Anda di halaman 1dari 35

KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik Allah SWT. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW. Berkat limpahan dan rahmat-Nya kami mampu menyelesaikan tugas makalah ini guna memenuhi tugas mata kuliah Agama Islam. Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi. Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat bantuan, dorongan, dan bimbingan dari dosen mata kuliah Agama Islam, sehingga kendalakendala yang penulis hadapi teratasi. Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang Filsafat, Politik, dan Pembaharuan serta Tasawuf dalam Islam. Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan pemikiran kepada pembaca. Kami sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu, kami dengan senang hati menerima kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan makalah kami.

Pontianak,

Oktober 2012

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah 1. Apa pengertian filsafat, politik Iislam, pembaharuan Islam, dan tasawuf? 2. Siapa tokoh-tokoh dalam filsafat, politik, Islam dan tasawuf? 3. Apa sebab-sebab keruntuhan Islam?

BAB II PEMBAHASAN

A. FILSAFAT
1. Makna Filsafat Kita mulai dengan terminologi. Istilah filsafat atau falsafah dalam bahasa Indonesia diserap dari bahasa Arab: . Ia merupakan pengaraban dari kata majemuk philosophia yang dalam bahasa Yunani kuno gabungan dari kata philein (cinta) dan sophia (kearifan). Demikianlah istilah filsafat berarti ilmu pengetahuan yang dicapai manusia dengan akal pikirannya. Para filsuf/filosof mempelajari aneka persoalan alam semesta, langit, bumi, manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, mineral dan lain sebagainya. Mereka adalah kelompok orang-orang yang di zaman sekarang kita panggil sebagai saintis. Betul, filsuf adalah saintis, karena waktu itu belum dikenal pemisahan dan pembedaan sempit, seperti yang kita kenal saat ini antara filsafat dan sains, antara filsuf dan saintis, antara ahli biologi dan ahli geologi, antara ahli fisika dan ahli kimia. Dalam tradisi intelektual Islam, kita temukan tiga istilah yang umum dipakai untuk sophia. Pertama, hikmah: istilah ini dipakai oleh generasi awal pemikir Muslim sebagai padanan kata sophia. Kata ini tampaknya sengaja dipilih supaya lebih mudah diterima oleh kaum Muslim supaya terkesan bahwa filsafat itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam akan tetapi justru berhulu dan bermuara pada al-Quran. Al-Amiri, misalnya, menulis bahwa hikmah berasal dari Allah, dan diantara manusia yang pertama dianugrahi hikmah oleh Allah ialah Luqman al-Hakim. Disebutnya ketujuh filsuf Yunani kuno sebagai ahli hikmah (alhukama as-sabah) yaitu Thales, Solon, Pittacus, Bias, Cleobulus, Myson dan Chilon.6 Demikian juga al-Kindi yang menerangkan bahwa secara harfiah kata falsafah artinya hubb al-hikmah (cinta pada kearifan).7 Pandangan yang kurang lebih sama ditegaskan Ibn Sina dalam buku filsafat yang ditulisnya: hikmah adalah kesempurnaan jiwa manusia tatkala berhasil menangkap makna segala sesuatu dan mampu menyatakan kebenaran dengan pikiran dan perbuatannya sebatas kemampuannya sebagai manusia (istikmal an-nafs al-insaniyyah bi tashawwur al-umur wa t-tashdiq bi lhaqaiq an-nazhariyyah wa l-amaliyyah ala qadri thaqat al-insan). Siapa berhasil menggapai hikmah beginilah yang mendapat anugerah kebaikan berlimpah, ujar Ibn Sina.8 Namun demikian, tidak semua orang setuju dengan istilah ini. Di antara yang paling keras menentangnya ialah Imam al-Ghazali. Menurut hemat beliau, para filsuf telah membajak lafaz hikmah untuk kepentingan mereka, padahal hikmah yang dimaksud dalam kitab suci

al-Quran bukan filsafat, melainkan Syariat agama yang diturunkan Allah kepada para nabi dan rasul.9 Yang kedua adalah falsafah, istilah yang dimasukkan ke dalam kosakata Arab melalui terjemahan karya-karya Yunani kuno. Al-Kindi termasuk yang mempopulerkan istilah asing ini melalui karyanya Fi al-Falsafah al-Ula (Tentang Filsafat Utama). Menurut beliau, filsafat adalah ilmu yang mempelajari hakikat segala sesuatu sebatas kemampuan manusia. Filsafat teoritis bertujuan menemukan kebenaran, sedangkan filsafat praktis bertujuan mengarahkan prilaku kita agar selaras dengan kebenaran. Berfilsafat itu berusaha meniru perilaku Tuhan. Filsafat adalah upaya manusia mengenal dirinya, tambah al-Kindi.10 Abu Hayyan at-Tawhidi mencatat tak kurang dari enam definisi filsafat.11 Sementara kumpulan cendekiawan yang menamakan diri mereka Ikhwan al-Shafa (boleh jadi nama ini merupakan terjemahan bebas namun puitis dari philosophoi kawan-kawan sophia) berkata: Permulaan filsafat itu suka kepada ilmu [yakni rasa ingin tahu]. Langkah berikutnya adalah mengetahui hakikat segala sesuatu sesuai dengan kemampuan manusia. Adapun puncaknya adalah berkata dan berbuat sesuai dengan apa yang diketahui (al-falsafah awwaluha mahabbatu l-ulum, wa awsathuha marifatu haqaiqi l-mawjudat bi-hasabi t-thaqati l-insaniyyah wa akhiruha al-qawl wa l-amal bi-ma yuwafiqu l-ilma).12 Ketiga, istilah ulum al-awail yang secara harfiah berarti ilmu-ilmu orang terdahulu. Istilah ini mengandung makna negatif, terutama ketika dipakai oleh penulispenulis sejarah dari kalangan ahli hadits seperti ad-Dzahabi dan Ibn Hajar al-Asqalani. Disebut demikian, lantaran yang dimaksud adalah ilmu-ilmu yang berasal dari peradaban kuno pra-Islam seperti India, Persia, Yunani dan Romawi, yakni ilmu-ilmu logika, matematika, fisika, kedokteran, astronomi dan lain sebagainya.

2. Tokoh-tokoh filsafat Islam dan pemikirannya


a. Filsafat ar-Razi

Al-Razi dikenal dengan ajaran Lima Kekal, yaitu: 1) al-Bari Taala (Allah): hidup dan aktif (dengan sifat independent) 2) al-Nafs al-Kulliyyah (jiwa universal): hidup dan aktif dan menjadi al-mabda` alqadim al-tsani (sumber kekal kedua). Hidup dan aktifnya bersifat dependent. Al- Nafs alKulliyyah tidak berbentuk. Namun karena punya naluri untuk bersatu dengan al-Hayula alUla, maka al-Nafs al-Kulliyyah memiliki zat yang berbentuk (form) sehingga bisa menerima

sekaligus menjadi sumber penciptaan benda-benda alam semesta, termasuk badan manusia. Ketika masuk pada benda-benda itulah, Allah menciptakan ruh untuk menempati bendabenda alam dan badan manusia di mana jiwa (parsial) melampiaskan kesenangannya. Oleh karena semakin lama jiwa bisa terlena pada kejahatan, Allah kemudian menciptakan akal untuk menyadarkan jiwa yang terlena dalam fisik tersebut. 3) al-Hayula al-Ula (materi pertama): tidak hidup dan pasif. Al-Hayula al-Ula adalah substansi (jauhar) yang kekal yang terdiri dari dzarrah, dzarat (atom-atom). Setiap atom terdiri dari volume. Jika dunia hancur, maka volume juga akan terpecah dalam bentuk atomatom. Materi yang sangat padat menjadi substansi bumi, yang agak renggang menjadi substansi air, yang renggang menjadi substansi udara, dan yang lebih renggang menjadi api. Al-Hayula al-Ula: kekal karena tidak mungkin berasal dari ketiadaan. Buktinya, semua ciptaan Tuhan melalui susunan-susunan (yg berproses) dan tidak dalam sekejab yg sangat sederhana dan mudah. Atau dengan kata lain, Tuhan tidak mungkin menciptakan sesuatu tanpa bahan sebelumnya yang kekal karena mendapat (semacam emanasi, pancaran) dari yang Maha Kekal. 4) al-Makan al-Muthlaq (ruang absolut) ? tidak aktif dan tidak pasif. Materi yang kekal membutuhkan ruang yang kekal pula sebagai tempat yang sesuai. Ada dua macam ruang: ruang partikular (relatif) dan ruang universal. Yang particular terbatas sesuai keterbatasan maujud yang menempatinya. Sementara ruang universal tidak terbatas dan tidak terikat pada maujud, karena bisa saja terdapat terjadi kehampaan tanpa maujud. b. Filsafat Al-Farabi Al-Farabi menggunakan proses konseptual yang disebutnya dengan nazhariyyah al-faidh (teori emanasi) untuk memahami hubungan antara Tuhan dan alam pluralis dan empirik. Menurut teori ini, alam terjadi dan tercipta karena pancaran dari Yang Esa (Tuhan); yaitu keluarnya mumkin al-wujd (disebut alam) dari pancaran Wjib al-Wujd (Tuhan). Proses terjadinya emanasi (pancaran) ini melalui tafakkur (berpikir) Tuhan tentang diri-Nya, sehingga Wjib al-Wujd juga diartikan sebagai Tuhan yang berpikir. Tuhan senantiaa aktif berpikir tentang diri-Nya sendiri sekaligus menjadi obyek pemikiran. AlFarabi memberi 3 istilah yang disandarkan padaTuhan: al-Aql (akal, sebagai zat atau hakikat dari akal-akal); al-qil (yang berakal, sebagai subyek lahirnya akal-akal); dan al-Maql (yang menjadi sasaran akal, sebagai obyek yang dituju oleh akal-akal). Sistematika teori emanasi al-Farabi adalah sebagai berikut:

1. Tuhan sebagai al-Aql dan sekaligus Wujud I. Tuhan sebagai al-Aql (Wujud I) ini berpikir tentang diri-Nya hingga melahirkan Wujud II yang substansinya adalah Akal I alSam` al-Awwal (langit pertama). 2. Wujud II itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud III yang substansinya Akal II al-Kawkib (bintang-bintang). 3. Wujud III itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud IV yang substansinya Akal III Saturnus. 4. Wujud IV itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud V yang substansinya Akal IV Jupiter. 5. Wujud V itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud VI yang substansinya Akal V Mars. 6. Wujud VI itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud VII yang substansinya Akal VI Matahari. 7. Wujud VII itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud VIII yang substansinya Akal VII Venus. 8. Wujud VIII itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud IX yang substansinya Akal VIII Mercury. 9. Wujud IX itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud X yang substansinya Akal IX Bulan. 10. Wujud X itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud XI yang substansinya Akal X Bumi, ruh, dan materi pertama (hyle) yang menjadi dasar terbentuknya bumi: api, udara, air, dan tanah. Akal X ini disebut juga al-aql alfal (akal aktif) yang bisaanya disebut Jibril yang berperan sebagai whib alsuwar (pemberi bentuk, form). Al-Farabi membagi wujud-wujud itu ke dalam dua kategori: 1) esensinya tidak berfisik (baik yang tidak menempati fisik [yaitu Tuhan, Akal I, dan Akal-Akal Planet] maupun yang menempati fisik [yaitu jiwa, bentuk, dan materi]). 2) esensinya berfisik (yaitu benda-benda langit, manusia, hewan, tumbuhan, barang-barang tambang, dan unsur yang empat, yaitu: api, udara, air, dan tanah). Pemikiran al-Farabi yang lain adalah tentang jiwa. Menurutnya, jiwa berasal dari pancaran Akal X (Jibril). Hubungan antara jiwa dan jasad hanya bersifat accident (ardhiyyah), artinya ketika fisik binasa jiwa tidak ikut binasa, karena substansinya berbeda. Jiwa manusia disebut al-nafs al-nthiqah (jiwa yang berpikir) yang berasal dari alam Ilahi, sedang jasad berasal dari alam khalq yang berbentuk , berkadar, bergerak, dan berdimensi.

c. Filsafat Al-Ghazali
1. Epistimologi

Sebagaimana dijelaskan Al-Ghazali dalam bukunya Al-Munqidz Min Al-Dhalal, ia ingin mencari kebenaran yang sejati, yaitu kebenaran yang diyakininya betul-betul merupakan kebenaran, seperti kebenaran sepuluh lebih banyak dari tiga. sekiranya ada orang yang mengatakan bahwa tiga itu lebih banyak dari sepuluh dengan argumen bahwa tongkat dapat ia jadikan ular, dan hal itu memang memang betul ia laksanakan, saya akan kagum melihat kemampuannya, sungguhpun demikian keyakinan saya bahwa sepuluh lebih banyak dari tiga tidak akan goyah. Seperti inilah menurut Al-Ghazali pengetahuan yang sebenarnya. Pada mulanya Al-Ghazali beranggapan bahwa pengatahuan itu adalah hal-hal yang dapat yang ditangkap oleh panca indera. Teatapi, kemudian ternyata baginya bahwa panca indera juga berdusta. Seumpama: bayangan (rumah) kelihatannya tidak bergerak, tetapi berpindah tempat, atau seperti bintang-bintang dilangit, kelihatannya kecil tetapi perhitungan menyatakan bahwa bintang-bintang itu lebih besar dari bumi.8 Karena tidak percaya kepada panca indera, Al-Ghazali kemudiaan meletakkan kepercayaannya kepada akal. Tetapi akal juga tak dapat dipercaya. Sewaktu bermimpi, demikian menurut Al-Ghazali, orang melihat hal-hal yang kebenarannya betul-betul, namun setelah bangun ia sadar bahwa apa yang ia lihat benar itu sebetulnya tidaklah benar atau karena ia melihat bahwa aliran-aliran yang menggunakan akal sebagai sumber pengetahuan, ternyata menghasilkan pandanganpandangan yang bertentangan, yang sulit diselesaikan dengan akal. Artinya, akal pada dirinya membenarkan pandangan-pandangan yang bertentangan itu. Seperti yang disebut diatas bahwasannya Al-Ghazali mencari ilm al-yaqini yang tidak mengandung pertentangan pada dirinya. Namun, Al-Ghazali tidak konsekuen dalam menguji kedua sumber pengetahuan itu. Ketika menguji pengetahuan inderawi, ia menggunakan argumentasi faktual atas kelemahannya. Tetapi, ketika membuktikan adanya sumber pengetahuan yang lebih tinggi dari akal, ia menggunakan kesimpulan hipotesis (fardhi) saja. Ketika itu, ia tidak berhasil membuktikan adanya sumber pengetahuan yang lebih tinggi daripada akal secara faktual. Akhirnya Al-Ghazali mengalami puncak kesangsian, karena ia tidak menemukan sumber pengetahuan yang dapat dipercaya. Tetapi dua bulan kemudian, dengan cara tiba-tiba tuhan memberikan nur- yang disebut juga oleh Al-Ghazali sebagai kunci marifat- ke dalam hatinya, sehingga ia merasa sehat dan dapat menerima kebenaran pengetahuan a priori yang bersifat aksiomatis. Dengan demikian, bagi Al-Ghazali bahwa al-dzawaq (intuisi) lebih tinggi dan lebih dipercaya dari pada akal untuk menangkap pengetahuan tertinggi tersebut dinamakan juga al-nubuwwat, yang pada nabi-nabi berbentuk wahyu dan ada manusia bisaa

berbentuk ilham. Pengetahuan yang bersifat rabbaniyah (ladunniyah) adalah tingkat tertinggi pengetahuan. Pengetahuan yang membutuhkan ibadah, kezuhudan, mujahadah (mendekatkan diri kepada AllahSWT), dan olah batin (riyadhah an-nafs)9 Lapangan filsafat menurut AlGhazali ada enam yaitu: matematika, logika, fisika, politik, etika, dan metafisika. Hubungan lapangan-lapangan filsafat tersebut dengan agama tidak sama, tidak berlawanan, tetapi ada pula yang bertentangan. Agama tidak melarang ataupun memerintah untuk belajar matematika karena ilmu ini merupakan hasil pembuktian pikiran yang tidak bisa dingkari, sesudah dipahami, dan diketahui. Tetapi ilmu tersebut menimbulkan dua keberatan. Pertama, karena kebenaran dan ketelitiannya sehingga orang mengira bahwa lapangan filsafat demikian pula keadaannya, termasuk dalam bidang ketuhanan. Kedua, sikap yang timbul dari pemeluk islam yang bodoh, yaitu menduga bahwa untuk menegakkan agama harus mengingkari semua ilmu yang berasal dari filsuf. Logika menurut Al-Ghazali, juga tidak ada sangkut pautnya dengan agama. Logika berisi penyelidikan tentang dalil-dali pembuktian, silogisme, syarat-syarat pembuktian, definisi-definisi, dsb. Bahaya yang ditimbulkan logika adalah menjadikan logika sebagai pendahuluan dalam persoalan ketahunan (metafisika), sedangkan sebenarnya tidak demikian.
2. Metafisika Dalam lapangan metafisika (ketuhanan), Al-Ghazali memberikan reaksi keras terhadap NeoPlatonisme islam, karena mereka tidak teliti seperti halnya dalam lapangan logika dan matematika. Untuk itu secara langsung Al-Ghazali mengecam dua tokoh Neo-Platonisme muslim (Al-Farabi dan Ibn Sina), dan Aristoteles, guru mereka. Menurut Al-Ghazali dalam bukunya Tahafut al-Falasifah, para pemikir bebas tersebut ingin meninggalkan keyakinan-keyakinan islam dan mengabaikan dasardasar pemujaan ritual dengan menganggapnya sebagai tidak berguna bagi pencapaian intelektual mereka. Kekeliruan filsuf tersebut sebanyak dua puluh persoalan (enam belas dalam bidang metafisika dan empat dalam bidang fisika). Dalam tujuh belas soal mereka harus dinyatakan sebagai ah-bida , sedangkan dalam tiga soal lainnya, mereka dinyatakan sebagai kafir, karena pikiran-pikiran mereka dalam tiga soal teresbut berlawanan sama sekali dengan pendirian semua kaum muslimn.10 Diantara dua puluh soal persoalan yang dimaksud adalah: a) Alam qadim (tidak bermula); b) Keabadian (abadiah) alam, masa, dan gerak; c) Konsep tuhan sebagai pencipta alam dan bahwa alam adalah produk citaan-Nya; ungkapan ini bersifat metaforis; d) Demonstrasi/pembuktian eksistensi penciptaan alam;

e) Penolakan akan sifat-sifat tuhan; f) Argumen rasional bahwa tuhan itu satu dan mungkinnya pengandaian dua wajib al-wujud; g) Kemustahilan konsep genus (jins) kepada tuhan h) Wujud tuhan dalah wujud yang sederhana, wujud murni, tanpa kuiditas atau esensi; i) Argumen rasional tentang sebab dan pencipta alam (hukum tak dapat berubah); j) Argumen rasional bahwa tuhan bukan tubuh (jism); k) Pengetahuan tuhan tentang selain diri-Nya, dan tuhan mengetahui species dan secara universal; l) Pembuktian bahwa tuhan mengetahui diri-Nya sendiri; m) Tuhan tidak mengetahui perincian segala sesuatu (juziyyat) melainkan secara umum; n) Langit adalah makhluk hidup dan mematuhi tuhan dengan gerak putarnya; o) Tujuan yang menggerakkan langit; p) Jiwa-jiwa langit mengetahui partikular-partikular yang bermula (al-juziyyat al-haditsah); q) Kemustahilan perpisahan dari sebab alami peristiwa-peristiwa; r) Jiwa manusia adalah subtansi spiritual yang ada dengan sendirinya, tidak menempati ruang, tidak terpateri pada tubuh, daan bukan tubuh; s) Jiwa manusia setelah terwujud tidak dapat hancur, dan watak keabadiannya membuatnya mustahil bagi kita membayangakan kehancurannya; t) Penolakan terhadap kebangkitan jasmani.11

B. Politik Islam
1. Pengertian Politik Islam Perkataan politik berasal dari bahasa Latin Politicus dan bahasa Yunani politicos, artinya (sesuatu yang) berhubungan dengan warga negara atau warga kota. Kedua kata itu berasal dari kata polis maknanya kota. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989), pengertian politik sebagai kata benda ada tiga. Jika dikaitkan dengan ilmu artinya (1) pengetahuan mengenai kenegaraan (tentang sistem pemerintahan, dasar-dasar pemerintahan);

(2) segala urusan dan tindakan (kebijaksanaan, siasat dan sebagainya)mengenai pemerintahan atau terhadap negara lain; dan (3) kebijakan, cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani suatu masalah. Dalam Agama Islam, bukan masalah Ubudiyah dan Ilahiyah saja yang dibahas. Akan tetapi tentang kemaslahatn umat juga dibahas dan diatur dalam Islam, dalam kajian ini salah satunya adalah Politik Islam yang dalam bahasa agamanya disebut Fiqh Siyasah. Fiqh Siyasah dalam konteks terjemahan diartikan sebagai materi yang membahas mengenai ketatanegaraan Islam (Politik Islam). Secara bahasa Fiqh adalah mengetahui hukum-hukum Islam yang bersifat amali melalui dalil-dalil yang terperinci. Sedangkan Siyasah adalah pemerintahan, pengambilan keputusan, pembuatan kebijaksanaan, pengurusan, dan pengawasan. Sedangkan Ibn Al-Qayyim mengartikan Fiqh Siyasah adalah segala perbuatan yang membawa manusia lebih dekat kepada kemaslahatan dan lebih jauh dari kemudharatan, serta sekalipun Rasulullah tidak menetapkannya dan bahkan Allah tidak menetapkannya pula. Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Fiqh Siyasah adalah hukum yang mengatur hubungan penguasa dengan rakyatnya. Pembahasan diatas dapat diartikan bahwa Politik Islam dalam kajian Islam disebut Fiqh Siyasah. 2. Nilai-Nilai Dasar Politik Islam Dalam Al Quran Al Quran menegaskan bahwa, kebenaran itu datangnya dari Allah SWT, jangan sekali-kali diragukan, sebagaimana disebutkan dalam QS. 2 : 147. Ditegaskan pula dalam QS. 3: 60, bahwa kebenaran itu datangnya dari Allah SWT, jangan engkau termasuk mereka yang meragukannya. Juga terdapat penegasan bahwa kebenaran dating dari Allah SWT, manusia bebas menentukan pilihannya, menerima kebenaran itu atau menolaknya, sebagaimana firman Allah dalam QS. 18 (al-Kahfi) : 29. Sebagai umat Islam, maka tentu saja kita mengambil prinsip-prinsip dasar berdasarkan Al Quran dan al-Hadits sebagai sumber referensi dan rujukan dalam berbagai hal termasuk dalam urusan politik. Al Quran sebagai sumber ajaran utama dan pertama agama Islam mengandung ajaran tentang nilai-nilai dasar yang harus diaplikasikan dan diimplentasikan dalam pengembangan sistem politik Islam. Nilai-nilai dasar tersebut adalah: a. Keharusan mewujudkan persatuan dan kesatuan umat, sebagaimana tercantum dalam QS. 23 (al-Mukminun): 52. Dengan demikian, tidak dapat disangkal bahwa Al Quran

memerintahkan persatuan dan kesatuan. Hal ini dipertegas lagi dalam QS. 21 (alAnbiya): 92. Perlu digaris bawahi, bahwa makna umat dalam konteks tersebut adalah pemeluk agama Islam. Sehingga ayat tersebut pada hakekatnya menyatakan bahwa agama umat Islam adalah agama yang satu dalam prinsip-prinsip (ushul)-nya, tiada perbedaan dalam aqidahnya, walaupun dapat berbeda-beda dalam rincian (furu) ajarannya. Dengan kata lain, Al Quran sebagai kitab suci pedoman bagi manusia mengakui kebinekaan dalam ketungalan. b. Kemestian bermusyawarah dalam menyelesaikan masalah-masalah ijtihadiyah. Dalam QS. 42 (al-Syura) : 38 dijelaskan, dan dalam QS. 3 (Ali Imran) : 159. Ayat diatas dari segi redaksional ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW agar memusyawarahkana persoalan-persoalan tertentu dengan sahabat atau anggota masyarakatnya. Ayat ini juga sekaligus sebagai petunjuk kepada setiap muslim, khususnya kepada setiap pemimpin, agar bermusyawarah dengan anggota-anggotanya karena Rasulullah Muhammad SAW, bagi kita umat muslim adalah suri teladan dalam hidup dan kehidupan. Dengan kata lain kata al-amr (urusan) tercakup urusan ekonomi, pendidikan, social, politik, budaya, hukum,dan lain sebagainya. c. Keharusan menunaikan amanat dan menetapkan hukum secara adil. Dijelaskan dalam QS. 4 (al-Nisa) : 58. Al Quran terutama adalah landasan agama, bukan sebuah kitab hukum. Berbagai kebutuhan hukum dewasa ini tidak mendapatkan aturannya dalam Al Quran. Tentu saja Al Quran menyediakan landasan, prinsip-prinsip bagi pencapaian keadilan dan kesejahteraan serta penetapan hukum, yang harus diikuti oleh umat Islam. Tetapi landasan itu hanyalah cita-cita pemberi arah, dan rakyat iru sendirilah, lewat musyawarah dan lainnya, yang menyusun hukum-hukum Negara itu termasuk prinsip-prinsip dalam menunaikan amanat dan menetapkan hukum sehingga tetap berpedoman pada Al Quran sebagai sumber utama dan pertama bagi umat Islam d. Kemestian mentaati Allah dan Rasulullah serta Ulil Amri (pemegang kekuasaan) sebagaimana difirmankan dalam QS. 4 (al-Nisa): 59. Perlu dicermati bahwa redaksi ayat di atas menggandengkan kata taat kepada Allah dan Rasul, tetapi meniadakan kata itu pada Ulil Amri. Tidak disebutkannya kata taat pada ulil amri untuk memberi isyarat bahwa ketaatan kepada mereka tidak berdiri sendiri tetapi berkaitan atau bersyarat dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul, dalam arti bila perintahnya bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Allah dan Rasul-Nya, maka tidak dibenarkan untuk taat kepada mereka. Dalam hal ini dikenal Hadits Rasulullah SAW yang sangat populer yaitu : Tidak dibenarkan adanya ketaatan kepada seseorang makhluk dalam

kemaksiatan kepada Khalik (Allah). Tetapi di sisi lain, apabila perintah ulil amri tidak mengakibatkan kemaksiatan, maka wajib ditaati, walaupun perintah tersebut tidak disetujui oleh yang diperintah. Dalam sebuah hadits disebutkan Seorang muslim wajib memperkenankan dan taat menyangkut apa saja (yang direintahkan ulil amri), suka atau tidak suka, kecuali bila ia diperintahkan berbuat maksiat, maka ketika itu tidak boleh memperkenankan, tidak juga taat. (HR. Bukhari Muslim, dan lain-lain melalui Ibnu Umar). e. Keniscayaan mendamaikan konflik antar kelompok dalam masyarakat Islam, sebagaimana difirmankan dalam QS. 49 (al-Hujarat): 9. f. Keharusan mempertahankan kedaulatan Negara dan larangan melakukan agresi dan invasi. Dijelaskan dalam QS. 2 (al-Baqarah) : 90. g. Kemestian mementingkan perdamaian dari pada pernusuhan. Dalam QS. 8 (al-Anfal): 61. h. Kemestian meningkatkan kewaspadaan dalam bidang pertahanan dan keamanan, sebagaimana firman Allah dalam QS. 8 (al-Anfal): 60. i. Keharusan menepati janji, sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. 16 (al-Nahl): 91. j. Keharusan mengutamakan perdamaian bangsa-bangsa, sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. 49 (al-Hujarat): 13. k. Kemestian peredaran harta pada seluruh lapisan masyarakat. Dalam QS. 59 (alHasyr): 7 l. Bahkan Al Quran sama sekali tidak melarang kaum muslim untuk berbuat baik dan memberi sebagian harta mereka kepada siapapun, selama mereka tidak memerangi dengan motif keagamaan atau mengusir kaum muslimin dari kampong halaman mereka, sebagaimana ditegaskan Allah SWT dalam QS. 60 (al-Mumtahanah): 8. m. 12. Keharusan mengikuti prinsip-prinsip pelaksanaan hukum. Dalam Al Quran ditemukan banyak ayat yang berkaitan atau berbicara tentang hokum. Dalam Al Quran secara tegas dinyatakan, bahwa hak pembuat hokum itu hanyalah milik Allah SWT semata, sebagaimana firman-Nya dalam QS. 6 (al-An,am): 57. n. Setiap muslim dalam pelaksanaan hukum Islam mesti mengikuti prinsip-prinsip : (a) menyedikitkan beban (taqlil al-takalif), (b) berangsur-angsur (al-Tadarruf), dan (c) tidak menyulitkan (adam al-haraj). o. Demikian sekilas tentang prinsip-prinsip dasar sistem politik Islam berdasarkan Al Quran. Tentu saja masih banyak ayat-ayat Al Quran yang saling berkaitan dan

berhubungan satu sama lain, sehingga terlihat jelas kesesuaian dan konsistensi nilainilai dasar dalam Al Quran tentagn garis besar dalam urusan politik Islam. 3. Ruang Lingkup Siyasah Dusturiyah Setelah kita mengetahui tentang pengertian dan penamaan Politik Islam dalam Islam adalah Fiqh Siyasah. Maka dalam kajian kali ini akan dibahas mengenai bidang-bidang Fiqh Siyasah, khususnya Siyasah Dusturiyah. Siyasah Dusturiyah menurut tata bahasanya terdiri dari dua suku kata yaitu Siyasah itu sendiri serta Dusturiyah. Arti Siyasah dapat kita lihat di pembahasan diatas, sedangkan Dusturiyah adalah undang-undang atau peraturan. Secara pengertian umum Siyasah Dusturiyah adalah keputusan kepala negara dalam mengambil keputusan atau undang-undang bagi kemaslahatan umat. Sedangkan menurut Pulungan (2002, hal:39) Siyasah Dusturiyah adalah hal yang mengatur atau kebijakan yang diambil oleh kepala negara atau pemerintah dalam mengatur warga negaranya. Hal ini berarti Siyasah Dusturiyah adalah kajian terpenting dalam suatu negara, karena hal ini menyangkut hal-hal yang mendasar dari suatu negara. Yaitu keharmonisan antara warga negara dengan kepala negaranya. Fiqih Siyasah Dusturiyah mencakup bidang kehidupan yang sangat luas dan kompleks, secara umum meliputi hal-hal sebagai berikut: a. Persoalan dan ruang lingkup (pembahasan) Membahas tentang imam, rakyat, hak dan kewajibanya, permasalahan Baiat,Waliyul Ahdi, perwakilan dan persoalan Ahlul Halli Wal Aqdi.

b. Persoalan imamah, hak dan kewajibannya. Imamah atau imam di dalam Al-Quran pada umumnya , kata-kata imam menunjukan kepada bimbingan kepada kebaikan. Firman Allah: Dan orang orang yang berkata: "ya tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteriisteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. c. Persoalan rakyat, statusnya dan hak-haknya

Rakyat terdiri dari Muslim dan non Muslim, adapun hak-hak rakyat, Abu Ala alMaududi menyebutkan bahwa hak-hak rakyat adalah sebagai berikut: 1. Perlindungan terhadap hidupnya, hartanya dan kehormatannya. 2. Perlindungan terhadap kebebasan pribadi. 3. Kebebasan menyatakan pendapat dan keyakinan. 4. Terjamin kebutuhan pokok hidupnya, dengan tidak membedakan kelas dan keperluannya Abdul Kadir Audah menyebutkan dua hak, yaitu: hak persamaan dan hak kebebasan, beraqidah, berbicara, berpendidikan dan memiliki . Sedangkan kewajiban rakyat adalah untuk taat dan membantu serta berperan serta dalam program-program yang digariskan untuk kemaslahatan bersama. Apabila kita sebut hak imam adalah ditaati dan mendapatkan bantuan serta partisipasi secara sadar dari rakyat, maka kewajiban dari rakyat untuk taat dan membantu serta dalam program-program yang digariskan untuk kemaslahatan bersama. d. Persoalan Baiat Baiat (Mubayaah), pengakuan mematuhi dan mentaati imam yang dilakukan oleh Ahl AlHall Wa Al-Aqd dan dilaksanakan sesudah permusyawaratan. Diaudin Rais mengutip pendapat Ibnu Khaldun tentang baiat ini, dan menjelaskan: Adalah mereka apabila mem Baiat-kan seseorang amir dan mengikat perjanjian, mereka meletakkan tangan-tangannya untuk menguatkan perjanjian e. Persoalan Waliyul Ahdi Imama itu dapat terjadi dengan salah satu cara dari dua cara: Pertama dengan pemilihan Ahl Al-Hall Wa Al-Aqdi dan Kedua dengan janji (penyerahan kekuasaan) imam yang sebelumnya. Cara yang kedua yang dapat dimaksudkan dengan waliyul ahdi. Hal ini didasarkan pada: Abu Bakar r.a menunjuk Umar ra. Yang kemudian kaum Muslimin menetapkan keimanan (imamah) umar dengan penunjukan Abu Bakar tadi .

f. Persoalan perwakilan dan Ahlul Halli Wal Aqdi

g. Persoalan Wuzaroh (Kementerian) dan Perbandinganya

h. Ulama mengambil dasar-dasar adanya kementerian (Wuzarah) dengan dua alasan, Pertama: firman Allah dalam surat At-Thaha 29-32 yang Artinya: Dan jadikanlah untukku seorang wazir dari keluargaku, yaiut harun, saudaraku. Teguhkanlah kekuatanku dengan dia, dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku. Dan Kedua karena alasan yang sifatnya praktis, yaitu imam tidak.

4. Pemimpin Dalam Islam

Berikut ini adalah beberapa tokoh dalam politik islam: Pemikiran Tokoh Ibn Rabi Eksistensi Negara Manusia, Eksistensi Kepala Negara Bentuk Pemerintahan Pemikirannya berpenagruh pada pemerintahanKhal ifahMutashim. Lain-lain

Otoritas Raja adalah Monarki

makhluk sosial mandate dari Tuhan, Allah menciptakan manusia dengan watak yang cenderung berkumpul dan bermasyarakat . Al-Farabi Memenuhi hajat manusia, untuk dunia Seorang kepala didasari darinash AlQuran.

Konsepsinya yang Utopian.

hidup negara haruslah dari golongan kelas atas.

dan akhirat.

Al-Mawardi

Kebutuhan untuk meneruskan roda-roda kehidupan, adapun mekanismenya manusia menggunakan akalnya.

Seorang negara

kepala mempunyai dalam dan

Teori sosial.

kontrak

kredibilitas bernegara agama.

Al-Ghazali

Faktor regenarasi.

Kepala adalah

negara Teokrasi. bayang-

Agama dan raja adalah ibarat dua anak agama kembar, adalah

bayang Tuhan di Bumi jabatan kepala negara sesuatu suci/Muqaddas. Ibnu Taimiyah Selain karena Mempunyai kepala faktor juga manusia mengemban amanat Tuhan. Ibnu Khaldun Kodrat Keefektifan dalam Khilafah dari sosial, negara adalah satu karena hal urgen. yang sangat adalah yang

fondasi dan raja adalah penjaganya. Pemikirannya yang zahid penekanan penegakan keadilan. puritan, dan pada

atau TeoriAshabiyah

manusia saling pelaksanaan syariat Imamah membutuhkan satu sama lain. Islam.

C. Pembaharuan Dalam Islam 1. Pengertian Pembaharuan/Modernisasi dan Tajdid

Sejarah peradaban atau apapun memang tidak selalu berjalan linear. Bak roda pedati yang sulit sekali pada tiap-tiap bagiannya mengalami keajegan final, kadang naik, kadang turun, kadang berhenti sejenak, dan seterusnya. Sesuatu yang sangat wajar, dan barangkali sudah terlalu biasa didengar. Demikianlah sebuah titah kehidupan yang mau tak mau diemban seorang anak manusia. Begitupun persoalan pembaharuan dalam Islam, tak disangsikan lagi merupakan sesuatu yang tidak boleh tidak terjadi. Pembaharuan bagi Islam seolah sudah menjadi determinasi sejarah. Ia terus dan akan selalu terjadi, kalaupun tidak, nampaknya memang mesti diadakan. Apalagi bila kata pembaharuan Islam disandingkan dengan hal mana dinamakan kemodernanyang notabene anak kandung peradaban Barat. Namun, nampaknya pembaharuan dalam Dunia Islam bukan soal diadakan atau tidak. Kalau persoalannya sekadar menjadi diadakannya pembaharuan atau tidak, agaknya membincang pembaharuan boleh dianggap selesai, dan lagi menjadi tidak menarik. Persoalan menjadi lain, manakala diajukan sebuah pertanyaan: bagaimana cara melakukan pembaharuan Islam itu? Pertanyaan di atas amat krusial, bahkan membuahkan perdebatan yang tidak pernah selesai hingga kini. Banyaknya suara dengan mana pembaharuan Islam dilakukan, makin memperlambat perkembangan religiusitas Umat Islam. Dimana Umat seharusnya sudah melangkah ke tahap lanjutan ketimbang dengan hanya bergulat pada soal religiusitas. Kontestasi antara sikap kembali kepada tradisi, sebagai wujud sikap atas nama kebaruan Islam dengan sikap menerima kemodernan sebagai jalan lurus sikap hidup, atau mengakomodasi keduanya, menjadi tema yang berkepanjangan. Karenanya pembaharuan dalam Islam, hingga kini, boleh dibilang baru pada tahap wacana. Kalaupun memunculkan gerakan, hal itu belum secara masif dilakukan. Dalam menyikapi kemodernan, situasi dan kondisi Dunia Islam memang sangat berbeda dengan Barat. Berangkat dari tradisi yang berpijak pada doktrin Jesus berikan apa yang menjadi hak kaisar pada kaisar, dan yang menjadi hak agama pada agama. Barat lulus ujian mengatasi polemik pembaharuan keagamaan, meskipun tentu saja tidak kering dari tetesan tinta maupun darah selama berabad-abad lamanya. Sekularisme menjadi ajimat bagi Barat. Persepsi terhadap Isa As. yang dilihat tak lebih hanya sebagai pengemban titah keagamaan dan tidak termasuk pada masalah keduniaan, melepaskan Tuhan dari gerak

sejarah. Keuntungannya, Barat tidak terus-menerus berpusar pada persoalan relijiusitas, hal ini sudah dianggap selesai. Preseden ini tidak terdapat dalam Dunia Islam. Muhammad Saw. tidak pernah secara tandas menegaskan, apakah ia pengemban titah keagamaan saja, dan ataukah juga terutus untuk menyelesaikan masalah-masalah keduniaan, dalam artian seluasluasnya. Yang terlihat justru malah kedua-duanya. Pencitraan Muhammad Saw. seperti ini hampir dianut oleh sebagian besar Umat Islam di dunia, termasuk di Indonesia. Karena itulah gejala umum yang terjadi dalam Umat Islam, ketika mereka menghadapi situasi modern, masalahnya nyaris sama. Berputar dalam masalah langkahlangkah yang mesti dilakukan dalam melakukan pembaharuan. Sayangnya, sedikit sekali orang yang mau berkubang dalam upaya mencari yang sejati dari apa yang dinamakan pembaharuan Islam. Pembaharuan Islam di Indonesia dari dahulu hingga kini memang sangat elitis sifatnya. Menempuh cara Barat dalam merengkuh kemodernan barangkali hal paling gampang digulirkan, namun apakah ia akan efektif di tengah basis material Umat yang sedemikian berbedanya dengan Barat. Jangan-jangan upaya untuk itu, hanya akan menjadi cemooh dan tuduhan upaya mendeskreditkan Islam. Karenanya dalam melakukan pembaharuan Islam, seseorang harus rela menyerahkan diri sepenuhnya dalam cita-cita itu, dengan segala resiko apapun yang bakal diterima. Juga harus bersedia memeras tenaga dan pikiran bagi pemecahan soal-soal bagaimana al-Quran hendak ditafsirkan, sejauh mana relevansi Hadits menjadi pedoman, dan dalam batas-batas mana nilai-nilai islam maupun sistemnya terwujud di tengah-tengah Umat. Dalam konteks Indonesia, hal ini masih ditambah satu lagi, yaitu perlunya mempertimbangkan kondisi masyarakat yang sedemikian plural, baik agama, etnis, maupun kepercayaan. Inilah realitas masyarakat yang ada. Pada akhirnya, seorang pembaharu Islam di Indonesia, mau tak mau harus memecahkan secara strategis pada persoalan-persoalan sikap Umat Islam terhadap syariah. Satu hal inilah yang menjadi pangkal perdebatan hingga kini. Konon hal ini disebabkan Islam di Indonesia sangat kuat menganut paham Sunni. Dimana kemudian, merujuk namanya, cita-cita Islam yang ideal haruslah Islam yang meniti pada tradisi sunnah Nabi, yang pelaksanaanya diupayakan dalam arti kolektivitas (jamaah). Jadi, lokus perdebatan keharusan melakukan pembaharuan Islam, tidak boleh mengorbankan persatuan dan kesatuan Umat dalam kolektivitas. Kalau yang terjadi kemudian adalah berpotensi memecah Umat, sebaiknya ia tidak diupayakan. Maka, seorang pembaharu, mengalami dua dilema sekaligus: dilema memperturutkan dan

memenuhi niat suci perubahan bagi Umat; dan dilema mencari anggitan yang paling dasar bagi upaya pembaharuan, yaitu dukungan Umat. 2. Sebab-Sebab Keruntuhan Umat Islam Kita semua menyadari bahwa kondisi umat Islam di Indonesia sangat memprihatinkan. Terlalu banyak masalah dan penyakit yang diidap oleh jasad besar umat Islam di Indonesia bahkan boleh dikata sampai ketingkat stadium kronis.Membutuhkan pisau bedah yang tajam dan analisis yang dalam untuk mencari solusi agar ummat Islam dapat keluar dari kemunduran dan krisis-krisis yang melandanya. Namun dari semua analisa pakar-pakar ulama` menuju kesatu arah yaitu kurangnya atau hilangnya komitmen ummat Islam untuk berpegang teguh kepada ajaran Islam itu sendiri. Betul apa yang dikatakan Imam Malik ,yang artinya "Tidak akan berjaya akhir dari ummat ini melainkan dengan apa yang dipegang (dijalankan) oleh generasi pertama". Kalau kita berbicara ummat Islam itu berarti dengan segala kemampuannya baik bersifat perorangan, organisatoris institusi, masyarakat muslim dll. Untuk itu kalau kita bicarakan panjang lebar tentu akan menjadi buku tersendiri, tetapi karena tulisan ini adalah makalah, tentunya kami sampaikan sesuai dengan porsi itu. Kami ungkapkan titik kelemahannya saja. a. Lemah dalam pemahaman Islam Kelemahan dimaksud terletak dalam cara memahami Islam itu sendiri, sehingga mengakibatkan lahirnya pemikiran atau ajaran yang rancu yang dipicu oleh hawa nafsu, kepentingan tertentu politik dll. Dimasa lalu ummat Islam tidak berbeda dalam maslah aqidah karena itu yang pokok, tetapi perbedaan dalam masalah furu`. Namun sekarang perbedaan itu sudah menjarah aqidah yang berakibat lahirnya kelompok-kelompok yang berseberangan dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah S.a.w dengan para sahabatnya, seperti Ahmadiyah, Syiah, LDII dll.

b. Lemah dalam praktek Islam Kalau saja kita merasa tidak kurangnya orang berilmu baik dikalangan akademisi maupun dikalangan masyarakat umum. Tetapi kita akan merasa fakir menemukan tokoh-tokoh Islam yang betul-betul mengaplikasikan Islam apalagi masyarakat awam. Untuk itu perlu contoh yang konkrit untuk mempraktekkan Islam, tidak cukup hanya ucapan dan kajian ilmiah saja.

c. Lemah dalam membangun perekonomian Betapa hebat suatu ummat tanpa ditopang dengan perekonomian yang kokoh, maka bisa digantikan ummat itu akan mengalami peluang untuk dibeli, seperti yang kita alami sekarang. Justru yang terjadi adalah ummat Islam terjerumus oleh permainan riba dengan sistem kapitalis. Maka perekonomian kita harus kita bangun atas dasar Islam. Secara faktual masih banyak kendala seperti yang dialami oleh Bank Muammalat Islam Indonesia, misalnya, mengalami kesulitan mencari partner-partner berkredibilitas.

d. Lemah dalam persatuan Persatuan adalah idaman setiap muslim tetapi bagaimana merealisasikannya, ini yang memenuhi jalan buntu. Sudah banyak usaha dilakukan untuk menjalin persatuan tetapi banyak kandas ditengah jalan atau kalaupun berhasil dalam suatu saat tapi banyak bersifat semu dan temporal. Masalahnya mereka berjalan menggalang persatuan dengan konsep yang tidak jelas. Bahwa Allah S.W.T berfirman yang artinya "Ini adalah ummat yang satu dan Aku (Allah S.W.T) adalah Tuhanmu, maka beribadahlah kepada-Ku." Sehingga syarat utama persatuan itu adalah membangun diatas Tauhid. Sebagaimana bangsa-bangsa Eropa mereka bersatu atas dasar kekafiran.

e. Lemah dalam politik Untuk membangun politik Islam tidak cukup hanya dengan mengandalkan perekonomian sesaat dan landasan yang tidak Islami seperti demokrasi dan semacamnya. Tetapi berlandaskan Islam secara murni. Seperti Firman Allah S.W.T yang artinya "Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk melaksanakan amanat-amanat kepada yang berhak dan apabila kalian berhukum antar manusia, hendaknya kalian berhukum secara adil?" Dan mustahil kita mencapai keadilan kalau kita tidak melaksanakan hukum Allah S.W.T tetapi justru mengamalkan buatan manusia. Ibnu Taimiyyah menyebutkan dua syarat bagi pemimpin politik yaitu kuat dan jujur. Kuat dalam pemahaman Islam dan kuat dalam pelaksanaannya. Kedua adalah jujur yang didasarkan akan rasa takut kepada Allah S.W.T

f. Lemah dalam pendidikan Sejak jaman Belanda sengaja pendidikan ummat Islam dimarginalkan agar mereka tidak kritis.Makanya, pendidikan hanya sampai tingkat dasar dan menengah,paling banter menengah atas.Adapun perguruan tinggi diisi oleh anak-anak pejabat dan kelompok yang pro Belanda. Baru tahun enampuluhan dan tujuhpuluhan tingkatan perguruan tinggi mulai

dikembangkan, itupun lebih didominasi oleh kelompok abangan yang seluler. Meskipun mereka berlatar belakang muslim tapi cara berfikirnya cara berfikir Barat. Karena lemahnya tingkat pendidikan tinggi tokoh-tokoh Islam, hal itu sengaja diciptakan juga pada masa orde lama dan orde baru, sehingga para pemimpin umat Islam tidak terlalu siap mengendalikan pemerintahan dan kepentingan bangsa. Lebih-lebih lagi, banyak dari tokoh-tokoh Islam itu terkooptasi pemikiran dan arah perjuangannya serta mudah di beli oleh kepentingan politik.

g.

Lemah dalam membangun peradaban.

Peradaban adalah hasil dari daya, cipta dan karsa manusia yang di kembangkan berdasarkan kemajuan nalar dan teknologi baik berupa fisik maupun non fisik. Dalam hal ini ummat Islam tertinggal jauh dari peradaban lain terutama IPTEK. Hal itu disebabkan oleh banyak faktor diantaranya penjajahan yang berkepanjangan, pembodohan secara sistematis, kediktatoran penguasa dan lemahnya perhatian yang diakibatkan oleh pandangan sesaat serta kejenuhan berfikir yang larut-larut. Selain juga tingkat kemalasan yang tinggi disebabkan oleh perasaan cepat puas sehingga usaha diupayakan tidak maksimal. Sebagai contoh, bagaimana orang Jepang bekerja setiap hari lebih dari 10 jam dan orang Amerika dan Eropa lebih dari 9 jam, sedangkan kita maksimal 8 jam itupun banyak korupsinya. Sehingga infra struktur relatif kurang baik, high teknologi tidak berjalan dan alat transportasi serta kominikasi terbelakang. Manajemen pemerintahan amburadul dan perangkat hukum mandul. Oleh sebab itu hampir seluruh negara Islam termasuk negara dunia ke III alias terbelakang, tidak terkecuali Indonesia. Sementara utang negara menggunung.

h. Lemah dalam membangun masyarakat madani Istilah masyarakat madani mengemuka pada akhir-akhir ini. Bagi kalangan sekuler memakai madani dengan arti masyarakat yang berperadaban. Sementara kalangan Islam memahami masyarakat yang bertipologi masyarakat madinah yang di bangun oleh Rasulullah S.A.W. dalam pengertian masyarakat yang berpegang berdasarkan norma-norma Islam. Sedangkan kenyataan masyarakat kita sungguh memprihatinkan. Tak jarang justru mempraktekkan norma-norma jahiliyah. Seperti semaraknya di masyarakat kita mengadakan hari ulang tahun atau memperingati tahun Baru padahal itu merayakan budaya non Islam. Belum lagi kesenjangan yang mencolok antar warga kaya dan muslim kurang kegotong royong dalam menghalau kebejatan moral dan kemaksiatan dan cenderung materialistis.

i. Terlalu mencintai dunia Titik kelemahan ummat yang sempat disampaikan oleh Nabi S.a.w adalah yang artinya "Hampir-hampir saja bangsa-bangsa mengerubuti kalian, sebagai mana orang-orang menyambuti hidangan makanan." ditanyakan "Apakah kita waktu itu sedikit wahai Rasulullah?" Beliau menjawab. "Bahkan kalian banyak, tetapi kalian seperti buih lautan. ( pada saat itu) Allah mengangkat dari hati musuh-musuh rasa takut kepada kalian dan Allah melemparkan wahn pada hati kalian". Mereka bertanya "apa itu wahn wahai Rasulullah ?" Beliau menjawab "cinta dunia dan takut mati ". (H.R Ahmad dan Abu Dawud). Demikian itu kenyataan ummat kita, lebih mencintai dunia daripada akhirat, akibatnya mereka takut mati dan menghindar dari perjuangan menegakkan kalimat Allah S.W.T.

j. Lemah dibidang kekuatan Al Qur`an jelas memerintahkan kita untuk mempersiapkan kekuatan ( lihat Q.S Al-Anfal:60) dan Rasulullah S.a.w menyuruh orangtua agar mengajarkan anak-anaknya berenang dan memanah agar badan mereka sehat. Orang mukmin yang kuat lebih baik daripada orang mukmin yang lemah. Pembantaian dan pengusiran saudara-saudara kita di Ambon, Maluku dan ditempat-tempat lain adalah bukti betapa kekuatan kita lemah dan diremehkan Untuk itu ummat mulai harus mulai mengkonsolidasi diri dan mempersiapkan kekuatan agar hak asazi mereka tidak diinjak-injak oleh musuh-musuh. 3. Kebangkitan Kembali Umat Islam

D. Tasawuf
1. Pengertian dan Asal Usul Tasawuf Sebelum lebih jauh membahas tentang asal -usul tasawuf, sedikit kami berikan pengertian singkat sufi dan tasawuf. Ada beberapa pendapat tentangasal-usul kata tasawuf. Ada yang mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata safa, artinya suci, bersih atau murni. Karena memang, jika dilihat dari seginiat maupun tujuan dari setiap tindakan dan ibadah kaum sufi, maka jelas bahwa semua itu dilakukan dengan niat suci untuk membersihkan jiwa dalammengabdi kepada Allah SWT. Ada lagi yang mengatakan tasawuf berasal darikata saff, artinya saff atau baris. Mereka dinamakan sebagai para sufi, menurut pendapat ini, karena berada pada

baris saff pertama di depan Allah, karena besarnya keinginan mereka akan Dia, kecenderungan hati mereka terhadap- Nya. Ada pula yang mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata suffah atau suffah al Masjid, artinya serambi mesjid. Istilah ini dihubungkan dengan suatutempat di Mesjid Nabawi yang didiami oleh sekelompok para sahabat Nabi yang sangat kafir dan tidak mempunyai tempat tinggal, yang dikenal sebagai ahli suffah. Mereka adalah orang yang menyediakan waktunya untuk berjihad dan berdakwah serta meninggalkan usaha-usaha duniawi. Jelasnya, mereka dinamakan sufi karena sifat-sifat mereka menyamai sifat orang-orang yang tinggal di serambi mesjid ( suffah) yang hidup pada masa nabi SAW. Sementara pendapat lai n mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata suf, yaitu bulu domba atau wol. Hal ini karena mereka )para sufi( tidak memakai pakaian yang halus disentuh atau indah dipandang, untuk menyenangkan danmenenteramkan jiwa. Mereka memakai pakaian yang hanya untuk menutupiaurat dengan bahan yang terbuat dari kain wol kasar (suf). Sedangkan tasawuf menurut beberapa tokoh sufi adalah seperti berikut:

a. Bis yri bin Haris mengatakan bahwa sufi ialah orang yang suci hatinya menghadap Allah SWT. b. Sahl at-Tustar mengatakan bahwa sufi ialah orang-orang yang bersih dari

kekeruhan, penuh dengan renungan, putus

hubungan dengan manusiadalam

menghadap Allah SWT, dan baginya tiada beda antara harga emasdan pasir. c. Al-Junaid al-Bagdadi, tokoh sufi modern, mengatakan bahwa tasawuf ialah

membersihkan hati dari sifat yang menyamai binatang danmelepaskan akhlak yang fitri, menekan sifat basyariah (kemanusiaan), menjauhi hawa nafsu, memberikan tempat bagi kerohanian, berpegang pada ilmu kebenaran,

mengamalkan sesuatu yang lebih utama atas dasar keabadiannya, memberi nasihat kepada umat, benar-benar menepati janjiterhadap Allah SWT, dan mengikuti syariat Rasulullah SAW. d. Abu Qasim Abdul Kari mal-Qusyairi memberikan definisi bahwa tasawuf ialah menjabarkan ilmu-ilmu Al Quran dan As Sunnah, berjuang mengendalikan nafsu, menjauhi perbuatan bidah, mengendalikan syahwat,dan menghindari sikap meringan-ringankan ibadah.

e. Abu Yazid al-Bustami secara lebih luas mengatakan bahwa arti tasawuf mencakup tiga aspek, yaitu kha (melepaskan diri dari perangai yang tercela), ha (menghiasi diri dengan akhlak yang terpuji) dan jim (mendekatkan diri kepada Tuhan). Tasawuf Islam bersumber dari al-Quran dan Hadis. Banyak ayat al-Quran dan Hadis Nabi SAW. berbicara tentang hubungan antara Allah denganhamba-Nya manusia, diantaranya seperti tertulis pada pendahuluan di atas.Secara umum Islam mengatur kehidupan yang bersifat lahiriah atau jasadiah, dan kehidupan yang bersifat batiniah. Pada unsur kehidupan yang bersifat batiniah inilah kemudian lahir tasawuf. Unsur kehidupan tasawuf inimendapat perhatian yang cukup besar dari sumber ajaran Islam, al-Quran danal-Sunnah serta praktek kehidupan Nabi dan sahabatnya. Lebih jauh, al-Quran berbicara tentang kemungkinan manusia dan Tuhan dapat salingmencintai (mahabbah) seperti dalam alMaidah: 54; perintah agar manusiasenantiasa bertaubat (at-Tahrim: 8); petunjuk bahwa manusia akan senantiasa bertemu dengan Tuhan dimanapun mereka berada (al-Baqarah: 110); Allah dapat memberikan cahaya kepada orang yang dikehendaki (an-Nur: 35); Allah mengingatkan manusia agar dalam hidupnya tidak diperbudak oleh kehidupan dunia dan harta benda (al-Hadid, al-Fathir: 5); dan senantiasa bersikap sabar dalam menjalani pendakatan diri kepada Allah SWT (Ali Imron: 3). Begitu juga perintah Allah untuk ikhlas semata mengharap ridha-Nyadalam beribadah (al-Bayinah: 5); berperilaku jujur (al-Anfal: 58), adil, taqwa (al-Maidah: 6); yakin, tawakal (al-Anfal: 49); qonaah, rendah hati dan tidak sombong (al-Isra:37); beribadah dengan penuh pengharapan terhadap ridha- Nya (al-Kahfi: 110), takut terhadap murka Allah atas segala dosa (khauf ) (at-Tahrim: 6); menahan hawa nafsu (Yusuf: 53); amar maruf nahi munkar (Ali Imron: 104); dan banyak lagi konsep akhlak dan amal diajarkandalam al-Quran kesemuanya adalah sumber tasawuf dalam Islam. Sejalan dengan apa yang dibicarakan alQuran, as-Sunnah pun banyak berbicara tentang kehidupan rohaniah. Teks hadits qudsi berikut dapat dipahami dengan pendekatan tasawuf: Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi, maka Aku menjadikanmakhluk agar mereka mengenal-Ku Hadis tersebut memberi petunjuk bahwa alam raya, termasuk manusiaadalah merupakan cermin Tuhan, atau bayangan Tuhan. Tuhan inginmengenalkan diri-Nya melalui penciptaan alam ini. Dengan demikian dalamalam raya ini terdapat potensi ketuhanan yang dapat didayagunakan untuk mengenal-Nya. Dan apa yang ada di alam raya ini pada hakikatnya adalahmilik Tuhan dan akan kembali kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya dalamal-Baqarah: 156:

Orang-orang yang apabila ditimpa musibah, merekamengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun" Sesungguhnya Kamiadalah milik Allah dan kepada-Nya-lah Kami kembali.

dan al-Baqarah 45-46: Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. dan Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang -orang yang khusyu',(yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya,dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.

Benih-benih tasawuf dipraktekkan langsung oleh Muhammad SAW.dalam kehidupan kesehariannya. Perilaku hidup Nabi SAW sebelum diangkatmenjadi Rasul, berhari-hari beliau berkhalawat di gua Hira, terutama pada bulan Ramadhan. Di sana Nabi SAW banyak berzikir dan bertafakur mendekatkan diri kepada Allah SWT. Pengasingan diri Nabi Muhammad SAW. di guaHira ini merupakan acuan utama para sufi dalam berkhalawat. Puncak kedekatan Nabi SAW dengan Allah terjadi ketika beliau melakukan Isro walmiroj. Dikisahkan Nabi berdialog langsung dengan Allah ketika menerima perintah Shalat lima waktu.Peri kehidupan (sirah) Nabi SAW juga merupakan benih-benih tasawuf,yaitu pribadi Nabi yang sederhana, zuhud, dan tidak pernah terpesona oleh kemewahan dunia. Dalam salah satu doanya nabi bermohon: Wahai Allah,hidupkanlah aku dalam kemiskinan dan matikanlah aku selaku orang miskin. (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Hakim). Pada suatu waktu Nabi Muhammad SAWdatang ke rumah istrinya, Aisyah binti Abu Bakar as-Shidiq, ternyata dirumahnya tidak ada makanan. Keadaan seperti ini diterimanya dengan sabar,lalu beliau menahan laparnya dengan berpuasa (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Nasai). Nabi juga sering mengganjal perutnya dengan batu sebagai penahan lapar. Cara beribadah Nabi Muhammad SAW juga merupakan cikal-bakal tasawuf. Nabi Muhammad SAW adalah orang yang paling tekun beribadah. Dalam satu riwayat dari Aisyah RA disebutkan bahwa pada suatu malam Nabi Muhammad SAW mengerjakanshalat malam; di dalam shalat lututnya bergetar karena panjang, banyak rakaatserta khusu dalam shalatnya. Tatkala ruku dan sujud terdengar suaratangisnya, namun beliau tetap terus melakukan shalat sampai suara azan Bilal bin Rabah terdengar di waktu subuh. Melihat Nabi SAW demikian tekunmelakukan shalat, Aisyah bertanya:

Wahai junjungan, bukankah dosamu yang terdahulu dan akan datang telah diampuni Allah, kenapa engkau masihterlalu banyak melakukan shalat? Nabi SAW menjawab: Aku ingin menjadihamba yang banyak bersyukur. (HR. Bukhari dan Muslim). Ajaran rasul tentang bersikap dan berperilaku dalam kehidupan sehari-hari banyak diikuti oleh para sahabatnya, dilanjutkan oleh para tabiin, tabiittabiin dan seluruh Muslim hingga saat ini . Mereka mengikuti firman Allah: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (Al-Ahzab: 21). Demikian sekilas asal-usul tasawuf dalam Islam. Jelas asal-usul tasawuf Islam bersumber dari al-Quran dan Hadis.

2. Macam-Macam Tasawuf Dari sekian banyak pendapat dan ajaran Tasawuf, Pada intinya pemahaman akan ajaran Tasawuf terbagi atas 3 macam golongan, antara lain :

a. Tasawuf Amali ( Tasawuf Terapan)--> Tasawuf ini lebih menekankan pada praktek ritual terdapat pada amaliah-amaliah tasawuf, seperti tarekat, dzikir/mujahadah, ihsan dan lainnya. Adapun tokohnya, semisal Al-Ghazali, Al-Junaidy, Ibnu Athoillah dan lainnya.

b. Tasawuf Ilmu --> Tasawuf ini lebih cenderung bersifat sekedar pengetahuan teoritis saja, sehingga orang yang mempelajari tasawuf lebih cenderung hanya sebagai tambahan pengetahuan khazanah ilmuan saja. Sehingga ilmu tasawuf seringkali menjadi ajang perdebatan dan diskusi keilmuan belaka. Seperti yang diberikan pada sekolah/Perguruan Tinggi Islam, dll.

c. Tasawuf Falsafi --> Tasawuf ini dapat kita jumpai pada ajaran ortodox/heterodox yang terdapat pada Faham-faham Pantheisme, semisal : Hulul (Abu Mansur AlHalaj), ittihad (Abi-Yazid Al-Bistami), Wihdatul wujud (Ibnu Arabi), dan lainnya. 3. Tokoh Tokoh Tasawuf dan Pemikirannya

Sesugguhnya banyak sekali para Ulama yang mengikuti jejak Rosulullah SAW, untuk hidup seadanya dan tidak tamak, tapi kami disini akan membahas siapa saja yang terkenal sebagai pakar ilmu tasawuf. Tokoh-Tokoh Ilmu Tasawuf Klasik. Tokoh-tokoh ilmu tasawuf yang tersohor pada zaman dahulu adalah: a. Ibn Athaillah as Sakandary Nama lengkapnya Ahmad ibn Muhammad Ibn Athaillah as Sakandary (w. 1350M), dikenal seorang Sufi sekaligus muhadits yang menjadi faqih dalam madzhab Maliki serta tokoh ketiga dalam tarikat al Syadzili. Penguasaannya akan hadits dan fiqih membuat ajaran-ajaran tasawufnya memiliki landasan nas dan akar syariat yang kuat. Karya-karyanya amat menyentuh dan diminati semua kalangan, diantaranya Al Hikam, kitab ini ditujukan untuk meningkatkan kesadaran spiritual di kalangan murid-murid tasawuf. Kitab lainnya, Miftah Falah Wa Wishbah Al Arwah (Kunci Kemenangan dan Cahaya Spiritual), isinya mengenai dzikir, Kitab al Tanwir Fi Ishqat al Tadhbir (Cahaya Pencerahan dan Petunjuk Diri Sendiri), yang disebut terakhir berisi tentang metode madzhab Syadzili dalam menerapkan nilai Sufi, dan ada lagi kitab tentang guru-guru pertama tarekat Syadziliyah - Kitab Lathaif Fi Manaqib Abil Abbas al Mursi wa Syaikhibi Abil Hasan.

b. Al Muhasibi Nama lengkapnya Abu Abdullah Haris Ibn Asad (w. 857). Lahir di Basrah. Nama "Al Muhasibi" mengandung pengertian "Orang yang telah menuangkan karya mengenai kesadarannya". Pada mulanya ia tokoh muktazilah dan membela ajaran rasionalisme muktazilah. Namun belakangan dia meninggalkannya dan beralih kepada dunia sufisme dimana dia memadukan antara filsafat dan teologi. Sebagai guru Al Junaed, Al Muhasibi adalah tokoh intelektual yang merupakan moyang dari Al Syadzili. Al Muhasibi menulis sebuah karya "Ri'ayah Li Huquq Allah", sebuah karya mengenai praktek kehidupan spiritual.

c. Abdul Qadir Al Jilani (1077-1166) Beliau adalah seorang Sufi yang sangat tekenal dalam agama Islam. Ia adalah pendiri tharikat Qadiriyyah, lahir di Desa Jilan, Persia, tetapi meninggal di Baghdad Irak.Abdul Qadir mulai menggunakan dakwah Islam setelah berusia 50 tahun. Dia mendirikan sebuah tharikat dengan namanya sendiri. Syeikh Abdul Qadir disebutsebut sebagai Quthb (poros spiritual) pada zamannya, dan bahkan disebut sebagai

Ghauts Al Azham (pemberi pertolongan terbesar), sebutan tersebut tidak bisa diragukan karena janjinya untuk memperkenalkan prinsip-prinsip spiritual yang penuh kegaiban. Buku karangannya yang paling populer adalah Futuh Al Ghayb (menyingkap kegaiban). Melalui Abdul Qadir tumbuh gerakan sufi melalui bimbingan guru tharikat (mursyid). Jadi Qadiriyah adalah tharikat yang paling pertama berdiri.

d. Al Hallaj Nama lengkapnya Husayn Ibn Mansyur Al Hallaj (857-932), seorang Sufi Persia dilahirkan di Thus yang dituduh Musyrik oleh khalifah dan oleh para pakar Abbasiyah di Baghdad oleh karenanya dia dihukum mati. Al Hallaj pertama kali menjadi murid Tharikat Syeikh Sahl di Al Tutsari, kemudian berganti guru pada Syeikh Al Makki, kemudian mencoba bergabung menjadi murid Al Junaed Al Baghdadi, tetapi ditolak. Al Hallaj terkenal karena ucapan ekstasisnya "Ana Al Haqq" artinya Akulah Yang Maha Mutlak, Akulah Yang Maha Nyata,bisa juga berarti "Akulah Tuhan", mengomentari masalah ini Al Junaid menjelaskan "melalui yang Haq engkau terwujud", ungkapan tersebut mengandung makna sebagai penghapusan antara manusia dengan Tuhan. Menurut Junaid " Al Abd yahqa al Abd al Rabb Yahqa al Rabb" artinya pada ujung perjalanan "manusia tetap sebagai manusia dan Tuhan tetap menjadi Tuhan". Pada jamannya Al Hallaj dianggap musrik, akan tetapi setelah kematiannya justru ada gerakan penghapusan bahkan Al Hallaj disebut sebagai martir atau syahid. Sampai sekarang Al Hallaj tetap menjadi teka-teki atau misteri karena masih pro dan kontra. Tasawuf Sunni (moderat) yaitu tasawuf yang benar-benar mengikuti Al-quran dan Sunnah, terikat, bersumber, tidak keluar dari batasan-batasan keduanya, mengontrol prilaku, lintasan hati serta pengetahuan dengan neraca keduanya. Sebagaimana ungkapan Abu Qosim Junaidi al-Bagdadi: Mazhab kami ini (Tasawuf) terikat dengan dasar-dasar Al-quran dan Sunnah, perkataannya lagi: Barang siapa yang tidak hafal (memahami) Al-quran dan tidak menulis (memahami) Hadits maka orang itu tidak bisa dijadikan qudwah dalam perkara (tarbiyah tasawuf) ini, karena ilmu kita ini terikat dengan Al-Quran dan Sunnah.. Tasawuf ini diperankan oleh kaum sufi yang mutadil (moderat) dalam pendapat-pendatnya, mereka mengikat antara tasawuf mereka dan Al-quran serta Sunnah dengan bentuk yang jelas. Boleh dinilai bahwa mereka adalah orang-orang yang senantiasa menimbang tasawuf mereka dengan neraca Syariah.

Tasawuf ini berawal dari zuhud, kemudian tasawuf dan berakhir pada akhlak. Mereka adalah sebagian sufi abad kedua, atau pertengahan abad kedua, dan setelahnya sampai abad keempat hijriyah. Dan personal seperti Hasan Al-Bashri, Imam Abu Hanifa, al-Junaidi alBagdadi, al-Qusyairi, as-Sarri as-Saqeti, al-Harowi, adalah merupakan tokoh-tokoh sufi utama abad ini yang berjalan sesuai dengan tasawuf sunni. Kemudian pada pertengahan abad kelima hijriyah imam Ghozali membentuknya ke dalam format atau konsep yang sempurna, kemudian diikuti oleh pembesar syekh Toriqoh. Akhirnya menjadi salah satu metode tarbiyah ruhiyah Ahli Sunnah wal jamaah. Dan tasawuf tersebut menjadi sebuah ilmu yang menimpali kaidah-kaidah praktis. Tasawuf ini juga dinamakan tasawuf nazhori (teori), demikian, karena tasawuf Islam terbagi kepada nazhari dan amali (praktek). Dan hal ini tidak berarti bahwa tasawuf nazhori ini kosong dari sisi praktis. Istilah teori ini hanya melambangkan bahwa tasawuf belum menjadi bentuk thoreqoh (tarbiyah kolekltif) secara terorganisir seperti toreqoh yang terjadi sekarang ini.

1.

Junaid Al-Baghdadi

Nama lengkapnya adalah Abu al-Qasim al-Junaid bin Muhammad al-Kazzaz alnihawandi. Dia adalah seorang putera pedagang barang pecah belah dan keponakan Surri al-Saqti serta teman akrab dari Haris al-Muhasibi. Dia meninggal di Baghdad pada tahun 297/910 M. dia termasuk tukoh sufi yang luar biasa, yang teguh dalam menjalankan syari`at agama, sangat mendalam jiwa kesufiannya. Dia adalah seorang yang sangat faqih, sering memberi fatwa sesuia apa yang dianutnya, madzhab abu sauri: serta teman akrab imam Syafi`i. Dikatakan bahwa para sufi pada masanya, al-junaid adalah seorang sufi yang mempunyai wawasan luas terhadap ajaran tasawuf, mampu membahas secara mendalam, khusus tentang paham tauhid dan fana`. Karena itulah dia digelari Imam Kuam Sufi (Syaikh al-Ta`ifah); sementara al-Qusayiri di dalam kitabnya al-Risaalah al-Qusyairiyyah menyebutnya Tokoh dan Imam kaum Sufi. Asal-usul al-Junaid berasal dari Nihawan. Tetapi dia lahir dan tumbuh dewasa di Irak. Tentang riwayat dan pendidikannya, al-junaid pernah berguru pada pamannya Surri al-Saqti serta pada Haris bin `Asad al-muhasibi.

Kemampuan al-Junaid untuk menyapaikan ajaran agama kepada umat diakui oleh pamannya, sekaligus gurunya, Surri al-Saqti. Hal ini terbukti pada kepercayaan gurunya dalam memberikan amanat kepadanya untuk dapat tampil dimuka umum. Al-Junaid dikenal dalam sejarah atsawuf sebagai seorang sufi yang banyak membahas tentang tauhid. Pendapat-pendapatnya dalam masalah ini banyak diriwayatkan dalam kitab-kitab biografi para sufi, antara lain sebagaimana diriwayatkan oleh al-qusyairi: oang-orang yang mengesakan Allah adalah mereka yang merealisasikan keesaanNya dalam arti sempurna, meyakini bahwa Dia adalah Yang Maha Esa, dia tidak beranak dan diperanakkan. Di sini memberikan pengertian tauhid yang hakiki. Menurutnya adalah buah dari fana` terhadap semua yang selain Allah. Dalam hal ini dia menegaskan Al-Junaid juga menandaskan bahwa tasawuf berarti allah akan menyebabkan mati dari dirimu sendiri dan hidup di dalam-Nya. Peniadaan diri ini oleh Junaid disebut fana`, sebuah istilah yang mengingatkan kepada ungkapan Qur`ani segala sesuatu akan binasa kecuali wajah-Nya (QA. 55:26-27); dan hidup dan hidup dalam sebutannya baqa`. Al-Junaid menganggap bahwa tasawuf merupakan penyucian dan perjuangan kejiwaan yang tidak ada habis-habisnya. Disamping al-Junaid menguraikan paham tauhid dengan karakteristik para sufi, dia juga mengemukakan ajaran-ajaran tasawuf lainnya.

2.

Al-Qusyairi An-Naisabury

Dialah Imam Al-Qusyary an-Naisabury, tokoh sufi yang hidup pada abad kelima hijriah. Tepatnya pada masa pemerintahan Bani Saljuk. Nama lengkapnya adalah Abdul Karim al-Qusyairy, nasabnya Abdul Karim ibn Hawazin ibn Abdul Malik ibn Thalhah ibn Muhammad. Ia lahir di Astawa pada Bulan Rabiul Awal tahun 376 H atau 986 M. Sedikit sekali informasi penulis dapat yang menerangkan tentang masa kecilnya. Namun yang jelas, dia lahir sebagai yatim. Bapaknya meninggal dunia saat usianya masih kecil. Sepeninggal bapaknya, tanggungjawab pendidikan diserahkan pada Abu al-Qosim al-Yamany. Ketika beranjak dewasa, Al-Qusyairy melangkahkan kaki meninggalkan tanah kelahiran menuju Naisabur, yang saat itu menjadi Ibukota Khurasan. Pada awalnya, kepergiannya ke Naisabur untuk mempelajari matematika. Hal ini dilakukan karena Al-Qusyairy merasa terpanggil menyaksikan penderitaan

masyarakatnya, yang dibebani biaya pajak tinggi oleh penguasa saat itu. Dengan mempelajari matematika, ia berharap, dapat menjadi petugas penarik pajak dan meringankan kesulitan masyarakat saat itu. Naisabur merupakan kota yang menyimpan peluang besar untuk perkembangan berbagai macam disiplin ilmu, karena banyak kaum intelektual yang hidup disana. Di kota inilah, untuk pertama kalinya Al-Qusyairy bertemu bertemu Sheikh Abu Ali Hasan ibn Ali an-Naisabury, yang lebih dikenal dengan panggilan Ad-Daqqaq. Pertemuan itu menyisakan kekaguman Al-Qusyairy pada peryataan-pernyataan AdDaqqaq. Perlahan, keinginannya mempelajari matermatika pun hilang. Ia pun memilih jalan tarekat dengan belajar dari Ad-Daqqaq. Berawal dari sinilah, Al-Qusyairy mengenal Tasawuf. Al-Daqqaq merupakan guru pertama Al-Qusyairy dalam bidang Tasawuf. Dari ia pula Al-Qusyairy mempelajari banyak hal, tidak hanya terbatas Tasawuf, tetapi juga ilmu-ilmu keislaman yang lain. Al-Qusyairy mampu memahami dengan baik semua pengetahuan yang diajarkan gurunya. Dari sinilah Ad-Daqqaq menyadari kemampuan intelektual Al-Qusyairy. Mungkin, hal ini menjadi salah satu faktor yang mendorong inisiatif Ad-Daqqaq untuk menikahkan putrinya, Fatimah dengan Al-Qusyairy. Pernikahan ini berlangsung pada antara tahun 405 412 H/1014 1021 M. Fatimah merupakan wanita ahli sastra dan tekun beribadah. Dari pernikahan ini, lahirlah enam putera dan satu puteri, yaitu; Abu Said Abdullah, Abu Said Abdul Wahid, Abu Mansyur Abdurrahman, Abu Nashr Abdurrahim, Abu Fath Ubaidillah, Abu Muzaffar Abdul Munim dan putri Amatul Karim. Disamping berguru pada mertuanya, Imam Al-Qusyairy juga berguru pada para ulama lain. Diantaranya, Abu Abdurrahman Muhammad ibn al-Husain (325-412 H/936-1021 M), seorang sufi, penulis dan sejarawan. Al-Qusyairy juga belajar fiqh pada Abu Bakr Muhammad ibn Abu Bakr at-Thusy (385-460 H/995-1067 M, belajar Ilmu Kalam dari Abu Bakr Muhammad ibn al-Husain, seorang ulama ahli Ushul Fiqh. Ia juga belajar Ushuluddin pada Abu Ishaq Ibrahim ibn Muhammad, ulama ahli Fiqh dan Ushul Fiqh. Al-Qusyairy pun belajar Fiqh pada Abu Abbas ibn Syuraih, serta mempelajari Fiqh Mazhab Syafii pada Abu Mansyur Abdul Qohir ibn Muhammad al-Ashfarayain. Al-Qusyairy banyak menelaah karya-karya al-Baqillani, dari sini ia menguasai doktrin Ahlusunnah wal Jamaah yang dikembangkan Abu Hasan al-Asyary (w.935 M) dan para pengikutnya. Karena itu tidak mengherankan, kalau Kitab Risalatul Qusyairiyah yang merupakan karya monumentalnya dalam bidang Tasawuf -dan sering disebut

sebagai salah satu referensi utama Tasawuf yang bercorak Sunni-, Al-Qusyairy cenderung mengembalikan Tasawuf ke dalam landasan Ahlusunnah Wal Jamaah. Dia juga penentang keras doktrin-doktri aliran Mutazilah, Karamiyah, Mujassamah dan Syiah. Karena tindakannya itu, Al-Qusyairy pernah mendekam dalam penjara selama sebulan lebih, atas perintah Taghrul Bek, karena hasutan seorang menteri yang beraliran Mutazilah yaitu Abu Nasr Muhammad ibn Mansyur al-Kunduri Perburuan terhadap para pemuka aliran Asyariyah itu berhenti dengan wafatnya Taghrul Bek pada tahun 1063 M. Penggantinya, Alp Arsalen (1063-1092 M), kemudian mengangkat Nizam al-Mulk sebagai pengganti al-Khunduri. Kritik Terhadap Para Sufi Dr. Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Guru Besar Filsafat Islam dan Tasawuf pada Universitas Kairo, yang juga tokoh dan Ketua Perhimpunan Sufi Mesir (Robithah al-Shufihiyah al-Mishriyah) menulis, Imam Al-Qusyairy mengkritik para sufi aliran Syathahi yang mengungkapkan ungkapan-ungkapan penuh kesan tentang terjadinya Hulul (penyatuan) antara sifat-sifat kemanusiaan, khususnya sifat-sifat barunya, dengan Tuhan. Al-Qusyairy juga mengkritik kebiasaan para sufi pada masanya yang selalu mengenakan pakaian layaknya orang miskin. Ia menekankan kesehatan batin dengan perpegang pada Al-Quran dan Sunnah Rasul. Hal ini lebih disukainya daripada penampilan lahiriah yang memberi kesan zuhud, tapi hatinya tidak demikian. (lihat, Dr. Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Madkhal ilaa alTasawwuf al-Islam, cetakan ke-IV. Terbitan Dar al-Tsaqofah li an-Nasyr wa al-Tauzi, Kairo,1983). Dari sini dapat dipahami, Al-Qusyairy tidak mengharamkan kesenangan dunia, selama hal itu tidak memalingkan manusia dari mengingat Allah. Beliau tidak sependapat dengan para sufi yang mengharamkan sesuatu yang sebenarnya tidak diharamkan agama. Karena itu Al-Qusyairy menyatakan, penulisan karya

monumentalnya Risalatul Qusyairiyah, termotinasi karena dirinya merasa sedih melihat persoalan yang menimpah dunia Tasawwuf. Namun dia tidak bermaksud menjelek-jelekkan seorang pun para sufi ketika itu. Penulisan Risalah hanya sekadar pengobat keluhan atas persoalan yang menimpa dunia Tasawuf kala itu Imam AlQusyairy merupakan ulama yang ahli dalam banyak disiplin ilmu yang berkembang pada masanya, hal ini terlihat dari karya-karya beliau, seperti yang tercantum pada pembukaan Kitabnya Risalatul Qusyairiyah. Karya-karya itu adalah; Ahkaamu as-Syariah, kitab yang membahas masalah-masalah Fiqh, Adaabu as-Shufiyyah, tentang Tasawuf, al-Arbauuna fil Hadis, kitab ini berisi

40 buah hadis yang sanadnya tersambung dari gurunya Abi Ali Ad-Daqqaq ke Rasulullah. Karya lainnya adalah; Kitab Istifaadatul Muraadaats, Kitab Bulghatul Maqaashid fii al-Tasawwuf, Kitab at-Tahbir fii Tadzkir, Kitab Tartiibu as-Suluuki fii Tariqillahi Taala yang merupakan kumpulan makalah beliau tentang Tasawwuf, Kitab At-Tauhidu an-Nabawi, Kitab At-Taisir fi Ulumi at-Tafsir atau lebih dikenal dengan al-Tafsir al-Kabir. Ini merupakan buku pertama yang ia tulis, yang penyusunannya selesai pada tahun 410 H/1019 M. Menurut Tajuddin as-Syubkhi dan Jalaluddin as-Suyuthi, tafsir tersebut merupakan kitab tafsir terbaik dan terjelas Menurut Syujaal-Hazaly, Imam Al-Qusyairy menutup usia di Naisabur pada pagi Hari Ahad, tanggal 16 Rabiul Awal 465 H/ 1073 M, dalam usia 87 tahun. Dikisahkan bahwa beliau mempunyai seekor kuda yang telah mengabdi padanya selama selama 20 tahun. Pada saat Al-Qusyairy wafat, kuda itu sangat sedih dan tidak mau makan selama dua minggu, hingga akhirnya ikut mati. Setelah Al-Qusyairy wafat, tak ada seorang pun yang berani memasuki perpustakaan pribadinya selama beberapa tahun. Hal ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan bagi al-Imam Radiyallah Taala Anhu. Wallahu alam bi al-Showab.

3.

Al-Harawi

Nama lengkapnya adalah Abu isma`il `Abdullah bin Muhammad al-Ansari. Beliau lahir tahun 396 H. di Heart, kawasan khurasan. Seperti dikatakan Louis Massignon, dia adalah seorang faqih dari madzhab hambali; dan karya-karyanya di bidang tasawuf dipandang amat bermut. Sebagai tokoh sufi pada abad kelima Hijriyah, dia mendasarkan tasawufnya di atas doktrin Ahl al-Sunnah. Bahkan ada yang memandangnya sebagai pengasas gerakan pembaharuan dalam tasawuf dan penentang para sufi yang terkenal dengan ungkapan-ungkapan yang anah, seperti al-Bustami dan al-Hallaj. Di antara karya-karya beliau tentang tasawuf adalah Manazil al-Sa`irin ila Rabb al`Alamin. Dalam dalam karyanya yang ringkas ini, dia menguraikan tingkatantingkatan rohaniyah para sufi, di mana tingakatan para sufi tersebut, menurutnya, mempunyai awal dan akhir, seperti katanya; kebanyakan ulama kelompok ini sependapat bahwa tingkatan akhir tidak dipaandang benar kecuali dengan benarnya tingkatan awal, seperti halnya bangunan tidak bias tegak kecuali didasarkan pada

fondasi. Benarnya tingkatan awal adalah dengan menegakkannya di atas keihklasan serta keikutannya terhadap al-Sunnah. Dalam kedudukannya sebagai seorangpenganut paham sunni, al-harawi melancarkan kritik terhadap para sufi yang terkenal dengan keanehan ucapan-ucapannya, sebagaimana katanya. Dalam kaitannya dengan masalah ungkapan-ungkapan sufi yang aneh tersebut, alHarwi berbicara tentang maqam ketenangan (sakinah). Maqam ketenangan timbul dari perasaan ridha yang aneh. Dia mengatakan: peringkat ketiga (dari peringkatperingkat ketenangan) adalah ketenagan yang timbul dari perasaan ridhaatas bagian yang diterimanya. Ketenangan tersebut bias mencegah ucapan aneh yang menyesatkan ; dan membuat orang yang mencapainya tegak pada batas tingkatannya. yang dimaksud dengan ucapan dengan ucapan yang menyesatkan itu adalah seperti ungkapan-ungkapan yang diriwayatkan dari Abu yazid dan lain-lain. Berbeda dengan al-Jinaid, Sahl al-Tusturi dan lainnya; karena mereka ini memiliki ketenangan yang membuat mereka tidak mengucapkan ungkapan-ungkapan yang anah. Karena itu dapat dikatakan bahwa ungkapan-ungkapan yang aneh tersebut timbul dari ketidak tenangan, sebab, seandainya ketenangan itu telah bersemi di kalbu, maka hal itu akan membuatnya terhindar dari mengucapkan ungkapan-ungkapan yang menyesatkan tersebut. Kemudian yang dimaksud dengan batas tingkatan adalah tegaknya seorang sufi pada batas tingkatan kedudukannya sebagai seorang hamba. Tegasnya, di sekali-kali tidak melewati tingkatan kedudukannya sebagai seorang hamba. Ketenangan tersebut, menurut al-harawi, tidak di turunkan kecuali pada kalbu seorang nabi atau wali.

DAFTAR PUSTAKA
http://www.scribd.com/doc/11757422/Mengenal-Tasawuf-Islam http://tarekatku.blogspot.com/2010/04/macam-macam-jenis-tasawuf.html http://inspirationkonselor.blogspot.com/2011/11/tokoh-tokoh-tasawuf-beserta.html http://www.scribd.com/doc/92581556/Nilai-Dasar-Politik-Islam
http://matericeramahdankultum.blogspot.com/2012/05/sebab-sebab-kemunduran-umatislam.html

Anda mungkin juga menyukai