Anda di halaman 1dari 35

BAB I PENDAHULUAN Demam tifoid adalah infeksi bakterial sistemik yang disebabkan oleh Salmonella typhi.

Demam tifoid ini biasanya diperoleh melalui perilaku mengkonsumsi makanan atau minuman yang terkontaminasi oleh urin atau feses dari seorang karier yang terinfeksi, sehingga penyakit ini dapat dikatakan sebagai salah satu penyakit yang sering dijumpai pada daerah dengan sistem sanitasi dan pengelolaan lingkungan yang buruk.1 Demam tifoid paling sering merebak pada negara negara yang sedang berkembang, daerah daerah pengungsian serta daerah daerah dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi. Negara Amerika Serikat melaporkan bahwa rata rata telah terjadi kurang lebih 400 kasus demam tifoid tiap tahunnya dimana 70% diantaranya berasal dari para penduduk yang kembali dari bepergian ke berbagai daerah terutama daerah endemis demam tifoid.1 Kejadian ini dapat mengenai hingga 12.5 juta orang tiap tahunnya pada negara negara yang sedang berkembang.2 Di Asia sendiri kejadian ini dilaporkan mencapai 274 kasus dari 100.000 penduduk dan merupakan angka insiden tertinggi dari kejadian di seluruh dunia dan kejadian ini terutamanya mengenai negara negara di Asia Tenggara.3 Di Indonesia, diperkirakan 800 dari 100.000 penduduk menderita demam tifoid tiap tahunnya dan terutama terjadi pada musim panas. WHO menyatakan bahwa angka kejadian di Indonesia akhir akhir ini telah mencapai 1026 dari 100.000 angka kejadian per tahun.3 Data tahun 2004 menyebutkan bahwa Indonesia menempati urutan pertama jumlah penderita demam tifoid diantara negara negara Asia Tenggara, yaitu sejumlah 303 kasus disusul oleh negara Filipina, Vietnam, Thailand, Malaysia, Laos, Singapura, dan Timor Timur. 4 Angka kematian akibat +==demam tifoid sendiri adalah sebesar 10% namun angka ini dapat turun menjadi sebesar 1% dengan terapi antibiotik yang tepat.1 Permasalahan yang sering menyebabkan prognosis yang buruk pada penderita adalah terlambatnya pemberian antibiotik yang efektif dan tepat.5 Predileksi umur untuk munculnya demam tifoid adalah antara usia 3 hingga 19 tahun dimana memberikan 91% dari seluruh kejadian demam tifoid di Indonesia. Kasus tertinggi dijumpai pada usia pra-sekolah yaitu 9 kali lipat jika dibandingkan dengan usia tua.3 Pada anakanak hal ini disebabkan oleh faktor antibodi yang belum terbentuk sempurna serta faktor sosial yaitu perilaku makan anak-anak yang tidak baik. Sedangkan pada populasi orang muda, penyebaran demam tifoid dapat disebabkan oleh faktor kebiasaan makan yang tidak
1

mempertimbangkan faktor kebersihan dan perilaku tidak terbiasanya mencuci tangan sebelum makan. Faktor resiko lainnya adalah orang dengan status imunitas yang rendah dan pada orang dengan produksi asam lambung yang menurun baik karena faktor eksternal seperti pengguna obat obatan antasida, obat pem-blok reseptor H2 di lambung, obat obatan golongan Proton Pump Inhibitor, maupun karena faktor internal seperti pada orang dengan kondisi aklorhidria akibat proses penuaan.6 Selain itu kondisi menurunnya integritas intestinal juga memberikan dampak seperti pada orang orang yang menderita penyakit inflammatory bowel disease, riwayat operasi pada saluran cerna atau serta pada orang orang yang mengkonsumsi antibiotika yang mengakibatkan terjadinya perubahan flora intestinal.9 Faktor resiko berkembangnya demam tifoid ini pada daerah endemis diantaranya adalah pola mengkonsumsi makanan atau minuman dari penjual jalanan, mengkonsumsi air yang tercemar, close contact dengan penderita demam tifoid, kondisi tempat tinggal dengan higienitas yang buruk dan penggunaan antimikroba.5 Tidak ada predileksi ras dan jenis kelamin yang membedakan angka kejadian demam tifoid ini.7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Etiologi Demam tifoid merupakan suatu infeksi bakterial sistemik yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi, yaitu suatu bakteri gram negatif yang tidak berkapsul dan merupakan famili Enterobacteriaciae yaitu golongan bakteri yang sering menyebabkan penyakit saluran cerna.6,8 Spesies yang sering menyebabkan keluhan gastroenteritis jarang disebabkan oleh Salmonella typhi namun lebih sering diakibatkan oleh serotipe lain dari famili Enterobacteriaciae lainnya yaitu zoonotic nontyphoidal Salmonella yaitu Salmonella enterica Typhimurium dan Enteritidis. Terdapat perbedaan mendasar dari demam tifoid dan gastroenteritis akibat spesies lain famili Salmonella ini. Perbedaan pertama adalah pada serotipe bakteri penyebabnya dan hostdefinitif dari masing masing spesies dimana Salmonella typhi hanya menginfeksi manusia sedangkan nontyphoidal Salmonella menginfeksi organisme lain seperti hewan. Perbedaan selanjutnya terletak pada respon mukosa intestinal host dimana demam tifoid tidak memberikan gejala klinis keluhan diare yang tipikal dan biasanya reaksi imun yang terjadi didominasi oleh infiltrasi sel sel radang mononuklear seperti makrofag walaupun 1/3 dari penderita demam tifoid terkadang dapat dijumpai memberikan gambaran klinis diare namun dari analisa leukosit feses tetap akan dijumpai populasi sel sel radang yang didominasi oleh sel sel mononuklear. Sedangkan gastroenteritis akan memberikan gambaran klinis diare yang tipikal dan dijumpai adanya infiltrasi sel sel radang neutrofil yang mendominasi lokasi infestasi bakteri di ileum terminal dan kolon serta adanya dominasi sel sel radang neutrofil pada feses penderita. Selain itu gastroenteritis sendiri tidak mengalami penyebaran baik melalui saluran limfe ataupun darah dan hanya bersifat lokalis di intestinal dan limfe nodus mesenterika. Berbeda halnya dengan demam tifoid yang dapat menyebar hingga berbagai organ. Periode inkubasi kuman penyebab gastroenteritis juga lebih pendek dibandingkan dengan demam tifoid yaitu antara 12 hingga 72 jam yang diikuti oleh periode singkat keluhan klinis sekitar 10 hari yang menandakan bahwa infeksinya mampu diatasi oleh respon imun adaptif. Hal ini tentu berbeda dengan demam tifoid dimana memikliki periode inkubasi yang lebih lama yaitu sekitar 5 hingga 9 hari dan periode keluhan klinis yang lebih lama sekitar 3 minggu serta memberikan gambaran klinis multiorgan yaitu pada hati, limpa, sumsum tulang dan intestinal.9
3

Secara serologis Salmonella typhi memberikan hasil positif pada pemeriksaan terhadap lipopolisakarida cell wall antigen O9 dan O12, protein antigen flagela Hd, dan polisakarida permukaan kapsul Vi. Antigen kapsul Vi hanya spesifik dimiliki oleh serotipe Salmonella typhi. Untuk protein antigen flagella Hj diketahui spesifik hanya ditemukan pada Salmonella typhi yang diiisolasi Indonesia.5 Ketiga antigen tersebut digunakan untuk klasifikasi serotip dari salmonella. Pembagian serotip bisa dilihat pada tabel berikut (1) :

Sekitar sembilan puluh enam persen kasus demam tifoid disebabkan oleh salmonella typhi dan sisanya disebabkan oleh salmonella paratyphi. (2,7) Secara histologis proses infeksi oleh Salmonella typhi ini diawali oleh infiltrasi dari makrofag yang dikenal sebagai typhoid cells yang mengandung bakteri, eritrosit, dan limfosit yang rusak. Agregasi typhoid cells tersebut akan membentuk typhoid nodules, yang sering dijumpai pada intestinal, limfe nodus mesenterika, limpa, hati, dan sumsum tulang. Terkadang dapat pula dijumpai pada ginjal, testes dan kelenjar parotid.7 Di dalam Payers patches intestinal akan terjadi 4 proses patologis klasik infeksi yaitu diawali dengan terjadinya perubahan hiperplastik folikel limfoid, diikuti oleh nekrosis folikel limfoid mukosa dan submukosa intestinal pada minggu kedua, lalu terbentuklah ulkus dimana ulkus ini bisa mengalami perforasi hingga rongga peritoneum dan juga bisa mengakibatkan perdarahan. Fase keempat ditandai oleh penyembuhan ulkus jika mendapat terapi.7,10 Di dalam limfe nodus mesenterika terjadi pembesaran dan distensi sinusoidal oleh agregasi masif dari makrofag dan sel retikuloendotelial. Sedangkan di spleen dijumpai adanya proses pembesaran dan kongesti yang memberikan gambaran kemerahan pada spleen dengan permukaan serosalnya
4

mengandung eksudat fibrinosa. Di dalam kandung empedu akan dijumpai gambaran hiperemis dan sering dijumpai pula tanda tanda kolesistitis. Dari biopsi hati djumpai gambaran pembengkakan sel hepar disertai vakuolisasi dan typhoid nodules fokal.7 2.2 Epidemiologi Dalam dua dekade terakhir, terjadi peningkatan demam tifoid di Eropa dan Amerika Utara, demam tifoid juga menjadi endemik pada lima negara yaitu Cina, India, Indonesia, Pakistan dan Vietnam. WHO memperkirakan 16-33 juta kasus demam tifoid pertahun di dunia dengan angka kematian 500.00-600.000 jiwa.(10) Sekitar setengah dari kasus yang dilaporkan terjadi pada usia, 20 tahun dan sepertiganya terjadi pada anak usia 4 tahun serta angka isolate tertinggi didapatkan pada anak dengan usia beberapa bulan awal kehidupan. (8,11) Demam tifoid menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang signifikan pada anak usia muda (1-4 tahun) yang tingkat mortalitas tertingginya tertinggi pada bayi (terutama pada bayi usia kurang dari 3 bulan dengan bakteremia). Mortalitas tinggi juga terjadi pada pasien geriatri, pasien dengan penyakit sickle cell, pasien AIDS, pasien keganasan dan kondisi imunosupresi lainnya(12). 2.3 Patofisiologi Patofisiologi dari demam tifoid ini dimulai dari masuknya bakteri Salmonella typhi dan Salmonela paratyphi hingga kedalam tubuh manusia melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi kuman. Sebagian dari kuman berhasil dimusnahkan dalam lambung namun sebagian lagi ada yang lolos masuk ke dalam usus halus yang kemudian akan berkembang biak.6 Ileum merupakan lokasi yang digemari oleh bakteri ini karena mengandung Payers patches yang banyak. Namun lokasi sepanjang saluran gastrointestinal termasuk jejunum dan kolon ascenden juga merupakan target bakteri ini karena juga mengandung folikel limfoid.10 Payers patches sendiri merupakan modifikasi sel epitel di intestinal yang mengandung limfe nodi pada lapisan lamina propria mukosa. Ia mengandung marofag, sel dendritik, limfosit, dan sel M yang berada pada permukaan Payers patches yang berperan sebagai pengenal antigen yang kemudian akan dibawa menuju ke lokasi basolateral tempat berdiamnya antigenpresenting cell untuk kemudian menstimulasi mekanisme inflamasi.9 Di dalam saluran intestinal bakteri Salmonella typhi kemudian akan terpapar oleh berbagai pertahanan awal dari host seperti garam empedu, lisozim, komplemen, dan peptida kationik antimikroba.9 Jika imunitas humoral mukosa IgA yang terdapat pada Payers patches
5

bereaksi dengan kurang baik maka kuman akan berhasil menembus sel epitel menuju lamina propria.6 Sel M yang terdapat pada permukaan Payers patches merupakan lokasi infestasi definitif dari bakteri Salmonella typhi.5 Bakteri ini juga akan memicu terbentuknya formasi ruffle membrane dari sel epitel nonfagositik dimana sel sel epitel ini akan menyelimuti bakteri dengan membentuk vesikel oleh suatu proses yang disebut bacteria-mediated endocytosis (BME). BME sendiri sepenuhnya tergantung dari pemasukan protein bakteri ke dalam sitoplasma sel epitel oleh sistem sekresi khusus bakteri (type III secretion). Protein ini kemudian akan memediasi perubahan sitoskeleton aktin yang dibutuhkan untuk proses masuknya Salmonella typhi ke dalam sel epitel. Sistem ini juga merupakan salah satu cara dari bakteri Salmonella typhi untuk bertahan di dalam sel makrofag
9

Adanya toll-like receptor

(TLR)5 dan kompleks TLR-4/MD2/CD-14 merupakan cara makrofag dalam mengenali pathogen-associated molecular patterns (PAMPs) bakteri yang terdiri dari flagella dan lipopolisakarida. Namun Salmonella typhi memiliki antigen kapsular Vi yang berperan menyamarkan untuk PAMPs tersebut sehingga mampu menghindari sinyal untuk menarik agregasi sel sel neutrofil. Bakteri akan memanipulasi sel sel makrofag untuk menarik lebih banyak lagi makrofag sehingga bakteri dapat berkembang lebih banyak lagi tanpa mampu dihancurkan.3,6,7 Sistem lain yang juga merupakan mekanisme bagi bakteri dalam memodifikasi dirinya agar dapat bertahan terhadap reaksi imunitas adalah sistem PhoP/PhoQ, yaitu komponen yang mengakibatkan perubahan komposisi ekspresi protein bakteri yang mengakibatkan modifikasi lipopolisakarida sehingga permukaan luar bakteri dapat bertahan resisten terhadap antimikroba yang diberikan.9 Dari sini selanjutnya makrofag akan berlanjut mengikuti aliran limfatikus ke nodus mesenterikus dan kemudian melanjutkan penyebaran melalui peredaran darah. Namun sebagian dari makrofag ada yang tetap tinggal di limfonodus lokalis awal. Perjalanan dari limfatikus mesenterikus menuju sirkulasi darah adalah melalui duktus thorasikus yang mengakibatkan terjadinya bakteremia pertama yang masih asimtomatik. Bakteremia primer yang asimtomatis ini mengakibatkan kuman dapat mencapai organ hanya dalam waktu 24 jam.3,6 Dari peredaran darah ini lalu berlanjut menuju ke seluruh organ retikuloendothelial dalam tubuh terutama hati, limpa, limfe nodi, sumsum tulang, kandung empedu dan Payer patches di terminal ileum kembali.5 Di ruang sinusoid sistem retikuloendothelial maka bakteri dapat berkembang biak dengan baik selama kurang lebih 8 14 hari masa ini disebut sebagai masa inkubasi.6 Dilaporkan bahwa periode inkubasi ini dapat mencapai 3 60 hari.3 Periode inkubasi bakteri Salmonella typhi ini berbeda beda tiap
6

individunya tergantung dari faktor kuantitas inokulasi kuman dan faktor host.6 Setelah melewati masa inkubasi maka bakteri kemudian akan masuk kembali ke dalam sirkulasi darah dan mengakibatkan bakteremia kedua yang disertai gejala penyakit infeksi sistemik6 dimana saat ini diperkirakan jumlah bakteri mencapai 1-10 kuman dalam tiap mililiter darah.3 Dan jumlah ini diperkirakan merupakan 66% dari seluruh jumlah bakteri dalam sel fagosit.5 Dosis infeksius bakteri Salmonella typhi diperkirakan adalah dalam rentang 1000 hingga 1 juta organisme dalam darah.5,13 Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar Payers Patches yang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses patologi jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat menghasilkan perforasi. Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernafasan, dan gangguan organ lainnya. Bakteri Salmonella typhi dapat masuk ke dalam kandung empedu dan berkembang biak diakibatkan oleh penyebaran secara langsung melalui peredaran darah atau melalui penyebaran retrograde dari bile.5 Bakteri kemudian bersama dengan cairan empedu akan diekskresikan secara intermiten ke lumen usus. Sebagian bakteri kemudian akan dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Demikian proses yang sama akan terulang kembali.6 Timbulnya manifestasi hepatosplenomegali pada demam tifoid merupakan manifestasi yang berhubungan dengan proses perekrutan sel sel mononuklear dan cell-mediated immune response terhadap bakteri Salmonella typhi.13 2.4 Manifestasi Klinis dan Diagnosis Manifestasi klinis demam tifoid sangat luas dan bervariasi serta memiliki kesamaan dengan penyakit demam yang lainnya terutama pada minggu minggu pertama sehingga sulit untuk dibedakan sehingga untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu ditunjang pemeriksaan penunjang seperti laboratorium.8 Pada minggu pertama gejala klinis yang dijumpai berupa keluhan infeksi pada umumnya atau gejala prodormal yaitu demam (38.8oC 40.5oC) hingga keluhan menggigil9 dimana dijumpai pada > 98% kasus.7 Pola demam step ladder yang khas pada demam tifoid dijumpai pada 65 - 95% kasus7 dimana panas akan naik perlahan - lahan pada minggu pertama lalu diikuti pola plateu pada minggu kedua dan kemudian turun pada minggu ketiga dan keempat.12 Peningkatan perlahan lahan dari suhu tubuh penderita terutama dijumpai pada
7

sore hingga malam hari. Gejala lain yang dijumpai pada 65 95% kasus yaitu berupa keluhan keringat berlebih atau diaforesis, lidah kotor, konstipasi dan rasa kembung pada perut.7 Sedangkan keluhan nyeri perut yang tersebar dan tidak khas dijumpai pada 20 49% kasus.9 Gejala prodromal non spesifik lain yang juga dapat dijumpai yaitu pusing, anoreksia, batuk, lemas, nyeri menelan, nyeri otot, mual dan muntah. Pada penderita dengan keluhan diare biasanya lebih sering dijumpai pada penderita AIDS dan pada anak anak usia 1 tahun. 9 Pada minggu kedua gejala gejala yang dijumpai akan makin spesifik yaitu berupa bradikardia relatif (peningkatan suhu tubuh 1oC yang tidak diikuti oleh peningkatan denyut nadi sebanyak 8-10 kali), lidah kotor (kotor di tengah serta ujung dan tepi yang merah dan bergetar (tremor)), hepatomegali, splenomegali, meteorismus, hingga gangguan mental. Kondisi Rose spot, jarang ditemukan pada orang Indonesia6 yang memberikan gambaran maculopapular rash yang ditemukan terutama pada badan dan dada. Kondisi ini hanya dijumpai pada 30% kasus dan biasanya berlangsung selama 2 hingga 5 hari lalu sembuh secara sempurna tanpa bekas. Salmonella typhi biasanya dapat dikultur melalui biopsi dari lesi ini. Gejala ini agak sulit untuk dideteksi pada golongan orang dengan kulit berwarna gelap.9 Endotoksin yang dihasilkan bakteri Salmonella typhi dapat menempel pada reseptor endotel kapiler dan menimbulkan gangguan kardiovaskular, pernafasan, neuropsikiatri ataupun manifestasi pada dan organ lainnya.6 Komplikasi akhir dari perjalanan penyakit ini terjadi pada minggu ketiga dan keempat, dan biasanya hal hal ini lebih sering dijumpai pada penderita dewasa berupa perforasi intestinal dan atau perdarahan saluran cerna. Komplikasi ini bisa berkembang akibat proses nekrosis pada lokasi lokasi infiltrasi Salmonella pada Payers patches usus. Kedua komplikasi ini merupakan kondisi yang berbahaya dan membutuhkan penanganan segera dengan penggunaan antibiotik spektrum luas untuk mengatasi peritonitis polimikrobial dan terapi terhadap perdarahan saluran cerna termasuk dengan melakukan intervensi bedah seperti reseksi usus. Komplikasi yang sangat jarang dijumpai berupa berupa pankreatitis, abses hepar dan limpa, endokarditis, perikarditis, orchitis, hepatitis, meningitis, nefritis, miokarditis, pneumonia, artritis, osteomielitis, dan parotitis akibat penggunaan antibiotik yang tepat. Insiden dari karier kronis adalah cukup tinggi diantara wanita dan pada orang dengan abnormalitas sistem bilier seperti kolelithiasis, keganasan di kandung empedu atau pada keganasan gastrointestinal. Kondisi karier ini dijumpai pada 1 hingga 5% penderita.3,5,9.

Relaps dapat dijumpai pada 5 10% kasus dan biasanya muncul pada 2 hingga 3 minggu setelah demam mereda. Relaps yang timbul memberikan gambaran klinis yang lebih ringan dibandingkan serangan awal dan suseptibilitas terapi antibiotiknya biasanya masih sama seperti serangan pertama tanpa mengalami proses resistensi.5

2.5 Pemeriksaan laboratorium Diagnosis definitif dari demam tifoid tergantung dari lokasi isolasi bakteri Salmonella typhi baik dari darah, sumsum tulang ataupun lokasi spesifik tertentu. Ditemukannya gejala klinis yang memberikan dugaan demam tifoid atau ditemukannya antibodi sebagai respon infeksi hanya memberikan dugaan demam tifoid dan bukan sebagai pedoman definitif.7 a. Pemeriksaan rutin Pada pemeriksaan hematologi rutin didapatkan leukopeni atau leukopeni relatif dan neutropeni (15 25% kasus) dan kadang kadang dapat juga terjadi leukositosis terutama pada anak anak pada 10 hari pertama atau diakhir periode akibat adanya perforasi intestinal atau akibat infeksi sekunder.6,9 Dapat juga disertai dengan atau tanpa penurunan hemoglobin (anemia) bergantung pada komplikasi yang melibatkan perdarahan saluran cerna, dengan rentang nilai normal pada hematokrit dan trombosit. Namun dapat pula ditemukan kondisi trombositopenia pada beberapa kasus. Laju endap darah juga dapat meningkat. Dari pemeriksaan kimia darah dapat ditemukan peningkatan tes fungsi hati yang tidak spesifik.6,8,9 b. Uji Widal Pemeriksaan serologis klasik seperti tes widal untuk febrile aagglutinins memberikan hasil yang kurang spesifik sehingga tes ini dikatakan tidak terlalu bermanfaat. 9 Sensitivitasnya yang rendah (70%) diakibatkan oleh beberapa faktor seperti adanya reaksi silang terhadap dengan antigen speseis Salmonella lainnya, akibat adanya infeksi akibat Salmonella sebelumnya1,13 atau akibat reaksi silang epitop bakteri enterobacteriaceae lainnya.3 Namun tes ini hingga kini masih sering dipergunakan dengan memakai cut-off point tertentu yang spesifik untuk masing masing daerah.5 Uji widal dilakukan melalui reaksi aglutinasi antigen kuman dengan dengan antibodi yang disebut aglutinin. Maksud uji widal ini yaitu untuk menentukan aglutinin dalam serum penderita yaitu aglutinin O (dari
9

tubuh kuman), aglutinin H (flagela kuman) dan aglutinin Vi (simpai kuman). Semakin tinggi titer O dan H maka semakin tinggi pula kemungkinan terinfeksi kuman Salmonella ini. Pada fase akut di akhir minggu pertama (6 8 hari) aglutinin O akan mengalami peningkatan yang kemudian disusul oleh peningkatan aglutinin H (10 12 hari).3,6 Peningkatan terus berlanjut hingga mencapai minggu keempat dan tetap tinggi selama beberapa minggu sehingga pada orang yang sudah sembuh dari demam tifoid maka titer O dalam darah dapat dijumpai hingga 4-6 bulan dan titer H tetap dapat dijumpai hingga 9-12 bulan. Oleh karena itu tes widal tidak dapat digunakan sebagai kriteria untuk menentukan kesembuhan pasien. Banyak faktor yang mempengaruhi uji widal seperti riwayat pengobatan dini dengan antibiotik, gangguan pembentukan antibodi, pemberian kortikosteroid, periode dalam pengambilan darah, lokasi pada daerah endemis atau non endemis serta riwayat vaksinasi.6 Uji widal dikatakan memiliki nilai diagnostik bila terdapat kenaikan titer widal 4 kali lipat (pada pemeriksaan ulang 5-7 hari) atau titer widal O > 1/320, dan titer H > 1/640 dalam sekali pemeriksaan.8 c. Kultur bakteri Gall kultur dengan media empedu merupakan diagnosa pasti demam tifoid bila memberikan hasil positif namun hal ini tergantung dari lokasi pengambilan sampel untuk dibiakkan di media cairan empedu. Jika diambil dari sampel darah perifer maka kultur dapat memberikan hasil 90% pada minggu pertama dan menurun hingga 50% pada minggu ketiga. Penurunan ini dipengaruhi oleh faktor jumlah kuman yang ada di darah saat pengambilan (<15 organisme dalam 1 cc darah), faktor terapi antibiotik yang telah diberikan sebelumnya, riwayat vaksinasi sebelumnya, dan pengambilan darah setelah minggu pertama oleh karena aglutinin dalam darah yang masih tinggi dapat pula menekan pertumbuhan kuman sehingga memberikan hasil yang tidak memuaskan.3,6,8,9 Darah yang harus diambil adalah sejumlah 10 - 15 ml dari anak anak usia sekolah atau orang dewasa untuk memberikan hasil yang optimal dari kultur.3 Kultur lain juga bisa dilakukan dengan sumber lain selain darah perifer seperti dari sumsum tulang, urin, feses, lesi rose spot, dan sekresi gaster atau intestinal. Kultur dari sumsum tulang merupakan gold standard untuk diagnosis demam tifoid dimana memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan kultur darah perifer namun lebih sulit dilakukan.3 Kultur sumsum tulang memberikan nilai sensitivitas 90% pada minggu pertama.1,7 Hal ini disebabkan karena bakteri di sumsum tulang kurang terpapar oleh antibiotik di darah. Hal ini juga dapat menjelaskan terjadinya supresi neutrofil jika infeksinya sangat berat di sumsum
10

tulang.14 Kultur feses atau urin memberikan hasil negatif hingga 60 70% pada minggu pertama dan menjadi makin positif memasuki minggu ketiga pada pasien yang tidak mendapat terapi apapun.9 Namun dikatakan bahwa kultur feses hanya memberikan hasil positif pada 1/3 kasus1 sedangkan kultur urin hanya memberikan tingkat sensitivitas sebesar 25 30%.7 Rata rata pada minggu kedelapan kultur akan memberikan hasil negatif karena > 90% bakteri sudah mengalami eradikasi namun pada orang yang karier maka pada feses tetap akan didapatkan bakteri hingga periode 1 tahun9 sehingga kultur feses merupakan cara yang efektif untuk mendiagnosis seseorang sebagai typhoid carrier, isolasi salmonella dari kultur feses, darah, urin ataupun sumsum tulang. Nampak seperti gambar berikut :

d. Pemeriksaan radiologis

foto polos thorax jika ada kecurigaan pneumonia foto abdomen bila diduga terdapat komplikasi intraintestinal seperti perforasi usus atau perdarahan saluran cerna. Pada perforasi usus tampak distribusi udara tak merata, tampak air fluid level, bayangan radiolusen didaerah hepar dan udara bebas abdomen.

e. Pemeriksaan lain Tes lain yang digunakan di berbagai daerah di seluruh dunia yaitu tes serologis cepat atau rapid serologic test seperti IDL Tubex (mendeteksi antibodi IgM O9 dalam beberapa menit), Typhidot (mendeteksi IgM dan IgG terhadap 50 kD antigen S.Typhi), dipstick test (berdasarkan ikatan antibody S. typhi-specific IgM dan antigen S. typhi lipopolisakarida (LPS)).3 Tes lain yang lebih sensitif dan lebih spesifik yang mulai dikembangkan adalah dengan Polymerase Chain Reaction test dan DNA probe assays karena lebih efektif deteksi awal di permulaan minggu perjalanan infeksi kuman Salmonella typhi dimana dilaporkan dengan cara ini mampu memberikan sensitivitas
11

hingga 82,7% dan spesifisitas hingga 100%.7 Namun metode ini tergolong tidak praktis di negara negara endemis demam tifoid.1,5,9 Sedangkan untuk mendeteksi status karier pada seseorang maka pemeriksaan yang sering dilakukan adalah dengan pemeriksaan aglutinasi Vi dimana metode ini memberikan sensitivitas hingga 70-80% dan spesifisitas 80-95%.5 2.5 Penatalaksanaan
1. Suportif (17)

a. Penderita dengan gejala ringan dapat dirawat dirumah dengan tindakan: b. Tirah baring Isolasi dan hygiene memadai Mencukupi kebutuhan cairan dan kalori

Penderita dengan gejala berat dirawat di rumah sakit dengan penanganan : - Cairan dan kalori mencukupi : pada penderita demam tinggi, muntah atau diare maka asupan cairan dan kalori diberikan melalui sonde lambung - Memenuhi kebutuhan volume cairan intravascular dan jaringan dengan pemberian oral/parenteral. - Pertahankan oksigenasi jaringan, bila perlu berikan O2 - Pengobatan gangguan asam basa dan elektrolit.
- Antipiretik diberikan bila demam >390 C kecuali bila terdapat riwayat kejang

demam maka pemberiannya lebih awal. - Diet makanan tidak berserat dan mudah dicerna, dan setelah demam mereda dapat segera diberikan makanan yang lebih padat dengan kalori cukup. - Pertimbangkan pemberian transfuse darah bila terjadi perdarahan saluran cerna dan perforasi usus. 2. Medikamentosa

Antibiotika (16,17) - Kloramfenikol 50-100 mg/kgbb/hari oral atau IV dibagi dalam 4 dosis selama 10-14 hari. Perhatian terhadap efek supresi sumsum tulang
- Amoksisilin 100 mg/kgbb/hari oral atau IV dibagi dalam 4 dosis selama 10 hari.

Perhatian terutama pada penderita gagal ginjal


- Kotrimoksasol 6 mg/kgbb/hari oral dibagi dalam 2 dosis selama 10 hari.

Kontraindikasi pada pasien berusia 2 bulan atau kurang


12

- Seftriakson 80 mg/kgbb/hari IV sekali sehari dengan waktu 5 hari - Sefiksim 10 mg/kgbb/hari oral dibagi dalam 2 dosis selama 10 hari

Kortikosteroid: diberikan pada kasus berat dengan gangguan kesadaran. Deksametason 1-3 mg/kgbb/hari secara IV dibagi menjadi 3 dosis hingga kesadaran membaik.

3. Tindakan bedah -

Tindakan bedah diperlukan bila terdapat penyulit seperti perforasi usus, abses

fokal yang memerlukan drainase maupun penyakit saluran empedu (3,6) 4. Penyulit : Intra intestinal : perforasi usus atau perdarahan saluran cerna dengan tanda suhu tubuh menurun, nyeri abdomen, muntah, nyeri tekan pada palpasi, bising usus menurun sampai hilang, defans muscular dan pekak hati menghilang Ekstra intestinal : tifoid ensefalopati, hepatitis tifosa, meningitis, syok septic, pielonefritis, endokarditis dan osteomielitis.

2.6 Monitoring 1. Komplikasi Komplikasi biasanya timbul pada minggu ke-3 atau ke-4 dan terjadi pada 25% kasus yang tidak mendapatkan pengobatan. Kematian sering mengikuti komplikasi ini. Bakteremia Meningitis Pneumonia Endocarditis/pericarditis Osteomielitis (paling sering pada penderita anemia bulan sabit) Abses hepar maupun abses limpa Perforasi intestinal dan perdarahan hebat Toksik ensefalopati dan thrombosis cerebral Hepatitis, pancreatitis, arthritis dan myocarditis

2. Monitoring terapi
13

Evaluasi suhu tubuh. Bila setelah 4-5 hari pengobatan demam tidak reda maka harus kembali dievaluasi adanya komplikasi, sumber infeksi lain, resistensi kuman terhadap antibiotic atau kemungkinan salah penegakan diagnosis

Pasien dapat dipulangkan bila tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik, napsu makan membaik, terdapat perbaikan klinis dan tidak dijumpai komplikasi. Penogbatan dapat dilanjutkan dirumah.

Tumbuh Kembang : Infeksi demam tifoid merupakan infeksi yang akut sehingga relatif tidak mengganggu tumbuh kembang anak.

2.7 Prognosis Prognosis pada pasien demam tifoid bergantung pada keberhasilan terapi, usia pasien, keadaan kesehatan awal, serotip salmonella kausatif dan ada tidaknya komplikasi. Pada negara maju, tingkat mortalitas kurang dari 1% sedangkan pada negara berkembang, tingkat mortalitasnya lebih tinggi dari 10% karena kendala hambatan pada tertundanya diagnosis, hospitalisasi dan terapi. Anak dengan penyakit yang sudah ada sebelumnya memiliki resiko yang lebih tinggi. Adanya komplikasi seperti perforasi gastrointestinal, perdarahan hebat, meningitis, endocarditis dan pneumonia dihubungkan dengan mortalitas dan morbiditas yang tinggi.(13,18) Relaps setelah pengobatan awal terjadi pada 4-8% pasien yang tidak diterapi dengan antibiotic. Individu yang mengekskresi salmonella typhi hingga 3 bulan setelah infeksi biasanya menjadi karier kronik. Resiko untuk menjadi karier kronik adalah rendah pada anak dan meningkat seiring usia. Pada seluruh pasien dengan demam tifoid, 1-5% menjadi karier kronik. Insiden penyakit saluran empedu lebih tinggi pada karier dibandingkan populasi normal.(8,9) 2.8 Pencegahan Resiko untuk demam tifoid khususnya di Indonesia berhubungan dengan kebiasaan komsumsi jajanan dari penjual jalanan, kejadian banjir, kebersihan rumah tangga, kebiasaan mencuci tangan dengan sabun, kebiasaan makan dari piring yang sama dan tidak adanya toilet pada rumah tangga.(7) Edukasi kesehatan memegang peranan penting dalam rangka meningkatkan kewaspadaan masyarakat terhadap resiko-resiko penularan infeksi salmonella. Pendidikan disekolah termsuk komunikasi media massa harus digerakkan untuk mengadakan tindakan preventif dalam mengurangi resiko penularan. Di fasilitas kesehatan, seluruh staff harus selalu
14

diingatkan untuk meningkatkan kebersihan personal, isolasi pasien infeksi yang benar serta penggunaan desinfekstan.(6) Pada daerah endemic, peningkatan sanitasi dan air bersih adalah penting untuk mengontrol demam tifoid. Untuk meminimalkan transmisi orang ke orang dan kontaminasi makanan, maka peningkatan hygiene personal, mencuci tangan dan mempersiapkan makanan dengan cara yang tepat menjadi sangat penting.(11) Tanamkan kebiasaan hidup bersih pada anak dan pengasuhnya. Jangan pernah lelah atau menyerah untuk memberi penjelasan, contoh nyata, maupun saat mengawasi
pelaksanaannya. Gunakan air yang mengalir dari kran untuk mencuci tangan, bukan dari

ember atau bak penampung yang jarang dikuras dan dicuci. Begitu juga untuk mencuci bahan makanan, alat masak maupun perlengkapan makan. Untuk mencuci lalap mentah dan buah segar, sebaiknya gunakan air matang. Bila mungkin, sediakan sabun untuk masing-masing anggota keluarga. Usahakan pula sumber air bersih sebaiknya terpisah minimal 10 meter dari septic-tank.(7) Untuk pasien yang dihospitalisasi dengan infeksi salmonella typhi, tindakan pencegahan harus dilanjutkan hingga hasil dari 3 kultur feces negative 48 jam setelah penghentian pemberian antibiotik. Vaksinasi typhoid bisa membantu mengurangi insiden demam tifoid dengan efikasi 50-75%. Walaupun vaksinasi meningkatkan kekebalan infeksi terhadap salmonella typhi namun imunitas akan kalah bila dihadapkan oleh inokulasi bakteri yang besar. Imunisasi direkomendasikan terhadap (5) : 1. Individu yang bepergian ke daerah endemic 2. Individu yang mengalami paparan intim terhadap individu yang diketahui sebagai karier tifoid 3. Pekerja laboratorium yang mengalami kontak yang sering terhadap organism salmonella typhi 4. Individu yang bertempat tinggal pada area endemic tifoid Vaksin yang tersedia saat ini yaitu (5,6): 1. Vaksin polisakarida (capsular Vi polysaccharide) diberikan secara injeksi IM setidaknya dua minggu sebelum paparan. Dapat diberikan pada anak usia 2 tahun atau lebih yang diulang setiap 3 tahun
2. Vaksin tifoid oral (Ty21a) diberikan pada usia >6 tahun dengan interval selang sehari

(hari 1,3 dan 5), ulangan setiap 3-5 tahun. Terutama direkomendasikan untuk turis yang bepergian ke daerah endemik.
15

BAB III LAPORAN KASUS

I. Identitas Nama Umur Alamat MRS RM : IASS : 5 tahun 10 bulan : Banjar Lusuh Kauh Dusun Pering Sari Desa Selat Karangasem : 11 Mei 2010, pukul 19.00 WITA : 01.37.90.22

Jenis Kelamin : Perempuan

II. Heteroanamnesis KU : panas Penderita dikeluhkan panas sejak kamis tanggal 6 mei 2010 pukul 17.00 WITA (5 hari sebelum masuk rumah sakit), panas mendadak tinggi, terus menerus, sempat turun dengan obat penurun panas namun kemudian naik lagi. Panas tidak disertai menggigil
16

dan kejang tidak ada. Pasien tidak ada keluhan batuk dan pilek. Keringat dingin ada, gelisah ada, kedua tangan dan kaki dingin. Penderita juga dikeluhkan sakit perut karena tidak bisa buang air besar sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit, sebelumnya pasien selalu buang air besar sekali dalam sehari. Buang air kecil pasien terakhir pukul 17.00 WITA, volume 150-200 cc, warna kuning jernih. Keluhan mimisan, pendarahan gusi dan BAB hitam disangkal. Penderita juga mengeluhkan mual tiap kali makan atau minum sejak 3 hari sebelum MRS. Muntah tidak ada. Nafsu makan menurun sejak sakit. Aktivitas menurun sejak sakit.

Riwayat penyakit sebelumnya : Penderita belum pernah dikeluhkan menderita keluhan yang sama sebelumnya. Keluhan rawat inap sebelumnya tidak ada. Riwayat penyakit di keluarga : Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan yang sama seperti yang dikeluhkan penderita saat ini. Tidak ada anggota keluarga penderita yang memiliki riwayat penyakit jantung, diabeten mellitus, asma dan penyakit jantung.

Riwayat pengobatan : Penderita di bawa berobat ke RS Klungkung bagian bedah, karena pada awalnya di duga menderita apendisitis, kemudian di rujuk ke bagian anak RS Klungkung dan selanjutnya di rujuk ke RSUP Sanglah.

Riwayat nutrisi :

17

Sebelum sakit penderita mampu makan sebanyak 3 kali sehari dengan porsi yang cukup dan penderita juga seringkali mengkonsumsi jajanan luar seperti snack dan makanan ringan lainnya. Namun sejak sakit, nafsu makan penderita berkurang hanya mampu makan 2 kali sehari dengan porsi yang lebih sedikit dari sebelumnya.

Riwayat persalinan :

Selama hamil, ibu penderita rutin melakukan antenatal care di bidan dan SpOG. Ibu penderita juga rutin melakukan USG Ibu penderita selalu mengkonsumsi makanan bergizi selama kehamilan dan tidak pernah mengkonsumsi obat-obatan selama kehamilan. Ibu penderita tidak pernah mengalami sakit selama masa kehamilannya Penderita lahir cukup bulan, secara SC ditolong oleh SpOG, langsung menangis dengan BBL : 3500 gram, PB : lupa serta tidak ada kelainan fisik.

Riwayat Imunisasi Diakui lengkap sesuai umur oleh ibu penderita.

Riwayat sosial Penderita merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Keluarga penderita termasuk dalam kategori keluarga kelas menengah. Ayah dan ibu penderita bekerja sebagai pegawai swasta. Penderita saat ini duduk di kelas 5 SD, mampu berinteraksi dan berkomunikasi dengan baik dengan teman sebayanya. Prestasi sekolah penderita dikatakan cukup baik.

III. Pemeriksaan Fisik Vital Sign Kesan Umum Kesadaran : Tampak lemah. : CM.
18

TD Nadi Respirasi

: 90/60 mmHg. : 122x/menit, reguler, teraba lemah : 40x/menit. : 36,5 C. : 21 kg : 109 cm : 18 kg : 50 cm

Temperatur Axila Berat Badan Panjang Badan Berat Badan Ideal Lingkar Kepala

Status gizi 1. 2. Waterlow CDC Growth Chart : 116% (gizi lebih) :

Berat badan ~ umur : diantara persebtil 75 dan 90

Tinggi badan ~ umur: diantara persentil 25 dan 50 Berat badan ~ tinggi badan : diatas persentil 90 Lingkar Kepala ~ umur : diantara persentil 50 dan 75

Status General : Kepala : Normocephali. Mata THT Leher : anemia (-), ikterus (-), Refleks Pupil +/+ isokor, edema palpebra +/+ : Nafas Cuping Hidung (-), sianosis (-), crusta (-), epistaksis (-). : : Pembesaran Kelenjar (-), Kaku Kuduk (-)

Inspeksi : Benjolan (-), bendungan vena jugularis (-) pendek(-) Palpasi Thoraks : Jantung Inspeksi: iktus kordis tidak tampak Palpasi Auskultasi Paru-paru Inspeksi Palpasi : bentuk torak simetris, gerakan dada simetris, retraksi (-) : gerakan dada simetris
19

Mulut : Lidah kotor ( - ), tremor (-)

: iktus kordis ICS IV MCL sinistra, kuat angkat (-), trill(-) : S1S2 tunggal reguler murmur (-)

Auskultasi Abdomen : Inspeksi Auskultasi Palpasi Perkusi Extremitas : Inspeksi Palpasi

: vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/: distensi (-), hernia umbilikalis (-) : bising usus (+) normal : Distensi (+), Nyeri tekan (+) epigastrium, Bising Usus (+) N, Hepar tak teraba, Lien tidak teraba, Turgor Normal. : timpani (+) : dingin (+), edema (-),atrofi otot (+) : + + edema : +

dingin : +

Hasil Laboratorium DL (Darah Lengkap) : pkl : 17.44 WITA WBC RBC HGB HCT MCV MCH MCHC RDW-CV PLT MPV : 2,2 K/ul : 2,96 M/dl : 8,2 g/dl : 23 % : 78,0 fl : 27,7 pg : 35,7 g/dl : 13,0% : 11 K/ul : 10,1 fl
20

Imunologi Darah: Dengue IgM : Positif

Dengue Ig G : Positif

IV. Diagnosis Klinis DHF gr. IV demam hari ke 5 sejak pukul 19.00

V. Penatalaksanaan Saat Masuk Rumah Sakit

Kebutuhan cairan 5 cc/kgBB/jam Line I dan line II : RL 52 cc ~ 17 tetes per menit Pasang kateter O2 2 lpm Paracetamol forte cth I dapat diulang @ 4 jam jika demam 38,50 C KIE warning sign kepada keluarga KIE minum semampunya

VI. Monitoring Vital sign Balance cairan Produksi urin Tanda-tanda perdarahan dan syok berulang

VII. Planning diagnosis DL @ 6 jam foto Ro AP/Lat Dekubitus

VIII. Prognosis

dubius
21

PERKEMBANGAN PASIEN SELAMA DI RUANGAN

11/05/10

DL Pk 17.44 Wbc=2.2 Rbc=2.36 Hb=8.2 Hct=23 Plt=11

S : lemah(+), mual(-), panas(+), sakit kepala MRS (-), BAK(+), BAB(-), kejang (-), menggigil Kebutuhan cairan (-),muntah (-), pendarahan (-), sesak (+), batuk-pilek (-). 5cc/kgBB/jam O: Status Present : KU : tampak sakit berat,gelisah Kes : CM Nadi : 120x/menit Resp : 38x/menit Line I dan line II : RL 52 cc ~ 17 tetes per menit
O2 2 L/menit Paracetamol forte cth I dapat

diulang @ 4 jam jika demam >38,50 C KIE warning sign KIE minum semampunya

Imunologi IgG=(+) IgM=(+)

tax : 38 C BB TD : 21 kg : 110/70 mmhg

Pdx : DL @ 6 jam

Status general : Kepala : N-cephali, UK 50 cm Mata : an -/-, ikt -/-, RP +/+ isokor,palpebra oedem +/+ THT : NCH (-), cyan (-) Mulut : Lidah Kotor (-) Thorax : Cor : S1 S2 N reg mur (-) Po : ves (+), rh -/-, wh -/Abd : dist (-), BU (+) N H : tidak teraba L : tidak teraba
22

Mx : Vital sign Balance cairan Produksi Urin Tanda perdarahan Tanda syok berulang

Ext

: hangat (), cyanosis (-), edema (-)

A : DHF gr. IV panas hari ke 5 sejak pukul 19.00 WITA

12/05/10

S : Panas(-), perdarahan spontan(-), BAK(+),

Aff infus I line

DL Pk 09.35 Wbc=1.2 Rbc=2.71 Hb=8.1 Hct=23.1 Plt=11

BAB(+),mual(-),muntah(-), pendarahan (-), IVFD RL 22 cc/jam ~ 8 tts/mt kelopak mata bengkan (+) O2 2 L/menit Paracetamol forte cth I dapat diulang @ 4 jam jika demam O: Status Present : KU : tampak sakit sedang, rewel tidak kooperatif Kes : CM Nadi : 110x/menit Resp : 32x/menit tax : 38,4 C >38,50 C KIE warning sign KIE minum semampunya Pdx : Mx : Vital sign Balance cairan Produksi Urin Tanda perdarahan Tanda syok berulang DL @ 6 jam

Status general : Kepala : Normocephali Mata THT Leher Mulut : an -/-, ikt -/-, RP +/+ isokor, palpebra oedem +/+ : NCH (-), sekret (-) : PK (-), KK (-) : Lidah Kotor (-)

Thorax : Cor : S1 S2 N reg mur (-) Po : ves +/+, rh -/-, wh -/23

Abd

: dist (-), BU (+) N H : tidak teraba L : tidak teraba

Ext

: hangat (+), cyanosis (-), oedem (-)

A : DHF gr. IV panas hari ke 6 sejak pukul 19.00 WITA

13/05/10

S : Panas badan(-), BAK(+),BAB(+),mual(-), muntah (-), kelopak mata bengkak (+)

IVFD RL 22 cc/jam ~ 8 tts/mt O2 2 L/menit Paracetamol forte cth I dapat diulang @ 4 jam jika demam >38,50 C KIE warning sign KIE minum semampunya Pdx : Mx : Vital sign Balance cairan Produksi Urin Tanda perdarahan Tanda syok berulang DL @ 6 jam

DL Pk 11.17 Wbc=3.4 Rbc=2.66 Hb=8.0 Hct=22.7 Plt=22 O: Status Present : KU : iritabel Kes : CM Nadi : 80x/menit Resp : 30x/menit tax : 36,3 C

Status general : Kepala Mata : N-cephali : an -/-, ikt -/-, RP +/+ isokor, edema palpebra +/+ THT Leher : NCH (-), sekret (-) : PK (-), KK (-)
24

Thorax

: Cor : S1 S2 N reg mur (-) Po : ves (+), rh -/-, wh -/-

Abd

: dist (-), BU (+) N H/L : tidak teraba

Ext

: hangat (+), cyanosis (-)

A : DHF gr. IV panas hari ke 7 sejak pukul 19.00 WITA

14/9/06

S : Iritabel, panas (+), makan minum kurang, Paracetamol sirup cth I dapat (-), BAK(+), BAB(+), mual(-),muntah(-) diulang @ 4 jam jika demam 38,50 C + kompres hangat O: Status Present :

DL 12.57

Wbc=4.4 Rbc=2.83 Hb=8.5 Hct=24.4 Plt=32

KU : sakit sedang Kes : CM Nadi : 88x/menit Resp : 26x/menit tax : 38,2 C BB : 20 kg Mx : Status general : Kepala Mata : N-cephali : an -/-, ikt -/-, RP +/+ isokor, edema Palpebra +/+ THT Leher : NCH (-), sekret (-) : PK (-), KK (-) Vital sign Balance cairan Pdx : DL @ 6 jam,bila plt melebihi 40 px boleh pulang.

25

Mulut Thorax

: Lidah Kotor (-) : Cor : S1 S2 N reg mur (-) Po : ves (+), rh -/-, wh -/-

Abd

: dist (-), BU (+) N H : tidak teraba L : tidak teraba

Ext

: hangat (+), cyanosis (-)

A : DHF gr. IV panas hari ke 8 sejak pukul 19.00 WITA

15/05/10

DL Pk 09.19 Wbc=4.67 Rbc=2.80 Hb=7.9 Hct=23.6 Plt=44

S : makan/minum menurun, panas badan naik Paracetamol sirup cth I dapat turun, perut kembung(+), nyeri kencing (-), diulang @ 4 jam jika demam pembengkakan mata menurun, 38,50 C + kompres hangat O: Status Present : KU : sakit sedang Kes : CM Nadi : 104x/menit Resp : 26x/menit tax : 36,7 C Pdx : DL serial stop

Serologi AntiSalmonella Typhi IgM=(+)

BB

: 19,5 kg

Mx : Vital sign Balance cairan

Status general : Kepala : N-cephali Mata : an -/-, ikt -/-, RP +/+ isokor
26

THT Leher Mulut

: NCH (-), sekret (-) : PK (-), KK (-) : lidah kotor (+)

Thorax : Cor : S1 S2 N reg mur (-) Po : ves (+), rh -/-, wh -/Abd : dist (-), BU (+) N, meteorismus (+) H : tidak teraba L : tidak teraba Ext : hangat (+), cyanosis (-)

A : Obs febris e.c susp typhoid dd ISK

16/05/10

S : panas (+), makan/minum menurun, irritabel D1/4NS 1520cc O: Taxigra 31000 mg Amikacin 525 mg iv Selanjutnya 1380 iv Farmadol 20cc

UL Pk 08.30 Anti microbial activity test=(+)

Status Present : KU : sakit sedang Kes : CM Nadi : 134x/menit Resp : 28 x/menit tax : 38,4 C BB : 19,5 kg

Pdx : DL tunggu hasil DL serial stop

Status general : Kepala Mata : N-cephali : an -/-, ikt -/-, RP +/+ isokor, Mx : Vital sign Balance cairan

27

THT Leher Mulut Thorax

: NCH (-), sekret (-) : PK (-), KK (-) : Lidah kotor (+) : Cor : S1 S2 N reg mur (-) Po : ves (+), rh -/-, wh -/-

Abd

: dist (-), BU (+) N H : tidak teraba L : tidak teraba

Ext

: hangat (+), cyanosis (-)

A : Obs febris e.c susp typhoid dd ISK

17/05/10

S : makan/minum : membaik, panas badan naik turun, BAK (+) O: Status Present : KU : sakit sedang Kes : CM Nadi : 104x/menit Resp : 36x/menit tax : 36,7 C BB : 19,5 kg

Taxigra 3 x 1 gr Amikacin 1 x 380 mg Demam lebih 39C,diberi Farmadol 20cc tiap 4 jam +kompres hangat

Pdx : Mx : Vital sign Balance cairan DL

Status general : Kepala Mata : N-cephali, UUB menutup : an -/-, ikt -/-, RP +/+ isokor
28

THT Leher Thorax

: NCH (-), cyan (-) : PK (-), KK (-) : Cor : S1 S2 N reg mur (-) Po : ves (+), rh -/-, wh -/-

Abd

: dist (-), BU (+) N H : tidak teraba L : tidak teraba

Ext

: hangat (+), cyanosis (-)

A : Demam Tifoid

18/05/10

S : makan/minum (+), panas badan turun dengan penurun panas,nyeri perut (-),gusi berdarah mimisan (-),BAK (+) O: Status Present : KU : sakit sedang Kes : CM Nadi : 120x/menit Resp : 18x/menit tax : 37,5 C BB : 19,5 kg

D D1/4NS 1520cc Taxigra 3 x 1 gr Amikacin 1 x 380 mg Farmadol sirup 20cc dapat diulang @ 4 jam jika demam 390C + kompres hangat

Pdx : Status general : Kepala Mata THT : N-cephali, UUB menutup : an -/-, ikt -/-, RP +/+ isokor : NCH (-), cyan (-) Mx : Vital sign Balance cairan DL besok

29

Leher Thorax

: PK (-), KK (-) : Cor : S1 S2 N reg mur (-) Po : ves (+), rh -/-, wh -/-

Abd

: dist (-), BU (+) N H : tidak teraba L : tidak teraba

Ext

: hangat (+), cyanosis (-)

A : Demam Tifoid

19/05/10

S : makan/minum (+), panas badan turun dengan penurun panas, BAK /BAB(+) O:

Klinik Kimia Pk 10.11

Status Present : KU : sakit sedang Kes : CM

Diet bubur tim 3 x 1 1620 kal/hr Taxigra 3 x 1 gr Amikacin 1 x 380 mg Paracetamol sirup 20cc dapat diulang @ 4 jam jika demam 390C + kompres hangat

CRP=42.21 Nadi : 111x/menit Resp : 40x/menit DL 10.36 Wbc=8.16 Rbc=3.03 Hb=8 Hct=26.0 Plt=132 Status general : Kepala Mata THT Leher Mulut : N-cephali : an -/-, ikt -/-, RP +/+ isokor : NCH (-), cyan (-) : PK (-), KK (-) : lidah tifoid (+)
30

tax : 36,3 C BB : 19,5 kg

Pdx : Mx : Vital sign Balance cairan DL

Thorax

: Cor : S1 S2 N reg mur (-) Po : ves (+), rh -/-, wh -/-

Abd

: dist (-), BU (+) N H : tidak teraba L : tidak teraba

Ext

: hangat (+), cyanosis (-)

A : Demam Tifoid

20/05/10

S : makan/minum(+) baik, panas badan turun dengan penurun panas, BAK (+) normal, BAB (+) normal 1 x, lidah tampak kotor dan bergetar

Taxigra 3 x 195 gr Amikacin 1 x 380 mg Farmadol sirup 20cc dapat diulang @ 4 jam jika demam 390 C + kompres hangat

O: Status Present : KU : sakit sedang Kes : CM Nadi : 112x/menit Resp : 24x/menit Pdx : tax : 37,7 C BB : 19,5 kg Mx : Status general : Kepala Mata THT Leher : N-cephali : an -/-, ikt -/-, RP +/+ isokor : NCH (+), cyan (-) : PK (-), KK (-)
31

DL

Vital sign Balance cairan

Mulut Thorax

: lidah tifoid (+) : Cor : S1 S2 N reg mur (-) Po : ves (+), rh -/-, wh -/-

Abd

: dist (-), BU (+) N H : tidak teraba L : tidak teraba

Ext

: hangat (+), cyanosis (-)

A : Demam Tifoid

S : makan/minum : membaik, panas badan 21/05/10 turun dengan penurun panas, perut kembung (+), BAK/BAB (+) normal ,mual (-) ,muntah (-) O: Status Present : KU : sakit sedang Kes : CM Nadi : 108x/menit Resp : 28x/menit tax : 36,5 C BB : 19,5 kg Pdx : Mx : Status general : Kepala Mata THT : N-cephali, UUB menutup : an -/-, ikt -/-, RP +/+ isokor : NCH (+), cyan (-)
32

Taxigra 3 x 1 gr Amikacin 1 x 380 mg Farmadol sirup 20cc dapat diulang @ 4 jam jika demam 380 C + kompres hangat

DL

Vital sign Balance cairan

Leher Thorax

: PK (-), KK (-) : Cor : S1 S2 N reg mur (-) Po : ves (+), rh -/-, wh -/-

Abd

: dist (-), BU (+) N H : tidak teraba L : tidak teraba

Ext

: hangat (+), cyanosis (-)

A : Demam Tifoid

S : makan/minum : membaik, panas badan 22/05/10 turun dengan penurun panas, BAK/BAB (+),mual (-),muntah (-) DL Pk 12.41 Wbc=9.89 Rbc=2.78 Hb=8.04 Hct=23.7 Plt=275 Kimia Klinik Pk 11.59 CRP=12.55 Status general : Kepala Mata : N-cephali, UUB menutup : an -/-, ikt -/-, RP +/+ isokor O: Status Present : KU : sakit sedang Kes : CM Nadi : 122x/menit Resp : 32x/menit tax : 36,3 C BB : 19,5 kg BPL

33

THT Leher Thorax

: NCH (-), cyan (-) : PK (-), KK (-) : Cor : S1 S2 N reg mur (-) Po : ves (+), rh -/-, wh -/-

Abd

: dist (-), BU (+) N H : tidak teraba L : tidak teraba

Ext

: hangat (+), cyanosis (-)

A : Demam Tifoid

DAFTAR PUSTAKA 1. Maskalyk, J. Typhoid fever. JAMC; 2003. 169 (2). 2. Centers for Disease Control and Prevention. Typhoid fever. CDC 2005 Jan 10:1-3 3. World Health Organization. The diagnosis, treatment and prevention of typhoid fever. WHO. 2003 May. 4. Statistics by Country for Typhoid fever. [Online]. Cited 2009 April 24; Available from: URL:http://www.WrongDiagnosis.com 5. Parry CM, Hien TT, Dougan G, White NJ, Farrar JJ. Typhoid fever. N Eng J Med 2002 Nov 28;37(22):1770-1782 6. Widodo D. 2006. Demam Tifoid. Dalam : Buku Ajar Penyakit Dalam. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbit Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal. 1752 1361 7. Brusch JL, Garvey T, Corales R, Schmitt SK. Typhoid fever. [Online]. 2008 Dec 3 [cited 2009 May 14]; Available from: URL:http://www.emedicine.com 8. Nelson Textbook of Pediatrics 17th ed (May 2003): by Richard E., Md. Behrman (Editor), Robert M., Md. Kliegman (Editor), Hal B., Md. Jenson (Editor) By W B Saunders 9. Principles and Practices of Pediatric Infectious Diseases Elsevier, Inc. 3rd ed. Long A, Pickering, L, Prober C (Editors). Orlando, FL: Churchill Livingstone; 2008:812-817. 10. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak edisi I 2004 oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia 11. Textbook of Pediatric Emergency Medicine. 5th ed. Baltimore, Md: 2005: Fleisher, GR, Ludwig, SL, Henretig FM
34

Salmonella Infection: Treatment & Medication Author: Archana Chatterjee, MD, PhD available at : http://emedicine.medscape.com/article/968672 13. The diagnosis, treatment and prevention of typhoid fever: The Department of Vaccines and Biologicals 2003 WHO 14. Risk Factors for Typhoid and Paratyphoid Fever in Jakarta, Indonesia: JAMA 2004, Albert M. Vollaard; Soegianto Ali; Henri A.G.H van Asten; et al 15. A comparison of fluoroquinolones versus other antibiotics for treating enteric fever: meta-analysis : BMJ 2009: Durrane Thaver; Anita K M Zaidi, Julia Critchley et al 16. Clinical and microbiological investigations of typhoid fever in an infectious disease hospital in Kuwait : Journal of Medical Microbiology (2007), 56, 538544. Tsonyo Dimitrov, Eded E. Udo, Ossama Albaksami et al 17. Fluoroquinolone Safety in Pediatric Patients: A Prospective, Multicenter, Comparative Cohort Study in France : Pediatrics 2003;111;e714-e719: Martin Chalumeau, Sylvie Tonnelier, Philippe dAthis et al 18. Typhoid fever. N Engl J Med. Nov 28 2002;347(22):1770-82 Parry CM, Hien TT, Dougan G, et al 19. Evaluation of Rapid Diagnostic Tests for Typhoid Fever. JOURNAL OF CLINICAL MICROBIOLOGY, May 2004, p. 18851889: Sonja J. Olsen, Jim Pruckler, William Bibb, et al
12.

35

Anda mungkin juga menyukai