Anda di halaman 1dari 8

OVERVIEW

PENDIDIKAN AGAMA SEBAGAI UPAYA PEMBUDAYAAN DAN PEMBERDAYAAN: PENDIDIKAN AGAMA SEBAGAI SUB-SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL, PENDIDIKAN AGAMA DAN WAJAR DIKDAS, PEMBENTUKAN KARAKTER BANGSA, MADRASAH PEMBANGUNAN, MADRASAH KEJURUAN, KEBIJAKAN RESPONSIF DAN ANTISIPATIF Diajukan untuk melengkapi tugas pada mata kuliah Analisis Kebijakan Pendidikan Islam Dosen Pengampu Prof. Dr. H. Fachruddin MA Oleh : Zulkarnain NIM 11 PEDI 2241 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM KONSENTRASI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM

PROGRAM PASCA SARJANA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA MEDAN 2012

PENDIDIKAN AGAMA SEBAGAI UPAYA PEMBUDAYAAN DAN PEMBERDAYAAN: PENDIDIKAN AGAMA SEBAGAI SUB-SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL, PENDIDIKAN AGAMA DAN WAJAR DIKDAS, PEMBENTUKAN KARAKTER BANGSA, MADRASAH PEMBANGUNAN, MADRASAH KEJURUAN, KEBIJAKAN RESPONSIF DAN ANTISIPATIF

A. Pendidikan Agama Sebagai Sub-Sistem Pendidikan Nasional Di Indonesia pendidikan agama Islam merupakan sub sistem dari pendidikan nasional, untuk itu tujuan yang akan dicapai sebenarnya merupakan pencapaian dari salah satu atau beberapa aspek dari tujuan pendidikan nasional. Adapun tujuan pendidikan agama Islam secara garis besar pada dasarnya adalah untuk meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan YME, dengan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Sedangkan tujuan pendidikan nasional sebagaimana yang tercantum dalam UU No.II / 1989, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan YME dan berbudi pekerti yang luhur, memiliki pengetahuan, sehat jasmani dan rohani, berkepribadian mantap serta bertanggung jawab kepada masyarakat dan bangsa. Visi dari pendidikan Islam tentunya sejalan dengan visi pendidikan nasional, yaitu mewujudkan manusia Indonesia yang bertaqwa dan produktif sebagai anggota masyarakat Indonesia yang berbhineka. Sedangkan misi pendidikan Islam sebagai perwujudan dari visi tersebut adalah mewujudkan nilai-nilai keislaman di dalam pembentukan manusia Indonesia, yaitu manusia yang saleh dan produktif. Disebut pendidikan Islam karena mempunyai tiga ciri khas sebagai berikut: 1) Suatu sistem pendidikan yang didirikan karena didorong oleh hasrat untuk mengejawantahkan nilai-nilai Islam. 2) Suatu sistem yang mengajarkan ajaran Ialam. 3) Suatu sistem pendidikan Islam yang meliputi kedua hal tersebut. Tetapi keberadaan pendidikan Islam tidak sekedar menyangkut persoalan ciri khas, melainkan lebih mendasar lagi yaitu tujuan yang diidamkan dan diyakini sebagai yang paling ideal.

Tujuan itu sekaligus mempertegas bahwa misi dan tanggung jawab yang diemban pendidikan Islam lebih berat lagi. Ketiganya itu selama ini tumbuh dan berkembang di Indonesia dan sudah menuju bagian yang tak terpisahkan dari kebijakan pendidikan nasional. Bahkan tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa kehadiran dan keberadaannya merupakan bagian dari andil umat Islam dalam perjuangan maupun mengisi kemerdekaan. Di Indonesia pendidikan Islam ini tampil dalam berbagai macam wujud yaitu pendidikan agama Islam ( PAI ) yang merupakan substansi dari sistem pendidikan agama dalam kurikulum nasional, pendidikan di madrasah yang merupakan sub sistem dari sistem pendidikan formal, pendidikan pesantren yang merupakan sub sistem dalam pendidikan non-formal.

B. Pendidikan Agama dan Wajar Dikdas Pelaksanaan pendidikan dasar 9 tahun sebagaimana diamanatkan oleh UU RI No. 2/1989 tentang sistem pendidikan nasional dan PP No. 28/1990 tentang pendidikan dasar telah disepakati untuk dimulai pada awal pelita VI. Pelaksanaan pendidikan dasar 9 tahun ini membawa implikasi kepada perluasan tentang wajib belajar dari 6 tahun menjadi 9 tahun. Hal ini menjadikan pendidikan di sekolah dasar bergeser dari fungsi terminal ke fungsi transisional yang harus mengupayakan lulusan sekolah dasar sebagai populasi usia wajib belajar yang siap melanjutkan pendidikannya ke tingkat SLTP. Realitasnya, pemenuhan pendidikan dasar baru dirancang bagi setiap warga negara hanya sampai SLTP atau pendidikan dasar sembilan tahun. Kebijakan ini merupakan jawaban terhadap berbagai kondisi masyarakat, seperti; 1) lebih dari 80% angkatan kerja hanya berpendidikan SD atau kurang, atau SMP tidak tamat, 2) program wajib belajar 9 tahun akan meningkatkan kualitas SDM dan dapat memberi nilai tambah pula pada pertumbuhan ekonomi, 3) semakin tinggi pendidikan akan semakin besar partisipasi dan kontribusinya di sektor-sektor produktif, 4) dengan peningkatan program Wajar 6 tahun ke Wajar 9 tahun akan meningkatkan kematangan dan keterampilan siswa, 5) peningkatan Wajar 9 tahun akan meningkatkan umur kerja minimum dari 10 sampai 15 tahun.

Indikator utama penuntasan Wajar Dikdas adalah pencapaian Angka Partisipasi Kasar (APK) SMP/MTs secara nasional mencapai 95% pada tahun 2008/2009. Dalam pelaksanaan program Wajar Dikdas sebagai upaya pemerataan dan perluasan akses pendidikan tingkat dasar bagi anak usia sekolah antara 7-15 tahun. Target program ini adalah tercapainya Angka Partisipasi Sekolah (APS) penduduk meningkat dari 99,12% pada tahun 2005 menjadi 99,57% pada tahun 2009. Angka Partisipasi Murni (APM) tingkat dasar (SD/MI : usia 7-12 tahun) diusahakan akan meningkat dari 93,53% pada tahun 2005 menjadi 93,87% pada tahun 2009. Sementara pada tingkat dasar menengah (SMP/MTs) target yang akan dicapai adalah meningkatnya APM sebesar 63,67% di tahun 2005 ditingkatkan menjadi 75,46% pada tahun 2009, sehingga dalam kurun waktu lima tahun akan terjadi kenaikan sebesar 14,79%. Kenyataannya pada tahun 2007 APM SD/MI telah mencapai 94,66% dan APK 114,27%. Pada tahun yang sama APM SMP/MTs/Paket B dan yang sederajat 71,6% dan APK SMP/MTs/Paket B dan yang sederajat telah mencapai 92,52%. (Data Rembuk Nasional Diknas tahun 2008). Sumbangan Kementerian agama (kemenag) terhadap pencapaian target Nasional, APK pada tahun 2005 sebesar 13,20 %, tahun 2006 sebesar 13,70%, dan tahun 2007 sebesar 14,20 % untuk tingkat Madrasah Ibtidaiyah. Sedangkan untuk tingkat MTS menunjukkan angka partisipasi pada tahun 2005 sebesar 17,40 % tahun 2006 sebesar 18,50 % , dan tahun 2007 sebesar 19,60 %. Di samping kenaikan APK, indikator lain dari percepatan penuntasan Program Wajar dikdas 9 Tahun adalah menurunnya angka drop out, tahun 2006 sebesar 0,6 % menjadi 0,4 % pada tahun 2007 untuk MI dan untuk MTs, sebesar 1,06 % tahun 2006 menjadi 1,02 % pada 2007. Pada tahun 2008 angka drop out MI dan MTs turun menjadi 1,04 % sedangkan APK pada MI dan MTs masing-masing mencapai 14,75 % dan 20,70 %. (Paparan Dirjend. Pendis pada dengar Pendapat Komisi VIII DPR RI, Januari, 2008). Kemenag mencatat bahwa jumlah lembaga pendidikan madrasah tidak kurang dari 18% dari seluruh lembaga pendidikan di Indonesia. Sedangkan besaran prosentasi tanggung jawab kementerian agama dalam penuntasan wajar Dikdas secara nasional, dihitung berdasarkan proporsi siswa yang belajar di madrasah dan salafiyah dibagi jumlah peserta didik yang tertampung di sekolah, madrasah,

salafiyah, paket, sekolah terbuka dikalikan 100%. Maka proporsi tanggung jawab kemenag secara nasional untuk MI adalah 9,77% dan untuk MTs 20,38%. (sumber: buku penuntasan wajar Dikdas sembilan tahun 2004-2009, direktorat pendidikan madrasah).

C. Pembentukan Karakter Bangsa Saat ini terjadi pergeseran nilai di masyarakat, dimana nilai nilai yang dulu ditanamkan orang tua berbeda dengan nilai yang dianut generasi sekarang. Terkait pembentukan karakter bangsa, tentunya pergeseran nilai ini bisa diantisipasi dengan menggunakan metode pembentukan karakter yang beraneka ragam namun demikian nilainya harus tetap terjaga lestari. Nilai kejujuran dan keberanian contohnya harus tetap terjaga namun cara atau metode untuk menanamkan kejujuran dan keberanian itu bisa beraneka ragam yang tentunya menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Senyatanya di Indonesia budi pekerti bangsa masih menjadi persoalan, hingga dimunculkan karakter. UU Sisdiknas no 20 tahun 2003 telah menaruh perhatian dengan mencantumkan akhlak mulia sebagai suatu tujuan penting dari sistem pendidikan nasional. Tetapi maraknya kekerasan dan perilaku negatif yang dilakukan oleh kaum terdidik membuat kita miris dan prihatin. Ironisnya, perbuatan itu dilakukan orang yang mengaku beragama. Semula Era Reformasi di Indonesia diharapkan dapat merubah struktur, system, dan budaya yang buruk menuju perubahan bermakna, namun kenyataannya tidak demikian. Keterpurukan multi-dimensional masih merebak. Hal ini mengindikasikan ada yang keliru dalam proses pembinaan (baca: mendidik) anak-anak bangsa. Meski secara kuantitatif pembangunan pendidikan di jenjang SD dan sekolah menengah menunjukkan hasil impresif terutama sejak keluarnya instruksi presiden (Inpres) SD tahun 1970 an - sehingga pemerintah berani mencanangkan kebijakan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun, namun dari segi kualitatif kinerja sistem pendidikan nasional justru semakin merosot. Rendahnya mutu lulusan pendidikan disebabkan pembelajaran di sekolah masih terpaku pada paradigma dan cara-cara pengajaran (pembelajaran) tradisional berupa penerusan informasi yang hanya melibatkan kemampuan berpikir tingkat rendah (low cognitive skills) yaitu

menghafal. Kerangka pikir penerusan informasi yang telah bercokol lama, sudah saatnya diganti dengan paradigma pembelajaran yang lebih mendidik. Pembelajaran yang menghasilkan insan-insan dengan kecakapan emosional prima sebagai unsur penting pembentukan karakter. Seperti diketahui bahwa pada awalnya banyak pihak melihat keberhasilan seseorang dikaitkan dengan tingkat IQ. Makin tinggi skor IQ seseorang, menurut asumsi semula, akan semakin "sukses" dalam kehidupannya. Belakangan sejumlah temuan riset mengungkap bahwa ternyata ada aspek lain yang menjadi faktor penentu keberhasilan. Aspek lain itu dikenal dengan sebutan Emotional Intelligence (EI). Ini berarti kecerdasan tidak hanya berupa kemampuan intelektual semata tetapi juga kecakapan emosional. Bahkan dari berbagai penelitian dan pengamatan praksis di dunia usaha terdapat hubungan yang cukup signifikan antara kecakapan emosional dan keberhasilan seseorang dalam menampilkan unjuk kerja yang terbaik (top performer). Ternyata terbukti dalam riset bahwa 80% keberhasilan adalah andil dari faktor EI, sedang 20% lainnya berasal dari IQ atau kemampuan intelektual. EI terkait dan sering ditemui dalam kecakapan insani (bagian dari akhlak) seseorang atau dikenal dengan soft skills, sedang kemampuan intelektual (IQ) disebut kompetensi teknikal (hard skills). Oleh karena itu kecakapan insani sangat memegang peran membentuk peradaban mulia. Hal ini berkaitan dengan akhlak mulia yang dalam sistem pendidikan nasional kita telah dengan tepat dimasukkan sebagai tujuan pendidikan nasional. Dalam Islam disebutkan Nabi Muhammad memiliki akhlak yang agung: wainnaka laala khuluqin azim (QS Al-Qalam: 4). Akhlak terpuji dicontohkan Nabi diantaranya, menjaga amanah, dapat dipercaya, bersosialisasi dan berkomunikasi efektif dengan umat manusia sesuai harkat dan martabatnya, membantu sesama manusia dalam kebaikan, memuliakan tamu, menghindari pertengkaran, memahami nilai dan norma yang berlaku, menjaga keseimbangan ekosistem, serta

bermusyawarah dalam segala urusan untuk kepentingan bersama. Dari sisi pembelajaran sosial diungkap bahwa perubahan perilaku seperti terbentuknya karakter bangsa melalui pendidikan karakter akan dapat efektif apabila para elite pemimpin menampilkan contoh keteladanan. Perilaku pemimpin yang

berada dalam pusaran korupsi ditambah lagi miskin empatinya terhadap penderitaan rakyat akan bisa menafikan hasil dari pendidikan karakter. Sehingga karakter bangsa yang diharapkan tersebut menjadi sia-sia dan tidak dapat terwujud dalam waktu dekat. Pengejawantahan ajaran Agama sesungguhnya berdasar pada perilaku pemeluknya. Sebaik-baiknya karakter manusia menurut ajaran Islam adalah dari apa yang dicontohkan Rasulullah.

D. Madrasah Pembangunan Madrasah aliyah kejuruan (MAK) adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal dalam binaan Menteri Agama yang menyelenggarakan pendidikan kejuruan dengan kekhasan agama Islam pada jenjang pendidikan menengah sebagai lanjutan dari SMP, MTs, atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari hasil belajar yang diakui sama/setara SMP/MTs. Sekolah formal keagamaan, yang selama ini ada, yakni Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan Madrasah Aliyah (MA) masih bisa dikembangkan dengan membentuk MAK, sehingga lulusan sekolah keagamaan cepat terserap di dunia usaha dan dunia industri. ''Dalam pola pengembangan pendidikan makro, sekolah kejuruan lebih cepat berkembang, sehingga sangat mungkin dibentuk MAK di sekolah-sekolah keagamaan Keunggulan sekolah keagamaan kejuruan, lanjutnya, selain mampu

menyiapkan peserta didik memiliki kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi, dan ketrampilan yang dibutuhkan dalam dunia usaha atau dunia industri, mereka juga memiliki pemahaman, kemampuan, dan pengetahuan keagamaan yang lebih baik. Guna merealisasikan rencana tersebut, ungkap Daromi, saat ini pemerintah sedang menggodok berbagai persyaratan dan menyiapkan sejumlah perangkat teknis, termasuk peraturan perundangan, kurikulum, penyiapan sumber daya manusia, dan sarana-prasarana penunjang yang lain. Pihaknya berharap, informasi itu bisa disikapi pengelola pendidikan keagamaan dan mendukung upaya pengembangan sekolah keagamaan agar lebih baik.

E. Kebijakan Responsive dan Antisipatif Berbagai kebijakan pendidikan tidak berdasarkan hasil riset dan analisis yang mendalam. Riset pendidikan selama ini hanya bersifat reaktif dan hanya menjadi solusi masalah jangka pendek. Akibatnya, pemerintah tidak memiliki strategi kebijakan pendidikan jangka panjang. Seharusnya hasil riset isu-isu pendidikan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bisa ditindaklanjuti menjadi kebijakan. Apapun kebijakan pemerintah seharusnya dibuat berdasarkan hasil kajian dan analisis dari balitbang. Hasil riset dan analisis balitbang itulah yang kemudian menjadi pegangan mendikbud untuk pelaksanaannya. Bukan sebaliknya seperti yang terjadi sekarang. Selama ini, Balitbang hanya sibuk mencari justifikasi dari pernyataan atau kebijakan menteri. Tugas balitbang, bukan melakukan penelitian murni tentang isu-isu pendidikan karena itu bisa dilakukan perguruan tinggi yang jelas memiliki lebih banyak SDM. Balitbang seharusnya melakukan manajemen riset atau kajian kebijakan. Mereka harus melakukan policy research. Bukan scientific research seperti sekarang. Untuk bisa policy research, Balitbang perlu analis-analis kebijakan. Bukan peneliti. Kepala Balitbang Kemdikbud Khairil Anwar Notodiputro berencana mengembangkan riset kebijakan yang responsif, antisipatif, dan futuristik. Ia berharap reformasi peran dan fungsi balitbang bisa mengembangkan mutu hasil litbang sehingga bisa menjadi "penunjuk jalan" bagi perubahan di bidang pendidikan dan kebudayaan. Namun sebelum bisa melakukan itu, peran dan fungsi Balitbang harus diperkuat. Salah satunya dengan mengubah Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 40 Tahun 2006 tentang fungsi dan peran Balitbang, yakni mengadakan penelitian dan pengembangan. Anggota Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian mendesak pemerintah mengubah permendiknas itu sehingga Balitbang bisa menjadi motor reformasi internal. Melalui riset dan analisis kebijakan yang melibatkan pemerintah daerah, perguruan tinggi, dan LSM maka potensi penyimpangan bisa diperkecil. "Penggunaan anggaran pendidikan hanya 40 persen saja yang efektif. Sisanya tidak efektif karena tidak tepat sasaran dan tidak tepat waktu. Kenapa? Karena tidak ada analisis kebijakan,

Anda mungkin juga menyukai