Anda di halaman 1dari 8

Christabel Caroline Franswijaya, 0906628243, S1 Reguler KL 2009 Tugas Akhir Perubahan Iklim dan Kesehatan P.J.M.A: Drg.

Sri Tjahjani Budi Utami

Pengaruh Perubahan Iklim dan Pemanasan Global Terhadap Kasus Japanese Encephalitis (JE) Secara Global dan Nasional

Perubahan Iklim, Pemanasan Global, dan Dampak yang Ditimbulkannya Global warming atau pemanasan suhu global pada dasarnya merupakan fenomena meningkatnya suhu bumi secara global yang berhubungan timbal balik dengan perubahan iklim secara global. Perubahan iklim termasuk, perubahan rata-rata suhu harian, kelembaban, arah dan kecepatan angin membentuk pola musim seperti musim hujan, kemarau yang berkepanjangan, musim dingin, curah hujan yang luar biasa, dan lain sebagainya. Sedangkan global warming adalah perubahan suhu rata-rata harian yang cenderung lebih tinggi dibanding sebelumnya (Achmadi, 2011). Definisi perubahan iklim lebih luas dari definisi global warming, dimana global warming merupakan salah satu dampak dari perubahan iklim. Global warming dan perubahan iklim disebabkan oleh peningkatan konsentrasi gas rumah kaca yang diperparah oleh beberapa faktor seperti peningkatan jumlah populasi manusia serta kemajuan masyarakat dan teknologi. Perubahan iklim nantinya menyebabkan terjadinya kenaikan suhu bumi, mencairnya es di kutub, meningkatnya permukaan laut, bergesernya garis pantai, musim kemarau yang berkepanjangan, periode musim hujan yang semakin sngkat, namun semakin tinggi intensitasnya, dan anomali-anomali iklim seperti El Nino La Nina dan Indian Ocean Dipole (IOD). Hal-hal ini kemudian akan menyebabkan tenggelamnya beberapa pulau dan berkurangnya luas daratan, pengungsian besar-besaran, gagal panen, krisis pangan, banjir, wabah penyakit, dan lain-lain. Menurut Achmadi (2011), peningkatan suhu bumi dapat berdampak terhadap kejadian penyakit secara langsung maupun tidak. Dampak langsung adalah peningkatan kasus asma dan kanker kulit, serta terjadinya musim panas ekstrem (heat waves) yang dapat memicu terjadinya heat exhaustion dan kematian karena suhu panas ekstrem (heat stroke), dan musim dingin ekstrem (winter waves) yang dapat menyebabkan frozen bite dan kematian. Kematian karena suhu yang terlalu panas atau dingin disebabkan oleh rusaknya termostat dalam tubuh karena tidak mampu lagi menahan suhu yang terlalu ekstrem. Namun dampak langsung pada manusia mungkin tidak terlalu banyak karena kemampuan manusia beradaptasi baik oleh dirinya sendiri karena adanya termostat yang baik (Thabrany, 2007). Dampak tidak langsung

Christabel Caroline Franswijaya, 0906628243, S1 Reguler KL 2009 salah satunya adalah terjadinya KLB penyakit terutama penyakit-penyakit infeksius yang disebarkan oleh vektor, air, makanan, udara, dengan berbagai agent dari mikroorganisme hingga bahan toksik.

Perubahan Iklim dan Vector-borne Disease Telah disebutkan sebelumnya bahwa perubahan iklim mempengaruhi penyakit yang disebarkan oleh vektor (vector-borne disease). Menurut Thabrany (2007), perubahan iklim dan kenaikan suhu dapat mengakibatkan mutasi pada mikroorganisme dan vektor penyakit. Sedangkan menurut Achmadi (2011), kenaikan suhu bumi dan perubahan iklim akan mempengaruhi simpul 1, 2, dan 3 pada teori simpul, yaitu air, udara, perkembangan dan perilaku nyamuk, ketersediaan dan kualitas pangan, dan perilaku manusia itu sendiri. Karena mempengaruhi simpul 1, 2, dan 3, maka pemanasan global dan perubahan iklim akan mempengaruhi outcome, yaitu kejadian penyakit. Ada dua bentuk pengaruh iklim terhadap vector-borne disease (Hunter, 2003), yaitu: a. Efek karena suhu. Suhu dapat mempengaruhi distribusi vektor dan efektivitas transmisi agen melalui vektor. Beberapa mekanisme yang mempengaruhi transmisi vector-borne disease dan dapat dipengaruhi oleh perubahan iklim adalah kenaikan atau penurunan daya hidup vektor, perubahan pertumbuhan populasi vektor, perubahan kebiasaan makan, perubahan suseptibilitas vektor terhadap agen (patogen), perubahan masa inkubasi agen penyakit, dan perubahan musim transmisi penyakit. Banyak penelitian telah membuktikan bahwa terdapat hubungan antara risiko vector-borne disease dengan perubahan iklim. Contohnya, beberapa penelitian menyimpulkan bahwa kenaikan insidens malaria berhubungan dengan El-Nino. b. Efek karena curah hujan. Beberapa mekanisme terjadinya vector-borne disease yang dapat dipengaruhi oleh curah hujan adalah kenaikan permukaan air yang dapat berpotensi menjadi breeding sites vektor, curah hujan rendah yang juga dapat meningkatkan breeding sites karena membuat aliran sungai menjadi lambat, kenaikan curah hujan yang dapat meningkatkan jumlah vegetasi dan menyebabkan ekspansi populasi hospes, serta banjir yang dapat menyebabkan hilangnya habitat alami vektor dan hospes sehingga mereka pindah ke daerah pemukiman manusia. Perubahan iklim menyebabkan perubahan bionomik vektor terutama nyamuk. Penyakit yang ditransmisikan oleh nyamuk, termasuk malaria, dengue, dan ensefalitis merupakan penyakit-penyakit yang paling sensitif terhadap perubahan iklim (Patz, et. al., 1995). Peningkatan suhu dan kelembaban dapat mempercepat perkembangbiakan nyamuk,

Christabel Caroline Franswijaya, 0906628243, S1 Reguler KL 2009 memperpendek masa kematangan parasit dalam nyamuk, dan meningkatkan angka gigitan (biting rate) serta kegiatan reproduksi nyamuk. Perubahan iklim menggeser area tempat hidup (geographic range) nyamuk dan meningkatkan siklus reproduksi dan angka gigitan karena masa inkubasi patogen semakin singkat. Nyamuk yang tadinya tidak dapat hidup di negara-negara subtropis kemudian menjadi tersebar dan dapat hidup disana akibat pemanasan global dan peningkatan suhu, dimana negara-negara subtropis suhunya menjadi semakin panas dan memungkinkan perkembangbiakan nyamuk, sehingga area penularan vector-borne disease menjadi meluas. Tingginya radiasi ultraviolet juga diperkirakan menurunkan daya tahan tubuh terhadap mikroba patogen, yang pada akhirnya menjadikan mudah terkena penyakit infeksi (Achmadi, 2007). Kepadatan penduduk, pencemaran lingkungan dan lain sebagainya juga mempengaruhi timbulnya penyakit infeksi baru.

Perubahan Iklim dan Japanese Encephalitis (JE) JE adalah jenis penyakit infeksi, dimana terjadi peradangan pada selaput otak yang disebabkan oleh virus JE (termasuk genus Flavivirus). Penyakit ini ditransmisikan ke manusia oleh gigitan nyamuk Culex sp. Vektor utama virus JE di Asia adalah Culex tritaeniorhynchus, biasanya menyukai air bersih dan ditemui di sawah atau kolam (Rozendaal, 1997). Selain itu, beberapa spesies Culex lainnya yaitu Cx. vishnui, Cx. gelidus, Cx. guscocephala, Cx. quinquefasciatus, beberapa nyamuk dari genus Anopheles (An. annularis, An. vagus, dan An. kochi) dan Mansonia (Mn. annulifera, Mn. uniformis) serta Aedes (Ae. aegypti, Ae. albopictus, Ae. lineaatopennis) serta Armigeres subalbatus juga dapat menularkan penyakit ini (Susanna dan Sembiring, 2011). Babi dan beberapa jenis unggas menjadi hospes perantara penyakit ini, karena babi dan unggas tersebut tidak akan menunjukkan gejala terkena JE walaupun di dalam tubuh mereka sudah ada virus JE. JE sudah endemi di China dan negara-negara di Asia Tenggara. Sebuah penelitian mengenai hubungan antara variabel cuaca dengan kejadian JE di China menyimpulkan bahwa variabel cuaca (temperatur maksimum-minimum, curah hujan, dan kelembaban)

mempengaruhi transmisi JE di China (Bi et. al., 2007). Kasus JE biasanya terjadi sekitar bulan April-Mei hingga Oktober-Desember. Kejadian JE sangat dipengaruhi oleh musim dan temperatur. Pada negara dengan empat musim, puncak kejadian JE terjadi pada akhir musim panas dan awal musim gugur; pada negara tropis puncak kasus terjadi pada awal musim pancaroba. Namun pada area-area tertentu, terutama di Filipina, Indonesia, dan Malaysia, transmisi terjadi sepanjang tahun karena kondisi iklim tropis yang mendukung siklus hidup nyamuk dan agen patogen.

Christabel Caroline Franswijaya, 0906628243, S1 Reguler KL 2009 Wabah JE dapat terjadi karena didukung oleh dua faktor sosial-ekologikal, yaitu perubahan iklim global dan berkembangnya sistem pertanian. Temperatur dan presipitasi (curah hujan) berhubungan dengan kepadatan nyamuk, dan berhubungan kuat dengan kejadian JE. Kejadian JE terbukti berhubungan dengan siklus musim dan cuaca di Asia Tenggara, China, dan Korea.

Japanese Encephalitis (JE) di Asia Tenggara dan Indonesia Indonesia adalah sebuah negara tropis dengan 17.500 pulau yang tersebar seluas 5.000 km2 (WHO, 2007). Populasinya mencapai 210 juta orang pada tahun 2000 dan terus bertambah. Studi-studi yang dilakukan menunjukkan bahwa temperatur rata-rata Indonesia naik 0,03C per tahunnya dan curah hujan meningkat 2 hingga 3% per tahun. Kenaikan permukaan laut cukup tinggi, mencapai rata-rata 0,57 cm per tahun. Indonesia adalah salah satu kontributor utama GRK, yang kebanyakan bersumber dari kebakaran dan pembakaran hutan. Indonesia adalah contoh dari sekian banyak negara yang sudah mencapai batasnya dalam menghadapi perubahan iklim, dimana sekarang iklim di Indonesia sudah tidak mendukung kondisi kesehatan masyarakat (Woodward, 1998). Sejak pertama kali terdeteksi di Jepang pada tahun 1930an, virus JE tersebar di Asia selama sekitar tujuh dekade dan banyak strain-strain baru ditemukan. Awalnya JE hanya ditemukan di area Asia Timur Laut, namun karena kemudahan akses transportasi, perubahan sistem irigasi serta perubahan iklim dan cuaca kemudian menyebar ke Asia Tenggara, Asia Selatan, Asia Timur, dan akhirnya masuk ke Australasia. Pada negara-negara berkembang, penyakit ini terlambat dideteksi karena buruknya penelitian epidemiologi disana. Sedangkan di negara-negara maju seperti Jepang dan Taiwan, program vaksinasi JE sudah ada dan dijalankan, namun penyakit ini tidak dapat benar-benar dihilangkan, dan banyak kasus JE masih terjadi. Di Asia sendiri dilaporkan ada sekitar 30.000-50.000 kasus dengan case fatality ratio 20-30% dan 30%50% dari para penderita yang selamat hidup dengan gangguan neurologis, kognitif, atau psikiatrik (CDC, 2003). JE bersifat endemis di negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Di Indonesia ditemukan virus JE pada tahun 1970an, namun masih sedikit eviden mengenai penyakit ini. Kasus JE dilaporkan pertama kali pada tahun 1990 di Bali, dan pada tahun 1995 berkembang isu adanya wabah JE di Bali. Sekarang ini ada sekitar 15 strain virus JE tersebar di Indonesia, dengan daerah endemis yaitu Pulau Jawa, Bali, Irian Jaya, dan Kalimantan. Menurut CDC (2011), virus JE memiliki potensi tersebar ke seluruh Indonesia. Transmisi JE diperkirakan akan meningkat di Bangladesh, Kamboja, Indonesia, Laos,

Christabel Caroline Franswijaya, 0906628243, S1 Reguler KL 2009 Myanmar, Korea Utara, dan Pakistan karena pertumbuhan populasi, sistem persawahan, ternak babi, dan program vaksinasi dan surveilans yang terbatas. Di Indonesia, surveilans untuk penyakit ini masih berupa surveilans pasif dengan sentinel surveilans dan dilakukan di Sumatera Barat, Kalimantan Barat, Papua, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Mengingat keparahannya, seharusnya surveilans yang diberlakukan adalah surveilans aktif, dan daerah Bali seharusnya diberi perhatian khusus mengingat Bali merupakan daerah yang rawan terhadap JE. Pencegahan dan Pemberantasan Japanese Encephalitis (JE) di Asia Tenggara dan Indonesia Di beberapa negara endemi JE, kasus JE sudah berhasil direduksi karena adanya sistem vaksinasi dan surveilans vektor yang baik dan efektif. Namun untuk Asia Tenggara, baru Thailand yang sudah cukup efektif vaksinasinya. Negara-negara Asia Tenggara lainnya, termasuk Indonesia, belum memiliki program vaksinasi dan surveilans yang efektif. Walaupun virus sudah berhasil ditemukan di Indonesia, data kasus JE masih sangat sedikit karena sistem surveilans yang buruk. Vaksinasi JE juga belum menjadi perhatian penting di Indonesia karena pemerintah beranggapan bahwa JE hanya endemi di beberapa daerah tertentu dan kasusnya masih jarang. Sebenarnya bukan jarang, tapi ada kasus-kasus yang terjadi namun tidak terdeteksi dan tidak dilaporkan, sehingga JE menjadi fenomena gunung es (jumlah kasus yang dilaporkan jauh lebih sedikit dari yang sebenarnya terjadi). Menurut Rozendaal (1997), pencegahan yang efektif untuk JE bukan penyemprotan nyamuk di dalam rumah dan kandang, karena Culex tritaeniorhynchus memiliki kebiasaan menggigit dan resting di luar rumah (outdoor). Jika ingin melakukan penyemprotan, sebaiknya dilakukan di luar rumah (outdoor) terutama di tempat-tempat yang dapat menjadi tempat perkembangbiakan Culex seperti genangan air bersih dan pematang sawah. Sebagai tindakan pencegahan dapat juga dengan cara menjauhkan atau memindahkan kandang binatang (khususnya babi) dari lingkungan hunian manusia, terutama pada daerah yang endemi JE. Selain itu, angka gigitan (biting rate) dapat dikurangi dengan cara mengenakan pakaian tertutup saat berada di luar rumah dekat dengan breeding place Culex, menggunakan repellen, memasang kawat nyamuk, dan meminimalkan aktivitas di luar rumah pada siang hingga sore hari. Dalam sebuah artikel (Kompas.com, 29 Sept 2010), Prof. Umar Fahmi Achmadi menyatakan bahwa ada dua cara untuk beradaptasi dengan kondisi dimana perubahan iklim mempengaruhi kejadian vector-borne disease, yaitu melakukan pencegahan atau mengobati

Christabel Caroline Franswijaya, 0906628243, S1 Reguler KL 2009 penyakit jika tertular. Pencegahan dilakukan dengan pemberantasan sarang vektor dan imunisasi terutama pada anak-anak, karena anak-anak merupakan kelompok yang rentan terhadap perubahan iklim. Selain itu untuk mengurangi suseptibilitas, masyarakat disarankan untuk selalu makan makanan bergizi dan menjaga kebersihan personal dan lingkungan, karena kondisi iklim yang buruk jika diperparah dengan sanitasi yang buruk akan memicu terjadinya penyakit infeksi khususnya JE. Sedangkan dalam artikel yang berbeda (Okezone.com, 01 Okt 2010), Achmadi juga menyinggung mengnai cara mengatasi atau mengurangi dampak penyakit akibat perubahan iklim. Pencegahan dilakukan dengan upaya mitigasi terhadap sumber pencemar atau penyakit dan adaptasi bila terjadi kondisi yang mengancam kesehatan. Diluar upaya-upaya tersebut, tetap perlu dilakukan upaya untuk konkret untuk mencegah makin parahnya perubahan iklim dan pemanasan global, yaitu dengan penggunaan energi yang efektif dan efisien, carbon trade, dan carbon sink. Untuk mengeliminasi JE secara efektif, masyarakat juga perlu turut berperan serta dalam mengendalikan penularan penyakit, seperti mengurangi genangan air bersih yang berpotensi menjadi tempat perindukan Culex, dengan cara membersihkan bak mandi secara teratur, rutin mengganti air di akuarium atau pot bunga terutama yang berada di luar rumah. Masyarakat juga diharapkan memiliki kesadaran tinggi untuk mengurangi kontak langsung dengan hospes perantara seperti babi dan unggas. Pada Regional Workshop WHO: Climate Change and Human Health in Asia and the Pasific, from Evidence to Action yang diadakan pada tahun 2007, Indonesia berkomitmen untuk mencanangkan program assessment dampak perubahan iklim terhadap kesehatan pada level nasional, regional, dan distrik. Program tersebut bertujuan untuk memberdayakan masyarakat untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan, memperbaiki sistem surveilans kesehatan, memantapkan sistem monitoring dan informasi, serta mengutamakan isu peningkatan anggaran kesehatan. Di dalam program ini termasuk penyediaan air minum yang aman bagi kesehatan, manajemen vektor, adaptasi dan mitigasi yang berkelanjutan pada tingkat lokal, surveilans kesehatan lingkungan untuk penyakit-penyakit infeksius, serta tindakan kesehatan pada bencana. Untuk mengatasi dampak kesehatan akibat perubahan iklim, khususnya JE, perlu komitmen berbagai pihak dalam melaksanakan langkah-langkah adaptasi dan mitigasi. Perkembangbiakkan nyamuk dan siklus hidup patogen sulit dikontrol, maka dari itu diperlukan perubahan perilaku dari masyarakat sendiri dalam menghadapi JE. Masyarakat perlu menyadari keparahan dari penyakit ini dan menjaga diri agar tidak terkena virus JE.

Christabel Caroline Franswijaya, 0906628243, S1 Reguler KL 2009 DAFTAR REFERENSI: Achmadi, Umar Fahmi. Dampak Perubahan Iklim Dalam Perspektif Kesehatan Lingkungan. http://portal.ristek.go.id/columns.php?page_mode=detail&id=18. Diakses 23 Desember 2011. Achmadi, Umar Fahmi. 2011. Dasar-dasar Penyakit Berbasis Lingkungan. Jakarta: Rajawali Pers. Anna, Lusia Kus. Bumi Makin Panas, Nyamuk Jadi Ganas http://health.kompas.com/read/2010/09/29/13520890/Bumi.Makin.Panas..Nyamuk.Ja di.Ganas. Diakses 21 Desember 2011. Anonim. Cuaca Ekstrem Berdampak Buruk bagi Kesehatan. http://lifestyle.okezone.com/read/2010/10/01/27/377957/cuaca-ekstrem-berdampakburuk-bagi-kesehatan. Diakses 21 Desember 2011. Bi, P., Zhang, Y., & Parton, KA. Weather Variables and Japanese Encephalitis in the Metropolitan Area of Jinan City, China. The Journal of Infection, Vol 55 No. 6 (2007): 551-556. CDC. Infectious Diseases Related To Travel: Japanese Encephalitis.

http://wwwnc.cdc.gov/travel/yellowbook/2012/chapter-3-infectious-diseases-relatedto-travel/japanese-encephalitis/ukraine.htm. Diakses 22 Desember 2011.

CDC. Japanese Encephalitis Fact Sheet. http://www.cdc.gov/ncidod/dvbid/ jencephalitis/facts.htm. Diakses 22 Desember 2011. Erlanger, T.E., et. al. Past, Present, and Future of Japanese Encephalitis. Emerging Infectious Disease, Vol 15 No. 1 (2009): 17. Hsu, S.M., Yen, A. M. F., & Chen, T. H. H. The Impact of Climate on Japanese Encephalitis. Epidemiology and Infection, Vol. 136 No. 7 (2008): 980987. Hunter, P.R.. 2003. Climate Change and Waterborne and Vector-borne Disease. Journal of Applied Microbiology, 94 (2003): 37S46S. Le Flohic, Guillaume & Gonzales, J. When Japanese Encephalitis Virus Invaded Eastern Hemisphere The History of the Spread of Virus Genotypes. Flavivirus Encephalitis: 405-426

Patz, J. A., Epstein, P. R., Burke, T.A., & Balbus, J. M. Global Climate Change and Emerging Infectious Diseases The Journal of the American Medical Association, Vol. 275 (1995): 217-223.

Christabel Caroline Franswijaya, 0906628243, S1 Reguler KL 2009 Prince Leopold Institute of Tropical Medicine. Japanese Encephalitis. http://www.itg.be/itg/Uploads/MedServ/ejapenc.pdf. 2011. Diakses 22 Desember 2011. Rozendaal, Jan. A. 1997. Vector Control: Methods For Use by Individuals and Communities. Geneva: WHO. Sachan, Neelam & Singh, V.P. Effect of Climatic Changes on the Prevalence of Zoonotic Diseases. Veterinary World, 2010, Vol.3, No. 11 (2010): 519-522. Susanna, Dewi & Sembiring, T. U. J. 2011. Entomologi Kesehatan (Artropoda Pengganggu Kesehatan dan Parasit yang Dikandungnya), Buku 1. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press). Thabrany, Hasbullah. Risiko Kesehatan Akibat Perubahan Cuaca. http://staff.ui.ac.id/internal/140163956/material/RisikoKesehatanakibatPerubahanCua ca07.pdf. Diakses 22 Desember 2011. WHO. Climate Change and Human Health in Asia and the Pacific: From Evidence to Action (Report of the Regional Workshop, WHO Regional Office for South-East Asia). http://www.searo.who.int/LinkFiles/Publications_and_Documents_Booklet. pdf. Diakses 23 Desember 2011. Woodward, A., Hales, S., Weinstein, P. Climate Change and Human Health in the Asia Pacific Region: Who Will Be Most Vulnerable? Climate Research, Vol. 11 (1998): 3138.

Anda mungkin juga menyukai