Anda di halaman 1dari 35

PEMANFAATAN KERJASAMA KEAMANAN (COOPERATIVE SECURITY ) UNTUK MENGHADAPI BAHAYA KEAMANAN KOMPREHENSIF (COMPHREHENSIVE SECURITY THREAT) DALAM RANGKA

KETAHANAN NASIONAL DAN MEMPERKOKOH NKRI


-------------------------------------------------------Prof. Dr. Muladi, SH (Bahan Ceramah PPRA DAN PPSA Lemhannas 2012)

ABSTRAK : 1) Konsep cooperative security secara umum didefinisikan sebagai : a process whereby countries with common interest work jointly through agreed mechanism to reduce tensions and suspicion, resolve or mitigate disputes, build confidence, enhance economic development prospects, and maintain stability in their regions ( Michael Moodle, Chemical and Biological Arms Control Institute, January, 2000); 2) Konsep cooperative security berkembang atas dasar beberapa hal : Masalah saat ini berada di luar kemampuan dari negara per Negara untuk memecahkannya, karena bersifat transnasional dan jauh dari kenyataan terjadinya fragmentasi dan desentralisasi tertib keamanan pasca perang dingin di satu pihak dan fenomena globalisasi ekonomi internasional, teknologi informasi dan ketertiban sosial di lain pihak yang di samping bersifat positif, juga memunculkan bahaya-bahaya keamanan baru ; Di samping bahaya keamanan tradisional atau yang bersifat simetrik dan state centric memungkinkan berkembangnya bahaya keamanan baru yang bersifat asimetrik atau non-tradisional yang didominasi peranan aktor-aktor non-negara (non-state actors) terhadap human security seperti radikalisme, terorisme, proliferasi wmd, pelanggaran HAM berat, konflik horizontal, degradasi lingkungan, migrasi illegal, kejahatan transnasional terorganisasi 1

(TOC), globalisasi ekonomi yang tidak adil (global injustice), perompakan di laut, pemerintahan yang otoriter (state crime) dll. Di samping itu masih terjadinya bahaya keamanan tradisional yang berifat state centric dan bersifat lebih kompleks ( Afrika Tengah menggambarkan terjadinya apa yang dinamakan konflik yang merupakan perpaduan antara interstate rivalries, internal conflicts and transnational ethnic problems) ; dua spektrum ancaman bahaya ini digambarkan oleh James Rosenau (1990) sebagai the two world of world politics atau bifurcated conflict environment (lingkungan conflict dua cabang); Terjadinya fenomena penyebarluasan wmd dan senjata-senjata berteknologi maju yang senyatanya diprodukasi oleh sector swasta yang memerlukan pengawasan akibat praktek dual use (privatisasi teknologi); Kemajuan atau modernisasi alat komunikasi, transportasi dan informatika di era globalisasi, yhamh dimanfaatkan untuk kepentingan negatif (globalization of crime); The enemies of yesterday were static, predictable, homogenous, rigid, hierarchical, and resistant to change. The enemies of today are dynamic, unpredictable, diverse, fluid, networked, and constantly evolving (Jenkins, 2007); Konsep competitive security yang bersifat tradisional melalui pembangunan arsenal militer atau berusaha mendominasi keamanan regional, ternyata menciptakan tidak menghasilkan hal-hal positif dan bahkan masalah-masalah internal. Contoh kasus Iraq yang

melakukan agresi terhadap Kuwait. Persaingan Pakistan dan India dalam test nuklir diragukan menciptakan keamanan nasional. Begitu juga yang dilakukan Iran yang justru menimbulkan rasa khawatir negara-negara tetangganya; Tidak berbeda apa ASEAN dan Amerika Latin serta Timur Tengah; Konsep cooperative antar security diharapkan sehingga dapat mampu meningkatkan memelihara kesadaran betapa pentingnya suatu struktur terintegrasi Negara, lingkungan yang yang terjadi di

kesejahteraan dan kemanan rakyatnya. Munculnya Negara gagal (failed states) seperti Somalia dll. yang potensial mengancam Negaranegara lain, yang tak dapat diselesaikan oleh negara yang bersangkutan, kecuali melalui international and regional cooperation; 3) Paska perang dingin, di samping alasan-alasan yang masih berkaitan dengan peranan kompetisi kekuatan militer, telah mengemuka alasan ekonomis security;
Contoh cooperative security : Asean Security Community dalam kerangka ASEAN Charter, Lombok Treaty antara Indonesia-Australia, kesepakatan Korea Utara dan Selatan untuk menjamin proses perdamaian dalam rangka interKorean economic cooperation; kerjasama keamanan Negara-negara Amerika Latin yang dipelopori Argentina dan Brasilia untuk mencegah penyebarluasan senjata nuklir, kimia, dan biologi, Munculnya Organizational of American States (OAS) tahun 1992 yang memiliki Special Commitee on Hemispheric Security , melalui intelligence sharing, joint exercises dll. untuk menjamin stabilitas kawasan; China yang mengembangkan kerjasama dengan Negara-negara tetangga (Korsel, Pakistan, India, Negara Asia Pasific, Rusia, Jepang, Asean, Amerika, , Burma, Laos, Mongolia), dalam rangka menciptakan stabilitas untuk perkembangan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan jangka panjang. China merupakan anggota Chemical Weapon Convention (CWC), the Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT), pengiriman observer di pelbagai area di dunia, anggota APEC, ARF. Selanjutnya The Proliferation Security Initiative yang dipelopori AS + 90 negara sejak 2003 untuk memegat kapal-kapal Niaga negara ketiga yang berlayar di laut bebas yang dicurigai membawa WMD dari negara-negara yang dianggap berbahaya seperti Korea Utara dll.; Yang menarik adalah latihan bersama pesawat-pesawat Nato dengan Rusia untuk menghadapi terorisme (Vigilant Skies 2011);

dan

lingkungan

dalam

pengembangan

cooperative

4) Di masa pasca perang dingin system internasional, di samping memperhatikan peranan memperkenalkan dari kekuatan dan kompetisi militer, security yang juga mencakup cooperative

keamanan ekonomi dan lingkungan. Kinerja ekonomi tidak kalah pentingnya daripada kapabilitas militer dilihat sebagai kekuatan negara di dalam komunitas internasional. Bahaya didefinisikan sebagai bahaya ekonomi, lingkungan dan demografi. Namun demikian kepedulian terhadap tantangan bahaya non-tradisional tidak mengeliminasi kekhawatiran terhadap bahaya tradisional. 5) Kerjasama antar Negara dibutuhkan, karena negara-negara merasa tidak mungkin mengatasi banyak permasalahan secara sendirian.

Untuk

itu

perlu

dibangun

kapabilitas

melalui

kesepakatan

internasional, usaha bersama mengatasi bahaya transnasional, mencegah atau menyelesaikan konflik, dan membangun masyarakat madani; 6) Makna kedaulatan mengalami pergeseran dari konsep Westphalian 1648 yang menegaskan prinsip privilege and control berkembang juga je arag tanggungjawab (responsibility) baik internal maupun ekaternal; 7) Indonesia memiliki beban moral yang besar untuk mengembangkan kerjasama keamanan karena: sifat mayarakatnya yang ekstrapluralistik; proses demokratisasi yang belum tuntas; postur sebagai negara kepulauan (archipelagic state) terbesar dengan kelemahan berupa multi akses yang sulit dikontrol secara efektif;

PENDAHULUAN Istilah kerjasama keamanan secara bergantian digunakan sebagai terjemahan dari security cooperation atau cooperative security. Hal ini menjadi sangat populer di kalangan negara-negara ASEAN dengan tekadnya pada tahun 2003 dalam summit meeting untuk membangun pilar terkandung tekad di Bali menerima ASEAN Concord II, menggantikan Deklarasi ASEAN Concord I (1976) al. ASEAN Security Community, di mana secara kolektif agar supaya segala konflik dikelola

(managed collectively). Dalam hal ini tercakup apa yang dinamakan conflict prevention, conflict resolution dan post-conflict peace building. Dengan istilah cooperative security dapat digambarkan adanya usaha penekanan perbedaan melalui pendekatan konvensional, seperti collective defence and collective security. Collective defence menekankan pada pembentukan military alliances (defence pact) diarahkan untuk melawan musuh yang bersifat spesifik. Dalam hal ini pendekatan bersifat konfrontatif, yang ditujukan untuk mencegah atau menghalangi serangan musuh dengan cara memelihara kemampuan 4

militer untuk melancarkan serangan balik. Contoh :

NATO (Kasus

ketegangan militer akibat penembakan pesawat tempur Turki oleh Suriah), Pakta Warsawa di masa lalu (1955-1991), Pakta militer antara AS-Korsel, AS-Jepang, Five Power Defence Arrangement (FPDA) antara Inggris, Singapura, Malaysia, dan Australia dan New Zealand dll. Sebaliknya pengertian cooperative security mendorong negaranegara untuk melakukan suatu pendekatan kerjasama dan bertujuan tanpa beranggapan adanya membangun usaha-usaha multilateral

hubungan antara teman-musuh. Hal ini merupakan usaha untuk mencapai security with others, sedangkan collective defence merupakan suatu usaha untuk memelihara prinsip security against enemy. Selanjutnya tujuan collective security adalah mematahkan agresi melalui Di dalam pemeliharaan kekuatan militer untuk menghukum agresor.

kerangka collective security ini, asas one for all, all for one diterapkan. Agresi terhadap salah satu anggota dianggap sebagai suatu serangan terhadap seluruhnya, sehingga semua anggota dapat menghukum agresor. Sebaliknya cooperative security pada hakikatnya bersifat nonmiliteristic. Dalam kerangka kerjasama ini semua peserta bekerjasama untuk meningkatkan stabilitas suatu kawasan, yang sangat didambakan oleh semua anggota. Asas yang berlaku dalam hal ini adalah all for all. Hal ini sangat menjiwai makna security community yang memungkinkan para anggotanya untuk mengembangkan rasa We-ness atau We -feeling dan ada suatu jaminan bahwa mereka tidak akan berkelahi secara fisik satu sama lain dan akan menyelesaikan segala perselisihannya dengan cara lain, yaitu cara damai. Bagi Indonesia konsep cooperative security sangat tepat sehubungan politik bebas aktif yang dianut dan berkaitan pula dengan salah satu tujuan nasional dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 yakni ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social. Kadang-kadang hal ini bersifat ironis, mengingat di sekitar kita terdapat semacam collective defence yaitu FPDA (The Five Power Defence Arrangements) antara Australia, New Zealand, The United 5

Kingdom, Malaysia dan Singapura (sejak 1971),

pasca konfrontasi

Indonesia vs. Malaysia ( 1963-1966), sekalipun bentuknya sebagai forum konsultasi. Seorang penulis menyebutkannya sebagai unobtrusive alliance (aliansi rendah hati). Indonesia tidak begitu mengkhawatirkan hal ini (eksistensi FPDA) , karena perdamaian dan keamanan internasional dilindungi oleh norma, nilai dan standard badan-badan internasional seperti PBB dengan UN Charternya serta berfungsinya Dewan Keamanan PBB, di samping kesepakatan-kesepakatan baik multilateral, bilateral maupun regional yang dibangun. Di samping itu atas dasar Statuta Roma tahun 1998 yang dipertegas oleh Deklarasi Kampala (2010), the crime of agression dinyatakan sebagai kejahatan internasional. Dalam hal ini Sekjen PBB Ban Ki-Moon menyebutnya sebagai : the historic agreement in the a new age of accountability, replacing the old era of impunity yang datang dari Kampala, Uganda (14 Juni 2010), di mana International Criminal Court Review Conference (The Assembly of State Parties of Rome Statute of ICC), setelah 2 minggu melakukan perdebatan telah mendefinisikan dengan baik salah satu yurisdiksi materi yang tertera di dalam Statuta Roma 1998 tentang apa yang dinamakan the crime of aggression (di samping yang sudah baku seperti genosida, kejahatan terhadap kemanusian dan kejahatan perang) yang dapat diadili oleh Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court). Karena alasan prosedural, perjuangan bertahun-tahun tersebut baru akan mulai berlaku tahun 2017. Definisi agresi yang disepakati adalah : the planning, preparation, initiation or execution, by a person in a position effectively to exercise control over or to direct the political or military action of a State, of an act of aggression which, by its character, gravity and scale, constitutes a manifest violation of the Charter of the United Nations. Dalam kerangka ini blokade pelabuhan dan pantai dari suatu Negara oleh angkatan bersenjata serangan Negara lain, termasuk suatu invasi atau oleh tentara suatu Negara ke dalam wilayah Negara lain,

merupakan perbuatan agresi di bawah Statuta tersebut. Namun demikian pilihan untuk memperkuat sistem pertahanan nasional yang didukung 6

oleh substasi, struktur dan kultur yang solid serta keberadaan alutsista yang memadai dan didukung oleh industri strategis yang unggul merupakan pilihan yang tidak dapat dihindarkan untuk memperkuat posisi tawar Indonesia serta menimbulkan effek deterrent ( Penulis Romawi Publius Flavius Vegetius Renatus menyatakan : Civis Pacem Para Bellum IF YOU WANT PEACE PREPARE FOR WAR ( barang siapa menginginkan perdamaian harus siap untuk berperang). Iqitur qui desiderat pacem praeparet bellum. Ada yang berpendapat bahwa lingkungan ASEAN yang penuh konflik memang sulit untuk menerapkan spirit security community tersebut. Tetapi yang jelas hampir tidak ada konflik bersenjata/perang terbuka antar negara ASEAN. Dalam hal ini proses konsultasi dan dialog melalui diplomasi selalu didorong oleh perasaan kepentingan dan nilai bersama dengan bantuan Negara ASEAN lain (contoh konflik antara Thailand dan Kamboja, Indonesia dan Malaysia). Di kalangan ASEAN dikenal istilah the ASEAN Way yang normanormanya menekankan betapa pentingnya kedaulatan dan otonomi atas dasar prinsip non-interference di dalam masalah dalam negerinya masing-masing dan segala keputusan diperoleh melalui konsensus. Secara luas hal ini dirumuskan dalam Chapter I (Purposes and Principles) Asean Charter. Di lain pihak prinsip tersebut sering mempersulit pemecahan masalah. Asean Security Community menjadi semakin mantab dengan adanya ASEAN Charter (2007) yang diharapkan dapat memberikan andil keamanan bersama baik di kawasan ASEAN maupun Asia Timur. Dalam perkembangannya baik ASEAN maupun ASEAN + 3 (ASEAN + China, Jepang dan Korsel) yang semula lebih menekankan pada tentang keamanan komprehensif, termasuk apa yang kerjasama dinamakan ekonomi dan keuangan, beberapa tahun terakhir sangat aktif berbicara kerjasama di bidang issue-issue keamanan non- tradisional seperti terorisme global dan keamanan maritim, termasuk juga issue-issue sosial seperti kemiskinan dan kesetaraan gender.

Yang menarik adalah diselenggarakannya East Asian Summit (EAS) pada tgl. 14 Desember 2005 di Kuala Lumpur yang dihadiri 16 negara yang kemudian akan mencapai 18 negara, termasuk negara-negara ASEAN, Amerika Serikat , China, India, Jepang, Korea Selatan, , Australia dan New Zealand, serta Russia. Hal ini bersaing dengan East Asian Community (EAC) yang hanya terdiri atas ASEAN 10 + 3 yang banyak didominasi China, yang bersifat tertutup dan eksklusif, sedangkan EAS bersifat inklusif dan telah merobah arsitektur keamanan Asia. Hal ini melengkapi ARF (Asean Regional Forum) yang mempromosikan perdamaian dan keamanan di Asia Pasifik melalui dialog dan kerjasama. Di samping itu APEC (Asia Pacific Economi Cooperation) juga membahas tentang issue-issue keamanan non-tradisional seperti counter terrorisme dan penyakit menular serta keamanan maritim, energi dan lingkungan dan hal-hal yang lebih luas, di mana AS juga berperanan di dalamnya. AS mempertimbangkan keduanya sebagai instrumen diplomatik terhadap sistem aliansi militer bilateral, khususnya dengan Jepang. Belum lagi kdrjasama untuk memerangi terorisme di ASEAN ; ASEAN-Australia; ASEAN-Canada; ; ASEAN-India; ASEAN-Japan; ASEAN-Republic of Korea; ASEAN -New Zealand; ASEAN-Pakistan; ASEAN-Russian Federation; dan ASEAN-US;

KEAMANAN KOMPREHENSIF Istilah comphrehensive security yang muncul di dalam Bali Concord II (2003) , semakin populer seiring pula dengan berakhirnya Perang Dingin sekitar tahun 1988, dunia yang yang berseberangan dengan harapan masyarakat dengan penuh optimisme munculnya mengharapkan

perdamaian abadi, baik internal maupun antar negara, berkurangnya kekerasan dan tegaknya ketertiban dunia di bawah kendali PBB. Namun yang terjadi pada non-state actors identitas, tahun 1990-an justru menimbulkan pertanyaan, karena yang muncul adalah kekerasan yang dilakukan oleh seperti perang saudara, bumi (global pelanggaran HAM berat yang menyebabkan frustasi seperti genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, konflik berdasar pemanasan warming) perubahan iklim (climate change) yang membahayakan umat manusia akibat ulah manusia (man made), terorisme yang dipicu oleh akibat perasaan-perasaan kasenjangan sosial ekonomi, ketidakadilan, xenophobia, ketidakamanan akibat globalisasi yang dirasakan sebagai corporate globalism yang menimbulkan global injustice (kaji pula peristiwa krisis ekonomi global sebagai dampak krisis dengan center of gravity Amerika Serikat beberapa waktu yang lalu), separasi politik,

tuntutan solidaritas agama yang sempit, yang dimanipulasi oleh kaum ekstremis, fanatik, fundamentalis dan kelompok radikalis. (Muladi, 2006). Dalam perkembangannya istilah comphrehensive security dasarnya merupakan re-organized security concept yang pada goes beyond Security

(but does not exclude) the military to embrace the political, economic and sociocultural dimensions. (Alagappa, 1998). Oleh Council for Cooperation in the Asia Pacific (CSCAP)(20 negara), comphrehensive

security didefinisikan sebagai the pursuit of sustainable security in all fields (personal, political. economic, social, cultural, military, environmental) in both the domestic and external spheres, essentially through cooperative means. (CSCAP, 1995). Secara tradisional, keamanan telah didefinisikan dalam kerangka geopolitik, yang mencakup pelbagai aspek seperti deterrence, power balancing and military strategy yang cenderung melekat pada nations security, hubungan antar negara dan kekuatan militer. Hal ini selama beberapa waktu merefleksikan intellectual myopia atau intellectal straitjacket ( Tan and Boutin, 2001). Konsep keamanan komprehensif tersebut mempromosikan apa yang dinamakan human security untuk menggantikan kerangka pemikiran yang berorientasi pada state-centrism, yang sama sekali meninggalkan lingkup pengertian keamanan simetrik, ruang untuk merefleksikan ketidakamanan

yang biasa dihadapi oleh manusia baik individual, kelompok atau masyarakat yang bersifat kronis dan kompleks dalam kaitannya dengan kondisi kehidupan sehari-hari seperti persoalan makanan, tempat berteduh, lapangan kerja, kesehatan, keamanan umum, dan HAM, jauh dari kaitannya dengan hubungan dengan negara lain sebagai aktor dan kekuatan militer. Doktrin Jepang tentang human security dilandasi oleh premis bahwa keamanan nasional tidak hanya berkaitan dengan keamanan yang bersifat militer (military security) untuk mempertahankan suatu bangsa dari ancaman dari luar, tetapi juga human security untuk mempertahankan bangsa dari ancaman dari dalam, karena stabilitas nasional tergantung pada kondisi dimana manusia individual mempunyai dan merasakan food security; employment security; social security (education, health and old age pension);

energy security; information security (acces to transport and communication). (Rana, 2008 , p.3). Canada mensikapi pemikiran tentang keamanan komprehensif lebih luas lagi dan mencakup individual human rights as an integral part of Preamble Piagam PBB (UN international law and diplomacy. Dengan demikian terkait di sini rights and duties dari negara-negara untuk mengikuti Jadi bukan states atau governments perdamaian dan harmoni Charter) yang menyatakan bahwa We the peoples of the UN------------------. yang ditekankan untuk menjaga Gangguan terhadap kualitas internasional.

kehidupan akan menyebabkan human insecurity dan ujung-ujungnya akan mengancam perdamaian dunia, sebab dalam kerangka globalisasi yang menumbuhkan international society, aktor-aktor non-negara (non-state actors) memainkan peranan penting di dalam perdamaian dan kemajuan dunia. UN Development Programme (Report 1994) menggambarkan bahwa human security mencakup safety from chronic threats such as hunger, disease, and repression, as well as protection from sudden and harmful disruptions in the pattern of daily life. Semua dalam kerangka freedom from want, freedom from fear and freedom to live in dignity bagi semua orang yang mencakup tujuh area yaitu : keamanan ekonomi, makanan, kesehatan, lingkungan hidup, personal, masyarakat dan keamanan politik. Selanjutnya muncul istilah Roque States (Noam Chomsky, 2000) yang menggambarkan suatu Negara yang memerintah atas dasar kekerasan (the Rule of Force), tidak taat dan tidak merasa terikat kepada norma-norma hukum internasional (UN Charter, pelbagai konvensi internasional, putusan International Court of Justice), dan sering pula disebut sebagai outlaw nation atau criminal state yang membahayakan negara tetangga dan dunia internasional. Untuk itu muncullah pelbagai pemikiran untuk mengembangkan kerjasama keamanan regional atau internasional seperti ASEAN Security Community di bawah ASEAN Charter (ART.1.8. To respond effectively, in accordance with the principle of comphrehensive security, to all forms of threat, transnational crimes, and transboundary challenges), kemudian Lombok Treaty (2007) antara Indonesia dan Australia

10

(2007). Hal ini merupakan legal basis pengakuan atas integritas teritorial masing-masing, yang mengatur kerjasama sbb. : a. Defence cooperation; Konsep keamanan komprehensif sangat valid di Era pasca perang dingin 1990-an , karena di era globalisasi saat ini tidak ada sesuatu negara yang secara sendirian mampu mengendalikan, mengkoordinasikan kepentingan nasionalnya melalui diplomasi tradisional, yang mengandalkan penggunaan kekuatan untuk ditaati, karena dalam hal ini yang terlibat politik internasional tidak hanya negara tetapi juga aktor-aktor non-negara . Ditambah lagi bahaya yang ditimbulkan oleh the failed states (Failed states can no longer perform basic functions such as education, security, or governance, usually due to fractious violence or extreme poverty. Global Policy Forum, 2008), pemerintahan pusatnya yang sangat rentan, lemah, dan berada dalam konflik atau krisis yang sangat lemah atau tidak effektif, tidak dapat mengawasi dan mengendalikan wilayahnya serta sangat membahayakan keamanan regional dan global. (Indonesia tahun 2011, masuk kategori warning (no. 63 dari 177 negara dengan kategori alert, warning, moderate, sustainable melalui 13 indikator). b. Law enforcement in cooperation money (in preventing and combating terrorism; transnational crimes, in particular related to : people smuggling and trafficking persons; laundering; financing corruption; illegal fishing; cyber crimes, illicit trafficking in narcotics drugs and psychotropic substances and its precursors; illicit trafficking in arms, ammunition, explosives and other dangerous materials and the illegal production thereof; and other types of crime if deemed necessary by both parties);). c. Counter-terrorism cooperation; d. Intelligence cooperation; e. Maritime security; f. Aviation safety and security; g. Proliferation of weapon of mass destruction; h. Emergency cooperation; i. Community understanding and people- to -people cooperation.

11

SAARC (1985) (South Asian Association for Regional Cooperation) terdiri atas : India, Pakistan, Sri Lanka, Maldives, Bhutan, Pakistan, Bangladesh, Nepal, Afganistan. Akan menusul Korea Selatan, Iran, Myanmar, Russia. Hal-hal yang ditekankan dalam kerjasama keamanan adalah : 1) Penghormatan terhadap kedaulatan, kemerdekaan dan integritas teritorial; 2) Tanggungjawab kolektif untuk memperkokoh perdamaian, keamanan dan kesejahteraan; 3) Penolakan agresi; 4) prinsip non-interference dalam masalah internal; 5) mengembangkan konsultasi; 6) penolakan kekerasan; 7) pengembangan terhadap kebenaran dan rekonsiliasi; 8) penolakan blokade ekonomi dan boikot serta ancaman penggunaan kekuatan; 9) batas nasional yang tak boleh diganggu gugat; 10) penghormatan terhadap HAM , perbedaan kultur, bahasa dan agama serta warisan peradaban; 11) ketentuan tentang human security untuk semua; 12) penyelesaian perselisihan secara damai; 13) saling membantu dalam mengatasi bencana alam; 14) perhatian atas keluhan atas rasa takut atau khawatir; 15) terbuka, komprehensif dan berorientsi ke depan; 16) menghargai 17) menghargai Piagam PBB, hukum internasional; sosial dan prinsip agama good dan governance, demokrasi dan konstitusi; pluralisme budaya, keanekaragaman; 18) perlakuan khusus terhadap negara-negara yang belum berkembang; 19) pengembangan people to people contact; Di samping itu kerjasama pertahanan dan atau keamanan juga dilakukan dengan pelbagai negara seperti dengan India, Korea Selatan, China, Amerika Serikat dll. al. untuk memajukan industry strategis dan latihan bersama serta pendidikan.

12

Dengan Korea Selatan kerjasama sangat maju dalam bentuk Joint Defence Logistics and Industrial Committee yang telah membangun kapal landing plattform dock bersama PT PAL, overhaul kapal selam, pembuatan panser kanon dan rencana membangun Korean Fighter (KF-X). Istilah keamanan komprehensif ini dalam perkembangannya dikaitkan dengan non-traditional security (NTS) atau non-military security threat atau non-conventional security threat atau asymetric security threat. Digunakannya istilah security dalam hal ini dimaksudkan agar masalahnya memperoleh perhatian sungguh-sungguh dari negara-negara di dunia, karena potensi viktimisasi yang ditimbulkannya terhadap umat manusia sangat besar. Kita tidak dapat menutup mata bahwa pada 50 tahun terakhir dalam kerangka proses globalisasi, pertumbuhan dinamis masyarakat dunia luar biasa, yang diwarnai oleh pelbagai inovasi di segala bidang. Namun demikian kita juga tidak buta terhadap kenyataan, bahwa terutama sejak krisis ekonomi di Asia orang juga disadarkan oleh keterbukaan dan interdependensi serta sifat transnasional dari hal-hal yang bersifat mencederai tidak hanya negara, tetapi juga human security. Contoh terakhir adalah krisis ekonomi global yang melanda dunia, akibat perilaku korporasi multi nasional di Amerika Serikat yang berperilaku jauh dari etika bisnis. Kejadian terakhir di Indonesia yang menjurus terrorisme yang diarahkan untuk mencederai simbol-simbol Negara oleh kelompok radikalis dapat dikatakan merupakan sinergi (hybrid) antra ancaman yang simetrik dan asimetrik. Kita sadar bahwa masalah keamanan selalu didominasi oleh keprihatinan tradisional seperti kedaulatan, kemerdekaan politik dan militer serta pertahanan sampai dengan keamanan regional. Meskipun demikian kenyataan yang terjadi adalah munculnya tantangantantangan baru seperti ancaman terhadap kesehatan (penyakit infeksi krisis menular seperti SARS, flu burung dll), pengangguran, kemiskinan,

ekonomi, bencana alam (tsunami) , degradasi lingkungan hidup, migrasi manusia yang tidak tertib, kompetisi untuk memperoleh sumberdaya alam, kejahatan transnasional terorganisasi, perdagangan illegal narkoba, terorisme dan saling ketergantungan ekonomi, yang sangat berbahaya baik bagi negara maupun umat manusia. 13

Hal ini sama sekali telah merobah pandangan manusia, bahwa ancaman bahaya keamanan tidak hanya bersumber pada hal-hal yang bersentuhan dengan terminologi geopolitik, yang meliputi deterrence, power balancing and military strategy sehubungan dengan pertahanan dari serangan militer dari luar saja, yang sebelumnya merupakan fokus eksklusif dari kebijakan keamanan. Dengan demikian pengertian keamanan dalam arti sempit (narrow definition of security) mulai dipertanyakan dan seharusnya juga mencakup ancaman keamanan yang non- militer. Human security konsep menyadarkan kita bahwa apa yang dinamakan people centered view of security sangat penting untuk diperhatikan dalam rangka terciptanya stabilitas baik secara nasional, regional maupun global. Suatu konsorsium yaitu Consortium on Non-Traditional Security Studies in Asia mendefinisikan NTS sebagai challenges to the survival and well-being of peoples and states that arise primarily out of non military sources, such as climate change, resource scarcity, infectous deseases (SARS, pandemi avian flu), natural disasters, irregular migration, famine, people smuggling, drug trafficking and transnational crime. Krisis finansial 1997-1998, bencana asap, terorisme, TOC, bancana alam (tsunami) termasuk di dalam ruang lingkup NTS. Bahaya keamanan non-tradisional pada dasarnya cenderung bersifat transnasional, yang penanggulangannya harus didasarkan atas kerjasama antar negara dan bahaya ini mencakup 3 (tiga) kategori : Bahaya alam (nature threat) seperti bahaya penyakit infeksi menular misalnya virus HIV/AIDS, SARS, H5NI, bencana alam, climate change/global warming karena ulah umat manusia yang meningkatkan emisi gas rumah kaca secara tidak terkendali, dalam proses industrialisasi (karbondioksida) dan deforestisasi; Bahaya terhadap ekonomi dan pembangunan (economic and development threat) seperti dampak negatif globalisasi (the worldwide phenomenon of technological, economic, political, and cultural exchanges, brought about by modern communication, transportation and legal infrastructure as well as the political choise to consciously open cross border links in international trade and finance) yang cenderung menguntungkan negara-negara maju dengan mengesampingkan solidaritas sosial, demokrasi, 14

egalitarianisme, HAM ;

urbanisasi; peledakan penduduk; kemiskinan;

penganggguran; krisis ekonomi; krisis energi; dan Bahaya sosial dan politik (social and political threat) yang mencakup konflik etnik, agama dan budaya, terorisme, kultur militerisme, kejahatan terorganisasi, bahaya narkoba, ketidaksetaraan gender, perompakan di laut, illegal fishing, illegal logging dan illgal mining, penyelundupan; ekstrimisme, migran gelap, perdagangan manusia (termasuk perdagangan organ tubuh), gerakan separatis, radikalisme dan sebagainya. (Feng, 2007). Khusus tentang global warming and climate change, masalahnya sangat aktual, sebab pelbagai bencana alam yang ditimbulkannya seperti meningkatnya gelombang panas, peningkatan curah hujan yang menimbulkan banjir, peningkatan badai tropis, cuaca buruk, pengurangan salju dan gletzer, munculnya penyakit-penyakit endemi, kenaikan air laut, peningkatan suhu di permukaan bumi dan sebagainya, di samping faktor alam juga karena ulah manusia yang tidak terkendali di bidang industri, kendaraan bermotor, deforestasi, , pertanian, manufaktur, dll, yang mengakibatkan meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfir (CO, CH4, N2 dll). Dengan demikian sangat dibutuhkan kerjasama antar negara baik antar negara maju maupun antara nergara maju development mechanism) untuk (emission trading, joint implementation) dengan negara berkembang (clean melakukan langkah-langkah mitigasi

(memperlambat) maupun adaptasi (menyesuaikan diri) terhadap perobahan iklim (climate change) tersebut (Muladi, 2008). Dalam beberapa hal bahaya terhadap keamanan non-tradisional menimbulkan kondisai overlap di mana soft security berinteraksi dan terhadap bersinergi dengan hard security yang menimbulkan dilemma bisa mencederai sekaligus. kedaulatan negara adalah

keterlibatan militer dalam suasana demokrasi, mengingat hal ini cenderung dan bahaya terhadap masyarakat perompakan di laut dan Contohnya terorisme,

ekastremisme serta keberadaan kelompok bersenjata transnasional. Terkait di sini apa yang dinamakan dalam kehidupan militer sebagai military operation other than war.(vide UU No. 34 Tahun 2004 Pasal 7 ayat 2 butir b). (mengatasi separatis bersenjata; mengatasi pemberontakan bersenjata; mengatasi aksi terorisme; mengamankan wilayah perbatasan; mengamankan 15

obyek vital nasional yang bersifat strategis; melaksanakan tugas perdamaian dunia sesuai dengan kebijakan politik luar negeri; pengamanan Presiden dan Wapres beserta keluarganya; memberdayakan wilayah pertahanan dan kekuatan pendukungnya secara dini dengan sitem pertahanan semesta; membantu tugas pemerintahan di daerah; membantu kepolisian negara RI dalam rangka keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam UU; membantu pengamanan tamu negara setingkat kepala negara dan perwakilan pemerintah asing yang sedang berada di Indonesia, membantu menanggulangi akibat bencana alam, pengungsian dan pemberian bantuan kemanusian; membantu pencarian dan pertolongan dalam kecelakaan (S and R) dan membantu pemerintah dalam pengamanan pelayaran dan penerbangan terhadap pembajakan, perampokan dan penyelundupan). Pelaksanaan OMSP tergantung pada kebijakan dan keputusan politik Negara (Pasal 7 yat 3); Atas dasar Pasal 15 UU No. 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, diisyaratkan pembentukan semacam Dewan Keamanan (istilahnya Pertahanan) Nasional atau di AS The National Security Council berfungsi memberi nasehat kepada Presiden yang

dengan memperhatikann

integrasi berbagai kebijakan dalam negeri, luar negeri, militer dan departemen/badan lainnya, untuk bekerjasama secara efektif dalam berbagai masalah menyangkut keamanan nasional. Hal ini diharapkan dapat menjembatani dikotomi antara tugas TNI dan POLRI menurut Pasal 30 UUD NRI Tahun 1945, yang memisahkan tugas TNI ( sebagai alat Negara bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan Negara) dan tugas POLRI (sebagai alat Negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum). Hal ini dapat dikatakan sebagi kerjasama keamanan di tingkat nasional. Kofi A. Annan pada laporannya semasa menjabat Sekretaris Jenderal PBB mengidentifikasi adanya 6 kelompok ancaman atau bahaya bersama (six clusters of threats) yang dihadapi oleh bangsa-bangsa di dunia yaitu ancaman sosial ekonomi berupa kemiskinan, penyakit menular dan degradasi lingkungan; konflik antar negara, konflik internal negara termasuk perang saudara, genosida dan kekejaman berskala besar lainnya; senjata nuklir, 16

radiologi, kimia dan biologi; terorisme dan kejahatan lintas negara terorganisasi (TOC). (Annan, 2005). Dari sini nampak bahwa bahaya bersama terhadap keamanan manusia di masa depan akan bersifat dua dimensi, yaitu bahaya keamanan yang tradisional (konflik antar negara) yang masih ada seperti konflik ChinaTaiwan, Korea Utara-Korea Selatan, India-Pakistan dll. dan bahaya keamanan non -tradisional di atas. Sehubungan dengan ini South African mendefinisikan keamanan (security) sebagai : an all-encompassing condition in which individual citizens live in freedom, peace and safety; participate fully in the process of governance; enjoy the protection of fundamental rights; have access to resources and the basic neccecities of life; and inhabit an environmental which is not detrimental to their health and well-being (Len le Roux, 1999). Selanjutnya dikatakan bahwa di tingkat nasional tujuan kebijakan keamanan (security policy) mencakup konsolidasi demokrasi, pencapaian keadilan sosial, pembangunan ekonomi, dan suatu lingkungan hidup yang aman; pengurangan signifikan tingkat kejahatan, kekerasan, instabilitas politik. Stabilitas dan pembangunan saling memperkuat satu sama lain (mutually reinforcing) dan berkaitan satu sama lain (inextricbly linked). Di tingkat internasional tujuan kebijakan keamanan mencakup usaha untuk mempertahankan kedaulatan, integritas teritorial dan kemerdekaan politik, dan promosi keamanan regional. Presiden AS Harry S. Truman menegaskan bahwa NATIONAL
DOES NOT CONSIST ONLY OF AN ARMY, A NAVY, AND AIR FORCE ECONOMY SECURITY

White Paper on Defence

.IT

DEPENDS ON A SOUND

.ON

CIVIL LIBERIES AND HUMAN FREEDOM .

Dengan demikian keamanan

selalu dipengaruhi oleh lima hal utama : militer, politik, ekonomi , social dan lingkungan. Militer, ekonomi, teknologi maju, politik stabil dan kehidupan social budaya kohesif. Untuk itu dapat difahami bahwa di dalam kerjasama keamanan (security cooperation) antara Indonesia dan Australia (Lombok Treaty, 2008) yang disetujui oleh kedua negara, mencakup tidak hanya defence cooperation yang bersentuhan dengan angkatan bersenjata (armed 17

forces) kedua negara , tetapi juga mencakup law enforcement cooperation dalam rangka penanggulangan kejahatan transnasional (people smuggling and trafficking in persons, money laundering, financing of terrorism, corruption, illegal fishing, cyber crimes, illicit trafficking in narcotics drugs and psychotropic substances and its precusors, illicit trafficking in arms, ammunition, explosives and other dangerous materials and the illegal production thereof; and other types of crime if deemed necessary by both Parties) dan counter-terrorism cooperation dan lainlain. Dalam hal ini keamanan harus ditafsirkan sebagai comphrehensive security , yang mencakup pula non military security. Sebagai referensi dapat dikemukakan pula kebijakan keamanan komprehensif Canada yang mencakup elemen militer dan non-militer (national soft power) yang dirumuskan sebagai The Five Ds of Securityyang mencakup : Development Measures to create the kind of economic, social, and environmental conditions that are conducive to sustainable peace and stability; Democracy Measures to promote good governance that emphasize political inclusiveness and participatrion, as well as respect for human rights; Disarmament Measures to prevent excessive and destabilizing accumulations of arms and to prohibit weapons of mass destruction; Diplomacy Engagement in multilateral efforts toward the prevention of armed conflict, the peaceful management of political conflict, the development of a rules-based international order, and the promotion of development, democracy and disarmament; Defence The capacity to resort to the use of force in extraordinary circumstancew in support of the full range of peace and security efforts; (Regehr, 2005) PENDEKATAN DIKOTOMIS

18

a. Referent : Keamanan Tradisional (KT) melindungi batas-batas negara, rakyat, lembaga dan nilai-nilai yang berkaitan dengan negara; Keamanan manusia ; b. Ruang Lingkup (Scope) : KT berusaha mempertahankan integritas dan wilayah negara dari serangan agresi eksternal (deter or defeat); KNT juga berusaha memperluas ruang lingkup untuk melindungi dari ancaman yang lebih luas jangkauannya termasuk lingkungan, polusi, penyakit menular dan deprevasi atau kerugian ekonomi; c. Aktor : KT menampakkan adanya peran negara dan pemerintah sebagai aktor tunggal dalam pengambilan keputusan untuk menjamin daya survival; KNT melibatkan tidak hanya pemerintah dan negara, tetapi tetapi juga partisipasi dari aktor lain yaitu organisasi regional, internasional dan NGO termasuk komunitas lokal; d. Sarana (means) : KT menyandarkan diri kepada pembangunan kekuatan nasional atau militer yang berakibat perlombaan senjata dan aliansi militer; KNT tidak hanya melindungi, tetapi juga memberdayakan masyarakat sebagai sarana keamanan. Snow, dalam bukunya National Security for a New Era (2007), menggambarkan dikotomi antara symetrical and asymetrical warfare sebagai berikut : 1) Di dalam perang simetrik (komotasi Amerika dan Eropa modern) , perang dilakukan uniform secara tradisional, mendayagunakan kekuatan militer konvensional, kedua pihak terorganisasi dengan baik (pakaian dengan pangkat yang jelas, terdiri atas AD, AL dan AU), yang berdaulat, dan menerima hukum atau konvensi memiliki kepentingan politik yang berseberangan, mewakili negara/ pemerintah ingternasional tentang apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan dalam perang (mi. Konvensi Jenewa 1948) sebagai kehormatan. Contoh dua Perag Dunia. Bentuk ini juga bisa dilakukan baik secara unilateral maupun multilateral; 2) Perang asimetrik (konotasi model Asiatic dan Timur Tengah) yang berlawanan dengan perang simetrik, pelaku mewakili kelompok kepentingan yang menentang negara yang menjalankan perang 19 Non-Tradisional (KNT) melindungi kesejahteraan umat

simetrik, pelaku tidak mewakili negara berdaulat , tidak tunduk pada standar tradisional (mis. Pejuang gerilya) dan sama sekali menolak berlakunya hukum atau konvensi perang yang dianut oleh mereka yang melakukan perang secara konvensional; Mereka tidak berusaha mengendalikan pemerintahan sebagai tujuan utama, juga tidak mewakili pemerintahan dan tidak tunduk pada konvensi atau hukum perang yang dianut lawan; 3) Perang asimetrik dilakukan karena mereka sadar tidak akan mampu berkompetisi dengan lawan yang kuat dengan cara -cara simetrik (Goulding : approach by which weaker oppnonents have sought to neutralized their enemys technological or numerical superiority by fighting in ways or on battlefields that nulify it. Dengan demikian apabila di satu kesempatn tidak akan menang, di kesempatan lain dapat diharapkan kemungkinan menang; 4) Yang menarik adalah negara-negara yang semula taat melakukan perang simetrik mulai tertarik juga menggunakan cara-cara asimetrik. Contoh Amerika menerapkan : pre-emptive strike, membuka Guantanamo detention center dan mendayagunakan drone dengan alasan yang dibadapi adalah illegal combatant; GLOBAL TRENDS Suatu dialog tentang masa depan yang dilakukan oleh National Intelligence Council (NIC) , suatu lembaga studi strategis di lingkungan US Intelligence Community menggambarkan beberapa kecenderungan menonjol, yang pada dasarnya mengandung drivers bagi munculnya bahaya nontradisional yang antara lain adalah sebagai berikut : Peledakan penduduk terutama di negara-negara berkembang akibat meningkatnya harapan hidup karena kemajuan teknologi kesehatan dan menurunnya angka kematian bayi serta tidak effektifnya keluarga berencana akan meningkatkan arus urbanisasi serta mengalirnya ke negara-negara maju, yang memicu imigran gelap lintas negara

instabilitas dan ketegangan sosial dan politik;

20

Permintaan terhadap kebutuhan air dan energi semakin meningkat, khususnya di negara-negara industri, yang cenderung menimbulkan ketegangan politik internasional;

Perkembangan IPTEK

yang maju pesat di bidang-bidang IT,

bioteknologi, dan nanoteknologi, yang dapat memicu pula terjadinya perkembangan pesat terhadap senjata-senjata pemusnah masal (WMD), termasuk kemungkinan pemanfaatannya oleh para teroris dan penjahat transnasional terorganisasi (weapon proliferators, narcotictrafickers) serta negara-negara yang tidak stabil (fail state, rogue states) yang dapat membahayakan keamanan dunia; Dalam hal ini ada istilah cyber-warfare berbahaya, dalam bentuk perang informasi yang bersifat ofensif dengan target sistem komputer yang potensial sangat mulai terhadap system telekomunikasi, keamanan dan perbankan atau sering disebut digital Pearl Harbor; Issue pencemaran lingkungan dan degradasi lingkungan akan tetap menjadi fokus negara-negara di dunia untuk mengatasinya melalui mitigasi dan adaptasi, disertai usaha untuk mengembangkan alternative energy ; Perkembangan ekonomi global terjadi dan dipicu oleh arus cepat dan tidak terbatas atas informasi, ide, nilai-nilai kultural, modal, barang dan jasa, serta manusia. Hal ini di samping menguntungkan negara-negara maju, juga akan menimbulkan permasalahan besar di lingkungan regional, negara-negara, kelompok yang merasa ketinggalan (tidak mampu, tidak effektif) , dengan akibat stagnasi ekonomi, instabilitas politik, dan keterasingan budaya. Hal ini akan menggerakkan ekstrimisme politik, etnik, ideologi dan agama, yang tidak jarang disertai dengan kekerasan yang menimbulkan konflik baik di dalam negeri maupun di luar negeri; Di dalam national dan international governance peranan negara akan tetap dominan, tetapi sulit mengawasi dan mengendalikan arus informasi, teknologi, penyakit menular, migran, senjata, dan transaksi finansial, baik yang sah maupun tidak sah serta lintas batas negara. Dalam hal ini peranan non-state actors sangat besar, baik berupa

21

for-profit sector seperti MNC; non-profit sector or organizations di bidang-bidang kesehatan, pendidikan dan pelayanan sosial serta proyek kemanusiaan lainnya, melalui pelayanan informasi, dan keahlian, advokasi kebijakan serta bergerak melalui organisasi internasional; maupun dalam bentuk traditional communal groups, baik bersifat keagamaan maupun ethnik yang bergerak HAM, lingkungan hidup, sosial dan sebagainya. Negara-negara adikuasa, khususnya AS akan menghadapi 3 (tiga) jenis ancaman : (1) asymmetric threats di mana negara-negara dan aktor-aktor nonnegara yang bermusuhan akan menghindari konflik langsung secara militer, tetapi mengembangkan strategi, taktik, dan persenjataan modern, untuk memperkecil kekuatan AS dan mengeksploitasi kelemahannya;(the fourth generation of war); (2) Penggunaan senjata-senjata pemusnah masal (WMD) termasuk senjata nuklir (peluru kendali) oleh Russia, China, Korut, Iran, yang dapat menyerang AS dan secara potensial terjadi penyebarluasan secara inkonvensional WMD (nuklir, biologi, kimia) negara-negara atau aktor non-negara; (3) Ancaman militer regional dimana beberapa negara dan teknologi Perang Dingin dan Pasca Perang Dingin; AS akan tetap merupakan pemegang hegemoni kekuatan utama dalam masyarakat dunia baik di bidang ekonomi, teknologi, militer dan diplomasi, sehingga akan mendapat manfaat besar dari proses globalisasi yang sangat intensif. (NIC, 2000) PERGESERAN HAKIKAT LINGKUNGAN KEAMANAN ABAD 21 Selama kurang lebih 15 tahun terakhir masyarakat di dunia menjadi saksi terjadinya 3 hal yang berkaitan satu sama lain, yaitu : berakhirnya Perang Dingin; keruntuhan Marxisme-Leninisme sebagai suatu ideologi revolusioner di dunia; dan bangkitnya suatu lingkungan keamanan dunia memelihara kekuatan militer besar dengan menggabungkan konsep-konsep baik oleh di bidang

22

yang baru. Lingkungan strategis telah mengalami suatu transformasi dari apa yang oleh John Lewis Gaddis dikatakan sebagai the Long Peaceof the 20 century Cold War ke arah suatu situasi yang oleh US Pentagon digambarkan sebagai a Long War against the diffuse of an Islamist insurgency.(Evans, 2007) Selama Perang Dingin (Long Peace) abad 20 terjadi banyak perang regional mulai dari perang Korea terus ke Vienam dan selanjutnya sebab tidak Afganistan, tetapi stabilitas struktural tidak pernah goyah

terjadi perang utama antara dua kekuatan besar. Digambarkan bahwa persiapan perang memang terjadi antara Pakta Pertahanan NATO dan Pakta Warsawa, yang digambarkan sebagai suatu symphony orchestra yang megah dengan tahapan (lembaran musik) yang bisa diperkirakan dan dimengerti dengan baik oleh masing-masing musisi. Saat ini dalam suasana Long War Abad 21 persiapan konflik bersenjata menyerupai musik jazz (jazz playing), dengan segala improvisasinya dan akan sulit diramalkan bentuk musik yang akan terdengar. Kejadian 11 September 2001 merupakan gejala mengerikan tentang terjadinya perobahan mendalam di dunia . Teknologi telah menyebarkan kekuatan jauh dari pemerintah dan memperkuat individu dan kelompok untuk berperanan dalam politik dunia termasuk menimbulkan kerusakan secara besar-besaran untuk melawan pemerintah. Privatisasi telah meningkat dan terorisme merupakan privatisasi perang (terrorism is the privatization of war). Kejadian 11 September berasal dari globalisasi dari kekerasan informal sebagai kategori baru dari asymmetric warfare yang diprakarsai oleh non-state actors. Di dalam perkembangan the Long War terjadi apa yang oleh Blok Barat disebut sebagai bentuk baru dari penyebaran senjata pemusnah masal, dan penyebaran rasa takut terorisme (novel setting of diffusion and diversification of weapons of mass destruction, percolating global turbulence, and widespread fear of terrorism). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa karakter atau hakekat perang telah berobah. Namun harus dicatat bahwa berkembangnya bahaya asimetrik yang bersifat dan berdimensi new multi-centric environment tidak dengan 23

sendirinya akan menghapuskan bahaya tradisional yang bersifat simetrik (state-centric world order). Yang terjadi adalah the two worlds of world politics, dimana interaksi dunia yang berkarakter simetrik atau centric dan dunia asimetrik berupa state multicentric world semakin

meningkat dan menciptakan bentuk konflik bersenjata yang berubahubah dan sulit diprediksi sebelumnya. Apa yang menjadikan lingkungan strategis abad 21 begitu bergolak bukanlah faktor perobahan itu sendiri, tetapi karena kompresi atau dan multi-centric akibat penggunaan jaringan tekanan dan saling keterkaitan dari perobahan yang cepat antara dunia the state- centric elektronik. Dalam hal ini dua cabang sistem keamanan global yang telah berkembang mengandung 3 (tiga) kecenderungan: (a) pergeseran berorientasi pada teritorialitas kearah keterhubungan perang antar negara; (b) suatu kebutuhan dari tidak dan antara negara dan masyarakat serta kebijakan pemikiran yang

(connectedness) dan pengurangan frekuensi kekaburan perbedaan

luar negeri dan domestik sehingga menciptakaan bentuk bentuk konflik bersenjata yang

nasional tentang kebijakan keamanan; dan (c) penggabungan konvensional

konvensional. Dalam hal ini dikatakan bahwa the most powerful weapon in the world, the ability to manage every aspect of a conflict from one operation centre. Jenkins menggambarkan perbedaan antara musuh dunia Barat di Era Perang Dingin dan yang berkembang di abad 21 sebagai berikut : The enemies of yesterday were static, predictable, homogenous, rigid, hierarchical, and resistant to change. The enemies of today are dynamic, unpredictable, diverse, fluid, networked, and constantly evolving (Evans, 2007). Logika dari timbulnya perang asimetrik pada dasarnya berkaitan dengan ketidakseimbangan Qaeda melawan AS), kekuatan dan teknologi perang antara menerapkan taktik yang tidak kekuatan atau negara yang beselisih (mis. Palestina menghadapi Israel; Al sehingga konvensional. Yang lemah mengklaim punya hak untuk menggunakan taktik tidak konvensional, yang terdiri atas serangan terhadap penduduk 24

sipil, karena merupakan jalan satu-satunya untuk mengimbangi kekuatan musuh. ereka mengklaim dirinya sebagai pihak yang tidak beruntung menghadapi perang yang tidak imbang. Dengan demikian nampak adanya dua dimensi bahaya terhadap baik negara maupun manusia di masa depan pasca Perang Dingin. Di samping tetap adanya ketegangan antar negara seperti antara India dan Pakistan yang sama-sama memiliki senjata nuklir, munculnya kekuatan baru seperti China, kecurigaan AS dan Barat terhadap negara-negara yang dianggap sebagai roque States (Korea Utara, Iran), intervensi antar negara dalam masalah-masalah konflik antar nagara (di Afrika), muncul new threat patterns seperti : kejahatan transnasional terorganisasi, perdagangan senjata-senjata ringan (small arms) , perompakan di laut bebas, terrorisme yang melengkapi dirinya dengan senjata-senjata pemusnah massal, information warfare, ancaman terhadap kedutaan-kedutaan besar, kapal, pesawat udara dan asset-asset lepas pantai, migrasi illegal, dan degradasi lingkungan. GENERASI KE-4 DAN KE-5 PERANG Terkait dengan apa yang telah dikemukakan di atas, perlu dikaji apa yang dinamakan Generasi Keempat Perang (Fourth Generation of War 4GW) sebagai berikut: Generasi I : perang modern terjadi antara 1648-1860. Perang ini merupakan perang dalam barisan dan lajur, di mana perang dilakukan secara formal dan medan perang yang tertib dan rapi serta linier. Hal ini dikaitkan dengan kultur militer yang penuh keteraturan. Hal-hal yang membedakan antara orang sipil dan militer seperti pakaian seragam, pemberian hormat, dan pangkat, pada dasarnya merupakan produk Generasi I ini dan dimaksudkan untuk menegakkan budaya ketertiban. Generasi I ini didominasi oleh massed manpower seperti yang terjadi dalam perang Napoleon; Generasi II : perang dikembangkan oleh Tentara Perancis, selama daya tembak atau mass Perang Dunia I, dengan mengedepankan

25

firepower yang sebagian besar memanfaatkan tembakan meriam tidak langsung. Doktrin yang dikembangkan adalah The artillery conquers, the cavalry as the attacker and the infantry occupies. Daya tembak yang terkendali secara terpusat dan hati-hati disinkronisasikan dengan menggunakan rencana yang khusus dan terperinci dan teratur bagi

infantri, tank dan artilery di mana komander sangat memegang peranan; Generasi III : perang yang sebenarnya juga merupakan produk PD I dikembangkan oleh Tentara Jerman dalam PD II yang dikenal secara luas sebagai Blitzkrieg atau perang dengan maneuver, didasarkan atas daya tembak dan menghabiskan tenaga lawan (attrition), tetapi mengutamakan kecepatan, daya dadak, dan kekuatan mental serta fisik. Sebagai pengganti doktrin close with and destroy motto yang lain yang dikembangkan adalah bypass and collapse. Generasi ketiga ini bersifat non-linier. Ketertiban menentukan hasil yang akan dicapai, tetapi tidak menentukan cara. Inisiatif lebih penting daripada ketaatan. Generasi IV : desentralisasi dan inisiatif yang berasal dari generasi ketiga diambil alih oleh Generasi IV perang. Yang sangat menonjol dalam Generasi IV ini adalah perobahan radikal terhadap norma yang dihasilkan oleh perjanjian Westphalia 1648 bahwa negara adalah yang memonopoli perang, karena di seluruh dunia militer negara generasi ini bertempur dengan dalam non-state opponents, seperti al

Qaeda dan organisasi-organisasi teroris lain. Dalam generasi ini sebenarnya yang terjadi adalah berulangnya budaya perang di masa lalu di mana yang terlibat konflik bukanlah negara, tetapi keluarga, suku, penganut agama, kota, dunia usaha yang menggunakan segala cara. Generasi keempat ini jaringan yang tersedia meyakinkan mengembangkan apa yang dinamakan yang mendayagunakan segala -politik, ekonomi, sosial, militer- untuk insurgency, bersifat asimetrik

pengambil keputusan musuh bahwa tujuan strategis

mereka tidak dapat dicapai atau sangat mahal. (Lind, 2007). Karakter lain adalah bersifat transnasional, tidak mengenal battlefield yang pasti, tidak membedakan sipil dan militer, tidak mengenal masa

26

perang dan damai, tidak mengenal front-line, dan bergerak melalui kelompok-kelompok kecil. Contohnya adalah terorisme. As the world moves further away from the 20th century concept of the Cold War, it becomes increasingly clear that the very nature of warfare itself has changed. The Old Style conflicts were about overpowering the enemy and winning ground. The new wars are about ideas, belief systems and ideologies. The battle is no longer about winning territory, it is about winning minds. Generasi V : Fifth Generation of Warfare yang disebut sebagai Information Operations/Warfare melalui mass media, internet (cyber warrior) yang dapat menimbulkan kerusakan 2007) Dalam menghadapi Generasi IV dan Generasi V perang ini, khususnya yang dikendalikan oleh non-state actor dan rogue state (states considered threatening to the worlds peace, such as being ruled and seek to proliferate weapons of mass destruction) menerapkan anticipatory strike/self defence. sekutu-sekutunya AS by authoritarian regimes that severely restrict human rights, sponsor terrorism, Amerika Serikat Bahkan saat ini bersama luar biasa di segala dll). (Patriot Post, bidang (ekonomi, pertahanan, transportasi, politik

menerapkan Proliferation Security Initiatives(PSI)

yang memungkinkan negara-negara pendukung PSI memegat kapal-kapal asing dan kapal-kapal lainnya yang berlayar di laut bebas dan di perairan nasional jika dicurigai membawa senjata pemusnah massal (WMD) dan atau bahan-bahannya untuk mencegah penyebarannya, khususnya dari atau ke negara-negara yang dicurigai mengembangkan senjata nuklir atau WMD lainnya. DOKTRIN KETAHANAN NASIONAL DAN KEKUATAN NASIONAL. Doktrin Ketahanan Nasional (National Resilience) mulai disadari bangsa Indonesia setelah secara relatif dapat melewati krisis keamanan tradisional pasca kemerdekaan yang banyak menyentuh masalah-masalah pertahanan (defence) sebagai faktor dominan, sehingga Bung Karno memunculkan

27

keberadaan Lembaga Pertahanan Nasional pada tahun 1965.

Kemudian

Doktrin Ketahanan Nasional di Era Presiden Suharto bersifat khas (unique and different), - yang melihat kehidupan nasional sebagai sistem sosial dan sistem alamiah yang utuh - khususnya apabila disandingkan dengan Doktrin Kekuatan Nasional (National Power) yang diadopsi oleh negara-negara adi kuasa. Doktrin Ketahanan Nasional erat sekali kaitannya dengan Tujuan Pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi Nasional yang terpateri dalam

segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; untuk memajukan kesejahteraan umum , mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial . Doktrin Ketahanan Nasional, sekalipun tidak pernah menafikan elemen outward looking sebagai lingkungan strategis yang harus diperhitungkan, namun cenderung bersifat defensif dan mementingkan pendekatan inward looking. Tannas mengandung kemampuan untuk segera bangkit dari krisis (engineering resilience), kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan positif (ecological resilience) dan kemampuan untuk memprediksi apa yang akan terjadi di depan (anticipatory resilience). Sebaliknya Doktrin Kekuatan Nasional (National Power), cenderung bersifat ofensif dan militeristik. Dalam hal ini fokus terhadap power diarahkan sebagai sarana (means), kekuatan (strength) dan kemampuan (capacity) yang menyediakan the ability to influence the behavior of other actors in accordance with ones own objectives. Hal ini diadopsi dalam arena internasional, baik sebagai tujuan sesaat, maupun sebagai sarana untuk mencapai tujuan akhir. Doktrin ini cenderung offensive, milteristik, berwawasan ke luar dan bersifat kontekstual, serta hanya dapat dievaluasi dalam kerangka seluruh determinan dalam kaitannya dengan pelaku-pelaku lain dan situasi dimana kekuatan harus diterapkan (Jablonsky, 2006). Namun demikian tidak berarti bahwa antara keduanya tidak terdapat persamaan (similarities) . Dalam hal ini persamaan antara keduanya yang bisa diidentifikasi adalah adanya kesadaran adanya hubungan multidimensional antar elemen atau determinan, baik natural maupun sosial; adanya kaitan determinan satu sama lain dan bersifat dinamis, karena sifat 28

determinan tersebut tidak bersifat kemampuan abstrak, tetapi hanya dapat dinilai dalam hubungan dengan negara lain. Dalam hal ini Doktrin Kekuatan Nasional memfokuskan diri pada keunggulan kompetitif, sedangkan Doktrin Ketahanan Nasional memfokuskan diri pada evaluasi tentang keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Persamaan logis yang muncul adalah bahwa baik doktrin tannas maupun kekuatan nasional sama-sama menghindari kesalahan akibat terjebak hanya dalam fokus pada satu determinan semata-mata (Morgenthau ; the fallacy of single factor). Persamaan yang lain adalah karakter situasional, karena beberapa elemen atau determinan atau kombinasi antar elemen tidak dapat diterapkan dalam situasi-situasi khusus lingkungan strategis. Dalam hal ini bagi Doktrin Ketahanan Nasional mungkin bahaya yang datang bersifat baru, terlalu cepat atau terlalu besar untuk dihadapi, dan bagi Doktrin Kekuatan Nasional penerapan kekuatan selalu didasarkan atas analisis biaya dan hasil (cost and benefit analysis). Jablonsky menyatakan bahwa elements of national power terdiri atas determinants natural (geography, population, natural resources) dan determinants sosial (economic, military, political, psychological, informational). Oleh Fendrick , ditambahkan elemen diplomasi sebagai suatu instrument of national power. sehubungan dengan kompleksitas dari

Penutup 1. Doktrin Tannas sudah mencerminkan konsep untuk menghadapi bahaya kemanan komprehensif. Tidak hanya berkaitan dengan bahaya militer antar Negara semata-mata. Faktor pertahanan dan keamanan hanya salah satu elemen dari Tannas. Tannas berisi seperangkat parameter untuk mengukur ketahanan nasional bangsa, yang harus dilihat secara sistemik, komprehensif, integral dan tidak secara ad hoc; 29

2. Pemahaman

tentang

kerjasama

keamanan

dan

keamanan

komprehensif sangat diperlukan dengan menyadari adanya bahaya ancaman keamanan yang multidimensional di dunia termasuk menghadapi NTS yang bersifat transnasional, tidak mungkin dihadapi sendiri oleh suatu negara, di mana konflik dan ancaman akan dikelola secara kolektif melalui kerjasama pakta militer (military alliances and internasional atau regional, baik multilateral maupun bilateral; 3. Cooperative security bukan collective security) menghadapi musuh khusus, tetapi merupakan merupakan multilateral effort to achieve security among all the participants through non-military means, without attributing either friend or enemy status to the relation involved. (Katsumata, 2007); 4. Dalam kerjasama keamanan tersebut masing-masing negara harus menghormati kebijakan keamanan dn pertahanan nasional (the policy of national security and defence) masing-masing dengan sikap dan cara sebagai berikut : Mentaati pelbagai perjanjian internasional; Menghormati integritas dan kedaulatan negara lain; Menghormati asas-asas perdamaian, stabilitas dan keamanan internasional serta aktif berpartisipasi secara internasional untuk pencapaiannya; Mengusahakan penyelesaian secara damai segala perbedaan dan mengutamakan pencegahan terhadap gangguan keamanan nasional melalui saluran diplomatik, politik dan militer; Menentang penyebarluasan penggunaan senjata-senjata pemusnah massal (nuklir, kimia, biologi) . 5. Perobahan nama Lembaga Pertahanan Nasional menjadi Lembaga Ketahanan Nasional pada tahun 1984 merupakan langkah yang tepat bagi LEMHANNAS, karena sekaligus menyadarkan kepada kita tentang realitas two worlds of world politics di atas, dimana bahaya atau ancaman tradisional terhadap negara yang bersifat

30

militeristik

saat

ini

bersinergi

negative

dengan

jaringan

desentralisasi ancaman yang berasal dari aktor-aktor nonnegara yang mendayagunakan segenap senjata (teknologi, ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya). Di samping itu pendekatan komprehensif-integral terhadap Ketahanan Nasional (National Resilience) yang mengandung determinan Asta Gatra yang merupakan gabungan antara determinan natural dan sosial, juga meningkatkan Security kewaspadaan kita terhadap Non-Traditional Threat (NTS) baik yang bersifat soft threat maupun

hard threat; di tingkat ASEAN berkembang iatilah regional resilience; 6. Dalam hal ini harus diyakini bahwa hubungan antar determinan Asta Gatra tersebut bersifat multidimensional interrelationship; dinamic dan situational. Morgenthau telah memperingatkan agar dalam mengelola pelbagai determinan sebagai kekuatan nasional, kita jangan terjebak pada apa yang dinamakan the Fallacy of the Single Factor. Fallacy yang lain adalah the failure to distinguish between potential and actual power. Alumni Lemhannas dan keluarga besar Lemhannas diharapkan dapat menjadi kelompok yang memelopori terwujudnya Comphrehensive Security Community sebagai tanggungjawab bersama; 7. Persoalan tentang kewenangan dan pembagian kewenangan antar lembaga yang menangani masalah pertahanan atau keamanan dalam arti sempit, dan kerjasama antar lembaga yang menangani keamanan komprehensif, sangat tergantung pada Konstitusi dan hukum positif yang berlaku di suatu negara dalam rangka Sistem Keamanan Nasional, dengan menjauhi egoisme sektoral. Dalam hal ini pembentukan semacam Dewan Keamanan Nasional sangat diharapkan; 8. Selain itu harus tetap disadari bahwa atas dasar perjanjian internasional pada dasarnya keamanan nasional merupakan subsistem keamanan regional dan semuanya merupakan sub-sistem perdamaian dan keamanan internasional (international peace and security system). Sebagai contoh dalam hal ini dapat dikemukakan 31

bahwa dalam ASEAN Charter sudah digunakan istilah regional resilience. Indonesia saat ini sangat dipercaya komitmennya terhadap perdamaian dan keamanan regional dan internasional, karena Indonesia dianggap sebagai negara demokrasi ketiga terbesar di dunia, disertai parlemen yang aktif dan masyarakat madani yang berkembang secara positif dalam masyarakat yang sangat pluralistik. Belum lagi dengan kondisi ekonomi yang relatif stabil, sekalipun menghadapi krisis finansial global. Pertumbuhan ekonomi masih terjadi dan strandar kehidupan meningkat; 9. Sering dikatakan bahwa untuk dapat melakukan kerjasama keamanan diperlukan level of playing field yang sama seperti promotion of democracy, human rights and obligations, transparency and good governance and strengthening democratic institutions. Di samping itu harus dibangun apa yang dinamakan confidence-building measures (CBMs) yang berintikan transparansi melalui pertukaran data dan informasi, kapabilitas dsb.nya; 10. Bagi Indonesia Karakter Nasional berupa 4 (empat) konsensus dasar nasional (Pancasila, UUD NRI tahun 1945, prinsip NKRI dan Sesanti Bhinneka Tunggal Ika) dan Karakter Pemerintahan yang demokratis merupakan determinan atau gatra khusus ketahanan nasional yang harus diperhitungkan; 11. Secara empiris bentuk-bentuk kerjasama keamanan regional dan internasional dilakukan dengan cara cara : a) exchange of information; b) enhance cross-border cooperation; c) promote capacity building (training, education, consultations, seminars/conferences, joint project and technical cooperation; d) enhance intelligence sharing and sharing of information; e) enhance existing cooperation towards developing database; f) joint research and development; g) encourage the use of video conference or teleconference facilities; h) extraterritorial jurisdiction; i) ratification and harmonization of law and standard; j) mutual legal assiastance in criminal matters; 32

k) extradition; l) designation of central authorities or coordinating structures; m) reviews and strengthen national mechanism; n) deepen cooperation among the front-line law enforcement agencies; o) provide assistance on transport security, border and immigration control; p) comply with all binding UN resolutions and declarations; q) strengthen measures to prevent illegal manufacture, possesion or trafficking in weapon, ammunition, explosives and potentially destructive material; r) joint exploration of additional areas of cooperation; s) identifying and addressing the root causes of common security threat; t) strengthen links with interpol, aseanopol, europol; u) building state capacity building (JCLEC =Jakarta Center for Law Enforcement Cooperation in Semarang; ILEA = International Law Enforcement Academy in Bangkok; SEARCCT = Southeast Asia Regional Center for Counter Terrorism in Kuala Lumpur;and Bilateral Dialog and Regional Talks;; v) cooperation to support development initiatves aimed at enhancinfg quality of life, rule of law, god governance and communty awareness of security threat; w) Joint Task Force seperti usaha untuk mengatasi sea piracy di Somalia (Combined Task Force 150 dan 151); x) di tingkat nasional segera dibentuk Dewan Keamanan Nasional.

Jakarta, 12 Juli 2012.

Daftar Pustaka

33

Alagappa, Muthiah, Asian Security Practices {Material and Ideational Influences), Stanford University Press, 1988. Annan, Kofi A., In Larger Freedom :Towards Development, Security and Human Rights for All, UN, 2005. Agreement Between The Republic of Indonesia and Australia on the Framework for Security Cooperation, Lombok, 13 Desember 2007. CSCAP, Memorandum No. 3: The Concept of Comphrehensive and Cooperative Security, Kuala Lumpur, ISIS, 1995. Desker, Barry, New Security Dimensions in the Asia Pacific, tha Indonesian Quarterly. Vol. 36. No. 3-4, 2008 p.355-368. Emmers, Ralf, Anthony, Melly Caballero, Acharya, Amitav, Studying NonTraditional Security in Asia, Trend and Issues, Academic, Singapore, 2006. Evans, From the Long Peace to the Long War : Armed Conflict and Military Education and Training in the 21 st Century, Australian Defence College, Occasional Series No. 1, 2007. Feng,Han, NTS Challenges and Policy Responses in North East Asia, in Inaugural Meeting of the Consortium of NTS Studies in Asia, Singapore, 2007. Hernandez, Carolina, The Asean Charter and the Building of an ASEAN Security Community, The Indonesia Quarterly Vol. 36 No. 3-4, 2008, p.296311. Hsiung, James C., Comphrehensive Security,: Challenge for Pacific Asia, New York University, 2008. Jablonsky, David, National Power, US War College Guide to National Security Policy and Strategy, 2 nd Edition, June 2006. Katsumata, Hiro, Asean Security Community Background Paper for the Informal Meeting of ASEAN Defence and Security Think Tanks, Singapore, 2007. Len le Roux, Defining defence requirements : Force Design Considerations for the South African National Defence Force, ,African Security Review Vol. 8 No. 5, 1999. Lind, William S, Understanding Fourth Generation War, http://www.lewrockwell.com/lind/lind3b.html, 2007. 34 Marshall Cavendish

Lutz, James M and Lutz Brend J, Global Terroirism, Routledge, London and New York, 2008. Muladi, International Singapore, 2006. Muladi, Global Warming dan aClimate Change Nasional dan Internasional, Jakarta, 10 Maret 2008. Moodie, Michael, Cooperative Security : Implications for National Security and International Relations, Chemical and Biological Arms Control Institute, Jnuary, 2000. NIC, Global Trends 2015, A Dialog About the Future With NGO Expert, December 2000. Patriot Post. Us, http://patriotpost.us/papers/05-10 paper asp., 2007 Rana, 2008. Regehr, Ernie, Project Ploughshares, Canadian Defence Policy Within a Comphrehensive Security Strategy, March 21, 2005. Sukma, Rizal, The Future of Asean, Towards a Security Community, New York, 3 June 2003. Snow, Domnld M, National Securityfor a New Era, Longman, New York, 2007 Tan, Andrew T.H. and Boutin Kenneth J.D., Non Traditional Security Issues in Southeast Asia, IDSS, Singapore, 2001. Madhukar, SJB, Comphrehensiver Security for South Asia, Conceptualization Toward a Regional Strategy, Sge Publication, New Delhi, Sebagai Masalah Terrorism, Paper Presented in IDSS Seminar,

35

Anda mungkin juga menyukai