Sejarah Perkembangan Agama
Sejarah Perkembangan Agama
Fase Politeisme
Pada fase politeisme, manusia khususnya pada masyarakat primitif mengangkat banyak Tuhan atau dewa-dewa dalam kehidupannya. Mereka mengangkat Tuhan dalam jumlah puluhan hingga ratusan. Pada fase ini, setiap keluarga besar biasanya memiliki Tuhan atau dewanya sendiri yang sering dihubungkan dengan nenek moyang mereka yang telah meninggal. Dalam prosesi penyembahan, mereka menjadikan jimat atau patung sebagai personifikasi dari Tuhan yang disembah. Pada fase ini, manusia menjadi sangat percaya bahwa kehidupan itu dimunculkan oleh roh yang bersemayam di tempat yang manusia sendiri juga tidak tahu. Spiritual semacam ini tidak hanya terdapat pada masyarakat primordial saja. masyarakat modern pun masih banyak yang mengambil paham tersebut karena kepercayaan yang kuat yang diturunkan oleh leluhur mereka. Tidak heran jika di sebagian wilayah kepulauan Indonseia, kita akan banyak menemukan situs berupa candi dan patung karena kebanyakan masyarakat Indonesia menganut paham tersebut. Bahkan di beberapa tataran adat istiadat, istilah sesajen untuk menghormati leluhur atau roh gaib masih senantiasa dilakukan demi kepercayaan mereka. Pada umumnya, masyarakat seperti ini percaya bahwa seorang manusia yang telah mati tidak begitu saja meninggalkan dunia ini. Mereka masih menyisakan roh untuk dihormati sehingga jika roh tersebut tidak dihormati, akan terjadi sesuatu yang tidak baik pada keluarga yang ditinggalkan oleh roh tersebut. Lantas, kebenaran seperti ini mungkin akan sulit dibuktikan karena pada dasarnya, ada satu garis tipis yang sulit untuk membedakan antara garis nyata dan garis khayali. Garis tersebut tidak akan benar-benar terlihat dan tidak pula benar-benar samar. Yang bisa dilakukan di sini hanyalah percaya atau tidak.
Fase Henoteisme
Fase henoteisme dinamakan pula fase seleksi atau fase pilihan. Pada fase ini, Tuhan yang jumlahnya banyak tersebut masih tetap diakui. Akan tetapi, mulai ada satu atau dua Tuhan yang lebih diutamakan daripada yang lainnya. Dalam masyarakat Mesir Kuno, Hindu, dan Arab Jahiliyah pilihan jatuh kepada tiga dewa. Dalam keyakinan orang-orang Mesir Kuno, evolusi ketuhanan mereka sampai pada simpulan adanya tiga dewa tertinggi, yaitu Osiris beserta istrinya, Isis, dan anaknya Horus.
Demikian pula dalam masyarakat Arab Jahiliyah, pilihan jatuh pada tiga Latta, Uzza, dan Manat. Adapun pada masyarakat Hindu di anak benua India, terpilihlah tiga dewa utama, yaitu Brahma sebagai dewa pencipta, Wishnu sebagai Dewa Pemelihara segala sesuatu yang diciptakan Brahma, dan Syiwa sebagai Dewa Penghancur apa yang diciptakan Brahma dan dipelihara Wishnu. Itulah mengapa, sebagai simbolisasi Dewa Penghancur, patung Syiwa dibuat menyeramkan, yaitu memakai kalung dari tengkorak dan dikelilingi setan. Pada perkembangan selanjutnya, dari ketiga dewa ini, ada dua dewa yang paling banyak dipuja, yaitu Wishnu dan Syiwa yang pada hakikatnya merupakan perwujudan dari Brahma. Kita mungkin heran mengapa Syiwa banyak disembah orang. Kita jangan lupa, selain sebagai Dewa Penghancur, Syiwa pun dipersonifikasikan sebagai Dewa Kesuburan yang perlu diambil hatinya juga sebagai Dewa Seni, khususnya seni tari. Penyembahan patung Syiwa pun bertujuan agar manusia terhindar dari kehancuran dan kesialan. Penyembahan seperti ini merupakan salah satu fase yang membuktikan bahwa manusia telah memasuki ranah logika yang tidak terlalu dekat dengan khayali atau garis takhayul. Kepekaan manusia terhadap roh yang hidup di sekeliling mereka mulai dijadikan sebagai bahan pemikiran akan pentingnya memiliki satu sembahan saja. Manusia pada zaman ini mulai menghargai pentingnya logika dan mulai berpikir bahwa jika ada dua tuhan atau lebih yang memimpin dunia ini, maka dunia tidak akan sebaik yang mereka alami saat itu. Oleh sebab itu, mereka dengan berbagai asumsi dan pengharapan, lantas membuat satu citraan mengenai Tuhan yang cocok untuk mereka sembah. Dengan kata lain, hanya ada satu Tuhan yang berkuasa di antara beberapa Tuhan yang mereka ciptakan.
Fase Monoteisme
Setelah melalui proses henoteisme lahirlah monoteisme, yaitu penyembahan terhadap satu Tuhan. Dari tiga yang satu, proses kepercayaan itu mengerucut menjadi Yang Satu atau Yang Tunggal. Dengan demikian, menurut tinjauan ilmu budaya, perkembangan konsep ketuhanan itu bersifat evolusi, seperti halnya yang terjadi pada proses kejadian manusia dan alam. Hipotesis ini tentu saja mendapat banyak sanggahan karena pada kenyataannya, khususnya pada agama-agama wahyu semacam Yahudi, Nasrani, Islam, konsep ketuhanan yang monoteisme tidak bersifat evolusi. Tuhan mengutus para nabi dengan membawa pesan untuk mengesakan-Nya. Dengan demikian, sampai pada henoteisme atau setidaknya monoteisme praktis menyembah satu dewa, namun masih mengakui dewa-dewa lainnya proses evolusi itu terjadi. Adapun lahirnya monoteisme mutlak, seperti halnya Islam, proses evolusi
tersebut tidak terjadi. Sebaliknya, yang terjadi adalah proses revolusi ketika Tuhan mengutus Nabi kepada masyarakat penganut politeisme atau henoteisme.