Anda di halaman 1dari 9

Paper Individu

MODEL PENGELOLAAN TERPADU KAWASAN KONSERVASI LAUT/PERIKANAN DAERAH (KKLD/KKPD) DI KAIMANA PAPUA BARAT

MNH 722

KELEMBAGAAN DAYA HAYATI

PENGELOLAAN

SUMBER

DOSEN PENGASUH:

PROF.DR. IR. HARIADI KARTODIHARDJO, MSc

Oleh:
ZETH PARINDING (E361110121/KVT)

zethpar@yahoo.co.id

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

MNH722 zeth parinding2012

KATA PENGANTAR

Segala Puji dan Syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan paper ini. Paper ini berisi tentang MODEL PENGELOLAAN TERPADU KAWASAN KONSERVASI LAUT/PERIKANAN DAERAH (KKLD/KKPD) DI KAIMANA PAPUA BARAT Paper ini dibuat sebagai tugas mata kuliah Kelembagaan Pengelolaan Sumberdaya Hayati, yang penulis harapkan dapat dimanfaatkan bagi mereka yang ingin memperoleh informasi tentang tantangan dan hambatan kelembagaan dalam tata kelola pengelolaan sumberdaya hayati. Makalah ini berisi tentang hal-hal yang bersifat mendasar sebagai pengantar kepada ilmu yang lebih mendalam tentang kelembagaan dalam tata kelola pengelolaan sumberdaya Hayati. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak PROF.DR. IR. HARIADI KARTODIHARDJO, MSc yang telah memberikan ilmunya lewat tugas ini sehingga pengetahuan penulis tentang Kelembagaan Pengelolaan Sumberdaya Hayati semakin mendalam. Namun demikian penulis menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari kesempurnaan, karenanya kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan.

Bogor, 31 Oktober 2012

Penulis

MNH722 zeth parinding2012

Model Pengelolaan Terpadu Kawasan Konservasi Perairan/Laut Daerah (KKLD/KKPD) Kaimana Papua Barat Ostrom (1990) mengartikan kelembagaan sebagai aturan yang berlaku dalam masyarakat (arena) yang menentukan siapa yang berhak membuat keputusan, tindakan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, aturan apa yang berlaku umum di masyarakat, prosedur apa yang harus diikuti, informasi apa yang mesti atau tidak boleh disediakan dan keuntungan apa yang individu akan terima sebagai buah dari tindakan yang dilakukannya. Singkatnya, kelembagan adalah aturan main yang berlaku dalam masyarakat yang disepakati oleh anggota masyarakat tersebut sebagai sesuatu yang harus diikuti dan dipatuhi (memiliki kekuatan sanksi) dengan tujuan terciptanya keteraturan dan kepastian interaksi di antara sesama anggota masyarakat. Interaksi yang dimaksud terkait dengan kegiatan ekonomi, politik maupun sosial. Jentoft et al (2007), Chuenpagdee & Jentoft (2009), Kooiman et al (2008) dan Chuenpagdee et al (2008) menyatakan perlunya melihat penatakelolaan dari sistem tatakelola interaktif (governance system), sistem yang dikelola (system to be governed) dan sistem tata kelola interaktif (interactive governance system). A. Fenomena 1. Kerjasama antar pemangku kepentingan dalam pengelolaan KKLD/KKPD a. Sampai saat ini, kewenangan urusan pemerintahan di bidang konservasi kawasan perairan dan konservasi jenis ikan dilaksanakan oleh lebih dari satu instansi, dengan mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berbeda. Dengan sistem pengelolaan seperti itu, akan timbul tumpang tindih wewenang dan benturan kepentingan. Tumpang tindih wewenang ini lambat laun dapat menimbulkan ketidakpastian hukum, sedangkan benturan kepentingan dapat mengurangi efektivitas dan efisiensi pengaturan. Sebabnya jelas: perumusan dan pelaksanaan kebijakan dilakukan oleh lebih dari satu otoritas b. menurut undang-undang hukum laut internasional, laut merupakan sumber daya milik umum (public property) sehingga pengelolaannya memerlukan fleksibilitas dalam penetapan hukum di tingkat nasional. Dalam pelaksanaannya di lapangan, hal ini sering menimbulkan ketidakefisienan dan ketidakefektifan dalam proses penentuan arah kebijakan konservasi sumber daya perairan. Jalan tengah yang perlu dilakukan adalah perumusan pembagian urusan secara lebih jelas agar tercipta keselarasan kerja, baik pada tahap pembuatan kerangka kebijakan dan pengaturan (policy and regulatory framework) maupun pada tahap implementasinya. c. Belum adanya alternatif bentuk kelembagaan KKLD/ KKPD sesuai dengan situasi dan kondisi daerah setempat di Kaimana, walaupun sudah adanya Peraturan Bupati Kaimana No 4 Tahun 2008 tentang Pencadangan Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Kaimana. Pencadangan wilayah laut seluas 597.747 hektar, yang dihitung sejauh 4 mil laut dari garis pantai pulau terluar sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah.

MNH722 zeth parinding2012

d. Belum meningkatnya efektifitas pengelolaan KKLD/ KKPD Kaimana e. Pola pengelolaan keuangan BLU yang dapat memberikan fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan praktek-praktek bisnis yang sehat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan daerah pada umumnya. B. Kinerja yang mempengaruhi Kerjasama antara pemangku kepentingan dalam pengelolaan KKLD/ KKPD 1. Bekerjanya Badan Layanan Umum (BLU) Solusi Teknisnya: a. Pendapatan BLU dapat diperoleh melalui beberapa cara, yaitu Jasa layanan, kerjasama, hibah, APBN, dan APBD. ketiga pendapatan berupa jasa layanan, kerjasama, hibah dapat langsung masuk rekening kas BLU dan kemudian dapat langsung digunakan, sedangkan kedua lainnya berupa dana APBN, dan APBD penggunaannya sesuai tugas dan fungsi BLU. b. fleksibilitas berupa penggunaan langsung pendapatan, pelampauan pagu anggaran sesuai ambang batas yang ditetapkan kepala daerah, serta diperbolehkannya SKPD melakukan investasi dan hutang, membawa implikasi serius pada proses penganggaran, penatausahaan, akuntansi dan pelaporan karena ketentuan yang ada, baik Permendagri Nomor 61 Tahun 2007 maupun Standar Akuntasi Pemerintahan (SAP) sesuai PP 71 Tahun 2010 belum mengatur secara jelas terkait hal itu. Dalam kaitan tersebut, maka disarankan agar Permendagri Nomor 61 Tahun 2007 direvisi kembali dan SAP harus secara jelas dan tegas menetapkan masalah pengakuan pendapatan dan belanja serta format laporan keuangan terkait dengan BLU/BLUD c. Pengelolaan keuangan KKLD/KKPD berupa BLU diamanatkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2005, Permendagri No 61 tahun 2007, dan Keputusan Kepala Daerah. Bentuk BLU setingkat SKPD di atur dalam Peraturan daerah, sedangkan BLU setingkat UPTD diatur dalam Peraturan bupati. d. Pejabat pengelola terdiri dari Pertama, Pemimpin (PNS) bilamana BLU setingkat SKPD sebagai Pengguna Anggaran (PA), sedangkan BLU setingkat Unit Kerja sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA); Kedua, Pejabat Keuangan; dan Ketiga, Pejabat Teknis/Pegawai BLU dapat diambil dari PNS atau non PNS yang professional. Berdasarkan kriterianya Pemimpin (PNS) dapat menjadi PA/KPA. e. Sedangkan Pejabat pengelola terdiri dari Pertama, Pemimpin (Non PNS) bilamana BLU setingkat SKPD sebagai Pengguna Anggaran, sedangkan BLU setingkat Unit Kerja sebagai Kuasa Pengguna Anggaran; Kedua, Pejabat Keuangan; dan Ketiga, Pejabat Teknis/Pegawai BLU dapat diambil dari PNS atau non PNS yang professional. Berdasarkan kriterianya Pejabat Keuangan (PNS) dapat menjadi PA/KPA

MNH722 zeth parinding2012

f. Persyaratan Pejabat Pengelola Keuangan (PPK) BLU mencakup tiga hal, yaitu: Substantif, teknis, dan administrasi. g. Persyaratan substantive meliputi: penyediaan barang dan jasa (misalnya pengelolaan obyek wisata daerah); pengelolaan wilayah/ kawasan khusus (misalnya kawasan konservasi, dan atau kawasan pengembangan ekonomi terpadu); pengelolaan dana khusus (misalnya pengelolaan dana bergulir). h. Persyaratan teknis meliputi: Kinerja pelayanan layak dikelola; dan kinerja keuangan sehat. i. Persyaratan administrasi dimaksud untuk menentukan status BLU penuh atau status BLU bertahap. Adapun persyaratannya adalah sebagai berikut: Pernyataan kesanggupan meningkatkan kinerja; Pola tata kelola; rencana strategis bisnis; standar pelayanan minimal; laporan keuangan pokok /prognosa laporan keuangan; dan laporan audit terakhir/ pernyataan bersedia diaudit secara independen. j. Tim Penilai BLU meliputi: Sekda (Ketua merangkap anggota); PPKD (Sekretaris merangkap anggota); BAPPEDA (anggota); BAWASDA/INPEKTUR (Anggota); dan Tenaga Ahli (Anggota). k. Hasil Penilaian dengan nilai 80-100 berdasarkan kriteria digolongkan memuaskan dan mendapatkan status BLU penuh; nilai 60-79 berdasarkan kriteria digolongkan belum terpenuhi secara memuaskan mendapat status BLU bertahap; dan nilai kurang dari 60 berdasarkan kriteria digolongkan tidak memuaskan ditolak statusnya sebagai BLU. l. Fleksibilitas BLU Penuh/BLU bertahap: pertama bagi BLU Penuh diberikan seluruh fleksibilitas, sedangan kedua bagi BLU bertahap diberikan fleksibilitas batas-batas tertentu berupa pengelolaan piutang, pengelolaan barang, pengelolaan dana secara langsung, perumusan standar dan sistem prosedur, pengelolaan keuangan. Sedangkan yang tidak diberikan kewenangan pada BLU bertahap yaitu: pengelolaan utang, pengadaan barang dan jasa, dan pengelolaan investasi. C. Karakteristik bagaimana yang berpengaruh terhadap kinerja kerjasama antara pemangku kepentingan dalam pengelolaan KKLD dengan memfungsikannya BLU 1. Biaya transaksi tinggi a. Merubah pola pikir fungsi BLU dalam pengelolaan KKLD yang sinergis antar pemangku kepentingan. 2. Keterpaduan peran pemangku kepentingan dalam pengelolaan BLU a. Bagaimana bekerja dengan transparan, akuntabel, fokus, dapat diukur, dapat dicapai, relevan dan dapat diandalkan, serta tepat waktu. D. Masalah kelembagaan sebagaimana karakteristik yang berpengaruh terhadap kinerja kerjasama antara pemangku kepentingan dalam pengelolaan KKLD dan bagaimana memfungsikan BLU dalam mengurangi transaksi tinggi, sehingga terciptanya keterpaduan peran pemangku kepentingan dalam pengelolaannya.

MNH722 zeth parinding2012

1. Soal adopsi a. Mengapa satuan kerja mau menerapkan PPK BLU sebagai akibat ingin mengejar fleksibilitas antara lain: ingin meningkatkan kinerja manfaat, ingin meningkat kinerja keuangan, dan ingin meningkatkan kinerja pelayanan sehingga menghasilkan praktek bisnis yang sehat b. Kegiatan ekonomi masyarakat c. Konflik kepentingan antara stakeholder 2. Belum adanya zonasi, sinkronisasi dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), dan Rencana Tata Ruang Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RTRWP2K) Kabupaten Kaimana. Belum adanya RPTN (Master Plan) KKLD yang di kolaborasikan dengan Stakeholder (pemangku kepentingan) 3. Belum tersedianya kelembagaan yang mengatur tata kelola KKLD yang efektif dalam bentuk hybrid yang dicapai melalui regulasi dan pelibatan stakeholder sebagai penggerak proses-proses dalam tahap manajemen. E. Mengapa masalah kelembagaan terjadi dalam persoalan proses adopsi guna terciptanya peran pemangku kepentingan dalam pengelolaan KKLD dan bagaimana memfungsikan BLU dalam mengurangi transaksi tinggi. 1. Diskursus a. Sistem Tatakelola (ST) belum dipandang sebagai subyek tatakelola dimana instrument manajemen antar stakeholder dihasilkan, Sistem yang dikelola (SD) belum sebagai obyek tata kelola dimana sistem sosial ekologis harus dikelola dalam mencapai tujuan manajemen, dan juga Tata kelola Interaktif (TI) sebagai proses menata ST dan SD. b. Pertambahan penduduk c. Perluasan pemukiman, d. perkembangan kegiatan perikanan dan kelautan, dan sektor lainnya e. meningkatnya transportasi laut 2. aktor Network a. Keterbatasan dan masalah koordinasi kegiatan pemberdayaan ekonomi masyarakat b. dikarenakan para pemangku kepentingan pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan, terutama di daerah, kurang memiliki ruang gerak yang luas untuk melakukan pengelolaan sesuai kekhasan ekosistem-ekosistem di daerahnya dengan tetap mengacu pada kepentingan nasional maupun internasional. Strategi nasional dan rencana aksi terdiri dari Sepuluh kelompok strategi, antara lain: (1) Pembangunan dan Pengembangan Pangkalan Data Mutakhir; (2) Peningkatan Peran Stakeholders; (3) Pengembangan Kebijakan, Hukum, dan Peningkatan Pentaatannya; (4) Penguatan Kelembagaan; (5) Pendidikan dan Peningkatan Kepedulian Mengenai KKP; (6) Peningkatan Kerjasama dan Jaringan Internasional; (7) Pembiayaan Pengelolaan

MNH722 zeth parinding2012

KKP; (8) Pemanfaatan Secara Arif dan Bijaksana; (9) Restorasi dan Rehabilitasi Eksosistem; dan (10) Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim. 3. kepentingan - Politik a. Belum disusun penatakelolaan zonasi yang terintegrasi dengan kebijakan dan program antar stakeholder, sehingga harmonisasi dan sinergis kegiatannya dapat diwujudkan secara terpadu melalui prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. b. Penekanan pada perspektif penatakelolaan berupa sifat interaktif antara sistem penatakelolaan dan sistem sosial-ekologis dan ekonomi-ekologis yang berbasis konservasi dan ekosistem sebagai perwujudan instrument ecosystem-base management. c. menurut Nikijuluw (2002) terdapat tiga hal yang menentukan variasi bentuk pengelolaan kolaboratif (co-management) serta hirarkinya yaitu: (1) Peranan pemerintah dan masyarakat dalam pengambilan keputusan. (2) Bentuk tugas dan fungsi manajemen yang dapat atau akan dikelola bersama oleh pemerintah dan masyarakat atau didistribusikan di antara kedua belah pihak. (3) Tahapan proses manajemen ketika secara actual kerjasama pengelolaan betul betul terwujud. (Sebagai contoh, pada tahapan perencanaan, implementasi, atau evaluasi). d. Co-management menurut Pomeroy dan Berkes (1997) digambarkan sebagai perpaduan antara pengelolaan yang berbasis pemerintah dengan pengelolaan yang berbasis masyarakat, dimana didalamnya terdapat sedikitnya sepuluh jenis hierarkhi bentuk management yang menjadi bagian prinsip-prinsip co-management yaitu: infrorming, consultation, cooperation, communication, information exchange, advisory role, joint action, partnership, community control, interarea coordination. F. Bagaimana diselesaikan/pemecahannya terhadap masalah kelembagaan yang terjadi dalam proses adopsi guna terciptanya peran pemangku kepentingan dalam pengelolaan KKLD dan bagaimana memfungsikan BLU dalam mengurangi transaksi tinggi 1. Counter discource a. ada insentif bagi orang atau organisasi yang melaksanakannya; b. sasaran pengembangan siapakah yang diuntungkan 2. aktor network a. adanya keseimbangan kepemilikan dan akses terhadap informasi; b. kepemilikan dan akses atas sumber daya terjamin; c. ada usaha pengendalian atas tingkah laku opportunistic; 3. Politik a. adanya aturan yang ditegakkan dan ditaati b. Adanya sistem keuangan dalam lembaga yang mengelola KKLD, maka dapat pula dibentuk Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) atau bahkan dalam pengelolaan keuangannya dapat ditingkatkan dengan menggunakan pola pengelolaan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) apabila kegiatan konservasi di wilayah tersebut

MNH722 zeth parinding2012

cukup menjanjikan sehingga perlu dikelola secara professional dan memenuhi syaratsyarat pengelolaan BLUD. c. Harmonisasi dan Penyelarasan urusan bidang konservasi pesisir dan jenis antara departemen kehutanan dan departemen kelautan dan perikanan, sebagian telah membuahkan hasil dengan ditandatanganinya Berita Acara Serah Terima Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam dari Departemen Kehutanan kepada Departemen Kelautan dan Perikanan Nomor: BA.01/Menhut-IV/2009 BA.108/MEN.KP/III/2009 tanggal 4 Maret 2009. Terdapat 8 (delapan) KSA/KPA yang diserahterimakan dari Dephut kepada DKP d. Faktor-faktor usaha ekonomi yang dikaji kelayakannya adalah; (a) kesesuaian lokasi (kebutuhan benih, lingkungan perairan, kebiasaan masyarakat setempat), (b) penguasaan teknologi, (c) melibatkan banyak orang, (d) ketersediaan sarana dan prasarana, (e) tenaga terampil, dan (f) keterjangkauan terhadap pasar. Pemilihan jenis Marine Protected Areas (MPA) tanpa memperhatikan faktor-faktor tersebut di atas, dapat menyebabkan peluang keberhasilannya sangat kecil apalagi jika dikaitkan dengan target proyek. Untuk menjamin efektifitas pelaksanaan MPA, maka Kelompok masyarakat (Pokmas) diberikan penyuluhan dan pelatihan tentang manajemen dan teknis usaha, sistem keuangan, dan pembukuan (bookeeping). Topik pelatihan yang diberikan harus disesuaikan dengan jenis-jenis MPA yang akan dilaksanakan, serta kebutuhan praktis untuk pengembangan MPA. Siklus MPA tidak berujung di Desa/Kelurahan dimana MPA dilaksanakan, akan tetapi masih ada mata rantai yang harus dilewati utamanya untuk penjualan produk atau hasil dari MPA. Praktek mengelola alternatif pencaharian secara kolaboratif antara pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat tersebut, kini mulai dirasakan hasilnya. e. Mengelola secara kolaboratif kawasan konservasi perairan yang efektif pada prakteknya bukan merupakan hal yang sederhana, perlu komitmen dan kerjasama semua pihak dalam mewujudkannya. Pengelolaan kawasan konservasi sebaiknya dilakukan sesuai dengan kewenangannya, pengelolaaan KKP di daerah tentunya harus berbasis masyarakat dan bermitra dengan masyarakat. Contoh, mengenai mata pencaharian alternatif masyarakat yang telah dikembangkan di kawasan konservasi, seperti: pengelolaan kepiting bakau, pengelolaan jasa wisata bahari, budidaya rumput laut, kegiatan partisipasi jender (missal: pembuatan kerupuk ikan, kerajinan masyarakat, dan lain-lain). Peranserta masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi merupakan hal yang utama, mengingat masyarakat-lah yang sebenarnya sehari-hari berada pada KKP, tidak sedikit yang bergantung terhadap sumberdaya di KKP tersebut. Sehingga co-management, kemitraan dan kerjasama yang mengedepankan peran masyarakat utamanya bagi peningkatan kesejahteraan adalah sangat penting.

MNH722 zeth parinding2012

Daftar Pustaka Bawole R. 2012. Penatakelolaan zona Pemanfaatan Tradisional dalam Kawasan Konservasi Laut (Kasus Taman Nasional Teluk Cenderawasih-Kabupaten Teluk Wondama Papua Barat). [Disertasi]. Bogor. Sekolah Pascasarjana IPB Bogor Cuenpagdee R, Kooiman J, Pullin RSV. 2008. Assessing governability in capture fisheries, aquaculture and coastal zones. The Journal of Transdisciplinary Enviromental Studies vol.7, 1-2. -----------, & Jento ft S. 2009. Governability assessment for fisheries and coastal systems: A reality check. Hum Ecol 37:109-120 Hutabarat AA, Yulianda F, Fachruddin A, Harteti S, Kusharjani. 2009 Pengelolaan Pesisir dan Laut secara Terpadu. Jakarta: Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Jentoft S. 2007. Limits of governability: Institutional Implications for Fisheries and coastal governance. Marine Policy 33:1-11 North, D. C. 1990. Institutions, Institutional Change and Economics Performance. Cambridge University Press. Ostrom, E. 1990. Governing of the common. The Evolution of Institutions for Collective Action. Cambridge University Press. Schotter, A. 1981. The Economic Theory of Social Institutions. Cambridge, Cambridge University Press. Hamilton, W. H. 1932. Institution. In E. R. A. Seligman and A. Johnson. (Eds.). Encyclopedia of the Social Sciences. Vol.8 Knight, J. 1992. Institution and Social Conflict. Cambridge University Press.

MNH722 zeth parinding2012

Anda mungkin juga menyukai