pengetahuan. Kata ini dapat diartikan sebagai "kitab-kitab suci, teks
suci, teks yang berwenang (berisi peraturan-peraturan), formula yang sangat suci, kuat dan
magis"
39
. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam cuplikan-cuplikan pada sastra dan
susastra Hindu yang sering menyebutkan kata "ling ning aji" untuk menyebutkan "kata
atau sabda Weda". Lalu kata "saka" berasal dari akar kata "d (ak)" yang berarti
"mendapat, membawa"
40
. Kata "saka" sendiri dapat diartikan sebagai "tonggak atau
tiang"
41
. Pada perumahan Jawa Kuno atau pada bangunan kerajaan-kerajaan dahulu dan
juga rumah adat Bali, saka adalah tiang yang digunakan sebagai penyangga rumah.
Dengan demikian maka kata "ajisaka" dapat dimaknai sebagai "orang yang membawa,
mengemban dan memegang teguh kitab suci atau ilmu pengetahuan sebagai tiang
penyangga kehidupannya". Hindu memandang orang yang demikian dikatakan sebagai
orang yang selalu bertongkatkan sastra (atkn ring stra).
Di samping itu, substansi pada Cerita Aji Saka ini menggambarkan beberapa poin
pokok yang mempunyai makna falsafis terkait pendakian orang Jawa menuju
kesempurnaan. Adapun beberapa poin tersebut adalah :
Pertama brahmana yang bernama Aji Saka. Secara etimologis kata Sanskerta "NQ
(brahmaa)" berasal dari urat kata "N (bha)" yang berarti "tumbuh, besar, luas,
berkuasa, tinggi, jiwa tertinggi" dan urat kata " (man)" yang artinya "mencari
pengetahuan"
42
. Jadi brahmana adalah orang yang selalu mencari pengetahuan untuk
mencapai jiwa tertinggi. Oleh karena itu pada jaman dahulu seseorang dikatakan
sebagai brahmana apabila sudah mendapat ilmu kelepasan atau Samyag Jna atau
kalau di Jawa dia adalah orang yang sudah menguasai nglmu panitisan. Untuk itu
Brahmana dalam Hindu mempunyai kewajiban untuk selalu belajar (swadhyaya).
Kedua yaitu Medang Kemulan. Kata ini berasal dari kata "meda (meda+ng)" dan
"mula (ka+mula+an)". Kata "meda" berarti "perasaan atau tingkah laku yang tidak
terkendali, kebutaan, nafsu"
43
. Kata "mula" berarti "asal". Artinya pada mulanya negara
ini adalah negara yang penuh dengan kebutaan atau kegelapan (awidya).
Ketiga adalah Pulo Majeti. Kata ini berasal dari kata "majti" yang berarti "jenis kain
yang khas, sejenis pohon yang akarnya dipakai sebagai bahan celup merah berkilau,
berwarna merah"
44
. Merah merupakan warna api yang dianggap sebagai lambang
kemarahan. Di Jawa ada ungkapan "abang kuping (merah telinganya)" yang diartikan
sebagai "orang yang sedang marah". Sementara itu kata "majti" sendiri diartikan
sebagai "rumah yang berhantu". Hantu pada hakikatnya menunjuk pada sifat raja
raksasa di pulau ini, yang mana ia suka "meminum" darah (merah) rakyatnya.

39
P.J. Zoetmulder. 2006. Kamus Jawa Kuna Indonesia, terj. Darusuprapta dan Sumarti Suprayitna.
Jakarta:Gramedia. hal. 17.
40
I Made Surada. op. cit. hal. 283
41
Zoetmulder. op.cit. hal. 982
42
I Made Surada. op.cit. hal. 239; 251.
43
Ibid. hal. 665
44
Zoetmulder. op.cit. hal. 653

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 19

Keempat adalah Dewata Cengkar. Kata ini berasal dari kata "dewata" dan "cengkar".
Kata "cngkar" berarti "cerai-berai, pisah, makar, tanah gersang". Dia melambangkan
orang yang telah memisahkan diri atau melakukan perbuatan makar terhadap dewata
(Tuhan)
45
.
Kelima yaitu Dora dan Smbada. Dora oleh masyarakat Jawa sering dipersepsikan
sebagai orang yang jahat, suka menipu dan sebagainya. Sebaliknya Smbada adalah
murid yang jujur dan setia pada kata-katanya. Penafsiran semacam ini perlu diluruskan
karena tidak mungkin Brahmana sekaliber Aji Saka mau menerima murid yang picik
seperti Dora. Dan tidak ada tradisi Parapara di India yang menerima murid tanpa
melihat dedikasi mereka terlebih dahulu. Sloka dari Bhagawad Gt IV.34 di bawah ini
sekiranya dapat memberikan gambaran bagaimana seorang murid yang pantas menjadi
iya dalam perguruan Weda di India.
{FH l
3"FH" ll
tad widdhi praiptena paripranena seway,
upadekyanti te jna jninas tattwa darina,
Terjemahan :
Belajarlah, bahwa dengan sujud bersembah, dengan bertanya dan dengan pelayanan,
orang-orang bijaksana yang telah melihat kebenaran mengajarmu dalam ilmu
pengetahuan
46
.

Kata "dora" ini sebenarnya bertalian secara filologis dengan kata Sanskerta "" (dora)"
yang berarti "sebuah tali"
47
. Sementara itu kata "sembada" berkaitan erat sengan kata
Sanskerta "FN' (sabdha)" yang berarti "tekanan, sukar" dan kata "FN' (sabodha)"
yang artinya "kesenangan"
48
. Jadi sesungguhnya tali yang mengikat manusia dalam
kehidupan itu berupa kesenangan duniawi yang sukar untuk dihilangkan. Namun
setelah Dora dan Smbada tewas dalam pertempuran timbulah akara Jawa. Ini
merupakan pralambang bahwa untuk mencapai kehidupan yang kekal atau abadi maka
seseorang perlu meninggalkan ikatan yang berupa kesenangan duniawi atau
kesenangan indriya (tan jnk ring wiaya)
49
.
Keenam adalah Duga dan Prayoga yang merupakan punggawa dari Sang Raja (Aji
Saka). Kata duga prayoga dalam pemahaman masyarakat Jawa sekarang mempunyai
makna sopan santun atau tata krama. Akan tetapi terkait dengan makna filosofis
matinya Dora Smbada dan penciptaan aksara Jawa, maka penulis mengartikannya
agak sedikit berbeda.
Secara harfiah, kata "duga" berasal dari kata Sanskerta "" (dugha)" yang artinya
"hasil". Kata ini berasal dari akar kata "" (duh)" yang berarti "menggembirakan,

45
Lihat Purwadi dan Eko Priyo Purnomo. op.cit.
46
I Wayan Maswinara. 2008. op.cit. hal. 237.
47
I Made Surada. op. cit. hal. 165
48
Ibid. hal. 295
49
Lihat. I G.A.G. Putra dan I Wayan Sadia. 1998. Vhaspati Tattwa. Surabaya : Pramita. Lontar Nomor 52.

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 20

menikmati, menghasilkan, menekan keluar, memerah susu"
50
. Sedangkan kata prayoga
berasal dari dua kata para dan yoga
51
. Kedua kata tersebut juga berasal dari Bahasa
Sanskerta. Kata " (para)" dapat diartikan "berbeda yang lain, jauh, paling tinggi,
berikutnya, kelebihan, kurang baik, akhir, semata-mata diabaikan bagi, campuran".
Sementara kata " (yoga)" dapat diartikan sebagai "penyatuan, hubungan, kontak,
pembawaan, pemindahan, penyerahan, bermanfaat, berguna, tipu, keceoh,
mengerjakan, religius, meditasi, aturan, peraturan, kegiatan, kerajinan, hasil, akibat"
52
.
Dengan demikian kata prayoga di sini bisa diartikan sebagai penyatuan atau hubungan
mistis yang tertinggi (manunggaling kawula lan gusti).
Duga dan Prayoga tersebut secara filosofis merupakan hasil akhir (sesuai dengan
makna yang terkandung pada namanya) dari pencarian ilmu pengetahuan bagi seorang
brahmana yang bernama Aji Saka. Buktinya pada cerita Aji Saka tersebut, mereka
hanya disebut-sebut pada akhir cerita setelah kematian Dora dan Smbada yang
dimaknai sebagai lenyapnya kesenangan indrawi pada orang yang selalu menggunakan
pengetahuan suci sebagai tongkat atau tiangnya (Sang Aji Saka). Dan itu selaras
dengan makna yang terkandung dalam nama mereka.
Terakhir adalah aksara. Kata ini berasal dari kata Sanskerta " (akara)" yang berarti
"abadi, kekal, Dewa wa, Dewa Wiu, suku kata, huruf hidup, vokal, penghabisan,
terakhir, kebahagiaan, keselamatan".
53
Aksara adalah suatu keteguhan dalam
kehidupan di alam maya ini. Ia juga lambang kehidupan yang abadi.

Jika dirangkaikan mulai dari awal hingga akhir ketujuh poin di atas melambangkan
hakikat ontologi, epistemogi sekaligus aksiologi Jawa yang terkait dengan pendakian
puncak keabadian (akara) oleh seorang pencari ilmu pengetahuan (brahmaa) yang selalu
berpedoman pada sastra atau menggunakan kitab suci pengangan hidupnya (aji saka).
Pendakian ini diawali (mdhang kamulan) dengan melenyapkan ketidakpercayaan terhadap
Tuhan (Dewata Cngkar) atau atheisme, lalu diikuti dengan pengendalian nafsu keangkara
murkaan (majti). Kemudian yang terakhir adalah dengan meninggalkan kesenangan
indrawi sebagai ikatan duniawi (dora smbada). Barulah ia dapat mencapai hasil akhir
yang berupa penyatuan mistis / manunggal dengan Gusti atau Tuhannya (duga prayoga).
Jika semua itu sudah dijalani dan dialami maka ia pun akan mencapai puncak
kesempurnaan (moka) atau kehidupan yang kekal dan abadi selamanya (akara).
Kesemua itu sesungguhnya merupakan transformasi tattwa Hindu a la Jawa yang
dapat digunakan untuk "merubah" masyarakat Jawa (baca : umat Hindu Jawa) menjadi
orang yang tahu akan "kejawaanya". Dengan menjadi orang yang benar-benar "jawa" maka
mereka pun akan bisa memahami kebenaran yang sebenar-benarnya dalam kehidupan yang
penuh dengan kepalsuan ini (tattwa jatining ngaurip).


50
I Made Surada. op.cit. hal. 160, 162.
51
Dalam khasanah dunia sastra Jawa kata "para" sering kali ditulis "pra" misalnya : para nayaka menjadi
pranayaka, para tamu menjadi pratamu, para warga menjadi prawarga dan sebagainya.
52
I Made Surada. op.cit. hal. 198, 259.
53
I Made Surada. op.cit. hal. 12

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 21

B. KERANGKA HISTORI BUDAYA JAWA
Budaya Jawa merupakan bagian dari kebudayaan nasional (Indonesia). Secara umum
sejarah kebudayaan Indonesia dibagi menjadi 4 (empat) yakni
54
:
1. Zaman Prasejarah, yang dimulai sejak dari permulaan adanya manusia dan kebudayaan
hingga kira-kira abad ke-5 Masehi;
2. Zaman Purba, sejak dari datangnya pengaruh India (Hindu) pada abad-abad pertama
tarikh Masehi sampai runtuhnya kerajaan Majapahit;
3. Zaman Madya, sejak datangnya pengaruh Islam menjelang akhir Zaman Majapahit
hingga akhir akhir abad ke-19;
4. Zaman Baru, sejak masuknya anasir-anasir Barat dan teknik modern sekitar tahun 1900
Masehi sampai sekarang.
Pada zaman prasejarah kebudayaan yang ada di Jawa lebih banyak didonimasi oleh
hasil-hasil kebudayaan yang berasal dari batu dan logam. Oleh karena itu zaman pra
sejarah ini secara umum dibagi menjadi 2 zaman yaitu: zaman batu dan zaman logam.
55

Pembagian zaman ini lebih cenderung pada bagaimana orang-orang pada masa pra sejarah
menggunakan alat-alat (teknologi) untuk hidup dan mencukupi kebutuhan hidupnya.
Zaman batu yaitu zaman pra sejarah ketika belum dikenal alat-alat yang terbuat dari
logam. Zaman batu sendiri dibagi menjadi 3 (tiga) yakni
56
:
1. Palaeolithikum atau disebut juga zaman batu tua. Sebagai ciri zaman ini alat-alat yang
dari batu dibuat dan dikerjakan secara kasar, tak diasah atau dihaluskan. Manusianya
masih hidup berpindah-pindah (nomaden).
2. Mesolithikum atau disebut juga zaman batu tengah. Alat-alat pada zaman ini masih
menyerupai alat-alat pada masa palaeolithikum. Akan tetapi orang-orang sudah mulai
memiliki tempat tinggal yang tetap.
3. Neolithikum atau disebut juga zaman batu muda. Alat-alat yang digunakan pada zaman
ini sudah mulai diasah dan diupam, sehingga halus dan banyak pula yang indah. Kecuali
tembikar sudah dikenal pula tenunan. Orang-orang pada masa ini sudah bertempat
tinggal dan bercocok tanam.
Zaman logam yaitu zaman di mana orang-orang pada masa itu sudah dapat membuat
alat-alat dari logam yang ternyata lebih kuat dan lebih mudah dikerjakan daripada batu.
Oleh karena logam harus dilebur dahulu sebelum dapat dipergunakan sebagai bahan, maka
dalam zaman logam ini manusia terang sudah jauh lebih tinggi kebudayaannya daripada
zaman batu.
57
Menurut jenis logam yang digunakan, zaman logam sendiri dapat dibagi
menjadi 3 (tiga) yakni: (1) zaman tembaga, dimana mereka sudah menggunakan tembaga
sebagai peralatannya
58
; (2) zaman perunggu, dimana mereka telah mendapatkan logam
campuran yang lebih keras dari tembaga untuk pembuatan alat-alatnya; dan (3) zaman

54
Soekmono. 1981. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 1. Yogyakarta: Kanisius. hal. 16.
55
Ibid. hal. 23.
56
Loc.Cit.
57
Loc.Cit
58
Akan tetapi sayangnya zaman tembaga ini tidak ditemukan di Jawa (Indonesia) atau pun Asia Tenggara
pada umumnya. Oleh karenanya dari zaman neolitihikum meningkat ke zaman logam selanjutnya. Lihat
Soekmono, Op.Cit. hal. 23

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 22

besi, dimana mereka sudah dapat melebur bijih besi untuk dituang menjadi alat-alat yang
diperlukan. Zaman besi ini ditengarai sebagai akhir dari zaman pra sejarah di Indonesia
atau di Jawa
59
.
Kedatangan bangsa India yang membawa pengaruh Hindu dan Buddha ke Indonesia
(Jawa) membawa perubahan yang besar dalam masyarakat Indonesia (Jawa). Salah satunya
adalah diperkenalkannya tulisan atau sastra. Sejak saat itu pula bangsa Indonesia
memasuki babak baru dari zaman pra sejarah menjadi zaman sejarah. Tidak hanya itu,
pengaruh Hindu juga mengantarkan orang-orang Jawa (Indonesia) menu peradaban yang
lebih maju. Mereka mulai mengenal sistem keagamaan, sosial kemasyarakatan, tata
kenegaraan, sistem ekonomi dan sebagainya.
60
Hasil-hasil kebudayaan yang maha tinggi
seperti aksara, bahasa, sastra, seni dan lain sebagainya yang berasal dari Tanah Bharata
Warsa itu juga ikut mengantarkan Jawa (Indonesia) ke zaman sejarah.
Pada zaman sejarah ini sistem sosial kemasyarakatan yang ada di Jawa berangsur-
angsur berubah menuju susunan masyarakat yang tertata sedemikian rupa hingga
terbentuknya sistem ketatanegaraan yang memunculkan adanya kerajaan-kerajaan Hindu.
Bahkan menurut Naskah Wangsa Kerta, pada tahun 358 di wilayah Jawa Barat sudah
mulai muncul Kerajaan Hindu yang pertama yang dikenal sebagai Kerajaan Taruma
Negara yang didirikan oleh Rajadirajaguru Jayasingawarman. Di Jawa Tengah pun pada
sekitar abad ke-6 sudah mulai muncul Kerajaan Kaling dan Kerajaan Mataram. Menyusul
kemudian Jawa Timur pada sekitar abad ke-8 mulai muncul kerajaan Medang Kamulan.
Setelah itu mulai bermunculan kerajaan-kerajaan Hindu yang ada di wilayah Jawa Timur
hingga mencapai puncak keemasan pada masa Kerajaan Majapahit ketika dipimpin oleh
Raja Hayam Wuruk (1350 - 1389). Bahkan menurut Kakawin Nagarakretagama pupuh
XIII-XV, daerah kekuasaan Majapahit meliputi hampir seluas wilayah Indonesia modern,
termasuk daerah-daerah Sumatra di bagian barat dan di bagian timur Maluku serta
sebagian Papua (Wanin), dan beberapa negara Asia Tenggara. Pada saat itu Majapahit juga
memiliki hubungan dengan Campa, Kamboja, Siam, Birma bagian selatan, dan Vietnam,
dan bahkan mengirim duta-dutanya ke China.
Pada masa kerajaan-kerajaan Hindu tersebut banyak hasil-hasil kebudayaan yang
telah dibuat. Adapun hasil-hasil kebudayaan tersebut antara lain:
1. Candi
Dari bangunan-bangunan peninggalan pada zaman purba yang masih tinggal hingga
saat ini hanyalah bangunan yang terbuat dari batu dan bata saja. Bangunan-bangunan biasa
yang terbuat dari kayu dan bambu tidak ada yang bertahan menghadapi gempuran zaman.
Sementara itu, bangunan-bangunan yang berasal dari batu dan bata tersebut biasanya
disakralkan dan erat sekali kaitannya dengan acara-acara keagamaan yang berlaku saat itu.
Bangunan-bangunan inilah yang dikenal sebagai candi.
Candi berasal dari kata Jawa Sanskerta "caik (=Bd)" yang merupakan sebutan
untuk Sakti dari Dewa wa yaitu Dewi Drg. Kata "cai" sendiri dalam kosa kata Jawa
Kuno diartikan sebagai bangunan suci tempat dewa-dewi turun dan dipuja dan

59
Ibid, hal. 24.
60
Soekmono. 1981. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2. Yogyakarta: Kanisius. hal. 7.

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 23

berhubungan dengan bagaimana para dewa-dewi tersebut dicapai.
61

Dahulu bangunan candi memang digunakan sebagai tempat pemujaan atau
penghormatan kepada para dewa-dewi. Candi-candi pada zaman dahulu dikaitkan dengan
kematian para bangsawan, raja, permaisuri, pangeran atau putri dari dinasti kerajaan-
kerajaan Hindu pada zaman purba. Biasanya mereka akan dicandikan atau "cinai"
62

dalam bangunan tersebut.
Namun hal ini bukan berarti mereka dikubur di candi tersebut. Karena jenasah
mereka sudah dibakar dan abunya dihanyutkan ke laut. Kata dicandikan ini dimaksudkan
untuk "menstanakan" roh sucinya di candi tersebut. Dan itu dikaitkan dengan dewa
pujaannya ketika beliau masih hidup. Oleh karenanya penggambaran, instrumen dan anasir
yang terdapat pada candi tersebut biasanya akan menggambarkan agama yang dianut para
bangsawan tersebut, dewa-dewi pujaannya dan sebagainya.
Candi-candi di Jawa umumnya dapat dikelompokkan menjadi 3 yaitu: kelompok
candi Jawa Tengah Utara, kelompok candi Jawa Tengah Selatan dan kelompok candi Jawa
Timuran. Candi-candi yang merupakan jenis kelompok candi Jawa Tengah Utara antara
lain: Candi Gunung Wukir dekat Magelang, candi Badut di Malang, kelompok candi Dieng
dan Candi Gedong Songo di Gunung Ungaran. Candi-candi yang merupakan jenis
kelompok candi Jawa Tengah Selatan antara lain: Candi Kalasan di Yogyakarta, Candi
Sari di dekat Kalasan, Candi Borobudur di Magelang, Candi Mendut di dekat Borobudur,
Candi Sewu di Desa Prambanan, Candi Plaosan di sebelah Timur Candi Sewu dan Candi
Loro Jonggrang di Desa Prambanan. Sementara itu Candi-candi yang merupakan jenis
kelompok candi Jawa Timuran antara lain: Candi Kidal di Malang, Candi Jago di Malang,
Candi Singosari di Malang, Candi Jawi di Prigen, Candi Penataran di Blitar, Candi Jabung
di Krasakan, Candi Muara Takus di dekat Bangkinang dan kelompok Candi Gunung Tua
di dekat Padang Sidempuan.

Gambar 3. Candi Prambanan
2. Patung Dewa
Seperti halnya yang dapat diketahui dari candi-candi tersebut untuk raja yang telah
bersatu dengan dewa penitisnya, biasanya dibuatkan sebuah patung. Patung ini biasanya

61
Zoetmulder, op.cit. hal. 157.
62
Loc.Cit

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 24

menjadi arca induk dalam candi tersebut. Patung-patung tersebut menggambarkan dewa
atau dewi. Untuk membedakan patung dewa yang satu dengan yang lain, maka setiap arca
memiliki tanda-tanda tersendiri. Tanda-tanda khusus ini disebut sebagai "lakana atau ciri".
Adapun patung-patung dewa yang terdapat pada candi-candi di Jawa Tengah dan
Jawa Timur antara lain adalah: patung Dewa wa, patung Dewa Brahma, patung Dewa
Wiu, patung Bhairawa, patung Dewi Drga, patung Mahkla, patung Buddha, patung
Awalokitewara dan masih banyak lagi lainnya.
3. Seni Ukir
Hasil-hasil seni pahat ukir ini terutama sekali berupa hiasan-hiasan pengisi bidang
pada dinding-dinding candi. Yang menjadi pola hiasan pada dinding-dinding candi tersebut
biasanya makhluk-makhluk ajaib dan tumbuh-tumbuhan. Diantara pahatan-pahatan
tersebut ada pula yang menggambarkan suatu cerita yang biasanya dikaitkan dengan suatu
acara keagamaan pada masa itu.
4. Benda-benda Logam
Selain arca-arca yang terbuat dari batu tersebut, ada pula arca-arca yang terbuat dari
logam. Sebagian besar terbuat dari perunggu. Ada juga yang terbuat dari emas, perak, dan
perunggu berlapis emas. Arca-arca tersebut biasanya dihubungan dengan kegiatan acara
keagamaan yang dianut oleh masyarakat pada masa itu.
5. Kesusasteraan
Dari zaman purba hingga sekarang lebih dari 1000 naskah yang masih tinggal dan
biwa di wariskan oleh para leluhur di Jawa. Hal ini tentu menggambarkan betapa tingginya
seni sastra dewasa itu. Naskah-naskah Jawa Kuna tersebut sebagian besar terbuat dari daun
lontar dan banyak ditemukan di Bali. Hal ini disebabkan setelah Majapahit runtuh dan
digantikan dengan pemerintahan Islam di Jawa banyak naskah-naskah Jawa Kuna yang
rusak dan tidak terpelihara dengan baik.
63

Menurut perkembangannya kesusateraan pada zaman purba itu dapat dibagi menjadi
4 babak kesusasteraan. Empat babak kesusasteraan tersebut adalah: (1) kesusasteraan
zaman Mataram sekitar abad ke-9 hingga ke-10; (2) kesusasteraan zaman Kadiri sekitar
abad ke-11 dan ke-12; kesusasteraan zaman Majapahit I sekitar abad ke-14; dan
kesusasteraan zaman Majapahit II sekitar abad ke-15 dan ke-16.
Menilik gubahannya, hasil-hasil kesusasteraan pada zaman purba itu sebagaian kecil
ditulis dalam bentuk gancaran (prosa) dan sebagian besar dalam bentuk tembang (puisi).
Tembang Jawa Kuna umumnya disebut kakawin, sedangkan tembang Jawa Tengaham
umumnya dinamakan kidung. Irama kakawin merupakan gubahan dari irama India.
Sementara itu irama kidung berkembang menjadi tembang tengahan dan macapat.
64

Menurut Pigeaud, perkembangan kesusastraan Jawa secara keseluruhan dapat dibagi
ke dalam empat babakan. Pembagian keempat babakan ini sesuai dengan kerangka historis
yang dialami selama perkembangan sastra Jawa dan sejarah Jawa itu sendiri. Keempat
babakan yang dimaksud adalah : (1) Zaman Hindu yang berlangsung pada abad ke-9
hingga abad ke-15 M; (2) Zaman Jawa-Bali, yang berlangsung pada abad ke-16 hingga

63
Soekmono, Op.Cit. hal. 104-105.
64
Loc.Cit.

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 25

abad ke-19 M; (3) Zaman Pesisir yang berlangsung pada sekitar abad ke-15 hingga abad
ke-19 M; (4) Zaman Surakarta dan Yogyakarta, yang berlangsung pada abad ke-18 hingga
abad ke-20 M.
65

Selanjutnya, menurut isinya kesusastraan Jawa-Bali menurut Van der Tuuk
66
dapat
dikelompokkan menjadi enam golongan. Keenam golongan itu adalah : (1) Weda, yang
antara lain berupa mantra, puja stawa dan masalah-masalah penyelesaian upacara; (2)
Agama, yang memuat tentang hukum etik, tata susila, termasuk lontar yang memuat asana
dan dharmastra; (3) Wariga, yang memuat tentang astrologi, tutur, kanda, usadha dan
sebagainya; (4) Itihasa, yang memuat tentang epik termasuk parwa, kekawin, kidung dan
geguritan; (5) Babad, yang memuat tentang bahan-bahan sejarah; dan (6) Tantri, yang
bersumber pada fabel Hindu dan cerita-cerita yang populer dari masyarakat Bali seperti
Satwa dan lain-lain.
Lebih jauh naskah-naskah (hasil kesusasteraan) Jawa pada masa purba dan masa
peralihan baik yang ditemukan di Jawa maupun di Bali tersebut menurut jenis dan bentuk
gubahan sastranya dapat dikelompokkan menjadi: kelompok sastra parwa, kelompok
sastra kakawin, kelompok sastra kidung dan kelompok sastra macapat.
a. Parwa
Naskah-naskah parwa merupakan prosa yang diadaptasikan dari bagian-bagian
epos Hindu dan menunjukkan ketergatungannya dengan kutipan-kutipan dari karya aslinya
dalam Bahasa Sanskerta. Ada beberapa naskah yang biasanya digolongkan dalam bagian
ini, antara lain : Adiparwa, Wiraaparwa, Uttarakanda, Korawasrama, Agastyaparwa dan
sebagainya.
67

b. Kekawin
Kekawin adalah jenis karya sastra puisi Jawa Kuno yang berpola pada kawya
India. Karya sastra jenis ini banyak memikat para peneliti sastra baik dari dalam maupun
luar negeri. Adapun yang termasuk golongan ini adalah: Ramyana, Bharata Yuddha,
Arjuna Wiwha, Sutasoma, Siwaratri Kalpa, Niti Sastra, Nirartha Prakerta, Bhomakawya
dan masih banyak lagi lainnya.
68

c. Kidung
Karya sastra kidung adalah karya sastra puisi yang mempunyai kaidah-kaidah
tertentu. Garis besar kaidah-kaidah bentuknya adalah mempunyai silabel tertentu dari
bagian bait tersebut memakai bunyi tertentu (misalnya a, i, u). Sekalipun kidung adalah
kata Jawa asli, tapi isinya banyak mengandung nilai-nilai ajaran agama Hindu. Misalnya:
Kidung Harsawijaya, Kidung Rangga Lawa, Kidung Sorndaka, Kidung Sunda, Kidung
Panji dan sebagainya.
d. Macapat dan gancaran
Macapat adalah salah satu bentuk karya sastra Jawa yang berbentuk tembang atau
puisi Jawa dan terikat oleh unsur-unsur intrinsik tertentu seperti: guru gatra, guru

65
T.H. Pigeaud.1967. Literature of Java, Vol. I. Leiden: Martinus Nijohoff. Hal. 4-7
66
Lihat Gde Pudja,dkk. 1982. Siwa Sasana, Jakarta: Mayasari. hal.30
67
IBG. Agastia. 1994. Kesusastraan Hindu Indonesia, Sebuah Pengantar. Denpasar: Yayasan Dharma
Sastra. hal.7-8
68
Loc.Cit

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 26

wilangan, guru dhing-dhong dan guru watak. Sedangkan gancaran adalah karya sastra
Jawa yang berupa prosa atau karangan bebas dan tidak terikat oleh unsur-unsur
sebagaimana pada tembang macapat.

C. JAWA, HINDU DAN ISLAM DALAM DIALEKTIKA BUDAYA
Sebagaimana telah disinggung di muka bahwa Jawa sebagai pulau yang pernah
menjadi pusat peradaban Hindu telah menerima banyak pengaruh dari Hindu. Agaknya
terlalu naf kalau ada orang jawa yang mengelak dengan mengatakan bahwa budaya
Jawa adalah budaya yang berdiri sendiri dan bebas dari pengaruh Hinduisme. Dan akan
lebih mbalelo lagi kalau akhirnya peradaban dan kebudayaan Jawa itu meninggalkan
pandangan-pandangan hidup sebagaimana yang pernah diwarisi dari para pemikir-pemikir
Hindu seperti yang bisa kita lihat pada kenyataan saat ini. Dan memang hal ini telah
diprediksikan dalam sebuah unen-unen dari para tetua di Jawa dahulu yang kurang lebih
berbunyi, ela-elo Cina Landa kari separo, wong Jawa kari sajodho. Indikator ini
menunjukkan bahwa tidak sedikit orang jawa yang lupa dengan jati diri Jawa-nya (wong
Jawa ilang jawane)
69
.
Menurut Soekmono, masuknya pengaruh-pengaruh Hindu dari India tersebut terjadi
sejak sekitar abad ke-3 sampai abad ke-7.
70
Masuknya Hindu ke Indonesia ini sekaligus
mengakhiri jaman prasejarah di Nusantara. Masyarakat Indonesia sudah mulai mengenal
tulisan sebagaimana yang tercatat dalam prasasti yang didapatkan di Kutai, Kalimantan
Timur dan Citarum, Jawa Barat. Sejak saat itu pula kebudayaan Indonesia mengalami
perubahan besar. Masyarakat mulai mengenal sistem sosial seperti timbul kedudukan raja
dan bentuk pemerintahan kerajaan serta sistem religi baru, yakni Hindu.
Selanjutnya, masuklah paham-paham Hindu ke Indonesia termasuk kebudayaannya
yang berasal dari India. Bersamaan dengan hal tersebut, ajaran Hindu, Budha, sistem
filsafat, hukum, arsitektur, kesenian, sastra termasuk epos besar Mahabharata dan
Ramayana ikut menyemarakkan proses akulturasi kebudayaan tersebut. Akan tetapi
masuknya kebudayaan tersebut bukan berarti menghilangkan budaya lokal, tetapi justru
sebaliknya masuknya paham-paham dan ajaran Hindu tersebut melalui proses adaptasi
dengan kebudayaan setempat. Dari proses inilah kemudian lahirlah apa yang oleh para
pujangga jaman dahulu disebut sebagai proyek besar "mangjawaken byasamata" yang
artinya adalah, "membahasajawakan ajaran-ajaran Bhagawan Byasa" sebagaimana telah
disebutkan di muka. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam sebuah petikan manggala
dalam Wiraa Parwa berikut:

" sira ta r Dharmawanga Tguh Anantawikrama ngaran ira umilwa manggala i
mangjawakn bysamata"
71

Terjemahan:
Adalah Beliau r Dharmawanga Tguh Anantawikrama namanya yang juga ikut

69
Miswanto. 2004. Op.Cit. hal.26
70
Soekmono. 1981. Op.Cit. hal. 7
71
IBG. Agastia. 1987. Sagara Giri, Kumpulan Esei Sastra Jawa Kuna. Denpasar: Wyasa Sanggraha. hal.71

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 27

serta memberikan berkat dalam "men-jawakan ajaran-ajaran Byasa"

Kemudian proyek tersebut mendapatkan perhatian dari para raja-raja sesudahnya
sehingga proses jawanisasi itu pun menjadi program yang berkelanjutan hingga akhirnya
ajaran-ajaran Hindu yang berasal dari India itu dapat beradaptasi dengan kebudayaan Jawa
waktu itu. Proses ini pun nampaknya juga dapat kita lihat pada masa-masa abad ke-19
hingga mungkin pada abad modern.
72

Berdasarkan perkembangan budaya Jawa dari masa ke masa sebagaimana disebutkan
di atas, maka dapat diketahuai bahwa dominasi ajaran-ajaran Hindu terhadap budaya Jawa
sangatlah besar. Bahkan ketika paham Islam masuk ke Jawa dan Kerajaan Islam berkuasa
di Jawa tidak serta merta budaya Jawa meninggalkan "inangnya" yakni ajaran-ajaran
Hindu. Justru di sini ajaran-ajaran Hindu masih banyak dipakai oleh orang-orang Jawa
meskipun mereka sudah menganut agama non-Hindu.
Ritual-ritual dan mistik Jawa yang hingga kini masih banyak digunakan dan diyakini
oleh sebagian besar masyarakat Jawa merupakan warisan dari budaya Hindu pada masa
lampau. Sebut saja gndurn, tumpngan, mboyong ri sadana (mthik pari), bersih desa,
siraman bagi mereka yang akan menikah, temu manten atau panggih mantn, mitoni
(upacara tujuh bulanan untuk orang hamil), ntonan (peringatan hari lahir), ruwatan dan
sederetan ritual-ritual lain yang ada di Jawa merupakan konstelasi yang tidak terpisahkan
dari kebudayaan pada masa pra-Islam.
Dan hingga kini pun ritual dan mistik Jawa itu masih terawatt dengan baik meskipun
dalam ajaran agama yang mereka anut sekarang tidak mengajarkan ritual dan mistik
tersebut. Hal ini tentu disebabkan karena masih kuatnya pengaruh ajaran-ajaran leluhur
yang mereka yakini. Bahkan mereka pun tetap melegitimasikan agamanya atas semua
tradisi yang ada tersebut. Ini terlihat pada penggunaan doa-doa dalam ajaran agama Islam
pada ritual-ritual adat Jawa yang dilaksanakan oleh sebagian besar masyarakat Jawa yang
beragama Islam.
Akan tetapi fenomena itu masih menjadi bahan perdebatan di kalangan tokoh-tokoh
agama Islam di Jawa. Ada yang masih ingin mempertahankan tradisi tersebut tanpa harus
meninggalkan agamanya, ada pula yang ingin menghapus semua tradisi leluhur tersebut
dari memori umatnya. Mereka yang ingin menghapus semua tradisi Jawa dari umatnya ini
menganggap apa yang dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Jawa tersebut sebagai
sesuatu yang "musrik" dan merupakan kawasan terlarang dalam ajaran agamanya.
Fenomena itu tentu tidak berlaku bagi masyarakat Jawa yang beragama Hindu. Bagi
mereka menjalankan adat isti adat telah yang dianut oleh para leluhurnya dahulu
merupakan suatu kewajiban. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Manawa Dharma
Sastra II.12:
H"FF"=FHF= l
H' FF{ ll
weda smti sadcra swasya ca priytmana

72
Subagio Sastrowardoyo. 1992. Sekilas soal Sastra dan Budaya. Jakarta : Balai Pustaka. hal.92-107.

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 28

etaccatur widham prahu saksaddharma lakanam.
Terjemahan:
Pustaka suci Weda (ruti dan Smti), adat isti adat yang bertuah, tata cara kehidupan
orang-orang suci serta niat yang tulus, dikatakan sebagai dasar empat jalan untuk
merumuskan dan menjalankan dharma (hukum suci)
73


Dari sloka tersebut jelas sekali bahwa hukum-hukum dharma yang harus
dilaksanakan oleh umat Hindu harus bisa mengakomodir kearifan lokal (adat istiadat) yang
berlaku. Kewajiban menjalankan adat isti adat ini merupakan salah satu wujud bakti kita
kepada para leluhur sebagaimana juga dilakukan oleh Sang Daaratha Raja Ayodya.
Kutipan Kakawin Rmyana I.1-3 sebagai berikut menunjukkan betapa mulianya seorang
Daaratha yang selain bijaksana, paham akan semua Weda, taat kepada Dewa ternyata juga
berbakti kepada leluhurnya.
hana sira ratu dibya rngn, prasta ring rat musuhnira praata
jaya paita ring aji kabeh, sang daaratha nama tmoli

sira ta tiwikrama pita, pinaka bapa bhaara wiu mangjanma,
inakanikang bhuwana kabeh, ya ta donira nimitaning janma
guamanta sang daaratha, wruh sira ring weda bhakti ring dewa,
tarmalupeng pitpja, msih ta sireng swagotra kabeh.
Terjemahan:
Ada seorang raja yang kemuliaannya bagaikan dewa, dengarkan. Terpujilah namanya
di dunia dan semua musuhnya takluk padanya, amat pandai akan semua ilmu, Sang
Daarathalah namanya.
Beliau diakui sebagai ayah dari Triwikrama. Sebagai ayah dari penjelmaan Dewa
Wisnu. Membuat kesenangan seluruh dunia. Itulah menjadi tujuannya menjelma.
Sang Daaratha adalah seorang yang bijaksana, memahami semua weda, taat kepada
para Dewa, tidak lupa akan pemujaan kepada para leluhurnya, juga kepada semua
sanak saudaranya.

Hal tersebut ternyata juga diamanatkan oleh Paku Buwono IV melalui karya beliau
Serat Wulangreh II.6 (Kinani) berikut:

73
Gede Pudja dan Tjokorda Rai Sudharta. 2002. Manawa Dharma Sastra (Compedium Hukum Hindu).
Jakarta: Nursatama Lestari. hal. 64.

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 29

Poma-poma wkasingsun,
mring kang maca layang iki,
lan dn wdi mring wong tuwa,
ing lair prapta ing batin,
saunin dn stokna,
ywa nambuh wulang kang becik
Terjemahan:
Ingatlah betul apa yang kukatakan, kepada semua yang membaca serat ini, harap
engkau takutlah kepada orang tuamu (leluhurmu), lahir maupun batin, apapun yang
mereka katakan patut engkau laksanakan, janganlah membantah ajaran yang baik.

Barang siapa yang senantiasa taat dan berbakti kepada orang tua atau pun leluhurnya
maka mereka akan mendapatkan anugrah yang tiada tara dari Tuhan. Keutamaan bagi
mereka yang berbakti terhadap leluhurnya dijelaskan dalam Srasamucaya 251 sebagai
berikut :

Kunng phalaning kabhaktin ring wwang atuha pt ikang wrddhi, pratykanya, krt,
yua, bala, yaa, krt ngaraning pleman ring hayu, yua ngaring hurip, bala
ngaraning kaaktin, yaa ngaraning patitinggal rahayu, ytikawuwuh paripra,
phalaning kabhaktin ring wwang atuha.
Terjemahan :
Akan pahala hormat bakti terhadap orang tua (leluhur), adalah empat jenis hal yang
bertambah, perinciannya : kirti, ayusa, bala, yasa; kirti artinya pujian tentang
kebaikan, ayusa, artinya hidup, bala artinya kekuatan, yasa artinya peninggalan yang
baik itulah yang bertambah sempurna sebagai pahalannya.
74


Dari penjelasan tersebut, maka tak diragukan lagi bahwa kita harus taat pada isti adat
yang diwariskan oleh para leluhur kita. Jangan sampai kita durhaka kepada para leluhur
karena Tuhan tidak akan menerima kita jika kita tidak bisa menerima keberadaan leluhur
kita. Manusia bisa hidup di dunia ini karena adanya para leluhur. Oleh karena itu apa yang
baik dari para leluhur kita pun harus dilestarikan karena itu merupakan salah satu cara
untuk menghormati para leluhur.


74
I Nyoman Kadjeng, dkk. 2000. Srasamucaya, Dengan Teks Bahasa Sanskerta dan Jawa
Kuna.Surabaya:Pramita. hal. 187-188.

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 30

Bagi masyarakat Jawa, konsep bhakti kepada leluhur itu disebut sebagai anglluri.
Konsep ini sejalan dengan konsep bhakti ring kawitan dalam masyarakat Hindu di Bali.
Dalam konsep anglluri ini, orang Jawa dituntut untuk bisa menghormati dan menghargai
para leluhur mereka dengan cara nguri-uri atau menjaga warisan budaya yang adi luhung
dari para leluhurnya.



Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 31

BAB IV
RAGAM KEBUDAYAAN JAWA

A. RELIGI JAWA (RITUAL DAN SPIRITUAL JAWA)
1. Ritual Jawa
Sebagaimana telah dijelaskan di muka, religi merupakan salah satu unsur
kebudayaan asli. Religi sangat terkait dengan masalah sistem keyakinan, sistem ritual dan
religious emotion (emosi keagamaan). Sistem keyakinan merupakan keseluruhan gagasan
yang memunculkan norma-norma dalam kehidupan beragamanya. Sistem ritual merupakan
kesatuan unsur norma, tindakan, proses dan benda mistis yang mampu memunculkan
emosi keagamaan.
Perkembangan religi Jawa sebenarnya telah dimulai sejak zaman prasejarah. Ketika
itu leluhur orang Jawa sudah beranggapan bahwa semua benda yang ada di sekelilingnya
bernyawa, dan semua yang bergerak dianggap hidup dan memiliki kekuatan gaib, roh
berwatak baik maupun jahat. Roh yang berwatak baik akan mereka mintai berkah dan
menjaga seluruh keluarganya, sementara itu roh yang bersifat jahat akan mereka minta
supaya tidak mengganggunya
75
. Untuk tujuan tersebut maka manusia Jawa kala itu
mengadakan ritual agar terbebas dari segala macam gangguan roh jahat dan memperoleh
berkah dari para makhluk-makhluk gaib yang baik.
Selain itu, mereka juga meyakini roh leluhurnya sebagai penjaga dari segala mara
bahaya dan pemberi berkah dalam kehidupannya. Mereka melakukan ritual pemujaan
kepada roh leluhurnya sebagai bentuk pemujaan dan bakti kepada leluhurnya karena
sebelumnya banyak jasa yang telah diberikan oleh leluhurnya itu. Itulah cara beragama
yang mereka laksanakan kala itu
76
.
Ketika pengaruh Hindu masuk ke Indonesia (Jawa) tidak serta merta ritual-ritual
tersebut dihilangkan begitu saja. Banyak persamaan yang dapat ditemukan dari ajaran-
ajaran leluhur Jawa tersebut dengan ajaran-ajaran Hindu. Keyakinan akan leluhur yang
menjadi pondasi keyakinan orang Jawa kala itu bukan sesuatu hal yang baru di India. Hal
ini sebagaimana diungkapkan pada Manawa Dharmastra III.192 berikut:
d'=FNQ= l
FFH"H ll
akrodhan aucapar satatam brahmacrina
nyasta stra mahbhg pitara prwadewat.
Terjemahan:
Roh leluhur adalah Dewa-dewa yang pertama, bebas dari kemarahan, hati-hati
terhadap kesuciannya, selalu jujur, tidak suka bertengkar dan kaya akan kebajikan
77
.

Ungkapan dalam Manawa Dharmastra di atas "pitara prwadewat (roh leluhur
adalah Dewa-dewa yang pertama)", senada dengan ajaran-ajaran leluhur Jawa yang

75
Prijohutomo. 1953. "Kebudayaan Hindu di Indonesia". Sedjarah Kebudayaan Indonesia Djilid II. J.B
Wolters. Djakarta: Penerbit Djambatan. hal.10.
76
Ibid. hal. 11.
77
Gde Pudja dan Tjokorda Rai Sudharta. op.cit. hal. 186.

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 32

menyebutkan "wong tuwa iku gusti kang katon (orang tua itu adalah dewa yang
kelihatan)". Oleh karenanya jika masyarakat Jawa dan India (Hindu) memuja para
leluhurnya itu adalah suatu kewajiban yang harus dilaksanakan. Kewajiban ini pun
diwujudkan melalui ritual sebagaimana disebutkan di atas.
Dengan demikian ritual-ritual Jawa sebagaimana disebutkan di atas telah mengalami
akulturasi atau bermozaik dengan pengaruh ajaran Hindu yang datang kala itu. Akulturasi
ritual Jawa dan pengaruh Hindu dalam kebudayaan Jawa inilah yang kemudian sekarang
dikenal sebagai upacara adat Jawa.
Secara etimologis kata "upacra" berasal dari gabungan kata Sanskerta "upa" dan
"cra". Kata "upa" berasal dari akar kata "3 (up)" yang dapat diartikan sebagai "arah ke-,
terhadap, dekat, dengan, di bawah, malang, roboh, hampir, tambahan pula, lebih-lebih"
78
.
Kata "upa" juga bisa diartikan "kesini, tentang, dekat/mendekat, menurut, terhadap,
selanjutnya"
79
. Sementara itu kata "cara" berasal dari urat kata "car" yang berarti "pergi,
berjalan, memelihara, menghidupkan, tinggal, praktek, menggembalakan, mengetam"
80
. Di
lain kata "cara" juga dapat diartikan "bergerak, mengembara, menjelajah"
81
.
Jadi upacara dapat diartikan "pergi atau bergerak mendekat baik ke atas (vertikal ke
atas), ke bawah (vertikal ke bawah) maupun ke samping kiri dan kanan yang ada di
sekitarnya (horizontal)". Di samping itu kata "upacra" sendiri dapat diartikan sebagai
"pelayanan, kehormatan, ramah, syair pemujaan, hadir, permohonan, permintaan"
82
.
Dengan menyimak pengertian etimologis tersebut, upacara dapat diartikan sebagai
aktivitas pelayanan, pemujaan atau penghormatan yang bertujuan untuk mendekatkan
manusia dengan Tuhan, sesama manusia dan alam lingkungannya beserta atribut-atribut
yang ada di dalamnya. Hal ini berlaku secara umum untuk semua upacara. Sebagai contoh
upacara bendera yang dilaksanakan setiap hari Senin dimaksudkan untuk memberikan
penghormatan kepada para pejuang yang telah memperjuangkan berkibarnya bendera itu di
negeri, sekaligus untuk menumbuhkan rasa nasionalisme para siswa atau mendekatkan
mereka pada nusa dan bangsanya. Nusa, bangsa, perjuangan para pahlawan dan para
pejuang itu sendiri merupakan atribut-atribut yang terkait dengan bendera merah putih
yang dikibarkan pada hari Senin tersebut.
Sebagai sebuah aktivitas atau gerakan, upacara tentu akan menghasilkan energi dan
sinergi yang terjalin sedemikian rupa sehingga membentuk suatu kesatuan yang utuh dan
biasanya merupakan suatu integritas antar unsur-unsur baik itu yang nampak maupun yang
tidak nampak. Bagi masyarakat Hindu, hal ini dinamakan sebagai sekala-niskala atau
wahyadyatmika. Mengingat upacara sebagai sebuah konkretisasi dari sesuatu yang abstrak
maka dalam upacara terjalin rangkaian acara yang urut, sistematik dan formalistik.
Upacara juga dapat dipandang sebagai realitas emosi keagamaan yang nampak atau
konkret dan juga sebagai manifestasi rasa bhakti yang tulus dari para bhakta kepada Sang

78
I Made Surada. op.cit. hal. 67.
79
I Gede Semadi Astra, dkk. 1982. Kamus Kecil Sanskerta Indonesia.Denpasar:Pemerintah Daerah Tingkat
I Bali. op. cit. hal. 63.
80
I Made Surada. op. cit. hal. 123.
81
I Gede Semadi Astra, dkk. op. cit. hal. 91.
82
I Made Surada. op.cit. Hal. 67

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 33

Pujaan. Oleh karena itu upacara ini merupakan wujud nyata dari aktivitas religius yang
kesemuanya didasarkan atas tuntunan atau pedoman tertentu dengan tujuan memantapkan
perasaan batin dalam upaya menuju atau mendekatkan diri dengan sumbernya, yaitu Tuhan
Yang Maha Kuasa
83
.
Menurut Ketut Wiana upacara merupakan upaya atau ritual penghormatan yang
dilaksanakan dengan sarana yaja dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Sang
Hyang Widdhi Wasa atau Tuhan yang Maha Esa. Yaja sendiri dapat diartikan sebagai
korban suci yang dilaksanakan dengan tulus ikhlas sesuai asal katanya (Sanskerta) "yaj
()" yang berarti "berkorban"
84
. Di sini upacara lebih dipandang sebagai pengorbanan
sebagaimana Tuhan dulu telah berkoban untuk menciptakan alam semesta beserta isinya.
Dan oleh karenanya manusia merasa berhutang kepada Sang Penciptanya. Hal ini
sebagaimana diamanatkan dalam Bhagawad Gt Adhyaya III sloka 10 dan 12 berikut.
F F_ H= l
FH_9 H'FH8d'd ll
sahayaj praj sw purowca prajpati
anena prasawiyadhwam ea wostw iakmadhuk
Terjemahan:
Dahulu kala Sanghyang Widdhi sebagai Prajapati menciptakan alam semesta ini
melalui Yajna, dan bersabda Dengan ini kamu akan berkembang biak dan biarlah
ini menjadi kamadhuk keinginanmu.
85


$8 H "H"F H l
"" F H F ll
in bhogn hi wo dew dsyante yajabhwit,
tair dattn apradyaibhyo yo bhukte stena ewa sa.
Terjemahan :
Sesungguhnya keinginan untuk mendapat kesenangan telah diberikan kepadamu oleh
para dewa karena yajnamu, sedangkan ia yang telah memperoleh kesenangan tanpa
memberi yajna sesungguhnya adalah pencuri.
86


Dari kedua sloka di atas jelas sekali disebutkan bahwa kegiatan pengorbanan ini
merupakan suatu kewajiban bagi umat Hindu. Konsep pengorbanan sebagaimana
disebutkan di atas juga banyak ditemukan dalam konsep-konsep Jawa. Ada beberapa
peribahasa Jawa yang menjelaskan tentang konsep pengorbanan. Misalnya: jr basuki
mawa bya (untuk mendapatkan kebahagiaan dan keselamatan membutuhkan biaya atau
pengorbanan; ssanti ini juga dipakai oleh Pemerintah Jawa Timur sebagai semboyan dan
diabadikan pada logonya), spi ing pamrih ram ing gawe (bekerja tanpa pamrih),
makarya tan akarya (berbuat sesuatu tetapi tidak merasa membuat sesuatu), dan masih
banyak lagi lainnya.


83
Ni Made Sri Arwati. 1992. Pengantar Upacara. Denpasar : Upada Sastra. hal. 5
84
I Ketut Wiana. 1987. Arti dan Fungsi Sarana Persembahyangan. Jakarta : Yayasan Wisma Karma. hal. 38
85
I Wayan Maswinara, 2008. Op.Cit. hal. 204.
86
Ibid. hal. 204-205.

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 34

Lebih jauh, pengorbanan dengan menggunakan sarana (ritual) itu merupakan jalan
untuk mencapai tujuan. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Serat Wara Wiyata 8 yang
berbunyi:
Lamun tan mawa sarana,
paran katkaning kapti,
lir mbag tanpa wisaya,
sayktinira Hyang Widdhi,
tan karsa mitulungi,
marang wong kang datan laku,
nir ngamal myang panmbah,
kumudu dipun turuti,
ngndi ana Gusti winh ing kawula.
Terjemahan :
Bila tidak menggunakan sarana, bagaimana mungkin akan tercapai, bagai berburu
tanpa senjata, sesungguhnya Tuhan, tak hendak menolong, kepada orang yang tak
berusaha, tanpa melaksanakan ibadah, minta dikabulkan maunya, mana ada Tuhan
akan mengabulkan.

Sementara itu dalam konteks budaya, upacara biasanya berupa aktivitas-aktivitas dan
tindakan-tindakan dalam melaksanakan kebaktian kepada Tuhan, Dewa-dewa, roh nenek
moyang, serta makhluk gaib lainnya. Keseluruhan dari unsur upacara tersebut merupakan
simbol atau pralambang untuk mengadakan komunikasi atau kontak batin yang hanya bisa
dirasakan melalui proses mistik.
87

Bagi masyarakat Jawa, upacara mempunyai peranan yang penting dalam proses
kehidupan. Hal ini dikarenakan dalam upacara terkandung banyak isyarat mengenai
kesinambungan kultus dengan ciri-ciri yang khas. Kultus yang dimaksudkan di sini

87
Koentjaraningrat. 1970. Kebudayaan Jawa. Jakarta : Balai Pustaka. hal. 43

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 35

mengakui ranah sakral yang dekat dengan dongeng, sejarah lokal dan pengalaman pribadi
atau yang bersifat spiritual. Kultus juga memberikan nuansa kontinuitas. Walaupun kultus
dihargai secara lokal, masyarakat Jawa tetap menganggap hal tersebut sebagai suatu
identitas regional yang secara umum berlaku di tanah Jawa dan diakui oleh mereka yang
mengakui dirinya sebagai orang Jawa
88
.
Dalam perspektif orang Jawa, seseorang mencapai kebenaran universal bukan karena
memperoleh pengetahuan dari luar atau pengetahuan yang didapat dari orang lain. Namun
mereka mendapatkan kebenaran universal itu dengan melihat ke dalam dengan cara
mempertautkan symbol dari luar dengan realitas internal. Ketika mereka sudah dapat
mencapai kondisi ini maka kultus sebagai nilai dari ritual tersebut akan didapatkanya.
Sesungguhnya apapun hakikat filosofis dari kultus dan hubungannya dengan
perangkat gagasan mengenai Jawa secara lebih luas, ada prinsip yang memliki tingkatan
lebih sederhana. Meskipun kultus ritual itu bersifat konservatif dan sangat sederhana,
dalam kenyataannya ritual yang dilakukan oleh masyarakat Jawa juga terjalin erat dengan
kebutuhan kontemporer, seperti : keberhasilan di sekolah, pemilihan kepala desa, panen
dan kesejahteraan masyarakat. Selain itu ritual bagi masyarakat Jawa juga dapat
mengembangkan harmoni dengan pola-pola sosialitas yang ada dalam kehidupan sehari-
hari. Hal ini sudah terpaut dalam suatu pandangan hidup masyarakat Jawa secara
keseluruhan. Sehingga untuk memisahkan Jawa dari kultus ritual itu sendiri rasanya sangat
sulit
89
.
Dalam pada itu, masyarakat Jawa selalu mengenal istilah anyang, yang, kanjng
ratu, mbah, pukulun, paduka, ppundhn dan masih banyak lagi istilah-istilah lain. Istilah-
istilah tersebut sebenarnya lebih menjurus pada sesuatu hal atau orang yang sangat
dihormati oleh para penduduk di mana tradisi itu dikenal
90
. Istilah anyang merupakan
bentuk pendek dari kata ang hyang (yang dipuja dan dihormati sebagai dewa atau dewi)
91
.
Kata yang juga berasal dari kata hyang. Kata kanjng ratu merupakan bentuk
penghormatan kepada penguasa wilayah tertentu. Kata mbah merupakan panggilan untuk
orang yang sudah tua. Pukulun atau pakulun berasal dari kata ahulun yang berarti raja, tuan
penguasa atau dewa.
92
Paduka adalah sebutan kehormatan kepada orang-orang yang mulia
(pembesar, bangsawan, raja)
93
. Pepunden adalah sesuatu yang dianggap sebagai cikal bakal
dari suatu wilayah dan karenanya sangat dihormati
94
.
Perlu diluruskan bahwa istilah-istilah tersebut bukan menjurus pada sesuatu yang
negatif, mengingat dalam masyarakat Jawa modern seperti saat ini kata-kata tersebut sering
dikonotasikan sebagai sesuatu yang ada kaitannya dengan pemujaan setan, jin dan makhluk
halus lainnya. Justru sebaliknya istilah-istilah itu merupakan penghormatan untuk para
dewata yang menguasai dan melindungi atau mbahureksa (penunggu) suatu wilayah. Kata

88
Andrew Beatty. op.cit. hal. 154
89
Ibid. hal. 155
90
Koentjaraningrat. 1970. op.cit. hal. 110
91
P.J. Zoetmulder. 2006. op.cit. hal. 373.
92
Ibid.hal.368.
93
Tim Penyusun. 2005.Op.Cit. hal.810.
94
Ibid. hal.907.

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 36

"mbahureksa" ini berasal dari kata Sanskerta "N (bhurak)" yang berarti "pelindung
lengan".
95
Pada jaman dahulu yang dimaksudkan sebagai pelindung lengan adalah gelang
yang dipakaikan pada lengan seseorang. Jika gelang berbentuk mengelilingi lengan
seseorang maka yang mbahurksa pun juga mengelilingi suatu wilayah dengan tujuan
untuk melindungi wilayah tersebut dari semua mara bahaya yang mengancam.

Gambar 4. Salah satu sesaji untuk Sing Bahurksa

Masyarakat Jawa pada umumnya masih menggunakan syair pujaan (ujub-ujub) yang
ditujukan kepada para dhanyang atau sang bahurksa dalam upacara tradisional Jawa yang
dikenal sebagai gurn atau keuri. Dari segi etimologi, kata "kuri" ini merupakan
gabungan dari kata Sanskerta "kua"
96
yang berarti "bejana berbentuk mangkuk, api
korban, atau agni hotra" dan kata Jawa Kuno "uri atau wuri" yang berarti "belakang,
sesuatu yang ditinggalkan, sisa"
97
.
Gabungan kata "kua" dan "uri" akan membentuk kata "kuori" yang dalam
bahasa Jawa Baru disebut sebagai "kori" atau "keuri". Dari penjelasan ini maka kata
"keuri" dapat diartikan sebagai "sesuatu yang disisakan dari upacara korban (yaja)".
Sisa upacara yaja ini dikenal sebagai prasadam yang biasanya berupa makanan dan untuk
dimakan bersama-sama antar umat yang mengikuti upacara tersebut. Hal ini nampaknya
juga dilakukan pada upacara kenduri masa kini di mana setelah selesai upacara maka akan
diikuti dengan makan bersama (kmbul bojana andrawina).


95
P.J. Zoetmulder. 2006. op.cit. hal. 96
96
Ini dengan dasar bahwa kata Sanskerta "kuali" menjadi kata Jawa Baru "keali". Dengan demikian
kata Sanskerta "kua" pun akan menjadi kata "ka" dalam bahasa Jawa Baru. Lihat Zoetmulder. 2006.
op.cit . hal.536.
97
Ibid. hal. 1348;1474

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 37

Dalam upacara yaja kua sebagaimana disebutkan di atas, biasanya manggala
(pemimpin) upacara akan menguncarkan sebagian mantra-mantra atau puisi-puisi dalam
Weda (dalam bahasa Sanskerta disebut juga sebagai "kaa"
98
) dan disertai dengan suku
kata suci yang disebut "hr"
99
. Jika berpijak pada tradisi ini maka dapat dipastikan bahwa
upacara knduri pada zaman dahulu dilaksanakan dengan pembacaan sebagian mantra-
mantra suci Weda (ka) dan suku kata suci (hr) agar mendapatkan perlindungan dari
Sang Hyang Hari (Wiu) sebagai Pelindung Alam Semesta.
Namun tak bisa dipungkuri ketika Majapahit runtuh setelah terdesak bahkan
dihancurkan oleh kekuasaan Islam, maka tradisi ritual-ritual Hindu banyak yang dikemas
dalam dibungkus dengan nilai-nilai Islami. Mantra-mantra suci yang dahulunya diambilkan
dari Weda diganti dengan doa-doa Islam dari Al-Quran yang berbahasa Arab. Bahkan
Iadewata dan leluhur yang menjadi kiblat dari mantra-mantra itu dirubah menjadi
malaikat-malaikat dan nabi-nabi yang sebenarnya salah sasaran. Tetapi karena pemahaman
masyarakat Jawa yang masih kurang waktu itu akhirnya mantra-mantra yang kini diganti
dengan penggunaan ujub-ujub tersebut menjadi salah kaprah. Tetapi memang itulah
keahlian para Wali Songo terutama Sunan Kalijaga yang banyak mengemas budaya Hindu
Jawa kala itu menjadi dengan casing Islami. Sehingga banyak yang mengira bahwa
upacara kenduri tersebut merupakan tradisi Jawa - Islam, padahal asumsi ini salah besar
mengingat dalam tradisi Islam di Arab tidak dikenal sajn-sajn sebagaimana yang
dihaturkan pada saat upacara knduri.
Dalam tradisi religi Jawa yang dikenal saat ini hampir semua ritual adat Jawa
diakhiri dengan ritual atau pesta knduri (kmbul bojana andra wina atau makan bersama).
Dalam ritual knduri tersebut, ssajn upacara setelah dihaturkan melalui ujub-ujub oleh
sspuh yang ditunjuk sang tuan rumah akan dibagikan kepada para undangan yang hadir
agar dimakan bersama
100
.
Terkait dengan momen pelaksanaan upacara tradisional tersebut, masyarakat Jawa
memandang bahwa tahapan-tahapan perkembangan setiap manusia Jawa sejak sebelum
mereka dilahirkan atau masih ada dalam kandungan hingga setelah meninggal dunia (pasca
kematiannya) memerlukan.
Kebanyakan dari mereka percaya bahwa upacara tradisional Jawa yang mereka
laksanakan juga bermula dari tradisi Hindu di masa lampau. Oleh karena itu dari segi ritus
yang dilaksanakan oleh umat Hindu di Jawa, tata cara Hindu di sini bermozaik dengan
tradisi Jawa yang diyakininya. Tradisi Jawa yang mereka lakukan tidak membuat
keyakinan akan ritual Hindu pudar. Atau sebaliknya ritual Hindu yang diajarkan dalam
ajaran agamanya tidak menghilangkan tradisinya. Kedua jenis ritus yang mereka lakukan
justru membangun khasanah budaya religius di Jawa.

98
Ibid. hal. 452-453.
99
Ibid. hal.365.
100
Kini tradisi makan bersama (kmbul bojana andrawina) ini hanya menjadi syarat atau formalitas saja
bahkan terkesan sudah mulai luntur, karena sebagian besar masyarakat Jawa yang melaksanakan ritual
knduri tersebut biasanya langsung membungkus prasadam tersebut dan membawanya pulang. Bahkan
karena ingin terlihat praktis, nasi yang seharusnya diwujudkan dalam bentuk tumpeng (skul suci) dan
masakan daging ayam yang seharusnya diwujudkan ingkung (ulam sari) sudah dicampur dan dibungkus
sedemikian rupa sehingga jauh dari kesan sakral.

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 38

Sebut saja jenis-jenis ritual yang dilaksanakan di Jawa tentu mereka akan diingatkan
kepada konsep dan jenis upacara-upacara Hindu yang ditulis dalam sastra dan susastra
Weda. Adapun upacara-upacara yang dimaksud adalah
101
:
Upacara pada saat kehamilan mulai dari kehamilan bulan kedua.
Upacara ngupati yang dilaksanakan pada saat kehamilan usia empat bulan.
Upacara piton-piton atau tingkeban yang dilaksanakan untuk kehamilan memasuki
bulan ketujuh. Di Bali upacara ini juga dikenal dengan istilah magong-gongan.
Upacara pada saat kehamilan memasuki bulan kesembilan menjelang bayi lahir.
Upacara mndhm ari-ari yang dilaksanakan sesaat setelah bayi lahir dan upacara
brokohan yang juga diadakan untuk menyambut kelahiran si jabang bayi.
Upacara spasaran yang dilaksanakan ketika bayi sudah berumur 5 hari (satu
pasaran).
Upacara puputan atau kpus pusr yang dilaksanakan ketika pusar bayi telah puput,
artinya sudah kering, terlepas, atau sudah normal.
Upacara slapanan yang dilaksanakan ketika bayi berumur slapan atau 35 hari.
Upacara tdhak sitn yaitu upacara untuk seorang bayi ketika mulai diperbolehkan
untuk turun ke tanah. Upacara ini biasanya dilaksanakan setelah bayi berumur 7 lapan
yaitu 7 bulan Jawa atau 210 hari. Di Bali upacara ini dikenal sebagai upacara tuwun
tanah dan dilaksanakan ketika bayi sudah memasuki usia 1 oton.
Upacara tetesan yang dilaksanakan khusus untuk anak laki-laki yang sudah berumur 1
windu.
Upacara anggarap sari yang dilaksanakan khusus untuk anak perempuan ketika
mengalami haid untuk yang pertama kalinya.
Upacara ttakan yang dilaksanakan ketika anak sudah berumur 13-15 tahun atau
menginjak masa remaja.
Upacara amiwaha atau mantn (kawin) yang dilaksanakan ketika seorang Jawa sudah
siap untuk berkeluarga.
Lalu untuk yang terakhir kalinya adalah upacara kematian yang juga mempunyai
urutan-urutan khusus seperti : geblak atau surtanah (hari kematiannya), yang kemudian
diteruskan upacara nlungdinan (3 hari setelah kematian seseorang), pitungdinan (7
hari), patangpuluh dinan (40 hari), nyatus (100 hari), mndhak pisan (1 tahun setelah
kematian seseorang), mndhak pindho (2 tahun setelah kematian seseorang), nywu
(1000 hari setelah kematian seseorang). Baru kemudian nguwis-uwisi dan atau
pngling-ling, selamatan untuk arwah seseorang
102
.

Jika dibandingkan dengan sistem upacara dalam tradisi Hindu sebagaimana yang
dimuat dalam Manusmerti, maka akan dapat ditemukan titik temu antara keduanya. Dalam
Manusmerti disebutkan bahwa umat Hindu harus melakukan upacara-upacara penyucian
diri (saskara) yang berjumlah 52. Dari tahapan-tahapan itu yang terkait dengan

101
Bratawidjaja. 1996. Upacara Tradisional Masyarakat Jawa. Jakarta:Sinar Harapan. hal.11-20.
102
Koentjaraningrat. 1970. Op.Cit.hal. 341

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 39

pelaksanaan ritual di Jawa antara lain:
103

Sebelum kelahiran bayi dikenal beberapa upacara seperti : Garbhdhna (kehamilan
pertama), Pusawana (3 bulan) dan Simantonnayana (7 bulan).
Setelah bayi lahir dilaksanakan upacara Jtakarma (bayi lahir), Prangnabhi (kpus
pusr), Nmakaraa (pemberian nama, biasanya dilakukan pada hari ke-10 atau ke-
12), Nikramana (biasanya dilaksanakan setelah bayi berumur tiga bulan dan sekaligus
sebagai tanda diperbolehkannya sang bayi keluar rumah), Annaprana (upacara yang
dilakukan ketika bayi boleh turun tanah untuk yang pertama kali, biasanya dilakukan
setelah bayi berumur 7 bulan), Cdkaraa (Potong rambut/Spasar pertama dan
kedua pada tahun ke-1, ke-5 atau ke-7), Upanayana (upacara pada anak ketika anak
mulai bersekolah belajar), Samwartana (penyelesaian studi di sekolahnya).
Kemudian ketika anak menginjak dewasa akan dilaksanakan upacara Rajawala
(upacara bagi anak perempuan ketika sudah mengalami haid untuk yang pertama kali,
sedangkan bagi anak laki-laki disebut sebagai Rajasiha), baru Wiwaha (upacara
perkawinan).
Selain upacara-upacara yang telah disebutkan di atas ada upacara-upacara khusus
yang juga perlu dilaksanakan oleh manusia Jawa, misalnya Ruwatan yang bagi masyarakat
Jawa sejak beberapa tahun yang lalu sampai sekarang masih terdapat kepercayaan, bahwa
anak atau orang yang termasuk sukrta atau skrta jika tidak diruwat akan mendapat
malapetaka yang menggambarkan kesengsaraaan, penderitaan, bahkan merupakan bahaya
hidup yang besar dan berat. Karena dalam sebagian kepercayan masyarakat Jawa, yang
termasuk anak atau orang sekreta adalah mereka yang menjadi catu atau makanan Batara
Kala. Untuk itu, ia harus diruwat oleh seorang dalang yang disebut sebagai Ki Dalang
Kandha Buwana
104
.
Pada jaman kerajaan Majapahit hal ini terbukti dari beberapa candi-candi yang
didirikan pada jaman tersebut yang hingga sekarang dapat dijumpai, yang peninggalan
tersebut, pada dinding candi terdapat relief-relief Suda Mala. Misalnya pada Candi Sukuh
yaitu sebuah candi yang terdapat di Jawa Tengah dan relief-relief pada candi Pagal Wangi
di Kediri, Jawa Timur. Pada jaman itu Ruwatan dilaksanakan oleh orang sakti bahkan
kadang-kadang oleh raja sendiri. Upacara Ruwatan tersebut juga dianggap sangat keramat
sekali, dan hingga sekarang pun keyakinan akan kesakralan terhadap tradisi Ruwatan
tersebut tetap diakui oleh sebagian besar masyarakat Jawa.
2. Spiritual Jawa
Di samping ritual sebagaimana disebutkan di atas, masyarakat Jawa juga mengenal
spiritual Jawa yang lebih menjurus pada olah kebatinan. Jika ritual Jawa lebih mengarah
pada tradisi-tradisi upacara maka spiritual Jawa akan menekankan pada aspek yogcara.
Kata upacara sebagaimana disebutkan di atas berarti bergerak mendekat. Sementara itu
kata yoga berasal dari kata Sanskerta "yuj ()" yang berarti "menghubungkan".
Hubungan ini terkait dengan hubungan antara manusia dengan Sang Diri sebagai penuntun

103
Gede Pudja dan Tjokorda Rai Sudharta.Op.Cit. hal. 67-80
104
Dalam kepercayaan umat Hindu di Bali upacara tersebut dilaksanakan oleh seorang Mangku Dalang yang
disebut Sapuh Lgr atau Mpu Lgr. Lihat Lontar Kala Pura.

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 40

dari masing-masing jiwa. Yoga sendiri merupakan cara penyatuan kesadaran unit yang ada
pada diri manusia dan kesadaran kosmik sebagai kesadaran yang lebih tinggi dan universal
Sebagaimana kata upacara dan yogcara yang memiliki makna hampir sama, maka
pada hakikatnya kata ritual dan spiritual Jawa juga memiliki makna yang sama yakni
sama-sama untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Hanya saja perbedaannya terletak pada
cara pendekatannya. Dalam ritual Jawa banten atau sesajinya diwujudkan dan
"dihidupkan" dari luar. Sementara itu dalam spiritual Jawa "sesajinya" diwujudkan dan
"dihidupkan" dari dalam diri manusianya sendiri.
Sebenarnya dalam pelaksanaannya kedua cara ini harus seiring dan sejalan. Karena
untuk "menghidupkan" sesaji yang berada di luar dibutuhkan kekuatan batin dari dalam
diri manusia yang melaksanakan ritual tersebut. Jika diibaratkan sebuah lampu, maka
lampu yang menyala itu adalah sesaji ritualnya sementara energi listrik yang membuat
lampu menjadi menyala itu adalah olah batin spiritualnya.
Oleh karenanya seharusnya sebelum melaksanakan kegiatan ritualnya, manusia Jawa
perlu melaksanakan olah batin terlebih dahulu. Sehingga hasil yang dipetik nantinya tidak
hanya kesucian makro kosmos tetapi juga mikrokosmos. Hal inilah yang telah
dilaksanakan oleh para leluhur Jawa pada masa lampau.
Dalam pandangan masyarakat Jawa olah batin spiritual yang dilaksanakannya akan
berhasil jika mereka melaksanakan tataran-tataran laku spiritual seperti tapa brata, tarak
brata, pasa, samadhi dan sebagainya. Kata 'tapa' dikenal luas di kalangan orang Jawa dan
memainkan peranan yang penting dalam literatur. Biasanya "tapa" diterjemahkan dalam
bahasa asing menjadi "ascese". Sumber aslinya berupa kata Sanskerta "tapas (F)" yang
berarti "panas". Dengan demikian kata tapa bertalian dengan pemanasan sampai luluh oleh
kekuatan batin.
Seperti halnya dengan unsur-unsur lain dari kebudayaan di Jawa, tradisi tapa dalam
masyarakat Jawa banyak dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Hindu dan Buddha. Sebelum itu
mereka hanya mengenal kepercayaan kepada roh-roh halus (animisme) dan benda-benda
yang dianggap memiliki kekuatan gaib (dinamisme). Tetapi setelah kebudayaan Hindu dari
India mewarnai masyarakat Jawa maka tradisi tapa, brata, yoga dan samadhi sebagaimana
yang banyak dilakukan oleh para Ri menjadi sebuah tradisi spiritual Jawa sebagaimana
yang dikenal pada masa kini.
Orang Jawa menafsirkan tapa itu sebagai laku atau perbuatan menahan makan,
minum dan tidur (nygah ahar, ngunjuk lawan nndra). Selain itu tapa menurut orang
Jawa dapat juga berarti membebaskan tugas segala indera yang disebut pula menyumbat 9
lubang-lubang tubuh (nutup babahan hawa sanga) serta melepaskan diri dari segala nafsu
atau yang dikenal sebagai minta raga. Kata "minta raga" ini sebenarnya bersumber dari
konsep wita raga sebagaimana disebutkan dalam Bhagawad Gt IV.10 sebagai berikut:
H' l
NH F H ll
wta rga bhaya krodh manmay mm uprita,
bahawo jna tapas put madbhwam gat


Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 41

Terjemahan:
Terbebas dari hawa nafsu, takut dan benci, bersatu dan berlindung pada-Ku
dibersihkan oleh budi pekerti, banyak yang telah mencapai diri-Ku.
105


Dari sloka tersebut dapat diketahui bahwa untuk memasuki kehidupan abadi dan
bersatu dengan Brahman, tiadalah sesuatu yang amat sukar atau paling istimewa, asalkan
seseorang dapat membebaskan dirinya dari ketiga musuh dalam hidup ini yaitu hawa
nafsu, rasa takut dan amarah (wta raga bhaya krodha). Dan jalan untuk itu tiada lain
adalah jnana tapasa. Hal inilah yang dilakukan oleh Arjuna ketika ia ingin mendapatkan
senjata sakti dari para Dewa dan melakukan perjalanan suci ke swarga loka. Dalam Srat
Minta Raga (Arjuna Wiwaha) III.7 (tembang ananggula) disebutkan sebagai berikut:
hamung ana risang mahaykti,
mintarga anng jroning guwa,
msu budi pakaryane,
atngkn mring pankung,
mlng ing tyas yoga smdi,
annggih jroning guwa,
katon abra murub,
jumnng gng prabanira,
sang harjuna pratingkahira smdi,
dnira minta rga.
Terjemahan:
Hanya ada seorang yang tekun bertapa mengendalikan nafsu angkara yang ada di
dalam gua, yang berupaya mengendalikan pikirannya, supaya menjadi seorang
pertapa, semakin teranglah hatinya ketika beryoga samadi, ialah yang ada dalam gua,

105
I Wayan Maswinara. 2008. Op.Cit. hal.225-226.

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 42

tampak cahaya bersinar terang, menyilaukan sekali sinarnya, (karena pengaruh) Sang
Arjuna yang sedang bersamadi, dengan itu ia mengendalikan nafsu.
106


Orang Jawa percaya, bahwa tapa itu merupakan sumber dari kekuatan jasmani dan
rohani pengembang segala kemampuan yang ada pada manusia. Kemajuan masyarakat,
kelebihan atas orang-orang lain, penguasaan atas dunia Jawa (ngasta pusaraning praja)
tetapi juga kesatuan mistik dari 'kawula' dengan "Gusti" (penyatuan hamba dengan
Tuhannya) haruslah dicapai melalui jalan bertapa.
Tapabrata dianggap oleh para penganut "agami Jawa" sebagai suatu hal yang sangat
penting. Secara historis konsep tapa atau tapabrata yang dikenal oleh orang Jawa sekarang
diambil langsung dari konsep Hindu tapas sebagaimana disebutkan di muka. Selama
berabad-abad para pertapa dianggap sebagai orang keramat, dan anggapan bahwa dengan
menjalankan kehidupan yang ketat dengan disiplin tinggi, serta mampu menahan hawa
nafsu, orang dapat mencapai tujuan-tujuan yang sangat penting. Dalam cerita-
cerita wayang kita sering dapat menjumpai adanya tokoh pahlawan yang menjalankan
tapa.
Orang jawa mengenal berbagai macam cara bertapa (manekung). Adapun cara-cara
dahulu sering dilakukan oleh manusia Jawa antara lain: (1) tapa ngalong (dengan
bergantung terbalik, dengan kedua kaki diikat pada dahan sebuah pohon); (2) tapa nguwat
(bersamadi disamping makam nenek moyang anggota keluarga, atau orang keramat, untuk
suatu jangka waktu tertentu); (3) tapa bisu, dengan menahan diri untuk tidak berbicara,
cara bertapa semacam ini biasanya didahului oleh suatu janji; (4) tapa bolot (yaitu tidak
dan tidak membersihkan diri selama jangka waktu tertentu); (5) tapa ngidang (dengan
jalan menyingkir sendiri ke dalam hutan), (6) tapa ngramban (dengan menyendiri di dalam
hutan dan hanya makan tumbuh-tumbuhan); (7) tapa ngambang (dengan jalan merendam
diri di tengah sungai selama beberapa waktu yang sudah ditentukan); (8) tapa ngli (adalah
cara bersamadi dengan membiarkan diri dihanyutkan arus air di atas sebuah rakit); (9) tapa
tilem (dengan cara tidur untuk suatu jangka waktu tertentu tanpa makan apa-apa); (10)tapa
mutih (yaitu hanya makan nasi saja, tanpa lauk pauk); dan (11) tapa mangan (dilakukan
dengan jalan tidak tidur, tetapi boleh makan).
Ketiga jenis tapa yang tersebut terakhir, sebenarnya juga dilakukan oleh orang-orang
yang hanya menjalankan tirakat aja, oleh karena itu batas antara tirakat dan tapabrata itu
tidak begitu jelas. Walaupun demikian bahwa kita harus memperhatikan bahwa ke 11 jenis
tapabrata itu jarang dilakukan secara terpisah, semua biasanya dijalankan dengan tata urut
tersendiri, atau dilakukan dengan cara menggabung-gabungkan. Selain itu tapa semacam
itu mirip dengan tapa orang-orang Hindu pada masa lalu, sehingga dengan demikian ada
suatu perbedaan fungsional antara tirakat dan tapabrata.
Namun sering terjadi bahwa orang melakukan tapabrata bersamaan dengan samadi,
dengan maksud untuk memperoleh wahyu atau pun ingin mencapai kesempurnaan hidup.
Akhirnya perlu disebutkan bahwa menurut orang Jawa tapa merupakan salah satu cara
penting dan utama untuk bersatu dengan Tuhan. Hal ini sebagaimana dipesankan oleh

106
Resi Kano. 1979. Mintaraga Arjuna Wiwana. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. hal.47.

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 43

KGPAA Mangkunegara IV dalam Srat Wedatama I.13-14 (tembang Pangkur) berikut ini:
Tan samar pamoring sukma
Sinukmaya winahya ing ngaspi
Sinimpn tlnging kalbu
Pambukaning warana
Tarln saking liyp layaping ngaluyup
Pindha psating supna
Sumusuping rasa jati
Terjemahan:
Tidak khilaf akan gaibnya jiwa yang tersimpan dalam hatinya, yang akan memancar
pada saat-saat sunyi sepi, terbukanya tabir penghalang yang selama itu menutupinya,
ialah ketika mata terbuka dan berkejab, ketika ingatan antara sadar dan tidak, seolah
mimpi tapi tidak sedang tidur, saat itulah datangnya 'rasa jati' merasuk dalam hati.
Sajatin kang mangkana,
Wus kaknan nugrahaning Hyang Widhi,
Bali alaming asuwung,
Tan karm karamyan,
Ingkang sipat wissa-winissa wus,
Mulih mula-mulanira,

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 44

Mulan wong anom sami.
Terjemahan:
Sesungguhnya orang yang dalam tingkatan demikian itu, ialah bahwa tanda (Rasa
telah manunggal dengan Tuhan) ia mendapatkan anugrah Hyang Widdhi (Tuhan),
kembali ke alam 'sunia (kosong)', ketika sudah padam semua luapan nafsu (jernih
budinya), tidak menguasai (angkara) maupun dikuasai (nafsu), kembali ke asal
mulanya. Demikianlah, wahai anak muda.

Berpijak pada uraian tersebut maka tapa sendiri dalam perspektif orang Jawa dapat
memiliki dua maksud atau tujuan. Pertama, tujuan tapa dapat bersifat rohani. Orang
menginginkan kelepasan dari dunia yang tanpa guna ini. Orang mencita-citakan "pamoring
kawula lan Gusti" kesatuan mistik antara hamba dan Tuhannya, leburnya mahkluk dalam
penciptanya, mikro-kosmos dalam makro-kosmos (bhuwana alit lan bhuwana agung atau
jagad cilik lan jagad gd).
Cita-cita tadi dapat pula diformulasikan lain. Orang mencita-citakan "identifikasi
diri". Orang ingin memecahkan problem "sangkan paraning dumadi" (hal dari mana dan
ke mananya hidup manusia). Dengan melakukan tapa dan pemusatan batin, orang
merasakan dirinya sebagai bagian dari Tuhan yang menjadi asalnya, tempat ia meleburkan
diri sebagai suatu nyala ke dalam api besar.
Kedua, melalui tapa orang ingin memperoleh 'kasktn' yakni kekuatan yang tidak
tertaklukkan. Pada kenyataannya, ini merupakan cita-cita ke arah kekuasaan. Secara
idealistis ini termasuk cita-cita "perbaikan dunia dan kebahagiaan manusia" seperti yang
dicerminkan dalam kisah Arjuna Wiwaha. Alasan Arjuna bertapa adalah untuk
mendapatkan senjata-senjata sakti guna mempersiapkan dan memenangkan perang besar
yang bakal terjadi. Keinginan ini menuju ke kekuasaan, untuk menaklukkan dunia demi
tercapainya keadilan dan kemakmuran.
Yang pertama tadi lebih merupakan tapa suci layaknya diamalkan oleh para ri,
brahmana atau pun pandita. Sedangkan yang kedua tapa lebih merupakan tapa sakti.
Pemisahan ini di tanah Jawa sebenarnya hanya relatif saja sifatnya. Bagaimanapun, orang
ingin menuju kepada persatuan kawula dengan Gusti, juga kekuatan gaib, yang akan
diperoleh jika mikrokosmos lebur di dalam makro-kosmos. Dalam keadaan seperti itu
segala kekuatan yang tunduk kepada Tuhan juga tunduk kepada hamba yang sementara
itu telah mencapai kesempurnaannya dan menjadi sama dengan Tuhannya. Maklum yang
sempurna seperti itulah dikatakan orang bahwa ia 'skti mandraguna, ora tedas tapak
paluning pand, tinumbak mndat, jinara mntr (benar-benar sakti, kebal terhadap segala
senjata buatan pandai besi, kebal terhadap tusukan bur)'.
Apapun bentuk tapa itu pada hakikatnya adalah jalan untuk menuju Tuhan. Menurut
Hindu ada banyak alasan orang memuja Tuhannya. Hal senada juga disebutkan dalam
Bhagawad Gita VII.16 berikut:
=H' Fd ' l
F~~ = 9 ll
catur vidh bhajante m jan suktino rjuna,
rto jijsur arthrthi jn ca bharatarabh

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 45

Terjemahan:
Ada 4 macam orang bajik yang memuja-Ku, yaitu mereka yang sengsara, yang
mencari pengetahuan, yang mencari pengetahuan, yang mencari kekayaan dan orang
bijaksana, wahai Bharatarabha.

Dari keempat jenis orang yang memuja Tuhan tersebut maka kelompok orang
bijaksana adalah kelompok yang mulia. Karena mereka melakukan pemujaan kepada
Tuhan tanpa menginginkan apa-apa. Mereka tidak menginginkan kekayaan atau pun
kesaktian. Mereka memuja Tuhan juga bukan karena alasan kesengsaraan semata. Tetapi
mereka memuja Tuhan adalah karena sebuah kesadaran dan tujuannya hanyalah ingin
menyatu dengan-Nya (manunggaling kawula lan gusti). Inilah yang banyak dilakukan oleh
orang-orang pada zaman dahulu sehingga mereka pun bisa mencapai kesempurnaan hidup
dan mati dengan sempurna (kasampurnaning urip lan kasampurnaning pati).
Nampaknya kata dan pengertian tapa di lingkungan masyarakat Jawa dahulu lebih
penting peranannya daripada sekarang. Pada masa kini sudah tak ada lagi tokoh ajar, wiku,
pandita atau brahmana yang dengan sebenarnya melakukan hidup bertapa. Meskipun
demikian lenyapnya tokoh ajar tak menghilangkan pengertian dan kepercayaan akan tapa
sebagai sarana pengembangan kesadaran diri. Mereka masih percaya akan kekuatan
dahsyat dari konsentrasi batin, yang kini dilaksanakan dalam bentuk-bentuk lain dari yang
dulu, misalnya melakukan 'mutih' (makan nasi tanpa garam dan lauk-pauk), 'pasa Senen
Kemis' (berpuasa khusus hari Senin dan Kamis), 'nritis' (tidur di bawah atap pinggir
rumah), dan masih banyak lagi bentuk-bentuk tapa lainnya.
Bertahannya gagasan tapa ini disebabkan oleh pelbagai faktor. Terutama pengaruh
permainan wayang yang menurut anggapan Jawa merupakan sesuatu yang lebih dari
permainan murni. Tiap lakon wayang bagi orang Jawa yang melatih mistik merupakan
suatu lambang jalannya samadi yang sempurna.

B. KAWRUH JAWA
Kata "kawruh" berasal dari kata Jawa Kuna "wruh" yang artinya "tahu, mengetahui,
menyelidiki, mengamati, memperhatikan, mengerti, mengawasi, menguasai, menyadari,
berpengalaman, tahu akan bagaimana yang harus dilakukan"
107
. Dari kata kerja ini
kemudian menjadi kata benda "kawruh" yang diartikan sebagai " ilmu atau apa yang
diketahui, pengetahuan"
108
.
Kawruh Jawa adalah ilmu atau pengetahuan yang dikenal oleh orang Jawa sebagai
suatu hasil pengamatan, pemahaman, penguasaan, penyadaran dan pengalaman mereka
dalam hidupnya. Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa pengetahuan merupakan salah satu
unsur kebudayaan asli, maka kawruh Jawa ini sesungguhnya juga merupakan unsur
kebudayaan asli yang dimiliki oleh orang Jawa.
Kawruh atau pengetahuan ini erat sekali dengan proses penalaran yang selalu dialami
oleh manusia. Proses penalaran itu sendiri terjadi setelah otak manusia menerima informasi
yang berasal dari gejala-gejala yang ditangkap oleh panca indranya. Dari proses penalaran

107
P.J.Zoetmulder.2006.Op.Cit. hal.1463.
108
Ibid.hal.1464.

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 46

ini maka manusia akan berusaha untuk menyelidiki, mengamati dan memahami gejala-
gejala tersebut untuk kemudian akan memberikan responnya.
Dalam kajian filsafat proses penalaran ini dikaitkan dengan epistemologi. Kata ini
berasal dari kata Yunani "episteme" yang berarti "pengetahuan" dan "logos" yang dapat
diartikan sebagai "teori"
109
. Epistemologi berarti teori tentang ilmu pengetahuan. Runes
mendefinisikan epistemologi sebagai, "the branch of philosophy which investigates the
origin, structure, methods and validity of knowledge"
110
.
Dengan epistemologi ini, seseorang dapat mempelajari proses memperoleh
pengetahuan. Jika dalam pemikiran Barat, cara yang dikembangkan untuk memperoleh
pengetahuan dapat dilakukan melalui penalaran, akal, rasio, abstraksi ataupun intuisi, maka
Orang Jawa pun menggunakan cara-cara serupa untuk memperoleh pengetahuan. Hanya
saja di dalam masyarakat Jawa, proses tersebut berupa tahap-tahap penggunaan cipta, rasa
dan karsa melalui tingkat-tingkat kesadaran yang terbagi atas: kesadaran inderawi atau
Aku, kesadaran hening (manunggal dalam cipta-rasa-karsa), kesadaran pribadi (Ingsun,
Suksma Sjati) dan kesadaran Ilahi (manunggalnya Aku - Suksma Sjati Suksma
Kawkas).
Tahap penggunaan cipta-rasa-karsa dalam proses epistemologi pada filsafat Jawa
selanjutnya disebut "epistemologi Jawa" saja ini tampak dalam tradisi othak athik mathuk
(OAM) yang sering dilakukan oleh masyarakat Jawa untuk memahami makna suatu kata.
Suwardi Endraswara secara terperinci menjelaskan OAM sebagai berikut.
OAM bisa jadi berakar dari pengertian luas krta basa. Oleh karena ada yang
mengartikan krta basa, berasal dari kata krata artinya ngsi tmbung manut
ppiridaning wandan (memberi makna kata berdasarkan atas bunyi suku katanya).
Model demikian tidak lain jarwa dhosok (memaknakan kata dengan mendesak-
desakkan), memaksakan. Bahkan sekedar mempermainkan kata utamanya bunyi.
Cara ini memang terkesan spekulatif. Namun tetap berdalih, dan logis
111
.

Jika dikaji lebih jauh, krta basa merupakan perubahan bunyi dari kata Sanskerta
"kirt bha".
112
Wojowasito mengartikan kata "kirt" sebagai "seorang pemburu", dan
kata "bha" sebagai "kata atau bahasa"
113
. Jadi, "kirt bha" dapat diartikan sebagai
"pemburu (makna) bahasa atau kata".
Seorang pemburu pada jaman dahulu umumnya menggunakan sarana panah untuk
berburu. Dalam memanah sasaran, maka ia harus berkonsentrasi penuh terhadap buruan
yang dibidiknya. Kata "manah" sendiri sudah berarti "hati, pikiran dan perasaan"
114
. Secara
etimologis kata tersebut berasal dari akar kata Sankerta "man" yang dapat diartikan

109
Mohamad Noor Syam. 1984. Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila. Surabaya:
Usaha Nasional.hal.34.
110
Ibid. hal. 32
111
Suwardi Endraswara. op.cit. hal.22
112
Wojowasito. 1977. Kamus Kawi Indonesia. Bandung:Pengarang. hal. 49; 139.
113
Lihat Juga Zoetmulder. 1995. Kamus Jawa Kuna Indonesia, terj. Darusuprapta, dan Sumarti Suprayitna,
2 Jilid. Jakarta : Gramedia. hal. 112; 504
114
Wojowasito. op.cit. hal.165; Lihat Juga Zoetmulder. op.cit. hal. 640

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 47

"berpikir atau menduga"
115
. Jadi, pada hakekatnya seorang pemburu tidak hanya sekadar
lihai dalam merentangkan busur, tetapi ia juga harus pandai "merentangkan pikirannya"
dan menggunakannya untuk berkonsentrasi terhadap buruan agar anak panahnya tepat
mengenai sasaran. Di samping itu, ia juga harus berpengalaman terhadap medan dan
karakter buruannya.
Demikian juga untuk mencari atau memburu makna terdalam dari suatu kata pada
bahasa Jawa, OAM akan menyelaraskan olah rasa dengan penggunaan daya cipta sehingga
pengetahuan yang diperoleh tidak hanya melalui pendekatan nalar (a priori dalam
epistemologi Barat
116
) tetapi juga berorientasi pada pengalaman terutama dalam tataran
batin (a posteriori dalam istilah epistemologi Barat
117
). Hanya saja sebagaimana pendapat
Linus Suryadi AG, OAM ini hendaknya tidak terjebak pada "nglmu plsdan", yakni asal
othak athik gathik
118
.
Selain itu, epistemologi Jawa dapat pula dilihat dalam pola pikir orang Jawa yang
didasarkan pada nglmu titn dan prinsip cocog. Nglmu titn ini kadang kala harus
dibayar dengan laku atau nglakoni yang dapat berupa smdi, bertapa, mencegah hawa
nafsu dan tidur atau cgah dhahar lan guling
119
. Dalam Srat Wulangrh II.1 Sinuhun
Pakubuwono IV mengutarakannya dalam sebuah pupuh Kinani sebagai berikut:
Paa gulangn ing kalbu,
ing sasmita amrih lantip,
aja pijr mangan nndra,
kaprawiran dn kashi
psunn sariranira,
sudann ahar lan guling
Terjemahan:
Marilah kita berusaha melatih hati agar kita peka terhadap gejala dan pertanda,
janganlah terlalu asik dengan makan dan tidurmu, keberanian (untuk tirakat itu) harus
selalu diupayakan, kendalikanlah nafsu lahiriahmu, kurangilah makan dan tidurmu.

115
I Gede Semadi Astra. 1982. Kamus Kecil Sanskerta Indonesia. Denpasar : Pemerintah Daerah Tingkat I
Bali. hal. 165.
116
Lihat Harimurti Kridalaksana. 1982. Kamus Mini Kata-Kata Asing. Jakarta : Gramedia. hal. 14
117
Loc.Cit.
118
Suwardi Endraswara. op.cit. hal. 22
119
Sri Rahayu Wibowo. 2001. Falsafah dan Kawruh Jawa, Tersirat Keluhuran Budi dalam Aksara Jawa.
Solo:Aneka. hal. 39.

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 48

Menurut Sinuhun Paku Buwana IV, betah mlk (tahan akan kantuk atau jagra
dalam istilah Hindu) dan betah luw (tahan akan lapar) merupakan prasyarat utama untuk
melatih hati agar mencapai Sang Jati Diri. Dengan pencapaian terhadap Sang Diri tersebut
maka manusia akan dapat mencapai pengetahuan sejati. Hal ini sebagaimana diamanatkan
dalam Bhagawad Gt IV.38 sebagai berikut.
F" H HU l
FH FF{ d H" ll
na hi jnena sada pawitram iha widyate,
tat swaya yoga sasiddha klentmani windati.
Terjemahan:
Di dunia ini tak ada yang menyamai kemurnia kebijaksanaan. Mereka yang menjadi
sempurna melalui yoga, dalam perjalanan waktu akan menemukan Sang Diri dalam
dirinya sendiri.
120


Betah mlk yang dimaksudkan di sini bukan hanya sekedar berjaga (tidak tidur) dan
tidak menutup mata lahirnya saja tetapi lebih dari itu mata batinya juga harus dibuka. Mata
batin inilah yang akan mengantarkan manusia Jawa pada pengetahuan yang benar. Hal ini
sebagaimana disebutkan dalam Srat Cipta Waskita Pupuh II (Tembang Gambuh) bait 43
berikut:
dn kang cgah turu,
dudu mlking ntra satuhu,
iya ntra kang anng tlnging batin,
iku mlk sajgipun,
praptng sujalma yn layon.
Artinya :
Adapun yang mencegah tidur, bukan hanya terbukanya mata semata, adalah mata yang
berada di dalam batin, mata batin itulah yang harus terbuka selamanya, sampai akhir
hayatnya.

Mata batin tersebut memang menjadi sasaran utama dalam pencarian kawruh Jawa.
Tak ada gunanya mata kita terbuka lebar tetapi mata batin kita begitu rapat tertutup oleh
tirai hati yang menyelimuti Sang Diri. Oleh karena itulah dibutuhkan upaya nyata untuk
membuka tirai kalbu itu. Upaya dan tindakan nyata ini merupakan prasyarat utama untuk

120
I Wayan Maswinara. 2008. Hal.239

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 49

mendapatkan nglmu a la Jawa sebagaimana amanat KGPAA Mangkunegara IV dalam
karyanya "Srat Wdhatama III.1" (berbentuk tembang Pucung) yang berbunyi :
Nglmu iku klakon kanthi laku.
Lkas lawan kas.
Tgs kas nyantosani.
Stya budya pangksing dur angkara.
Terjemahan :
Ilmu itu dijalankan dengan perbuatan atau laku (tidak hanya diajarkan tetapi juga
dipraktekan). Dimulai dengan kemauan yang tulus (kesadaran). Kesadaran inilah
itulah yang akan menjadi kekuatan untuk menghancurkan keangkaramurkaan
121
.

Laku sebagaimana disebutkan di atas, sering diaplikasikan dalam bentuk perilaku
batin seperti tirakat atau thariqat, smdi atau pun mlk. Kesemuanya itu sesungguhnya
merupakan metode intuitif dalam epistemologi Jawa. Apabila dibandingkan dengan Tri
Prama dalam epistemologi filsafat Hindu, laku itu sepadan dengan Pratyaka Prama
(pengamatan langsung secara intuitif atau melalui proses pengalaman batin).

C. BAHASA DAN SASTRA JAWA
Sebagaimana telah disebutkan di atas, secara antropologis 'suku Jawa' adalah mereka
yang bertempat tinggal di daerah Jawa Tengah atau Jawa Timur. Orang-orang yang tinggal
di wilayah Jawa Barat dikatakan sebagai suku Sunda dan sebagian kecil suku Betawi di
wilayah Jakarta. Akan tetapi secara geografis, penutur Bahasa Jawa tersebar hampir di
seluruh Pulau Jawa. Bahkan dewasa ini pemakaian Bahasa Jawa juga ditemukan di
Propinsi lain di Indonesia yang ada pemukiman orang Jawa, misalnya di DKI Jakarta, di
Lampung, Sumatra, Kalimantan, Bali, Papua dan juga di luar Indonesia misalnya di
Suriname
122
. Hal ini menunjukkan bahwa Bahasa Jawa memiliki area pemakaian yang
sangat luas dan penutur yang sangat besar di samping sejarah yang amat panjang.
Sejarah perkembangan bahasa Jawa yang amat panjang juga terbawa ke dalam ranah
kesusasteraan Jawa. Ada beberapa pendapat terkait pembagian periodisasi kesusasteraan
Jawa. Pendapat pertama disampaikan oleh Samidjo. Menurutnya periodisasi Sastra Jawa
dapat dibagi menjadi: Kesusastraan Jawa zaman Klasik yang terdiri atas zaman Hindu,
zaman Majapahit, zaman Islam dan zaman Surakarta awal; dan Kesusastraan Jawa zaman
Baru yang terdiri atas zaman Surakarta akhir atau zaman peralihan, zaman sekarang (mulai
akhir abad XIX).

121
KGPAA Mangkunegara IV. 1988. Wedhatama Winardi.Surabaya: Citra Jaya Murti. hal. 28-29.
122
Sudaryanto. 1992. Tata Bahasa Baku Bahasa Jawa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. hal. 3.

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 50

Pendapat kedua datang dari R.M.Ng. Poerbatjaraka. Menurut Poerbatjaraka, karya
sastra Jawa dari tahun dan bahasa yang tertua hingga tahun dan bahasa yang termuda
terdapat 79 judul, sejak zaman Syailendra hingga zaman Pakubuwana IX. Periodisasi
sastra Jawa tersebut dapat dikelompokkan menjayi menjadi tujuh golongan, yaitu: (1)kitab-
kitab Jawa kuna golongan tua; (2) sastra Jawa kuna berbentuk puisi; (3) sastra Jawa Kuna
golongan Muda; (4) sastra Jawa awal abad Pertengahan; (5) Kidung Jawa tengahan;
(6)Sastra Jawa zaman Islam; (7) Sastra Jawa Zaman Surakarta awal.
Pendapat ketiga datang Suryanto Sastroatmodjo. Menurut Suryanto Sastroatmodjo
dalam makalahnya yang berjudul "Sastra Jawa : Adakah Era Baru atau Alternatif-alternatif
Baru" (1976), periodisasi sastra Jawa dapat dikelompokkan berdasarkan ciri-ciri pribadi,
watak, dan suasana zaman. Pada hakikatnya, pembuatan periodisasi itu berpijak pada latar
belakang sosial politik. Periodisasi sastra Jawa menurut Suryanto itu seperti berikut:
Sastra Jawa Lama, yang terbagi atas sastra Jawa sebelum zaman Majapahit (800-
1293), sastra Jawa zaman Majapahit (1293-1518); dan sastra Jawa lama sesudah
zaman Majapahit, yaitu zaman (Demak, Pajang, Mataram, dan seterusnya sekitar
tahun 1518 sampai dengan 1700-an).
Sastra Jawa Baru, yang dikelompokkan atas sastra Jawa baru sebelum zaman
Ranggawarsita (1700-1800), sastra Jawa baru zaman Ranggawarsita (1800-1862), dan
sastra Jawa baru sesudah zaman Ranggawarsita (1862-1900).
Sastra Jawa Modern, yang dikelompokkan menjadi 2 yakni Sastra Jawa modern dan
Sastra Jawa mutakhir. Sastra Jawa modern sendiri terbagi atas sastra Jawa: zaman
Belanda (1900-1942), zaman Jepang (1942-1945) dan zaman kemerdekaan (1945-
1955). Sementara itu sastra Jawa Mutakhir terbagi atas sastra Jawa: zaman sebelum
Orde Baru (1955-1965), zaman Orde Baru (1965-1998) dan zaman Reformasi (1998-
sekarang).
Dari sisi historisnya, periodisasi pemakaian Bahasa Jawa dapat dipilah ke dalam
empat babak atau masa, yaitu: (1) periode bahasa Jawa Kuna, mulai zaman kuna hingga
sekitar akhir abad ke-15; (2) periode bahasa Jawa Madya (Jawa Pertengahan), mulai
sekitar akhir abad ke-15 hingga abad ke-18; (3) periode bahasa Jawa Baru, mulai sekitar
abad ke-18 hingga sekitar abad ke-20 dan (4) periode bahasa Jawa Modern berkembang
sejak terjadinya sentuhan dan pengaruh global terhadap Bahasa Jawa baru yang kita kenal
sekarang dan nantinya akan selalu berkembang setiap waktunya. Dalam memilah masa
pemakaian bahasa tersebut berdasarkan kerajaan apa dan siapa yang berkuasa, ciri-ciri
lingual, maupun temporalnya.
123

Adapun ciri lingual dan temporal masing periodisasi bahasa Jawa tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1. Bahasa dan Sastra Jawa Kuna
Bahasa Jawa Kuna sering kali disebut sebagai Bahasa Kawi. Kata "kawi" ini berasal
dari kata Sanskerta "kwya (d)" yang artinya "karya puisi atau syair"
124
. Kata "kawi"

123
W.J.S. Poerwadarminta. 1953. Sarining Paramasastra Jawa . Jakarta: Noordhoff Kolff NV. hal.5
124
Zoetmulder. Op.Cit. hal. 477.

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 51

sendiri dapat diartikan sebagai "pujangga, penyair, orang yang mahir dalam menggubah
puisi"
125
. Memang Bahasa Jawa Kuna merupakan bahasa yang banyak pakai dalam hasil-
hasil kesusastraan Jawa Kuna.
Sumber sejarah Bahasa Jawa Kuna terutama berdasarkan piagam-piagam dan
prasasti lama. Sumber tertulis yang paling tua mengenai Bahasa Jawa Kuna ditemukan di
Sukabumi, sehingga disebut Prasasti Sukabumi. Pada prasti itu terdapat penanggalan
sebagai berikut: "tahun 726 Saka, bulan Caitra, hari kesebelas paro terang, hari Haryang,
Wage, Sanicara...". Zoetmulder menyimpulkan berdasarkan prasasti tersebut, bahwa
prasasti Sukabumi ditulis pada tanggal 25 Maret tahun 804 Masehi
126
. Prasasti Sukabumi
merupakan piagam yang pertama memakai Bahasa Jawa Kuna, dan sejak saat itu Bahasa
Jawa Kuno dipakai dalam kebanyakan dokumen resmi. Berdasarkan hal itu maka Prasasti
Sukabumi atau tanggal 25 Maret 804 dianggap sebagai tonggak yang mengawali sejarah
Bahasa Jawa Kuno (Bahasa Kawi).
Bukti tertulis lainnya tentang sejarah Bahasa Kawi adalah berupa naskah
Caakarana. Poerbatjaraka, dalam bukunya Kepustakaan Jawa menyimpulkan bahwa
naskah yang tertua adalah Caakarana. Naskah ini berisi pengetahuan tentang bagaimana
membuat kakawin (syair Jawa Kuna) dan daftar kata-kata Kawi (Kamus Kawi). Naskah ini
disebut naskah tertua karena di dalamnya disebut-sebut seorang raja keturunan Syailendra
yang mendirikan Candi Kalasan sekitar tahun 700 Saka atau tahun 778 Masehi.
Berdasarkan uraian tersebut maka dapat ditarik benang merah bahwa Bahasa Jawa
Kuna memiliki cirri-ciri sebagai berikut:
a. Sudah mendapat pengaruh bahasa Sansekerta;
b. Belum mengenal bahasa Arab dalam karya sastranya, karena para pujangga banyak
yang menganut agama Hindu atau Budha;
c. Karya sastra yang muncul antara lain: (1) karya sastra Jawa Kuna yang tua seperti
Cakarana sampai dengan Lubdhaka meliputi 26 buku; (2) Karya sastra Jawa Kuna
baru seperti Brahmapuraa kakawin sampai dengan Harisraya kakawin meliputi 10
buku;
d. Berbentuk gancaran (prosa) dan kakawin (puisi) dengan kaidah kakawin Sansekerta
Dilihat dari kesusasteraannya, pada masa atau periodisasi Jawa Kuna ini banyak
dihasilkan berbagai macam hasil karya sastra Jawa Kuna. Adapun hasil kesusasteraan Jawa
Kuna tersebut secara umum terbagi dalam dua kelompok yakni: kelompok parwa dan
kelompok kakawin.
a. Sastra Parwa
Sastra parwa merupakan prosa yang diadaptasi dari bagian epos-epos dalam Bahasa
Sanskerta dan menunjukkan ketergantungannya dengan kutipan-kutipan dari karya asli
dalam bahasa Sanskerta. Dibawah ini disajikan suatu pembahasan singkat mengenai karya-
karya Jawa Kuno yang termasuk sastra parwa.
1) Adiparwa
Karya ini merupakan suatu ulasan dalam bentuk prosa mengenai kitab pertama dari

125
Ibid. hal. 475.
126
P.J.Zoetmulder. 1994. Kalangwan, Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta: Djambatan. hal. 3.

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 52

syair Mahabharata, dan seperti prototipenya, dapat dipandang dari dua bagian tersendiri.
Bagian pertama menyajikan kerangka guna menembangkan epos Bharata, ialah cerita
mengenai korban yang atas perintah Raja Janamejaya dipersembahkan sebagai suatu
sarana magis guna memusnahkan para naga (6 60). Bagian kedua berisi silsilah para
Pandawa dan Korawa, kelahiran, masa muda mereka sampai pernikahan Arjuna dengan
Subhadra. (60 214). Adiparwa ditamatkan dengan cerita mengenai api di hutan Kanawa:
Krsna dan Arjuna membantu dewa Agni dalam tugas pemusnahannya.
2) Wirataparwa
Kitab ini, bagian keempat dalam epos Mahabharata, membahas kehidupan para
Pandawa di kraton raja Wirata. Dalam Parw ini diceritakan masa penyamaran Pandawa
selama 1 tahun setelah masa pengasingan 12 tahun karena kalah dalam perjudian. Cerita ini
diakhiri dengan permintaan raja Masyapati sebagi raja negeri Wirata kepada Yudisthira
untuk naik tahta serta diangkatnya Utari sebagai menantu Arjuna untuk Abimanyu.
Pernikahan Abhimanyu dan Uttari kemudian dirayakan dengan meriah (82 97).
3) Udyogaparwa
Bagian ini menceritakan kedua pihak baik Pandawa dan Korawa mempersiapkan diri
untuk pertempuran yang menentukan dan mencari sekutu. Baik Duryodhana sebagai
utusan para Korawa, maupun Arjuna sebagai utusan para Pandawa, berangkat pada saat
yang sama guna menghadap Krisna. Kemudian dalam cerita ini kita juga berhadapan
dengan sebuah sisipan panjang, yang dinamakan 'Indrawijaya' (kemenangan Indra).
Dalam bagian cerita juga terungkap tentang perundingan yang panjang antara para
Pandawa dan Korawa. Para pandawa mengutus Drupada menghadap para Korawa:
sebaliknya raja Dhrtasarata mengutus Sanjaya ke wirata. Namun perundingan ini gagal.
sampai pada akhirnya Krisna sendiri yang turun tangan dan hasilnya adalah peperangan.
Disini juga terjadi sekali lagi permusuhan antara Bhisma dan Karna, sebaliknya Bhisma
menandaskan, bahwa ia tidak akan melawan Sikhandi. Naskah ini dengan mendadak
terputus, yaitu sebelum diceritakan mengenai perang mulut anatara Bhisma dan
Parasurama.
4) Bhismaparwa
Parwa ini menceritakan tentang nasehat-nasehat Krisna sebelum perang kepada
Arjuna yang hampir saja mengundurkan diri untuk berperang karena melihat yang menjadi
musuhnya adalah gurunya dan paman-pamannya. Peritiwa gugurnya Bhisma oleh
Arjuna dalam peperangan menjadi bagian utama dalam cerita ini. Sebelum ajal
menjemputnya Bhisma memberikan nasehat-nasehat kepada cucu-cucunya Pandawa dan
Korawa mengenai kewajiban suci yang diemban oleh seorang raja (rajadharma). Sampai
disinilah bagian Parwa ini berakhir.
5) Asramawasaparwa
Parwa ini menceritakan tentang masa pertapaan raja Dhrstarasta di pertapaan Byasa
setelah perang karena ia merasa sendirian setelah kematian anak-anaknya dalam
peperangan, selain itu juga dikarenakan perkataan Wrkodara tentang Duryodhana. Dua
tahun kemudian Narada muncul memberitahukan kepada Pandawa bahwa Dhrtarastra
beserta Gandhari, Kunti, dan Widura yang mengiringinya di pertapaan telah meninggal

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 53

dalam kebakaran dekat sungai Gangga.
6) Mosalaparwa
Parwa yang paling pendek ini menceritakan bagaimana suku Yadu musnah sesudah
pertempuran Agung, kecuali Krsna dan Baladewa. Setelah pertempuran itu Baladewa
melakukan tapa sehingga jiwanya meninggalkan badan dalam bentuk naga, demikian juga
dengan Krsna melakukan pertapaan dan menitipkan istri-istrinya kepada Basudewa.
Basudewa kemudian menyerahkan istri-istri Krsna kepada Arjuna, Arjuna lalu membawa
mereka ke Indraprastha, tempat Bajra putra Krsna diangkat menjadi raja.
7) Prasthanikaparwa
Parwa ini mengisahkan perjalanan para Pandawa ke hutan. Dalam perjalanan itu satu
per satu para Pandawa gugur, karena perbuatan tidak baik yang pernah mereka lakukan,
hanya Yudhistira yang berhasil menyelesaikan perjalanan itu ditemani oleh seekor anjing
yang setia mengiringinginya, anjing itu merupakan penjelmaan Dewa Dharma. Setelah
berhasil melewati segala rintangan dalam perjalanan kemudian Yudhistira beserta anjing
penjelmaan Dewa Dharma diangkat ke surga oleh Dewa Indra, tetapi sesampainya di surga
Yudhistira tidak melihat saudara-saudaranya, sehingga ia tidak mau tinggal di surga.
8) Swargarohanaparwa
Setibanya di surga Yudhistira tidak melihat saudara-saudaranya tetapi ia melihat
Duryodana di tengah-tengah para Dewa. Yudhistira tidak terima akan hal itu, kemudian
Yudhistira pergi ke neraka untuk mencari saudara-saudaranya. Di neraka ia menemui
saudara-saudaranya dalam keadaan yang menderita. Yudhistira menyalahkan para dewa
atas semua keadaan yang dialami oleh saudara-saudaranya, tetapi lama kelamaan neraka
yang mengerikan tersebut berubah menjadi surga yang sangat indah. Dijelaskan oleh para
dewa kepada para Pandawa bahwa semua keadaan yang mengerikan tadi adalah sekelumit
ganjaran atas perbuatan buruk yang senpat mereka lakukan selama hidup di dunia,
demikian pula sebaliknya atas apa yang telah dialami para Korawa.
9) Uttarakanda
Kanda ini merupakan salah satu bagian dari epos Ramayana bukan termasuk dalam
18 parwa Mahabharata. Karya ini mirip dengan karya-karya di atas, isinya menceritakan
tentang bagaimana Rsi Agastya menceritakan riwayat Rahwana beserta keluarganya
kepada sang Rama, bagaimana pengembaraan dan segala perbuatan jahat yang dilakukan
Rahwana selama pengembaraan tetapi berkat anugerah kekuatan dari Dewa Brahma tidak
ada satu pun musuh yang dapat mengalahkannya sampai Sang Rama mengalahkannya.
Disamping itu parwa ini juga menceritakan rencana sang Rama untuk melakukan uapacara
Aswamedha,.Kisah lain dalam parwa ini yaitu kelahiran putra dari Sang Rama dan Dewi
Sita yang bernama Kusa dan Lawa, Dewi Sita yang ditelan oleh Dewi Bhumi (Perthiwi)
karena diragukan kesucian oleh Sang Rama, kemudian kanda ini di akhiri dengan
kembalinya wujud Sang Rama menjadi dewa Wisnu kemudian naik ke surga bersama para
dewa.
Sastra parwa banyak mengambil kutipan-kutipan Sanskerta di dalamnya. Kutipan
Sansekerta itu sering meliputi satu sloka penuh, yaitu dua baris masing-masing dengan 16
suku kata. Jika seseorang hanya merangkai kutipan-kutipan dalam bahasa Sanskerta, maka

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 54

mustahilah ia dapat mengikuti jalan ceritanya. Sering kutipan itu merupakan kata-kata
yang diucapakan oleh salah seorang tokoh dalam suatu cerita. Misalnya kutipan tentang
perbincangan Karna dengan Arjuna sebelum dilaksanakan sayembara Drupadi. Kutipan-
kutipan semacam itu cukup diterangkan oleh keingginan untuk memberikan relief yang
lebih kuat kepada ceita, hal ini dilakukan dengan membubuhi tulisan atau tutur kata dalam
bahasa pribumi, cara ini juga dapat digunakan sebagai usaha dalam meningkatkan minat
pembaca untuk mendalami cerita.
Mukadimah tiga parwa yaitu Adiparwa, Wirataparwa dan Bhismaparwa dan versi
khusus Uttarakanda mengandung informasi yang relevan mengenai hal ini. pada akhir
cerita Wirataparwa yang menyebutkan dengan suatu contoh bagaimana tanggal
dibawakannya pertama kali sebuah karya Jawa Kuna ditentukan dengan cukup rumit.
Menurut kronologi modern tanggalnya ialah sejak 14 Oktober sampai 12 Nopember
bertahun 996.
Sastra parwa tidak semuanya ditulis oleh pengarang yang sama, inilah yang mungkin
kita dapat tarik dalam penelitian komparatif tentang bahasa. Hal ini dikuatkan dengan ciri;
Uttarakanda mempunyai suatu ciri yang khas yang tidak terdapat dalam parwa-parwa
lainnya, yaitu cara parwa itu dibagi. Parwa ini terdiri atas bab-bab singkat atau pada ahir
setiap bab dinyatakan sebagai Sanskerta sebuah nama atau judul yang menunujukan isi dan
nomor urutnya. Adiparwa diawali dengan suatu tindak bakti terhadap Dewa Siwa beserta
sakti-Nya. Dalam Wirataparwa kata pengantar pertama dialamatkan kepada
Krsnadwipayana yang sama dengan Byasa, penulis mistis yang menulis Mahabharata.
Bhismaparwa pun diawali dengan bersembah sujud kepada Byasa, kemudian terhadap raja
pulau Yawa yang memakai nama Hari karena ia Wisnu. Akhirnya Uttarakanda, setelah
memuji Walmiki, pengarang Ramayana 'mahadewa para penyair', memberi hormat pula
pada sang raja (yang sekali lagi memkai nama Dharmawangsa). Dalam kata pengantar
Adiparwa bersifat Siwaistis sedangkan Bhismaparwa (meskipun tidak begitu menyolok)
dan Uttarakanda bersifat Wisnuistis. Wirataparwa lebih netral dengan mengarahkan
hematnya kepada raja.
b. Sastra Kakawin
Istilah kakawin berasal dari metrum-metrum di India. Kata 'kawi' berasal dari kata
Sanskerta 'kawi'; tetapi kedua afiks Jawa ke- dan n memberinya warna blasteran. Kawi
semula berarti 'seorang yang mempunyai pengertian yang luar biasa, seorang yang bisa
melihat hari depan, seorang bijak'; tapi dalam arti yang khas, yaitu seorang 'penyair'. Afiks
ka- dan -n yang menjadikan bentuk kakawin artinya adalah 'karya seorang penyair,
syairnya'. Tetapi pada periode klasik, dikenal oleh para sastrawan Jawa kata kawya (kawi)
berarti 'buah dari hasil puisi kraton', sebuah syair yang pada pokoknya bersifat epis, yang
coraknya agak dibuat-buat, dan justru inilah sifat-sifat kakawin dalam sastra Jawa Kuno.
Pada umumnya, kaidah-kaidah metris yang berlaku bagi sebuah kakawin sama
seperti kaidah-kaidah kawya dalam persajakan Sanskerta, yaitu dapat di rumuskan sebagai
berikut: sebuah bait terdiri atas empat baris sedangkan masing-masing baris meliputi
jumlah suku kata yang sama, disusun menurut pola metris yang sama. Menurut pola
tersebut kuantitas setiap suku kata panjang atau pendeknya ditentukan oleh tempatnya

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 55

dalam baris beserta syarat-syaratnya; dan sebuah suku kata dianggap panjang bila
mengandung sebuah vokal panjang dan bila sebuah vokal pendek disusul oleh lebih
daripada satu konsonan. Suku kata terakhir dalam setiap baris dapat bersifat panjang atau
pendek. Aneka macam metrum ini dipakai dalam puisi Jawa kuno, masing-masing dengan
namanya sendiri.
Buku-buku pegangan dari India yang membahas bidang pengetahuan tentang prosodi
atau ilmu persajakan ini disebut Chaastra dan sama sekali tidak merupakan buku-
buku yang membangkitkan inspirasi puitis. Dalam kesusastraan Jawa Kuna juga ada buku-
buku yang membahas mengenai prosedi, tetapi tetap bertolak pada Chaastra India,
namanya Wttasancaya karya mpu Tanakung dan sebuah ulasan yang berjudul Wttayana
(tanpa pengarang).
Ulasan mengenai Chaastra tentang metrum kakawin. Jumlah suku kata (warna
aksara) dalam satu baris (pada) disebut chanda oleh para penyair tersohor (kawindra);
empat baris serupa itu mewujudkan satu kakawin. Disini juga diterangkan tentang wrtta
seperti terdapat dalam pinggala, yaitu mengenai "tempat dan penyusunan suku kata yang
panjang dan yang pendek (guru laghu)". Dengan demikian istilah wrrta menunjukkan
metrum seperti ditentukan oleh pembagian kuantitas dalam setiap baris; jelaslah juga
bahwa chanda yang sama dapat meliputi bermacam-macam wrtta yang berbeda-beda.
Lebih dari separuh metrum yang dimuat dalam kakawin-kakawin Jawa Kuna sama
sekali tidak terdapat dalam buku-buku pegangan India. Sejumlah besar metrum yang tidak
terdapat di India berasal dari Jawa. Kakawin-kakawin pada periode klasik (yaitu sampai
dengan masa jayanya Majapahit), secara relatif bebas dari unsur-unsur asing; sedangkan
kakawin-kakawin dari jaman mundurnya Majapahit dan khususnya kakawin yang yang
berasal dari periode Bali (yaitu sesudah kerajaan Bali memisahkan diri dari Majapahit),
memperlihatkan penyimpangan-penyimpangan yang makin banyak dari kaidah-kaidah asli,
sampai peraturan-peraturan itu diabaikan sama sekali. Disiplin dalam mempertahankan
metrum mulai menjadi kendur dan pengetahuan mengenai prosodi India mulai menjadi
pudar.
Cara penulisan karya sastra Jawa Kuna pada jaman dulu tidak sama dengan apa yang
dilakukan di Bali. Ini dapat dilihat dari beberapa referensi kekawin yang tidak satupun
menyebutkan daun lontar sebagai bahan tulisan. Begitu juga dalam relief-relief candi Jawa
Kuna, bahan tulisan dalam relief tersebut di buat lebih besar dan lebar dari daun lontar.
Tanah adalah alat yang dipakai sebagai alat untuk menulis (semacam gerip), sedangkan
karas adalah bahan yang ditulisi. Karas pada umumnya berarti semacam "papan kayu atau
keping-keping batu". Selain tanah dan karas bahan tulis yang lain adalah pudak atau
disebut juga ketaka atau ketaki yaitu bunga pandan. Daun bunga pandan yang panjang dan
putih dipakai sebagai bahan tulis.
Ada beberapa istilah hasil karya sastra kekawin yaitu wilapa, pralapita, bhasa, dan
palambang. Wilapa merupakan sebuah syair dalam metrum kekawin, yang membahas
tentang cinta dan keindahan, tetapi tidak merupakan sebuah ratapan. Pralapita merupakan
sebuah syair menurut arti umum, karena syair ini tidak mengandung adegan-adegan
asmara, tetapi memang memaparkan deskripsi-deskripsi tradisional mengenai keindahan

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 56

alam. Sedangkan bhasa merupakan syair yang dipakai untuk menunjukan suatu deskripsi
singkat tetapi penuh emosi mengenai rasa asmara maupun suatu reaksi terhadap keindahan
alam. Istilah pralambang dipakai untuk menyebutkan berbagai kakawin utama yang cukup
panjang, namun sebuah sajak cinta pendek yang ditulis diatas daun pudak juga disebut
palambang.
Kata kawi biasanya dipakai untuk menujukkan seorang penyair, namun artinya lebih
luas juga, yaitu setiap orang yang mempelajari buku-buku atau mahir dalam hal itu.
Mereka yang termasuk kelompok para kawi tidak semuanya merupakan penyair-penyair
kreatif. Ada juga gelar-gelar lain yang digunakan untuk menyebutkan istilah sang kawi
seperti kawiwara (kawi yang unggul), kawindra (pangeran diantara para kawi), kawi wiku
(kawi yang menjalani kehidupan religius), dan sebagainya.
Dalam kesusastraan Jawa Kuna hubungan antara penyair dengan majikannya atau
raja sangatlah erat. Raja memberi restu kepada penyair dalam menyelesaikan karyanya.
Simpati sang raja juga merupakan berkat yang menyuburkan karya seorang penyair dan
raja melindungi penyair dengan sebuah manggala, penyair mempersembahkan karyanya.
Bait pembukaan pada kekawin disebut manggala, yaitu segala sesuatu, setiap kata,
perbuatan atau oran yang karena kesaktiannya dapat menjamin sukses sebuah pekerjaan
yang akan dimulai. Puji-pujian dan permohonan berkah kepada para dewa biasanya
terdapat pada utama manggala. Dalam penulisan manggala yang terpenting bukan yang
pertama atau pun seorang dewa yang namanya diserukan, melainkan cara nama itu
diserukan serta dari sudut mana dewa itu didekati.
Bersasarkan sumber-sumber Jawa Kuno, hari alamiah dibagi-bagi menurut dua
bagian yang sama panjang yaitu masing-masing terdiri atas delapan jam atau "pukul" dan
dihitung sejak matahari terbit (jam 6) dan sejak matahari terbenam (jam 18.00). Ini berarti
bahwa satu jam Jawa Kuno sama dengan 90 menit. Jam-jam memang dipukul pada sebuah
kentungan dan jumlah pukulan serasi dengan waktu yang bersangkutan.
Saat-saat yang dalam sastra kekawin sering disebut-sebut ialah sore dan senja,
malam yang disinari rembulan dan menjelang fajar. Dalam sastra Jawa Kuno tidak ada
yang melukiskan musim yang silih berganti dan terperinci, bulan demi bulan, musim-
musim yang dilukiskan berbeda dengan musim di India.
Tumbuhan dan hewan dalam sastra kekawin kebanyakan bersifat Jawa. Pohon-pohon
dan bunga-bunga yang diperhatikan dalam sastra kekawin adalah yang dilihat penyair di
sekitar mereka, khususnya pohon dan bunga. Binatang yang diperhatikan pengawi pada
umumnya yang berkaki empat, hanyalah kuda dan gajah yang merajai medan pertempuran.
Mengenai kehidupan liar di hutan yang sering dibicarakan adalah kijang dan kancil.
Dalam banyak puisi mencerminkan kehidupan orang Jawa yang hidup di tengah
lingkungan ini, puisi kekawin pada hakekatnya merupakan puisi keraton, maka keraton
merupakan bagian masyarakat Jawa yang paling dikenal oleh penyair dan pelukisan
kehidupan pedesaan hanya memaparkan latar belakang. Kehidupan pedesaan dimasukkan
dalam cerita untuk menghidupkan penggambarannya.
Dalam semua ungkapan puitis kita berjumpa dengan sebuah unsur pokok dalam alam
pikiran Jawa Kuna: kemanunggalan alam semesta dan semua mahluk di dalamnya yang

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 57

kait-mengkait. Alam yang terpantul dalam kekawin adalah alam yang seperti dipandang
oleh penyair Jawa Kuna bila ia melihat sekelilingnya. Cara ia melukiskan hubungan
manusia dan alam membuktikan bahwa ia memandang dunia ini dengan cara yang bagi dia
sendiri serta pendengarnya jelas sekali, yakni kemanunggalan.
Banyak sekali hasil-hasil karya sastra kekawin yang sudah dihasilkan pada
periodisasi Jawa Kuna. Adapun beberapa hasil karya sastra kakawin yang masih bisa
diselamatkan hingga sekarang adalah:
1) Kakawin Rmyaa
Terdapat kesamaan antara kekawin Ramayana di nusantara dengan epos Sanskerta
karangan Walmiki dan dipertanyakan mungkinkah penyair Jawa Kuna menggunakan suatu
versi teks Walmiki. Melalui banyak penelusuran pertama kalinya pada tahun 1934 oleh
Himansu Bhusan Sarkar, kemudian oleh Manomohan Gosh, dan disimpulkan bahwa
naskah yang menjadi sumber bagi Yogiswara dalam menulis kekawin Ramayana ialah
Bhatti-Kavya; ia mengambil alih tema karangan India sampai segala seluk-beluknya dan
sebanyak mungkin juga memakai sejumlah ungkapan yang sama, karena ditemukan
kemiripan sebuah karya klasik Sanskerta karangan Bhatti-kavya yaitu Ravanavadha.
Kesimpulan ini pun dibenarkan oleh C. Bulkcke dan C. Hooykaas, khususnya C. Hooykaas
dengan membandingkan isi kekawin bait demi bait dengan isi Kavya dari India.
Menurut Kern, Ramayana ditulis setelah Bharatayuddha dan sebelum Bhomantaka,
sehingga diketahui kekawin ini ditulis dari jaman Kediri abad ke-12. Stutterheim menolak
pendapat Poerbatjaraka mengenai waktu penulisan kekawin ini, dan berpendapat bahwa ini
ditulis sebelum jaman Mpu Sindok. Menurut Hooykaas, kekawin ini diakui sebagai
'kekawin pertama dan teladan' bagi serangkaian karya serupa dalam sastra Jawa-Bali, yang
lebih dalam mengulas kisahnya lebih mempertahankan sifat Indianya. Dalam tradisi Bali,
Mpu Yogiswaralah yang mengarang kekawin ini walaupun tanpa dasar bukti yang kuat dan
ini disetujui oleh sarjana Barat. Menurut Poerbatjaraka, karya ini bersifat Siwaistis, tapi
menurut Hooykaas bersifat Wisnuistis.
Diceritakan Dasaratha melalui upacara pemujaan mendapatkan anak dari istri-
istrinya. Dewi Kosalia melahirkan Rama, Dewi Kekayi melahirkan Bharata, Dewi Sumitra
melahirkan Laksmana dan Satrughna. Setelah mereka Dewasa, Rsi Wiswamitra meminta
bantuan Rama dan Laksamana untuk mengalahkan para raksasa yang mengacaukan
pertapaannya. Wiswamitra menyuruh Rama agar datang ke sayembara yang diadakan oleh
Raja Janaka guna mendapatkan Sita. Di sana, Ramalah yang keluar sebagai pemenang
karena berhasil mematahkan busur yang muncul pada saat Sita dilahirkan. Dasaratha
diundang ke pesta perkawinan. Kemudian dalam perjalanan pulang, Rama dihadang oleh
Parasu Rama dan ditantang berkelahi. Rama menerima dan memenangkan pertarungan itu.
Tibalah saatnya penobatan Rama sebagai Raja, namun Dewi Kekayi tidak setuju dan
meminta agar Bharatalah yang menjadi raja yang didukung oleh suatu janji. Kemudian
Rama, Sita dan Laksmana diasingkan ke hutan. Dasaratha meninggal karena sakit hati.
Bharata kemudian naik tahta, namun kemudian menemui Rama, membujuk Rama untuk
mengambil alih kerajaan. Rama menolak dan menyuruh Baratha yang menjadi Raja
sementara Rama menjalani pengasingan. Rama, Sita dan Laksamana tinggal di pertapaan

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 58

Sutiksna, semua raksasa pengganggu ditumpas sampai Sarpanaka datang menggoda Rama
dan Laksmana. Akibatnya Sarpanaka dipotong hidungnya oleh laksamana, iapun mengadu
kepada kakaknya Rahwana sambil menyampaikan bahwa di Sutiksna ada Sita yang sangat
cantik. Rahwana marah dan pergi membalas dendam sambil berusaha menculik Sita. Sita
berhasil diculik dengan siasat menyamar, karena ditinggalkan Rama dan Laksmana yang
mengejar kijang jelmaan Patih Marica. Di tengah jalan Sita ditolong oleh Jatayu, namun
dapat dikalahkan dengan ajian Panca Sona, sebelum meninggal Jatayu memberi tahu Rama
kalau Sita diculik. Atas suatu nasehat, Rama pergi ke Rsyamuka meminta bantuan
Sugriwa. Kemudian sampai di sana Sugriwa memohon pada Rama, agar dapat
membantunya mengalahkan Subali, dan akhirnya Subali dibunuh oleh Rama. Sugriwa
mengutus Hanoman mencari keberadaan Sita. Hanoman pergi ke Alengka dengan
melewati banyak rintangan selama perjalanannya. Di alengka Hanoman melakukan
penyamaran dan berhasil menemukan Sita di bawah pohon asoka dengan dijaga oleh
Trijata. Hanoman menemui Sita dan menjelaskan tujuan kedatangannya, dan ia pun
berjanji akan kembali bersama Rama dan yang lainnya untuk menjemput Sita. Setelah itu
hanuman mengamuk dan membakar seluruh kota Alengka. Kemudian setelah berpamitan
dengan Sita, Hanoman kembali ke Gunung Malyawan dengan membawa bukti sebuah
surat dan manik milik Sita, diserahkannya kepada Rama. Rama memutuskan untuk
menyerang Alengka. Rahwana pun demikian saking kuat keinginannya memiliki Sita,
sampai nasehat dari Wibisana dan yang lainnya tidak diperdulikannya yang mengakibatkan
Wibisana diusir dan berada di pihak Rama. Jembatan Situbondo berhasil dibangun oleh
para kera dan tibalah Rama beserta rombongan di Alengka. Perang pun terjadi dengan
sangat sengit, pasukan Rahwana mengalami kekalahan. Kumbakarna adik Rahwana
berhasil dibunuh oleh Rama, dan menyusul Kematian Rahwana oleh Rama. Perang pun
usai. Negeri Alengka hancur. Rama, Laksmana dan Sita telah selesai menjalankan
pengembaraannya dan kembali ke Ayodya. Setibanya di Ayodya, mereka disambut dengan
meriah. Rama kembali menduduki tahta kerajaan.
2) Kakawin rjunawiwaha
Arjunawiwaha merupakan tonggak awal sastra puitis Jawa Timur, asal mula cerita
diawali dari Wana Parwa saat Pandawa menjalani pengasingan dalam hutan selama 12
tahun. Pernikahan Arjuna di surgalah yang menamai kekawin ini. Gubahan ini boleh
dikatakan usaha Mpu Kanwa yang pertama dalam menyusun dan menggubah sebuah
kekawin, pada saat ia bersiap-siap mengikuti ekspedisi militer, di bawah perlindungan Raja
Erlangga. Untuk Erlanggalah Mpu Kanwa menggubah syairnya, syair ini ditulis antara
tahun 1028 dan 1035.
Raksasa Niwatakawaca bersiap menyerang surga. Niwatakawaca sangat sakti, tidak
dapat dibunuh oleh raksasa maupun Dewa. Indra yang merasa khawatir memutuskan minta
bantuan pada Arjuna yang sedang bertapa di puncak Indrakila. Para bidadari diutus oleh
Indra untuk menguji ketabahan tapa Arjuna tapi tidak membuahkan hasil. Tahu akan hal
itu, Niwatakawaca mengutus raksasa muka membunuh Arjuna, dia menyamar menjadi
seekor babi hutan, mengobrak-abrik pertapaan sampai Arjuna menjadi marah dan
memanah si Muka. Bersamaan pula Siwa menyamar menjadi pemburu dan memanah si

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 59

Muka. Panah mereka menyatu di bangkai si Muka. Terjadi perkelahian mereka sampai
Siwa menunjukkan wujud aslinya dan menganugrahi panah pasupati. Setelah itu datang
dua Apsara membujuknya agar mau membantu Dewa membunuh Niwatakawaca. Arjuna
pun pergi ke Sorga. Setiba disana, mereka mengatur siasat dan mengetahui kelemahan
Niwatakawaca, perang pun dilangsungkan. Pasukan Indra pura-pura kalah, disanalah ada
kesempatan karena Niwatakawaca memperlihatkan kelemahannya yaitu pada ujung lidah.
Saat itu pula ditembakkan anak panah oleh Arjuna dan terbunuhlah Niwatakawaca. Para
raksasa kabur dan ada yang dibunuh. Mereka kembali dengan kemenangan. Arjuna
dianugrahi tinggal di sorga selama 7 hari sorga, setara 7 bulan waktu dunia manusia, dan
kawin dengan ke-7 bidadari secara bergantian. Lalu Arjuna kembali ke saudara-saudaranya
setelah menikmati kenikmatan-kenikmatan.
3) Kakawin Hariwanga
Kakawin Hariwanga merupakan karya sastra kakawin yang dikarang oleh Mpu
Panuluh pada masa Pemerintahan ri Aji Jayabhaya di Kediri. Secara garis besar isi
kakawin ini hampir sama dengan Kakawin Kyana.
127
Untuk lebih jelasnya berikut ini
digambarkan ikhtisar Kakawin Hariwanga.
Wisnu menjelma ke dunia dalam wujud Krisna untuk melindungi dunia dan
memusnahkan Bhoma, Kangsa dan Kalayawana. Narada turun dan memberitakan tiba
saatnya Dewi Sri menjelma dalam diri Rukmini anak Bhismaka, raja Kundina sebagai
satu-satunya kekasih Krisna. Krisna berupaya mendapatkan Rukmini dengan segala cara,
hingga terjadi peperangan, Para Pandawa saat itu memihak Jarasandha atas nama ksatria,
para Korawa pun demikian. Perang pun terjadi. Para Wrsini dan Yadu berada di pimpinan
Krisna melawan pasukan Jarasandha. Jarasandha gugur, namun perang tetap berlangsung,
sampai semuanya gugur, yang tersisa Yudistira tapi sudah terbius oleh senjata Mohana dan
Arjuna kini berduel dengan Krsna sampai keduanya kembali menyatu ke wujud Wisnu.
Saat itu Yudistira sadar dan memohon pada Wisnu agar semuanya dihidupkan kembali dan
keadaan dipulihkan. Setelah terkabul, Wisnu kembali ke wujud Krsna dan Arjuna dan
mereka pulang ke tempat masing-masing. Pernikahan Krisna pun berlangsung dan keempat
istri Krsna perwujudan Sri melahirkan anak-anaknya. Setelah menyelamatkan dunia di era
dwapara, Krsna dan Rukmini kembali ke wujud Dewa dan kembali ke surga.
4) Kakawin Bhratayuddha
Kakawin Bhratayuddha merupakan gubahan dari epos besar Mahbhrata di India.
Kakawin ini digubah oleh Mpu Sdah dan Mpu Panuluh sekitar tahun 1157 M pada masa
pemerintahan Prabu Jayabhaya di Kadiri. Kakawin ini menceritakan tentang peperangan
Pandawa dan Korawa. Berikut ini ikhtisar Kakawin Bhratayuddha.
Dari saat Krisna melakukan perundingan dan memutuskan untuk perang. Perang
daripihak korawa dipanglimai oleh Bhisma sampai terakhir Salya. Semuanya Gugur, dan
kemenangan ada di pihak Pandawa. Duryodhana kabur di sebuah pertapaan sampai perang
tandingnya dengan Bhima hingga ia terbunuh. Pandawa dan Krsna pulang dengan
kemenangan, tapi Krisna ingat sumpah duryodhana, maka ia beserta Pandawa memutuskan

127
Soekmono. Op.Cit. hal. 112.

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 60

pergi ke tempat-tempat suci guna menebus dosa. Pada malam yang sama sebelum fajar,
Aswatthama membunuh musuh-musuhnya termasuk kelima anak Drupadi saat
tertidur.Drupadi bertekad membalas dendam, minta agar mutiara yang menghias dahi
Aswatthama diberikan kepadanya. Pandawa melacaknya dan Bhima hampir
membunuhnya, Aswatthama mengangkat anak panah sakti hadiah dari Drona namun tidak
bisa dikendalkan dan akhirnya menembus kandungan Uttari, namun oleh Krsna dihidupkan
kembali.
5) Kakawin Gatotkacraya
Kakawin Gatotkacraya ditulis oleh Mpu Panuluh pada masa Pemerintahan Prabu
Jayabhaya. Isinya menceritakan perkawinan antara Abhimanyu dengan Sundhar, yang
hanya dapat dilangsungkan dengan bantuan Gaotkacraya.
128
Berikut ini ikhtisar dari
Kakawin Gaotkacraya.
Saat pengasingan Pandawa, Abhimanyu tinggal dengan ibunya di Dwarawati, hingga
ia menjadi seorang perjaka tampan dan jatuh cinta dengan Ksiti Sundari, putri Krisna.
Baladewa marah mengetahui hal itu karena Sundari telah dijodohkan dengan anak
Duryodana. Abhimanyu lari ke hutan, bertemu dengan Dewi Durga dan diberi petunjuk
agar meminta bantuan Ghatotkaca untuk merebut Sang Putri yang kemudian
mengakibatkan perang dipelopori oleh Duryodhana yang menyerang Yadhu. Saat itu
Krisna sedang di pertapaan dan segera pulang meluruskan masalah. Akhirnya cinta
keduanya tak terhalangi lagi, namun setelah selesainya pengasingan Pandawa, Abhimanyu
dan ibunya pergi ke Wirata. Di sana Abhimanyu dinikahkan dengan Diah Uttari, putri
Wirata dan Ksiti Sundari berikutnya, sebagai istri kedua Abhimanyu.
6) Kakawin Smaradahana
Kakawin Smaradahana ditulis oleh seorang Pujangga pada masa Kerajaan Daha
(Kediri). Sang pujangga menamakan dirinya sebagai Mpu Dharmaja. Sang Pujangga dalam
cerita ini menunjukkan niatnya memuji Kama. Pujian tersebut mengawali syair dan
ditujukan kepada Sri Kameswara (1182-1185 M) di masa Daha (Kediri) sebagai suatu
tanda kehormatan.
129

Secara umum isi kakawin ini mengisahkan tentang terbakarnya Kmaratih dan
lahirnya Gaea. Saat itu sorga terancam oleh oleh Nilarudraka, dan hanya Siwa yang
dapat menghadapi. Indra mengutus Kama untuk mengganggu yoga Siwa, dan diketahui
Siwa Dalam sekejap Kama hangus oleh api yang terpancar dari Siwa. Para Dewa, Ratih
dan yang lainnya menangisi Kematian Kama. Karena kesetiaannya, Ratih menceburkan
diri ke api dan akhirnya bisa bertemu dengan Kama namun tak dapat bersatu karena tak
berbadan. Kama memasuki hati Siwa, Ratih memasuki hati Uma. Dan tibalah pertemuan
Siwa dengan Uma yang menghasilkan buah, Putra yang dilahirkan Uma menyerupai
seekor gajah karena saat sebelum putra itu lahir, Indra membawa seekor gajah ke hadapan
Uma yang membuat Uma merasa ketakutan. Lahirlah Gana, dan saat Nilarudraka
menyerang para Dewa, Ganalah yang akhirnya membunuh Nilarudraka saat peperangan
para Dewa dengan para raksasa di bawah pimpinan Nilarudraka. Akhirnya dunia kembali

128
Soekmono. Ibid. hal. 117.
129
Soekmono. Op.Cit. hal.117.

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 61

tenang.
7) Kakawin Sumanasantaka
Ini adalah syair pertama yang ditulis oleh Mpu Monaguna. Kakawin Sumanasantaka
ditulis pada masa Kadiri tepatnya pada masa Raja Warsajaya atau r Jayawarsa Digjaya
straprabhu (1104-1115). Sebagai seorang raja yang ahli sastra maka r Jayawarsa
sendiri merupakan guru dari Mpu Monaguna. Berikut ini ikhtisar isi Kakawin
Sumanasantaka.
Karena suatu ketakutan, Indra mengutus Harin untuk menggoda Tawindu yang
sedang melakukan tapa brata. Tawindu mengetahui bahwa ini adalah siasat Indra. Ia
marah, mengutuk Harin akan dilahirkan sebagai manusia. Harin memohon agar kutukan
itu dicabut namun itu tidak dapat dilakukan. Tapi Tawindu berjanji bahwa kekasihnya di
surga akan dilahirkan sebagai manusia (pangeran Aja), dan riwayat Harin akan ditamatkan
oleh sekuntum bunga Sumanasa.
Harin dilahirkan sebagai putri seorang raja yang memerintah rakyat Krthakesika, ia
bernama Indumati namun akhirnya kedua orang tuanya meninggal dan tahta diambil alih
oleh kakaknya yaitu pangeran Bhoja. Bhoja mengadakan Sayembara untuk Indumati dan
pangeran Aja dari Ayodya keluar sebagai pemenang dan berhasil membawa pulang
Indumati sebagai istrinya, mempunyai anak yang bernama Dasaratha. Suatu saat, Narada
melakukan suatu pujaan dengan memainkan alat musik bersama dengan para Sapta Rsi.
Sebuah kalung bunga Sumanasa jatuh dari alat musiknya dan jatuh di dada Indumati, dan
beberapa saat kemudian ia meninggal dan kembali ke surga. Pangeran aja meninggal di
sebuah tempat pemandian suci pertemuan sungai Gangga dengan Sarayu. Delapan tahun
kemudian Dasaratha naik tahta.
8) Kakawin Bhomntaka (Bhomakawya)
Kakawin Bhomntaka merupakan kakawin terpanjang di antara seluruh sastra
kakawin yang ada di Jawa Timur, dan mungkin juga kakawin yang paling sukar. Namun
demikian hingga saat ini pengarang atau pun penyair dari kakawin Bhomntaka belum
dapat diketahui. Menurut konsensus umum karya sastra ini digolongkan sebagai salah satu
karya sastra pada masa Kediri. Manggala dalam karya sastra ini ditujukan untuk Dewa
Manobh (nama lain dari Dewa Kma).
130
Berikut ini ikhtisar dari Kakawin Bhomntaka.
Para Rsi memohon agar Krsna membantu para pertapa di Himalaya karena selalu
diganggu para raksasa. Krsna mengutus putranya Samba, di sana Samba tinggal beberapa
waktu dan bersahabat dengan murid Wiswamitra yang bernama Gunadewa. Karena
mendengar suatu cerita dari Gunadewa, Samba mengetahui bahwa pada kehidupannya
terdahulu ia pernah meninggalkan kekasihnya, Yajnyawati yang menjadi anak angkat
Naraka. Kemudian Samba berhasil menemui Yajnyawati disan ketika hendak dilarikan, ia
ketahuan oleh para Raksasa. Saat samba akan menyerang kraton Bhoma, hal itu diketahui
Narada dan menyarankan agar ia kembali ke Dwarawati dulu untuk mengatus siasat
sementara Yajnyawati diamankan oleh anak buah Bhoma. Lalu pasukan disiapkan. Bhoma
mencari sekutu antara lain Jarasandha, Raja Cedi, Raja Magadha, dan Satruntapa. Dalam

130
P.J. Zoetmulder. 2006.Op.Cit. hal. 404.

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 62

peperangan, semua sekutu Kresna kalah. Akhirnya tibalah saat pertempuran antara Krsna
dengan Bhoma. Krsna kembali ke wujud Wisnu yang menggemparkan, dengan burung
garudanya yang menjauhkan senjata andalan Bhoma dari Bhoma sendiri dan akhirnya
Bhoma bisa dibunuh oleh Wisnu. Kemudian Indra menampakkan diri, memberikan
anugrah dan semuanya dihidupkan kembali kecuali Bhoma.
9) Kakawin Arjunawijaya
Kakawin Arjunawijaya merupakan salah satu hasil kesusasteraan pada masa
Majapahit I. Kakawin ini dikarang oleh Mpu Tantular. Isinya tentang seorang raja yang
bernama Arjuna Sasrabahu yang berhasil menundukkan Rahwana. Berikut ini ikhtisar
Kakawin Arjunawijaya.
Raja Rawana (Dasamukha) dalam perjalanannya banyak menghancurkan tempat-
tempat yang dilaluinya. Ia pun menerima banyak kutukan dari musuh-musuhnya seperti
diri dan kratonnya akan dihabisi oleh jelmaan Wisnu, juga oleh para kera dan kutukan
menyeramkan lainnya. Saat mengganggu Siwa dengan mengangkat kaki gunung Kailash,
tangannya terjepit oleh gunung yang ditekan oleh Siwa, kemudian ia minta ampun.
Suatu saat Dasamukha melakukan tapa di hadapan sebuah lingga, ia terganggu
karena air membanjiri tempatnya dan ia terpaksa lari ke sebuah bukit. Raksasa
menceritakan ini akibat dari Arjuna Sahasrabahu membuat bendungan di hilir sungai guna
dapat dimanfaatkan. Akibatnya Dasamukha marah dan menyerang Arjuna, tapi Arjuna
telah mendengar kabar itu lalu bersiaga menyiapkan pasukan. Perang pun terjadi.
Dasamukha berkali-kali dibunuh namun hidup lagi. Akhirnya, Dasamukha bisa dibuat
pingsan, lalu diikat dengan rantai dibawa pergi. Ketika pulang, istrinya sudak meninggal
bersama para dayangnya karena seorang raksasa membawa kabar bahwa Arjuna telah
tewas, maka dari itu istrinya membunuh diri. Namun akhirnya dihidupkan kembali.
Dasamukha dibebaskan kembali atas permintaan kakek Dasamukha sendiri yang bernama
Pulastya. Semua yang telah mati dihidupkan kembali oleh Pulastya sebagai tanda terima
kasih kepada Arjuna.
10) Kakawin Sutasoma
Kakawin Sutasoma merupakan salah satu kakawin terkenal yang pernah ditulis oleh
Mpu Tantular pada masa Majapahit I. Hingga ajaran-ajaran dalam kakawin ini yang
kemudian dikenal dengan istilah Tantularisme banyak digunakan oleh para tokoh di negeri
ini. Berikut ini ikhtisar Kakawin Sutasoma.
Ini menceritakan seorang pangeran dari raja Sri Mahaketu yang memerintah di
Hastina. Kerajaannya terancam oleh raksasa-raksasa dan pimpinannya. Hanya
keturunannya yang mampu mengalahkan raksasa itu. Ketika diminta naik tahta, Sutasoma
menolak memilih mengembara. Setelah lama perjalannya, ia betemu dengan sepupunya
yaitu Raja Dasabahu dan ia akan segera menikah dengan adik dari dasabahu yang bernama
Candrawati dan ia kembali pulang ke keratonnya menemui kedua orang tuanya dan
kemudian naik tahta. Raja Raksasa Porusada baru sembuh dari luka akibat bergaul dengan
Kala namun Kala menghendaki imbalan agar dipersembahkan 100 orang raja kepadanya.
setelah mendapatkan 100 orang Raja, Kala meminta agar ditambahkan lagi dengan raja
Sutasoma.

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 63

Porusada pergi mencari Sutasoma untuk ditangkap. Setelah bertemu, Sutasoma
sendiri yang menyerahkan diri agar dapat menukar ke 100 raja yang telah ditangkap
sebelumnya dengan dirinya. Sutasoma pergi menemui Kala, keseratus raja itu dilepaskan
dan Kala berusaha membunuh Sutasoma dengan menjadi naga dan mulai menelan
Sutasoma, seketika Kala dipenuhi rasa cinta dan belas kasih dan tidak jadi membunuh
Sutasoma, dan memohon agar ia dapat diterima sebagai muridnya. Dunia merasakan
kedamaian dan akhirnya Sutasoma dan Candrawati kembali ke sorga dan Hastina dipimpin
oleh putranya yaitu Ardhana.
11) Kakawin Ngaraktgama
Ngaraktgama merupakan sebuah karya sastra yang diciptakan sang Kawi
bernama Prapanca. Kekawin Ngaraktgama melukiskan kerajaan Majapahit di bawah
pemerintahan raja Rajasanagara (Hayam Wuruk). Kekawin ini menyebutkan tentang
wilayah-wilayah kekuasaan Majapahit, perjalanan raja Hayam Wuruk menelusuri wilayah
kerajannya setiap tahun pada akhir musim sejuk, upacara raddha untuk memperingati
Tribhuana, Ibu suri (Rajapatni). Kekawin ini juga disebut Deawarana (pelukisan tentang
wilayah kerajaan). Naskah ini satu-satunya ditemukan di Lombok tahun 1894.
12) Kakawin Wttasacaya
Kakawin Wttasacaya merupakan salah satu karya sastra yang ditulis oleh Mpu
Tanakung. Kitab ini dimaksudkan sebagai pelajaran dan bimbingan untuk menyelami
tembang Jawa Kuna (kakawin). Isinya mengenai 94 macam bentuk kakawin, yang digubah
dalam bentuk cerita yang mengisahkan perjalanan sepasang burung belibis dalam usaha
mereka menolong seorang puteri yang kehilangan kekasihnya. Karena peranan utama
dipegang oleh burung belibis yang menjadi utusan, maka kitab ini juga diberinama
"Cakrwakadta".
131

13) Kakawin Lubdhaka
Syair ini digubah oleh Mpu Tanakung diperkirakan pada pertengahan abad ke-15
dalam perlindungan raja Sri Suraprabhawa. Diceritakan Ada seseorang pemburu yang
bernama Lubdhaka. Pada tanggal 14 paro petang ia pergi berburu. Namun dia tidak
mendapatkan seekor pun binatang buruan sampai malam tiba. Karena takut, ia naik ke atas
pohon wilwa, memetik-metik daunnya agar terjaga sepanjang malam itu. Di bawah pohon
itu ada danau yang terdapat sebuah lingga Siwa dan petikan daun itu jatuh tepat diatasnya.
Esok harinya ia pulang dengan tangan kosong. Beberapa tahun kemudian si pemburu jatuh
sakit dan akhirnya meninggal dunia. Jiwanya mengambang, lalu Siwa mengutus abdinya
untuk menjemput si pemburu namun terjadilah perang antara abdi Siwa dengan para
Kingkara memperebutkan jiwa si pemburu, yang dimenangkan oleh para abdi Siwa. Jiwa si
pemburu dibawa ke tempat Siwa dan disana ia disambut dengan sangat baik. Karena kalah,
paran Kingkara melapor kepada Yama, Yama merasa telah gagal menjalankan tugasnya
dan Yama memutuskan untuk mengundurkan diri dari tugasnya kepada Siwa. Akhirnya
Siwa menjelaskan bahwa pada malam Siwa harus dihormati, Lubdhakalah satu-satunya
dan juga orang pertama yang melakukan pembersihan dosa dengan memuja Siwa pada

131
Soekmono. 1981. Op.Cit. hal. 117-118.

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 64

malam yang disebut Siwaratri walaupun pemujaan tersebut tidak disengaja dan tidak
diketahui oleh Luibdhaka sendiri. Dengan demikian ia patut memerima anugrah, dan
semua dosa-dosanya dihapuskan.
14) Kakawin Parthayaja
Kakawin Parthayaja merupakan karya sastra yang digubah oleh Mpu Tanakung
pada masa Majapahit. Isinya meriwayatkan tentang Arjuna yang bertapa ke Gunung
Indrakla. Berikut ini ikhtisar Kakawin Parthayaja.
Guna mempersiapkan diri untuk pertempuran dahsyat, Arjuna harus menjalankan
tapa-brata agar memperoleh bantuan (senjata) dari ilahi yang mereka perlukan. Gunung
Indrakila merupakan tempat ia dapat berjumpa dengan para dewa. Dalam perjalanan ia
kemudian bertemu dengan Kama dan Ratih, Dewa dan Dewi Asmara. Arjuna meneruskan
perjalan ke gunung Indrakila; terus menurus ia bergulat melawan godaan, lelah dan
akhirnya dia sampai juga di Indrakla tempat kediaman para Dewa.
Setelah mendengar apa yang terjadi di Hastina dan apa yang menjadi tujuan
perjalanan Arjuna, maka ia menerangkan sifat para Korawa dan Pandawa yang sebenarnya
para korawa merupakan reinkarnasi kejahatan, sedangkan para pandawa dewa Pancakusika
yang diutus oleh sang mahadewa untuk membunuh para korawa bila waktu yang telah
ditetapkan tiba. Dengan cita-cita ini di dalam batinnya Arjuna menuju gunung Indrakirana;
setalah satu tahun tujuannya tercapai dan Siwa manampakkan diri sebagai Kirata
(pemburu).
15) Kakawin Kunjarakarna
Kitab ini ada yang berbentuk gancaran (prosa) dan ada yang berbentuk kakawin.
Yang berbentuk gancaran (prosa) mungkin sekali termasuk zaman Mataram, tetapi yang
kakawin berasal dari zaman Majapahit I.
132
Berikut ini digambarkan ikhtisar kitab
Kujarakara.
Yaksa Kunjarakarna Melakukan meditasi Buddha di Gunung Semeru agar dapat
dibebaskan dari wataknya sebagai setan dalam inkarnasi berikut. Setelah menghadap
Wairocana, diberi anugrah mengenai dharma dan diberi penerangan mengenai berbagai
nasib yang dialami para mahluk dunia ini. Sang dewa memuji keprihatiannya yang
demikian. Dengan hati cemas mengenai nasib sahabatnya, Kunjarakarna kemudian menuju
suarga untuk menceritakan apa yang dilihat dan didengarnya. Raja Gandharwa ini seolah-
olah terhenyak mendengar berita kematiannya yang tak terduga-duga. Kemudian mereka
berdua pergi menghadap sang Bodhi (citta) nirmala. Setelah itu ia memutuskan ikut
menemani Kunjarakarna melakukan tapa.
16) Beberapa Kakawin Minor
a) Subhadrawiwaha (Pernikahan Subhadra)
Kakawin ini tema syairnya selaras dengan kisah adiparwa, terdiri atas 55 pupuh,
pengarang cukup menguasai teknik persajakan dalam deskripsi alam dan adegan-adegan
asmara dengan setia. Penyimpangan terjadi dalam nama kerajaan raja citradahana, dalam
epos mahabrata disebut Manipura, dalam sastra parwa disebut Manayura, dalam kakawin

132
Soekmono. 1981. Op.Cit. hal.119.

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 65

disebut Mayura. Dalam Mahabrata apsari disebut Narga, dalam parwa disebut Sarwada,
dalam kakawin dusebut puspamesi. Pengarang rupanya mengikuti versi parwa.
b) Abhimanyuwiwaha (Pernikahan Abhimanyu)
Kakawin Abhimayuwiwaha hampir mirib dengan ubhadrawiwaha, terjadinya
hubungan timbal balik antara versi parwa dengan kakawin ini yang langsung menimba dari
karya prosa. Bagian deskriptif ditambah, bagian naratif dipersingkat tanpa mengubahnya.
c) Hariwijaya (Kemenangan Wisnu).
Yaitu kisah menenai berhasilnya dewa wisnu memotong atau memenggal kepala
raksasa rahu dengan cakra beliau yang sedang meminum amrta. Adegan adiparwa
merupakan tema Hariwijaya, bahasa, gaya dan teknik puitis kakawin ini mirib dengan
Subhadrawiwaha dan Abhimayuwiwaha.
d) Kisah-Kisah Tentang Ka
Dalam kakawin berikut Ka merupakan tokoh utama seperti: Kawijaya
(kemenaan krsna) atau Kalayawanantaka (kematian Kalayawana), Kalantaka atau
Kakalantaka (kematian raksasa Kakala), Kntaka (kematian Ka) atau
Kndhaka.
e) Kisah-kisah Parwa dalam Bentuk Kakawin
Kakawin minor ini mengambil bahannya dari Adiparwa, seperti misalnya
Subhadrawiwaha, Hariwijaya, Kalayawanantaka, Astiasraya (bantuan Astika),
Dimbiwicitra, Ratawijaya dan Khandawawanadahana, Indrawijaya, Ambasraya (Amba
mencari pertolongan) yang bersumber pada bagian terakhir dalam Udyogaparwa,
Phartawijaya (kemenangan Arjuna) adaptasi dari Bhismaparwa dan Arisraya yang
tergantung pada Uttarakanda.
f) Narakawijaya
Kakawin ini mungkin tidak masuk akal atau hampir mustahil di kalangan
masyarakat karena berakhir dengan kemenangan di pihak para raksasa. Dalam penulisan
kakawin ini judul kemenangan Naraka justru di berikan pada pupuh terakhir, ini
membuktikan bahwa kakawin ini ditinggalkan dalam keadaan belum selesai atau bagian
penutupnya hilang ketika di teruskan turun-temurun, kakawin ini secara tepat dapat
dilukiskan sebagai suatu pelengkap bagi Bhomntaka.
2. Bahasa dan Sastra Jawa Pertengahan
Meskipun dalam pengelompokan periodisasi bahasa Jawa di atas, disebutkan bahwa
perkembangan Bahasa Jawa Madya mulai sekitar akhir abad ke-15 hingga abad ke-18,
namun bukan berarti sebelum itu Bahasa Jawa Pertengahan tidak dikenal pada masa-masa
sebelumnya.
133

Periodisasi tersebut hanya untuk memudahkan pemahaman terhadap perkembangan
Bahasa Jawa Madya. Bahasa Jawa Pertengahan ini umumnya memiliki ciri-ciri sebagai
berikut :
Hasil karya penulis tradisional masih menggunakan bahasa sastra atau bahasa buku;
Syair Jawa Pertengahan telah mendapat pengaruh bahasa Arab, meliputi dua jenis, yaitu

133
Ibid. hal. 34-35.

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 66

(1) Tembang G tanpa guru laghu kakawin seperti Srat Dewa Ruci dan Suluk Karsa;
(2) Tmbang Tengahan (macapat), yang meliputi Sudamala sampai dengan Sri
Tanjung;
Setelah mendapat pengaruh Islam, karya sastra yang muncul seperti Het book van
Bonang sampai dengan Kitab Kanda.
Het book va Bonang bentuknya Tmbang Ge (dengan kaidah bukan kaidah kakawin
Sanskerta), Kitab Kanda bentuknya tembang tengahan, kidung, dan macapat.
Pada masa akhir Kerajaan Majapahit, Bahasa Jawa Tengahan juga sudah merupakan
bahasa lisan dan sangat berpengaruh pada bahasa buku, hingga muncullah karya-karya
prosa dan kidung. Berikut ini hasil-hasil karya sastra Jawa pada abad pertengahan (Zaman
Majapahit II) yang bisa dikenal hingga sekarang:
a. Tantu Pangglaran
Kitab Tantu Panggelaran berisi bermacam-macam cerita, sebagian berupa kisah,
yang menerangkan bagaimana terjadinya pulau Jawa, sebagian tentang pengalaman dan
perbuatan-perbuatan Siwa sebagai mahaguru dan sebagai organisator dunia keamanan,
sebagian membentangkan timbulnya para alim-ulama dengan aturan-aturannya.
Penduduk pertama pulau Jawa itu belum mempunyai peradaban sama sekali, jadi
masih biadab. Maka Mahaguru Siwa memberikan perintah kepada para dewa supaya turun
kebumi dan mengajar para manusia. Wisnu lalu turun ke dunia dengan para permaisurinya
dan mendirikan kerajaan pertama di Jawa. Wisnu beranak lima orang, yang sulung menjadi
petani, adik sulung menjadi pedagang, yang penengah menjadi pengambil tuak, kakak
bungsu menjadi jagal, yang bungsu menggantikan ayahnya menjadi raja.
Sesudah itu diceritakan, bahwa gunung Mandara atau Meru Mahameru dipenggal
puncaknya, dan puncak itu lalu dibawa ke Jawa untuk memperkokoh pulau Jawa yang
selalu bergoyang Dalam perjalanan itu selalu ada gumpalan yang jatuh dan gumpalan-
gumpalan ini menjadi gunung-gunung di Jawa. Selain dari pada itu diceritakan pula, bahwa
Siwa minum air racun dunia, bagaimana para raksasa mencari Tirta Amerta, bagaimana
Wisnu menyamar sebagai seorang putrid yang indah parasnya, mendapatkan Tirta Amerta
itu kembali. Pada waktu Wisnu hampir rnendapat kembali Tirta Amerta itu, raksasa Rahu
yang menyamar sebagai seorang dewa, dapat minum Tirta Amerta itu, tetapi pada waktu ia
sedang minum itu, ia ketahuan oleh matahari dan bulan, yang lalu member itahukan hal itu
kepada Wisnu. Wisnu segera mengambil cakranya, dan dipanahkannya kepada raksasa itu,
kena lehernya, patah. Kebetulan Tirta Amerta yang diminumnya baru sampai pada
lehernya. Maka, walaupun telah penggal lehernya itu, kepalanya tetap hidup dan kepala
itulah yang selalu mengganggu matahari dan bulan dankadang-kadang dapat menelannya
juga. Ini menyebabkan gerhana
134
. Bagian kedua dan ketiga kitab ini hanya menerangkan
asal mula dan bagaimana, apa sebab-sebabnya timbulnya biara-biara, tempat pertapaan,
madzab-madzab para alim-ulama, gunung-gunung, bintang-bintang sekitar tempat
pengarang kitab itu.


134
Wojowasito. 1967. Sejarah Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Kinta. hal. 115.

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 67

Selanjutnya diceritakan pengalaman-pengalaman anak-anak Siwa dan Uma yang
tidak terdapat dalam kesusastraan India. cerita-cerita ini memang Nusantara asli. Maka
diceritakan tentang mandala pertama yang didirikan oleh Siwa sebagai Dewa Guru.
Sebagai dewaguru Siwa berhak menahbiskan ulama lain menjadi wiku. Tanda-tanda
dewaguru yaitu payung, anting-anting dan sejenis baju. Siwa lalu mengangkat Wisbnu
menjadi guru mandala baru dan kepadanya diberikannya tanda-tanda yang perlu sebagai
guru. Tiap-tiap kali, kalau ada guru baru yang merubah aturan-aturan hidup promotornya
guru yang menjadi pemimpinnya khusus, maka timbullah madzab atau mandala baru.
Kalau tidak, maka mandala yang baru itu hanya merupakan bagian dari mandala yang
lama. Seterusnya kitab Tantu itu hanya berisi cerita-cerita tentang riwayat timbulnya
madzab-madzab itu, uraian tentang pengalaman, pekerjaan dan perbuatan para dewa guru.
Dengan uraian tersebut di atas ini dapat katakan, bahwa kitab Tantu itu sekedar memberi
gambaran kepada kita tentang paham-paham agama pada waktu itu dan bagaimana hidup
kerokhanian nenek-moyang kita.
b. Calon Arang
Isinya menceritakan tentang seorang janda yang ahli tenung pada masa Pemerintahan
Raja Airlangga yang bernama Calon Arang. Janda ini mempunyai anak perempuan yang
cantik jelita bernama Ratna Manggali. Tetapi hingga ia beranjak dewasa tidak seorang pun
yang berani meminangnya. Karena merasa terhina maka ia pun menyebarkan wabah di
seluruh negeri. Dengan tipu muslihat ia dapat dibunuh oleh Mpu Bharda atas permintaan
Raja Airlangga.
135

c. Korawrama
Isinya tentang kisah Korawa yang dihidupkan kembali setelah perang besar
Bharatayuddha. Kepada mereka dijanjikan kelak akan dapat membalas dendam terhadap
para Paawa, kalau mereka bersedia melakukan tapa yang berat sekali. Maka pergilah
mereka ke hutan-hutan untuk bertapa.
136

d. Bubhukah
Kisah ini menceritakan tentang dua orang bersaudara yang bernama Bhubukah dan
Gagang Aking. Mereka berdua terlibat perdebatan tentang cara-cara yang baik untuk
mencapai kesempurnaan. Oleh karenanya mereka berdua pergi bertapa. Bubhukah makan
segala apa yang dapat dimakan, pun juga binatang. Sebaliknya Gagang Aking hanya
makan tumbuh-tumbuhan saja, itu pun sekedar supaya ia jangan mati kelaparan.
Datanglah kepada mereka seekor harimau putih utusan Bhatara Guru. Harimau ini
menginginkan daging manusia. Berkatalah Gagang Aking, bahwa tak akan ada gunanya
jika harimau itu hendak memakan dirinya yang kurus kering itu. Sebaliknya, Bubhukah
dengan tak ragu-ragu menyediakan dirinya untuk dimakan. Bubhukah segera digendong
oleh harimau itu naik ke sorga, sedangkan Gagang Aking boleh turut berjalan kaki. Pun
tempat mereka di sorga berbeda.
137

e. Pararaton

135
Soekmono.Op.Cit. hal.119.
136
Loc.Cit
137
Loc.Cit.

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 68

Kitab ini dimaksudkan sebagai kitab sejarah, tetapi sangat kurang dapat dipercaya,
karena isinya lebih bersifat dongeng. Mula-mula diuraikan riwayat Ken arok, penuh
dengan kegaiban. Begitu pula tentang raja-raja Singhsari lainnya. Bagian ke-2
menguraikan riwayat Raden Wijaya, mulai ikut Ktanagara sampai menjadi Raja
Majapahit. Kemudian diceritakan tentang Jayanagara dan pemberontakan-pemberontakan
Rangga Lawe dan Sora, dan juga peristiwa puteri Sunda di Bubat. Penutupnya adalah
semacam daftar raja-raja sesudah Hayam Wuruk, dengan disertai oleh angka tahun yang
tidak cocok.
138

f. Suyana
Kidung Suyana ini juga termasuk kitab sejarah. Isinya mengisahkan nasib Raja
Sunda, r Baduga Mahrja, yang datang dari Majapahit untuk mengantarkan anaknya,
Dyah Pitaloka guna dikawinkan dengan Hayam Wuruk. Tetapi akhirnya ia dibunuh di
Bubat dekat Majapahit.
139

g. Paji Wijayakrama
Kidung Panji Wijayakrama ini menguraikan tentang kisah Raden Wijaya sampai ia
menjadi Raja Majapahit.
h. Kidung Rangga Lawe
Kidung ini mengisahkan tentang pemberontakan Rangga Lawe dari Tuban terhadap
Raja Jayanagara.
i. Sorndaka
Kidung ini mengisahkan tentang pemberontakan Sora dari Lumajang terhadap Raja
Jayanagara.
j. Usana Jawa
Kitab berupa tutur ini mengisahkan penaklukkan Bali oleh Gajah Mada dan Arya
Damar, kemudian pengamanan di Bali dengan menumpas raja raksasa My Dnawa. Dan
pemindahan keraton Majapahit ke Gelgel.
k. Kidung Tantri Kmandaka
Kidung ini merupakan gubahan dari Kitab Pacatantra dari India. Di Jawa kidung ini
digubah menjadi kitab Tantri Kmandaka yang berbahasa Jawa Kuna. Di dalamnya hanya
ada satu 'bagian' atau prakaraa yaitu Nandakaprakaraa walaupun nama ketiga
prakaraa lainnya juga disebut oleh Tantri, tokoh dalam Tantri Kmandaka. Dalam versi
Bahasa Jawa ada dua gubahan puitis dalam bahasa Jawa Tengahan yang konon
berdasarkan versi prosa ini yaitu Kidung Tantri Kdiri dan Kidung Tantri Dmung.
3. Bahasa Jawa Baru
Bahasa Jawa Baru mulai dikenal dan digunakan ketika munculnya kerajaan-kerajaan
Islam seperti Demak, Pajang, Surakarta Hadiningrat. Dalam pada itu masa ini ada tarik-
menarik antara Islam dan Hindu. Adapun bahasa Jawa Baru memiliki ciri-ciri seperti:
a. Munculnya Sufiks {-an/ an+} dan {-n}
b. Kata-kata baru atau kata lama berbentuk baru dan banyak jumlahnya
c. Bahasa Jawa Krama telah berkembang dengan sempurna, kira-kira sejak jaman Sultan

138
Soekmono.Op.Cit. hal.120.
139
Loc.Cit.

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 69

Agung Kerajaan Mataram II (Tahun 1613-1645).

Sastra Jawa Baru kurang-lebih muncul setelah masuknya agama Islam di pulau Jawa
dari Demak antara abad kelima belas dan keenam belas Masehi. Dengan masuknya agama
Islam, orang Jawa mendapatkan ilham baru dalam menulis karya sastra mereka. Maka,
pada masa-masa awal, zaman Sastra Jawa Baru, banyak pula digubah karya-karya sastra
mengenai agama Islam.
Ketika masyarakat Jawa telah mengenal suatu keyakinan baru, maka mereka juga
akan mengubah gaya dalam menulis karya sastranya. Dahulu yang bernafaskan Hindu-
Budha sekarang ketika agama Islam masuk karya sastra berudah dengan gaya Islam. Hasil
karya sastra pada masa ini antara lain berbentuk Kidung, Suluk dan Babad.
Gaya bahasa pada masa-masa awal masih mirip dengan Bahasa Jawa Tengahan.
Setelah tahun ~ 1650, bahasa Jawa gaya Surakarta menjadi semakin dominan. Setelah
masa ini, ada pula renaisans Sastra Jawa Kuna. Kitab-kitab kuna yang bernapaskan agama
Hindu-Buddha mulai dipelajari lagi dan digubah dalam bahasa Jawa Baru.
Di dalam lembaran sastra jawa Baru, terdapat tiga buah pusaka yang judulnya
masing-masing menggunakan kata Niti (yang artinya tuntunan), yaitu: Nitisewaka,
Nitisruti dan Nitipraja. Ketiga buah pusaka itu nadanya sama, ialah berisi tuntunan.
Nitisewaka dibuat pada zaman pemerintahan Sinuwun Mangkurat II di Kartasura,
sedangkan Nitipraja dibuat di zaman pemerintahan Sultan Agung di Mataram. Adapun
Nitisruti ditulis oleh Pangeran Karang Gayam, yaitu seorang pujangga kerajaan Pajang
yang bertempat tinggal di Karang Gayam. Nama sebenarnya adalah Pangeran
Tumenggung Sujonopuro, yang menurut silsilah masih gantung siwurnya Raden Ngabehi
Ranggawarsita .
Seiring dengan tersiarnya ajaran Islam, secara tidak langsung kidung dimanfaatkan
oleh para intelektual Islam untuk menyebarkan ajaran Islam di pesisir utara (Giri,
Surabaya, Demak). Setelah pusat penyebaran agama Islam berpindah dari pesisir ke
pedalaman, yakni Mataram, kebudayaan jawa mengalami pembangunan. Pada zaman
Sultan Agung terjadi restrukturisasi kebudayaan jawa. Pada satu pihak kebudayaan jawa
yang bersumber kebudayaan dikristalisasikan dan dimantapkan, misalnya macapat
dilestarikan dan dibakukan strukturnya. Pada lain pihak kebudayaan Jawa dimodernkan,
misalnya, dengan diciptakan kalender jawa yang merupakan hasil rekayasa perpaduan
tahun Saka dan tahun Hijriyah.
Beberapa tahun kemudian terjadilah masa renaisans sastra Jawa (Kuna) pada zaman
Jawa baru yakni pada awal masa kerajaan Surakarta. Pada masa ini sastra jawa mengalami
zaman keagungannya. Banyak sekali hasil sastra yang diciptakan dan isinya pun
beranekaragam. Hal ini berkat pengayoman para raja yang sedang memegang tampuh
pemerintahan dan pada saat itu bahasa Jawa dipergunakan sebagai bahasa dinas
pemerintahan. Terlebih lagi, para raja dan para ksatria punggawanya ikut serta menggubah
berbagai macam pustaka kuna.
Ini merupakan stimulan bagi para peminat dan pencintanya untuk mencontoh berbuat
hal yang sama. Sri Susuhunan Pakubuwana III, Sri Susuhunan Pakubuwana IV, Sri

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 70

Susuhunan Pakubuwana V, KGPAA Mangkunegara IV, R. Ng. Sindu Sastra, KPA
Kusumadilaga dan lainnya, adalah tokoh-tokoh pemerintahan terkemuka dan ikut serta
mendukung mengembangkan kesusateraan Jawa disamping para pujangga yang diwisuda.
Sementara yang sungguh-sungguh membawa sastra Jawa memasuki abad keemasan pada
zaman tersebut adalah R. Ng. Yasadipura I (pujangga pertama keraton Kasunanan
Surakarta Adiningrat), R. Ng. Yasadipura II atau R. T. Sastranegara (pujangga Kasunanan
yang kedua).
Karya sastra Jawa mengalami kebangkitan pada abad XVII dan XIX. Karya-karya itu
ditulis dan digubah oleh para pujangga keraton, terutama Yogyakarta (bekas Mataram) dan
Surakarta. Oleh karena itu pada zaman itu karya sastra mengalami perkembangan yang
pesat, wajarlah jika Piegeud menyebut zaman itu sebagai zaman keemasan (renaisans)
sastra Jawa.
Menurut perjalanan sejarah kesusasteraan Jawa mengalami perkembangan akibat
semakin menurunnya peran keraton dalam bidang politik dan ekonomi. Hal ini disebabkan
oleh hadirnya kompeni Belanda yang semakin lama semakin menggeser kekuasaan politik
keraton. Oleh karena kekuasaan keraton semakin terdesak dan campur tangan kompeni
semakin mencengkram, seolah-olah keraton Jawa kehilangan peran dan bahkan mencapai
puncak krisis. Sehingga keraton lebih banyak berperan sebagai pusat kesenian dan
kesusateraan.
Dalam perjalanan sejarah, pengaruh politik kompeni Belanda terhadap keraton Jawa
telah dimulai sejak Belanda memberi bantuan kepada keraton Mataram untuk menumpas
pemberontakan Trunajaya (1677-1680). Setelah Mataram berhasil memadamkan
pemberontakan Trunajaya atas jasa kompeni, pihak Mataram memberikan fasilitas
kemudahan kepada Belanda, antara lain, adalah diijinkan membangun benteng pertahanan
di sekitar keraton. Akan tetapi, Mataram tidak menyadari bahwa sebenarnya Belanda
adalah musuh dalam selimut. Bahkan urusan rumah tangga politik keraton, sampai pada
persoalan pergantian tahta seperti patih dan bupati, Belanda tidak terlepas dari campur
tangannya.
Pengaruh kompeni Belanda terhadap keraton jawa semakin besar dan memuncak
sejak disetujuinya perjanjian Gianti tahun 1755 yang membagi keraton Mataram menjadi
dua yaitu, Yogyakarta dan Surakarta. Di samping menurunnya kekuasaan politik keraton
akibat campur tangan pemerintah kolonial yang menyebabkan situasi keraton bertambah
parah, situasi keraton bertambah kacau lagi akibat pengurangan wilayah-wilayah keraton
oleh pemerintah kolonial.
Akibat pengurangan wilayah itu sumber penghasilan keraton semakin sedikit,
kemakmuran raja berkurang, dan rakyat semakin menderita. Selang beberapa tahun
kemudian pada masa koloni Inggris, pada tahun 1813, sebagian wilayah Negaragung
Yogyakarta diberikan kepada Adipati Pakualam karena jasanya membantu pemerintahan
Inggris. Padahal setahun sebelumnya, tahun 1812, keraton Yogyakarta dan Surakarta
dipaksa untuk menyerahkan Negaragung Kedu kepada Inggris dengan alasan membantu
Sultan Hamengkubuwana III naik tahta dan juga karena alasan Inggris telah melindungi
wibawa Sunan di Surakarta.

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 71

Pengaruh kekuasaan pemerintahan kolonial yang leluasa ini menyebabkan hubungan
kaum bangsawan dengan orang-orang Barat semakin terbuka. Sangatlah wajar jika
penetrasi peradaban barat dengan mudah mengalir ke istana. Bahkan, karena
ketergantungan keraton pada pemerintahan kolonial semakin tidak dihindari, maka
pemerintahan kolonial pun dengan mudah menghentikan aktivitas raja dan para bangsawan
dalam bidang politik dan ekonomi. Dengan demikian, karena tugas politik ekonomi raja
dan bangsawan di keraton sudah tidak ada lagi, maka tugas mereka dialihkan pada bidang
kesenian dan kesusasteraan. Hal itulah yang disebut kesusateraan Jawa mengalami
perkembangan akibat mundurnya peran istana dalam bidang ekonomi dan politik.
Melihat situasi masyarakat yang semakin krisis tersebut, akhirnya para pujangga
keraton menggugah diri dan berusaha untuk menegakkan kembali nilai-nilai dan norma-
norma tradisional yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Satu-satunya jalan yang
ditempuh adalah dengan cara menulis dan mengubah sastra yang berisi ajaran, piwulang,
dan sebagainya, yang dimaksudkan sebagi tindakan antisipasi terhadap gejala-gejala krisis
tersebut. Tindakan itu dilandasi oleh pikiran bahwa konteks masyarakat yang demikian,
karya sastra berisi petunjuk-petunjuk berfungsi sebagai salah satu jalan untuk
mempersatukan kekuatan masyarakat di bawah naungan raja.
Selain karya sastra diciptakan oleh pujangga dengan tujuan untuk menjaga harkat
dan martabat raja dan bangsawan, juga untuk menegakkan kembali nilai-nilai dan norma-
norma tradisional. Oleh karena itu, jelas bahwa karya sastra diciptakan bukan hanya untuk
memenuhi kebutuhan 'golongan atas' di keraton, melainkan juga untuk kalangan
masyarakat luas. Yang berkenaan dengan tujuan memenuhi kebutuhan golongan atas,
biasanya karya sastra ditulis sesuai dengan cerminan pandangan hidup kaum bangsawan
yang memberi prioritas pada bidang teologi dan etika. Namun jika diamati lebih jauh lagi,
sebenarnya karya sastra yang menekankan bidang teologi dan etika itu tidak hanya
dikonsumsi golongan atas saja tetapi juga untuk konsumsi seluruh masyarakat pada
umumnya.
Atas dasar beberapa pernyataan di atas akhirnya muncullah pada zaman ini karya-
karya KGPAA Mangkunegara IV (seperti Wedatama, Tripama, Wira Wiyata, Manuhara),
atau karya Pakubuwana IV (Wulangreh, Wulangreh Putri). Karya-karya tersebut lebih
banyak menekankan bidang etika secara umum.
Dalam Wedatama, selain mengajarkan tentang etika dan etiket, juga terdapat ilmu
tentang ilmu kesempurnaan dan ilmu pengetahuan. Ajaran ilmu kesempurnaan itu
misalnya tercantum dalam bagian-bagian yang mengajarkan tata cara sembah raga,
sembah jiwa, sembah cipta dan sembah rasa sebagaimana diungkapkan oleh KGPAA
Mangkunegara IV dalam Srat Wedatama IV.1 berikut ini (Tmbang Gambuh):

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 72

Samengko ingsun tutur
Smbah catur supaya lumuntur
ihin raga cipta jiwa rasa kaki
Ing kono lamun tinmu
Tana nugrahaning mann
Terjemahan:
Kini aku menasehatkan, empat sembah agar kau tiru. Pertama, raga, cipta, jiwa, rasa,
anakku. Di situ bila terdapat, tanda anugerah Tuhan.

Akan tetapi, selain terdapat ajaran itu, justru dipentingkan adalah ajaran etika dan
etiket, misalnya tata cara bagaimana seseorang harus berjiwa bersih, pemaaf, rela dan
pasrah, juga harus bersifat sopan dan pandai menyesuaikan diri.
Dalam Tripama, Mangkunegara IV lebih menekankan ajarannya bagi prajurit
daripada kaum sipil pada umumnya. Dalam serat Tripama diberi lambang tiga tokoh
wayang teladan yaitu, Bambang Sumantri atau Patih Suwanda, Bambang Kumbakarna dan
Adipati Basukarna atau Surya Putra. Oleh karena itu, cita-cita dalam Tripama sesuai
dengan kepentingan keraton kejawen waktu itu.
Dalam serat Wirawiyata, Mangkunegara IV menekankan bahwa seorang prajurit
yang menepati janji sesuai dengan yang diucapkan ketika pelantikan, dan hal tersebut
harus dipegang teguh dalam menjalankan tugasnya sebagai prajurit. Kemerosotan politik
raja yang menyebabkan pula merosotannya masyarakat, sehingga Pakubuwana IV dalam
Wulangreh menyatakan bahwa masyarakat tidak lagi berusaha mencari kebenaran. Yang
terjadi zaman itu, menurut Pakubuwana IV, tradisi murid mencari guru sudah beralih
menjadi kiai bersusah payah mencari murid.
Karya-karya lainnya yang juga dimaksudkan menjadi pedoman untuk mengantisipasi
adanya krisis masyarakat pada waktu itu adalah Nitisruti Lugu, gubahan Pakubuwana IX,
Serat Dumba Sawala, Chandrarini karya Ranggawarsito atas perintah Pakubuwana IX, dan
Serat Wulang Estri hasil gubahan Pakubuwana X.
Dalam Nitisruti Lugu terdapat ajaran tentang kewaspadaan, yakni ajaran yang
diambil dari konsep Asthabrata, dan ajaran tentang peperangan. Hampir senada dengan
karya diatas, ajaran tentang keberanian seorang prajurit digambarkan dalam serat Dumba
Sawala. Melalui simbol berbagai binatang, seorang prajurit diharapkan memiliki sikap
pantang mundur.
Tampaknya ajaran-ajaran yang dikemukakan dalam karya-karya sastra pada masa itu
tidak hanya terbatas pada bidang etika ksatriaan yang harus dilakukan oleh seorang prajurit
keraton,tetapi juga etika tentang kewanitaan. Hal ini dapat dijumpai pada Candrarini dan
Wulang Estri. Konsep ajaran yang dapat dijumpai pada Candrarini adalah ajaran moral
bagi kaum wanita dalam hidup berumah tangga.
Melalui simbol wayang, seorang istri harus dapat bertindak seperti tingkah laku istri-
istri Arjuna, yakni mengenai watak dan sifat-sifatnya. Dalam Wulang Estri, mengenai

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 73

sosok seorang istri melalui simbol jari tangan. Lima jari tangan itu mempunyai makna
yang pada pokoknya memberi ciri seorang istri atau wanita ideal. Disamping itu muncul
beberapa pujangga yang berusaha melukiskan gejala krisis masyarakat lewat karya-karya
yang diciptakannya, agaknya ada seorang lagi pujangga yang tergolong berani. Ia adalah
Ranggawarsita, seorang pujangga Surakarta terkenal. Lewat karya-karyanya, antara lain,
Kalatidha dan Jaka Lodhang, ia menyoroti langung keadaan masyarakat terutama
lingkungan istana Surakarta yang dilanda gejolak kekacauan dan krisis.
Lewat Kalatidha, Ranggawarsita menyatakan zaman itu disebut zaman edan, yakni
zaman yang penuh dengan kekacauan dan kemunafikan. Hal ini sebagaimana diungkapkan
dalam Srat Kalatidha 1 (Tmbang Sinom) berikut ini:
Mangkya drajating praja
Kawuryan wus onya ruri
Rurah pangrhing ukara
Karaa tanpa palupi
Atilar sila astuti
Sujana sarjana klu
Kaluluh kala tidha
Tim tananing dumadi
Ardayngrat dn karoban rubda
Terjemahan:
Keadaan negara waktu sekarang, sudah semakin merosot. Situasi (keadaan tata negara)
telah rusak, karena sudah tak ada yang dapat diikuti lagi. Sudah banyak yang
meninggalkan petuah-petuah / aturan-aturan lama. Orang cerdik cendekiawan terbawa
arus Kala Tidha (jaman yang penuh keragu-raguan). Suasananya mencekam. Karena
dunia penuh dengan kerepotan.

Ia sebagai wakil sensibilitas kaum bangsawan merasa sedih melihat campur tangan
Belanda dalam pemberian gelar, terutama bagi mereka yang bekerja di gubernuran. Dalam

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 74

Jaka Lodhang diungkapkan bahwa situasi keraton semakin bertambah kacau. Dalam Pupuh
II (Tembang Sinom) 1-2 disebutkan sebagai berikut.
Sasdyan tanpa dadya
Sacipta-cipta tan polih
Kang rraton-raton rantas
Mrih luhur asor pinanggih
Bbndu gung nkani
Kongas ing kanistanipun
Wong agung nis gungira
Sudirng wirang jrih lalis
Ingkang cilik tan tolih ring cilikira
Terjemahan:
Waktu itu seluruh kehendaki tidak ada yang terwujud, apa yang dicita-citakan buyar,
apa yang dirancang berantakan, segalanya salah perhitungan, ingin menang malah
kalah, karena datangnya hukuman (kutukan) yang berat dari Tuhan. Yang tampak
hanyalah perbuatan-perbuatan tercela. Orang besar kehilangan kebesarannya, lebih
baik tercemar nama daripada mati, sedangkan yang kecil tidak mau mengerti akan
keadaannya.


Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 75

Wong alim-alim pulasan
Njaba putih njro kuning
Ngulama mangsah maksiat
Madat madon minum main
Kaji-kaji ambataning
Dulban keu putih mamprung
Wadon nir wadonira
Prabawng salaka rukmi
Kabh-kabh mung marono tingalira.
Terjemahan:
Banyak orang yang tampaknya alim, tetapi hanyalah semu belaka. Diluar tampak baik
tetapi didalamnya tidak. Banyak ulama berbuat maksiat. Mengerjakan madat, madon
minum dan berjudi. Para haji melemparkan ikat kepala hajinya. Orang wanita
kehilangan kewanitaannya karena terkena pengaruh harta benda. Semua saja waktu itu
hanya harta bendalah yang menjadi tujuan.
140


Rusaknya moral tersebut lebih diakibatkan karena saat itu manusia kehilangan
kepribadiannya atau wong agung nis gungiro, wong kang tan toleh ing cilikira (manusia
sudah tidak tahu keutamaannya, manusia rendah sudah tidak menyadari kedudukannya
sebagai manusia rendah). Selain itu banyak pula yang mengaku sok suci padahal di hatinya
penuh dengan kedengkian dan kemunafikan (wong alim-alim pulasan, njaba putih njro
kuning)
Dari uraian mengenai latar belakang munculnya karya-karya sastra jawa baru,
tampak bahwa isi karya sastra sebagian besar berkaitan dengan kehidupan masyarakat
istana, terutama kehidupan raja dan wewenangnya.
Akhir abad XIX, atau tepatnya pada tanggal 24 Desember 1873, R. Ng.
Ranggawarsita, pujangga keraton Surakarta wafat. Sesudah itu itu raja Surakarta Sri
Susuhunan Pakubuwana IX tidak lagi mewisuda pujangga penggantinya. Oleh sebab itu R.
Ng. Ranggawarsita adalah pujangga penutup atau pujangga terakhir dari keraton
Kasunanan Surakarta Adiningrat. Kematian sang pujangga agung ini tidak berarti sastra
jawa itu mati atau berhenti. Kesusasteraan Jawa terus hidup mengarungi zaman-zaman
berikutnya.
Namun semenjak itu kesusasteraan bergeser sumbernya. Yang semula bermata air di
dalam keraton, setelah sang pujangga wafat berangsur di luar istana. Isi sastra jawa tidak
lagi membicarakan suasana keraton tetapi mendendangkan kehidupan masyarakat awam
dengan segala problemanya. Para pengarang dan penciptanya mendendangkan peristiwa-
peristiwa yang lumrah didapati dalam jalan hidup masyarakat awam dengan gaya bahasa

140
Andjar Any. 1989. Rahasia Ramalan Jaya Baya, Ranggawarsita dan Sabdo Palon. Semarang;Penerbit
Aneka Ilmu. hal.16-19.

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 76

awam pula yang mudah difahami oleh peminat dan pencintanya. Walau ada karya
pujangga lahir, itu berkembang di luar istana Surakarta, tetapi masih dalam lingkungan
keraton Mangkunegaran seperti Langendriya Mandraswara karya RMA Tandha Kusuma.
4. Bahasa Jawa Modern
Istilah bahasa Jawa Modern digunakan hanya untuk mengambil garis batas antara
unsur bahasa Jawa yang diidentifikasi sebagai bahasa Jawa baru. Secara faktual
menyertakan bukti-bukti yang konkrit, bahwa dengan majunya teknologi dan komunikasi
seperti sekarang ini, yang disebut bahasa Jawa Baru dengan bahasa Jawa Modern akan
jelas berbeda. Apalagi ketika bahasa Jawa baru itu disebutkan mulai jaman Surakarta awal
kurang lebih sekitar tahun 1740-an Masehi.
Bahasa Jawa Modern pada umumnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a. Masih menggunakan istilah-istilah lama dalam Bahasa Jawa Kuna yang berasal dari
bahasa Sanskerta yang dipandang sebagai bahasa indah (basa rinngga).
b. Tetap terpeliharanya unsur leksikal Bahasa Jawa dari pengaruh Bahasa Arab dengan
terjadinya penyesuaian fonetis bahasa Jawa.
c. Pungutan unsur leksikal bahasa-bahasa asing.
d. Diambilnya istilah-istilah teknologi dan ilmu pengetahuan umum kedalam bahasa Jawa
dengan tanpa perubahan.
Secara historis setelah zaman kesusastraan Jawa Baru pada masa Surakarta berakhir,
dilanjutkan oleh zaman Balai Pustaka. Pada masa ini pemerintahan Belanda pada
permulaan abad XX, membentuk Komisi Bacaan Rakyat atau Commissie Voor de
Volksleetuur yang kemudian berubah menjadi Balai Pustaka sampai mendaratnya Jepang
di pulau Jawa pada tahun 1942. Setelah itu sastra jawa yang berlaku adalah sastra jawa
modern. Hasil karya sastra pada masa ini banyak yang berbentuk novel, gguritan (puisi
Jawa Baru), cerkak (crita ckak), parikan dan lain-lain. Berikut ini contoh gguritan dan
parikan yang merupakan hasil karya sastra Jawa modern.
Contoh Gguritan dalam Sastra Jawa Modern
Geguritan Putih
Dening: J.F. X. Hoery

Nalika candhikayu ngungkuri pandoming wektu
geguritan putih ngranggeh dina rengka
nyasak ginawa kidung sepi
sambaing kadang kang lagi ngenam gagasan
pencolotan ing antarane usuk-usuk gapuk
nyekseni kang padha prasetya ngukir gegering wengi
nanging lintang luku kaddung kebacut turu
konang sore kedungsangan kijenan
geguritan putih isih nguyak mega ketiga
nyebar piweling kanggo tlatah ngare
mbeber pangentha nggugah panggantha

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 77

milang tumetesing bun esuk
kanggo nraju keteging bumi klawu
nganti telenging gisik
panggah tanpa swara kumrisik
geguritan putih temlawung
suwung
141


Contoh Parikan dalam Sastra Jawa Modern
Wajik klik, gula jawa
Luwih bcik, sing prasaja

Bisa nggambang, ora bisa nyuling
Bisa nyawang, ora bisa nyaning

Kmbang kncur, ganda sp saning sumur
Kudu jujur, yn kow kpingin luhur

suk nakir sore nakir, sing ditakir goong plasa
suk mikir sore mikir, sing dipikir ra rumangsa

Ngtan bali ngulon
Tiwas dan ora klakon
142


D. KESENIAN JAWA
Seni merupakan karya yang diciptakan dengan keahlian yang luar biasa dan memiliki
nilai estetik atau keindahan.
143
Kesenian sendiri dapat didefinisikan sebagai perihal seni
atau keindahan.
144
Dilihat dari hasil karyanya maka seni memiliki beragam bentuk seperti:
seni arca, seni bangunan, seni drama, seni kriya, seni lukis, seni pahat, seni panggung, seni
rupa, seni sastra, seni suara, seni sungging, seni taman, seni tari dan masih banyak lagi
lainnya. Ragam seni itu akan bertambah seiring dengan perjalanan waktu.
Nilai seni pun juga berubah dari masa ke masa. Dahulu nilai seni (estetik) dipandang
sebagai sesuatu yang indah (cantik dan bergaya seni). Akan tetapi nilai itu kini telah
mengalami pergeseran yang lebih pada muatan makna dan aksi mental. Oleh karenanya
seni modern dan postmodern telah mengalami diskursus nilai-nilai seni itu sendiri seperti
layaknya: pastis (pastische), parodi, murahan (kitsch), camp (bermakna juga anti makna),
skizofrenia (fenomena psikis), fun (dagelan, plesetan), horor (menakutkan), misteri (alam
gaib, UFO, mitos), simulasi (realitas semu) dan sebagainya
145
.
Dalam konteks sosial budaya, kesenian rakyat adalah kesenian masyarakat banyak
dalam bentuk yang dapat menimbulkan rasa indah yang diciptakan sendiri oleh anggota

141
Dimuat di Majalah Panyebar Semangat No.5 29 Januari 2011.hal.40.
142
Endang Dwi Lestari. 2009. Kawruh Sapala Basa. Klaten: Intan Pariwara.hal.97-99.
143
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. Op.Cit. hal. 1037.
144
Ibid. hal.1038.
145
Agus Sachari. 2001. Estetika, Makna, Simbol dan Daya. Bandung: Penerbit ITB. hal 3.

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 78

masyarakat yang hasil merupakan milik bersama.
146
Dari pemahaman ini maka yang
dimaksudkan dengan kesenian Jawa merupakan hasil karya seni masyarakat Jawa yang
telah diciptakan oleh orang-orang Jawa pada zaman dahulu atau pun sekarang dan telah
menjadi milik masyarakat Jawa.
Ragam kesenian Jawa yang banyak kita kenal saat ini dan dimiliki oleh masyarakat
Jawa secara umum antara lain: seni tari, seni musik, seni drama, seni suara, seni rupa dan
seni bangunan.
1. Seni Tari
Tari sering disebut juga "beksa", kata "beksa" berasal dari kata "ambg" dan "sa".
Kata tersebut mempunyai maksud dan pengertian bahwa orang yang akan menari haruslah
benar-benar menuju satu tujuan, yaitu menyatu jiwanya dengan pengungkapan wujud
gerak yang luluh. Seni tari adalah ungkapan yang disalurkan / diekspresikan melalui gerak-
gerak organ tubuh yang ritmis, indah mengandung kesusilaan dan selaras dengan gending
sebagai iringannya.
Seni tari yang merupakan bagian budaya bangsa sebenarnya sudah ada sejak jaman
primitif, Hindu sampai masuknya agama Islam dan kemudian berkembang. Bahkan tari
tidak dapat dilepaskan dengan kepentingan upacara adat sebagai sarana persembahan. Tari
mengalami kejayaan yang berangkat dari kerajaan Kediri, Singosari, Majapahit khususnya
pada pemerintahan Raja Hayam Wuruk.
Seni tari Jawa ini dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu seni tari khas Jawa Tengahan
dan khas Jawa Timuran.
a. Seni Tari Jawa Tengahan
Surakarta merupakan pusat seni tari. Sumber utamanya terdapat di Keraton Surakarta
dan di Pura Mangkunegaran. Dari kedua tempat inilah kemudian meluas ke daerah
Surakarta seluruhnya dan akhirnya meluas lagi hingga meliputi daerah Jawa Tengah, terus
sampai jauh di luar Jawa Tengah.
Seni tari yang berpusat di Kraton Surakarta itu sudah ada sejak berdirinya Kraton
Surakarta dan telah mempunyai ahli-ahli yang dapat dipertanggungjawabkan. Tokoh-tokoh
tersebut umumnya masih keluarga Sri Susuhunan atau kerabat kraton. Seni tari yang
berpusat di Kraton Surakarta itu kemudian terkenal dengan Tari Gaya Surakarta. Macam-
macam tariannya antara lain: Srimpi, Bedaya, Gambyong, Wireng, Prawirayuda, Wayang-
Purwa Mahabarata-Ramayana. Yang khusus di Mangkunegaran disebut Tari
Langendriyan, yang mengambil ceritera Damarwulan.
Dalam perkembangannya timbullah tari kreasi baru yang mendapat tempat dalam
dunia tari gaya Surakarta. Selain tari yang bertaraf kraton, yang termasuk seni tari bermutu
tinggi, di daerah Jawa Tengah terdapat pula bermacam-macam tari daerah setempat. Tari
semacam itu termasuk jenis kesenian tradisional, seperti : Dadung Ngawuk, Kuda Kepang,
Incling, Dolalak, Tayuban, Jelantur, Ebeg, Ketek Ogleng, Barongan, Sintren, Lengger, dan
lain-lain.


146
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. Op.Cit. hal. 1038.

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 79

Pedoman tari tradisional itu sebagian besar mengutamakan gerak yang ritmis dan
tempo yang tetap sehingga ketentuan-ketentuan geraknya tidaklah begitu ditentukan sekali,
jadi lebih bebas dan lebih bersifat personal. Seni tari khas Jawa Tengahan dapat dibedakan
menjadi klasik, tradisional dan garapan baru. Beberapa jenis tari yang ada antara lain :
1) Tari Klasik
a) Tari Bedhaya
Budaya Islam ikut mempengaruhi bentuk-bentuk tari yang berangkat pada jaman
Majapahit. Seperti Tari Bedhaya 7 penari berubah menjadi 9 penari disesuaikan dengan
jumlah Wali Sanga. Ide Sunan Kalijaga tentang Bedhaya dengan 9 penari ini akhirnya
sampai pada Mataram Islam, tepatnya sejak perjanjian Giyanti pada tahun 1755 oleh
Pangeran Purbaya, Tumenggung Alap-alap dan Ki Panjang Mas, maka disusunlah tari
Bedhaya dengan penari berjumlah 9 orang.
Hal ini kemudian dibawa ke Kraton Kasunanan Surakarta. Oleh Sunan Pakubuwono
I dinamakan Bedhaya Ketawang, termasuk jenis Bedhaya Suci dan Sakral, dengan nama
peranan sebagai berikut : (1) Endhel Pojok, (2) Batak, (3) Gulu, (4) aa, (5) Buncit
(6)Enel Apit Ngajeng, (7) Enel Apit Wuri, (8) Enel Weton Ngajeng, dan (9) Enel
Weton Wuri.
Berbagai jenis tari Bedhaya yang belum mengalami perubahan antara lain: Bedhaya
Ketawang (durasi 130 menit), Bedhaya Pangkur (durasi 60 menit), Bedhaya Duradasih
(durasi 60 menit), Bedhaya Mangunkarya (durasi 60 menit), Bedhaya Sinom (durasi 60
menit), Bedhaya Endhol-endhol (durasi 60 menit), Bedhaya Gandrungmanis (durasi 60
menit), Bedhaya Kabor (durasi 60 menit) dan Bedhaya Tejanata (durasi 60 menit).

Gambar 5. Tari Beaya Ketawang

Pada umumnya berbagai jenis Bedhaya tersebut berfungsi menjamu tamu raja dan
menghormat serta menyambut Nyi Roro Kidul, khususnya Bedhaya Ketawang yang jarang
disajikan di luar Kraton, juga sering disajikan pada upacara di lingkungan Istana. Di
samping itu ada juga Bedhaya-bedhaya yang mempunyai tema kepahlawanan dan bersifat
monumental. Melihat lamanya penyajian tari Bedhaya (juga Srimpi) maka untuk konsumsi
masa kini perlu adanya inovasi secara matang, dengan tidak mengurangi ciri dan bobotnya.
Contoh Bedhaya garapan baru : Bedhaya La la (lama tarian 15 menit), Bedhaya To lu
(lama tarian 12 menit) dan Bedhaya Alok (lama tarian 15 menit).


Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 80

b) Tari Srimpi
Tari Srimpi yang ada sejak Prabu Amiluhur ketika masuk ke Kraton mendapat
perhatian pula. Tarian yang ditarikan 4 putri itu masing-masing mendapat sebutan : air, api,
angin dan bumi/tanah, yang selain melambangkan terjadinya manusia juga melambangkan
empat penjuru mata angin. Sedang nama peranannya: Batak, Gulu, Dhada dan Buncit.
Komposisinya segi empat yang melambangkan tiang Pendopo. Seperti Bedhaya, tari
Srimpipun ada yang suci atau sakral yaitu Srimpi Anglir Mendhung.
Juga karena lamanya penyajian (60 menit) maka untuk konsumsi masa kini diadakan
inovasi. Contoh Srimpi hasil garapan baru: Srimpi Anglirmendhung menjadi 11 menit,
Srimpi Gondokusumo menjadi 15 menit dan lain-lain.

Gambar 6. Tari Srimpi

Selain tari Bedhaya dan Srimpi ada beberapa tari klasik yang tumbuh dari tari
Bedhaya dan Srimpi. Beberapa contoh tari klasik yang tumbuh dari Bedhaya dan Srimpi
antara lain: Gambyong, Wireng, Pethilan, Golek, Bondan dan Topeng.
c) Beksan Gambyong
Beksan ini berasal dari tari Glondrong yang ditarikan oleh Nyi Mas Ajeng
Gambyong. Menarinya sangat indah ditambah kecantikan dan modal suaranya yang baik,
akhirnya Nyi Mas itu dipanggil oleh Bangsawan Kasunanan Surakarta untuk menari di
Istana sambil memberi pelajaran kepada para putra putri Raja. Oleh Istana tari itu diubah
menjadi tari Gambyong.

Gambar 7. Tari Gambyong

Selain sebagai hiburan, tari ini sering juga ditarikan untuk menyambut tamu dalam
upacara peringatan hari besar dan perkawinan. Adapun ciri-ciri tari ini adalah: (1) jumlah

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 81

penari seorang putri atau lebih; (2) memakai jarit wiron, (3) tanpa baju melainkan memakai
kemben atau bangkin, (4) tanpa jamang melainkan memakai sanggul/gelung, (4) dalam
menari boleh dengan sindenan (menyanyi) atau tidak.
d) Beksan Wireng
Beksan ini berasal dari kata "Wira (perwira)" dan 'Aeng' yaitu prajurit yang unggul,
yang 'ang', yang 'linuwih'. Tari ini diciptakan pada jaman pemerintahan Prabu Amiluhur
dengan tujuan agar para putra beliau tangkas dalam olah keprajuritan dengan
menggunakan alat senjata perang. Sehingga tari ini menggambarkan ketangkasan dalam
latihan perang dengan menggunakan alat perang.
Ciri-ciri tarian ini antara lain: (1) ditarikan oleh dua orang putra atau putri, (2) bentuk
tariannya sama, tidak mengambil suatu cerita, (3) tidak menggunakan antawacana
(dialog), (4) bentuk pakaiannya sama, (5) perangnya tanding, artinya tidak menggunakan
gending sampak/srepeg, hanya iramanya/temponya kendho/kenceng, (6) gending satu atau
dua, artinya gendhing ladrang kemudian diteruskan gendhing ketawang, (7) tidak ada yang
kalah/menang atau mati.
e) Tari Pethilan
Tari ini hampir sama dengan Tari Wireng. Bedanya Tari Pethilan mengambil adegan/
bagian dari ceritera pewayangan. Ciri-cirinya: (1) tari boleh sama, boleh tidak;
(2)menggunakan antawacana (dialog); (3) pakaian tidak sama, kecuali pada lakon kembar;
(4) ada yang kalah/menang atau mati; (5) perang mengguanakan gendhing srepeg, sampak,
gangsaran; (6) memetik dari suatu cerita lakon. Contoh dari Pethilan: Bambangan Cakil,
Hanila, Prahasta dan lain-lain.
f) Tari Golek
Tari ini berasal dari Yogyakarta. Pertama dipentaskan di Surakarta pada upacara
perkawinan KGPH. Kusumoyudho dengan Gusti Ratu Angger tahun 1910. Selanjutnya
mengalami adaptasi dengan gaya Surakarta. Tari ini menggambarkan cara-cara berhias diri
seorang gadis yang baru menginjak masa remaja, agar lebih cantik dan menarik.

Gambar 8. Tari Golek
Macam-macamnya: Golek Clunthang iringan Gendhing Clunthang, Golek Mantra
iringan Gendhing Mantra, Golek Surungdayung iringan Gendhing Ladrang Surungdayung
dan sebagainya.

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 82

g) Tari Bondan
Tari ini dibagi menjadi: Bondan Cindogo, Bondan Mardisiwi dan Bondan
Pegunungan/Tani. Tari Bondan Cindogo dan Mardisiwi merupakan tari gembira,
mengungkapkan rasa kasih sayang kepada putranya yang baru lahir. Tapi Bondan Cindogo
satu-satunya anak yang ditimang-timang akhirnya meninggal dunia. Sedang pada Bondan
Mardisiwi tidak, serta perlengakapan tarinya sering tanpa menggunakan keni seperti pada
Bondan Cindogo. Ciri pakaiannya: (1) memakai kain Wiron, (2) memakai Jamang,
(3)memakai baju kotang, (4) menggendong boneka, (5) memanggul payung, (6) membawa
keni (dahulu), sekarang jarang. Untuk gendhing iringannya Ayak-ayakan diteruskan
Ladrang Ginonjing. Tapi sekarang ini menurut kemampuan guru/pelatih tarinya.

Gambar 9. Tari Bondan

Sedangkan Bondan Pegunungan, melukiskan tingkah laku putri asal pegunungan
yang sedang asyik menggarap ladang, sawah, tegal pertanian. Dulu hanya diiringi lagu-
lagu dolanan tapi sekarang diiringi gendhing-gendhing lengkap. Ciri pakaiannya :
(1)mengenakan pakaian seperti gadis desa, menggendong tenggok, memakai caping dan
membawa alat pertanian; (2) di bagian dalam sudah mengenakan pakaian seperti Bondan
biasa, hanya tidak memakai jamang tetapi memakai sanggul/gelungan. Kecuali jika
memakai jamang maka klat bahu, sumping, sampur, dan lain-lain sebelum dipakai
dimasukkan tenggok. Bentuk tariannya; pertama melukiskan kehidupan petani kemudian
pakaian bagian luar yang menggambarkan gadis pegunungan dilepas satu demi satu
dengan membelakangi penonton. Selanjutnya menari seperti gerak tari Bondan Cindogo /
Mardisiwi.
g) Tari Topeng
Tari ini sebenarnya berasal dari Wayang Wong atau drama. Tari Topeng yang pernah
mengalami kejayaan pada jaman Majapahit, topengnya dibuat dari kayu dipoles dan
disungging sesuai dengan perwatakan tokoh/perannya yang diambil dari Wayang Gedhog,
Menak Panji. Tari ini semakin pesat pertumbuhannya sejak Islam masuk terutama oleh
Sunan Kalijaga yang menggunakannya sebagai penyebaran agama. Beliau menciptakan 9
jenis topeng, yaitu topeng Panji Ksatrian, Condrokirono, Gunung sari, Handoko, Raton,
Klono, Denowo, Benco (Tembem), Turas (Penthul). Pakaiannya dahulu memakai ikat
kepala dengan topeng yang diikat pada kepala.


Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 83

2) Tari Tradisional
Selain tari-tari klasik, di Jawa Tengah terdapat pula tari-tari tradisional yang tumbuh
dan berkembang di daerah-daerah tertentu. Kesenian tradisional tersebut tak kalah
menariknya karena mempunyai keunikan-keunikan tersendiri. Beberapa contoh kesenian
tradisional :
a) Tari Dolalak di Purworejo
Pertunjukan ini dilakukan oleh beberapa orang penari yang berpakaian menyerupai
pakaian prajurit Belanda atau Perancis tempo dulu dan diiringi dengan alat-alat bunyi-
bunyian terdiri dari kentrung, rebana, kendang, kencer dan sebagainya. Menurut cerita,
kesenian ini timbul pada masa berkobarnya perang Aceh di jaman Belanda yang kemudian
meluas ke daerah lain.
b) Patolan (Prisenan) di Rembang
Sejenis olahraga gulat rakyat yang dimainkan oleh dua orang pegulat dipimpin oleh
dua orang Gelandang (wasit) dari masing-masing pihak. Pertunjukan ini diadakan sebagai
olah raga dan sekaligus hiburan di waktu senggang pada sore dan malam hari terutama di
kala terang bulan purnama. Lokasinya berada di tempat-tempat yang berpasir di tepi
pantai. Seni gulat rakyat ini berkembang di kalangan pelajar terutama di pantai antara
kecamatan Pandagan, Kragan, Bulu sampai ke Tuban, Jawa Timur.
c) Tari-tarian di Blora
Daerah ini terkenal dengan atraksi kesenian Kuda Kepang, Barongan dan Wayang
Krucil (sejenis wayang kulit terbuat dari kayu).
d) Tari-tarian di Pekalongan
Di daerah Pekalongan terdapat kesenian Kuntulan dan Sintren. Kuntulan adalah
kesenian bela diri yang dilukiskan dalam tarian dengan iringan bunyi-bunyian seperti
bedug, terbang dan sejenisnya.
Sedangkan Sintren adalah sebuah tari khas yang magis animistis yang terdapat selain
di Pekalongan juga di Batang dan Tegal. Kesenian ini menampilkan seorang gadis yang
menari dalam keadaan tidak sadarkan diri, sebelum tarian dimulai gadis menari tersebut
dengan tangan terikat dimasukkan ke dalam tempat tertutup bersama peralatan bersolek,
kemudian selang beberapa lama ia telah selesai berdandan dan siap untuk menari. Atraksi
ini dapat disaksikan pada waktu malam bulan purnama setelah panen.
e) Obeg dan Begalan
Kesenian ini berkembang di Cilacap. Pemain Obeg ini terdiri dari beberapa orang
wanita atau pria dengan menunggang kuda yang terbuat dari anyaman bambu (kepang),
serta diiringi dengan bunyi-bunyian tertentu. Pertunjukan ini dipimpin oleh seorang
pawang (dukun) yang dapat membuat pemain dalam keadaan tidak sadar.
Begalan adalah salah satu acara dalam rangkaian upacara perkawinan adat
Banyumas. Kesenian ini hidup di daerah Banyumas pada umumnya juga terdapat di
Cilacap, Purbalingga maupun di daerah di luar Kabupaten Banyumas. Yang bersifat khas
Banyumas antara lain Calung, Begalan dan Dalang Jemblung.
f) Calung dari Banyumas
Calung adalah suatu bentuk kesenian rakyat dengan menggunakan bunyi-bunyian

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 84

semacam gambang yang terbuat dari bambu, lagu-lagu yang dibawakan merupakan
gending Jawa khas Banyumas. Juga dapat untuk mengiringi tarian yang diperagakan oleh
beberapa penari wanita. Sedangkan untuk Begalan biasanya diselenggarakan oleh keluarga
yang baru pertama kalinya mengawinkan anaknya. Yang mengadakan upacara ini adalah
dari pihak orang tua mempelai wanita.
g) Kuda Lumping (Jaran Kepang) dari Temanggung
Kesenian ini diperagakan secara masal, sering dipentaskan untuk menyambut tamu-
tamu resmi atau biasanya diadakan pada waktu upacara.
h) Lengger dari Wonosobo
Kesenian khas Wonosobo ini dimainkan oleh dua orang laki-laki yang masing-
masing berperan sebagai seorang pria dan seorang wanita. Diiringi dengan bunyi-bunyian
yang antara lain berupa angklung bernada Jawa (angklung Jawa). Tarian ini mengisahkan
cerita Dewi Chandrakirana yang sedang mencari suaminya Inu Kertapati (yang diambilkan
dari legenda cerita Panji) yang pergi tanpa pamit. Dalam pencariannya itu ia diganggu oleh
raksasa yang digambarkan memakai topeng. Pada puncak tarian penari mencapai keadaan
tidak sadar.
i) Jatilan dari Magelang
Pertunjukan ini biasanya dimainkan oleh delapan orang yang dipimpin oleh seorang
pawang yang diiringi dengan bunyi-bunyian berupa bende, kenong dan lain-lain. Dan pada
puncaknya pemain dapat mencapai 'trance' atau masuk dalam alam bawah sadar mereka.
Kemudian sang pawing akan segera datang membantu untuk menyadarka pemain tersebut.
j) Jlantur dari Boyolali
Sebuah tarian yang dimainkan oleh 40 orang pria dengan memakai ikat kepala gaya
turki. Tariannya dilakukan dengan menaiki kuda kepang dengan senjata tombak dan
pedang. Tarian ini menggambarkan prajurit yang akan berangkat ke medan perang, dahulu
merupakan tarian penyalur semangat kepahlawanan dari keturunan prajurit Diponegoro.
k) Ketek Ogleng dari Wonogiri
Kesenian yang diangkat dari ceritera Panji, mengisahkan cinta kasih klasik pada
jaman kerajaan Kediri. Ceritera ini kemudian diubah menurut selera rakyat setempat
menjadi kesenian pertunjukan Ketek Ogleng yang mengisahkan percintaan antara Endang
Roro Tompe dengan Ketek Ogleng. Penampilannya dititik beratkan pada suguhan tarian
akrobatis gaya kera (Ketek Ogleng) yang dimainkan oleh seorang dengan berpakaian kera
seperti wayang orang. Tarian akrobatis ini di antara lain dipertunjukan di atas seutas tali.
l) Tayuban
Adalah salah satu jenis tari masyarakat Jawa. Tarian ini juga dikenal di seluruh
Nusantara, tetapi dengan versi yang berbeda. Tayuban digelar sebagai bagian dari upacara
sakral yang berhubungan dengan kesuburan (kesuburan perkawinan dan kesuburan
pertanian/tanah). Di daerah tertentu tarian ini digelar sebagai bagian dari upacara
pembersihan (bala atau malapetaka) dan biasanya juga digelar dalam penyambutan tamu-
tamu agung, sedekah desa, sedekah bumi, khitanan, perkawinan, dan lain-lain.
Pada zaman dahulu tarian ini mempunyai nilai hiburan dan sensual karena tarian ini
menggambarkan keakraban hubungan lelaki (pengibing) dan perempuan (ronggeng).

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 85

Makanya ada yang beranggapan bahwa Tayuban itu berasal dari kata "tayub" (ditata
guyub). Guyub antara lelaki dan perempuan. Di daerah tertentu, penari perempuan
menggunakan sampur atau selendang. Nantinya selendang itu diberikan kepada laki-laki
(ketiban sampur). Dan yang menerima selendang itu mendapat kehormatan untuk menari
bersama dengan penari perempuan tadi.
m) Angguk
Tarian ini berasal dari Banyumas. Tarian jenis ini sudah ada sejak abad ke 17 dibawa
para mubalig penyebar agama Islam yang datang dari wilayah Mataram-Bagelen. Tarian
ini disebut angguk karena penarinya sering memainkan gerakan mengangguk-anggukan
kepala. Kesenian angguk yang bercorak Islam ini mulanya berfungsi sebagai salah satu alat
untuk menyiarkan agama Islam. Sayangnya jenis kesenian ini sekarang semakin jarang
dipentaskan. Angguk dimainkan sedikitnya oleh 10 orang penari anak laki-laki berusia
sekitar 12 tahun.
Pakaian para penari umumnya berwarna hitam lengan panjang dengan garis-garis
merah dan kuning di bagian dada/punggung sebagai hiasan. Celana panjang sampai lutut
dengan hiasan garis merah pula, mengenakan kaos kaki panjang sebatas lutut tanpa sepatu,
serta memakai topi pet berwarna hitam. Perangkat musiknya terdiri dari kendang, bedug,
tambur, kencreng, 2 rebana, terbang (rebana besar) dan angklung.
Syair lagu-lagu tari angguk diambil dari kitab Barzanji sehingga syair-syair angguk
pada awalnya memang menggunakan bahasa Arab tetapi akhir-akhir ini gerak tari dan
syairnya mulai dimodifikasi dengan menyisipkan gerak tari serta bahasa khas Banyumasan
tanpa merobah corak aslinya. Bentuk lain dari kesenian angguk adalah "aplang", bedanya
bila angguk dimainkan oleh remaja pria maka "aplang" atau "daeng" dimainkan oleh
remaja putri.
3) Tari Garapan Baru (Kreasi Baru)
Meskipun namanya 'baru' tetapi semua tari yang termasuk jenis ini tidak
meninggalkan unsur-unsur yang ada dari jenis tari klasik maupun tradisional. Adapun yang
merpakan tari garapan baru antara lain:
a) Tari Prawiroguno
Tari ini menggambarkan seorang prajurit yang sedang berlatih diri dengan
perlengkapan senjata berupa pedang untuk menyerang musuh dan juga tameng sebagai alat
untuk melindungi diri.
b) Tari Tepak-Tepak Putri
Tari ini menggambarkan kelincahan gerak remaja-remaja putri sedang bersuka ria
memainkan rebana, dengan iringan pujian atau syair yang bernafas Islam.
c) Pujangganong atau Bujangganong
Tari ini menggambarkan sosok patih muda (Patihnya Klana Sewandana) yang
cekatan, cerdik, jenaka, dan sakti. Sosok ini digambarkan dengan topeng yang mirip
dengan wajah raksasa, hidung panjang, mata melotot, mulut terbuka dengan gigi yang
besar tanpa taring, wajah merah darah dan rambut yang lebat warna hitam menutup pelipis
kiri dan kanan.


Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 86

d) Klana Sewandana atau Klono
Penari dan tarian yang menggambarkan sosok raja dari kerajaan Bantarangin
(kerajaan yang dipercaya berada di wilayah Ponorogo jaman dahulu). Sosok ini
digambarkan dengan topeng bermahkota, wajah berwarna merah, mata besar melotot, dan
kumis tipis. Selain itu ia membawa Pecut Samandiman; berbentuk tongkat lurus dari rotan
berhias jebug dari sayet warna merah diselingi kuning sebanyak 5 atau 7 jebug.
e) Buncis
Buncis adalah perpaduan antara seni musik dengan seni tari yang dimainkan oleh 8
orang pemain. Dalam pertunjukannya diiringi dengan perangkat musik angklung. Para
pemain buncis selain menjadi penari juga menjadi pemusik serta vokalis. Pada bagian
akhir sajian para pemain Buncis Intrance atau mendem.
f) Aksimuda
Aksimuda adalah kesenian bernafas Islam yang disajikan dalam bentuk atraksi
pencak silat yang digabung dengan tari-tarian. Dan masih banyak lagi tarian kreasi baru
lainnya. Mengingat tari kreasi baru akan selalu berkembang seiring dengan perkembangan
peradaban manusia.

b. Seni Tari Jawa Timuran
Seni tari tradisional di Jawa Timur secara umum dapat dikelompokkan dalam gaya
Jawa Tengahan, gaya Jawa Timuran, tarian Jawa gaya Osing, dan tarian gaya Madura.
Sebagian besar tari klasik dan tradisional yang ada di Jawa Tengah juga dikenal dan
ditarikan oleh masyarakat Jawa Timur. Misalnya: tari srimpi, tari gambyong, tari bondan,
tari pethilan, tari topeng, tari klana dan sebagainya. Berikut ini beberapa macam seni tari
Jawa Timuran yang banyak dikenal masyarakat.
1) Tari Remo
Mungkin sebagian orang pernah mendengar ataupun melihat tarian yang mempunyai
ciri-ciri terdapat kidungan (nyanyian) di dalam tarian, dan juga gemericik suara gongseng
(lonceng) di sepanjang tarian. Itulah Tari Remo. Tarian ini berasal dari Jombang, Jawa
Timur. Tari ini menceritakan tentang perjuangan seorang prajurit dalam medan laga.

Gambar 10. Tari Remo (Ngremo)


Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 87

Pada awalnya tari ini merupakan tarian yang digunakan sebagai pengantar
pertunjukan ludruk ataupun juga dalam kesenian tayub yang juga disebut dengan
lenggeran. Namun, sekarang tarian ini lebih sering ditarikan sebagai sambutan atas tamu
kenegaraan, dan juga acara resmi lainnya. terkadang tarian ini ditarikan secara masal dalam
perayaan hari besar kenegaraan.
Tari Remo sebenarnya mempunyai 2 gaya yaitu gaya putra dan gaya putri. Untuk
gaya putra lebih sering ditarikan dalam pembuka pertunjukan ludruk, sedangkan gaya putri
sering ditarikan dalam kesenian tayub oleh para penari-penari lengger. Tari ini dalam
perkembangannya tersebar di seluruh jawa timur, jadi tak heran jika di masing-masing
daerah di jawa timur juga terdapat tari remo dengan ciri atau gaya khas masing-masing
daerah. Antara lain Malangan, Suroboyoan, Situbondo, dan lain-lain.
Dan tidak menutup kemungkinan oleh karena di masing-masing daerah banyak
terdapat grup / kelompok kesenian, tari Remo telah mengalami beberapa perubahan dalam
gerak, khususnya ukelan. Begitu juga di sanggar Panji Laras. Musik yang mengiringi Tari
Remo ini adalah gamelan Tawa Timuran, yang biasanya terdiri atas bonang barung/babok,
bonang penerus, saron, gambang, gender, slentem siter, seruling, kethuk, kenong, kempul,
dan gong.
Adapun jenis irama yang sering dibawakan untuk mengiringi Tari Remo adalah Jula-
Juli atau gending-gending kreasi baru. Untuk kostum tari remo penarinya menggunakan
jenis kostum yang terdiri dari bagian atas hitam yang menghadirkan pakaian abad ke-18
berbentuk rompi dengan dasar yang nyorak seperti putih ataupun merah, celana pendek
bludru hitam dengan hiasan emas, dipinggang ada sebuah sabuk dan keris. Di paha kanan
ada selendang menggantung sampai kemata kaki. di kaki kanan terdapat gongseng sebagai
gelang.
Di sebutkan bahwa tarian remo ini di promosikan sekitar tahun 1900, yang kemudian
dimanfaatkan oleh nasionalis indonesia untuk berkomunikasi kepada masyarakat. Panji
Laras sebagai salah satu dari sekian banyak sanggar yang terdapat di Jawa Timur ikut
melestarikan tarian ini, dengan membuat beberapa kreasi gerak dalam tarian Remo
(terutama gaya Monali Fatah), agar tari ini terus dapat dilestarikan sebagai wujud kekayaan
dan nuansa budaya khususnya Jawa Timur.
2) Tari Reog Ponorogo
Tari Reog Ponorogo ini berasal dari Kabupaten Ponorogo. Tari ini menceritakan
tentang Raja Ponorogo yang berniat melamar putri Kediri, Dewi Ragil Kuning. Namun
ditengah perjalanan ia dicegat oleh Raja Singabarong dari Kediri. Pasukan Raja
Singabarong terdiri dari merak dan singa, sedangkan dari pihak Kerajaan Ponorogo Raja
Kelono dan Wakilnya Bujanganom, dikawal oleh warok (pria berpakaian hitam-hitam
dalam tariannya), dan warok ini memiliki ilmu hitam mematikan.
Seluruh tariannya merupakan tarian perang antara Kerajaan Kediri dan Kerajaan
Ponorogo, dan mengadu ilmu hitam antara keduanya, para penari dalam keadaan
'kerasukan' saat mementaskan tariannya. Dalam pertunjukkannya, seni tari Reog Ponorogo
biasanya diiringi oleh musik angklung Jawa.

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 88


Gambar 11. Seni Reog Ponorogo
3) Tari Beskalan
Tari beskalan adalah salah satu bentuk tari putrid yang berkembang dari bentuk tari
ritual, khususnya sebagai medium upacara yang erat kaitannya dengan eksistensi bumi atau
tanah, yang kemudian sekitar tahun 1930-an berkembang menjadi bentuk tari yang
berkaitan erat dengan pertunjukan andong, sejenis tayub yang pertunjukan secara
berkeliling mbarang atau amen.
Menurut istilah Beskalan berasal dari kata jawa Bit-Kal. Bit, berawal dari kata bibit
atau bakal. Kal, berawal dari kata cikal atau awal (kawitan). Pengertian Beskalan yang
dipahami memiliki makna awal atau permulaan, pertimbangan itu dikaitkan dengan seni
pertunjukan yang erat kaitannya dengan tari Beskalan, yaitu ludruk atau tayub. Pada seni
pertunjukan ludruk atau tayub selalu diawali dengan sajian tari Beskalan sebagai tari
pembuka
Asal usul tari beskalan yang berkembang di Malang namun tidak didapatkan data
yang jelas, tetapi asal usul itu dapat disimak dari cerita lisan. Yaitu tari beskalan
berkembang sekitar tahun 1930-an, hal ini didasarkan dari cerita lisan penari beskalan
senior.
Tari beskalan adalah salah satu bentuk tari pemujaan leluhur, sebagai ritual
pengharapan, pengharapan kesehatan (segerwaras), keselamatan (selamet), dan kesuburan.
Maka eksistensi tari beskalan tampak lebih mungkin sebagai media dalam berbagai ritus,
bahkan diikuti dengan metodologi yang memberikan dukungan terhadap kelangsungan
eksistensinya.
3) Tari Topeng Malangan
Gaya kesenian ini adalah wujud pertemuan tiga budaya (Jawa Tengahan, Madura,
dan Tengger). Hal tersebut terjadi karena Malang memiliki tiga sub-kultur, yaitu sub-kultur
budaya Jawa Tengahan yang hidup di lereng gunung Kawi, sub-kultur Madura di lereng
gunung Arjuna, dan sub-kultur Tengger sisa budaya Majapahit di lereng gunung Bromo-
Semeru.
4) Tari Bantengan
Seni Tradisional Bantengan, adalah sebuah seni pertunjukan budaya tradisi yang
menggabungkan unsur sendra tari, olah kanuragan, musik, dan syair/mantra yang sangat

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 89

kental dengan nuansa magis. Pelaku Bantengan yakin bahwa permainannya akan
semakin menarik apabila telah masuk tahap trans yaitu tahapan pemain pemegang kepala
Bantengan menjadi kesurupan arwah leluhur Banteng (Dhanyangan).
Seni Bantengan yang telah lahir sejak jaman kerajaan jaman Kerajaan
Singasari (situs candi Jago Tumpang) sangat erat kaitannya dengan Pencak Silat.
Walaupun pada masa kerajaan Ken Arok tersebut bentuk kesenian bantengan belum seperti
sekarang, yaitu berbentuk topeng kepala bantengan yang menari. Karena gerakan tari yang
dimainkan mengadopsi dari gerakan Kembangan Pencak Silat.
Tidak aneh memang, sebab pada awalnya Seni Bantengan adalah unsur
hiburan bagi setiap pemain Pencak Silat setiap kali selesai melakukan latihan rutin.
Setiap grup Bantengan minimal mempunyai 2 Bantengan seperti halnya satu pasangan
yaitu Bantengan jantan dan betina.
Walaupun berkembang dari kalangan perguruan Pencak Silat, pada saat ini Seni
Bantengan telah berdiri sendiri sebagai bagian seni tradisi sehingga tidak keseluruhan
perguruan Pencak Silat di Indonesia mempunyai Grup Bantengan dan begitu juga
sebaliknya. Perkembangan kesenian Bantengan mayoritas berada di masyarakat pedesaan
atau wilayah pinggiran kota di daerah lereng pegunungan se-Jawa Timur tepatnya Bromo-
Tengger-Semeru, Arjuno-Welirang, Anjasmoro, Kawi dan Raung-Argopuro.
Permainan kesenian bantengan dimainkan oleh dua orang yang berperan sebagai kaki
depan sekaligus pemegang kepala bantengan dan pengontrol tari bantengan serta kaki
belakang yang juga berperan sebagai ekor bantengan. Kostum bantengan biasanya terbuat
dari kain hitam dan topeng yang berbentuk kepala banteng yang terbuat dari kayu serta
tanduk asli banteng.
Bantengan ini selalu diiringi oleh sekelompok orang yang memainkan musik khas
bantengan dengan alat musik berupa gong, kendang, dan lain-lain. Kesenian ini dimainkan
oleh dua orang laki-laki, satu di bagian depan sebagai kepalanya, dan satu di bagian
belakang sebagai ekornya. dan biasanya, lelaki bagian depan akan kesurupan, dan orang
yang di belakangnya akan mengikuti setiap gerakannya.
Tak jarang orang di bagian belakang juga kesurupan. tetapi, sangat jarang terjadi
orang yang di bagian belakang kesurupan sedangkan bagian depannya tidak. bantengan
dibantu agar kesurupan oleh orang (laki-laki) yang memakai pakaian serba merah yang
biasa disebut abangan dan kaos hitam yang biasanya di sebut irengan.
Bantengan juga selalu diiringi oleh macanan. kostum macanan ini terbuat dari kain
yang diberi pewarna (biasanya kuning belang oranye), yang dipakai oleh seorang lelaki.
macanan ini biasanya membantu bantengan kesurupan dan menahannya bila kesurupannya
sampai terlalu ganas. Namun tak jarang macanan juga kesurupan.
Ornamen yang ada pada Bantengan yaitu : tanduk (banteng, kerbau, sapi, dan lain-
lain), kepala banteng yang terbuat dari kayu (waru, dadap, miri, nangka, loh, kembang,
dan lain-lain), mahkota Bantengan (berupa sulur wayangan dari bahan kulit atau kertas),
klontong (alat bunyi di leher), keranjang penjalin, sebagai badan (pada daerah tertentu
hanya menggunakan kain hitam sebagai badan penyambung kepala dan kaki belakang),
gongseng kaki, keluhan (tali kendali).

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 90

Dalam setiap pertunjukannya (disebut "gebyak"), Bantengan didukung beberapa
perangkat, yaitu: (1) dua orang Pendekar pengendali kepala bantengan (menggunakan tali
tampar); (2) pemain Jidor, gamelan, pengerawit, dan sinden; (3) minimal satu orang pada
setiap posisi sesepuh (orang yang dituakan); (4) mempunyai kelebihan dalam hal
memanggil leluhur Banteng (Dhanyangan) dan mengembalikannya ke tempat asal
Pamong; (5) pendekar pemimpin yang memegang kendali kelompok dengan membawa
kendali yaitu pecut (cemeti/cambuk); serta (6) minimal ada dua macanan dan satu
monyetan sebagai peran pengganggu Bantengan.
Seni bantengan adalah kesenian komunal artinya melibatkan banyak orang didalam
setiap pertunjukannya. Seperti halnya sifat kehidupan hewan banteng, yaitu hidup
berkelompok (koloni), kebudayaan bantengan ini membentuk perilaku masyarakat yang
menggelutinya untuk selalu hidup dalam keguyuban, gotong royong dan menjunjung tinggi
rasa persatuan kesatuan.
Satu contoh perilaku budaya pelaku kesenian bantengan yang mencolok adalah
budaya anjang sana anjang sini, yaitu budaya balas budi antar kelompok seni bantengan
apabila salah satu diantaranya diundang untuk memainkan keseniannya di daerah lain.
Maka, dilain waktu kelompok seni bantengan yang ada di daerah tersebut akan bergantian
mendatangi kelompok bantengan yang sebelumnya membantu meramaikan sebuah acara di
daerahnya.
Perkembangan kesenian bantengan di Kota Batu telah dimulai sejak pada jaman
perjuangan. Pada masa tersebut, para pemuda Kota Batu (yang masih menjadi bagian
Kabupaten Malang) banyak dikirim ke Pondok Pesantren untuk mempelajari Ilmu
Kanuragan Pencak Silat yang berpusat di daerah Jombang.
Seperti yang telah disebutkan diatas, erat kaitan kesenian bantengan dengan Pencak
Silat, maka setelah nyantri (mencari ilmu di Pondok Pesantren) para pemuda Batu kembali
ke kampung halaman dan mendirikan padepokan Pencak Silat. Untuk menarik para
pemuda yang ada di perkampungannya mau mempelajari Kanuragan Pencak Silat, maka
dikembangkanlah kesenian Bantengan dengan penokohan hewan Banteng yang liar sedang
melawan Macan (Harimau).
Pada masa perjuangan melawan penjajah tersebut, penokohan ini dilambangkan yaitu
hewan Banteng yang hidup koloni (berkelompok) adalah lambang Rakyat Jelata dan
hewan Macan (Harimau) melambangkan Penjajah Belanda, serta ada tokoh hewan Monyet
yang suka menggoda Banteng dan Macan serta memprovokasi keduanya untuk selalu
bertarung. Monyetan ini melambangkan Provokator.
Sampai saat ini, kesenian Bantengan Batu (yang telah berotonommi menjadi
Kotamadya tersendiri lepas dari Kabupaten Malang) masih terus menjaga eksistensinya.
Bahkan pada perkembangannya di pelosok pelosok pedesaan, kesenian Bantengan telah
mampu berdiri sendiri di luar kelompok Padepokan Pencak Silat.
Selanjutnya, kesenian Bantengan yang berkembang pesat di Batu ini dibawa oleh
salah satu tokoh pencak silat di daerah Bumiaji menuju wilayah Pacet Mojokerto (karena
letak dua wilayah yang berdekatan di lereng pegunungan Arjuno-Welirang) dan
dikembangkan kesenian ini sampai sekarang.

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 91

5) Tari Jawa Timuran khas Osing
Osing adalah sebutan untuk orang-orang yang memiliki budaya khas Banyuwangi.
Sebagian besar masyarakat Osing tinggal di wilayah Banyuwangi bagian Utara.
Masyarakat Osing juga memiliki tarian klasik dan tradisional yang cukup terkenal. Adapun
tari-tari yang berasal dari masyarakat Osing adalah:
a) Tari Seblang
Tari Seblang merupakan tarian sakral bagi masyarakat suku Osing di wilayah
Banyuwangi. Ritual Seblang adalah salah satu ritual masyarakat Using yang hanya dapat
dijumpai di dua desa dalam lingkungan kecamatan Glagah, Banyuwangi, yakni desa
Bakungan dan Olihsari. Ritual ini dilaksanakan untuk keperluan bersih desa dan tolak bala,
agar desa tetap dalam keadaan aman dan tentram. Ritual ini sama seperti ritual Sintren di
wilayah Cirebon, Jaran Kepang, dan Sanghyang di Pulau Bali. Penyelenggaraan tari
Seblang di dua desa tersebut juga berbeda waktunya, di desa Olihsari diselenggarakan satu
minggu setelah Idul Fitri, sedangkan di desa Bakungan yang bersebelahan,
diselenggarakan seminggu setelah Idul Adha.
Para penarinya dipilih secara supranatural oleh dukun setempat, dan biasanya penari
harus dipilih dari keturunan penari seblang sebelumnya. Di desa Olihsari, penarinya
haruslah gadis yang belum akil baliq, sedangkan di Bakungan, penarinya haruslah wanita
berusia 50 tahun ke atas yang telah mati haid (menopause).

Gambar 12. Tari Seblang

Tari Seblang ini sebenarnya merupakan tradisi yang sangat tua, hingga sulit dilacak
asal usul dimulainya. Namun, catatan sejarah menunjukkan bahwa Seblang pertama yang
diketahui adalah Semi, yang juga menjadi pelopor tari Gandrung wanita pertama
(meninggal tahun 1973). Setelah sembuh dari sakitnya, maka nazar ibunya (Mak Midah
atau Mak Milah) pun harus dipenuhi, Semi akhirnya dijadikan seblang dalam usia kanak-
kanaknya hingga setelah menginjak remaja mulai menjadi penari Gandrung.
Tari Seblang ini dimulai dengan upacara yang dibuka oleh sang dukun desa atau
pawang. Sang penari ditutup matanya oleh para ibu-ibu yang berada di belakangnya,
sambil memegang tempeh (nampan bambu). Sang dukun mengasapi sang penari dengan
asap dupa sambil membaca mantera. Setelah sang penari kesurupan (tak sadarkan diri atau
kejiman dalam istilah lokal), dengan tanda jatuhnya tempeh tadi, maka pertunjukan pun

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 92

dimulai. Si seblang yang sudah kejiman tadi menari dengan gerakan monoton, mata
terpejam dan mengikuti arah sang pawang atau dukun serta irama gendhing yang
dimainkan. Kadang juga berkeliling desa sambil menari. Setelah beberapa lama menari,
kemudian si seblang melempar selendang yang digulung ke arah penonton, penonton yang
terkena selendang tersebut harus mau menari bersama si Seblang. Jika tidak, maka dia
akan dikejar-kejar oleh Seblang sampai mau menari.
Musik pengiring Seblang hanya terdiri dari satu buah kendang, satu buah kempul
atau gong dan dua buah saron. Sedangkan di Olihsari ditambah dengan biola sebagai
penambah efek musikal. Dari segi busana, penari Seblang di Olihsari dan Bakungan
mempunyai sedikit perbedaan, khususnya pada bagian omprok atau mahkota.
Pada penari Seblang di desa Olihsari, omprok biasanya terbuat dari pelepah pisang
yang disuwir-suwir hingga menutupi sebagian wajah penari, sedangkan bagian atasnya
diberi bunga-bunga segar yang biasanya diambil dari kebun atau area sekitar pemakaman,
dan ditambah dengan sebuah kaca kecil yang ditaruh di bagian tengah omprok.
Pada penari Seblang wilayah Bakungan, omprok yang dipakai sangat menyerupai
omprok yang dipakai dalam pertunjukan Gandrung, hanya saja bahan yang dipakai terbuat
dari pelepah pisang dan dihiasi bunga-bunga segar meski tidak sebanyak penari seblang di
Olihsari. Disamping unsur mistik, ritual Seblang ini juga memberikan hiburan bagi para
pengunjung maupun warga setempat, dimana banyak adegan-adegan lucu yang
ditampilkan oleh sang penari seblang ini.
b) Tari Jejer Gandrung
Tari jejer gandrung merupakan salah satu kebudayaan tradisional yang ada di daerah
Kabupaten Banyuwangi. Tari ini konon merupakan pengembangan dari Tari Seblang. Jika
Tari Seblang bersifat sakral, maka Tari Jejer Gandrung lebih bersifat profan.
Jejer Gandrung itu sendiri berasal dari bahasa Osing (bahasa asli daerah
Banyuwangi) yang artinya "jejer" adalah ditampilkan dan "Gandrung" adalah senang. Jadi
tari Jejer Gandrung adalah tari yang ditampilkan untuk menyambut tamu-tamu atau
undangan yang berkunjung ke Banyuwangi. Tari jejer gandrung berasal di daerah Kemiren
yaitu di daerah kaki gunung Ijen. Tari ini dimainkan oleh beberapa remaja putri dengan
serasi, elok dan menawan.

Gambar 13. Tari Jejer Gandrung

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 93

Kesenian ini masih satu genre dengan seperti Ketuk Tilu di Jawa Barat, Tayub di
Jawa Tengah dan Jawa Timur bagian barat, Lengger di wilayah Banyumas dan Joged
Bumbung di Bali, dengan melibatkan seorang wanita penari profesional yang menari
bersama-sama tamu (terutama pria) dengan iringan musik (gamelan). Gandrung merupakan
seni pertunjukan yang disajikan dengan iringan musik khas perpaduan budaya Jawa dan
Bali. Tarian dilakukan dalam bentuk berpasangan antara perempuan (penari gandrung) dan
laki-laki (pemaju) yang dikenal dengan "paju"
147
.
Bentuk kesenian yang didominasi tarian dengan orkestrasi khas ini populer di
wilayah Banyuwangi yang terletak di ujung timur Pulau Jawa, dan telah menjadi ciri khas
dari wilayah tersebut, hingga tak salah jika Banyuwangi selalu diidentikkan dengan
Gandrung. Kenyataannya, Banyuwangi sering dijuluki Kota Gandrung dan patung penari
gandrung dapat dijumpai di berbagai sudut wilayah Banyuwangi.
c) Tari Jejer Jaran awuk
Tari Jejer Jaran awuk ini merupakan pengembangan dari Tari Gandrung dan
merupakan jenis tari kreasi baru. Pada umumnya tarian ini adalah untuk memeriahkan
pesta musim panen tiba. Tetapi pada perkembangannya lebih ditekankan pada tari
penyambutan tamu. Karakteristikanya dinamis, meriah, dan semarak. Durasi tarian ini
sekitar 7 - 9 menit. Penarinya sedikitnya 2 orang. Kini tari Jejer Jaran awuk ini menjadi
mata pelajaran ekstra kurikuler wajib seni tari di sekolah-sekolah di wilayah Banyuwangi.
2) Tari Jawa Timuran khas Madura
a) Tari Rondhing
Tari Rondhing adalah suatu bentuk drama tari komedi tradisional, yang
menggambarkan tentang kegiatan baris-berbaris pada jaman penjajahan. Karenanya, seni
tari asli Pamekasan, Madura ini, disebut juga tari baris. Ada pula yang menyebutnya tari
kenca atau hentak, karena gerak tariannya dominan berupa gerak kaki yang dihentak-
hentakkan ke lantai.
Tarian Rondhing dipentaskan oleh enam orang penari. Biasanya, tarian ini
ditampilkan pada saat acara penyambutan tamu penting. Tarian yang dulunya diperankan
oleh penari pria ini, sering juga ditampilkan dalam pembukaan acara pelantikan
kepenguruan organisasi sosial dan organisasi masyarakat.

Gambar 14. Tari Rondhing

147
Novi Anoegrajekti. 2007. Penari Gandrung: Kontrol Agama, Masyarakat dan Kekuatan Pasar" dalam
Merayakan Keberagaman, Jurnal Perempuan Vol.54 tahun 2007. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. hal.51

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 94

Karena dulunya diperankan oleh kaum pria, ke-6 penari Rondhing ini berpenampilan
layaknya lelaki sejati. Mereka mengenakan penutup kepala yang oleh orang Madura
dinamakan Odheng. Mereka tak mengenakan kain panjang, melainkan celana khas Madura
yang disebut Pesak warna hitam legam.
Baju lengan panjang yang dililit selempang, dibalut rompi tampak gagah. Kedua
kakinya mengenakan kaos kaki putih. Dan, kaki kanan penari berhias geleng sokoh atau
gelang kaki khas Madura. Saat penari menghentakkan kakinya, suara gemerincing
terpancar dari geleng sokoh ini. Penari Rondhing makin bersemangat, saat peniup seruling
Saronen meliuk-liuk ditimpa suara kenong dan gendang.
b) Tari Pecut
Tarian Madura kreasi baru seperti misalnya tari pecut terilhami dari tari Ngremo atau
tari Klana. Gerakan tarian kreasi baru ini umumnya dinamis dan giring-giring yang
dikenakan di kaki para penarinya lebih memeriahkan dan menyemarakkan suasana.
Apalagi karena tarian tersebut sering ditarikan secara massal sambil membawa pecut yang
kalau dikebatkan mengeluarkan bunyi menggelegar yang keras. Namun sayangnya,
peristiwa ini sudah sangat jarang dijumpai di setiap pementasan tari di Madura. Yang ada,
jenis tarian biasa, diperankan oleh satu atau dua sinden perempuan, lalu ditemani oleh para
penyambut selendang dari kalangan laki-laki.
Seni tari lain khas Madura juga dapat ditemui pada seni pencak dan silat, yaitu seni
bela diri dengan gerakan-gerakan cermat, teratur, dan sekaligus indah untuk menangkis
atau mengelak serangan lawan sambil menyerang balik. Pertarungan dalam lakon yang
dipentaskan saat menggelar ludruk sering melibatkan gerakan pencak dan silat. Ludruk
(disebut juga kathopra) yang dimaksudkan adalah bentuk seni drama tradisional yang juga
dengan susah payah terus mencoba bertahan di Madura di tengah ancaman persaingan film
dan sinetron di televisi.

2. Seni Suara dan Musik
Musik tradisional yang ada di Jawa (baik di wilayah Jawa Tengah maupun Jawa
Timur) pada umumnya hampir sama. Alat musik yang dikenal di Jawa umumnya berupa
alat musik gamelan. Gamelan Jawa berbeda dengan Gamelan Bali ataupun Gamelan
Sunda. Gamelan Jawa memiliki nada yang lebih lembut dan slow, berbeda dengan
Gamelan Bali yang rancak dan Gamelan Sunda yang sangat mendayu-dayu dan didominasi
suara seruling.
Alunan nada pada Gamelan Jawa dalam pandangan hidup Jawa merupakan
gambaran keselarasan kehidupan jasmani dan rohani, keselarasan dalam berbicara dan
bertindak sehingga tidak memunculkan ekspresi yang meledak-ledak serta mewujudkan
toleransi antar sesama. Wujud nyata dalam musiknya adalah tarikan tali rebab yang
sedang, paduan seimbang bunyi kenong, saron kendang dan gambang serta suara gong
pada setiap penutup irama.
Tidak ada kejelasan tentang sejarah munculnya gamelan. Perkembangan musik
gamelan diperkirakan sejak kemunculan kentongan, rebab, tepukan ke mulut, gesekan pada
tali atau bambu tipis hingga dikenalnya alat musik dari logam. Perkembangan selanjutnya

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 95

setelah dinamai gamelan, musik ini dipakai untuk mengiringi pagelaran wayang, dan
tarian. Barulah pada beberapa waktu sesudahnya berdiri sebagai musik sendiri dan
dilengkapi dengan suara para sinden. Seperangkat gamelan terdiri dari beberapa alat
musik, diantaranya satu set alat musik serupa drum yang disebut kendang, rebab dan
celempung, gambang, gongdan seruling bambu. Komponen utama yang menyusun alat-alat
musik gamelan adalah bambu, logam, dan kayu. Masing-masing alat memiliki fungsi
tersendiri dalam pagelaran musik gamelan, misalnya gong berperan menutup sebuah irama
musik yang panjang dan memberi keseimbangan setelah sebelumnya musik dihiasi oleh
irama gending. Berikut ini seperangkat gamelan sebagaimana dimaksud.
a. Kendang
Kendang adalah instrumen pemimpin. Pengendang adalah konduktor dari musik
gamelan. Ukuran kendang mulai dari 20 cm - 45 cm.

Gambar 15. Kenang
b. Saron
Alat musik pukul dari bronze dengan disanggah kayu. Selama ini dikenal ada 3
macam Saron yaitu: Saron Barung, Saron Peking dan Saron Demung.

Gambar 16. Saron
c. Bonang Barung
Terdiri dari 2 baris peralatan dari bronze dimainkan dengan 2 alat pukul.

Gambar 17. Bonang Barung

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 96

d. Slenem
Lempengan bronze ini diletakan diatas bambu untuk resonansinya.

Gambar 18. Slenem
e. Gender
Hampir sama dengan slentem dengan lempengan bronze lebih banyak.

Gambar 19. Gender
f. Gambang
Lempengan kayu yang diletakkan diatas frame kayu juga.

Gambar 20. Gambang
g. Gong
Setiap 1 set slendro dan pelog biasanya dilengkapi dengan 3 gong. Dua Gong besar
(Gong Ageng) dan satu gong Suwukan sekitar 90 cm yang terbuat dari bronze. Gong
menandakan akhir dari bagian lagu yang liriknya panjang.

Gambar 21. Gong


Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 97

h. Kempul
Gong kecil, untuk menandakan lagu yang bagiannya berirama pendek. Setiap set
slendro dan pelog terdiri dari 6 atau 10 kempul.

Gambar 22. Kempul
i. Kenong
Semacam gong kecil diatas tatakan, satu set komplet bisa 10 kenong baik set slendro
atau pelog.

Gambar 23. Kenong
j. Ketug
Disebut juga kenong kecil, menandakan jeda antar lirik lagu.

Gambar 24. Ketug
k. Clempung
Sebuah instrument kecil, dimana setiap satu set slendro dan pelog membutuhkan satu
clempung.



Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 98

l. Siter
Tiap set slendro dan pelog memerlukan 1 siter.

Gambar 25. Siter

m. Suling
Setiap set slendro dan pelog memerlukan 1 suling.

Gambar 26. Suling
n. Rebab
Alat musik gesek

Gambar 27. Rebab

Romonadha_Pengantar Kebudayaan Jawa Page 99

o. Keprak dan Kepyak
Alat musik ini biasanya diperlukan diperlukan ketika Gamelan Jawa tersebut
digunakan untuk mengiringi pertunjukan tari.
Gamelan Jawa adalah musik dengan nada pentatonis. Berdasarkan suaranya,
Gamelan Jawa itu dibagi menjadi dua yaitu: 1) Gamelan Slendro, yang biasa digunakan
untuk mengiringi pertunjukan wayang, tari, kliningan, jaipongan dan lain-lain; 2) Gamelan
Pelog yang fungsinya hampir sama dengan gamelan Slendro, hanya kurang begitu
berkembang dan kurang akrab di masyarakat dan jarang dimiliki oleh grup-grup kesenian
di masyarakat.
Slendro memiliki 5 nada per oktaf, yaitu 1 (ji) 2 (ro) 3 (lu) 5 (mo) 6 (nm) {senada
dengan C- D E+ G A} dengan perbedaan interval kecil. Pelog memiliki 7 nada per oktaf,
yaitu: 1 (ji) 2 (ro) 3 (lu) 4 (pat) 5 (mo) 6 (nm) 7 (pi) { senada dengan C+ D E- F# G# A
B] dengan perbedaan interval yang besar. Komposisi musik gamelan diciptakan dengan
beberapa aturan, yaitu terdiri dari beberapa putaran dan paet, dibatasi oleh satu gongan
serta melodinya diciptakan dalam unit yang terdiri dari 4 nada.
Orang yang memainkan gamelan itu disebut penayagan atau disingkat yaga saja.
Para yaga yang menabuh gamelan itu harus mengerti tinggi rendahnya suara dan cepat
lambatnya lagu. Alat yang menuntun suara adalah rebab. Sedangkan yang menuntun
sampak adalah