Tema Pembelajaran Keterampilan pemeriksaan luar dan pembuatan visum et repertum Tujuan Mahasiswa mampu mendeskripsikan dan menentukan klasifikasi luka Mahasiswa mampu menyusun hasil pemeriksaan Mahasiswa mampu menarik kesimpulan dari hasil pemeriksaan Mahasiswa mampu membuat visum et repertum Level Kompetensi Kompetensi Visum et Repertum Traumatologi Alat dan Bahan 1. Foto-foto luka 2. Form Visum et repertum 3. Meteran Level Kompetensi SKDI Target Capaian 4 4 4 4
C. No 1 2 D.
E. Skenario Anda seorang dokter jaga UGD di RS. Saat sedang jaga, seorang pasien lakilaki 21 tahun datang ditemani oleh pamannya. Ia mengaku pusing, mual dan sempat pingsan karena dipukuli dan dikeroyok oleh teman-temannya. Pada pemeriksaan didapatkan luka-luka memar pada kedua kelopak mata, pipi, dada, punggung dan kedua lengan berwarna merah kebiruan. Saat diperiksa pasien mengatakan ingin dibuatkan visum untuk menuntut para pelaku ke pengadilan. F. Dasar Teori Definisi Dan Dasar Hukum VeR Visum et Repertum adalah keterangan tertulis yang dibuat dokter atas permintaan tertulis (resmi) penyidik tentang pemeriksaan medis terhadap seseorang manusia baik hidup maupun mati ataupun bagian dari tubuh manusia, berupa temuan dan interpretasinya, di bawah sumpah dan untuk kepentingan peradilan. Menurut Budiyanto et al (1997), dasar hukum Visum et Repertum adalah sebagai berikut: Pasal 133 KUHAP menyebutkan:
(1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya. (2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat. Yang berwenang meminta keterangan ahli adalah penyidik dan penyidik pembantu sebagaimana bunyi pasal 7(1) butir h dan pasal 11 KUHAP. Penyidik yang dimaksud di sini adalah penyidik sesuai dengan pasal 6(1) butir a, yaitu penyidik yang pejabat Polisi Negara RI. Penyidik ini adalah penyidik tunggal bagi pidana umum, termasuk pidana yang berkaitan dengan kesehatan dan jiwa manusia. Oleh karena visum et repertum adalah keterangan ahli mengenai pidana yang berkaitan dengan kesehatan jiwa manusia, maka penyidik pegawai negeri sipil tidak berwenang meminta visum et repertum, karena mereka hanya mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masingmasing (Pasal 7(2) KUHAP). Sanksi hukum bila dokter menolak permintaan penyidik, dapat dikenakan sanksi pidana : Pasal 216 KUHP : Barangsiapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu,atau oleh pejabat berdasarkan tugasnya, demikian pula yang diberi kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana; demikian pula barangsiapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau mengga-galkan tindakan guna menjalankan ketentuan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau denda paling banyak sembilan ribu rupiah. Peranan Dan Fungsi VeR Visum et repertum adalah salah satu alat bukti yang sah sebagaimana tertulis dalam pasal 184 KUHP. Visum et repertum turut berperan dalam proses pembuktian suatu perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia, dimana VeR menguraikan
segala sesuatu tentang hasil pemeriksaan medik yang tertuang di dalam bagian pemberitaan, yang karenanya dapat dianggap sebagai pengganti barang bukti. Visum et repertum juga memuat keterangan atau pendapat dokter mengenai hasil pemeriksaan medik tersebut yang tertuang di dalam bagian kesimpulan. Dengan demikian visum et repertum secara utuh telah menjembatani ilmu kedokteran dengan ilmu hukum sehingga dengan membaca visum et repertum, dapat diketahui dengan jelas apa yang telah terjadi pada seseorang, dan para praktisi hukum dapat menerapkan norma-norma hukum pada perkara pidana yang menyangkut tubuh dan jiwa manusia. Apabila visum et repertum belum dapat menjernihkan duduk persoalan di sidang pengadilan, maka hakim dapat meminta keterangan ahli atau diajukannya bahan baru, seperti yang tercantum dalam KUHAP, yang memungkinkan dilakukannya pemeriksaan atau penelitian ulang atas barang bukti, apabila timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasehat hukumnya terhadap suatu hasil pemeriksaan. Hal ini sesuai dengan pasal 180 KUHAP. Bagi penyidik (Polisi/Polisi Militer) visum et repertum berguna untuk mengungkapkan perkara. Bagi Penuntut Umum (Jaksa) keterangan itu berguna untuk menentukan pasal yang akan didakwakan, sedangkan bagi Hakim sebagai alat bukti formal untuk menjatuhkan pidana atau membebaskan seseorang dari tuntutan hukum. Untuk itu perlu dibuat suatu Standar Prosedur Operasional Prosedur (SPO) pada suatu Rumah Sakit tentang tata laksana pengadaan visum et repertum. Struktur Dan Isi VeR Setiap visum et repertum harus dibuat memenuhi ketentuan umum sebagai berikut: a. Diketik di atas kertas berkepala surat instansi pemeriksa b. Bernomor dan bertanggal c. Mencantumkan kata Pro Justitia di bagian atas kiri (kiri atau tengah) d. Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar e. Tidak menggunakan singkatan, terutama pada waktu mendeskripsikan temuan pemeriksaan f. Tidak menggunakan istilah asing
g. Ditandatangani dan diberi nama jelas h. Berstempel instansi pemeriksa tersebut i. Diperlakukan sebagai surat yang harus dirahasiakan j. Hanya diberikan kepada penyidik peminta visum et repertum. Apabila ada lebih dari satu instansi peminta, misalnya penyidik POLRI dan penyidik POM, dan keduanya berwenang untuk itu, maka kedua instansi tersebut dapat diberi visum et repertum masing-masing asli k. Salinannya diarsipkan dengan mengikuti ketentuan arsip pada umumnya, dan disimpan sebaiknya hingga 20 tahun Pada umumnya visum et repertum dibuat mengikuti struktur sebagai berikut : 1. Pro Justitia Kata ini harus dicantumkan di kiri atas, dengan demikian visum et repertum tidak perlu bermeterai. CONTOH : Lampung, 24 Agustus 2011 PRO JUSTITIA VISUM ET REPERTUM No. /TUM/VER/VIII/2011 2. Pendahuluan Pendahuluan memuat : identitas pemohon visum et repertum, tanggal dan pukul diterimanya permohonan visum et repertum, identitas dokter yang melakukan pemeriksaan, identitas objek yang diperiksa : nama, jenis kelamin, umur, bangsa, alamat, pekerjaan, kapan dilakukan pemeriksaan, dimana dilakukan pemeriksaan, alasan dimintakannya visum et repertum, rumah sakit tempat korban dirawat sebelumnya, pukul korban meninggal dunia, keterangan mengenai orang yang mengantar korban ke rumah sakit CONTOH : Yang bertandatangan di bawah ini, Exsa Hadibrata, dokter spesialis forensik pada RSUD Abdul Muluk, atas permintaan dari kepolisian sektor.........dengan suratnya nomor..........................tertanggal....................maka dengan ini menerangkan bahwa pada tanggal..........pukul...........bertempat di RSUD Abdul Muluk, telah melakukan
pemeriksaan korban dengan nomor registrasi..................yang menurut surat tersebut adalah : Nama : Umur : Jenis Kelamin : Warga negara : Pekerjaan : Agama : Alamat : 3.Pemberitaan (Hasil Pemeriksaan) Memuat hasil pemeriksaan yang objektif sesuai dengan apa yang diamati terutama dilihat dan ditemukan pada korban atau benda yang diperiksa. Pemeriksaan dilakukan dengan sistematis dari atas ke bawah sehingga tidak ada yang tertinggal. Deskripsinya juga tertentu yaitu mulai dari letak anatomisnya, koordinatnya (absis adalah jarak antara luka dengan garis tengah badan, ordinat adalah jarak antara luka dengan titik anatomis permanen yang terdekat), jenis luka atau cedera, karakteristiknya serta ukurannya. Rincian ini terutama penting pada pemeriksaan korban mati yang pada saat persidangan tidak dapat dihadirkan kembali. Pada pemeriksaan korban hidup, bagian ini terdiri dari : a. Hasil pemeriksaan yang memuat seluruh hasil pemeriksaan, baik pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya. Uraian hasil pemeriksaan korban hidup berbeda dengan pada korban mati, yaitu hanya uraian tentang keadaan umum dan perlukaan serta hal-hal lain yang berkaitan dengan tindak pidananya (status lokalis). b. Tindakan dan perawatan berikut indikasinya, atau pada keadaan sebaliknya, alasan tidak dilakukannya suatu tindakan yang seharusnya dilakukan. Uraian meliputi juga semua temuan pada saat dilakukannya tindakan dan perawatan tersebut. Hal ini perlu diuraikan untuk menghindari kesalahpahaman tentang-tepat tidaknya penanganan dokter dan tepattidaknya kesimpulan yang diambil. c. Keadaan akhir korban, terutama tentang gejala sisa dan cacat badan merupakan hal penting guna pembuatan kesimpulan sehingga harus 5
diuraikan dengan jelas. Pada bagian pemberitaan memuat 6 unsur yaitu anamnesis, tanda vital, lokasi luka pada tubuh, karakteristik luka, ukuran luka, dan tindakan pengobatan atau perawatan yang diberikan.4 CONTOH : HASIL PEMERIKSAAN : 1. Korban datang dalam keadaan sadar dengan keadaan umum sakit sedang. Korban mengeluh sakit kepala dan sempat pingsan setelah kejadian pemukulan pada kepala ----------------------------------------------------------------------------------2. Pada korban ditemukan -----------------------------------------------------------------a. Pada belakang kepala kiri, dua sentimeter dan garis pertengahan belakang, empat senti meter diatas batas dasar tulang, dinding luka kotor, sudut luka tumpul, senti meter ---b. Pada dagu, tepat pada garis pertengahan depan terdapat luka terbuka tepi tidak rata, dasar jaringan bawah kulit,dinding kotor, sudut tumpul, berukuran dua sentimeter kali setengah sentimeter dasar otot.---------------c. Lengan atas kiri terdapat gangguan fungsi, teraba patah pada pertengahan serta nyeri pada penekanan. -------------------------------------------------------d. Korban dirujuk ke dokter syaraf dan pada pemeriksaan didapatkan adanya 3. cedera kepala ringan. ---------------------------------------------------------------Pemeriksaan foto Rontgen kepala posisi depan dan samping tidak menunjukkan adanya patah tulang. Pemeriksaan foto rontgen lengan atas kiri menunjukkan adanya patah tulang lengan atas pada pertengahan. ---------------4. Terhadap korban dilakukan penjahitan dan perawatan luka, dan pengobatan. --5. Korban dipulangkan dengan anjuran kontrol seminggu lagi.----------------------4. Kesimpulan Memuat hasil interpretasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dari fakta yang ditemukan sendiri oleh dokter pembuat visum et repertum, dikaitkan dengan maksud dan tujuan dimintakannya visum et repertum tersebut. Pada bagian 6 berukuran tiga senti meter kali satu senti meter, disekitarnya dikelilingi benjolan berukuran empat sentimeter kali empat
ini harus memuat minimal 2 unsur yaitu jenis luka dan kekerasan dan derajat kualifikasi luka. CONTOH : KESIMPULAN : ----------------------------------------------------------------------------Pada pemeriksaan korban laki-laki berusia tiga puluh empat tahun ini ditemukan cederan kepala ringan, luka terbuka pada belakang kepala kiri dan dagu serta patah tulang tertutup pada lengan atas kiri akibat kekerasan tumpul. Cedera tersebut dapat mengakibatkan penyakit /halangan dalam menjalankan pekerjaan jabatan/pencaharian untuk sementara waktu.---------------------------------------------5. Penutup - Memuat pernyataan bahwa keterangan tertulis dokter tersebut dibuat dengan mengingat sumpah atau janji ketika menerima jabatan atau dibuat dengan mengucapkan sumpah atau janji lebih dahulu sebelum melakukan pemeriksaan - Dibubuhi tanda tangan dokter pembuat visum et repertum CONTOH : Demikianlah visum et repetum ini dibuat dengan sebenarnya dengan menggunakan keilmuan yang sebaik-baiknya, mengingat sumpah jabatan sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Dokter Pemeriksa
dr. Exsa Hadibrata Tata Laksana VeR pada Korban Hidup 1. Ketentuan standar dalam penyusunan visum et repertum korban hidup a. Pihak yang berwenang meminta keterangan ahli menurut KUHAP pasal 133 ayat (1) adalah penyidik yang menurut PP 27/1983 adalah Pejabat Polisi Negara RI. Sedangkan untuk kalangan militer maka Polisi Militer (POM) dikategorikan sebagai penyidik. b. Pihak yang berwenang membuat keterangan ahli menurut KUHAP pasal 133 ayat (1) adalah dokter dan tidak dapat didelegasikan pada pihak lain.
c. Prosedur permintaan keterangan ahli kepada dokter telah ditentukan bahwa permintaan oleh penyidik harus dilakukan secara tertulis yang secara tegas telah diatur dalam KUHAP pasal 133 ayat (2). d. Penyerahan surat keterangan ahli hanya boleh dilakukan pada Penyidik yang memintanya sesuai dengan identitas pada surat permintaan keterangan ahli. Pihak lain tidak dapat memintanya. 2. Pihak yang terlibat dalam kegiatan pelayanan forensik klinik a. Dokter b. Perawat c. Petugas Administrasi 3. Tahapan-tahapan dalam pembuatan visum et repertum pada korban hidup a. Penerimaan korban yang dikirim oleh Penyidik. Yang berperan dalam kegiatan ini adalah dokter, mulai dokter umum sampai dokter spesialis yang pengaturannya mengacu pada S.O.P. Rumah Sakit tersebut. Yang diutamakan pada kegiatan ini adalah penanganan kesehatannya dulu, bila kondisi telah memungkinkan barulah ditangani aspek medikolegalnya. Tidak tertutup kemungkinan bahwa terhadap korban dalam penanganan medis melibatkan berbagai disiplin spesialis. b. Penerimaan surat permintaan keterangan ahli/visum et revertum Adanya surat permintaan keterangan ahli/visum et repertum merupakan hal yang penting untuk dibuatnya visum et repertum tersebut. Dokter sebagai penanggung jawab pemeriksaan medikolegal harus meneliti adanya surat permintaan tersebut sesuai ketentuan yang berlaku. Hal ini merupakan aspek yuridis yang sering menimbulkan masalah, yaitu pada saat korban akan diperiksa surat permintaan dari penyidik belum ada atau korban datang sendiri dengan membawa surat permintaan keterangan ahli/ visum et repertum. Untuk mengantisipasi masalah tersebut maka perlu dibuat kriteria tentang pasien/korban yang pada waktu masuk Rumah Sakit/UGD tidak membawa SPV. Sebagai berikut : 1. Setiap pasien dengan trauma 2. Setiap pasien dengan keracunan/diduga keracunan 3. Pasien tidak sadar dengan riwayat trauma yang tidak jelas 8
4. Pasien dengan kejahatan kesusilaan/perkosaan 5. Pasien tanpa luka/cedera dengan membawa surat permintaan visum Kelompok pasien tersebut di atas untuk dilakukan kekhususan dalam hal pencatatan temuan-temuan medis dalam rekam medis khusus, diberi tanda pada map rekam medisnya (tanda VER), warna sampul rekam medis serta penyimpanan rekam medis yang tidak digabung dengan rekam medis pasien umum. Ingat ! kemungkinan atas pasien tersebut di atas pada saat yang akan datang, akan dimintakan visum et repertumnya dengan surat permintaan visum yang datang menyusul. c. Pemeriksaan korban secara medis Tahap ini dikerjakan oleh dokter dengan menggunakan ilmu forensik yang telah dipelajarinya. Namun tidak tertutup kemungkinan dihadapi kesulitan yang mengakibatkan beberapa data terlewat dari pemeriksaan. Ada kemungkinan didapati benda bukti dari tubuh korban misalnya anak peluru, dan sebagainya. Benda bukti berupa pakaian atau lainnya hanya diserahkan pada pihak penyidik. Dalam hal pihak penyidik belum mengambilnya maka pihak petugas sarana kesehatan harus me-nyimpannya sebaik mungkin agar tidak banyak terjadi perubahan. Status benda bukti itu adalah milik negara, dan secara yuridis tidak boleh diserahkan pada pihak keluarga/ahli warisnya tanpa melalui penyidik. d. Pengetikan surat keterangan ahli/visum et repertum Pengetikan berkas keterangan ahli/visum et repertum oleh petugas administrasi memerlukan perhatian dalam bentuk/formatnya karena ditujukan untuk kepentingan peradilan. Misalnya penutupan setiap akhir alinea dengan garis, untuk mencegah penambahan kata-kata tertentu oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Contoh : Pada pipi kanan 2 sentimeter dari sumbu wajah, 2 sentimeter dibawah mata terdapat luka robek, tepi tidak rata panjang lima sentimeter lebar satu sentimeter dalam nol koma lima sentimeter, tidak teraba derik tulang------ 9
e. Penandatanganan surat keterangan ahli / visum et repertum Undang-undang menentukan bahwa yang berhak menandatanganinya adalah dokter. Setiap lembar berkas keterangan ahli harus diberi paraf oleh dokter. Sering terjadi bahwa surat permintaan visum dari pihak penyidik datang terlambat, sedangkan dokter yang menangani telah tidak bertugas di sarana kesehatan itu lagi. Dalam hal ini sering timbul keraguan tentang siapa yang harus menandatangani visum et repertun korban hidup tersebut. Hal yang sama juga terjadi bila korban ditangani beberapa dokter sekaligus sesuai dengan kondisi penyakitnya yang kompleks. Dalam hal korban ditangani oleh hanya satu orang dokter, maka yang menandatangani visum yang telah selesai adalah dokter yang menangani tersebut (dokter pemeriksa). Dalam hal korban ditangani oleh beberapa orang dokter, maka idealnya yang menandatangani visumnya adalah setiap dokter yang terlibat langsung dalam penanganan atas korban. Dokter pemeriksa yang dimaksud adalah dokter pemeriksa yang melakukan pemeriksaan atas korban yang masih berkaitan dengan duka / cedera / racun / tindak pidana. Dalam hal dokter pemeriksa sering tidak lagi ada di tempat (di luar kota) atau sudah tidak bekerja pada Rumah Sakit tersebut, maka visum et repertum ditandatangani oleh dokter penanggung jawab pelayanan forensik klinik yang ditunjuk oleh Rumah Sakit atau oleh Direktur Rumah Sakit tersebut. f. Penyerahan benda bukti yang telah selesai diperiksa Benda bukti yang telah selesai diperiksa hanya boleh diserahkan pada penyidik saja dengan menggunakan berita acara. g. Penyerahan surat keterangan ahli/visum et repertum. Surat keterangan ahli/visum etrepertum juga hanya boleh diserahkan pada pihak penyidik yang memintanya saja. Dapat terjadi dua instansi penyidikan sekaligus meminta surat visum et repertum. 10
Traumatologi Forensik Materi dapat dibaca pada buku ajar Ilmu Kedokteran Forensik FK UI dan Medicolegal FK Unair.
G.
Prosedur 1. Sapalah klien, membina sambung rasa 2. Melakukan anamnesis, untuk menanyakan alasan klien datang 3. menjelaskan pentingnya pemeriksaan ini lalu inform consent 4. Memeriksa tanda-tanda vital klien 5. Mulai lakukan pemeriksaan luar Mendokumentasikan luka sebelum dimanipulasi dan setelah dibersihkan Pemeriksaan dilakukan secara sistematis dari atas ke bawah Menilai letak luka secara anatomis (nilai absis dan ordinatnya) Menilai jenis luka dan karakteristiknya Menilai ukuran luka
6. Melakukan pemeriksaan penunjang bila perlu 7. Membuat kesimpulan dari hasil pemeriksaan 8. Membuat menjadi sebuah visum et repertum korban hidup H. 1. Daftar Pustaka Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta : Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1997. 2. Herkutanto. Kualitas Visum et Repertum Perlukaan di Jakarta dan Faktor yang Mempengaruhinya. Maj Kedokt Indon, September 2004 ; 54 (9) : 35560. 3. Afandi D, Mukhyarjon, Roy J. The Quality of visum et repertum of the living victims In Arifin Achmad General Hopital during January 2004September 2007. Jurnal Ilmu Kedokteran, Maret 2008 ; 2 (1) : 19-22. 4. Sampurna B, Samsu Z. Peranan Ilmu Forensik dalam Penegakan Hukum. Jakarta: Pustaka Dwipar, 2003.
11
5. 6. 7.
Idries AM. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi Pertama. Jakarta : Binarupa Aksara, 1997. Hamdani N. Ilmu Kedokteran Kehakiman. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1992. Afandi, dedi. Visum et repertum pada korban hidup. Bagian Forensik FK Unri. Diunduh pada www.scribd.com 2 oktober 2011.
I.
Evaluasi Cek List Latihan Pemeriksaan Luar dan Pembuatan Visum et Repertum
No I 1 2 3 II 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 III 11
LANGKAH KLINIK YANG DINILAI ITEM INTERAKSI DOKTER-PASIEN Senyum, salam dan sapa dan membina sambung rasa Anamnesis untuk menanyakan alasan klien datang Jelaskan pentingnya pemeriksaan ini lalu lakukan informed consent ITEM PROSEDURAL Memeriksa tanda-tanda vital klien Pemeriksaan fisik atau pemeriksaan luar Mendokumentasi luka sebelum dimanipulasi dan setelah dibersihkan Pemeriksaan dilakukan secara sistematis dari atas ke bawah Menilai letak luka secara anatomis (nilai absis dan ordinatnya) Menilai jenis luka dan karakteristiknya Menilai ukuran luka Lakukan Pemeriksaan Penunjang bila perlu Membuat Visum et Repertum Pro Justisia dan Pendahuluan Hasil pemeriksaan Kesimpulan dan penutup ITEM PROFESIONALISME Tunjukkan sikap percaya diri dan menghormati klien TOTAL
Skor 0 1 2
INTUBASI ENDOTRACHEAL Oleh: dr. Khairun Nisa., Mkes., AIFO. A. Tema Ketrampilan prosedural intubasi endotracheal B. Tujuan Dapat melakukan intubasi endotracheal dengan benar Melakukan penilaian jalan nafas pasien (airway manajemen) 12
Mampu melakukan reposisi untuk persiapan pemasangan ETT Mampu menjelaskan indikasi dan kontraindikasi dari ETT Mampu menjelaskan tujuan, obat obatan dan komplikasi pemasangan ETT Mampu mengevaluasi hasil pemasangan ETT
D. Alat dan Bahan Manekin RJP Masker penutup hidung dan mulut Handscoen Laringoskop Pipa endotracheal Pipa orofaring atau nasofaring Stilet atau forcep intubasi Plester Suction E. Skenario Seorang pemuda berusia 28 tahun dibawa ke UGD setelah mengalami kecelakaan. Dia terpental dari motor yang ditumpanginya dan wajahnya membentur trotoar. Pasien tidak sadar, menderita luka di wajah, pasien juga terlihat sesak. Darah keluar dari telinga dan hidung. Dokter UGD segera memberikan pertolongan dengan pemasangan ETT untuk mengelola pernafasan si penderita.
F.
Dasar Teori Patennya jalan nafas, oksigenisasi, ventilasi dan menghindari aspirasi merupakan tujuan utama manajemen pengelolaan jalan nafas. Pengelolaan jalan nafas/Airway management merupakan aspek yang penting dalam menangani kasus emergensi.
13
Salah satu usaha untuk menjaga jalan napas pasien adalah dengan melakukan tindakan intubasi endotrakheal, yakni dengan memasukkan suatu pipa ke dalam saluran pernapasan bagian atas. Karena syarat utama yang harus diperhatikan dalam anestesi umum adalah menjaga agar jalan napas selalu bebas dan napas dapat berjalan dengan lancar serta teratur. Bahkan, menurut Halliday (2002) penggunaan intubasi endotrakheal juga direkomendasikan untuk neonatus dengan faktor penyulit yang dapat mengganggu jalan napas.
Gambar 1. Posisi Setelah Terpasang Endotracheal Intubasi Menurut Hendrickson (2002), intubasi adalah memasukkan suatu lubang atau pipa melalui mulut atau melalui hidung, dengan sasaran jalan nafas bagian atas atau trakhea. Pada intinya, Intubasi Endotrakhea adalah tindakan memasukkan pipa endotrakha ke dalam trakhea sehingga jalan nafas bebas hambatan dan nafas mudah dibantu dan dikendalikan (Anonim,2002).
Tujuan Intubasi Endotracheal Tujuan dilakukannya tindakan intubasi endotrakhea adalah untuk membersihkan saluran trakheobronchial, mempertahankan jalan nafas agar tetap paten, mencegah aspirasi, serta mempermudah pemberian ventilasi dan oksigenasi bagi pasien operasi. Pada dasarnya, tujuan intubasi endotrakheal : 14
a. Mempermudah pemberian anestesia. b. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan kelancaran pernafasan. c. Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi isi lambung (pada keadaan tidak sadar, lambung penuh dan tidak ada refleks batuk). d. Mempermudah pengisapan sekret trakheobronchial. e. Pemakaian ventilasi mekanis yang lama. f. Mengatasi obstruksi laring akut. Indikasi dan Kontraindikasi Intubasi Endotracheal Indikasi bagi pelaksanaan intubasi endotrakheal menurut Gisele tahun 2002 antara lain : a. Keadaan oksigenasi yang tidak adekuat (karena menurunnya tekanan oksigen arteri dan lain-lain) yang tidak dapat dikoreksi dengan pemberian suplai oksigen melalui masker nasal. b. Keadaan ventilasi yang tidak adekuat karena meningkatnya tekanan karbondioksida di arteri. c. Kebutuhan untuk mengontrol dan mengeluarkan sekret pulmonal atau sebagai bronchial toilet. d. Menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan keadaan yang gawat atau pasien dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi. e. Menjaga jalan nafas yang bebas dalam keadaan-keadaan yang sulit. f. Operasi-operasi di daerah kepala, leher, mulut, hidung dan tenggorokan, karena pada kasus-kasus demikian sangatlah sukar untuk menggunakan face mask tanpa mengganggu pekerjaan ahli bedah. g. Pada banyak operasi abdominal, untuk menjamin pernafasan yang tenang dan tidak ada ketegangan. h. Operasi intra torachal, agar jalan nafas selalu paten, suction dilakukan dengan mudah, memudahkan respiration control dan mempermudah pengontrolan tekanan intra pulmonal. i. Untuk mencegah kontaminasi trachea, misalnya pada obstruksi intestinal. j. Pada pasien yang mudah timbul laringospasme. k. Tracheostomni. 15
l. Pada pasien dengan fiksasi vocal chords. Selain intubasi endotrakheal diindikasikan pada kasus-kasus di ruang bedah, ada beberapa indikasi intubasi endotrakheal pada beberapa kasus nonsurgical, antara lain: a. Asfiksia neonatorum yang berat. b. Untuk melakukn resusitasi pada pasien yang tersumbat pernafasannya, depresi atau abcent dan sering menimbulkan aspirasi. c. Obstruksi laryngeal berat karena eksudat inflamatoir. d. Pasien dengan atelektasis dan tanda eksudasi dalam paru-paru. e. Pada pasien-pasien yang diperkirakan tidak sadar untuk waktu yang lebih lama dari 24 jam seharusnya diintubasi. f. Pada post operatif deengan insufisiensi pernafasan Menurut Gisele, 2002 ada beberapa kontra indikasi bagi dilakukannya intubasi endotrakheal antara lain : a. Beberapa keadaan trauma jalan nafas atau obstruksi yang tidak memungkinkan untuk dilakukannya intubasi. Tindakan yang harus dilakukan adalah cricothyrotomi pada beberapa kasus. b. Trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra servikal, sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi. Komplikasi akibat pemasangan ETT Komplikasi tindakan laringoskop dan intubasi a. Malposisi berupa intubasi esofagus, intubasi endobronkial serta malposisi laringeal cuff. b. Trauma jalan nafas berupa kerusakan gigi, laserasi bibir, lidah atau mukosa mulut, cedera tenggorok, dislokasi mandibula dan diseksi retrofaringeal. c. Gangguan refleks berupa hipertensi, takikardi, tekanan intracranial meningkat, tekanan intraocular meningkat dan spasme laring. d. Malfungsi tuba berupa perforasi cuff. Komplikasi pemasukan pipa endotracheal. 16
a. Malposisi berupa ekstubasi yang terjadi sendiri, intubasi ke endobronkial dan malposisi laringeal cuff. b. Trauma jalan nafas berupa inflamasi dan ulserasi mukosa, serta ekskoriasi kulit hidung. c. Malfungsi tuba berupa obstruksi. Komplikasi setelah ekstubasi. a. Trauma jalan nafas berupa edema dan stenosis (glotis, subglotis atau trachea), suara sesak atau parau (granuloma atau paralisis pita suara), malfungsi dan aspirasi laring. b. Gangguan refleks berupa spasme laring. Obat obatan yang digunakan a. Suxamethonim (Succinil Choline), short acting muscle relaxant dikombinasikan dengan barbiturat I.V. dengan dosis 20 100 mg, diberikan setelah pasien dianestesi. Suxamethonium bisa diberikan I.M. bila I.V. sukar misalnya pada bayi. b. Thiophentone non depolarizing relaxant : metode yang bagus untuk direct vision intubation. c. Cyclopropane : mendepresi pernafasan dan membuat blind vision intubation sukar. d. I.V. Barbiturat sebaiknya jangan dipakai thiopentone sendirian dalam intubasi. e. N2O/O2, tidak bisa dipakai untuk intubasi bila dipakai tanpa tambahan zatzat lain. penambahan triklor etilen mempermudah blind intubation, tetapi tidak memberikan relaksasi yang diperlukan untuk laringoskopi. f. Halotan (Fluothane), agent ini secara cepat melemaskan otot-otot faring dan laring dan dapat dipakai tanpa relaksan untuk intubasi. g. Analgesi lokal dapat dipakai cara-cara sebagai berikut : Menghisap lozenges anagesik. Spray mulut, faring, cord. Blokade bilateral syaraf-syaraf laringeal superior. Suntikan trans tracheal.
17
Cara-cara tersebut dapat dikombinasikan dengan valium I.V. supaya pasien dapat lebih tenang. Dengan sendirinya pada keadaan-keadaan emergensi. Intubasi dapat dilakukan tanpa anestesi. Juga pada necnatus dapat diintubasi tanpa anestesi. Kesukaran yang sering dijumpai dalam intubasi endotrakheal (Mansjoer Arif et.al., 2000) biasanya dijumpai pada pasien-pasien dengan : o Otot-otot leher yang pendek dengan gigi geligi yang lengkap. o Recoding lower jaw dengan angulus mandibula yang tumpul. Jarak antara mental symphisis dengan lower alveolar margin yang melebar memerlukan depresi rahang bawah yang lebih lebar selama intubasi. o Mulut yang panjang dan sempit dengan arcus palatum yang tinggi. o Gigi incisium atas yang menonjol (rabbit teeth). o Kesukaran membuka rahang, seperti multiple arthritis yang menyerang sendi temporomandibuler, spondilitis servical spine. o Abnormalitas pada servical spine termasuk achondroplasia karena fleksi kepala pada leher di sendi atlantooccipital. o Kontraktur jaringan leher sebagai akibat combusio yang menyebabkan fleksi leher.
G.
Prosedur Dalam melakukan suatu tindakan intubasi, perlu diikuti beberapa prosedur yang telah ditetapkan antara lain : a. Persiapan
18
Pasien sebaiknya diposisikan dalam posisi tidur terlentang, oksiput diganjal dengan menggunakan alas kepala (bisa menggunakan bantal yang cukup keras atau botol infus 1 gram), sehingga kepala dalam keadaan ekstensi serta trakhea dan laringoskop berada dalam satu garis lurus. Gambaran klasik yang betul ialah leher dalam keadaan fleksi ringan, sedangkan kepala dalam keadaan ekstensi. Ini disebut sebagai Sniffing in the air possition. Kesalahan yang umum adalah mengekstensikan kepala dan leher. b. Oksigenasi Setelah dilakukan anestesi dan diberikan pelumpuh otot, lakukan oksigenasi dengan pemberian oksigen 100% minimal dilakukan selama 2 menit. Sungkup muka dipegang dengan tangan kiri dan balon dengan tangan kanan. c. Laringoskop Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang laringoskop dipegang dengan tangan kiri. Daun laringoskop dimasukkan dari sudut kiri dan lapangan pandang akan terbuka. Daun laringoskop didorong ke dalam rongga mulut. Gagang diangkat dengan lengan kiri dan akan terlihat uvula, faring serta epiglotis. Ekstensi kepala dipertahankan dengan tangan kanan. Epiglotis diangkat sehingga tampak aritenoid dan pita suara yang tampak keputihan berbentuk huruf V. d. Pemasangan pipa endotrakheal Pipa dimasukkan dengan tangan kanan melalui sudut kanan mulut sampai balon pipa tepat melewati pita suara. Bila perlu, sebelum memasukkan pipa asisten diminta untuk menekan laring ke posterior sehingga pita suara akan dapat tampak dengan jelas. Bila mengganggu, stilet dapat dicabut. Ventilasi atau oksigenasi diberikan dengan tangan kanan memompa balon dan tangan kiri memfiksasi. Balon pipa dikembangkan dan daun laringoskop dikeluarkan selanjutnya pipa difiksasi dengan plester. e. Mengontrol letak pipa Dada dipastikan mengembang saat diberikan ventilasi. Sewaktu ventilasi, dilakukan auskultasi dada dengan stetoskop, diharapkan suara nafas kanan dan 19
kiri sama. Bila dada ditekan terasa ada aliran udara di pipa endotrakheal. Bila terjadi intubasi endotrakheal akan terdapat tanda-tanda berupa suara nafas kanan berbeda dengan suara nafas kiri, kadang-kadang timbul suara wheezing, sekret lebih banyak dan tahanan jalan nafas terasa lebih berat. Jika ada ventilasi ke satu sisi seperti ini, pipa ditarik sedikit sampai ventilasi kedua paru sama. Sedangkan bila terjadi intubasi ke daerah esofagus maka daerah epigastrum atau gaster akan mengembang, terdengar suara saat ventilasi (dengan stetoskop), kadang-kadang keluar cairan lambung, dan makin lama pasien akan nampak semakin membiru. Untuk hal tersebut pipa dicabut dan intubasi dilakukan kembali setelah diberikan oksigenasi yang cukup. f. Ventilasi Pemberian ventilasi dilakukan sesuai dengan kebutuhan pasien bersangkutan. H. Daftar Pustaka
Anonim,(2002),Endotracheal Intubation, http://www.medicinet.com/script/main/art.asp?li=mni&articlekey=7035 Gail Hendrickson, RN, BS., (2002), Intubation, http://www.health.discovery.com/diseasesandcond/encyclopedia/1219.html Gisele de Azevedo Prazeres, MD., (2002), Orotracheal Intubation, http://www.medstudents.com/orotrachealintubation/medicalprocedures.html Halliday HL., (2002), Endotracheal Intubation at Birth for Preventing Morbidity and Mortality in Vigorous, Meconium-stained Infants Bord at Term, http://www.updatesoftware.com/ceweb/cochrane/revabstr/ab000500.html Mansjoer Arif, Suprohaita, Wardhani W.I., Setiowulan W., (ed)., (2002), Kapita Selekta Kedokteran, edisi III, Jilid 2, Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. Michael B. Dobson, (1994), Penuntun Praktis Anestesi, EGC-Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta Tjunt & Earley, (1995), Anatomy and Physiology, FA Davis Company, Philadelphia. William, R. Peter, (1995), Grays Anatomy, Churchil Livingstone, New York.
20
I.
No
21
7 8 9 10 11 12 13 14
Masukkan ETT dengan arah miring ke kanan dan setelah masuk putar ke arah tengah Isi balon ETT dengan spuit kosong Sambungkan ETT dengan ventilator /bag Pasang mayo untuk menghindari ETT tergigit Dengarkan bunyi nafas dengan stetoskop, masuk ke esofagus, terlalu kanan atau kiri dari bronchus Fiksasi menggunakan plester PROFESSIONALISM Melakukan dengan penuh percaya diri Melakukan dengan kesalahan minimal TOTAL
Ekstraksi Corpus Alienum Hidung dan Telinga dr. Rasmi Zakiah Oktarlina, dr. Fatah Satya Wibawa, SpTHT-KL
A. Tema Pembelajaran Ekstraksi corpus alienum hidung dan telinga. B. Tujuan Tujuan Instruksional Umum
22
Mahasiswa mampu mengidentifikasi pasien dengan corpus alienum hidung dan telinga serta dapat melakukan tindakan dan terapi Tujuan Instruksional Khusus 1. Mahasiswa mampu melakukan ekstraksi corpus alienum hidung 2. Mahasiswa mampu melakukan ekstraksi corpus alienum telinga C. Alat dan Bahan 1. Meja dan kursi periksa 2. Lampu kepala 3. Speculum 4. Otoscop 5. Forcep cunam/forcep aligator 6. Manekin hidung dan telinga 7. Pinset berujung lancip/pinset bayonet 8. Pengait ujung tumpul/haak
D. Skenario Seorang perempuan berusia 4 tahun di antar oleh ibunya datang ke praktek dokter umum dengan keluhan hidung sebelah kanan kemasukan biji jagung setelah bermain dengan kakaknya hari ini. Ibu pasien juga mengatakan ada sisa cotton bud pada telinga kanan. Selain itu Keluhan lain disangkal. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tandatanda vital TD 110/70 mmHg, N 90x/mnt, RR 22 x/mnt, S 380c. Pada pemeriksaan menggunakan speculum dan otoscop tampak biji jagung dan cotton bud.
E. Dasar Teori
23
Benda asing (corpus alienum) yang berada di liang telinga bervariasi sekali. Lebih sering terjadi pada anak tetapi dapat pula terjadi pada dewasa. Bisa berupa benda mati, benda hidup, binatang, komponen tumbuhan dan mineral. Kacang hijau, manik, mainan, baterai jam tangan, dan karet penghapus banyak ditemukan pada pasien anakanak. Pasien dewasa seringkali berupa potongan korek api dan binatang seperti kecoa, semut dan nyamuk. Beberapa faktor penyulit pengeluaran benda asing (corpus alienum) dari liang telinga, yaitu : Tidak kooperatif Pasien kooperatif terutama anak-anak beresiko berpotensi besar terjadi kerusakan gendang telinga dan struktur telinga tengah lainnya pada penanganan yang tidak hati hati. Edema. Edema liang telinga yang disebabkan trauma dapat menghambat pengeluaran benda asing (corpus alienum). Benda hidup Benda organik. Benda organik akan membesar bila kita membiarkannya lama dan kondisi lembab di liang telinga. Kegagalan. Usaha yang gagal dapat mendorong benda asing (corpus alienum) lebih ke dalam liang telinga. Usaha mengeluarkan benda asing seringkali malah mendorongnya lebih ke dalam. Mengeluarkan benda asing haruslah hati-hati. Bila kurang hati-hati atu bila pasien tidak kooperatif, beresiko trauma yang merusak membran timpani atau struktur telinga
24
tengah. Anak harus dipegang sedemikian rupa sehingga tubuh dan kepala tidak dapat bergerak bebas. Bila masih hidup, binatang di liang telinga harus dimatikan lebih dahulu dengan memasukkan tampon basah keling telinga lau meneteskan cairan (misalnya rivanol atau obat anestesi lokal) lebih kurang 10 menit. Setelah binatang mati, dikeluarkan dengan pinset atau diirigasi dengan air bersih yang hangat. Benda asing berupa baterai jam tangan, sebaiknya jangan dibasahi mengingat efek korosif yang ditimbulkan. Benda asing yang besar dapat ditarik dengan pengait serumen, sedangkan yang kecil diambil dengan cunam atau oinset berujung lancip. Kontraindikasi relatif yaitu apabila pasien tidak kooperatif. Jika kontraindikasi relatif ada, maka pasien dirujuk ke dokter spesialis THT.
Komplikasi Otitis eksterna (radang telinga luar) Otitis media jika corpus alienum menimbulkan perforasi spontan Kerusakan telinga tengah dan telinga dalam
Teknik pengeluaran benda asing dari liang telinga antara lain : Benda hidup. Harus dimatikan terlebih dahulu sebelum kita keluarkannya. Masukkan tampon basah ke dalam liang telinga lalu tetesi cairan misalnya larutan rivanol dan biarkan selama 10 menit. Tidak kooperatif. Pegang kepala anak. Anestesi umum dapat kita lakukan pada kasus tertentu. Irigasi. Gunakan air bersih yang sesuai suhu tubuh. Pinset. Kapas yang terpilin.
25
Pengait serumen. Gunakan untuk mengeluarkan benda asing (corpus alienum) yang besar. Cunam atau pengait. Gunakan pada benda asing (corpus alienum) yang kecil. Penanganan serumen obturan. Serumen dapat diambil langsung dengan hook extraction atau diirigasi lebih dahulu. Jika serumen keras dapat ditetesi dengan tetes nitrogliserin atau minyak zaitun (oleum olivarum) selama beberapa hari agar serumen melunak sehingga mudah diekstraksi. Telinga diirigasi dengan air bersih non bakteriologis pada suhu 37 C sama dengan suhu tubuh agar tidak terjadi trauma fisik dengan menggunakan syringe telinga dengan kanula tumpul. Air hanyalah diarahkan ke posterosuperior agar tidak mengenai membrane timpani secara langsung. Setelah irigasi harus diikuti dengan evaluasi yaitu pemeriksaan otoskopi ulang.
Corpus alienum Hidung Corpus alienum pada hidung sering trjadi pada anak-anak yang suka memasukkan benda-benda apa saja kedalam lubang hidung, seperti biji kacang, jagung, dan benda lain yang luput dari perhatian orang tua. Jika benda yang masuk agak ringan maka anak dapat disuruh mengeluarkan sendiri seperti mengeluarkan ingus tapi ini bisa dilakukan kalau anaknya sudah mengerti atau sudah besar dan tidak cengeng. Gejala yang paling seing adalah hidung tersumbat, rinore unilateral dengan cairan kental dan berbau. Kadang-kadang terdapat rasa nyeri, demam, epistaksis dan bersin. Pada pemeriksaan, tampak edema dengan inflamasi mukosa hidung unilateral dan dapat terjadi ulserasi serta ditenukan rinolith. Benda asing biasanya tertutup oleh mukopus, sehingga disangka sinusitis. Jika demikian, dalam menghisap mukopus haruslah hatihati supaya benda asing itu tidak terdorong ke arah nasofaring yang kemudian dapat masuk ke laring, trakea dan bronkus. Benda asing, seperti karet busa, sangat cepat menimbulkan sekret yang berbau busuk. Mengeluarkan benda asing dari lubang hidung dapat dilakukan namun sangat tergantung apakah anak dapat diajak kerja sama atau tidak, kalau benda asingnya masih dapat terlihat maka berarti belum jauh kedalam. Posisi anak dalam pangkuan seseorang yang seperti memeluk kedua tangan dipegang dan seorang lagi memegang kepala anak dengan muka agak di dongakkan jadi dokter atau perawat bisa mengintip kedalam
26
lubang hidung dan memasukkan pengait untuk menarik benda yang masuk ke lubang hidung. Pemilihan alat tergantung jenis benda asingnya. Jika terjadi kegagalan maka rujuklah ke dokter spesialis THT. Komplikasi : Sinusitis Aspirasi
Prosedur Pengeluaran benda asing (corpus alienum) dari hidung : Pengeluaran benda asing dari hidung adalah dengan menggunakan pengait (haak) yang dimasukkan ke dalam hidung bagian atas, menyusuri atap kavum nasi sampai menyentuh nasofaring. Setelah itu pengait diturunkan sedikit dan ditarik kedepan. Dengan cara tersebut, benda asing akan terbawa keluar. Dapat pula menggunakan cunam Nortman atau wire loop. Penanganan yang salah bila mendorong benda asing dari hidung ke arah nasofaring dengan maksud supaya masuk kedalam mulut. Dengan cara tersebut, benda asing dapat terus masuk ke laring dan saluran napas bagian bawah yang menyebabkan sesak napas, sehingga menimbulkan keadaan yang gawat. Pemberian antibiotik sistemik selama 5-7 hari hanya diberikan pada kasus benda asing yang telah menimbulkan infeksi hidung maupun sinus.
F. Prosedur Cara mengeluarkan benda asing (corpus alienum) dari liang telinga, antara lain : 1. Informed Consent 2. Persiapan alat. Pemilihan alat berdasarkan benda asing pada telinga. 3. Memposisikan pasien, meminta orang tua untuk turut membantu. 4. Mengidentifikasi secara pasti benda yang terdapat pada telinga 5. Melakukan tindakan ekstraksi benda asing Cara mengeluarkan benda asing (corpus alienum) dari hidung : 27
1. Informed Consent 2. Persiapan alat. Pemilihan alat berdasarkan benda asing pada hidung. 3. Memposisikan pasien, meminta orang tua untuk turut membantu. 4. Mengidentifikasi secara pasti benda yang terdapat pada telinga 5. Melakukan tindakan ekstraksi benda asing
G. Daftar Pustaka Sosialisman & Helmi. Kelainan Telinga Luar dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-6. 2007. dr. H. Efiaty Arsyad Soepardi, Sp.THT & Prof. dr. H. Nurbaiti Iskandar, Sp.THT (editor). Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Tamin S. Benda asing saluran napas dan cerna. Satelit simposium penanganan mutakhir kasus telinga hidung tenggorok. Kurnaedi W., Purwanto B. Benda asing pada bronkus. Dalam: Kumpulan naskah ilmiah kongres nasional XII. 1999. Semarang: Badan penerbit Universitas Diponegoro. Boies Higler, Adams. Buku Ajar Penyakit THT. Ed. Ke-6. 1997. Dr. Harjanto Effendi, dr. R.A. Kuswidayati Santoso (Editor). Jakarta : EGC
28
No
LANGKAH KLINIK YANG DINILAI INTERPERSONAL Membina sambung rasa (Senyum, Salam, Sapa dan menunjukkan sikap kesediaan meluangkan waktu
Skor 0 1
untuk berbicara dengannya, kesejajaran) Informed consent CONTENT 3 Persiapan alat 4 Cuci tangan tangan WHO, pakai handscoon Pengangkatan Corpus alienum telinga 5 Memposisikan pasien dengan baik, orang tua membantu dengan satu tangan memeluk kepala pasien kedada orang tuanya, dan tangan yang lain memegang badan agar telinga menghadap ke arah dokter 6 Angkat daun telinga bagian atas dan lihat dengan menggunakan otoskop dan mengidentifikasi secara pasti benda apa yang terdapat pada telinga 7 Ekstraksi corpus alienum dengan menggunakan alat yang sesuai. Pengangkatan corpus alienum hidung 8 Memposisikan anak dalam pangkuan orang tua dan membelakanginya. Orang tua memeluk badan dan kedua tangannya serta mengusahakan agar kepala anak agak mendongak dengan cara tangan yang satu mendorong ringan dagu dan memfiksasi dagu. Tangan yang lainnya memegang kepala. 9 Gunakan speculum dan mengidentifikasi secara pasti benda apa yang terdapat pada hidung. 10 Ekstrasi corpus alienum dengan menggunakan alat yang sesuai PROFESSIONALISM 11 Melakukan dengan penuh percaya diri 12 Menyampaikan semua informasi sesuai 2 dengan konteksnya (clinical reasoning) 13 Melakukan dengan kesalahan minimal TOTAL
29