Anda di halaman 1dari 17

BAB I PENDAHULUAN Pengadilan Agama merupakan kerangka sistim dan tata hukum Nasional yang berdasarkan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan sebagaimana yang diamanatkan oleh UU No. 14/1970 diperlukan adanya perombakan yang bersifat mendasar terhadap segala perundang-undangan yang mengatur Badan Peradilan Agama tersebut. Berlakunya UU No. 7/1989, secara konstitusional Pengadilan Agama merupakan salah satu Badan Peradilan yang disebut dalam pasal 24 UUD 1945. Kedudukan dan kewenangannya adalah sebagai Peradilan Negara dan sama derajatnya dengan Peradilan lainnya, mengenai fungsi Peradilan Agama dibina dan diawasi oleh Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi, sedangkan menurut pasal 11 (1) UU No. 14/1970 mengenai Organisasi, Administrasi dan Finansiil dibawah kekuasaan masing-masing Departemen yang bersangkutan. Suasana dan peran Pengadilan Agama pada masa ini tidaklah berbeda dengan masa kemerdekaan atau sebelumnya karena Yurisdiknya tetap kabur baik dibidang perkawinan maupun dibidang waris. Hukum Acara yang berlaku tidaklah menentu masih beraneka ragam dalam bentuk peraturan perundang-undangan bahkan juga hukum acara dalam hukum tidak tertulis yaitu hukum formal. Islam yang belum diwujudkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Pada tahun 1989 lahirlah UU No.7 tahun 1989 yang diberlakukannya tanggal 29 Desember 1989, kelahiran undang-undang tersebut tidaklah mudah sebagaimana yang diharapkan akan tetapi penuh perjuangan dan tantangan dengan lahirnya UU No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama adalah sebagi tonggak monumen sejarah Pengadilan Agama terhitung tanggal 29 Desember 1989 tersebut. Lahirnya UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah mempertegas kedudukan dan kekuasaan Peradilan Agama sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 UU No.14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman juga memurnikan fungsi dan susunan organisasinya agar dapat mencapai tingkat sebagai lembaga kekuasaan kehakiman yang sebenarnya tidaklah lumpuh dan semu sebagaimana masa sebelumnya. Disamping itu lahirnya UU tersebut menciptakan kesatuan hukum Peradilan Agama dan tidak lagi berbeda-beda
1

kewenangan dimasing-masing daerah di lingkungan Peradilan Agama. Peradilan Agama baik di Jawa-Madura maupun diluar Jawa-Madura adalah sama kedudukan dan kewenangan baik hukum formil maupun materiilnya. Dengan demikian Peradilan Agama telah sama kedudukannya dengan Peradilan lainnya sebagaimana dalam pasal 10 (1) UU No.14 tahun 1970.

BAB II

PEMBAHASAN Dalam memulai dan menyelesaikan pemeriksaan persengketaan perkara perdata yang terjadi diantara anggota masyarakat, salah satu pihak yang bersengketa, harus mengajukan pemeriksaan kepada pengadilan. Apabila salah satu pihak mengajukan permintaan pemeriksaan, persengketaan menjadi perkara di siding pengadilan. Selama sengketa tidak diminta campur tangan pengadilan untuk mengadili, pengadilan tidak bisa berbuat apa-apa. Pengadilan dilarang mencampuri sengketa yang tidak diajukan kepadanya. Pengadilan tidak boleh mencari perkara untuk diadili. Hal ini ditegaskan Pasal 55 UU No. 7 Tahun 1989. Menurut pasal tersebut tiap perkara di pengadilan dimulai sesudah diajukan suatu permohonan atau gugatan. Kemudian berdasar permohonan atau gigatan pihak-pihak yang berperkara dipanggil untuk menghadiri pemeriksaan di sidang pengadilan. Ketentuan pasal 55 dapat dihubungkan dengan penjelasan pasal 60, di lingkungan PA dikenal dua sifat atau corak mengajkan permintaan pemeriksaan perkara kepada pengadilan. Yang pertama disebut permohonan. Yang kedua disebut gugatan. Dalam bahasa sehari-hari lazim disebut gugatan sehingga dikenal gugat permohonan dan gugat biasa.1 A. Peristilahan Permohonan dan Gugatan Prof. Sudikno Mertokusumo, menggunakan istilah gugatan berupa tuntutan perdata (burgerlijke vordering) tentang hak yang mengandung sengketa dengan pihak lain.2 Sistem gugatan disebut juga "stelsel gugatan". Maksudnya bagaimana cara memasukkan permintaan pemeriksaan perkara kepada Pengadilan agar permintaan dapat diterima pihak pengadilan. Tidak sembarangan cara memasukkan permintaan pemeriksaan perkara. Harus dituruti tata cara yang ditentukan undang-undang. Dalam sejarah peradilan di Indonesia, dikenal 2 sistem gugatan. Yang satu disebut sistem dagvaarding dan yang satu lagi disebut sistem "permohonan".

Dagvaarding.
1
M Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama.(Jakarta: Sinar Grafika, 2007) hlm 185 2 R. Soesilo. RIB/HIR dengan Penjelasan, (Bogor: Politea, 1985)hlm 34

Sistem pemasukan perkara secara dagvaarding diatur dalam Pasa 1 RV (Reglement of de Rechtsvordering Staatblaad 1847 52 Jo. 1849 61 dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai reglement acara perdata). Diperlakukan dimasa kolonial sebagai hukum acara perdata pada Raad Van Justitie.3 Dalam stelsel dagvaarding, gugatan diberitahu oleh seorang juru sita atas nama penggugat kepada tergugat. Juru sita langsung menyampaikan panggilan agar tergugat datang menghadap hakim untuk diperiksa perkaranya dalam suatu proses perdata. Permohonan. Sistem penyampaian gugatan dengan cara mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan yang berisi "permintaan" agar pengadilan memanggil penggugat serta pihak yang digugat untuk datang menghadap di sidang pengadilan untuk memeriksa sengketa yang diperkarakan penggugat terhadap tergugat, sebagaimana yang diuraikan dalam surat gugatan. B. Pengertian Permohonan dan Gugatan Surat Gugatan ialah surat yang diajukan oleh penggugat kepada Ketua Pengadilan Agama yang berwenang, yang memuat tuntutan hak yang di dalamnya mengandung sengketa dan sekaligus landasan pemeriksaan perkara dan pembuktian kebenaran suatu hak. Surat permohonan ialah suatu permohonan yang di dalamnya berisi tuntutan hak perdata oleh satu pihak yang berkepentingan terhadap suatu hal yang tidak mengandung sengketa. Para pihak tidak ada perselisihan tetapi bersama-sama memohon kepada Pengadilan, produk yang dihasilkannya berupa Penetapan.4 Pada prinsipnya semua gugatan atau permohonan harus dibuat secara tertulis. Bagi penggugat atau pemohon yang tidak dapat membaca dan menulis, maka gugatan atau permohonan diajukan secara lisan kepada Ketua Pengadilan Agama. Ketua Pengadilan Agama kemudian memerintahkan kepada hakim untuk mencatat segala sesuatu yang dikemukakan oleh penggugat atau pemohon, maka gugatan atau permohonan tersebut ditandatangani oleh Ketua atau hakim yang menerimanya, didasarkan pada ketentuan atau pasal 120 HIR. Gugatan atau permohonan yang dibuat secara tertulis, ditandatangani oleh penggugat atau pemohon (pasal 118 ayat (1) HIR). Jika penggugat atau pemohon telah menunjuk kuasa khusus, maka surat gugatan atau permohonan tersebut ditandatangani oleh kuasa hukumnya (pasal 123
3
Ibid 4 Umar Mansyur Syah, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama menurut teori dan praktek (Garut : Yayasan Al Umaro, 2007)hlm 67

HIR). Perbedaan gugatan dan permohonan adalah bahwa dalam perkara gugatan ada sesuatu sengketa atau konflik yang harus diselesaikan dan diputus oleh pengadilan. dalam suatu gugatan ada orang yang lebih atau merasa haknya atau hak mereka dilanggar, akan tetapi orang yang merasa dilanggar haknya atau hak mereka tidak mau secara sukarela malakukan sesuatu yang diminta itu C. Bentuk-bentuk Gugatan Gugatan dapat disimpulkan sesuai dengan ketentuan Pasal 118 ayat (1) HIR atau Pasal 142 ayat (1) RBg dan Pasal 120 HIR atau Pasal 144 ayat (1) RBg. 5 Dari ketentuan pasal-pasal dimaksud: Gugatan Lisan dan atau Tertulis Semua gugatan atau permohonan harus dibuat secara tertulis, akan tetapi dimungkinkan bagi penggugat atau pemohon yang tidak dapat membaca dan menulis, maka gugatan atau permohonan diajukan secara lisan kepada Ketua Pengadilan yang berwenang. Kemudian Ketua Pengadilan yang berwenang tersebut memerintahkan kepada hakim untuk membuatkan surat permohonan atau gugatan dengan cara mencatat dan memformulasikan segala sesuatu yang dikemukakan oleh penggugat atau pemohon dan membacakannya, kemudian surat gugatan atau permohonan tersebut ditandatangani ketua atau hakim yang membuatkannya itu, hal ini berdasar ketentuan Pasal 114 (1) R.Bg. atau Pasal 120 HIR. Sementara penggugat tidak tidak perlu tanda tangan atau membubuhkan cap jempolnya dan juga tidak usah diberi materai. Dalam praktik proses pengajuan gugat secara lisan bagi buta huruf dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Gugatan disampaikan secara lisan kepada Ketua Pengadilan yang berwenang. b. Ketua Pengadilan atau hakim yang ditunjuk Ketua Pengadilan mencatat segala

peristiwa yang disampaikan penggugat, kemudian diformulasikan dalam bentuk surat gugat.

5 Op Cit hlm 187

c. Gugatan yang diformulasikan tersebut dibacakan untuk penggugat dan ditanyakan

kepadanya tentang isi gugatan itu, apakah sudah cukup atau masih perlu ditambah, dikurangi atau diubah.
d. Gugatan yang dinyatakan cukup oleh penggugat, maka Ketua Pengadilan atau hakim

yang ditunjuk tersebut untuk menandatanganinya.


e. Adapun gugatan atau permohonan yang dibuat secara tertulis, harus ditandatangani

oleh penggugat / pemohon (Pasal 142 (1) R.Bg. / Pasal 118 (1) HIR). Apabila pemohon / penggugat telah menunjuk kuasa khusus maka surat gugatan / permohonan harus ditandatangani oleh kuasa hukumnya tersebut (Pasal 147 (1) R.Bg. / Pasal 123 HIR). Surat gugatan atau permohonan dibuat rangkap enam, masing-masing satu rangkap untuk penggugat atau pemohon, satu rangkap untuk tergugat atau termohon atau menurut kebutuhan dan empat rangkap untuk majelis hakim yang memeriksanya. Apabila surat gugatan atau permohonan hanya dibuat satu rangkap, maka harus dibuat salinannya sejumlah yang diperlukan dan dilegalisir oleh panitera.

D. Gugat Volunter Permohonan sering juga disebut gugatan voluntair. Sebutan ini dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 (Sebagimana diubah dengan UU No. 35 Tahun 1999) yang menyatakan: Penyelesaian setiap perkara yang diajukan kepada badan-badan peradilan mengandung pengertian didalamnya penyelesaian masalah yangbersangkutan dengan yurisdiksi voluntair.6 Pada prinsipnya semua hal atau keadaan dapat diajukan gugat volunter. Permintaan suatu gugat volunteer harus berdasar ketentuan peraturan perundang-undangan. Artinya undang-undang telah menentukan sendiri bahwa tentang suatu hal dapat diajukan gugat volunteer.
6 M Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata.(Jakarta : Sinar Grafika, 2008)hlm28

a. Ciri gugat volunteer Gugatan bersifat sepihak (Ex Parte) Pihak yang terlibat hanya satu yakni pihak pemohon sendiri. Tidak ada orang lain yang ditarik kemuka persidangan sebagai pihak yang tergugat. Permintaan dan Putusan bersifat deklarator Petitumnya bersifat deklarator, hanya meminta deklarasi tentang suatu keadaan atau kedudukan. Pada dasarnya bukan gugatan atas suatu persengketaan. Tetapi hanya sekedar untuk memenuhi keinginan secara sepihak agar ditetapkan mempunyai kedudukan tertentu dalam hal tertentu. b. Kekuatan hukumnya hanya sepihak Putusan volunteer adalah putusan yang bersipat sepihak, berupa kebenaran menurut versi pemohon saja. Kebenarannya tidak dapat mengikat orang lain tidak memiliki kekuatan eksekusi. c. Perlawanan terhadap putusan volunteer Setiap orang yang merasa berkepentingan atau merasa keberatan atas putusan volunteer dapat mengajukan perlawanan atau verzet. Tujuannya untuk melumpuhkan kekuatan mengikat putusan tersebut tentang apa saja yang dideklarasikan didalamnya. E. Gugatan Contentiosa Suatu gugatan yang didalamnya mengandung sengketa diantara piahk-pihak yang berperkara yang pemeriksaan penyelesaiannya diberikan dan ditujukan kepada pengadilan dengan posisi para pihak: Yang mengajukan penyelesain sengketa disebut dan bertindak sebagai penggugat. Sedangkan yang ditarik sebagai lawan dalam penyelesaian disebut dan berkedudukan sebagai tergugat. Ciri yang melekat pada gugatan perdata:
7

Permasalahan

hokum

yang

diajukan

ke

pengadilan

mengandung sengketa. Sengketa terjadi diantara para pihak paling kurang diantara dua pihak. Gugatan perdata bersifat partai dengan komposisi, pihak yang satu bertindak dan berkedudukan sebagai penggugat dan pihak yang lain berkedudukan sebagai tergugat. Persyaratan yang harus dipenuhi dalam membuat surat gugatan adalah: Syarat formal Tempat dan tanggal pembuatan surat gugatan Meterai Tandatangan oleh Penggugat atau kuasanya Syarat substantif 1. Identitas para pihak yang memuat informasi : Nama lengkap Umur/tempat dan tanggal lahir Pekerjaan Alamat atau domisil Dalam hal badan hukum, harus disebutkan nama badan hukumnya, dan nama orang yang berwenang mewakili badan hukum tersebut menurut anggaran dasar atau peraturan yang berlaku. Jika merupakan cabang dari badan hukum. Maka tetap harus disebutkan identitas badan hukum tersebut. Jika gugatan diajukan kepada beberapa orang/badan hukum, maka harus dikualifikasikan sebagai TergugatI, Tergugat II dst. Jika gugatan diajukan oleh beberapa orang, maka harus dikualifikasikan sebagai Penggugat I, Penggugat II dst. Penggugat harus benar-benar pihak yang berhak untuk mengajukan gugatan tersebut. Jika diajukan oleh orang yang tidak berhak, maka gugatan tidak dapat diterima Penggugat harus benar-benar lengkap (semua sudah termasuk). Jika

gugatan tidak lengkap para pihaknya, maka gugatan akan dinyatakan tidak dapat diterima (niet onvankelijke verklaard). 2. Posita (fundamentum petendi) : Dalil-dalil konkret tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar atau alasan dari tuntutan. Komposisi: a. Obyek perkara: Uraian mengenai untuk hal apa gugatan itu diajukan. Misalnya sengketa mengenai kepemilikan tanah, sengketa mengenai perjanjian jual beli atau sengketa mengenai merk dagang. b. Fakta-fakta hukum: Uraian mengenai hal-hal yang menyebabkan timbulnya sengketa misalnya apakah ada perjanjian antara penggugat dan tergugat. c. Kualifikasi perbuatan tergugat: Perumusan perbuatan meteriil atau formal dari tergugat yang dapat merupakan perbuatan melawan hukum, wanprestasi dsb. Diuraikan pula bagaimana caranya perbuatan itu dilakukan oleh tergugat misalnya tidak melaksanakan kewajibannya berdasarkan perjanjian, atau melanggar UndangUndang dsb. d. Uraian kerugian: Perincian kerugian yang diderita oleh penggugat sebagai akibat perbuatan tergugat. Perincian kerugian materill didukung dengan bukti-bukti tertulis. Kerugian moril hanya berdasarkan taksiran. e. Hubungan posita dengan petitum: Posita merupakan dasar dari petitum, oleh karena itu hal-hal yang tidak dikemukakan dalam posita tidak dapat dimohonkan dalam petitum. Hal-hal yang tidak dimintakan dalam petitum dapat dikabulkan asalkan hal itu telah dikemukakan dalam posita. 3. Petitum (tuntutan), Menurut Pasal 8 Nomor 3 R.Bg. ialah apa yang diminta atau yang diharapkan oleh penggugat agar diputuskan oleh hakim dalam persidangan. Petitum akan dijawab oleh majelis hakim dalam amar putusannya. Petitum harus berdasarkan hukum dan harus pula didukung oleh Posita. Pada prinsipnya posita yang tidak didukung oleh petitum (tuntutan) berakibat tidak diterimanya tuntutan, pun sebaliknya petitum / tuntutan yang tidak didukung oleh posita berakibat tuntutan penggugat ditolak.
9

Mekanisme petitum (tuntutan) dapat diklasifikasikan ke dalam tiga bagian pokok, yaitu:
a. tuntutan primer (pokok) merupakan tuntutan yang sebenarnya diminta penggugat, dan

hakim tidak boleh mengabulkan lebih dari apa yang diminta (dituntut),
b. tuntutan tambahan, merupakan tuntutan pelengkap daripada tuntutan pokok, seperti

dalam hal perceraian berupa tuntutan pembayaran nafkah madhiyah, nafkah anak, mutah, nafkah idah, dan pembagian harta bersama, dan
c. tuntutan subsider (pengganti) diajukan untuk mengantisipasi kemungkinan tuntutan

pokok dan tuntutan tambahan tidak diterima majelis hakim. Biasanya kalimatnya adalah agar majelis hakim mengadili menurut hukum yang seadil-adilnya atau mohon putusan yang seadil-adilnya bias juga ditulis dengan kata-kata ex aequo et bono. F. Syarat-syarat Gugatan a. Dimana Gugatan Diajukan.

Bila anda yang mengajukan gugatan perceraian, berarti anda adalah pihak Penggugat dan suami adalah Tergugat. Untuk mengajukan gugatan perceraian, anda atau kuasa hukum anda (bila anda menggunakan kuasa hukum) mendatangi Pengadilan Agama (PA) di wilayah tempat tinggal anda. Bila anda tinggal di Luar Negeri, gugatan diajukan di PA wilayah tempat tinggal suami. Bila anda dan suami anda tinggal di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama di wilayah tempat anda berdua menikah dulu, atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat (Pasal 73 UU No 7/89 tentang Peradilan Agama) b. Alasan dalam Gugatan Perceraian Alasan yang dapat dijadikan dasar gugatan perceraian anda di Pengadilan Agama antara lain: Suami berbuat zina, pemabuk, pemadat, penjudi dan sebagainya; Suami meninggalkan anda selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa ada ijin atau alasan yang jelas dan benar, artinya: suami dengan sadar dan sengaja meninggalkan anda;

Suami dihukum penjara selama (lima) 5 tahun atau lebih setelah perkawinan dilangsungkan; Suami bertindak kejam dan suka menganiaya anda; Suami tak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami karena cacat badan atau penyakit yang dideritanya; Terjadi perselisihan dan pertengkaran terus menerus tanpa kemungkinan untuk rukun kembali; Suami melanggar taklik-talak yang dia ucapkan saat ijab-kabul; Suami beralih agama atau murtad yang mengakibatkan ketidaakharmonisan dalam keluarga. (Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam jo Pasal 19 PP No 9 tahun 1975) c. Saksi dan Bukti Anda atau kuasa hukum anda wajib membuktikan di pengadilan kebenaran dari alasan-alasan tersebut dengan: Salinan Putusan Pengadilan, jika alasan yang dipakai adalah suami mendapat hukuman 5 (lima tahun) atau lebih (pasal 74 UU No. 7/1989 jo KHI pasal 135). Bukti hasil pemeriksaan dokter atas perintah dari pengadilan, bila alasan Anda adalah suami mendapat cacat badan atau penyakit yang menyebabkan tak mampu memenuhi kewajibannya (pasal 75 UU 7/1989) Keterangan dari saksi-saksi, baik yang berasal dari keluarga atau orang-orang dekat yang mengetahui terjadinya pertengkaran antara anda dengan suami anda (pasal 76 UU 7/1989 jo pasal 134 KHI). d. Surat-surat yang Harus di siapkan

Surat Nikah asli


11

Foto kopi Surat Nikah 2 (dua) lembar, masing-masing dibubuhi materai, kemudian dilegalisir

Foto kopi Akte Kelahiran anak-anak (bila punya anak), dibubuhi materai, juga dilegalisir Foto kopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) terbaru Penggugat (istri) Fotokopi Kartu Keluarga (KK)

Bila bersamaan dengan gugatan perceraian diajukan pula gugatan terhadap harta bersama, maka perlu disiapkan bukti-bukti kepemilikannya seperti sertifikat tanah (bila atas nama penggugat/pemohon), BPKB (Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor)/STNK(Surat Tanda Nomor Kendaraan) untuk kendaraan bermotor, kwitansi, surat jual-beli, dll. Untuk itu, sangat penting untuk menyimpan surat-surat berharga yang anda miliki dalam tempat yang aman. e. Isi Gugatan / Permohonan 1. Identitas para pihak (Penggugat/Tergugat) atau persona standi in judicio, terdiri dari nama suami dan istri (beserta bin/binti), umur, tempat tinggal, hal ini diatur dalam pasal 67 (a) UU No. 7/1989. Identitas para pihak ini juga disertai dengan informasi tentang agama, pekerjaan dan status kewarganegaraan 2. Posita (dasar atau alasan gugat), disebut juga Fundamentum Petendi, berisi keterangan berupa kronologis (urutan peristiwa) sejak mulai perkawinan anda dengan suami anda dilangsungkan, peristiwa hukum yang ada (misalnya: lahirnya anak-anak), hingga munculnya ketidakcocokan antara anda dan suami yang mendorong terjadinya perceraian, dengan alasan-alasan yang diajukan dan uraiannya yang kemudian menjadi dasar tuntutan (petitum). Memuat dalil-dalil (penjelasan-penjelasan) keadaan yang konkrit (nyata) mengenai adanya hubungan hukum sebagai dasar dari permohonan/tuntutan/alasan-alasan yang mendukung tuntutan/permohonan itu.7 Contoh posita misalnya:

7 Ibid hlm 68

Bahwa pada tanggaltelah dilangsungkan perkawinan antara penggugat dan tergugat

di

Bahwa dari perkawinan itu telah lahir (jumlah) anak bernama, lahir dipada tanggal

Bahwa selama perkawinan antara penggugat dan tergugat sering sering terjadi perselisihan dan pertengkaran sebagai berikut

Bahwa berdasarkan alasan di atas cukup bagi penggugat mengajukan gugatan perceraiandst

3. Petitum (tuntutan hukum), yaitu tuntutan yang diminta oleh Istri sebagai Penggugat agar dikabulkan oleh hakim (pasal 31 PP No 9/1975, Pasal 130 HIR). Gugatan atau permohonan itu memuat apa yang dituntut. Bentuk tuntutan itu misalnya: 1. Menerima dan mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya; 2. Menyatakan perkawinan antara penggugat dan tergugat sah putus karena perceraian sejak dijatuhkannya putusan oleh hakim; 3. Menyatakan pihak penggugat berhak atas hak pemeliharaan anak dan berhak atas nafkah dari tergugat terhitung sejak tanggal...sebesar Rp....per bulan sampai penggugat menikah lagi; 4. Mewajibkan pihak tergugat membayar biaya pemeliharaan (jika anak belum dewasa) terhitung sejak....sebesar Rp....per bulan sampai anak mandiri/dewasa; 5. Menyatakan bahwa harta berupa....yang merupakan harta bersama (gono-gini) menjadi hak penggugat... 6. Menghukum penggugat membayar biaya perkaradst f. Gugatan Provisional (pasal 77 dan 78 UU No.7/89) Sebelum putusan akhir dijatuhkan hakim, dapat diajukan pula gugatan provisional di Pengadilan Agama untuk masalah yang perlu kepastian segera, misalnya:
13

1. Memberikan ijin kepada istri untuk tinggal terpisah dengan suami. 2. Ijin dapat diberikan untuk mencegah bahaya yang mungkin timbul jika suami-istri yang bertikai tinggal serumah. 3. Menentukan biaya hidup/nafkah bagi istri dan anak-anak yang seharusnya diberikan oleh suami; 4. Menentukan hal-hal lain yang diperlukan untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak; 5. Menentukan hal-hal yang perlu bagi terpeliharanya barang-barang yang menjadi harta bersama (gono-gini) atau barang-barang yang merupakan harta bawaan masing-masing pihak sebelum perkawinan dahulu. ` Macam-macam Gugatan. Macam-macam gugatan (Vordering) itu terdiri dari/ antara lain: 1. Tuntutan perseorangan (persoonlijk). Objeknya adalah tuntutan pemenuhan ikatan karena persetujuan dank arena Undang-undang. 2. Tuntutan kebendaan (zakelijk). Yaitu suatu penuntutan penyerahan suatu barang sebagai objek dari pada hak benda atau pengakuan hak benda. 3. Tuntutan campuran (gabungan persoonlijk dan zakelijk). Adalah campuran dari perorangan dengan kebendaan. Dan penggolongan / macam-macam tersebut dapat dilihat dari dictum (amar sesuatu putusan hakim). Diktum ialah bagian terakhir dari putusan dan merupakan kalimat dibawah kata-kata : mengadili. Comulatie dari bebnerapa gugatan (samenvoeging). Comulatie dapat dibedakan diantaranya : Comulatie Subjectif

Dalam suatu perkara perdata seorang penggugat melawan beberapa orang tergugat atau sebaliknya; beberapa orang penggugat melawan seorang tergugat. Umpamanya dalam perkara warisan, waris merupakan comulatie subjektif (subjektif banyak). Comulatie Objektif Merupakan beberapa tuntutan (gugatan) terhadap satu orang dalam satu perkara. Umpamanya : pertama tergugat mempunyai hutang kepada penggugat yang belum dibayarnya. Kedua tergugat membeli barang kepada penggugat yang belum dibayar uangnya. Ketiga tergugat menyewa sesuatu kepada penggugat yang mana sewaanya belum bibayar juga. Jadi dalam comultie objektif, objeknya yang banyak.

15

BAB III KESIMPULAN Dalam sejarah peradilan di Indonesia, dikenal 2 sistem gug atan. Yang satu disebut sistem dagvaarding dan yang satu lagi disebut sistem "permohonan". Surat Gugatan ialah surat yang diajukan oleh penggugat kepada Ketua Pengadilan Agama yang berwenang, yang memuat tuntutan hak yang di dalamnya mengandung sengketa dan sekaligus landasan pemeriksaan perkara dan pembuktian kebenaran suatu hak. Surat permohonan ialah suatu permohonan yang di dalamnya berisi tuntutan hak perdata oleh satu pihak yang berkepentingan terhadap suatu hal yang tidak mengandung sengketa. Para pihak tidak ada perselisihan tetapi bersama-sama memohon kepada Pengadilan, produk yang dihasilkannya berupa Penetapan. Gugatan Lisan dan atau Tertulis Semua gugatan atau permohonan harus dibuat secara tertulis, akan tetapi dimungkinkan bagi penggugat atau pemohon yang tidak dapat membaca dan menulis, maka gugatan atau permohonan diajukan secara lisan kepada Ketua Pengadilan yang berwenang. Pada prinsipnya semua hal atau keadaan dapat diajukan gugat volunter. Permintaan suatu gugat volunteer harus berdasar ketentuan peraturan perundang-undangan. Artinya undangundang telah menentukan sendiri bahwa tentang suatu hal dapat diajukan gugat volunteer. Suatu gugatan yang didalamnya mengandung sengketa diantara piahk-pihak yang berperkara yang pemeriksaan penyelesaiannya diberikan dan ditujukan kepada pengadilan.

DAFTAR PUSTAKA M.Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2008 ______________, Kedudukan kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Sinar Grafika, Jakarta, 2007 Retno Wulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung, 2005 Umar Mansyur Syah, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Menurut Teori dan Praktek, Yayasan Al-Umaro, Garut, 2007

17

Anda mungkin juga menyukai