Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

MUHABBAH, AL-ITTIHAD DAN AL-HULUL SERTA AJARANNYA DAN PEMBAWA ALIRANNYA


Untuk Memenuhi Tugas Akhlaq Tasawuf Yang di bina oleh Bapak Bustami Saladin

Disusun Oleh : Kelompok 4 Khairul Anam (18 2011 02 01 0045) Novita Anggraini (18 2011 02 01 0062) Monaji (18 2011 02 01 0053)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN

HUKUM PERDATA ISLAM JURUSAN SYARIAH 2011

MAKALAH MUHABBAH, AL-ITTIHAD DAN AL-HULUL SERTA AJARANNYA DAN PEMBAWA ALIRANNYA

A. MUHABBAH Sebelum membahas pengertian mahabbah secara terminologi, perlu diungkap pengertian mahabbah menurut etimologi. Dalam pengertian terakhir, misalnya; Al-Hujwiri dalam kitabnya "Kasful Mahjub", menjelaskan makna al-hubb. Menurut riwayat, mahabbah berasal dari kata habbah yang berarti benih-benih yang jatuh ke bumi di padang pasir, sebutan hubb diartikan demikian karena cinta adalah sumber kehidupan, sebagaimana benih yang merupakan asal mula tanaman. Benih disebarkan di gurun pasir, bersembunyi di bumi, hujan turun, matahari menyinari. Namun benih itu tidak rusak oleh perubahan musim, malah tumbuh, berbunga dan memberikan buah. Demikian juga cinta, bilamana ia hadir dalam hati seseorang, ia tidak akan rusak oleh kehadiran dan ketidakhadiran, oleh senang atau susah, oleh keterpisahan maupun kesatuan. Mahabbah dapat pula diambil dari kata hubb yang berarti sebuah tempayan yang penuh dengan air tenang, karena cinta yang telah terpadu dalam hati dan memenuhi hati, di situ tidak ada lagi ruang bagi pemikiran selain yang dicinta. Makna lain dari mahabbah, terambil dari kata hubb yang berarti empat keping kayu penyangga poci air, karena sebagai pecinta dengan suka hati menerima apa saja yang dilakukan oleh kekasihnya, berkenan atau tidak berkenan, susah maupun senang. Disamping itu, hubb juga dapat diartikan dengan gelembunggelembung air dan luapan-luapannya di waktu hujan lebat, karena cinta luapan hati yang menundukkan kesatuan dengan kekasih. Makna demikian diambil dari kata hubbah. Hubb juga dijadikan sebagai sebutan cinta murni. Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulum ad-Din, membahas mahabbah secara luas. Dalam pembahasan tersebut, Al-Ghazali antara lain memberi komentar pada salah satu syair Rabi'ah tentang pembagian cinta : Aku mencintai-Mu dengan dua model cinta

Cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu Cinta karena diriku Adalah keadaan senantiasa mengingat-Mu Cinta karena diri-Mu Adalah keadaan-Mu mengungkap tabir hingga Engaku kulihat Baik untuk ini maupun untuk itu Pujian bukanlah untukku Bagi-Mu segala pujian Leo F. Baccoqlia dalam bukunya Love menjelaskan bahwa cinta adalah semuanya dan sekaligus, keadaan gembira luar biasa, keadaan senang, fantasi, keadaan rasional atau yang tidak rasional. Cinta hadir pada setiap orang yang beradab dan merupakan proses membangun di atasnya apa yang sudah ada sebagai landasannya. Cinta adalah sebuah tindakan yang mengandung kepercayaan dan siapa saja yang memiliki sedikit kepercayaan, maka ia akan mempunyai sedikit cinta. Cinta yang sempurna adalah yang memberikan segalanya, tidak mengharapkan apapun. Cinta sejati tidak mempunyai pamrih apapun, tidak pujian dan kebersamaan, bahkan tidak cinta itu sendiri. Pamrih hanya akan menodai ketulusan cinta. Cinta sejati hanya mendambakan kebahagiaan dan kebaikan yang dicinta. Sampai saat ini belum diketahui dan tidak ada kata sepakat tentang pengertian cinta. Memang untuk mengetahui cinta secara definitif sangatlah sulit, kita mengetahui apa itu cinta secara instinktif, yaitu bila kita mencintai dan dicintai. B. AL-ITTIHAD Al-Bustami kerap kritis dengan perilaku agama yang dilaksanakan masyarakatnya. Ia menganggap bahwa perilaku keagamaan mereka hanya menekankan ritual keagamaan. Tak heran jika Bayazid merasa bahwa aplikasi keagamaan yang ditunaikan oleh orang-orang di zamannya dirasakan sebagai hal yang superficial dan hipokrit.

Karena semuanya hanya ditujukan untuk keselamatan individual di dunia dan di akhirat kelak, bagi Bayazid, perilaku keagamaan yaang konvensional seperti itu hanya untuk memenuhi kepentingan sendiri dan ego. Padahal menurutnya memperturutkan ego justru malah bertentangan dengan Tuhan. Hal inilah yang kemudian mendorong Bayazid Al-Bustami selama bertahun-tahun mendisiplinkan diri untuk menata ego dan nafs hingga nafs yang ia miliki telah menjelma menjadi cerminan baginya.

Pengalaman ittihad ini ditonjolkan oleh Abu Yazid al-Bustami (w. 874 M). Ucapan-ucapan yang ditinggalkannya menunjukkan bahwa untuk mencapai ittihad diperlukan usaha yang keras dan waktu yang lama. Seseorang pernah bertanya kepada Abu Yazid tentang perjuangannya untuk mencapai ittihad. Ia menjawab, "Tiga tahun," sedang umurnya waktu itu

telah lebih dari tujuh puluh tahun. Ia ingin mengatakan bahwa dalam usia tujuh puluh tahunlah ia baru sampai ke stasiun ittihad. Sebelum sampai ke ittihad, seorang sufi harus terlebih dahulu mengalami fana' dan baqa'. Yang dimaksud dengan fana' adalah hancur sedangkan baqa' berarti tinggal. Sesuatu didalam diri sufi akan fana atau hancur dan sesuatu yang lain akan baqa atau tinggal. Dalam literatur tasawuf disebutkan, orang yang fana dari kejahatan akan baqa (tinggal)

ilmu dalam dirinya; orang yang fana dari maksiat akan baqa (tinggal) takwa dalam dirinya. Dengan demikian, yang tinggal dalam dirinya sifat-sifat yang baik. Sesuatu hilang dari diri sufi dan sesuatu yang lain akan timbul sebagai gantinya. Hilang kejahilan akan timbul ilmu. Hilang sifat buruk akan timbul sifat baik. Hilang maksiat akan timbul takwa. Untuk sampai ke ittihad, sufi harus terlebih dahulu mengalami alfana' 'an-nafs, dalam arti lafdzi kehancuran jiwa. Yang dimaksud bukan hancurnya jiwa sufi menjadi tiada, tapi kehancurannya akan menimbulkan kesadaran sufi terhadap diri-Nya. Inilah yang disebut kaum sufi al-fana' 'annafs wa al-baqa bi 'l-Lah, dengan arti kesadaran tentang diri sendiri hancur dan timbullah kesadaran diri Tuhan. Di sini terjadilah ittihad, persatuan atau manunggal dengan Tuhan (manunggaling kawula gusti).

Mengenai fana', Abu Yazid mengatakan, "Aku mengetahui Tuhan melalui diriku hingga aku hancur, kemudian aku mengetahui-Nya

melalui diri-Nya dan aku pun hidup. Sedangkan mengenai fana dan baqa', ia mengungkapkan lagi, "Ia membuat aku gila pada diriku hingga aku mati. Kemudian Ia membuat aku gila kepada diri-Nya, dan aku pun hidup." Lalu, dia pun berkata lagi, "Gila pada diriku adalah fana' dan gila pada diri-Mu adalah baqa' (kelanjutan hidup)." Dalam menjelaskan pengertian fana', al-Qusyairi menulis, "Fananya seseorang dari dirinya dan dari makhluk lain terjadi dengan hilangnya

kesadaran tentang dirinya dan makhluk lain. Sebenarnya dirinya tetap ada, demikian pula Makhluk lain, tetapi ia tak sadar lagi pada diri mereka dan pada dirinya. Kesadaran sufi tentang dirinya dan makhluk lain lenyap dan pergi ke dalam diri Tuhan dan terjadilah ittihad." Ketika sampai ke ambang pintu ittihad dari sufi keluar ungkapanungkapan ganjil yang dalam istilah sufi disebut syatahat (ucapan teopatis). Syatahat yang diucapkan Abu Yazid, antara lain, sebagai berikut, "Manusia tobat dari dosanya, tetapi aku tidak. Aku hanya mengucapkan, tiada Tuhan selain Allah." Abu Yazid tobat dengan lafadz syahadat demikian, karena lafadz itu menggambarkan Tuhan masih jauh dari sufi dan berada di belakang tabir. Abu Yazid ingin berada di hadirat Tuhan, berhadapan langsung dengan Tuhan dan mengatakan kepadaNya: Tiada Tuhan selain Engkau. Dia juga mengucapkan, "Aku tidak heran melihat cintaku pada-Mu, karena aku hanyalah hamba yang hina. Tetapi aku heran melihat cintaMu padaku, karena Engkau adalah Raja Maha Kuasa." Kata-kata ini menggambarkan bahwa cinta mendalam Abu Yazid telah dibalas Tuhan. Lalu, dia berkata lagi, "Aku tidak meminta dari Tuhan kecuali Tuhan." Seperti halnya Rabi'ah yang tidak meminta surga dari Tuhan dan pula tidak meminta dijauhkan dari neraka dan yang dikehendakinya hanyalah berada dekat dan bersatu dengan Tuhan.

Dalam mimpi ia bertanya, "Apa jalannya untuk sampai kepadaMu?" Tuhan menjawab, "Tinggalkan dirimu dan datanglah." Akhirnya Abu Yazid dengan meninggalkan dirinya mengalami fana, baqa' dan ittihad. Masalah ittihad, Abu Yazid menggambarkan dengan kata-kata

berikut ini, "Pada suatu ketika aku dinaikkan kehadirat Tuhan dan Ia berkata, Abu Yazid, makhluk-Ku ingin melihat engkau. Aku menjawab, kekasih-Ku, aku tak ingin melihat mereka. Tetapi jika itu kehendak-

Mu, aku tak berdaya menentang-Mu. Hiasilah aku dengan keesaan-Mu, sehingga jika makhluk-Mu melihat aku, mereka akan berkata, telah kami lihat Engkau. Tetapi yang mereka lihat sebenarnya adalah Engkau, karena ketika itu aku tak ada di sana." Dialog antara Abu Yazid dengan Tuhan ini menggambarkan bahwa ia dekat sekali dengan Tuhan. Godaan Tuhan untuk mengalihkan perhatian Abu Yazid ke makhluk-Nya ditolak Abu Yazid. Ia tetap meminta bersatu engan Tuhan. Ini kelihatan dari kata-katanya, "Hiasilah aku dengan keesaan-Mu." Permintaan Abu Yazid dikabulkan Tuhan dan terjadilah persatuan, sebagaimana terungkap dari kata-kata berikut ini, "Abu Yazid, semuanya kecuali engkau adalah makhluk-Ku." Akupun berkata, aku adalah Engkau, Engkau adalah aku dan aku adalah Engkau." Dalam literatur tasawuf disebut bahwa dalam ittihad, yang satu memanggil yang lain dengan kata-kata: Ya ana (Hai aku). Hal ini juga dialami Abu Yazid, seperti kelihatan dalam ungkapan selanjutnya; dialog pun terputus, kata menjadi satu, bahkan

seluruhnya menjadi satu. Maka Ia pun berkata kepadaku, "Hai Engkau, aku menjawab melalui diri-Nya "Hai Aku", Ia berkata kepadaku,"Engkaulah Yang Satu, aku menjawab, "Akulah Yang Satu", Ia berkata lagi, "Engkau adalah Engkau", aku menjawab: "Aku adalah Aku. Yang penting diperhatikan dalam ungkapan diatas adalah kata-kata Abu Yazid "Aku menjawab melalui diri-Nya" (Fa qultu bihi). Katakata bihi (melalui diri-Nya) menggambarkan bersatunya Abu Yazid dengan Tuhan, rohnya telah melebur dalam diri Tuhan. Ia tidak ada lagi, yang

ada

hanyalah

Tuhan.

Maka

yang

mengatakan "Hai

Aku

Yang Satu" bukan Abu Yazid, tetapi Tuhan melalui Abu Yazid. Dalam arti serupa inilah harus diartikan kata-kata yang diucapkan lidah sufi ketika berada dalam ittihad yaitu kata-kata yang pada lahirnya mengandung pengakuan sufi seolah-olah ia adalah Tuhan. Abu Yazid, seusai sembahyang subuh, mengeluarkan kata-kata, "Maha Suci Aku,

Maha Suci Aku, Maha Besar Aku, Aku adalah Allah. Tiada Allah selain Aku, maka sembahlah Aku. Dalam istilah sufi, kata-kata tersebut memang diucapkan lidah Abu Yazid, tetapi itu tidak berarti bahwa ia mengakui dirinya Tuhan. Mengakui dirinya Tuhan adalah dosa terbesar, dan agar dapat dekat kepada Tuhan, sufi haruslah bersih bukan saja dari dosa, tetapi juga dari permasalahan syubhat. Maka dosa terbesar tersebut diatas akan membuat Abu Yazid jauh dari Tuhan dan tak dapat bersatu dengan Dia. Maka dalam pengertian sufi, kata-kata diatas betul keluar dari mulut Abu Yazid. Dengan kata lain, Tuhanlah yang mengaku diri-Nya Allah melalui lidah Abu Yazid. Karena itu, di kesempatan lain dia pun mengatakan, Pergilah, tidak ada di rumah ini selain Allah Yang Maha Kuasa dan Di dalam jubah ini tidak ada selain Allah. Yang mengucapkan kata-kata itu memang lidah Abu Yazid, tetapi itu tidak mengandung pengakuan Abu Yazid bahwa ia adalah Tuhan. Itu adalah kata-kata Tuhan yang diucapkan melalui lidah Abu Yazid. Sufi lain yang mengalami persatuan dengan Tuhan adalah Husain Ibn Mansur al-Hallaj (858-922 M), yang berlainan nasibnya dengan Abu Yazid. Nasibnya malang karena dijatuhi hukuman bunuh, mayatnya dibakar

dan debunya dibuang ke sungai Tigris. Hal ini karena dia mengatakan, "Ana 'l-Haqq" (Akulah Yang Maha Benar). Pengalaman persatuannya dengan Tuhan tidak hanya ittihad, tetapi juga hulul. Kalau Abu Yazid mengalami naik ke langit untuk bersatu dengan Tuhan, al-Hallaj mengalami persatuannya dengan Tuhan turun ke bumi. Dalam literatur tasawuf hulul manusia tertentu untuk diartikan, Tuhan memilih tubuh-tubuh sifat-sifat

bersemayam

didalamnya

dengan

ketuhanannya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dihancurkan. C. AL-HULUL Hulul, jika diartikan secara bahasa berarti penempatan, penyinaran, penurunan dan secara luas mengandung pengertian inkarnasi. Dalam filsafat Islam istilah ini diartikan sebagai penempatan atau penyinaran kecakapan superior sebagai daya dukung. Hal ini dapat dicontohkan sebagai penempatan atau penyinaran jiwa di dalam badan atau penempatan akal (intellect) di dalam pikiran. Secara umum istilah hulul digunakan sebagai sebuah doktrin yang berpegang pada ide inkarnasi Tuhan di dalam diri manusia, sebagaimana istilah avataras dalam ajaran Hindu dan ketuhanan Yesus Kristus dalam keyakinan Kristen (Kafrawi, 2002, hlm. 139). Hulul menurut keterangan Abu Nasr al-Tusi dalam kitab al-Luma adalah paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya, setelah sifat-sifat kemanusian yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan (Asmaran, 1996, hlm. 166). Menurut al-Hallaj, manusia mempunyai Dalam dua sifat dasar; yang

nasut (kemanusiaan) dan

lahut (ketuhanan).

karyanya

berjudulKitab at-Tawasin, beliau mengemukan teori tentang kejadian makhluk. Dia mengatakan bahwa takkala Allah SWT dalam kesendirian-Nya (fil-ama), Ia hanya melihat diri-Nya sendiri (Tajalli al-Haq li nafsihi), kemudian terjadi dialog antara Tuhan dengan diri-Nya sendiri tanpa kata-kata dan huruf. Allah melihat ketinggian dan kemulian diri-Nya lalu mencintai diri-Nya, cinta yang tidak disifatkan dan tidak ada bandingnya. Cinta ini merupakan energi yang menjadi sebab wujud selain wujud Allah SWT sendiri. Karena adanya cinta ini, Allah mengeluarkan gambaran diri-Nya (surah min nafsihi) yang mempunyai segala sifat dan nama-Nya. Menurut alHallaj gambaran diri Allah SWT adalah Adam AS. Pada dirinyalah Allah muncul dalam bentuknya. Dengan kata lain posisi Adam sejajar dengannya. Teori ini lebih jelas dapat dilihat dalam syairnya yang berikut: Maha suci menampakkan nasut Dan merasiakan dalam lahut
7

Menampakkan diri pada manusia secra zahir Dalam bentuk manusia yang makan dan minum Hingga, menentukan bentuk pada makhluk Seperti terkuaknya selubung Sebaliknya manusia juga memiliki sifat ketuhanan dalam dirinya. Ini dapat dilihat dari tafsir al-Hallaj mengenai kejadian Adam. Menurut al-Hallaj, Allah memberi perintah kepada malaikat untuk bersujud kepada Adam karena pada diri Adam, Allah menjelma sebagaimana Ia menjelma dalam diri Nabi Isa. Teori ini menurut beliau juga di dukung sebuah Hadis yang sangant berpengaruh dalam dunia kesufian, yaitu: Tuhan menciptakan Adam sesuai bentuk-Nya. Kesimpulan dari pendapat al-Hallaj adalah dalam diri manusia terdapat sifat ketuhanan dan dalam diri Tuhan terdapat sifat kemanusiaan. Dengan demikian persatuan antara Tuhan dan manusia bisa terjadi, dan persatuan ini dalam falsafah al-Hallaj mengambil bentuk hulul. Agar dapat bersatu manusia harus terlebih dahulu menghilangkan sifatsifat kemanusiaannya dengan cara membersihkan diri malalui ibadat yang banyak dilakukan (fana), jika sifat-sifat kemanusiaan (nasut) manusia lenyap, maka yang tersisa dalam dirinya adalah sifat-sifat ketuhanan (lahut). Dan ketika itulah nasut Tuhan turun bersemayam dalam diri sufi, maka terjadilah hulul. Sebagaimana di jelaskan dalam syairnya, yaitu: Percampuran antara ruhmu dan ruhku Seperti percampuran alkohol (khamar) dengan air Bila kamu tersentuh, akupun tersentuh Apabila itu kamu, berarti itu aku, dalam segala hal Aku yang berkehendak dan dikehendaki Seperti dua ruh yang saling mengisi Bila kamu melihatku, akupun melihatnya Bila aku melihatnya, kamupun melihatnya Dalam syairnya yang lain al-Hallaj melukiskan sebagai berikut: Aku adalah Engkau yang kucinta dan Dia yang kucinta adalah aku

Kami adalah dua roh (jiwa) yang bersatu dalam satu tubuh Jika engkau lihat aku, engkau lihat Dia Dan jika engkau lihat Dia engkau lihat Kami Ketika peristiwa hulul sedang berlangsung, keluarlah syatahat(katakata aneh) dari lidah al-Hallaj yang berbunyi Ana al-Haqq. Tetapi sebagaimana halnya dengan Abu Yazid, ucapan itu tidak

mengandung arti pengakuan al-Hallaj dirinya menjadi Tuhan. Kata-kata itu adalah kata-kata Tuhan yang Ia ucapkan melalui lidah al-Hallaj. Sufi yang bernasib malang ini mengatakan dalam syairnya: Aku adalah rahasia Yang Maha Benar, Dan Yang Maha Benar bukanlah Aku, Aku hanya satu dari yang benar, Maka bedakanlah antara kami. Syatahat atau kata-kata teofani sufi seperti itu membuat kaum syari'at menuduh sufi telah menyeleweng dari ajaran Islam dan menganggap tasawuf bertentangan dengan Islam. Kaum syari'at yang banyak terikat kepada formalitas ibadat, tidak menangkap pengalaman sufi yang mementingkan hakekat dan Lahut dan nasut, yang bagi al-Hallaj merupakan dua hal yang berbeda, ia satukan menjadi dua aspek. Dalam pengalamannya, tiap makhluk mempunyai dua aspek. Aspek batin yang merupakan esensi, disebut alhaqq, dan aspek luar yang merupakan aksiden disebut makhluk dalam aspek luarnya berbeda, tetapi al-khalq. dalam Semua aspek

batinnya satu, yaitu al-haqq. Wujud semuanya satu, yaitu wujud al-haqq. Tuhan, sebagaimana disebut dalam Hadits yang telah dikutip pada permulaan,

pada awalnya adalah "harta" tersembunyi, kemudian Ia ingin dikenal maka diciptakan-Nya makhluk, dan melalui makhluklah Ia dikenal. Maka, alam sebagai makhluk, adalah penampakan diri atau tajalli dari Tuhan. Alam sebagai cermin yang didalamnya terdapat gambaran Tuhan. Dengan kata lain, alam adalah bayangan Tuhan. Sebagai bayangan, wujud alam tak akan

ada tanpa wujud Tuhan. Wujud alam tergantung pada wujud Tuhan. Sebagai bayangan, wujud alam bersatu dengan wujud Tuhan. Yang ada dalam alam ini kelihatannya banyak tetapi pada hakekatnya satu. Keadaan ini tak ubahnya sebagai orang yang melihat dirinya dalam beberapa cermin yang diletakkan di sekelilingnya. Di dalam tiap cermin, ia lihat dirinya. Di dalam cermin, dirinya kelihatan banyak, tetapi pada hakekatnya dirinya hanya satu. Yang lain dan yang banyak adalah

10

Anda mungkin juga menyukai