Anda di halaman 1dari 44

BAB I PENDAHULUAN Sebagian besar tubuh manusia terdiri atas cairan yang jumlahnya berbedabeda tergantung usia dan

jenis kelamin serta banyaknya lemak di dalam tubuh. Dengan makan dan minum tubuh mendapatkan air, elektrolit serta nutrien-nutrien yang lain. Dalam waktu 24 jam jumlah air dan elektrolit yang masuk setara dengan jumlah yang keluar. Pengeluaran cairan dan elektrolit dari tubuh dapat berupa urin, tinja, keringat dan uap air pada saat bernapas.1,2 Terapi cairan dibutuhkan bila tubuh tidak dapat memasukkan air, elektrolit serta zat-zat makanan ke dalam tubuh secara oral misalnya pada saat pasien harus berpuasa lama, karena pembedahan saluran cerna, perdarahan banyak, syok hipovolemik, anoreksia berat, mual muntah dan lain-lain. Dengan terapi cairan kebutuhan akan air dan elektrolit akan terpenuhi. Selain itu, terapi cairan juga dapat digunakan untuk memasukkan obat dan zat makanan secara rutin atau juga digunakan untuk menjaga keseimbangan asam basa.1,2 Manajemen resusitasi cairan adalah penting dan kekeliruan manajemen dapat berakibat fatal. Untuk mempertahankan keseimbangan cairan maka input cairan harus sama untuk mengganti cairan yang hilang. Cairan itu termasuk air dan elektrolit. Tujuan terapi cairan bukan untuk kesempurnaan keseimbangan cairan, tetapi penyelamatan jiwa dengan menurunkan angka mortalitas.

BAB II PEMBAHASAN 2.1.Fisiologi Cairan Tubuh 2.1.1. Karakteristik Air Air adalah senyawa esensial untuk semua makhluk hidup dan mempunyai beberapa karakteristik fisiologik, diantaranya : media utama pada reaksi intrasel dan diperlukan oleh sel untuk mempertahankan kehidupan. Hampir semua reaksi biokimia tubuh terjadi dalam media air, sehingga dapat dikatakan air merupakan pelarut dalam kehidupan. Air juga merupakan pelarut terbaik untuk solut polar dan ionik, media transport untuk sistem sirkulasi, ruang di sekitar sel (ruang intravaskuler, interstisium) dan intrasel. Selain itu, air mempunyai panas jenis, panas penguapan dan daya hantar panas yang tinggi, sehingga berperan penting dalam pengaturan suhu tubuh.5 2.1.2. Jumlah Air Tubuh Total Body Water (TBW) dapat ditentukan melalui beberapa perhitungan yang menerapkan teknik dilusi dengan menggunakan berbagai zat seperti deuterium, tritium dan antipirin. Cara tersebut yaitu dengan pengukuran cairan kompartemen tubuh berdasarkan perhitungan konsentrasi suatu zat tertentu yang terdistribusi dengan sendirinya di dalam kompartemen. Sementara pengukuran volume tubuh yang tidak mengandung zat tertentu, dilakukan dengan melakukan pengurangan, misalnya pada pengukuran ICF (intraseluler fluid) dan ISFV (interstitial fluid volume).3,4,5,6 Jumlah cairan tubuh total kurang lebih 55-60% dari berat badan (BB) dan persentase ini berhubungan dengan jumlah lemak tubuh, jenis kelamin dan umur. Pengaruh terbesar berhubungan dengan jumlah lemak tubuh. Kandungan air di dalam sel lemak lebih rendah dibandingkan kandungan air di dalam sel otot, sehingga persentase cairan total tubuh pada orang gemuk (obes) lebih rendah dari mereka yang tidak gemuk. Pada bayi dan anak, persentase cairan

tubuh total lebih besar dibanding dengan orang dewasa dan akan menurun sesuai dengan pertambahan usia. Pada bayi prematur jumlah cairan tubuh total sebesar 80% dari BB, sedangkan pada bayi normal 70%-75% dari BB, prapubertas 65-70% dari BB, dan pada orang dewasa sebesar 55-60% dari BB.3,5,6 Kadar lemak pada wanita umumnya lebih banyak dibanding pria, sehingga kadar air pada pria lebih besar daripada wanita. Makin tua seseorang, biasanya jumlah lemaknya meningkat sedangkan jumlah airnya makin berkurang. Kadar air tubuh total berdasarkan umur dapat dilihat pada tabel berikut : Usia Pria Wanita 10-18 59% 57% 18-40 61% 51% 40-60 55% 47% >60 52% 46% 7 Tabel 1. Persentase Cairan Tubuh Berdasarkan Usia Bila diperkirakan rata-rata orang dengan berat 70 kg, memiliki total cairan tubuh 60% BB, atau 42 liter merupakan air, yang tetap bergantung pada umur, jenis kelamin dan derajat obesitas, maka perhitungan cairan tubuh total menggunakan rumus :3,5 Jumlah total air tubuh (L) = BB (kg) x 60% Perhitungan ini hanya berlaku untuk individu dalam keadaan keseimbangan cairan tubuh normal. Untuk dewasa obes hasil perhitungan rumus dikurangi 10%, sedangkan untuk orang kurus ditambahkan 10%. Pada keadaan dehidrasi berat, cairan tubuh total berkurang sekitar 10%, maka pada keadaan dehidrasi berat cairan tubuh total dihitung dengan rumus : 3,5 Jumlah total air tubuh (L) = 0,9 x BB (Kg) x 60% Perhitungan tersebut di atas tidak dapat digunakan pada keadaan dijumpainya edema karena kemungkinan kesalahan sangat besar. Perubahan jumlah dan komposisi cairan tubuh, yang dapat terjadi pada perdarahan, luka bakar, dehidrasi, muntah, diare dan puasa preoperatif maupun

perioperatif, dapat menyebabkan gangguan fisiologis yang berat. Jika gangguan tersebut tidak dikoreksi secara adekuat sebelum tindakan anestesi dan bedah, maka resiko penderita menjadi lebih besar. 2.1.3. Kompartemen Cairan Tubuh Cairan tubuh terdapat dalam dua kompartemen besar, yaitu cairan intrasel (Intraceluler Fluid, ICF) dan cairan ekstrasel (Ekstraceluler Fluid, ECF).3,4,5,6 a. Kompartemen Cairan Intrasel (ICF) Cairan intrasel adalah cairan yang terdapat dalam sekitar 75 triliun sel tubuh. Volumenya lebih kurang 40% BB (60% TBW).1,2 Kandungan air intrasel lebih banyak dibanding ekstrasel. Persentase volume cairan intrasel pada anak lebih kecil dibandingkan orang dewasa karena jumlah sel lebih sedikit dan ukuran sel lebih kecil. Cairan intrasel berperan pada proses menghasilkan, menyimpan, dan penggunaan energi serta proses perbaikan sel. Selain itu, cairan intrasel juga berperan dalam proses replikasi dan berbagai fungsi khusus antara lain sebagai cadangan air untuk mempertahankan volume dan osmolalitas cairan ekstrasel.3,5 Kandungan elektrolit dalam cairan intrasel bervariasi. Kation utama adalah Kalium, sedangkan anion utama adalah fosfat dan protein. Ion K+, Mg2+, dan PO+42+ merupakan solute yang dominan untuk menimbulkan efek osmosis pada cairan intrasel. Ion K+ juga penting dalam biolistrik. Konsentrasi Ca2+ intrasel sangat rendah.3,6

Gambar 1. Kompartemen Cairan Tubuh8 b. Kompartemen Cairan Ekstrasel (ECF) Cairan ekstrasel adalah cairan yang terdapat di luar sel tubuh. Cairan ekstrasel terdiri dari : Cairan Interstitium atau cairan antar-sel yang berada diantara sel-sel, cairan intravaskuler yang berada dalam pembuluh darah yang merupakan bagian air dari plasma darah dan cairan trans-sel yang berada dalam rongga-rongga khusus, yaitu : cairan otak (liquor serebrospinal), bola mata, sendi, peritoneum dan perikardium yang jumlahnya relatif sedikit. Cairan transseluler seluruhnya berjumlah 1-2 liter.3,5 Jumlah seluruh cairan ekstrasel 20% BB (40% TBW) atau sekitar 14 liter pada orang dewasa normal dengan BB 70 kg. Dua kompartemen terbesar dari cairan ekstrasel adalah cairan interstitial, yang berjumlah lebih dari tiga perempat bagian cairan ekstrasel dan plasma, yang berjumlah hampir seperempat cairan ekstrasel, atau sekitar 3 liter. Plasma adalah bagian darah yang tak mengandung sel, plasma terus-menerus menukar zat dengan cairan interstisial melalui pori-pori membran kapiler. Pori-pori ini bersifat sangat permeabel untuk hampir semua zat terlarut dalam cairan ekstrasel, kecuali 5

protein. Oleh karena itu, cairan ekstrasel secara konstan terus tercampur, sehingga plasma dan cairan interstisial mempunyai komposisi yang hampir sama kecuali protein, yang konsentrasinya lebih tinggi di dalam plasma.3,5 Cairan ekstrasel berperan sebagai pengantar semua keperluan sel (nutrien, oksigen, berbagai ion, trace minerals dan regulator hormon/molekul) dan sebagai pengangkut CO2, sisa metabolisme, bahan toksik atau bahan yang telah mengalami detoksifikasi dari sekitar lingkungan sel.3,5 Kompisisi bahan yang terlarut dalam subkompartemen cairan ekstrasel (plasma dan cairan interstisium) ternyata berbeda. Hal tersebut disebabkan oleh pengaruh keseimbangan Gibbs-Donnan, kadarnya tinggi pada cairan interstisium, kecuali untuk ion Ca2+ dan Mg2+ karena ion ini banyak yang terikat pada protein plasma. Perbedaan yang nyata antara cairan ekstrasel dan intrasel adalah pada kationnya. Kation utama pada cairan ekstrasel adalah natrium (Na+) dan dalam cairan intrasel kalium (K+). Kation ekstrasel lainnya adalah kalium (K+), kalsium (Ca2+) dan magnesium (Mg2+). Untuk menjaga netralitas listrik, di dalam cairan ekstrasel terdapat anion klorida, bikarbonat, dan albumin. Natrium, kalium, klorida dan bikarbonat merupakan elektrolit penting karena kontribusinya sebagai daya osmotik untuk mempertahankan air dalam cairan ekstrasel. Natrium dan kalium mempengaruhi tekanan osmotik kristaloid cairan ekstrasel dan intrasel serta secara langsung berhubungan dengan fungsi sel dalam proses biolistrik.3,5 Konsentrasi natrium merupakan kontribusi utama dalam osmolalitas serum dan penentu utama tonisitas plasma. Jumlah natrium di dalam cairan ekstrasel merupakan hasil keseimbangan dua faktor, yaitu uptake natrium di saluran cerna dan ekskresi natrium di ginjal dan tempat lain. Natrium adalah komponen utama cairan ekstrasel karena selalu dipompa keluar sel oleh natrium-kalium ATPase.3,5

Extracellular Gram-Molecular Weight Sodium Potassium Calcium Magnesium Chloride Bicarbonate Phosphorus Protein (g/dL) 23.0 39.1 40.1 24.3 35.5 61.0 31.01 Intracellular (mEq/L) 10 140 <1 50 4 10 75 16 Intravascular (mEq/L) 145 4 3 2 105 24 2 7 Interstitial (mEq/L) 142 4 3 2 110 28 2 2

Tabel 2. Elektrolit Cairan Tubuh8 Komposisi bahan lain adalah non elektrolit yang merupakan zat seperti glukosa dan urea yang tidak terdisosiasi dalam cairan. Zat lainnya termasuk penting adalah kreatinin dan bilirubin.

Gambar 2.8 .

2.1.4. Volume Darah3

Darah mengandung cairan ekstrasel (cairan dalam plasma) dan cairan intrasel (cairan dalam sel darah merah). Akan tetapi, darah dianggap sebagai kompartemen cairan terpisah karena darah terkandung dalam ruangannya sendiri, yaitu sistem sirkulasi. Volume darah khususnya penting dalam dinamika sistem kardiovaskuler. Rata-rata darah orang dewasa adalah sekitar 7% BB atau sekitar 5 liter. Sekitar 60% darah berupa plasma dan 40% berupa sel darah merah, namun persentase ini dapat bervariasi pada masing-masing orang, bergantung pada jenis kelamin, berat badan dan faktor lainnya. Hematokrit (Packed Red Cell Volume) adalah fraksi darah yang terdiri atas sel darah merah, yang ditentukan melalui sentrifugasi darah dalam tabung hematokrit sampai sel-sel ini menjadi benar-benar mampat di bagian bawah tabung. Pada pria, nilai hematokrit yang terukur normalnya 0,40, dan pada wanita kira-kira 0,36. Penurunan nilai hematokrit terdapat pada anemia, sedangkan peningkatannya terjadi pada kasus polisitemia. 2.1.5. Keseimbangan Gibbs-Donnan Keseimbangan Gibbs-Donnan adalah keseimbangan antara cairan intra dan ekstrasel yang timbul akibat peran membran sel. Protein yang merupakan suatu molekul besar bermuatan negatif, bukan hanya ukuran molekulnya yang besar namun merupakan suatu partikel aktif yang berperan mempertahankan tekanan osmotik. Protein ini tidak dapat berpindah, ia mempengaruhi ion mempertahankan netralitas elektrolit (keseimbangan muatan positif dan negatif) sebanding dengan keseimbangan tekanan osmotik di kedua sisi membran. Pergerakan muatan ion akan menyebabkan perbedaan konsentrasi ion yang secara langsung mempengaruhi pergerakan cairan melalui membran ke dalam dan keluar sel.5 2.1.6. Solut

Terdapat dua jenis solut (zat terlarut) yaitu solut permeable dan impermeabel. Solut permeabel adalah solute di dalam tubuh yang bersifat inefektif dalam mempertahankan tekanan osmotik. Solut permeabel bebas melintasi seluruh membran sel, tidak efektif dalam mempertahankan tekanan osmotik dan tidak menyebabkan perpindahan air. Solut permeabel terdiri dari urea (blood urea nitrogen, BUN), etanol, methanol (zat toksik) dan etilen glikol. Urea yang solut permeabel, mudah melintasi membran sel, menyebar pada seluruh cairan tubuh. Solut impermeabel adalah zat terlarut atau solut di dalam tubuh yang bersifat efektif, tidak bebas melintasi membran sel (dari ekstraseluler ke intraseluler atau sebaliknya), namun efektif mempengaruhi tekanan osmotik dan dapat menyebabkan perpindahan air. Solut impermeabel intrasel adalah kalium, magnesium, fosfat, sulfat dan protein. Solut impermeabel ekstrasel adalah natrium dan anionnya (Cl, HCO3-), glukosa, manitol, gliserol, sorbitol.5 Urea dan glukosa merupakan komponen non-ionik osmolalitas plasma. Konsentrasi glukosa dan urea pada keadaan nonpatologik relatif stabil dan merupakan petunjuk (indeks) osmolalitas plasma. Dalam keadaan normal glukosa berdifusi ke dalam sel, sehingga tidak besar pengaruhnya pada tonisitas serum. Glukosa adalah osmol efektif, bila konsentrasi glukosa ekstrasel sangat tinggi dapat menimbulkan keadaaan hipertonisitas sehingga air intrasel bergerak keluar, masuk ke dalam kompartemen ekstrasel. Solut idiogenik adalah solut impermeabel instrasel yang merupakan molekul osmoprotektif intrasel yang dibentuk pada keadaan hipertonik. Pada keadaan hipernatremia, solut idiogeniknya adalah natrium, asam amino, taurin, glutamate dan sorbitol.3,5
2.1.7. Osmolalitas dan Osmolaritas3,5,6

Osmolalitas dan osmolaritas adalah jumlah solut permeabel ditambah solut impermeabel. Dalam keadaan normal, osmolalitas cairan intrasel sama dengan osmolalitas cairan ekstrasel. Osmolalitas seluruh kompartemen pada steady state sama yaitu 290 mOsm/KgH2O, walaupun konsentrasi partikel berbeda pada berbagai kompartemen.

Tonisitas atau osmolalitas plasma efektif adalah jumlah konsentrasi solut impermeabel. Tonisitas adalah kemampuan solut menghasilkan tekanan osmotik yang menyebabkan pergerakan air dari satu kompartemen ke kompartemen lain. Pengaturan tonisitas menentukan status hidrasi dan ukuran sel. Cairan (solution) dikatakan isotonik bila volume sel yang terdapat di dalam cairan itu dapat dipertahankan dalam keadaan normal. Cairan isotonik adalah cairan yang osmolalitasnya sama dengan plasma atau bersifat iso-osmoler. Terjadinya peningkatan tonisitas (hipertonisitas) cairan ekstrasel biasanya disebabkan oleh hipernatremia. Hipertonisitas merupakan stimulus utama rasa haus dan pelepasan ADH, rasa haus meningkatkan asupan air, ADH menyebabkan retensi air oleh ginjal. Sebaliknya pada hipotonisitas, ADH ditekan sehingga ekskresi air di ginjal meningkat. Seringkali disebabkan asupan air berlebihan. 2.1.8. Pergerakan Cairan Tubuh Pergerakan cairan tubuh (hidrodinamika) mencakup penyerapan air di dalam usus, masuk ke pembuluh darah, dan beredar ke seluruh tubuh. Pada pembuluh kapiler, air mengalami filtrasi ke ruang interstitium dan selanjutnya masuk ke dalam sel melalui proses difusi, sebaliknya air dari dalam sel keluar kembali ke ruang interstitium dan masuk ke pembuluh darah. Pergerakan air juga meliputi filtrasi air oleh ginjal (sebagian kecil dibuang melalui urin), ekskresi air ke saluran cerna sebagai liur pencernaan (umumnya diserap kembali), serta pergerakan air ke kulit dan saluran napas yang keluar sebagai keringat dan uap air. Pergerakan tersebut bergantung kepada tekanan hidrostatik dan tekanan osmotik.5 Tekanan hidrostatik adalah tekanan di pembuluh darah yang sangat ditentukan oleh tekanan darah. Tekanan ini semakin menurun ke arah perifer. Tekanan osmotik ada dua macam, yaitu tekanan osmotik kristaloid dan tekanan osmotik koloid (tekanan onkotik). Tekanan osmotik kristaloid adalah tekanan osmotik yang ditimbulkan oleh mineral dan ion mineral. Tekanan osmotik koloid (tekanan onkotik) adalah tekanan osmotik yang dihasilkan oleh molekul

10

koloid yang tidak dapat berdifusi, misalnya protein yang bersifat menarik air ke kapiler dan melawan tekanan filtrasi.5 Tekanan osmotik plasma darah adalah 285 5 mOsm/L. Larutan dengan tekanan osmotik kira-kira sama disebut isotonik (NaCl 0,96%, Dekstrosa 5%, Ringer-Laktat) lebih rendah disebut hipotonik (akuades) dan lebih tinggi disebut hipertonik.4 2.2. Patofisiologi 2,12 Trauma, pembedahan dan anestesi akan menimbulkan perubahan-perubahan pada keseimbangan air dan metabolisme yang dapat berlangsung sampai beberapa hari pasca trauma atau bedah. Perubahan-perubahan tersebut terutama sebagai akibat dari : - kerusakan sel di lokasi pembedahan - kehilangan dan perpindahan cairan baik lokal maupun umum - pengaruh puasa pra bedah, selama pembedahan dan pasca bedah - terjadi peningkatan metabolisme, kerusakan jaringan dan fase penyembuhan Perubahan yang terjadi meliputi perubahan-perubahan hormonal seperti: a. Kadar adrenalin dan non adrenalin meningkat sampai hari ketiga pasca bedah atau trauma. Sekresi hormon monoamin ini kebih meningkat lagi bila pada penderita tampak tanda-tanda sepsis, syok, hipoksia dan ketakutan. b. Kadar glukagon dalam plasma juga meningkat. c. Sekresi hormon dari kelenjar pituitaria anterior juga mengalami peningkatan yaitu growth hormone dan adrenocorticotropic hormone (ACTH). Trauma atau stres akan merangsang hipotalamus sehingga dikeluarkan corticotropin releasing factor yang merangsang kelenjar pituitaria anterior untuk mensekresi ACTH. Peningkatan kadar ACTH dalam sirkulasi menyebabkan glukokortikoid plasma meningkat sehingga timbul hiperglikemia, glikolisis dan peninggian kadar asam lemak. d. Kadar hormon antidiuretik (ADH) mengalami peningkatan yang berlangsung sampai hari ke 2-4 pasca bedah/trauma. Respon dari trauma ini

11

akan mengganggu pengaturan ADH yang dalam keadaan normal banyak dipengaruhi oleh osmolalitas cairan ekstraseluler. e. Akibat peningkatan ACTH, sekresi aldosteron juga meningkat. Setiap penurunan volume darah atau cairan ektraseluler selalu menimbulkan rangsangan untuk pelepasan aldosteron. f. Kadar prolaktin juga meninggi terutama pada wanita dibandingkan dengan laki-laki. Derajat perubahan-perubahan tersebut di atas sangat bervariasi bagi setiap individu tergantung dari beberapa faktor : - rasa sakit dan kualitas analgesi - rasa takut dan sedasi yang diberikan - komplikasi penyulit pada pasca bedah/trauma (syok, perdarahan, hipoksia atau sepsis) - keadaan umum penderita - berat dan luasnya trauma Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keseimbangan Cairan Gangguan dalam keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan hal yang umum terjadi pada pasien bedah karena kombinasi dari faktor-faktor preoperatif, perioperatif dan postoperatif.10 Faktor-faktor preoperatif :10 1. Kondisi yang telah ada Diabetes mellitus, penyakit hepar, atau insufisiensi renal dapat diperburuk oleh stres akibat operasi.

2. Prosedur diagnostik Arteriogram atau pyelogram intravena yang memerlukan marker intravena dapat menyebabkan ekskresi cairan dan elektrolit urin yang tidak normal karena efek diuresis osmotik.

12

3. Pemberian obat Pemberian obat seperti steroid dan diuretik dapat mempengaruhi eksresi air dan elektrolit. 4. Preparasi bedah Enema atau laksatif dapat menyebabkan peningkatan kehilangan air dan elekrolit dari traktus gastrointestinal. 5. Penanganan medis terhadap kondisi yang telah ada 6. Restriksi cairan preoperatif Selama periode 6 jam restriksi cairan, pasien dewasa yang sehat kehilangan cairan sekitar 300-500 mL. Kehilangan cairan dapat meningkat jika pasien menderita demam atau adanya kehilangan abnormal cairan. 7. Defisit cairan yang telah ada sebelumnya Harus dikoreksi sebelum operasi untuk meminimalkan efek dari anestesi. Faktor Perioperatif :10 1. Induksi anestesi Dapat menyebabkan terjadinya hipotensi pada pasien dengan hipovolemia preoperatif karena hilangnya mekanisme kompensasi seperti takikardia dan vasokonstriksi. 2. Kehilangan darah yang abnormal. 3. Kehilangan abnormal cairan ekstraselular ke third space (contohnya kehilangan cairan ekstraselular ke dinding dan lumen usus saat operasi) 4. Kehilangan cairan akibat evaporasi dari luka operasi (biasanya pada luka operasi yang besar dan prosedur operasi yang berkepanjangan. Faktor postoperatif :10 1. Stres akibat operasi dan nyeri pasca operasi 2. Peningkatan katabolisme jaringan 3. Penurunan volume sirkulasi yang efektif 4. Risiko atau adanya ileus postoperatif Gangguan cairan, elektrolit dan asam basa yang potensial terjadi perioperatif adalah :10

13

1. Hiperkalemia 2. Asidosis metabolik 3. Alkalosis metabolik 4. Asidosis respiratorik 5. Alkalosis repiratorik 2.3. Gangguan Kebutuhan Cairan dan Elektrolit 2.3.1. Gangguan keseimbangan air dan elektrolit Gangguan keseimbangan elektrolit umumnya berhubungan dengan ketidakseimbangan natrium dan kalium. Prinsip utama ketidakseimbangan tersebut adalah:
-

Pemasukan dan pengeluaran natrium yang tidak seimbang. Kelebihan natrium dalam darah akan meningkatkan tekanan osmotik dan menahan air lebih banyak sehingga tekanan darah meningkat

Ketidakseimbangan kalium jarang terjadi, namun jauh lebih berbahaya disbanding dengan ketidakseimbangan natrium. Kelebihan ion kalium darah akan menyebabkan gangguan berupa penurunan potensial transmembran sel. Pada pacemaker jantung menyebabkan peningkatan frekuensi dan pada otot jantung menurunkan kontraktilitas bahkan ketidakberdayaan otot (flaccid) dan dilatasi. Kekurangan ion kalium ini menyebabkan frekuensi denyut jantung melambat.5

a.

Gangguan keseimbangan air dan natrium Perubahan yang terjadi pada volume dan komposisi cairan tubuh serta osmolalitas akan menimbulkan empat gangguan dasar di dalam tubuh sebagai hipovolemia, edema, hiponatremia, dan hipernatremia. Jumlah natrium yang lebih tinggi dari normal (hipernatremia) menimbulkan

14

hiperosmolalitas cairan ekstrasel dan sebaliknya hiponatremia akan menimbulkan hipoosmolalitas.5

Gangguan volume a. Hipovolemia Hipovolemia adalah suatu keadaan dengan volume cairan tubuh berkurang, hal ini akan menyebabkan hipoperfusi jaringan. Hipovolemia dapat terjadi pada dua keadaan, yaitu deplesi volume dan dehidrasi.1

Deplesi volume Deplesi volume adalah keadaan dimana cairan ekstrasel

berkurang; kekuragan air dan natrium melalui saluran cerna seperti muntah dan diare, perdarahan atau melalui pipa nasogastrik. Hilangnya air dan natrium juga dapat melalui ginjal, misalnya penggunaan diuretik, diuresis osmotik, salt wasting nephropathy, hipoaldosteronisme), melalui kulit dan saluran nafas (misalnya insensible water losses, keringat, luka bakar), atau melalui sekuestrasi cairan (misalnya pada obstruksi usus, trauma, fraktur dan pankreatitis akut).5 Dehidrasi

Dehidrasi sering dikategorikan sesuai dengan kadar konsentrasi serum dari natrium menjadi isonatremik (130-150 mEq/L), hiponatremik (<139 mEq/L) atau hipernatremik (>150 mEq/L). Dehidrasi isonatremik merupakan yang paling sering terjadi (80%), sedangkan dehidrasi hipernatremik atau hiponatremik sekitar 5-10% dari kasus. Dehidrasi Isotonis (isonatremik) terjadi ketika kehilangan 15

cairan hampir sama dengan konsentrasi natrium terhadap darah. Kehilangan cairan dan natrium besarnya relatif sama dalam kompartemen intravaskular maupun kompartemen ekstravaskular.1,9 Dehidrasi hipotonis (hiponatremik) terjadi ketika kehilangan cairan dengan kandungan natrium lebih banyak dari darah (kehilangan cairan hipertonis). Secara garis besar terjadi kehilangan natrium yang lebih banyak dibandingkan air yang hilang. Karena kadar natrium serum rendah, air di kompartemen intravaskular berpindah ke kompartemen ekstravaskular, sehingga menyebabkan penurunan volume intravaskular. Dehidrasi hipertonis (hipernatremik) terjadi ketika kehilangan cairan dengan kandungan natrium lebih sedikit dari darah (kehilangan cairan hipotonis). Secara garis besar terjadi kehilangan air yang lebih banyak dibandingkan natrium yang hilang. Karena kadar natrium tinggi, air di kompartemen ekstraskular berpindah ke kompartemen intravaskular, sehingga meminimalkan penurunan volume intravaskular.10,11

16

Tabel 3.

Terapi cairan parenteral diperlukan untuk mengganti defisit cairan saat puasa sebelum dan sesudah pembedahan, mengganti kebutuhan rutin saat pembedahan, mengganti perdarahan yang sedang berlangsung, dan mengganti third space loss (ke rongga peritoneum, ke luar tubuh). b. Euvolemia (normovolemia) Meski dikatakan euvolemia, kondisi ini menjelaskan kadar natrium yang normal disertai peningkatan jumlah air tubuh. Kondisi seperti ini dijumpai pada keadaan:5

17

o o

sekresi ADH berkurang sekresi ADH meningkat

c. Hipervolemia Hipervolemia adalah suatu keadaan dimana terjadi peningkatan volume cairan ekstrasel khususnya intravascular melebihi kemampuan tubuh mengeluarkan air melaui ginjal, saluran cerna dan kulit.5 a. Edema Edema adalah suatu keadaan akumulasi cairan di jaringan interstisium secara berlebihan akibat penambahan volume yang melebihi kapasitas penyerapan pembuluh limfe. Edema juga merupakan refleksi dari kelebihan natrium dan hipervolemia. Menurut lokasi edema dapat dibagi: o Edema generalisata disebabkan oleh penurunan tekanan osmotic koloid pada hipoproteinemia
o Edema lokal disebabkan oleh kerusakan kapiler, konstriksi

sirkulasi (vena regional) atau sumbatan drainase limfatik.5

Gangguan Status Natrium Hiponatremia Jika < 120 mg/L maka akan timbul gejala disorientasi, gangguan mental, letargi, iritabilitas, lemah dan henti pernafasan, sedangkan jika kadar < 110 mg/L maka akan timbul gejala kejang, koma. Hiponatremia ini dapat disebabkan oleh euvolemia (SIADH, 18

a.

polidipsi psikogenik), hipovolemia (disfungsi tubuli ginjal, diare, muntah, third space losses, diuretika), hipervolemia (sirosis, nefrosis). Keadaan ini dapat diterapi dengan restriksi cairan (Na+ 125 mg/L) atau NaCl 3% sebanyak (140-X)xBBx0,6 mg dan untuk pediatrik 1,5-2,5 mg/kg. Koreksi hiponatremia yang sudah berlangsung lama dilakukan secara perlahan-lahan, sedangkan untuk hiponatremia akut lebih agresif. Untuk menghitung Na serum yang dibutuhkan dapat menggunakan rumus : 11 Na= Na1 Na0 x TBW Keterangan : Na = Jumlah Na yang diperlukan untuk koreksi (mEq) Na1 = 125 mEq/L atau Na serum yang diinginkan Na0 = Na serum yang aktual TBW = total body water = 0,6 x BB (kg) b. Hipernatremia Jika kadar natrium > 160 mg/L maka akan timbul gejala berupa perubahan mental, letargi, kejang, koma, lemah. Hipernatremi dapat disebabkan oleh kehilangan cairan (diare, muntah, diuresis, diabetes insipidus, keringat berlebihan), asupan air kurang, asupan natrium berlebihan. Terapi keadaan ini adalah penggantian cairan dengan 5% dekstrose dalam air sebanyak {(X-140) x BB x 0,6}: 140. 11

b. Gangguan Keseimbangan Kalium 1. Hipokalemia Jika kadar kalium < 3 mEq/L. Dapat terjadi akibat dari redistribusi akut kalium dari cairan ekstraselular ke intraselular atau dari pengurangan kronis kadar total kalium tubuh. Tanda dan gejala hipokalemia dapat berupa disritmik jantung, perubahan EKG (QRS 19

segmen melebar, ST segmen depresi, hipotensi postural, kelemahan otot skeletal, poliuria, intoleransi glukosa. Terapi hipokalemia dapat berupa koreksi faktor presipitasi (alkalosis, hipomagnesemia, obat-obatan), infus potasium klorida sampai 10 mEq/jam (untuk mild hipokalemia ;>2 mEq/L) atau infus potasium klorida sampai 40 mEq/jam dengan monitoring oleh EKG (untuk hipokalemia berat;<2mEq/L disertai perubahan EKG, kelemahan otot yang hebat). Rumus untuk menghitung defisit kalium: K = K1 K0 x 0,25 x BB K = kalium yang dibutuhkan K1 = serum kalium yang diinginkan K0 = serum kalium yang terukur BB = berat badan (kg) 2. Hiperkalemia Terjadi jika kadar kalium > 5 mEq/L, sering terjadi karena insufisiensi renal atau obat yang membatasi ekskresi kalium (NSAIDs, ACE-inhibitor, siklosporin, diuretik). Tanda dan gejalanya terutama melibatkan susunan saraf pusat (parestesia, kelemahan otot) dan sistem kardiovaskular (disritmik, perubahan EKG). Terapi untuk hiperkalemia dapat berupa intravena kalsium klorida 10% dalam 10 menit, sodium bikarbonat 50-100 mEq dalam 5-10 menit, atau diuretik, hemodialisis.11

2.3.2. Gangguan Keseimbangan Asam Basa

a. Gangguan keseimbangan asam basa respiratorik


o Asidosis respiratorik (pH< 3,75 dan PaCO2> 45 mmHg)

20

Kondisi ini berhubungan dengan retensi CO2 secara sekunder untuk menurunkan ventilasi alveolar pada pasien bedah. Kejadian akut merupakan akibat dari ventilasi yang tidak adekuat termasuk obstruksi jalan nafas, atelektasis, pneumonia, efusi pleura, nyeri dari insisi abdomen atas, distensi abdomen dan penggunaan narkose yang berlebihan. Manajemennya melibatkan koreksi yang adekuat dari defek pulmonal, intubasi endotrakeal, dan ventilasi mekanis bila perlu. Perhatian yang ketat terhadap higiene trakeobronkial saat post operatif adalah sangat penting.

o Alkalosis respiratorik (pH> 7,45 dan PaCO2 < 35 mmHg) Kondisi ini disebabkan ketakutan, nyeri, hipoksia, cedera SSP, dan ventilasi yang dibantu. Pada fase akut, konsentrasi bikarbonat serum normal, dan alkalosis terjadi sebagai hasil dari penurunan PaCO2 yang cepat. Terapi ditujukan untuk mengkoreksi masalah yang mendasari termasuk sedasi yang sesuai, analgesia, penggunaan yang tepat dari ventilator mekanik, dan koreksi defisit potasium yang terjadi.

b.

Gangguan keseimbangan asam basa metabolik o Asidosis metabolik (pH<7,35 dan bikarbonat <21 mEq/L) Kondisi ini disebabkan oleh retensi atau penambahan asam atau kehilangan bikarbonat. Penyebab yang paling umum termasuk gagal ginjal, diare, fistula usus kecil, diabetik ketoasidosis, dan asidosis laktat. Kompensasi awal yang terjadi adalah peningkatan ventilasi dan depresi PaCO2. Penyebab paling umum adalah syok, diabetik ketoasidosis, kelaparan, aspirin yang berlebihan dan

21

keracunan metanol. Terapi sebaiknya ditujukan terhadap koreksi kelainan yang mendasari. Terapi bikarbonat hanya diperuntukkan bagi penanganan asidosis berat dan hanya setelah kompensasi alkalosis respirasi digunakan.

o Alkalosis metabolik (pH>7,45 dan bikarbonat >27 mEq/L) Kelainan ini merupakan akibat dari kehilangan asam atau penambahan bikarbonat dan diperburuk oleh hipokalemia. Masalah yang umum terjadi pada pasien bedah adalah hipokloremik, hipokalemik akibat defisit volume ekstraselular. Terapi yang digunakan adalah sodium klorida isotonik dan penggantian kekurangan potasium. Koreksi alkalosis harus gradual selama perode 24 jam dengan pengukuran pH, PaCO2 dan serum elektrolit yang sering.11

2.4. Terapi Cairan Terapi cairan merupakan salah satu aspek terpenting dari perawatan pasien. Pemilihan cairan sebaiknya berdasarkan atas status hidrasi pasien, konsentrasi elektrolit dan kelainan metabolik yang ada. Secara sederhana tujuan terapi cairan dibagi atas resusitasi atau pengganti yaitu untuk mengganti kehilangan cairan akut dan rumatan untuk mengganti kehilangan harian. Terapi cairan ialah tindakan untuk memelihara, mengganti cairan tubuh dalam batas-batas fisiologis dengan cairan infus kristaloid (elektrolit) atau koloid (plasma ekspander) secara intravena. Terapi cairan berfungsi untuk mengganti defisit cairan saat puasa sebelum dan sesudah pembedahan, mengganti kebutuhan rutin saat pembedahan, mengganti perdarahan yang terjadi, dan mengganti cairan yang pindah ke rongga ketiga. Pemilihan cairan sebaiknya didasarkan atas status hidrasi pasien, konsentrasi elektrolit, dan kelainan metabolik yang ada. Berbagai larutan parenteral

22

telah dikembangkan menurut kebutuhan fisiologis berbagai kondisi medis. Terapi cairan intravena atau infus merupakan salah satu aspek terpenting yang menentukan dalam penanganan dan perawatan pasien. Terapi awal pasien hipotensif adalah cairan resusitasi dengan memakai 2 liter larutan isotonis Ringer Laktat. Namun, Ringer Laktat tidak selalu merupakan cairan terbaik untuk resusitasi. Resusitasi cairan yang adekuat dapat menormalisasikan tekanan darah pada pasien kombustio 1824 jam sesudah cedera luka bakar. Larutan parenteral pada syok hipovolemik diklasifikasi berupa cairan kristaloid, koloid, dan darah. Cairan kristaloid cukup baik untuk terapi syok hipovolemik. Keuntungan cairan kristaloid antara lain mudah tersedia, murah, mudah dipakai, tidak menyebabkan reaksi alergi, dan sedikit efek samping. Kelebihan cairan kristaloid pada pemberian dapat berlanjut dengan edema seluruh tubuh sehingga pemakaian berlebih perlu dicegah. Larutan NaCl isotonis dianjurkan untuk penanganan awal syok hipovolemik dengan hiponatremik, hipokhloremia atau alkalosis metabolik. Larutan RL adalah larutan isotonis yang paling mirip dengan cairan ekstraseluler. RL dapat diberikan dengan aman dalam jumlah besar kepada pasien dengan kondisi seperti hipovolemia dengan asidosis metabolik, kombustio, dan sindroma syok. NaCl 0,45% dalam larutan Dextrose 5% digunakan sebagai cairan sementara untuk mengganti kehilangan cairan insensibel. Ringer asetat memiliki profil serupa dengan Ringer Laktat. Tempat metabolisme laktat terutama adalah hati dan sebagian kecil pada ginjal, sedangkan asetat dimetabolisme pada hampir seluruh jaringan tubuh dengan otot sebagai tempat terpenting. Penggunaan Ringer Asetat sebagai cairan resusitasi patut diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi hati berat seperti sirosis hati dan asidosis laktat. Adanya laktat dalam larutan Ringer Laktat membahayakan pasien sakit berat karena dikonversi dalam hati menjadi bikarbonat. Secara sederhana, tujuan dari terapi cairan dibagi atas resusitasi untuk mengganti kehilangan cairan akut dan rumatan untuk mengganti kebutuhan harian

23

a)

Terapi cairan resusitasi

Terapi cairan resusitasi ditujukan untuk menggantikan kehilangan akut cairan tubuh atau ekspansi cepat dari cairan intravaskuler untuk memperbaiki perfusi jaringan. Misalnya pada keadaan syok dan luka bakar. Terapi cairan resusitasi dapat dilakukan dengan pemberian infus Normal Saline (NS), Ringer Asetat (RA), atau Ringer laktat (RL) sebanyak 20 ml/kg selama 30-60 menit. Pada syok hemoragik bisa diberikan 2-3 L dalam 10 menit. b) Terapi rumatan

Terapi rumatan bertujuan memelihara keseimbangan cairan tubuh dan nutrisi. Orang dewasa rata-rata membutuhkan cairan 30-35 ml/kgBB/hari dan elektrolit utama Na+=1-2 mmol/kgBB/haridan K+= 1mmol/kgBB/hari. Kebutuhan tersebut merupakan pengganti cairan yang hilang akibat pembentukan urine, sekresi gastrointestinal, keringat (lewat kulit) dan pengeluaran lewat paru atau dikenal dengan insensible water losses. Untuk anak digunakan rumus Holiday Segar 4:2:1, yaitu :

Terapi rumatan dapat diberikan infus cairan elektrolit dengan kandungan karbohidrat atau infus yang hanya mengandung karbohidrat saja. Larutan elektrolit yang juga mengandung karbohidrat adalah larutan KA-EN, dextran + saline, DGAA, Ringer's dextrose, dll. Sedangkan larutan rumatan yang mengandung hanya karbohidrat adalah dextrose 5%. Tetapi cairan tanpa elektrolit cepat keluar dari sirkulasi dan mengisi ruang antar sel sehingga dextrose tidak berperan dalam hipovolemik. Dalam terapi rumatan cairan keseimbangan kalium perlu diperhatikan karena seperti sudah dijelaskan kadar berlebihan atau kekurangan dapat 24

menimbulkan efek samping yang berbahaya. Umumnya infus konvensional RL atau NS tidak mampu mensuplai kalium sesuai kebutuhan harian. Infus KA-EN dapat mensuplai kalium sesuai kebutuhan harian. Pada pembedahan akan menyebabkan cairan pindah ke ruang ketiga, ke ruang peritoneum, ke luar tubuh. Untuk menggantinya tergantung besar kecilnya pembedahan, yaitu : 6-8 ml/kg untuk bedah besar 4-6 ml/kg untuk bedah sedang 2-4 ml/kg untuk bedah kecil

1. Dasar-dasar Terapi Cairan Elektrolit Perioperatif 2,11,12 Ada beberapa faktor yang harus diperhatikan dan menjadi pegangan dalam pemberian cairan perioperatif, yaitu : a. Kebutuhan normal cairan dan elektrolit harian Orang dewasa rata-rata membutuhkan cairan 30-35 ml/kgBB/hari dan elektrolit utama Na+=1-2 mmol/kgBB/hari dan K+= 1mmol/kgBB/hari. Kebutuhan tersebut merupakan pengganti cairan yang hilang akibat pembentukan urine, sekresi gastrointestinal, keringat (lewat kulit) dan pengeluaran lewat paru atau dikenal dengan insensible water losses. Cairan yang hilang ini pada umumnya bersifat hipotonus (air lebih banyak dibandingkan elektrolit). b. Defisit cairan dan elektrolit pra-bedah Hal ini dapat timbul akibat dipuasakannya penderita terutama pada penderita bedah elektif (sektar 6-12 jam), kehilangan cairan abnormal yang seringkali menyertai penyakit bedahnya (perdarahan, muntah, diare, diuresis berlebihan, translokasi cairan pada penderita dengan trauma), kemungkinan meningkatnya insensible water loss akibat hiperventilasi, demam dan berkeringat banyak. Sebaiknya kehilangan cairan pra bedah ini harus segera diganti sebelum dilakukan pembedahan.

25

c.

Kehilangan cairan saat pembedahan 1. Perdarahan Secara teoritis perdarahan dapat diukur dari : Botol penampung darah yang disambung dengan Dengan cara menimbang kasa yang digunakan pipa penghisap darah (suction pump) sebelum dan setelah pembedahan. Kasa yang penuh darah (ukuran 4x4 cm) mengandung 10 ml darah, sedangkan tampon besar (laparatomy pads) dapat menyerap darah 100-10 ml. Dalam prakteknya jumlah perdarahan selama pembedahan hanya bisa ditentukan berdasarkan kepada taksiran (perlu pengalaman banyak) dan keadaan klinis penderita yang kadang-kadang dibantu dengan pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit berulang-ulang (serial). Pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit lebih menunjukkan rasio plasma terhadap eritrosit daripada jumlah perdarahan. Kesulitan penaksiran akan bertambah bila pada luka operasi digunakan cairan pembilas (irigasi) dan banyaknya darah yang mengenai kain penutup, meja operasi dan lantai kamar bedah.

d. Kehilangan cairan lainnya Pada setiap pembedahan selalu terjadi kehilangan cairan yang lebih menonjol dibandingkan perdarahan sebagai akibat adanya evaporasi dan translokasi cairan internal. Kehilangan cairan akibat penguapan (evaporasi) akan lebih banyak pada pembedahan dengan luka pembedahan yang luas dan lama. Sedangkan perpindahan cairan atau lebih dikenal istilah perpindahan ke ruang ketiga atau sequestrasi secara masif dapat berakibat terjadi defisit cairan intravaskuler. Jaringan yang mengalami trauma, inflamasi atau infeksi dapat mengakibatkan sekuestrasi sejumlah cairan interstitial dan perpindahan cairan ke ruangan serosa (ascites) atau ke lumen usus. Akibatnya jumlah cairan ion fungsional dalam ruang ekstraseluler meningkat. Pergeseran cairan yang terjadi tidak dapat dicegah dengan cara membatasi cairan dan dapat merugikan secara fungsional 26

cairan dalam kompartemen ekstraseluler dan juga dapat merugikan fungsional cairan dalam ruang ekstraseluler. e. Gangguan fungsi ginjal Trauma, pembedahan dan anestesia dapat mengakibatkan: Filtration Rate) menurun. Reabsorbsi Na+ di tubulus meningkat yang Meningkatnya kadar hormon anti diuretik (ADH) sebagian disebabkan oleh meningkatnya kadar aldosteron. menyebabkan terjadinya retensi air dan reabsorpsi Na+ di duktus koligentes (collecting tubules) meningkat. Ginjal tidak mampu mengekskresikan free water atau untuk menghasilkan urin hipotonis. a. Penggantian Defisit Prabedah2,11,12 Defisit cairan karena persiapan pembedahan dan anestesi (puasa, lavement) harus diperhitungkan dan sedapat mungkin segera diganti pada masa pra-bedah sebelum induksi. Setelah dari sisa defisit yang masih ada diberikan pada jam pertama pembedahan, sedangkan sisanya diberikan pada jam kedua berikutnya. Kehilangan cairan di ruang ECF ini cukup diganti dengan ciran hipotonis seperti garam fisiologis, Ringer Laktat dan Dextrose. Pada penderita yang karena penyakitnya tidak mendapat nutrisi yang cukup maka sebaiknya diberikan nutrisi enteral atau parenteral lebih dini lagi. Penderita dewasa yang dipuasakan karena akan mengalami pembedahan (elektif) harus mendapatkan penggantian cairan sebanyak 2 ml/kgBB/jam lama puasa. Defisit karena perdarahan atau kehilangan cairan (hipovolemik, dehidrasi) yang seringkali menyertai penyulit bedahnya harus segera diganti dengan melakukan resusitasi cairan atau rehidrasi sebelum induksi anestesi. b. Terapi cairan selama pembedahan2,11,12 27 Laju Filtrasi Glomerular (GFR = Glomerular

Jumlah penggantian cairan selama pembedahan dihitung berdasarkan kebutuhan dasar ditambah dengan kehilangan cairan akibat pembedahan (perdarahan, translokasi cairan dan penguapan atau evaporasi). Jenis cairan yang diberikan tergantung kepada prosedur pembedahannya dan jumlah darah yang hilang. 1. Pembedahan yang tergolong kecil dan tidak terlalu traumatis misalnya bedah mata (ekstrasi, katarak) cukup hanya diberikan cairan rumatan saja selama pembedahan. 2. Pembedahan dengan trauma ringan misalnya: appendektomi dapat diberikan cairan sebanyak 2 ml/kgBB/jam untuk kebutuhan dasar ditambah 4 ml/kgBB/jam untuk pengganti akibat trauma pembedahan. Total yang diberikan adalah 6 ml/kgBB/jam berupa cairan garam seimbang seperti Ringer Laktat atau Normosol-R. 3. Pembedahan dengan trauma sedang diberikan cairan sebanyak 2 ml/kgBB/jam untuk kebutuhan dasar ditambah 8 ml/kgBB/jam untuk pembedahannya. Total 10 ml/kgBB/jam.

Tabel 5.

4. Penggantian darah yang hilang

28

Kehilangan darah sampai sekitar 20% EBV (EBV = Estimated Blood Volume = taksiran volume darah), akan menimbulkan gejala hipotensi, takikardi dan penurunan tekanan vena sentral. Kompensasi tubuh ini akan menurun pada seseorang yang akan mengalami pembiusan (anestesi) sehingga gejala-gejala tersebut seringkali tidak begitu tampak karena depresi komponen vasoaktif.
Tabel 6.

Walaupun volume cairan intravaskuler dapat dipertahankan dengan larutan kristaloid, pemberian transfusi darah tetap harus menjadi bahan pertimbangan berdasarkan: a. Keadaan umum penderita (kadar Hb dan hematokrit) sebelum pembedahan b. Jumlah/penaksiran perdarahan yang terjadi c. Sumber perdarahan yang telah teratasi atau belum. d. Keadaan hemodinamik (tensi dan nadi) e. Jumlah cairan kristaloid dan koloid yang telah diberikan f. Kalau mungkin hasil serial pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit. g. Usia penderita Sebagai patokan kasar dalam pemberian transfusi darah: - 1 unit sel darah merah (PRC = Packed Red Cell) dapat menaikkan kadar hemoglobin sebesar 1gr% dan hematokrit 2-3% pada dewasa.

29

- Transfusi 10 cc/kgBB sel darah merah dapat menaikkan kadar hemoglobin 3gr%. Monitor organ-organ vital dan diuresis, berikan cairan secukupnya sehingga diuresis 1 ml/kgBB/jam. c. Terapi cairan dan elektrolit pascabedah2,11,12 Terapi cairan pasca bedah ditujukan terutama pada hal-hal di bawah ini: 1. Pemenuhan kebutuhan dasar/harian air, elektrolit dan kalori/nutrisi. Kebutuhan air untuk penderita di daerah tropis dalam keadaan basal sekitar 50 ml/kgBB/24 jam. Pada hari pertama pasca bedah tidak dianjurkan pemberian kalium karena adanya pelepasan kalium dari sel/jaringan yang rusak, proses katabolisme dan transfusi darah. Akibat stress pembedahan, akan dilepaskan aldosteron dan ADH yang cenderung menimbulkan retensi air dan natrium. Oleh sebab itu, pada 2-3 hari pasca bedah tidak perlu pemberian natrium. Penderita dengan keadaan umum baik dan trauma pembedahan minimum, pemberian karbohidrat 100-150 mg/hari cukup memadai untuk memenuhi kebutuhan kalori dan dapat menekan pemecahan protein sampai 50% kadar albumin harus dipertahankan melebihi 3,5 gr%. Penggantian cairan pasca bedah cukup dengan cairan hipotonis dan bila perlu larutan garam isotonis. Terapi cairan ini berlangsung sampai penderita dapat minum dan makan. 2. Mengganti kehilangan cairan pada masa pasca bedah: - Akibat demam, kebutuhan cairan meningkat sekitar 15% setiap kenaikan 1C suhu tubuh - Adanya pengeluaran cairan lambung melalui sonde lambung atau muntah. - Penderita dengan hiperventilasi atau pernapasan melalui trakeostomi dan humidifikasi. 3. Melanjutkan penggantian defisit cairan pembedahan dan selama pembedahan yang belum selesai. Bila kadar hemoglobin kurang dari 10 gr %, sebaiknya diberikan transfusi darah untuk memperbaiki daya angkut oksigen.

30

4. Koreksi terhadap gangguan keseimbangan yang disebabkan terapi cairan tersebut. Monitoring organ-organ vital dilanjutkan secara seksama meliputi tekanan darah, frekuensi nadi, diuresis, tingkat kesadaran, diameter pupil, jalan nafas, frekuensi nafas, suhu tubuh dan warna kulit. 2. Pemilihan jenis cairan2,11,12 Terapi cairan intravena meliputi infus kristaloid, koloid, atau kombinasi keduanya. Larutan kristaloid adalah larutan aquos dengan berat molekul rendah, dengan atau tanpa glukosa, sementara larutan koloid terdiri dari substansi dengan berat molekul besar seperti protein atau polimer glukosa besar. Larutan koloid mempertahankan tekanan onkotik koloid plasma dan sebagian besar berada dalam intravaskular, sementara larutan kristaloid dengan cepat diseimbangkan dan didistribusikan di seluruh kompartemen cairan ekstraselular. Penggunaan cairan kristaloid dan koloid pada pasien bedah masih kontroversi. Para ahli yang setuju terhadap penggunaan koloid berpendapat bahwa dengan mempertahankan tekanan onkotik plasma, koloid lebih efektif menyeimbangkan volume intravaskular yang normal dan cardiac output. Pendapat lain mengatakan bahwa larutan kristaloid dapat sama efektifnya dengan pemberian pada jumlah yang cukup. Dan berpendapat bahwa koloid dapat menyebabkan edema paru karena meningkatnya permeabilitas kapiler paru yang diakibatkan oleh tekanan onkotik interstitial paru paralel dengan tekanan onkotik pada plasma. Namun dapat diambil kesimpulan bahwa: 1. Kristaloid sama efektifnya dengan koloid untuk mengembalikan volume intravaskular bila diberikan dengan jumlah yang cukup. 2. Penggantian kehilangan cairan intravaskular dengan menggunakan sejumlah cairan koloid setara dengan tiga sampai empat kali jumlah cairan kristaloid. 3. Pasien yang menjalani operasi biasanya mengalami jumlah kehilangan cairan extraselular yang melebihi kehilangan cairan di intravaskular. 4. Kehilangan cairan intravaskular yang berat dapat diatasi dengan cepat dengan menggunakan cairan koloid.

31

5. Pemberian kristaloid yang cepat dalam jumlah yang banyak (>4-5L) dapat menyebabkan edema jaringan. Beberapa kejadian, namun belum terbukti, bahwa edema jaringan dapat mengganggu transport oksigen, penyembuhan luka, dan mengganggu pengembalian fungsi saluran cerna pada bedah mayor. Berdasarkan fungsinya, cairan dapat dikelompokkan menjadi : 1. Cairan pemeliharaan, ditujukan untuk mengganti air yang hilang lewat urin, tinja, paru, dan kulit (mengganti puasa). Cairan yang diberikan adalah cairan hipotonik, seperti D5, NaCl 0,45%, atau D5 W. 2. Cairan pengganti, ditujukan untuk mengganti kehilangan air tubuh akibat sequestrasi atau proses patologi lain, seperti fistula, efusi pleura, ascites, drainase lambung. Cairan yang diberikan bersifat isotonik, seperti RL, NaCL 0,9%, D5RL, D5NaCl. 3. Cairan khusus, ditujukan untuk keadaan khusus, misalnya asidosis. Cairan yang digunakan seperti natrium bikarbonat, NaCl 3%. Berdasarkan berat molekul, cairan dapat dikelompokkan menjadi : a. Cairan kristaloid Larutan kristaloid adalah larutan air dengan elektrolit dan atau dekstrosa, tidak mengandung molekul besar (BM < 8000 Dalton). Kristaloid dalam waktu singkat sebagian besar akan keluar dari intravaskular, sehingga volume yang diberikan harus lebih banyak 2,5-4 kali dari volume darah yang hilang. Kristaloid mempunyai waktu paruh intravaskular 20-30 menit. Ekspansi cairan dari ruang intravaskuler ke interstital berlangsung selama 30-60 menit sesudah infus dan akan keluar dalam 2448 jam sebagai urine. Secara umum kristaloid digunakan untuk meningkatkan volume ekstrasel dengan atau tanpa peningkatan volume intrasel. Kristaloid harus dipertimbangkan sebagai resusitasi cairan yang diberikan pertama kali pada pasien dengan shock hemorrhagic dan septic, pasien dengan luka bakar, pasien dengan cedera kepala untuk mempertahankan tekanan perfusi cerebral, dan pada pasien yang sedang menjalani plasmapheresis dan reseksi hepar. Bila 3-4 L kristaloid telah diberikan namun respon hemodinamiknya masih belum

32

cukup maka koloid dapat diberikan. Terdapat berbagai macam jenis cairan kristaloid yang tersedia (lihat tabel). Pemberian cairan disesuaikan dengan jenis cairan tubuh yang hilang. Bila kehilangan cairan secara primer adalah air, makan cairan penggantinya adalah cairan hipotonis, disebut juga sebagai cairan pemeliharaan. Bila kehilangan cairan meliputi air dan elektrolit, maka pemberian cairan pengganti berupa cairan elektrolit yang isotonis, disebut juga sebagai cairan pengganti. Glukosa terdapat pada beberapa jenis cairan yang ditujukan untuk mempertahankan tonisitas atau untuk mencegah terjadinya ketosis dan hipoglikemia karena pasien diminta untuk berpuasa sebelum operasi. Hipoglikemia terjadi secara cepat pada anak-anak yang berpuasa 4 sampai 8 jam dan hipoglikemia lebih cepat terjadi pada wanita dibanding pria dengan berpuasa lebih dari 24 jam. Cairan pengganti lebih banyak digunakan karena cairan yang hilang pada intraoperatif lebih banyak bersifat isotonis. Cairan yang biasa digunakan adalah Ringer lactat. Meski RL sedikit hipotonis, mengandung 100mL air bebas per liter dan cenderung untuk menurunkan natrium sampai 130 mEq/L, namun RL menimbulkan efek yang sedikit pada komposisi cairan ekstraselular dan merupakan cairan yang paling fisiologis bila dibutuhkan dalam volume yang banyak. Laktat yang terdapat pada RL akan diubah oleh hati menjadi bikarbonat. Bila diberikan dengan volume yang banyak, NS akan menyebabkan asidosis hiperkloremik karena NS mengandung natrium dan khlor yang tinggi (154 mEq/L): konsentrasi plasma bikarbonat menurun seiring dengan peningkatan konsentrasi khlor. NS lebih dipilih pada keadaan alkalosis metabolik hipokloremik dan untuk mencairkan packed-red blood cells sebelum transfusi. Dekstrosa 5% dalam air (D5W) digunakan sebagai pengganti pada kekurangan air dan sebagai cairan pemeliharaan pada pasien dengan pembatasan natrium. Cairan hipertonik 3% Saline diberikan sebagai terapi simptomatik hiponatremia yang berat. Cairan saline 3-7.5% diberikan sebagai resusitasi pada pasien dengan shock hipovolemik.

33

Tabel 7.

b. Koloid Aktivitas osmotik pada zat dengan berat molekul yang tinggi pada cairan koloid cenderung untuk mempertahankan cairan ini pada komponen intravaskular. Meski waktu paruh cairan kristaloid di intravaskular adalah 20-30 menit, tetapi waktu paruh cairan koloid di intravaskular dapat mencapai 3 sampai 6 jam. Harga dan komplikasi yang sering terjadi pada pemakai koloid membuatnya jarang digunakan. Indikasi umum yang diterima untuk pemakaian cairan koloid yaitu: (1) resusitasi cairan pada pasien dengan kekurangan cairan intravaskular yang berat (contoh: shock hemorrhagic) sebelum adanya transfusi darah yang tersedia, dan (2) resusitasi cairan pada keadaan hipoalbuminemia yang berat atau pada kondisi yang menyebabkan hilangnya protein dalam jumlah yang besar seperti pada kasus luka bakar. Pada pasien luka bakar, pemberian cairan koloid dapat juga dipertimbangkan bila luas luka bakar melebihi 30% dari permukaan tubuh atau bila telah diberikan 3-4L cairan kristaloid lebih dari 18-24 jam setelah terjadinya luka bakar. Banyak klinisi juga memberikan cairan koloid berbarengan dengan cairan kristaloid ketika dibutuhkan cairan pengganti sebanyak 3-4L sebelum dilakukan

34

transfusi. Perlu diperhatikan bahwa cairan ini tersedia dalam normal saline (Cl-145154 mEq/L) dan dapat menyebabkan asidosis metabolik hiperkloremik. Beberapa cairan koloid yang ada merupakan berasal baik dari protein plasma maupun polimer sintetik glukosa dan dimasukkan dalam cairan elektrolit isotonis. Cairan koloid yang berasal dari darah berupa albumin (cairan 5% dan 25%) dan fraksi plasma protein (5%). Keduanya dipanaskan pada suhu 600C minimal selama 10 jam untuk mengurangi resiko penyebaran hepatitis dan penyakit virus menular lainnya. Fraksi plasma protein mengandung - dan -globulin sebagai tambahan dari albumin dan sering menimbulkan reaksi hipotensif. Reaksi ini berupa reaksi alergi biasa dan kemungkinan berkaitan dengan pengaktifan prekallikrein. Cairan koloid sintetik berupa dextrose starches dan gelatin. Gelatin berkaitan dengan reaksi alergi yang dimediasi oleh histamin. Cairan Dextran yang ada berupa dextran 70 (Macrodex) dan dextran 40 (Rheomacrodex), yang memiliki berat molekul 70.000 dan 40.000. Meski dextran 70 merupakan cairan yang lebih baik dibanding dextran 40, namun dextran 40 juga memperbaiki arus darah dalam mikrosirkulasi dengan cara mengurangi viskositas darah. Efek antiplatelet juga dapat terjadi pada pemberian dextran. Pemberian cairan melebihi 20 mL/kg per hari dapat mempengaruhi darah, dapat memperpanjang waktu perdarahan (dextran 40), dan berhubungan dengan gagal ginjal. Dextran juga dapat dianggap sebagai antigen yang menyebabkan reaksi anafilaktik atau anafilaktoid yang berat. Dextran 1 (promit) dapat diberikan sebelum pemberian dextran 40 atau dextran 70 untuk mencegah reaksi anafilaktik; dextran 1 berperan sebagai hapten dan mengikat segala antibodi dextran yang terdapat pada sirkulasi. Hetastarch (hydroxyethyl starch) terdapat pada cairan 6% dengan berat molekul 450.000. molekul kecil dibuang melalui ginjal, dimana molekul yang lebih besar dihancurkan terlebih dahulu oleh amilase. Hetastarch sangat efektif sebagai plasma expander dan tidak begitu mahal dibanding albumin. Terlebih hetastarch tidak bersifat antigen dan reaksi anafilaktoid sangat jarang terjadi. Koagulasi dan waktu pembekuan tidak begitu terpengaruh dengan pemberian cairan di atas 0.5-1.0 L. Pemberian hetastarch pada pasien dengan transplantasi ginjal masih kontoversi. Hal yang sama juga terjadi pada pasien yang menjalani bypass cardio-pulmonal. Pentastarch, cairan

35

dengan berat molekul yang lebih rendah, memiliki efek samping yang jarang dan kemungkinan menggantikan penggunaan hetastarch.
Tabel 8. Jenis Cairan Koloid

Kerugian dari plasma expander yaitu mahal dan dapat menimbulkan reaksi anafilaktik (walau jarang) dan dapat menyebabkan gangguan pada cross match. Berdasarkan pembuatannya, terdapat 2 jenis larutan koloid: a. Koloid alami yaitu fraksi protein plasma 5% dan albumin manusia ( 5 dan 2,5%). Dibuat dengan cara memanaskan plasma atau plasenta 60C selama 10 jam untuk membunuh virus hepatitis dan virus lainnya. Fraksi protein plasma selain mengandung albumin (83%) juga mengandung alfa globulin dan beta globulin. Prekallikrein activators (Hagemans factor fragments) seringkali terdapat dalam fraksi protein plasma dibandingkan dalam albumin. Oleh sebab itu pemberian infus dengan fraksi protein plasma seringkali menimbulkan hipotensi dan kolaps kardiovaskuler. 36

b. Koloid sintesis yaitu: 1. Dextran: Dextran 40 (Rheomacrodex) dengan berat molekul 40.000 dan Dextran 70 (Macrodex) dengan berat molekul 60.000-70.000 diproduksi oleh bakteri Leuconostoc mesenteroides B yang tumbuh dalam media sukrosa. Walaupun Dextran 70 merupakan volume expander yang lebih baik dibandingkan dengan Dextran 40, tetapi Dextran 40 mampu memperbaiki aliran darah lewat sirkulasi mikro karena dapat menurunkan kekentalan (viskositas) darah. Selain itu Dextran mempunyai efek anti trombotik yang dapat mengurangi platelet adhesiveness, menekan aktivitas faktor VIII, meningkatkan fibrinolisis dan melancarkan aliran darah. Pemberian Dextran melebihi 20 ml/kgBB/hari dapat mengganggu cross match, waktu perdarahan memanjang (Dextran 40) dan gagal ginjal. Dextran dapat menimbulkan reaksi anafilaktik yang dapat dicegah yaitu dengan memberikan Dextran 1 (Promit) terlebih dahulu. 2. Hydroxylethyl Starch (Heta starch) Tersedia dalam larutan 6% dengan berat molekul 10.000 1.000.000, ratarata 71.000, osmolaritas 310 mOsm/L, dan tekanan onkotik 30 mmHg. Pemberian 500 ml larutan ini pada orang normal akan dikeluarkan 46% lewat urin dalam waktu 2 hari dan sisanya 64% dalam waktu 8 hari. Larutan koloid ini juga dapat menimbulkan reaksi anafilaktik dan dapat meningkatkan kadar serum amilase (walau jarang). Low molecullar weight Hydroxylethyl starch (Penta-Starch) mirip Heta starch, mampu mengembangkan volume plasma hingga 1,5 kali volume yang diberikan dan berlangsung selama 12 jam. Karena potensinya sebagai plasma volume expander yang besar dengan toksisitas yang rendah dan tidak mengganggu koagulasi maka Penta starch dipilih sebagai koloid untuk resusitasi cairan pada penderita gawat. 3. Gelatin Larutan koloid 3,5-4% dalam balanced electrolyte dengan berat molekul rata-rata 35.000 dibuat dari hidrolisa kolagen binatang.

37

Ada 3 macam gelatin, yaitu: - modified fluid gelatin (Plasmion dan Hemacell) - Urea linked gelatin - Oxypoly gelatin Merupakan plasma expanders dan banyak digunakan pada penderita gawat. Walaupun dapat menimbulkan reaksi anafilaktik (jarang) terutama dari golongan urea linked gelatin. Tabel 9. Crystalloid versus Colloid

3. Trasnfusi Darah 2,11,12 a. Packed Red Blood Cells (PRC) Transfusi darah sebaiknya diberikan packed red cell, dan dapat mengoptimalkan penggunaan dan pemanfaatan bank darah. Packed Red Blood Cell ideal untuk pasien yang memerlukan sel darah merah tetapi tidak penggantian volume ( misalnya, pasien anemia dengan congestive heart failure). Pasien yang dioperasi memerlukan cairan seperti halnya sel darah merah; kristaloid dapat diberikan dengan infuse secara bersama-sama dengan jalur intravena yang kedua untuk penggantian volume cairan. Sebelum transfusi, masing-masing unit harus diperiksa secara hati-hati dicek dengan kartu dari bank darah dan identitas dari penerima donor darah. Tabung transfusi berisi 170-J.m untuk menyaring gumpalan atau kotoran. Dengan 38

ukuran sama dan saringan berbeda digunakan untuk mengurangi leukocyte isi untuk mencegah febrile reaksi transfusi febrile pada pasien yang sensitif. Darah untuk transfusi intraoperative harus dihangatkan sampai 37C. terutama jika lebih dari 2-3 unit yang akan ditransfusi; jika tidak akan menyebabkan hypothermia. Efek tambahan hypothermia dan secara khas 2,3-diphosphoglycerate ( 2,3-DPG) konsentrasi rendah dalam darah yang disimpan dapat menyebabkan suatu pergeseran kekiri ditandai hemoglobin-oxygen kurva-disosiasi ( lihat Bab 22) dan, menyebabkan hipoxia jaringan. Penghangat darah harus bisa menjaga suhu darah > 30C bahkan pada aliran rata-rata sampai 150 ml/menit b. Fresh Frozen Plasma Fresh Frozen Plasma (FFP) berisi semua protein plasma, termasuk semua factor pembekuan. Transfusi FFP ditandai penanganan defisiensi faktor terisolasi, pembalikan warfarin therapy, dan koreksi coagulopathy berhubungan dengan penyakit hati. Masing-Masing unit FFP biasanya meningkatkan faktor pembekuan 2-3% pada orang dewasa. Pada umumnya dosis awal 10-15 mL/kg. Tujuannya adalah untuk mencapai 30% dari konsentrasi faktor pembekuan yang normal. FFP boleh digunakan pada pasien yang sudah menerima transfusi darah masive. Pasien dengan defisiensi ANTI-THROMBIN III atau purpura thrombocyto-penic thrombotic dapat diberikan FFP transfusi. Masing-Masing unit FFP membawa resiko cepat menyebar yang sama sebagai unit darah utuh. Sebagai tambahan, pasien dapat menjadi peka terhadap protein plasma. ABO-COMPATIBLE biasanya diberi tetapi tidak wajib. Seperti butir-butir darah merah, FFP biasanya dihangatkan 37C sebelum transfusi. c. Platelets Transfusi Platelet harus diberikan kepada pasien dengan thrombocytopenia atau dysfunctional platelets dengan pendarahan. Profilaxis Transfusi trombosit dapat diberikan pada pasien dengan hitung trombosit 10,000-20,000 oleh karena resiko perdarahan spontan.

39

Hitung trombosit kurang dari 50,000 x 109/L dihubungkan dengan peningkatan perdarahan selama pembedahan. Pasien dengan thrombocytopenia yang mengalami pembedahan atau prosedur invasive harus diberikan profilaxis transfusi trombosit sebelum operasi, hitung trombosit harus meningkat diatas 100,000 x 109/L. Persalinan pervaginam dan prosedur bedah minor dapat dilakukan pada pasien dengan hitung trombosit yang agak rendah tapi fungsi trombosit normal dan hitung trombosit >50,000 x 109/L. Masing-Masing unit platelets mungkin diharapkan untuk meningkatkan 10,000-20,000 x 109/L dari trombosit. Plateletpheresis unit berisi yang sejenisnya enam unit donor tunggal. Peningkatan lebih sedikit dapat diharapkan pasien dengan suatu sejarah platelet transfusi. Disfungsi dapat meningkatkan perdarahan pada pembedahan bahkan ketika trombosit normal dan dapat didiagnosa preoperatif dengan memeriksa masa perdarahan. Transfusi platelet diindikasikan pada pasien dengan disfungsi trombosit dan meningkatkan perdarahan pada pembedahan. ABOcompatible platelet transfusi adalah diinginkan tetapi tidak perlu. Transfused Platelets biasanya survive hanya 1-7 hari yang mengikuti transfusi. ABO kompatibel dapat meningkatkan platelet survival. Rh sensitisasi dapat terjadi di RhNegative donor dalam kaitan dengan adanya beberapa butir-butir darah merah di (dalam) Rh-Positive platelet Unit. Lebih dari itu, anti-A atau anti-B zat darah penyerang kuman di (dalam) yang 70 mL plasma pada setiap platelet unit dapat menyebabkan suatu reaksi hemolytic melawan terhadap butir-butir darah merah penerima ketika sejumlah besar ABO-incompatible platelet unit diberi. Administrasi Rh immuno-globulin ke Rh-Negative Individu dapat melindungi dari Rh sensitisasi yang mengikuti Rh-Positive platelet Transfusi. Pasien yang kembang;kan zat darah penyerang kuman melawan terhadap HLA antigens lymphocytes di (dalam) platelet berkonsentrasi) atau platelet spesifik antigens memerlukan HLA-COMPATIBLE atau single-donor unit. Penggunaan plateletpheresis transfusi boleh ber/kurang kemungkinan sensitisasi.

40

d. Transfusi Granulocit Transfusi Granulosit, yang dibuat dengan leukapheresis, diindikasikan pada pasien neutropenia dengan infeksi bakteri yang tidak respon dengan antibiotik. Transfusi granulosit mempunyai masa hidup dalam sirkulasi sangat pendek, sedemikian sehingga sehari-hari transfusi 1010 granulocytes pada umumnya diperlukan. Iradiasi dari granulosit menurunkan insiden timbulnya reaksi graftversus-host , kerusakan endothelial berhubungan dengan paru-paru, dan lain permasalahan berhubungan dengan transfusi leukosit ( lihat di bawah), tetapi mempengaruhi fungsi granulosit. Ketersediaan filgrastim ( granulocyte colonystimulating faktor, atau G-CSF) dan sargramostim ( granulocyte-macrophage colony-stimulating faktor, atau GM-CSF) telah sangat mengurangi penggunaan transfusi granulosit.

41

BAB III KESIMPULAN Seluruh cairan tubuh didistribusikan ke dalam kompartemen intraselular dan kompartemen ekstraselular. Kompartemen ekstraselular dibagi menjadi cairan intravaskular dan intersisial. Selain air, cairan tubuh mengandung elektrolit (Na+, K+, Cl-, HCO3-, PO43-) dan non elektrolit (kreatinin, bilirubin). Proses pergerakan cairan tubuh antar kompertemen dapat berlangsung secara osmosis, difusi, pompa natrium-kalium. Perubahan dalam cairan tubuh dapat terjadi karena perubahan volume (defisit volume seperti dehidrasi dan kelebihan volume), perubahan konsentrasi (elektrolit), perubahan komposisi (asidosis dan alkalosis). Gangguan dalam keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan hal yang umum terjadi pada pasien bedah karena kombinasi dari faktor-faktor preoperatif, perioperatif dan postoperatif. Oleh karena itu dasar terapi cairan dan elektrolit perioperatif berdasarkan kebutuhan normal cairan dan elektrolit harian, defisit pra, saat, dan pascapembedahan. Kebutuhan normal cairan orang dewasa rata-rata 30-35 ml/kgBB dan elektrolit Na+= 1-2mmol/kgBB/hari dan K+=1 mmol/kgBB/hari. Saat pembedahan harus dilihat banyaknya perdarahan untuk digantikan. Selain mengganti cairan tubuh, perlu diperhatikan pula jenis cairan yang digunakan untuk menggantinya. Cairan tersebut dapat berupa kristaloid atau koloid yang masingmasing mempunyai keuntungan tersendiri yang diberikan sesuai dengan kondisi pasien. Terapi cairan ialah tindakan untuk memelihara, mengganti cairan tubuh dalam batas-batas fisiologis dengan cairan infus kristaloid (elektrolit) atau koloid (plasma ekspander) secara intravena. Terapi cairan dibutuhkan, kalau tubuh tidak dapat memasukkan air, elektrolit dan zat-zat makanan secara oral misalnya pada keadaan pasien harus puasa lama, karena pembedahan saluran cerna, perdarahan banyak, syok hipovolemik, anoreksia berat, mual muntah tak berkesudahan dan lain-lainnya. Dengan terapi cairan kebutuhan akan air dan elektrolit dapat terpenuhi. Selain itu dalam keadaan tertentu adanya terapi cairan dapat digunakan sebagai

42

tambahan untuk memasukkan obat dan zat makanan secara rutin atau dapat juga digunakan untuk menjaga keseimbangan asam-basa.

43

DAFTAR PUSTAKA 1. 2.
3.

Pandey CK, Singh RB. Fluid and electrolyte disorders. Indian J.Anaesh. 2003;47(5):380-387. Kaswiyan U. Terapi cairan perioperatif. Bagian Anestesiologi dan Reanimasi. Fakultas Kedokteran Unpad/ RS. Hasan Sadikin. 2000. Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi kesembilan. Jakarta: EGC. 1997: 375-393. Latief AS, dkk. Petunjuk praktis anestesiologi: terapi cairan pada pembedahan. Ed. Kedua. Bagian anestesiologi dan terapi intensif, FKUI. 2002. Utama, Hendra. 2008. Gangguan Keseimbangan Air Elektrolit dan Asam Basa. Jakarta : FK UI. Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta : EGC. Leksana E. Terapi cairan dan elektrolit. Smf/bagian anestesi dan terapi intensif FK Undip: Semarang; 2004: 1-60. Hartanto, Widya. 2007. Terapi Cairan dan Elektrolit Perioperatif. Diakses 20

4.

5.

6.

7.

8.

(http://images.bintang06radjah.multiply.multiplycontent.com, September 2012).


9.

Lyon Lee. Fluid and Electrolyte Therapy. Oklahoma State University - Center for Veterinary Health. 2006. (http://member.tripod.com/~lyser/ivfs.htm, Diakses 20 September 2012).

10. Heitz U, Horne MM. Fluid, electrolyte and acid base balance. 5th ed. Missouri:

Elsevier-mosby; 2005. p3-227.


11. Sunatrio S. Resusitasi cairan. Jakarta: Media aesculapius;2000:1-58.

12. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Handbook of clinical anesthesia. 5th ed. Philadelphia: Lippincot williams and wilkins; 2006: 74-97.

44

Anda mungkin juga menyukai