Anda di halaman 1dari 16

BAB I PENDAHULUAN

Bronkiolitis adalah inflamasi di bronkiolus, yang terjadi pada bayi terutama pada usia 224 bulan, dengan karakteristik nafas yang cepat, dada tertarik, dan wheezing. Angka insiden tertinggi adalah pada anak usia di bawah 2 tahun terutama pada usia 2 sampai dengan 6 bulan. Kejadian bronkiolitis ini meningkat terutama pada musim dingin atau hujan.1 Penyebab terbanyak disebabkan oleh virus RSV (Respiratory Syncytial Virus), penyebab lain pada kasus-kasus yang lebih jarang disebabkan oleh virus parainfluenza tipe 1 dan 3, Influenza B, Parainfluenza tipe 2, Adenovirus. Tujuh puluh lima persen kasus bronkiolitis terjadi pada umur dibawah 1 tahun, mencapai 95% sampai dengan anak di bawah 2 tahun. Faktor resiko penyakit ini diantaranya: berat bayi lahir rendah, bayi berumur kurang 6 bulan, bayi prematur, sosioekonomi rendah, lingkungan pemukiman yang padat, terekpos dengan rokok, dan ketiadaan pemerian ASI3. Invasi virus pada epitel bronkiolus akan menyebabkan respon inflamasi berupa nekrosis epitel, oklusi bronkial dan penumpukan limfosit peribronkial. Bronkiolus menjadi edema dan mengalami obstruksi oleh mukus dan selular debris sehingga dapat menyebabkan kolaps saluran napas bagian distal baik parsial maupun total. Pada keaadaan ini juga dapat terjadi hiperreaktivitas dari saluran napas. Produksi mukus, edema saluran napas dan hiperreaktivitas saluran napas dapat menyebabkan peningkatan resistensi aliran udara. 2 Bronkiolitis awalnya ditandai dengan infeksi saluran napas atas dengan gejala pilek dengan sekret encer, bersin, demam subfebril dan nafsu makan menurun. Setelah RSV sampai di bronkioli maka dapat menyebabkan bronkiolitis dengan gejala yang ditimbulkan akibat obstruksi yang makin meningkat dalam 2 sampai 3 hari. Batuk bersifat iritatif, repetitif dan paroksismal. Pada auskultasi dapat ditemukan ronki basah halus difus pada akhir inspirasi dan awal ekspirasi. Terdengar suara napas wheezing dan ekspirasi yang memanjang.1 Pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan darah lengkap dan hitung jenis, umumnya dalam batas normal. Sedangkan pemeriksaan radiologis didapatkan hiperinflasi paru, sela iga melebar, penekanan diafragma dan sudut costoprenikus menyempit.1 Diagnosis dari bronkiolitis tidak begitu sulit. Adapun diagnosa banding daripada bronkiolitis adalah asma bronkiale, bronkopneumonia, bronkitis akut, gagal jantung, dan aspirasi benda asing. Terapi yang diberikan biasanya bersifat suportif berupa oksigen, bronkodilator,

kortikosteroid, antibiotika dan juga terapi cairan karena penyebab utamanya adalah infeksi virus.1 Prognosis pasien dengan bronkiolitis biasanya baik bila tanpa disertai penyakit yang lain. Karena bayi lahir prematur mudah sekali terserang bronchiolitis, pemberian antibodi protektif dianjurkan sebagai pencegahan.5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Bronkiolitis adalah inflamasi di bronkiolus, yang menyerang anak-anak usia di bawah 2 tahun, dengan karakteristik nafas yang cepat, dada tertarik, dan mengi (wheezing).1 Bronkiolitis adalah suatu proses keradangan atau inflamasi pada saluran napas yang berukuran kecil (bronkiolus) yang ditandai dengan respiratory distress dan overdistensi pada paru.2

Gbr 2.1. Traktus respiratorius pada anak5

Gbr 2.2 Sekresi mukus dan odem submukosa pada bronchiolitis

2.2 Epidemiologi Dua puluh lima persen dari anak berumur di bawah satu tahun dan 13% anak berumur di antara 1-2 tahun akan mengalami infeksi pernapasan. Setengahnya akan dijumpai penyakit pernapasan berhubungan dengan wheezing. RSV dapat ditemukan dalam kultur dari sepertiga penderita tersebut yang dirawat jalan dan 80% dari penderita berumur kurang 6 bulan yang masuk rumah sakit. Di antara anak-anak, 80% yang masuk rumah sakit terjadi pada tahun pertama kehidupan dan 50% yang masuk rumah sakit itu terjadi pada anak yang berumur rentang antara 1-3 bulan. Secara umum, bronkiolitis terjadi pada anak berumur lebih 1 bulan dengan puncak insiden terjadi pada usia 2-3 bulan. Tujuh puluh lima persen kasus bronkiolitis terjadi pada umur di bawah 1 tahun, dan mencapai 95 % sampai dengan anak di bawah 2 tahun. Meskipun insiden terjadinya infeksi RSV ini sama pada laki atau wanita, tapi tampaknya bronkiolitis yang berat terjadi lebih banyak pada laki laki.3 Faktor resiko penyakit ini di antaranya: berat bayi lahir rendah, bayi berumur kurang dari 6 bulan, bayi prematur, sosial ekonomi rendah, lingkungan pemukiman yang padat, terekspos dengan rokok, ketiadaan pemberian ASI.2

2.3 Etiologi Adapun penyebab dari bronkiolitis adalah sebagai berikut: 1. Infeksi a. Virus: Respiratory Syncytial Virus (RSV) kurang lebih 60-90%, adenovirus, influenza, parainfluenza virus tipe 1 sampai 3, rhinovirus, herpes virus, enterovirus. Ada dua tipe dari RSV, Tipe A yang paling umum dan terkait dengan penyakit yang lebih parah. RSV tertanam pada saluran pernafasan kurang lebih selama 9 hari pada anak-anak dibawah 1 tahun, walaupun gejala klinis sudah hilang, akan tetapi virus masih ada. Pada anak- anak yang imunodefisiensi virus akan berdiam selama sebulan setelah infeksi. Infeksi menimbulkan respon imun tergantung dari usia yang akan menimbulkan efek sembuh atau penyakit. Setelah virus mencapai mukosa dari hidung atau konjungtiva, gejala klinis yang terjadi keluarnya sekret melalui hidung, antibodi yang berperan adalah IgA, IgG, IgM akan terdeteksi pada sekret hidung untuk membersihkan RSV. Perbedaan anatomi anak-anak yang lebih muda dan lebih tua menyebabkan lebih parahnya tingkat infeksi pada anak-anak. Pada saluran pernafasan anak-anak yang resistensinya lebih besar (salurannya kecil) menyebabkan sedikit saja terjadi tumpukan debris dan edema, akan menimbulkan gejala obstruksi yang parah. Apalagi ditambah dengan dinding saluran pernafasan anak-anak lebih tebal dari pada yang dewasa.1 b. Bakteri: Mycoplasma pneumonia, H. Influenza, Pneumokokus, Stafilokokus, dan Streptokokus.1 2. Proses Alergi Bronkiolitis timbul oleh karena reaksi alergi atau defisiensi imunologis, seperti yang ditemukan oleh: a. Chanock (1957): pada anak dengan Ig A yang kurang akan menyebabkan dia mudah terkena infeksi RSV sehingga akan terbentuk antibodi. Kemudian akan timbul reaksi antigen-antibodi. Ini merupakan reaksi alergi tipe 3.3 b. Gardner (1973): apabila ada infeksi oleh virus (virus sebagai antigen) akan membentuk reaksi antigen-antibodi, dimana antibodi tersebut didapatkan dari ibunya, merupakan reaksi alergi tipe 1. c. Ross: pada anak dengan sistem imun yang belum sempurna dan kurangnya imunoglobulin dari ibu maka akan mempermudah timbulnya infeksi.3

d. William dan Phelan: adanya faktor predisposisi terjadinya bronkiolitis ditambah dengan adanya infeksi RSV maka anak tersebut akan menderita bronkiolitis.3

2.4 Patofisiologi Tidak semua anak yang mengalami infeksi saluran napas atas berkembang menjadi infeksi saluran pernapasan bawah. Anatomis dan faktor imunologis host tampaknya yang berperan signifikan menentukan derajat berat sindrom klinis. Infeksi RSV melibatkan respon imun yang kompleks. Degranulasi eosinofil, dan terlepasnya protein kationik eosinofil, yang mana bersifat sitotoksik terhadap epitel respiratorius. Mediator-mediator lain kemokin seperti IL-8, leukotrien terlibat dalam patogenesis inflamasi saluran napas3.

Gbr 2.3 Gambaran histologis bronkiolus : infiltrasi sel radang bersama debris pada lumen bronkiolus. Bronkiolitis disebabkan oleh infeksi virus pada saluran napas kecil (bronkiolus). Infeksi pada sel respiatorius bronkiolus dan sel epitel bersilia menyebabkan terjadinya peningkatan sekresi mukus, terjadi kematian sel, diikuti infiltrasi limfosit peribronkial dan edema submukosa. Kombinasi dari debris dan edema menyebabkan terjadinya penyempitan dan obstruksi pada saluran napas kecil3. Pada anak, meskipun terjadi penyempitan kecil pada bronkiolus, dapat menyebabkan terjadinya gangguan aliran udara yang signifikan karena secara fisika resistensi berbanding proporsional terbalik pangkat empat radius bronkial. Resistensi pada jalan napas saluran napas kecil meningkat baik inspirasi maupun ekspirasi, tapi radius saluran napas kecil lebih menyempit sewaktu ekspirasi berlangsung. Hasil dari obstruksi selama ekspirasi ini menyebabkan terjadinya air trapping dan overinflasi. Compliance paru menjadi abnormal.

Artinya proses ekspirasi yang normalnya berlangsung secara pasif, karena adanya hiperinflasi ini maka dibutuhkan tenaga ekstra yang melibatkan otot-otot ekspirasi untuk mengeluarkan udara dari paru. Usaha bernapas meningkat berkaitan dengan peningkatan end expiratory lung volume. Bila obstruksi terjadi komplit dengan resorbsi udara yang terjebak, anak akan mengalami apa yang dinamakan atelektasis.7

Gambar 2.4 Obsrtuksi pada bronkiolus disebabkan oedem submukosa Proses selular dan patologis ini akhirnya mengganggu pertukaran udara paru. Konsekuensinya terjadi gangguan keseimbangan ventilasiperfusi. Kemudian menjadi hipoksemia. Pada beberapa kasus berat, berlanjut menjadi hiperkapnia.8 Tanda fisik yang primer dari melemahnya ventilasi adalah kerja berlebihan pada otot-otot pernafasan, takipnea, takikardi, penurunan volume tidal, nafas yang tidak regular atau terengah-engah (gasping), and gerakan paradoks abdomen. Berikut adalah bagan patofosiolgis bronkiolitis dan terjadinya gagal nafas:

Agent (RSV)

Invasi epitel bronkiolus

Respon Imun (invasi sel darah putih) (limfosit)

Respon inflamasi (nekrosis epitel & penumpukan limfosit peribronkial)

Bronkiolus edema

produksi mucus meningkat

Obtruksi bronkiolus

hiperreaktivitas saluran nafas

Resistensi aliran udara meningkat sampai 6x normal Hipoventilasi alveoli

Penurunan Rasio ventilasi - perfusi Capai Hipoksemia

Gagal nafas

2.5 Manifestasi klinis Bronkiolitis terjadi apabila RSV sampai di bronkioli dengan gejala yang timbul akibat dari obstruksi yang makin meningkat dalam 2 sampai 3 hari. Gejala awalnya berupa infeksi saluran pernafasan atas seperti pilek, batuk, dan panas sumer-sumer. Pada orang dewasa dan anak-anak yang lebih besar usia simptomnya tidak berlanjut, terbatas pada infeksi saluran nafas atas. Tapi 40% anak-anak usia muda dan bayi, keadaannya berkembang melibatkan saluran pernafasan bawah, batu dan sesak setelah 1-2 hari.3 Bronkiolitis awalnya ditandai dengan infeksi saluran napas atas dengan gejala pilek dengan sekret encer, bersin, demam subfebril dan nafsu makan menurun. Hal ini berlangsung beberapa hari. Kemudian bila sampai di bronkus maka manifestasi klinisnya ringan oleh karena infeksi pada bronkus minimal. Gejala ini berlangsung dalam 1 sampai 2 hari.5 Sebagai usaha pernafasan yang meningkat, ditandai nafas cuping hidung setiap kali nafas, otot-otot antara tulang iga mengalami retraksi (retraksi intercostal) sebagai usaha menghirup udara. Hal ini dapat melelahkan si anak dan pada bayi-bayi berusia muda merupakan satu kelelahan luar biasa, bernafas menjadi sulit dipertahankan. Gejala lain yang sering dijumpai: nafsu makan dan minum menurun, iritabel, grunting, noisy breathing, muntah biasanya setelah batuk dan terdengar wheezing.6 Pada pemeriksaan fisik, yang dapat ditemukan pada pasien bronkiolitis adalah adanya wheezing. Terjadi takipneu dengan frekuensi 50-60 kali permenit bahkan meningkat sampai 80 kali permenit atau lebih, takikardi, nafas cuping hidung setiap kali nafas, retraksi dinding dada pada saat inspirasi dan dapat terjadi sianosis. Makin kecil anak makin jelas retraksi ini oleh karena dinding dada masih fleksibel. Apneu biasanya pada bayi usia kurang dari 6 bulan karena jalan nafas yang lebih kecil dan lebih mudah terobsruksi serta kemampuan untuk membersihkan sekresi masih rendah. Pada asukultasi terdengar wheezing dengan fase ekspirasi yang semakin memanjang atau dapat ditemukan ronki basah halus difus pada saat inspirasi. Hepar dan lien teraba akibat hiperinflasi paru dan pendataran diafragma. Gejala-gejala tersebut diatas dapat pula disertai dengan konjungtivitis atau faringitis ringan, otitis media dan sianosis.3 Setelah RSV sampai di bronkioli maka dapat menyebabkan bronkiolitis dengan gejala yang ditimbulkan akibat obstruksi yang makin meningkat dalam 2 sampai 3 hari. Batuk bersifat iritatif, repetitif dan paroksismal. Anak akan menjadi gelisah/rewel, sulit tidur dan sulit makan dan minum. Suhu tubuh dapat kembali normal. Dapat ditemukan nafas cuping hidung, dispneu dan takikardia. Usaha nafas meningkat (air hunger) dan dapat terjadi sianosis. Penggunaan otot

bantu pernapasan bertambah dan dapat terlihat adanya retraksi. Pada auskultasi dapat ditemukan ronki basah halus difus pada akhir inspirasi dan awal ekspirasi. Terdengar suara napas wheezing dan ekspirasi yang memanjang. Gejala biasanya berlangsung 3 sampai 7 hari dengan adanya perbaikan dalam 3 sampai 4 hari pertama. Secara keseluruhan akan kembali normal dalam 1 sampai 2 minggu. 1

2.6. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan darah lengkap kurang berguna karena hitung WBC masih dijumpai dalam batas normal

Pemeriksaan gas darah mungkin diperlukan pada pasien-pasien yang berat, khususnya yang membutuhkan ventilasi mekanik.

Pada pemeriksaan kimia darah, kimia darah dijumpai normal tapi dapat menjadi abnormal bila terdapat adanya dehidrasi berat.

Imaging Penemuan hasil roentgen kurang ada relasinya dengan derajat beratnya penyakit. Foto thorax berfungsi mengeksklusi diagnosa banding seperti pneumonia lobar, gagal jantung kongestif. Foto thorax meliputi pandangan AP dan lateral .

Dapat terlihat hiperinflasi dan infiltrat. Penemuan ini kurang spesifik dan harus diobservasi dengan asma, pneumonia viral/atipikal.

Air trapping Diafragma yang mendatar Sela iga melebar Diameter anteroposterior yang meningkat

Gambar 2.5 Foto thorak menunjukkan hiperinflasi tanpa infiltrasi

2.7 Pemeriksaan lain3 1. Tes antigen pada cucian nasal memberikan hasil yang cepat (biasanya dalam waktu 30 menit) dan akurat (sensitivitas 87-91%, spesifisitas 96-100%). 2. Hasil kultur yang positif atau hasil floresensi antibodi direk dapat mengkonfirmasi diagnosis infeksi RSV. 3. Kultur RSV kurang sensitif (60%) tapi spesifik (100%).

2.8 Diagnosis Bronkiolitis Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Umumnya tidak sulit untuk mendiagnosa bronkiolitis oleh karena sifatnya khas yaitu terjadi pada anak kurang dari 2 tahun, didahului oleh gejala infeksi saluran napas bagian atas kemudian disusul oleh napas cepat dengan mengi dan dapat ditemukan retraksi dinding dada, dan ditemukan hiperinflasi dengan ronki basah halus dan difus. Pemeriksaan laboratorium rutin tidak banyak membantu. Sedangkan pemeriksaan terhadap RSV itu sendiri sulit dan lama.1

2.9 Diagnosa Banding Bronkiolitis 1.Asma Bronkial Umumnya asthma terdapat pada usia lebih dari 9-12 bulan, tapi terbanyak di atas usia 2 tahun. Perlu pula diketahui, bahwa 10-30 % dari anak yang menderita bronkiolitis setelah agak besar menjadi penderita asma. Yang dapat membantu diagnosis asma diantaranya, ialah : Anamnesa keluarga : penderita asma positif atau penyakit atopik Serangan asma lebih dering berulang atau episodic Mulai lebih akut seringkali tidak perlu didahului oleh adanya infeksi saluran pernapasan bagian atas. Ekspirasi yang sangat memanjang Ronki lebih terbatas Inflasi paru lebih ringan Laboratoris ditemukan eosinofilia

Reaksi terhadap bronkodilator pada umumnya nyata, juga epinefrin.1

2.Bronkopneumoni Seringkali sangat sulit, lebih-lebih bila pada bronkiolitis terdapat infeksi sekunder bakteri atau pada pneumonia terjadi generalized obstrucyive emphysema. Beberapa pegangan : Pneumonia primer jarang pada usia dibawah 2 tahun kecuali oleh staphylococcus Umumnya tidak terdapat gejala emfisema obstruktif atau bila ada tidak menonjol Pneumonia dapat oleh R.S virus tapi pada anak yang lebih besar. Bila oleh karena infeksi bakteri suhu tinggi dan terdapat neutrofil lekositosis Gejala konstitusi (toksik) lebih nyata Mengi jarang positif Pada perkusi terdapat gejala konsolidasi (redup-pekak) Gejala fisik umumnya lebih terbatas, hingga terdapat asimetri dada Pada pemeriksaan radiologis daerah konsolidasi dan infiltrat lebih keras.1

2.Bronkitis Akut Terjadi di bronkus Gejala obstruksi dan gangguan pertukaran tidak nyata atau ringan. Ronki : basah, kasar. Dapat berkembang menjadi bronkiolitis.1

4. Aspirasi benda asing - Terjadi mengi biasanya setelah batuk atau tersedak sesuatu. - Tidak ada tanda-tanda infeksi saluran pernafasan

2.10 Penatalaksanaan Anak dengan bronkiolitis akut harus masuk rumah sakit kalau ditemukan saturasi O2 dibawah 92%, berumur kurang dari 6 bulan, tidak dapat minum, kecepatan respirasinya meningkat signifikan dan adanya penyakit kardiopulmonar. Desaturasi O2 sampai 40%, sianosis, apneu atau asidosis adalah indikator memasukan dalam perawatan intensif. Oleh karena adanya fase kritis, walaupun berlangsung singkat, pada umumnya anak memerlukan perawatan dirumah sakit karena perlu pengawasan yang cermat dan mengurangi aktifitas atau tindakan yang tidak perlu sampai seminimal mungkin. Pada umumnya, terapi lebih

banyak bersifat suportif karena penyebab utamanya adalah infeksi virus. Pada dasarnya terapi bronkiolitis terdiri dari:5

1. Oksigen Oksigen diberikan dengan konsentrasi 40 %, tujuannya adalah untuk menanggulangi dispneu, mencegah sianosis dan mengurangi kegelisahan. Saturasi oksigen dipertahankan pada batas 95 % sampai dengan 98 %. 2. Posisi Pasien sebaiknya dibaringkan pada posisi setengah duduk atau pada sudut 30o dengan leher yang terekstensi. Bila anak dibaringkan mendatar, isi abdomen cenderung menekan rongga dada dari bawah. Hal ini tentunya akan menambah kesulitan respirasi yang sudah ada. 3. Terapi cairan Pada bayi yang dirawat di rumah sakit sering terjadi dehidrasi karena rendahnya masukan cairan dan karena meningkatnya kehilangan cairan akibat demam dan takipneu, anak juga menderita asidosis ringan. Karena itu cairan harus diberikan secara hati-hati pada jumlah yang lebih besar dari rumatan untuk mencegah terjadinya dehidrasi, asidosis metabolik, dan mencukupi kebutuhan kalori. Dapat diberikan peroral atau parenteral. Pada bayi, karena ada resiko terjadi aspirasi pada pemberian peroral akibat takipneu dan peningkatan usaha nafas dapat dilakukan pemberian makanan melalui nasogastric tube. 4. Bronkodilator Penggunaan bronkodilator masih kontroversial. Epinefrin nebulizer mungkin lebih efektif daripada 2-agonis. Pada suatu penelitian ditemukan pemberian epinefrin (0,1 ml/kg) memberikan perbaikan yang lebih besar terhadap saturasi oksigen, gejala klinis, dan atau resistensi paru dibandingkan pada pemberian salin atau albuterol. Menurut penelitian Klassen dkk menggunakan rancangan double-blind dan mendapatkan hasil bahwa penggunaan salbutamol pada pasien bronkiolitis dapat memperbaiki keadaan klinis pasien. Bila terdapat perbaikan dimana retraksi, frekuensi nafas dan mengi berkurang, pemberian aerosol bisa dilanjutkan bersamaan dengan terapi lainya. 5. Ribavirin Rbavirin merupakan suatu sintesis analog nukleosida yang membentuk guanosin dan ginosin. Obat ini mempengaruhi ekspresi dari RNA messenger dan menghambat sintesis

protein virus. Ribavirin memiliki aktivitas invitro yang luas terhadap penghambatan replikasi RSV, virus influenza, parainfluenza, adenovirus, measles, lassa fever dan hantaan virus. Pemberian berupa aerosol partikel kecil dalam 18-20 jam perhari, memberikan perbaikan pada oksigenasi dan status klinis. Pemberian ribavirin pada infeksi RSV masih menjadi kontroversi karena pemberiannya secara aorosol, perjalanan penyakit infeksi RSV yang bermacam-macam, harga obat yang mahal, adanya toksisitas dan efek samping obat. Penderita yang direkomendasikan untuk diberikan ribavirin termasuk bayi yang memiliki resiko tinggi, yaitu penderita dengan displasia bronkopulmoiner, infeksi paru kronis seperti kistik fibrosis, immunodefisiensi, penyakit jantung kongenital, bayi dengan sakit yang berat dan bayi yang menderita distres pernafasan. 6 Kortikosteroid Meskipun inflamasi memegang peranan dalam patogenesis terjadinya obstruksi jalan nafas, kortikodteroid belum terbukti bermanfaat untuk memperbaiki satus klinis penderita bronkioloitis. Pada suatu penelitian kecil didapatkan pemberian inhalasi salbutamol bersamaan dengan injeksi deksametasone dapat memperbaiki keadaan klinis namun tidak terjadi perubahan pada parameter perrtukaran gas. 7. Antibiotika Pemberian antibiotik secara rutin tidak menunjukkan pengaruh terhadap perjalanan penyakit bronkiolitis dan penggunaannya merupakan hal yang kurang rasional. Kurangnya teknik diagnostik yang cepat untuk mengidentifikasi RSV atau virus lainnya, tidak jelasnya penyebab penyakit pada bayi kecil yang menderita sakit serta pemikiran bahwa infeksi virus mungkin merupakan predsiposisi terjadinya infeksi bakteri sekunder digunakan sebagai alasan untuk pemberian antibiotik. Jika kondis penderita cepat memburuk, terdapat peningktan dan pergeseran hitung jenis WBC, WBC perifer, atau terdapat tanda-tanda klinis yang mengarah ke sepsis, maka perlu dilakukan kultur bakteri darah, urine dan cairan serebrospinal, diikuti dengan pemberian segera antibiotik spektrum luas.

2.11 Prognosis Prognosis pasien dengan bronkiolitis biasanya baik. Biasanya, gejala klinisnya membaik dalam waktu seminggu, kesulitan bernapasnya meningkat terjadi pada hari ke-3.2 Kematian terjadi

kurang dari 1 % dari seluruh penderita. Kematian disebabkan oleh karena apneu berkepanjangan, dehidrasi berat, atau dari kelainan yang memang sudah menyertainya seperti penyakit jantung bawaan dan imunodefisiensi.6

2.12 Pencegahan Karena bayi lahir prematur mudah sekali terserang bronkiolitis, pemberian antibodi protektif dianjurkan sebagai pencegaham, penggunaan antibodi monoklonal IgA (nasal drop), antibodi IgG (intramuskular).1 The American Academy of Pediatrics merekomendasikan penggunaan RSV

imunoglobulin sebagai profilaksis pada anak dengan risiko terkena infeksi RSV termasuk diantaranya adalah bayi prematur, anak dengan displasia bronkopulmonar dan pada anak yang mengalami immunocompromised. Penggunaan RSV-IGIV 750 mg/kgBB/bulan terutama pada bulan Oktober sampai April dapat menurangi insiden rawat inap 41-63 %. 5 Selain itu pencegahan yang juga penting dapat dilakukan diantaranya adalah dengan mengurangi kontak dengan anak yang sakit. Pasien yang menjalani rawat inap seharusnya ditempatkan di ruang isolasi untuk mencegah penyebaran infeksi nosokomial.5

Anda mungkin juga menyukai