Anda di halaman 1dari 11

Resume Book Praktikum SPI Kaw.

Asia Tenggara
Tugas ini di ajukan untuk memenuhi Tugas Resume Book pada Mata Kuliah Praktikum SPI Kawasan Asia Tenggara Dosen: Imas Emalia, M. Hum.

Disusun Oleh: Akhmad Yusuf (109022000008)

JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2012
0

Judul Buku Penulis Editor Penyunting Pengantar Penerbit

: Renaisans Islam Asia Tenggara (Sejarah Wacana & Kekuasaan) : Prof. Dr. Azyumardi Azra, M. A : Idris Thaha : Drs. Cucu Cuanda : Taufik Abdullah : PT Remaja Rosdakarya, Bandung

Tahun Terbit : Cetakan Pertama, September 1999 & Cetakan Kedua, Mei 2000 Hal ISBN : 180 : 979-514-878-8 Tentang penulis, Azyumardi Azra lahir di Lubuk Alung, Sumatera Barat, 4 Maret 1955. Sejak 1982, ia menjadi dosen IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan sejumlah Program Pascasarjana di Indonesia. Menjadi guru besar sejarah pada Fakultas Adab, sejak 1997; Pembantu Rektor I pada 1998; dan Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sejak 14 Oktober 1998. Pada masa kepemimpinannya, status IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, secara resmi berubah menjadi UIN Jakarta, sejak 20 Mei 2002. Menurut saya buku ini sangat representatif untuk dibaca, hal ini dikarenakan penulis benar-benar otoritatif dalam bidang sejarah, hal ini dapat dilihat dari backgroundnya sebagai seorang sejarawan sudah tentu penulis ahli dalam bidang ini. Penulis dalam menulis buku ini memiliki tujuan dan harapan agar dapat memberi manfaat kepada para pembaca, mengenai gambaran umum renaisans Asia Tenggara melalui pandangan yang disampaikan oleh penulis. Melalui tulisan ini beliau menyampaikan bagaimana Islam Asia Tenggara secara karakteristik, prasyarat kebangkitan, politik, dan hubungan dengan Timur tengah lewat jaringan ulama sehingga dapat dimengerti kategori kebangkitan Islam di Asia Tenggara seperti yang dimaksudkan oleh penulis. Masalah yang dibahas dapat dilihat melalui sudut pandang politik dan sosio kultural. Secara umum buku ini merupakan buku yang kompeten untuk dibaca bagi sejarawan, orang-orang yang terkait dengan sejarah baik dari kalangan pemerhati sejarah mahasiswa dan dosen. Pada buku ini penulis membagi beberapa tema ke dalam bab-bab tertentu, ada sekitar 7 bab kajian dan didalamnya terbagi lagi melalui topik-topik yang dikaji. Diantaranya adalah sebagai berikut: Pengantar dari Taufik Abdullah, Pengantar: Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, Studi Islam Asia Tenggara, Kajian Ulang Peradaban Islam di Asia Tenggara: Refleksi Sejarah, Islamisasi Asia Tenggara, Islam di Negeri Bawah Angin dalam Mas Perdagangan
1

Bahasa Politik Islam di Asia Tenggara Tradisi Politik Kesultanan Melayu di Nusantara Nasionalisme, Etnisitas, dan Agama di Asia Tenggara Jaringan Ulama Timur Tengah dan Nusantara Abad Ke-17 Ulama Jawi di Harramayn: Pasang dan Surutnya Sebuah Wacana ReligioIntelektual Islam di Asia Tenggara sering dipandang banyak orientalis sebagai Islam Periferal,

Islam pinggiran, Islam yang jauh dari bentuk asli yang terdapat dan berkembang di pusatnya di Timur Tengah. Dengan kata lain, Islam di Asia Tenggara bukanlah Islam yang sebenarnya. Dalam pandangan ini, adalah Islam yang berkembang dengan sendirinya, bercampur baur dengan dan didominasi oleh budaya dan sistem kepercayaan lokal yang tidak jarang tidak sesuai dengan Islam. Inti pandangan ini adalah bahwa Islam sebenarnya hanyalah Islam Timur Tengah atau lebih sempit lagi, Islam Arab. Pendapat kontroversial ini pun mendapat tantangan keras dari beberapa sarjana pribumi. Mereka menyatakan bahwa pengaruh Islam begitu besar. Islam telah mengubah tradisi keruhanian masyarakat melayu-Indonesia. Karena kedatangan Islam sangat mendukung intelektualisme yang tidak terlihat pada masa Hindu-Buddha. Bahwa Islam periferal secara geografis mungkin benar. Tetapi, Islam di Asia Tenggara periferal dari segi ajarannya perlu di uji secara kritis. Karena tradisi intelektual Islam yang stabil di kawasan ini bisa menjadi titik referensi umum. Kedalaman pengaruh bahasa Arab dalam bahasa politik Islam di Asia Tenggara banyak berkaitan dengan sifat penyebaran Islam di kawasan ini, khususnya pada masa awal. Berbeda dengan pengalaman Islamisasi wilayah Persia dan Turki yang melalui proses penaklukkan, Islamisasi Asia Tenggara pada umumnya berlangsung damai (penetration pacifique). Agen Islamisasi di wilayah ini terutama adalah pedagang, guru-guru sufi, dan pengembara. Bukan laskar-laskar Muslim yang datang dari Timur Tengah, khususnya semenanjung Arabia. Konsekuensinya, wilayah ini merupakan yang paling kurang tersentuh usaha Arabisasi. Mayoritas penduduknya menerima Islam melalui proses yang lebih tepat disebut adhesi daripada konversi, penerimaan berangsur-angsur ketimbang sepenuhnya atas eksklusivisme Islam. Dengan demikian, Muslim Melayu-Indonesia tidak mengadopsi budaya Arab secara keseluruhan melainkan telah tercampur budaya lokal dalam perjalanan Islam di kawasan ini. Meskipun wilayah Muslim Asia Tenggara secara kultural kurang tersentuh Arabisasi, bahasa
2

Arab memainkan peranan penting dalam kehidupan sosial keagamaan. Berbagai suku bangsa Melayu-Indonesia tidak hanya mengadopsi peristilahan Arab, tetapi juga aksara Arab yang kemudian sedikita banyak disesuaikan dengan kebutuhan lidah lokal. Dari aspek ini, kemunculan Islam dan penerimaan aksara Arab merupakan langkah signifikan bagi sebagian penduduk di Nusantara untuk masuk ke dalam kebudayaan tulisan dan literacy. Nasionalisme, etnisitas, dan agama. Kebangkitan nasionalisme kultural dewasa ini dalam sejumlah kasus, tumbuh berbarengan dengan peningkatan sentimen etnisitas, bahkan sentimen keagamaan, yang pada gilirannya memunculkan nasionalisme politik yang amat kental. Tidak ada nasionalisme tanpa elemen politik; tetapi substansinya tak bisa lain kecuali sentimen etnik. Hubungan elemen ini ibarat jiwa politik yang mengambil tubuhnya dalam etnisitas. Pengalaman historis Asia Tenggara dengan nasionalisme, khususnya dalam hubungan dengan etnisitas dan agama sangat kompleks. Kompleksitas itu tak hanya disebabkan perbedaan pengalaman historis dalam proses pertumbuhan nasionalisme, tetapi juga oleh keberadaan Asia Tenggara yang sangat pluralistik, baik secara etnis maupun agama. Dengan wajah yang lebih tolerir dan ramah, Islam Asia tenggara justru merangsang, menumbuhkan, dan berperan amat positif dalam pertumbuhan nasionalisme. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Nusantara Abad ke-17, Jaringan ini terdiri dari ulama internasional yang mempunyai banyak kesempatan untuk kontak satu sama lain, saling berbagi ilmu dan pengalaman pendidikan. Pola-pola hubungan mereka merefleksikan suatu komunitas intelektual yang relatif saling menjalin, namun tidak terdapat bukti diorganisasi secara formal. Garis-garis hubungan mereka dapat pula dilacak melalui hubungan mata rantai guru-murid. Pada umumnya guru-guru utama mereka dalam jaringan ini memberikan jaringan pengajaran, pengetahuan, dan pengalaman yang mengilhami murid-muridnya untuk memikul misi aktif dalam rekonstruksi sosio-moral masyarakat Muslim. Ahmad Al-Qushashi dan Ibrahim Al-Kurani Berdasarkan penelitian, mereka berdua merupakan tokoh dominan dalam jaringan keulamaan di Mekah dan Madinah pada abad ke-17. Dua tokoh tersebut berkenaan dengan hubungan pribadi dan intelektual ulama tanah air seperti Abd al-Rauf al-Sinkili dan Syeh Yusuf al-Maqassari. Syekh Yusuf dan Abd Al-Rauf Mereka berdua merupakan murid paling terkenal dari Ahmad al-Qushasshi dan Ibrahim al-Kurani, Syekh Yusuf dari Sulawesi Selatan dan Abd al-Rauf dari Aceh. Ulama Jawi di Haramayn: Pasang dan Surutnya Sebuah Wacana Religio-Intelektual, Mekah dan Madinah, setidaknya sejak awal abad ke-16, memainkan peranan yang kian
3

penting dalam wacana pemikiran intelektual keagamaan Islam. Walaupun secara kuantitatif tidak sebanyak yang dimiliki Baghdad atau Kairo, namun kedudukan sentralnya sebagai kota kelahiran dan pertumbuhan awal Islam serta sebagai tempat ibadah haji dan ziarah suci memberi bobot dan nilai plus terhadap pemikiran Islam yang dikembangkan ke bagianbagian lain dunia Muslim. Sejumlah ulama terkemuka yang datang dari berbagai penjuru dunia Muslim menetap dan mengajar di Haramayn. Mereka kebanyakan dari Yaman, Mesir, Maghrib, Irak, Turkistan, Kurdistan, Anak Benua India, dan Asia Tenggara. Dengan demikian jaringan ulama ini bersifat kosmopolitan, yang dalam perkembangannya memiliki pecahan atau cabang-cabang di berbagai penjuru dunia Muslim. Pembaruan (tajdid, renewal) merupakan paradigma yang dominan dalam wacana intelektual keagamaan yang dikembangkan. Tema sentral yang menuntun aktivitas dan pemikiran jaraingan adalah kembali kepada Al-Quran dan hadis. Dari wacana tersebut lahir banyak pembaru yang pada gilirannya mendorong manifestasi pembaruan di kalangan masyarakat Muslim di berbagai penjuru dunia. Generasi pertama jaringan ulama ini (abad ke17 sampai pertengahan abad ke-18) mencakup nama-nama besar, Syekh Sibghat Allah, Ahmad al-Qushashi, Ibrahim al-Kurani, Shah Wali Allah, Ahmad Sirhindi, Muhammad Hayyah al-Sindi, Muhammad al-Barzanji, Abu Tahir al-Kurani, dan Muhammad ibn Abd alWahab. Kemudian disusul, Muhammad Abd al-Karim al-Sammani, Murtadi al-Zabidi, Ahmad Damanhuri al-Masri, dan Ahmad Jibril. Keterlibatan ulama Indonesia dalam jaringan ulama yang berpusat di Haramayn, bermula sejak paruh kedua abad ke-17. Perintisnya secara keseluruhan adalah Nur al-Din alRaniri, Abd al-Rauf al-Sinkili dan Muhammad Yusuf al-Maqassari. Setelahnya muncul murid-murid dan ulama Indonesia lainnya yang membentuk semacam Southeast Asian Connection cabang jaringan di Asia Tenggara. Di antaranya ialah Abd al-Shamad alPalimbani, Muhammad Arshad al-Banjari, Syekh Muhammad Nafis al-Banjari, Nawawi alBantani, Ahmad Khatib al-Sambasi, Abd al-Karim al-Bantani, Ahmad Rifai Kalisalak, Ismail al-Khalidi al Minangkabawi, Daud ibn Abd Allah al-Fatani, Junayd al-Batawi, Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Syekh Ahmad Nahrawi al-Banyumasi, Muhammad Mahfuz al-Termasi, Hasan Mustafa al-Garuti, Sayyid Muhsin al-Palimbani, Muhammad Yasin al-Padani, Abd alKarim al-Banjari, Ahmad Damanhuri al-Bantani, dan lain-lain. Terlihat jelas bahwasanya mereka hampir seluruhnya berasal dari berbagai kelompok etnis Nusantara. Kemerosotan wacana religio-intelektual ulama Jawi dapat dipastikan banyak disebabkan oleh perubahan-perubahan ekonomi, politik, dan sosial Arab Saudi yang berlangsung cepat. Pemerintah selain memperkuat mesin birokrasinya juga melakukan
4

perubahan sosial ekonomi yang secara signifikan mempengaruhi kehidupan intelektual keagamaan khususnya di Haramayn. Mempercepat proses modernisasi dan sentralisasi pendidikan, madrasah-madarasah swasta dinegerikan, kurikulum distandarisasikan, guru-guru diharuskan memenuhi kualifikasi formal yang ditentukan. Akibatnya, madrasah-madrasah tradisional yang selama ini melahirkan banyak ulama jadi kehilangan identitas dan integrasinya.

Judul Buku Penulis Editor Penerbit

: Islam & Masyarakat Betawi : Abdul Aziz : Murodi : PT Logos Wacana Ilmu, Jakarta

Tahun Terbit : Juni 2002 Hal ISBN : 178 hlm : 979-626-094-8

Tentang Penulis, Abdul Aziz lahir di Cianjur, Jawa Barat, 24 September 1954. Menyelesaikan studi di jurusan Bahasa Arab, Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1981) dan mendapatkan gelar Magister of Arts (MA) dari Departement of Anthropology and Sociology, Monash University, Melbourne, Australia (1992). Karirnya di Departemen Agama diawali sebagai peneliti merangkap sebagai Kepala Sub Bidang Perumusan Program, Bidang Bina Program, Puslitbang Kehidupan Beragama, Badan Litbang Agama. Sejak Maret 2002, menjabat sebagai Direktur Direktorat Madrasah & Pendidikan Agama (DITMAPENDA) pada Sekolah Umum, Departemen Agama RI. Buku ini berisi empat bab, di antaranya Bab I, Pendahuluan, Bab II, Perkembangan Komunitas Etnis Betawi, Bab III, Perkembangan Islam, Bab IV, Masyarakat Betawi dalam Perspektif Kehidupan Modern. Yang didalamnya juga terdapat beberapa pembahasan lagi. Buku ini merupakan hasil penelitian merekonstruksi faktor Islam dalam konteks proses tumbuh dan berkembangnya orang betawi sebagai sebuah komunitas etnis dengan berbagai aspeknya. Kajian dalam buku ini terpusat pada periode abad ke-20, mencakup masa penjajahan yang diduga merupakan saat pengembangan pendidikan Islam yang intensif, serta masa pergumulan orang Betawi dengan dunia modern. Dalam buku ini menggunakan pranata pendidikan agama sebagai proses sosialisasi dan identifikasi ajaran Islam. Buku ini merupakan salah satu bacaan yang penting bagi sejarawan serta peminat dan pemerhati peranan Islam dalam masyarakat Betawi.
5

Pembentukan suatu komunitas etnis secara umum bergantung pada ketersediaan sejumlah faktor yang menjadi sumber pembentukan identitas yang membedakannya dengan komunitas etnis lain. Sampai kira-kira menjelang kehadiran orang Eropa pertama ke Nusantara, tidak ditemukan laporan tertulis mengenai keadaan penduduk Jakarta yang ketika itu masih bernama Sunda Kelapa dan berada dibawah kekuasaan kerajaan Sunda Pajajaran. Pada perkembangannya Jakarta yang awalnya bernama Sunda Kelapa berganti menjadi Jayakarta, kemudian Batavia hingga kemudian akhirnya menjadi Jakarta. Mengenai asal-usul kelompok etnis Betawi sendiri banyak pendapat berbeda mengenai hal ini, sejarawan Barat beranggapan bahwa etnis Betawi ini berasal dari para budak. Namun para sejarawan lokal menolak dengan tegas pendapat tersebut, karena menurut mereka nenek moyang orang Betawi ya sudah pasti asli atau orang yang menetap di daerah itu sejak awal. Kelompok elite yang dikenal orang Betawi hanya berkaitan dengan agama, yaitu guru mengaji, para haji, dan orang Arab keturunan Nabi yang disebut Sayyid atau Habib. Perkembangan Islam, Masjid sebagai pusat penyebaran Islam, kehadiran Islam di Jakarta tampaknya dimulai ketika kota ini direbut oleh tentara Fadhillah Khan. Sebelumnya pelabuhan Sunda Kelapa tertutup bagi orang Islam karena penguasa setempat khawatir akan pengaruh mereka yang ketika itu sudah kuat, terutama di Cirebon. Di bawah Fadhillah Khan dan penggantinya, Sunda Kelapa yang telah dirubah menjadi Jayakarta dibangun meniru model kota kadipaten di Jawa Islam. Sebagai pusat kota adalah alun-alun yang diapit oleh bangunan masjid di Barat, keraton atau dalem di Utara, dan rumah patih Jayakarta di Timur. Di sekitar alun-alun terdapat perumahan orang-orang terkemuka yang terbuat dari kayu dan beratap rumbia. Kehadiran masjid selama satu abad samapi Jayakarta dibumihanguskan oleh J. P. Coen, diduga telah memberi andil bagi proses Islamisasi Jayakarta seperti umumnya fungsi masjid kota-kota pelabuhan Jawa. Ketika itu sudah berdiri beberapa masjid di antaranya di Jatinegara Kaum, Masjid Assalafiyah yang didirikan oleh anak pangeran Jayakarta, bernama pangeran Ahmad Jaketra pada 1620. Di Kebon Baru Cawang (Al-Atiq), Tanah Abang (Baitul Makmur), masjid Al-Alam Marunda (1662) dan masjid Al-Alam Cilincing (1665). Meskipun sejak awal berdiri Batavia telah ada penduduk beragama Islam, khususnya di kalangan Arab, Moor, dan anggota etnis pribumi, pemerintah Hindia Belanda melarang pembangunan masjid baik di luar, apalagi di dalam tembok. Akan tetapi larangan itu melonggar memasuki abad ke-18 sehingga muncullah berbagai masjid di wilayah kota. Dengan mengacu kepada tradisi pengajian kitab di masjid oleh seorang guru, yang hingga sekarang ini masih hidup di kalangan masyarakat Betawi, dengan demikian bahwa selain tempat ibadah shalat, masjid juga berfungsi sebagai tempat mengajarkan dan
6

menyebarkan Islam. Banyaknya masjid yang didirikan pada abad ke-18 dan mulai banyaknya orang Batavia yang menuntut ilmu di Makkah, semakin banyak pula sumber dan pusat penyebaran agama yang terletak di dalam kota Batavia. Para pendiri dan tokoh pengurus masjid adalah juga para guru agama dan juru dakwah yang mengajar agama di masjid, di rumah mereka sendiri yang biasanya berdekatan dengan masjid atau diundang mengajar ke masjid-masjid di kampung lain. Jaringan Ulama dan Perkembangan Dakwah Islam, asimilasi di antara penduduk pribumi dan pendatang hampir selalu berarti Islamisasi mereka (menjadi orang Selam). Kuatnya pengaruh Islam dan anti Barat pada pertengahan abad ke-19 itu dapat dilihat kaitannya dengan perkembangan dakwah Islam yang semakin meningkat terutama dengan munculnya sejumlah ulama terkemuka di kalangan orang Selam. Mereka para ulama yang dididik di masjid-masjid Batavia, lalu menuntut ilmu lanjutan di tanah suci. Para ulama tersebut merupakan kelompok terdidik yang secara perorangan maupun kolektif memiliki kemampuan mengembangkan solidaritas di kalangan masyarakat Betawi. Jaringan intelektual para ulama itu menampakkan bentuknya yang lebih jelas di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, ketika sedikitnya enam orang ulama terkemuka berhasil melebarkan pengaruh keulamaan yang menjangkau hampir seluruh Batavia. Jaringan keulamaan ini dikembangkan oleh enam pendekar atau yang disebut jagoan, keenam ulama itu adalah: KH. Moh. Mansur (guru Mansur) dari Jembatan Lima, KH. Abdul Majid (guru Majid) dari Pekojan, KH. Ahmad Khalid (guru Khalid) dari Gondangdia, KH. Mahmud Romli (guru Mahmud) dari Menteng, KH. Ahmad Marzuki (guru Marzuki) dari Klender dan KH. Abdul Mughni (guru Mughni) dari Kuningan. Meskipun kehadiran Islam di Batavia berkaitan pengaruh kekuasaan Islam dari Banten-Cirebon-Demak, proses Islamisasi di lingkungan kota Batavia sendiri tampaknya tidak dapat dipisahkan dari peran orang-orang Islam awal yang diperbolehkan tinggal di kota itu, khususnya orang Moor. Orang Moor ini diduga kuat adalah keturunan Arab yang sudah lama menetap di wilayah pantai Gujarat. Penggunaan kata Betawi sebagai identitas etnis tidaklah dikenal oleh orang Betawi sendiri di masa lalu. Sejak abad ke-18 diketahui ulama asal Batavia yang belajar di Makkah dan Madinah menggunakan kata Al-Batawi di belakang namanya, seperti Syaikh Abdurrahman Al-Batawi. Namun itu lebih menunjukkan asala ketimbang etnis. Istilah Selam merupakan pengucapan lokal untuk kata Islam, sebagaimana Srani untuk kata Nasrani. Istilah Betawi sebagai identitas etnis baru populer ketika Husni Thamrin mendirikan organisasi pada 1 Januari 1923 dengan nama Perkoempulan Kaoem Betawi. Meskipun demikian istilah orang Betawi sekarang lebih
7

merata digunakan oleh penduduk asli yang beragama Islam. Sedangkan penduduk asli yang beragama Kristen secara turun temurun biasanya disebut dengan daerah asalnya, seperti orang Tugu atau orang Depok. Beberapa bentuk kesenian seperti gambang kromong, tari topeng atau tanjidor dapat dipandang sebagai bentuk adaptasi lain. Berkah kemerdekaan bagi orang Betawi menampakkan diri dalam berbagai bentuk. Penyelenggaraan pendidikan modern telah memungkinkan orang Betawi untuk mencairkan isolasi kultural mereka dan menghasilkan generasi baru berpendidikan non-keagamaan. Dilihat dari sudut sosial masyarakat Betawi, kecenderungan kuat kepada pendidikan agama hingga sekarang ini dapat dipandang sebagai kontinuitas peneguhan identitas ke-Betawi-an masa lalu.

Judul Buku Penulis Pengantar Penerbit

: Kyai dan Perubahan Sosial : Dr. Hiroko Horikoshi : Abdurrahman Wahid : P3M Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat

Tahun Terbit : Desember 1987 Hal : 256 hlm

Tentang Penulis, Hiroko Horikoshi Roe, lahir 13 April 1944, di Yokohama, Jepang, adalah antropolog di bidang modernisasi, perubahan sosial, etnik, agama, politik, ekonomi, dan hukum untuk kawasan Asia Tenggara, Timur Jauh dan Asia Selatan. Memperoleh gelar master of arts (MA) tahun 1972 pada Department of Anthropology, University of Illinois, USA, dan philosophy doctor (Ph D) tahun 1976 pada universitas yang sama dengan disertasi A Traditional Leader in a Time of Change : The Kijaji and Ulama in West Java yang diterjemahkan menjadi buku ini. Buku ini terdiri dari VI Bab, yaitu BAB I : Pedesaan Islam, BAB II : Pranata Keulamaan, BAB III : Fungsi Keulamaan, BAB IV : Ulama dan Umat Islam Pedesaan, BAB V : Ulama dan Sistem Luar Pedesaan, BAB VI : Kyai : Tokoh Kharismatik. Buku ini membahas tentang kyai dan ulama di pedesaan Jawa Barat, Indonesia. Kyai dan ulama adalah gelar ahli agama Islam. Bagi masyarakat Islam di pedesaan, seorang kyai memegang peranan untuk mempersatukan kelompok dan pendorong bagi kegiatan anggotanya, untuk membentengi umat dan cita-cita Islam terhadap ancaman kekuatankekuatan sekuler dari luar. Kyai merupakan pemimpin kharismatik dalam bidang agama.
8

Sifat khas seorang kyai adalah terus terang, berani dan blak-blakan dalam bersikap dan bahkan sebagai seorang ahli ia jauh lebih unggul dari pada ulama dalam menerapkan prinsipprinsip ijtihad. Seorang ulama adalah pejabat keagamaan (fungsionaris agama), ia menjabat urusan agama, pada pranata keulamaan Islam, yang secara tradisional telah dilestarikan oleh keluarga kalangan menengah pedesaan yang kuat yang mengkhususkan diri dalam mencetak kader ulama dan mengambil tanggung jawab dalam menjaga ortodoksi Islam. Secara harfiah ulama berarti orang yang mengetahui atau ilmuwan. Ulama bagaimanapun sesuai dengan pengertian harfiah itu, harus selalu dikaitkan dengan ilmu. Oleh karena itu ulama Islam berarti orang Islam yang mempunyai pengetahuan tentang ajaranajaran Islam yang bersumber dari al-Quran dan al-Sunnah. Peranan ulama, bagaimanapun sangat penting dan mementukan dalam perjalanan sejarah Islam, demikian pentingnya sampai-sampai Nabi menyampaikan bahwa para ulama adalah pewaris para Nabi (H.R. Bukhari dan Tirmidzi). Sebagai pewaris Nabi, para ulama menjalankan fungsi-fungsi kenabian, seperti sebagai pendidik untuk menyempurnakan akhlak mulia di kalangan masyarakat, berdakwah untuk mengajak orang-orang agar berbuat baik dan mencegah kemungkaran, dan lain-lain. Ulama itu, mempunyai kepedulian terhadap penderitaan manusia, baik moral maupun material, berusaha menjaga dan meningkatkan kualitas moral dan material, dan terhadap orang-orang yang beriman, jamaah binaannya, bersikap kasih sayang. Sepanjang tradisi Islam, ulama telah mengabdi sebagai satu-satunya lembaga yang bertanggung jawab atas proses penyebaran ortodoksi Islam terhadap generasi Islam selanjutnya. Mereka menguasai pendidikan Islam di Madrasah, memegang kekuasaan tertinggi dalam penafsiran Quran dan Hadits, dan sering pula muncul sebagai pemimpin sosial politik. Peran ulama yang paling bernilai sebagaimana telah berlangsung adalah peran tradisional mereka sebagai penanggung jawab dalam mempertahankan keyakinan itu sendiri, melalui pengajaran ilmu-ilmu agama ulama melestarikan praktek-praktek ortodoksi keagamaan para penganutnya. Fungsi ulama di antaranya adalah, sebagai pemangku Masjid dan Madrasah; ulama mengabdi di masjid, madrasah, pesantren, dan sekolah dengan sistem kelas. Ulama juga sebagai pengajar dan pendidik, dan ulama sebagai Ahli dan Penguasan Hukum. Ulama telah membangun tugas-tugas mereka secara sistematis melalui lembaga-lembaga yang telah didirikan oleh keluarga untuk menjalankan fungsi-fungsinya. Lembaga pesantren secara tradisional dikhususkan mempersiapkan pemimpin-pemimpin masyarakat Islam seperti melatih kader-kader ulama. Madrasah telah membekali ulama untuk secara langsung
9

mencapai muslim-muslim pedesaan dan mengabdikan kesetiaan muslim pedesaan pada kepercayaan agama. Lembaga pendidikan tinggi modern yang diciptakan sekarang ini telah menunjukkan upaya ulama untuk mempersiakan pemimpin-pemimpin intelektual muslim setempat. Ulama sebagai suatu pranata Islam melayani masyarakat dengan seperangkat pendidikan agama yang kongkrit. Secara efektif layanan itu membentuk basis kepercayaan umat Islam pedesaan terhadapa keseluruhan institusi. Tidak semua fungsionaris Islam adalah ulama dan tidak semua ulama mempunyai kedudukan wibawa dan pengaruh yang sama. Proses penyatuan kedudukan dan wibawa ulama ke dalam sistim lokal terjadi secara berangsur-angsur dan tidak selalu berhasil, tergantung beberapa faktor lain, seperti keterampilan mereka untuk merekrut dan menjaga pengikut di bawah pengaruh mereka. Gelar ulama tidak disebabkan karena dilahirkan dalam keluarga ulama, dan tidak pula diperoleh karena hasil pendidikan. Gelar itu diberi masyrakat muslim tidak hanya karena kealiman mereka tetapi juga karena pelayanan dan pengaruhnya yang menguasai masyarakat muslim. Pengaruh ulama itu meliputi kredebilitas moral, mempertahankan pranata sosial yang diinginkan gaya dan citra ulama. Tidak mementingkan diri sendiri, berkhidmat kepada Islam, menunjukkan stereotipe yang indah dan humor, serta menguasai keterampilan berpidato merupakan ciri khas ulama dengan pengaruh yang tak dapat dielakkan melintasi daerah yang luas. Umat Islam dan ulama secara langsung dipengaruhi oleh perubahan sistemsistem sentral negara, tetapi ulama menanggapi perubahan itu dan memanuvernya untuk melindungi kepentingan mereka sendiri sebagai pemimpin Islam di pedesaan. Kyai dibedakan dari ulama lantaran pengaruhnya yang luas. Kyai dipercayai memiliki keunggulan baik secara moral maupun sebagai seorang alim. Pengaruh kyai diperhitungkan baik oleh pejabat-pejabat nasional maupun oleh masyarakat umum jauh lebih berarti daripada ulama desa. Peran ulama lebih tertuju ke dalam sistem sosial dan struktur masyarakat desa yang khas, lokal dan otonom. Di sisi lain kyai mengasumsikan adanya kepemimpinan moral dan spiritual yang berskala besar sebagai ulama dan muballigh yang tak terikat oleh struktur desa Islam yang normatif. Kebanyakan kyai bertempat tinggal di wilayah perkotaan dan di kampung-kampung pinggiran kota besar maupun kota kecil, di mana mereka bisa menarik lebih banyak khalayak dan melebarkan pengaruh. Kedudukan kyai tidak bisa diwariskan begitu saja oleh keturunannya, dan wafatnya seorang kyai biasanya menandakan berakhirnya sebuah kepemimpinan kharismatik.

10

Anda mungkin juga menyukai