Anda di halaman 1dari 23

DAFTAR ISI

BAB I..................................................................................................................................2 PENDAHULUAN..............................................................................................................2 BAB II................................................................................................................................3 TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................................................3 BAB III.............................................................................................................................21 KESIMPULAN................................................................................................................21 DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................23

BAB I PENDAHULUAN
Sindrom nefrotik merupakan kumpulan gejala yang ditandai oleh proteinuria berat, hipoalbuminemia, edema, hiperkolesterolemia. Istilah sindrom nefrotik kemudian digunakan untuk menggantikan istilah terdahulu yang menunjukan keadaan klinik dan laboratorik tanpa menunjukan suatu penyakit yang mendasarinya.1 Sampai pertengahan abad ke 20 morbiditas sindrom nefrotik pada anak masih tinggi yaitu melebihi 50%. Dengan ditemukannya obat-obat sulfonamid dan penicilin tahun 1940an, dan dipakainya obat adrenokortokotropik (ACTH) serta kortikosterid pada tahun 1950, mortalitas penyakit ini mencapai 67%. Dan kebanyakan mortalitas ini disebabkan oleh komplikasi peritonitis dan sepsis. Pada dekade berikutnya mortalitas turun sampai 40%, dan turun lagi menjadi 35%. Dengan pemakaian ACTH atau kortison pada awal 1950 untuk mengatasi edema dan mengurangi kerentanan terhadap infeksi, angka kematian turun mencapai 20%. Pasien sindrom nefrotik yang selamat dari infeksi sebelum era sulfonamid umumnya kematian pada periode ini disebabkan oleh gagal ginjal kronik.1 Umumnya nefrotik sindrom disebabkan oleh adanya kelainan pada glomerulus yang dapat dikategorikan dalam bentuk primer atau sekunder. Istilah sindrom nefrotik primer dapat disamakan dengan sindrom nefrotik idiopatik dikarenakan etiologi keduanya sama termasuk manifestasi klinis serta histopatologinya.2 Dalam refrat ini selanjutnya pembahasan mengenai manifestasi klinik, diagnosis dan penatalaksanaan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


DEFINISI Sindrom Nefrotik (SN) merupakan suatu gambaran klinik penyakit glomerular yang ditandai dengan proteinuria, hipoalbuminemia, edema, dan disertai dengan hiperlipidemia. EPIDEMIOLOGI Sindrom nefrotik yang tidak menyertai penyakit sistemik disebut sindrom nefrotik primer dan ditemukan hampir 90% pada kasus anak. Apabila timbul sebagai bagian daripada penyakit sistemik atau berhubungan dengan obat atau toksin maka disebut sindrom nefrotik sekunder. Insidens penyakit sindrom nefrotik primer ini 2 kasus per tahun tiap 100.000 anak berumur kurang dari 16 tahun. Insidens di Indonesia diperkirakan 6 kasus per tahun tiap 100.000 anak kurang dari 14 tahun. Rasio antara lelaki dan perempuan pada anak sekitar 2:1. Dan 2/3 kasus anak dengan Sindroma Nefrotik dijumpai pada umur kurang dari 5 tahun. Pada penelitian di Jakarta pada 364 pasien Sindrom Nefrotik yang dibiopsi 44,2% menunjukkan KM. Kelompok responsif steroid sebagian besar terdiri atas anak-anak dengan sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM). ETIOLOGI Terdapat beberapa penyebab dari sindrom nefrotik antara lain : 1. Sindrom nefrotik primer/idiopatik Dikatakan sebagai SN primer karena terjadi akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab lain.

Secara Klinis, Sindrom Nefrotik Primer dapat dikelompokkan menjadi: Kongenital / Genetik Responsif steroid Resisten steroid

2. Sindrom nefrotik sekunder

Nefrotik sindrom dapat bersifat sistemik, atau sekunder karena beberapa penyebab. Penyebab sistemik diantaranya3: 1. Colagen vaskular disease (SLE, rheumatoid arthritis, polyarteritis nodosa) 2. Henoch-Schnlein purpura 3. Hereditary nephritis 4. Sickle cell disease 5. Diabetes melitus

6. Amyloidosis 7. Keganasan (leukemia, lymphoma, Wilms tumar, pheochromocytoma) 8. Toksin (sengatan lebah, racun ular)4 9. obat-obatan (probenecid, fenoprofen, catopril, lithium, wafarin, penicilamine, mercury, gold, trimethadione, para metadione, AINS) 4 10. Penggunaan Heroin Penyebab sekunder berhubungan dengan keadaan post infeksi mencakup1: 1. Group A beta-hemolytic streptococcus 2. syphilis 3. Malaria 4. Tuberkulosis 5. infeksi virus (varicella, hepatitisB, HIV tipe1, infeksi mononukleosis) Kebanyakan (90%) anak yang menderita sindrom nefrotik mempunyai beberapa bentuk sindrom nefrotik idiopatik, diantaranya; penyakit lesi minimal sekitar 85%, proliferasi mesangium 5%, dan sklerosis setempat 10%. Pada 10% anak sisanya menderita nefrosis. Sindrom nefrotik sebagian besar diperantarai oleh beberapa bentuk glomerulonefritis dan yang tersering adalah membranosa dan membranoproliferatif.5 PATHOGENESIS Kerusakan atau perubahan pada struktur glomerolus dapat terjadi karena proses Immunologic, Non Immunilogic maupun karena Hereditary Mechanism. Hampir sebagian besar kerusakan disebabkan oleh proses imunologik. Ada 2 proses imun yang berperan: Kerusakan karena reaksi antibody dengan fixed glomerular antigen atau antigen yang ada di dalam glomerolus. Kerusakan yang terjadi karena adanya sirkulasi antibody antigen kompleks yang nantinya akan terjebak ke dalam membran glomerolus. Antigen-antigen tersebut dapat berasal dari endogen (Autoantibody to DNA in SLE) maupun eksogen (Streptococcal membrane antigen pada Poststreptococcal Glomerulonephritis.) Perubahan seluler yang terjadi pada kerusakan glomerular dapat berupa: Proliferative atau Hipercellularity yang ditandai dengan meningkatnya jumlah sel inflamasi:

- Proliferasi dari endothelial dan sel mesangial - Infiltrasi dari leukosit (Neutrophils, monocytes, lymphocyte) - Pembentukan crescent (merupakan Half moon shaped yang merupakan kumpulan dari proliferasi sel-sel epitel dan infiltrasi dari leukosit) di ruang Bowman. Penebalan dari membran basalis (membranous) yang melibatkan adanya deposisi dari material padat non selular di sel endotelial dan epitelial pada membran basalis Perubahan non selular dari komponen glomerolus seperti sklerosis dan fibrosis. Sklerosis merupakan peningkatan jumlah dari extracelullar matrix di jaringanjaringan mesangial, subendothelial atau pada subepithelial pada glomerolus sedangkan fibrosis merupakan penumpukan atau deposisi serat-serat kolagen. Bentuk dari kerusakan glomerolus dapat berupa: Diffuse, yang melibatkan seluruh glomerolus Focal, di mana hanya sebagian glomerolus yang terpengaruh dan lainya masih berfungsi normal Segmental di mana mengenai segment tertentu pada setiap glomerolus Mesangial, apabila hanya mengenai sel mesangial saja.

PATOFISIOLOGI

Proteinuria Yang dimaksud dengan proteinuria masif adalah jika eksresi protein sama atau

lebih besar dari 40 mg/jam/m2 luas permukaan badan. Mekanisme terjadinya proteinuria dipengaruhi oleh seletivitas protein dan adanya perubahan pada filter kapiler glomerolus. Jenis protein yang keluar tergantung pada kelainan dasar glomerolus. Pada SKNM protein yang keluar hampir seluruhnya terdiri dari albumin dan disebut sebagai proteinuria selektif. Sedangkan pada SN dengan kelainan glomerolus yang lain, keluarnya protein merupakan campuran dari albumin dan protein berat molekul besar dan disebut sebagai proteinuria non selektif. Perubahan permeabilitas membran basal juga tergantung pada tipe kelainan glomerulus. Proteoglikan sulfat heparan yang menimbulkan muatan negatif pada lamina rara interna dan eksterna merupakan sawar utama penghambat keluarnya muatan negatif, seperti albumin. Dihilangkannya proteoglikan sulfat heparan dengan heparitinase mengakibatkan timbulnya albuminuria. Di samping itu sialoprotein glomerulus yaitu suatu polianion yang terdapat pada tonjolan kaki (foot procesus) sel epitel, berperan sebagai muatan negatif yang penting untuk mengatur sel viseral epitel dan pemisahan tonjolan-tonjolan kaki sel epitel. Sialoprotein menurun ditemukan pada

berbagai kelainan glomerulus sehingga pada SNKM, di mana kandungan sialoprotein kembali normal merupakan respons dari pengobatan steroid yang menyebabkan hilangnya proteinuria.

Hipoalbuminemia Jumlah albumin ditentukan oleh sintesis hepar dan pengeluaran akibat degradasi

metabolik, ekskresi renal dan gastrointestinal. Pada keadaan hipoalbuminemia, konsentrasi albumin plasma yang rendah disebabkan oleh meningkatnya ekskresi albumin dalam urin dan meningkatnya katabolisme fraksi pool albumin (disebabkan karena meningkatnya degradasi di dalam tubulus renal) yang melampaui daya sintesis hati. Gangguan protein lainnya di dalam plasma adalah menurunnya globulin, -1 globulin (normal atau rendah), dan -2 globulin, globulin dan fibrinogen meningkat secara relatif atau absolut. Meningkatnya -2 globulin disebabkan oleh retensi selektif protein berberat molekul tinggi oleh ginjal dengan adanya laju sintesis yang normal. Pada beberapa pasien, terutama mereka dengan SNKM, IgM dapat meningkat dan IgG menurun.

Kelainan Metabolisme Lipid Pada pasien SN konsentrasi lipoprotein densitas sangat rendah (VLDL) dan

lipoprotein densitas rendah (LDL) meningkat, dan kadang-kadang sangat mencolok. Seperti pada hipoalbuminemia, hiperlipidemia juga disebabkan oleh sintesis yang meningkat atau karena degradasi yang menurun. Namun meningkatnya kadar lipid dapat pula terjadi pada laju sintesis albumin yang normal. Menurunnya degradasi ini rupanya berpengaruh terhadap hiperlipidemi karena menurunnya aktivitas lipase lipoprotein. Menurunnya aktivitas ini mungkin sekunder akibat hilangnya -glikoprotein asam sebagai perangsang lipase. Apabila albumin serum kembali normal, baik secara spontan ataupun dengan pemberian infus albumin, maka umumnya kelainan lipid ini menjadi normal kembali. Gejala ini mungkin akibat tekanan onkotik albumin serumnya, karena efek yang sama dapat ditimbulkan dengan pemberian infus polivinilpirolidon tanpa mengubah keadaan hipoalbuminemianya. Lipid dapat juga ditemukan di dalam urin dalam bentuk titik lemak oval dan maltese cross. Titik lemak itu merupakan tetesan lipid di dalam sel tubulus yang berdegenerasi. Maltese cross tersebut adalah ester kolesterol yang berbentuk bulat dengan palang di tengah apabila dilihat dengan cahaya polarisasi. Edema Teori klasik (underfilled theory) di mana menurunnya tekanan onkotik intravaskular yang menyebabkan cairan merembes ke ruang interstitial, di mana albumin keluar menimbulkan albuminuria dan hipoalbuminemia yang menyebabkan turunnya tekanan onkotik koloid plasma intravaskular sehingga ada peningkatan cairan transudat melewati dinding kapiler dari ruang intravaskular ke ruang interstitial yang menyebabkan terbentuknya edema. Sebagai akibat pergeseran cairan ini volume plasma total dan volume darah arteri dalam peredaran menurun sehingga terjadi stimulasi retensi air dan natrium renal yang dapat mengencerkan protein plasma sehingga menurunkan tekanan onkotik plasma dan akhirnya mempercepat gerak cairan masuk ke ruang interstitial yang dapat memperberat edema. Selain itu terjadi kenaikan kadar renin plasma dan aldosteron sekunder terhadap adanya hipovolemia.

Menurut teori overfilled retensi natrium renal dan air terjadi karena mekanisme intrarenal primer dan tidak bergantung pada stimulasi sistemik perifer, yang mengakibatkan adanya ekspansi volume plasma dan cairan ekstraselular. Pembentukan edema terjadi sebagai akibat overfilling cairan ke dalam ruang interstitial.

Ada 2 bentuk SN, yaitu tipe nefrotik dan tipe nefritik. Tipe nefrotik ditandai

10

dengan volume plasma rendah dan vasokonstriksi perifer dengan kadar renin plasma dan aldosteron yang tinggi. Laju filtrasi glomerulus (LFG) masih baik dengan kadar albumin yang rendah dan biasanya terdapat pada SNKM. Karakteristik sesuai dengan teori underfilled. Tipe nefritik ditandai dengan volume plasma tinggi, tekanan darah tinggi dan kadar renin plasma dan aldosteron rendah yang meningkat sesudah persediaan natrium habis. Kelompok kedua ini dijumpai pada glomerulonefritis kronik dengan LFG yang relatif rendah dan albumin plasma lebih tinggi dari kelompok pertama dan merupakan fenomena primer intrarenal. Pembentukan edema pada SN merupakan suatu proses yang dinamis dan kedua proses underfilled dan overfilled dapat berlangsung bersamaan sehingga menimbulkan gambaran nefrotik dan nefritis.

Retensi natrium tidak bergantung pada rangsangan sistem renin angiotensin aldosteron. Retensi natrium pada SN disebabkan oleh faktor-faktor intrarenal. Peran peptida natriuretik atrial (ANP) dalam pembentukan edema dan diuresis masih belum pasti. Namun, dengan pemberian infus albumin atau imersi air untuk ekspansi volume intravaskular akan terjadi diuresis yang diikuti dengan peningkatan ANP sebanyak lima kali, yang menunjukkan bahwa ANP berperan pada diuresis sesudah ekspansi volume. GEJALA KLINIS Edema umumnya terlihat pada kedua kelopak mata dan dapat menjadi menyeluruh dan pola timbulnya bervariasi. Pada SNKM edema timbul lebih cepat dan progresif dan lebih perlahan dan intermiten pada kelainan glomerulus jenis lainnya, terutama pada GN membrano-proliferatif (GNMP). Edema bersifat lembek dan pitting, berpindah sesuai perubahan posisi dan jika terjadi robekan pada kulit dengan keluarnya cairan sehingga mengenai semua jaringan akan dapat menimbulkan asites,

11

pembengkakan skrotum atau labia, bahkan efusi pleura. Gangguan gastrointestinal Diare sering dialami pasien dalam keadaan edema yang masif dan tidak berkaitan dengan infeksi, namun diduga penyebabnya adalah edema di mukosa usus. Hepatomegali dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik, mungkin disebabkan sintesis albumin yang meningkat, atau edema atau keduanya. Nyeri di perut kadang-kadang berat dan dapat terjadi pada keadaan SN yang kambuh. Kemungkinan adanya abdomen akut atau peritonitis harus disingkirkan dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan lainnya, di mana kemungkinan penyebab nyeri tidak diketahui namun dapat disebabkan karena edema dinding perut atau pembengkakan hati. Kadang nyeri dirasakan terbatas pada daerah kuadran atas kanan abdomen. Anoreksia dan hilangnya protein di dalam urin mengakibatkan malnutrisi berat yang kadang ditemukan pada pasien SN non- responsif steroid dan persisten. Pada keadaan asites berat dapat terjadi hernia umbilikalis dan prolaps ani. Gangguan pernapasan Oleh karena adanya distensi abdomen dengan atau tanpa efusi pleura maka pernapasan sering terganggu. Keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian infus albumin dan obat furosemid. KOMPLIKASI Komplikasi yang timbul pada penderit SN tergangung faktor-faktor sebagai berikut : histopatologi renal, lamanya sakit, umur dan jenis kelamin penderita. 1. Infeksi Infeksi merupakan komplikasi utama dari sindrom nefrotik, komplikasi ini akibat dari meningkatnya kerentanan terhadap infeksi kerentanan terhadap infeksi disebabkan oleh: bakteri selama kambuh. Peningkatan

12

2. Tromboemboli dan gangguan koagulasi Pada penderita SN terjadi hiperkoagulasi dan dapat menimbulkan tromboemboli baik pada pembuluh darah vena maupun arteri. Keadaan ini disebabkan oleh faktorfaktor :

3. Pertumbuhan abnormal Pada anak dengan sindrom nefrotik dapat terjadi gangguan pertumbuhan (failure to thrive), hal ini dapat disebabkan anoreksia hypoproteinemia, peningkatan katabolisme protein, atau akibat komplikasi penyakit infeksi, malabsorbsi karena edema saluran gastrointestinal. Dengan pemberian kortikosteroid pada sindrom nefrotik dapat pula menyebabkan gangguan pertumbuhan. Pemberian kortikosteroid dosis tinggi dan dalam jangka waktu yang lama, dapat menghambat maturasi tulang dan terhentinya pertumbuhan linier, terutama apabila dosis melampaui 5mg/m2/hari. Walau selama pengobatan sekresi kortikosteroid tidak tapi terdapat pengurangan produksi atau hormon pertumbuhan, telah diketahui bahwa kortikosteroid

mengantagonis efek hormon pertumbuhan endogen atau eksogen pada tingkat jaringan perifer , melalui efeknya terhadap somatomedin. 4. Perubahan hormon dan mineral Pada Sindrom nefrotik berbagai gangguan hormon timbul karena protein pengikat hormon hilang dalam urin. Hilangnya globulin pengikat tiroid (TBG) dalam urin pada

13

beberapa pasien Sindrom nefrotik dan laju eksresi globulin umumnya berkaitan dengan beratnya proteinemia. Hipokalsemia pada sindrom nefrotik berkaitan dengan disebabkan oleh albumin serum yang rendah dan berakibat menurunnya kalsium terikat, tetapi fraksi trionisasi tetap normal dan menetap. 5. Anemia Anemia ringan hanya kadang-kadang ditemukan pada pasien sindrom nefrotik. Anemianya hipokrom mikrositik, karena defisiensi besi yang tipikal, namun resisten terhadap prefarat besi. Pada pasien dengan volume vaskular yang bertambah anemia nya terjadi karena pengenceran. Pada beberapa pasien terdapat transferin serum yang sangat menurun, karena hilangnya protein ini dalam urin dalam jumlah yang besar 6. Gagal Ginjal Akut (GGA) Komplikasi ini mekanismenya belum jelas. Namun banyak ditemukan pada penderita SN denganl lesi minimal dan gromerulosklerosis fokal. Diperkirakan akibat hipovelemia dan penurunan perfusi ke ginjal. akibat dari GGA pada penderita SN cukup serius. 7. Perubahan metabolisme lemak, karbohidrat dan protein Pada penderita SN terjadi peningkatan total kolesterol, LDL dan VLDL seta apolipoprotein di dalam plasma sementara HDL dapt normal atau turun khususnya HDL 2. Hiperlipidemia ini berlangsung lama dan tidak terkontrol dapat mempercepat proses aterosklerosis pembuluh darah koroner, Aorta dan arteria renalis. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya penyakti jantung eskemik ataupun trombosis arteri Renalis. Tidak sepeti pada lemak, penelitian mengenai perubahan metabolisme karbohidrat belum komprehensif. Namun telah diketahui pada hati yang mensintesis protein lebih besar akan meningkatkan ptikogenolisis, selain itu didapatkan penignkatan ambang vespin terhadap insulin dan glukosa. Hal ini dapat terjadi hipoalbuminemia pada keadaan malnutrisi kronik. Sejumlah protein plasma yang penting pada transport besi, hormon dan obat-obatan, karena molekulnya kacil, dengan mudah keluar melalui urin, kehilangan zat-zat tersebut akan mengakibatkan hal-hal sebagai berikut : Transferin ion yang menurun menyebabkan anemia

14

Penurunan seruloplasmin belum dilaporkan akibat klinisnya Berkurangnya albumin pengikat penurunan sel-sel imunitas. Berhubungan protein pengikat vitamin D akan mempengaruhi metabolisme kalsium sehingga terjadi osteomalasia dan hiper paratiroid. Berkurangnya protein pengikat kostisol menyebabkan dibutuhkannay dosis lebih besar terhadap kortikosteroid. Kehilangan sejumlah besar protein ini akan menyebabkan penderita jatuh dalam seng dan besi menyebabkan hipogensia dan

keadaan malnutrisi. Karena itu dilanjutkan diet tinggi protein diberikan 2-3 5 gram/kg/24 jam untuk mempertahankan keseimbangan nitrogen. Diet rendha protein, meski dapat mengurangi proteinuria dalam jangka penek mempunyai risiko kesimbangan negatif di masa mendatang. 8. Hypovolemia

DIAGNOSIS Diagnosis ditegakan bedasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik yang didapat, pemeriksan laboratorium dan dikonfirmasi dengan biopsi ginjal untuk pemeriksaan histopatologis3. Anak dengan awitan sindrom nefrotik antara usia 1-8 tahun biasanya menderita penyakit lesi minimal yang responsif terhadap kortikosteroid. Pada kelompok ini biopsi ginjal dianjurkan biopsi ginjal untuk menegakan diagnostik sebelum pertimbangan terapi. Pada analisa urin didapatkan proteinuria +3 atau +4; mungkin ada hematuria mikroskopis, tapi jarang ada hematuria makroskopis. Fungsi ginjal mungkin normal atau menurun. Klirens protein melebihi 2 gr/24 jam. Kadar kolesterol dan trigliserida serum naik, kadar albumin serum biasanya kurang dari 2 g/dl (20g/L). Dan kadar

15

kalsium serum total menurun, karena penurunan fraksi terikat albumin. Kadar C3 biasanya normal.5 TREATMENT Pengobatan imunosupresif Beberapa obat-obat imunosupresif seperti kortikosteroid, obat sitotoksik dan siklosporin, dapat menimbulkan remisi proteinuria dan melindungi fungsi ginjal. International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC) menganjurkan untuk memulai dengan pemberian prednison oral (induksi) sebesar 60 mg/m2/hari dengan dosis maksimal 80 mg/hari selama 4 minggu, kemudian dilanjutkan dengan dosis rumatan sebesar 40 mg/m2/hari secara selang sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu, lalu setelah itu pengobatan dihentikan. A. Sindrom nefrotik serangan pertama 1. Perbaiki keadaan umum penderita a. Diet tinggi kalori, tinggi protein, rendah garam, rendah lemak. Rujukan ke bagian gizi diperlukan untuk pengaturan diet terutama pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal. Batasi asupan natrium sampai 1 gram/hari, secara praktis dengan menggunakan garam secukupnya dalam makanan yang diasinkan. Diet protein 2-3 gram/kgBB/hari. b. Tingkatkan kadar albumin serum, kalau perlu dengan transfusi plasma atau albumin konsentrat c. Berantas infeksi d. Lakukan work-up untuk diagnostik dan untuk mencari komplikasi e. Berikan terapi suportif yang diperlukan: Tirah baring bila ada edema anasarka. Diuretik diberikan bila ada edema anasarka atau mengganggu aktivitas. biasanya furosemid 1 mg/kgBB/kali, bergantung pada beratnya edema dan respons pengobatan. Bila edema refrakter, dapat digunakan hidroklortiazid (25-50 mg/hari). Selama pengobatan diuretic perlu dipantau kemungkinan hipokalemia, alkalosis metabolic, atau kehilangan cairan intravascular antihipertensi. 2. Terapi prednison sebaiknya baru diberikan selambat-lambatnya 14 hari berat Jika ada hipertensi, dapat ditambahkan obat

16

setelah diagnosis sindrom nefrotik ditegakkan untuk memastikan apakah penderita mengalami remisi spontan atau tidak. Bila dalam waktu 14 hari terjadi remisi spontan, prednison tidak perlu diberikan, tetapi bila dalam waktu 14 hari atau kurang terjadi pemburukan keadaan, segera berikan prednison tanpa menunggu waktu 14 hari B. Sindrom nefrotik kambuh (relapse) 1. 2. Berikan prednison sesuai protokol relapse, segera setelah diagnosis Perbaiki keadaan umum penderita relapse ditegakkan

Sindrom nefrotik kambuh tidak sering Adalah sindrom nefrotik yang kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan atau < 4 kali dalam masa 12 bulan. 1. Induksi Prednison dengan dosis 60 mg/m2/hari (2 mg/kg BB/hari) maksimal 80 mg/hari, diberikan dalam 3 dosis terbagi setiap hari selama 3 minggu 2. Rumatan Setelah 3 minggu, prednison dengan dosis 40 mg/m2/48 jam, diberikan selang sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu. Setelah 4 minggu, prednison dihentikan. Sindrom nefrotik kambuh sering adalah sindrom nefrotik yang kambuh > 2 kali dalam masa 6 bulan atau > 4 kali dalam masa 12 bulan 1. Induksi Prednison dengan dosis 60 mg/m2/hari (2 mg/kg BB/hari) maksimal 80 mg/hari, diberikan dalam 3 dosis terbagi setiap hari selama 3 minggu 2. Rumatan Setelah 3 minggu, prednison dengan dosis 60 mg/m2/48 jam, diberikan selang sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu. Setelah 4 minggu, dosis prednison diturunkan menjadi 40 mg/m2/48 jam diberikan selama 1 minggu, kemudian 30 mg/m2/48 jam selama 1 minggu, kemudian 20 mg/m2/48 jam selama 1 minggu, akhirnya 10 mg/m2/48 jam selama 6 minggu, kemudian prednison dihentikan. 17

Pada saat prednison mulai diberikan selang sehari, siklofosfamid oral 2-3 mg/kg/hari diberikan setiap pagi hari selama 8 minggu. Setelah 8 minggu siklofosfamid dihentikan. Indikasi untuk merujuk ke dokter spesialis nefrologi anak adalah bila pasien tidak respons terhadap pengobatan awal, relapse frekuen, terdapat komplikasi, terdapat indikasi kontra steroid, atau untuk biopsi ginjal.

Sindrom nefrotik resisten Steroid (SNRS) Pengobatan SNRS sampai sekarang masih belum memuaskan. Sebelum pengobatan dimulai sebaiknya dilakukan biopsi ginjal untuk melihat gambaran PA ginjal, karena gambaran PA tersebut akan mempengaruhi prognosis.

18

Berikut alur pengobatan SNRS : Sitostatik oral : siklofosfamid 2-3 mg/kgBB/hari dosis tunggal selama 3-6 bulan Prednison dosis 40mg/m2LPB/hari alternating selama pemberian siklofosfamid oral. Kemudian prednison di dengan dosis 1 mg/kgBB/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5mg/kgBB/hari selam 1 bulan (lama tapering off 2 bulan). Atau : Siklofosfamid puls dengan dosis 500-750 mg/m2LPB diberikan melalui infus satu kali sebulan selam 6 bulan,dapat dilanjutkan tergantung keadaan pasien. Prednison dosis 40mg/m2LPB/hari alternating selama pemberian siklofosfamid puls (6 bulan). Kemudian prednison di dengan dosis 1 mg/kgBB/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5mg/kgBB/hari selam 1 bulan (lama tapering off 2 bulan).

19

PROGNOSIS Pronosis pasien nefrotik sindrom bervariasi bergantung tipe kelainan histopatologi. Prognosis untuk nefrotik sindrom kongenital adalah buruk, pada banyak kasus dalam 2-18 bulan akan terjadi kematian karena gagal ginjal. Sedangkan prognosis untuk anak dengan kelainan minimal glomerulus sangat baik. Karena pada kebanyakan anak respon tehadap terapi steroid; sekitar 50% mengalami 1-2 kali relaps dalam 5 tahun dan 20% dapat relaps dalam kurun waktu 10 tahun setelah didiagnosis. Hanya 30 % anak yang tidak pernah relaps setelah inisial episode. Setidaknya sekitar 3% anak yang respon terhadap steroid menjadi steroid resisten. Progresif renal insufisiensi terjadi pada kurang dari 1% pasien, dan kematian pada pasien kelainan minimal biasanya disebabkan oleh infeksi dan komplikasi ekstra renal. Hanya sekitar 20% pasien sindrom nefrotik dengan fokal segmental glomerulonefritis sklerosis, yang mengalami remisi derajat protenurianya, banyak pasien yang mengalamai relaps menjadi steroid dependen atau resisten. Penyakit renal stadium akhir terjadi pada 25-30% pasien dalam lima tahun, dan 30-40% dalam sepuluh tahun. Lima puluh persen pasien dengan difuse mesangial proliferation mengalami remisi komplit dari proteinuria dengan steroid terapi, sekitar 20% terjadi delayed remisi. Dua puluh persen menjadi proteinuria yang berlanjut dan sekitar 6% menjadi renal isufisiensi yang progresif. Prognosis pada pasien dengan membranoproliferatif glomerulonephropaty umumnya kurang baik, dan keuntungan terapi steroid tidak begitu jelas. Pada beberapa study dinyatakan, tidak ada perbedaan evidence hasil antara pemberian pengobatan dengan tampa pengobatan pada pasien ini, karena sekitar 30% pasien akan menjadi penyakit renal stadium akhir dalam 5 tahun. 1 Prognosis umumnya baik, kecuali pada keadaan-keadaan sebagai berikut : Menderita untuk pertamakalinya pada umur di bawah 2 tahun atau di atas 6 tahun. Disertai oleh hipertensi. Disertai hematuria. Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder. Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal.

20

BAB III KESIMPULAN


Sindroma nefrotik bukan merupakan suatu penyakit. Istilah sindrom nefrotik dipakai oleh Calvin dan Goldberg, pada suatu sindrom yang ditandai dengan proteinuria berat, hypoalbuminemia, edema, hiperkolesterolemia. Umumnya nefrotik sindrom disebabkan oleh adanya kelainan pada glomerulus yang dapat dikategorikan dalam bentuk primer atau sekunder. Prevalensi nefrotik syndrome pada anak berkisar 2-5 kasus per 100.000 anak. Prevalensi rata-rata secara komulatif berkisar 15,5/100.000.3 Ada 2 teori mengenai patofisiologi edema pada sindrom nefrotik; teori 21

underfilled dan teori overfille. Gejala awal pada sindroma nefrotik nyeri perut, atropi dan urin berbusa.

meliputi;

menurunnya nafsu makan, malaise, bengkak pada kelopak mata dan seluruh tubuh, Subkategori atau klasifikasi nefrotik sindrom primer bedasarkan pada deskripsi histologi dan dihubungkan dengan patologi klinis kelainan yang sebelumnya telah diketahui.3 Komplikasi pada sindrom nrfrotik antara lain : 1. Infeksi 2. Kelainan koagulasi dan trombosis 3. Pertumbuhan abnormal 4. Perubahan hormon dan mineral 5. Anemia Diagnosis ditegakan bedasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik yang didapat, pemeriksan laboratorium dan dikonfirmasi dengan renal biopsi untuk pemeriksaan histopatologis3 Penatalaksanaan 1. Terapeutik. 2. Pengobatan supotif (Hiperlipidemia, Hiperkoagulabilitas, edema, Proteinuria dan hipoalbuminemi) serta terapi dietetik 1,2 Pronosis pasien nefrotik sindrom bervariasi bergantung tipe kelainan histopatologi. Prognosis untuk nefrotik sindrom kongenital adalah buruk Sedangkan prognosis untuk anak dengan kelainan minimal glomerulus sangat baik

22

DAFTAR PUSTAKA
1. Wirya W. Sindrom nefrotik. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono, PP, Pardede SO. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi 2. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2002. Hal 381-411 2. Travis Luther, Nephrotic Syndrome. www.emedicine.com. Last Update: april14, 2005. 3. Agraharkar Mahendra, Nephrotik Syndrome. www.emedicine.com Last Update: september 2, 2004. 4. Nephrotic Syndrome, The Merck Manual Diagnosis and Therapy. www.Merckmanual.com. 5. Behrman, Kliegman, Arvin. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi 15; vol 3. Pennsylvania: Saunders, 1996. Hal 1828-31. 6. Gipson DS, et al. Management of Childhood Onset Nephrotic Syndrome. Pediatrics 2009; 124;747 7. [Guideline] International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC). The primary nephrotic syndrome in children. Diunduh dari : http://emedicine.medscape.com/article/982920-overview 8. Ronald J Kallen, MD; Chief Editor: Craig B Langman, MD. Pediatric Proteinuria. Diunduh dari : http://emedicine.medscape.com/article/984289-overview 9. Sharples P M, Poulton J, White R H. Steroid responsive nephrotic syndrome is more common in Asians. Arch Dis Child 1985; 60: 10141017. in children. Pediatr Nephrol 2001; 16: 271282. 10. Hogg RJ, Portman RJ, Milliner D, Lemley KV, Eddy A, Ingelfinger J. Evaluation and management of proteinuria and nephrotic syndrome in children: recommendations from a pediatric nephrology panel established at the National Kidney Foundation conference on proteinuria, albuminuria, risk, assessment, detection, and elimination (PARADE). Pediatrics. Jun 2000;105(6):1242-9 11. Noer SM. Sindrom Nefrotik Idiopatik. Dalam : Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Kompendum Nefrologi Anak. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011. Hal 72-87

23

Anda mungkin juga menyukai