Anda di halaman 1dari 12

BRONKIOLITIS I.

Definisi Bronkiolitis merupakan suatu sindrom obstruksi bronkiolus yang sering diderita bayi dan anak kecil yang berumur kurang dari 2 tahun, rata-rata ditemukan pada usia 6 bulan.[1] Bronkiolitis adalah infeksi akut saluran pernapasan kecil atau bronkiolus yang pada umumnya disebabkan oleh virus, sehingga menyebabkan gejala-gejala obstruksi bronkiolus. Bronkiolitis ditandai oleh batuk, pilek, panas, wheezing pada saat ekspirasi, takipnea, retraksi, dan air trapping/hiperaerasi paru pada foto dada.[2] II. Etiologi Bronkiolitis terutama disebabkan oleh Respiratory Synctial Virus (RSV) yaitu sekitar 60-90% dari kasus yang ada, dan penyebab yang lain yaitu oleh virus Parainfluenzae tipe 1,2, dan 3, Influenzae B, Adenovirus tipe 1,2, dan 5, atau Mycoplasma. RSV adalah penyebab utama bronkiolitis dan merupakan satu-satunya penyebab yang dapat menimbulkan epidemi.[1,2] Belum ada sumber yang mengatakan bahwa bakteri sebagai penyebab bronkiolitis, namun terkadang sulit untuk membedakan pneumonia bakteri dengan bronkiolitis.[3] Virus Respiratory Syncytial (RSV) adalah sejenis virus yang merupakan sub family pneumovirus, family Paramyxoviridae, termasuk dalam ordo Mononegavirales yang merupakan virus RNA. Virus ini merupakan penyebab terpenting ISPA bawah pada bayi dan anak. Ada dua sub tipe yang dikenal yaitu tipe A dan B. RSV tersusun atas RNA rantai tunggal teridiri atas 10 macam mRNA. Masing-masing terdiri dari 10 jenis protein virus. Delapan daripdanya merupakan protein struktural dan dua non struktural. Tujuh protein besar yang menyusun protein structural tersebut adalah protein L,G,F,N,P,M, dan SH. Protein non structural adalah protein NS1 dan NS2. Tiga dari protein structural merupakan protein permukaan transmembran yaitu protein F glikosilat (fusion), protein G (attachment) dan protein SH.[4] Agen infeksius utama yang terdapat pada RSV adalah: 1

Virion, yaitu suatu nukleokapsul yang terdapat di dalam amplop lipid, bersifat labil terhadap sinar ultraviolet. Glikoprotein F (fusion), yang dapat menghambat pembentukan sinsitium pada biakan jaringan. Protein G (attachment) adalah suatu glikoprotein, dapat dikenali melalui terbentuknya antibody spesifik terhadapnya.

Protein F dan G merupakan antigen permukaan utama virus yang bersifat labil terhadap perubahan suhu dan paparan sinar ultraviolet. Pada suhu 55 oC virus akan segera mati, pada suhu 37 oC dapat bertahan hingga 24 jam dan pada suhu 4 oC dapat bertahan dalam waktu 1 minggu. III. Epidemiologi Bronkiolitis sering mengenai anak usia di bawah 2 tahun dengan insiden tertinggi pada bayi usia 6 bulan. Pada daerah yang penduduknya padat insiden bronkiolitis oleh karena RSV terbanyak pada usia 2 bulan.[2,5] Meningkatnya kejadian ISPA bawah karena RSV juga dipengaruhi oleh musim. Di Negara industry bermusim dingin, puncak terbanyak kejadian bronkiolitis yaitu pada musim dingin. Di Arab puncak kejadian infeksi RSV juga terjadi pada musim dingin. Di Negara tropis, epidemic terjadinya bronkiolitis terjadi pada musim penghujan. Untuk di Indonesia, angka kejadian RSV belum diketahui secara pasti.[5] Insiden infeksi RSV sama pada laki-laki dan perempuan, namun bronkiolitis berat lebih sering pada laki-laki. Faktor resiko terjadinya bronkiolitis adalah jenis kelamin lakilaki, status ekonomi yang rendah, jumlah anggota keluarga yang besar, perokok pasif, berada pada tempat penitipan anak atau tempat-tempat umum yang ramai, rendahnya antibody maternal terhadap RSV, dan bayi yang tidak mendapatkan air susu ibu. RSV menyebar melalui droplet dan inokulasi atau kontak langsung, seseorang biasanya aman apabila berjarak lebih dari 6 feet dari seseorang yang menderita infeksi RSV. Droplet yang besar dapat bertahan di udara bebas selama 6 jam, dan seseorang penderita dapat menularkan virus tersebut selama 10 hari.[2,5] IV. Patofisiologi 2

RSV adalah single stranded RNA yang berukuran sedang (80-350 nm), termasuk paramyxovirus. Terdapat dua glikoprotein permukaan yang merupakan bagian penting dari RSV untuk menginfeksi sel, yaitu protein G yang mengikat sel dan protein F yang menghubungkan partikel virus dengan sel target dan sel tetangganya. Kedua protein ini merangsang antibody neutralisasi protektif pada host. Terdapat dua macam strain antigen RSV yaitu A dan B. RSV strain A menyebabkan gejala pernapasan yang lebih berat dan menimbulkan sekuele. Masa inkubasi RSV 2-5 hari. Virus bereplikasi di dalam nasofaring kemudian menyebar dari saluran napas atas ke saluran nafas bawah melalui penyebaran langsung pada epitel saluran napas melalui kolonisasi dan replikasi virus pada mukosa bronkus dan bronkiolus yang memberi gambaran patologi awal berupa nekrosis sel epitel silia. Nekrosis sel epitel saluran napas menyebabkan terjadinya edema submukosa dan pelepasan debris dan fibrin ke dalam lumen bronkiolus. Virus yang merusak epitel bersilia juga menganggu gerakan mukosilier, mucus tertimbun di dalam bronkiolus. Kerusakan sel epitel saluran napas juga mengakibatkan saraf aferen lebih terpapar terhadap allergen atau iritan sehingga dilepaskan beberapa neuropeptida (neurokinin, substance P) yang menyebabkan kontraksi otot polos pada saluran napas. Pada akhirnya kerusakan epitel saluran napas juga meningkatkan ekspresi intercellular Adhesion Molecule-1 (ICAM-1) dan produksi sitokin yang akan menarik eosinofil dan sel-sel inflamasi. Jadi, bronkiolus menjadi sempit karena kombinasi dari proses inflamasi, edema saluran napas, akumulasi sel-sel debris dan mucus serta spasme otot polos saluran napas.[2,5] Adapun respon paru ialah dengan meningkatkan kapasitas fungsi residu, menurunkan compliance, meningkatkan tahanan saluran napas, dead space serta meningkatkan shunt. Semua faktor-faktor tersebut menyebabkan peningkatan kerja sistem pernapasan, batuk, wheezing, obstruksi saluran napas, hiperaerasi, atelektasis, hipoksia, hiperkapnea, asidosis metabolic sampai gagal napas. Karena resistensi aliran udara saluran napas berbanding terbalik dengan diameter saluran napas pangkat 4, maka penebalan dinding bronkiolus sedikit saja sudah memberikan akibat cukup besar pada aliran udara. Apalagi diameter saluran napas bayi dan anak kecil lebih sempit. Resistensi aliran udara saluran napas meningkat pada fase inspirasi maupun fase ekspirasi. Selama fase ekspirasi terdapat mekanisme klep hingga udara akan terperangkap dan menimbulkan overinflasi 3

dada. Volume dada pada akhir ekspirasi meningkat hampir dua kali di atas normal. Atelektasis dapat terjadi bila obstruksi total.[2,5] Anak besar dan orang dewasa jarang mengalami bronkioliotis bila terserang infeksi virus. Perbedaan anatomi antara paru-paru bayi muda dan anak yang lebih besar mungkin merupakan kontribusi terhadap hal ini. Respon proteksi imunologi terhadap RSV bersifat transien dan tidak lengkap. Infeksi yang berulang pada saluran napas bawah akan meningkatkan resistensi terhadap penyakit. Akibat infeksi yang berulang-ulang, terjadi cumulative immunity sehingga anak yang lebih besar dan orang dewasa cenderung lebih tahan terhadap infeksi bronkiolitis dan pneumonia karena RSV.[2,5] Ada 2 macam fenomena yang mendasari hubungan antara infeksi virus saluran napas dan asma, yaitu (1) infeksi akut virus saluran napas pada bayi atau anak kecil seringkali disertai wheezing, (2) penderita wheezing berulang yang disertai dengan penurunan tes faal paru, ternyata seringkali mengalami infeksim virus saluran napas pada saat bayi/usia muda. Infeksi RSV dapat menstimulasi respon imun humoral dan seluler. Respon antibody sistemik terjadi bersamaan dengan respon imun lokal. Bayi usia muda mempunyai respon imun yang lebih buruk. Tujuh puluh sampai delapan puluh persen anak dengan infeksi RSV memproduksi IgE dalam 6 hari perjalanan penyakit dan dapat bertahan sampai 34 hari. IgE-RSV ditemukan dalam secret nasofaring 45% anak yang terinfeksi RSV dengan mengi, tapi tidak pada anak tanpa mengi. Bronkiolitis yang disebabkan RSV pada usia dini akan berkembang menjadi asma bila ditemukan IgE spesifik RSV.[2] V. Gejala Klinis Bronkiolitis akut biasanya didahului oleh infeksi saluran napas bagian atas disertai batuk pilek untuk beberapa hari, biasanya tanpa disertai kenaikan suhu tubuh atau hanya subfebril.[3] Gejala ini berlangsung beberapa hari, kadang-kadang disertai demam dan nafsu makan berkurang. Kemudian timbul distress napas yang ditandai oleh batuk paroksismal, wheezing, sesak napas. Bayi-bayi akan menjadi rewel, muntah serta sulit makan dan minum. Bronkiolitis biasanya terjadi setelah kontak dengan orang dewasa atau anak besar yang menderita infeksi saluran napas atas yang ringan.[2]

Bayi mengalami demam ringan atau tidak demam sama sekali dan bahkan ada yang mengalami hipotermi. Terjadi distress napas dengan frekuensi napas lebih dari 60 kali per menit, kadang-kadang disertai sianosis, nadi juga biasanya meningkat. Terdapat napas cuping hidung, penggunaan otot-otot bantu napas pernapasan dan retraksi. Retraksi biasanya tidak dalam karena adanya hiperinflasi paru (terperangkapnya udara dalam paru). Terdapat ekspirasi yang memanjang, wheezing yang dapat terdengar dengan ataupun tanpa stetoskop, serta terdapat crackles. Hepar dan lien teraba akibat pendorongan diafragma karena tertekan oleh paru yang hiperinflasi. Pada beberapa pasien dengan bronkilitis didapatkan konjunctivitis ringan, otitis media, serta faringitis.[2] Ada bentuk bronkiolitis yang kronis, biasanya disebabkan oleh karena adenovirus atau inhalasi zat toksis (hydrochloric, nitric acids, sulfur oxide). Gejalanya ditandai dengan karakteristik gambaran klinis dan radiologis hilang timbul dalam beberapa minggu atau bulan dengan episode atelektasis, pneumonia dan wheezing yang berulang. Proses penyembuhan mengarah ke penyakit paru kronis. Gambaran histopatologisnya yaitu hipertrofi dan timbunan infiltrate meluas ke peribronkial, destruksi dan deorganisasi jaringan otot dan elastic dinding mukosa. Terminal bronkiolus tersumbat dan dilatasi, alveoli overdistensi, atelektasis, dan fibrosis.[2] VI. Pemeriksaan Penunjang

Tes Laboratorium Tes laboratorium rutin tidak spesifik. Hitung lekosit biasanya normal. Pada pasien dengan peningkatan lekosit biasanya didominasi oleh PMN dan bentuk batang. Pemeriksaan Radiologis Gambaran radiologic mungkin masih normal bila bronkiolitis ringan. Umumnya terlihat paru-paru mengembang (hyperaerated). Bisa juga didapatkan bercak-bercak yang tersebar, mungkin atelektasis (patchy atelectasis) atau pneumonia (patchy infiltrates). Pada x-foto lateral, didapatlkan diameter AP yang bertambah dan diafragma tertekan ke bawah. Pada pemeriksaan x-foto dada, dikatakan hyperaerated apabila kita mendapatkan: siluet jantung yang menyempit, jantung terangkat, diafragma lebih rendah dan mendatar, diameter

anteroposterior dada bertambah, ruang retrosternal lebih lusen, iga horizontal, pembuluh darah paru tampak tersebar.[2] VII. Diagnosis Diagnosis bronkiolitis didasarkan pada gambaran klinis, umur penderita dan adanya epidemic dalam masyarakat. Kriteria bronkiolitis terdiri dari: a. Wheezing pertama kali, b. Umur 24 bulan atau kurang, c. Pemeriksaan fisis sesuai dengan gambaran infeksi, misalnyan batuk, pilek, demam, dan
d. Menyingkirkan pneumonia atau riwayat atopi yang dapat menyebabkan wheezing.
[2,5]

Untuk menilai kegawatan penderita dapat dipakai skor Respiratory Distress Assessment Instrument (RDAI) yang menilai distress napas berdasarkan 2 variabel respirasi yaitu wheezing dan retraksi. Bila skor lebih dari 15 dimasukkan kategori berat, bila skor kurang dari 3 dimasukkan dalam kategori ringan. Tabel 1. Respiratory Distress Assessment Instrument (RDAI)[2] 0 Wheezing -Ekspirasi Inspirasi Lokasi Retraksi -Supraklavikular -Interkostal -Subkostal Total (-) (-) (-) (-) (-) (-) Akhir Sebagian 2 dr4 lap paru Ringan Ringan Ringan Semua 3dr4lap paru Sedang Sedang Sedang Berat Berat Berat Semua 4 2 2 3 3 3 17 1 SKOR 2 Skor 3 4 Maksimal

VIII. Diagnosis Banding 6

Diagnosis banding bronkiolitis yaitu, asma bronchial, pneumonia, aspirasi benda sing, refluks gastroesofageal, sistik fibrosis, gagal jantung, miokarditis. Asma bronchial merupakan diagnosis banding yang sering dan hampir sama dengan gejala yang dialami pada bronkiolitis. Tabel 2. Beberapa perbedaan asma bronkiolitis dan asma[2] Penyebab Umur Sesak berulang Onset sesak ISPA atas Atopi keluarga Alergi lain Respon bronkodilator Eosinofil IX. Penatalaksanaan Prinsip dasar penanganan bronkiolitis adalah terapi suportif yaitu oksigenasi, pemberian cairan untuk mencegah dehidrasi, dan nutrisi yang adekuat. Bronkiolitis ringan biasanya bisa rawat jalan dan perlu diberikan cairan per oral yang adekuat. Bayi dengan bronkiolitis sedang sampai berat harus dirawat inap. Penderita dengan resiko tinggi harus dirawat inap, yaitu berusia kurang dari 3 bulan, premature, kelainan jantung, kelainan neurologi, penyakit paru kronis, defisiensi umin, distress napas,. Tujuan perawatan di rumah sakit adalah terapi suportif, mencegah dan mengatasi komplikasi, atau bila diperlukan pemberian antivirus. ASMA Hiperreaktifitas bronkus >2 tahun Ya Akut +/Sering Sering Cepat Meningkat BRONKIOLITIS Virus 6 bulan 2 tahun Tidak Insidious Selalu + Jarang Lambat Normal

Tabel 3. Terapi Bronkiolitis (RSV): rekomendasi dari Agency for Healthcare Research and Quality (AHRQ).[2] Clear evidence for effectiveness 7

Supportive care Supplemental oxygen Possibly effective Nebulized ipratropium bromide (atroven) with or without nebulized albuterol (proventil) Oral or inhaled corticosteroid Parental dexamethasone Nebulized epinephrine Possibly effective for most severe cases Helium-oxygen combination Surfactant Probably ineffective Aerosolized ribavirin (Virazole) Antibiotics (unless patient has a clear focus or bacterial infection) Nebulized furosemide RSV-Ig (RespiGam) Inhaled interferon alfa-2a (Roferon-A) rhDNAse Beberapa kategori diatas berbeda dengan rekomendasi pengobatan yang dikeluarkan senter lain. American Academy of Pediatrics (AAP) tidak merekomendasikan penggunaan kortikosteroid untuk pengobatan RSV, yang kemungkinan efektif menurut AHRQ. Terapi Oksigen oksigen harus diberikan kepada semua penderita kecuali untuk kasus-kasus yang sangat ringan. Saturasi oksigen menggambarkan kejenuhan afinitas hemoglobin terhadap oksigen di dalam darah. Oksigen dapat diberikan melalui nasal prongs (2 liter/menit), masker (minimum 4 liter/menit) atau head box. Terapi oksigen dihentikan bila pemeriksaan staurasi oksigen dengan pulse oxymetri (SaO2) pada suhu ruangan stabil diatas 94%. Pemberian oksigen pada saat masuk sangat berpengaruh pada skor beratnya penyakit dan lama perawatan di rumah sakit.[2] Pendeirta bronkilitis kadang-kadang membutuhkan ventilasi mekanik, yaitu pada kasus gagal napas, serta apnea berulang. CPAP biasa digunakan untuk mempertahankan tekanan positif paru. CPAP mungkin memberikan keuntungan dengan cara membuka saluran napas kecil, mencegah air trapping dan obstruksi. Bayi dengan hipoksemia berat yang tidak membaik dengan ventilasi konvensional membutuhkan ventilasi dengan highfrequency jet ventilation atau extracorporeal membrane oxygenation (ECMO).[2] 8

Terapi Cairan Pemberian cairan dan kalori yang cukup (bila perlu dapat dengan infuse dan diet sonde/nasogastrik). Jumlah cairan disesuaikan dengan berat badan. Kenaikan suhu dan status hidrasi. Cairan intravena diberikan bila pasien muntah dan tidak dapat minum, panas, distress napas untuk mencegah terjadinya dehidrasi. Dapat dibenarkan pemberian restriksi cairan 2/3 dari kebutuhan rumatan, untuk mencegah edema paru dan edema otak akibat SIADH (Sindrome of Inappropriate Anti Diuretic Hormone). Selanjutnya perlu dilakukan koreksi terhadap kelainan asam basa dan elektrolit yang mungkin timbul. Antibiotik Apabila terdapat perubahan kondisi umum penderita, peningkatan lekosit atau pergeseran hitung jenis, atau tersangka sepsis maka diperiksa kultur darah, urine, feses dan cairan serebrospinal, secepatnya diberikan antibiotika yang memiliki spectrum luas. Pemberian antibiotic secara rutin tidak menunjukkan pengaruh terhadap perjalanan penyakit bronkiolitis. Akan tetapi, keterlambatan mengetahui virus RSV atau virus lain sebagai penyebab bronkiolitis dan menyadari bahwa infeksi virus merupakan predisposisi terjadinya infeksi sekunder dapat menjadi alasan untuk memberikan antibiotika. Antivirus (Ribavirin) Ribavirin adalah synthetic nucleoside analogue, menghambat aktifitas virus termasuk RSV. Ribavirin menghambat translasi messenger RNA (mRNA) virus ke dalam protein virus dan menekan aktifitas polymerase RNA. Titer RSV meningkat dalam tiga hari setelah gejala timbul atau sepuluh hari setelah terkena virus. Karena mekanisme ribavirin menghambat replikasi virus selama fase replikasi aktif, maka pemberian ribavirin lebih bermanfaat pada fase awal infeksi.[2] Bronkodilator Penggunaan bronkodilator untuk terapi bronkilitis telah lama diperdebatkan selama hampir 40 tahun. Terapi farmakologis yang paling sering diberikan untuk pengobatan bronkiolitis adalah bronkodilator dan kortikosteroid. Obat-obat beta 2 agonis sangat berguna pada penyakit dengan penyempitan saluran napas karena menyebabkan efek bronkodilatasi, mengurangi pelepasan mediator dari sel mast, menurunkan tonus kolinergik,

nmengurangi sembab mukosa dan meningkatkan pergerakan silia saluran napas sehingga efektifitas dari mukosilier akan lebih baik. [2,5] Tabel 4. Bronkodilator Simpatomimetik untuk inhalasi.[2] Jenis obat Epinephrine Isoproterenol Metaproterenol Terbutalin Salbutamol Fenoterol Kortikosteroid Penelitian meta analisis tentang penggunaan kortikosteroid sistemik pada bayi dengan bronkilitis menunjukkan perbaikan dalam hal gejala klinis, lama perawatan dan lama timbulmnya gejala. Pemberian kortikosteroid oral 1 mg/kgbb pada bayi usia 8 minggu-23 bulan dengan bronkiolitis sedang-berat, terdapat perbaikan klinis pada 4 jam pertama dan penurunan jumlah pasien yang dirawat pada kelompok studi. X. Komplikasi Otitis media sering ditemukan menyertai infeksi RSV. Penyulit gagal napas hingga memerlukan bantuan ventilator sering terjadi pada bayi dan anak dengan kelainan jantung bawaan, defsisensi imun, dan bayi prematur. Bayi dengan bronkilitis memiliki resiko tinggi kelainan respirasi pada 48 jam pertama setelah onset batuk dan sesak, kemudian bisa pula terjadi apneu dan asidosis respirasi. Bayi dengan bronkilotis disertai penyakit congenital seperti penyakit jantung bawaan, displasi bronkopulmonal, dan immnudefisiensi memebrikan prognosis yang buruk, bahkan kematian. Bayi dengan bronkilitis bisa berkembang menjadi asma bronchial bila disertai adanya riwayat atopi dalam keluarga.[3,4] XI. Prognosis Prognosis penyakit ISPA bawah katrena RSV sangat dipengaruhi oleh usia, adanya kelainan congenital, status imunitas, dan pengaruh lingkungan. Faktor lingkungan yang 10 +4 +4 +4 +4 +4 +4 Potensi Selektivitas Reseptor 2 0 0 +3 +4 +4 +4 Efek puncak (menit) 2 3-15 30-60 60 30-60 30-60 1-1,5 1-2 3-4 4 4-6 4-6 Lama kerja (Jam)

berpngaruh meningkatkan morbiditas adalah sosioekonomi yang rendah, perokok pasif, pemukiman yang padat dan kumuh, tidak mendapat ASI, anak dititipkan di taman pengasuhan anak.[4] XII. Pencegahan Pencegahan dapat dilakukan dengan menghindari faktor paparan asap rokok dan polusi udara, membatasi penularan terutama di rumah sakit misalnya dengan membiasakan cuci tangan dan penggunaan sarung tangan dan masker, isolasi penderita, menghindarkan bayi atau anak kecil dari tempat keramaian umum, pemberian ASI, menghindarkan bayi dan anak kecil dari kontak penderita ISPA. Penelitian penggunaan vaksin RSV menggunakan virus hidup dan synthetic peptide sampai saat ini tidak memberikan proteksi yang adekuat.[2,5]

DAFTAR PUSTAKA
1.

Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 1985. Bronkiolitis Akut dalam Buku 3 Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia.

2.

Setiawati, landia, Retno Asih S, Makmuri MS. 2005. Naskah Lengkap Continuing Education Ilmu Kesehatan Anak XXXV, Kapita Selekta Ilmu Kesehatan Anak IV Hot Topics In Pediatrics: Kuliah Tata Laksana Bronkiolitis. Surabaya: Divisi Respirologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK Unair RSU Dr. Soetomo Surabaya.

3.

Kliegman, Robert M, MD, Richard E Behrman MD, Hal B Jenson MD, Bonita F Stanton MD. 2007. Acute Bronchiolitis and Inflamation of The Airway in Nelson 11

Textbook of Pediatrics 18th ed. Philadelphia: Elseviers Health Sciences Right Departement. 4. Soetadji, Anindita. 2001. Deteksi Virus Respiratory Syncytial Menggunakan Test Pack Immediate Care Diagnostic Pada Infeksi Saluran Pernapasan Akut BAwah pada ANka di RSUP Dr Kariadi. Semarang: Program Pendidikan Dokter Spesialis fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang.
5.

Continuing Profesional Development Dokter Indonesia. 2007. Tata Laksana Bronkiolitis. http://cpddokter.com/home

12

Anda mungkin juga menyukai