Anda di halaman 1dari 2

VATTAKA - JATAKA Dengan sayap yang tak dapat terbang ...

"Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika sedang melakukan pindapatta melalui Magadha, tentang padamnya api hutan. Suatu saat Sang Guru, ketika melakukan pindapatta melalui Magadha, pergi melakukan perjalanan paginya menerima dana melalui suatu desa kecil di negeri itu; saat ia kembali, setelah bersantap, ia pergi keluar lagi diikuti oleh para bhikkhu. Tiba-tiba, menyalalah api besar. Banyak bhikkhu yang berada di depan dan juga di belakang Sang Guru. Api kian mendekat, meluas dengan cepat sampai yang tampak hanyalah asap dan lidah api. Di saat itu, beberapa bhikkhu yang masih labil dipenuhi oleh rasa ketakutan akan kematian. "Mari kita buat api untuk melawan api itu," seru mereka; "supaya api besar itu tidak melewati tempat yang kita bakar." Dan, dengan pandangan ini, mereka menyiapkan api menggunakan tongkat pemantik mereka. Tetapi yang lain-lainnya berkata, "Apa yang engkau lakukan, saudara-saudara ? Kalian berlaku seperti orang-orang yang tidak melihat bulan di tengah langit, atau matahari yang muncul dengan memancarkan berjuta-juta cahaya dari arah timur, atau laut di mana pantainya mereka pijak, atau gunung Sineru yang menjulang di depan mata mereka, karena saat kalian berjalan bersama manusia yang tiada bandingnya di antara dewa dan manusia, kalian tidak mengingat Sang Buddha yang telah mencapai penerangan sempurna, tapi malah berseru, 'Mari kita buat api!' Kalian tidak menyadari kebesaran seorang Buddha ! Ayo, mari kita menemui Sang Guru." Kemudian, dengan berkelompok dari depan dan belakang, para bhikkhu berkerumun mengelilingi Sang Guru Kebijaksanaan. Di suatu titik tertentu Sang Guru berhenti, dengan sekelompok besar bhikkhu mengelilinginya. Lidah-lidah api datang mendekat, menderu-deru seakan-akan hendak menelan mereka. Tapi saat lidah-lidah api tersebut mendekati tempat di mana Sang Buddha berpijak, lidah-lidah api itu berhenti sejauh enam belas kaki, dan padam di sana-sini, bahkan seperti obor yang dilemparkan ke dalam api. Api itu tidak memiliki kekuatan untuk menyebar di tempat yang berdiameter tiga puluh dua kaki. Para bhikkhu memuji-muji Sang Buddha dengan berkata, "Oh ! betapa besarnya kemuliaan seorang Buddha ! Bahkan api ini, meskipun tidak memiliki pikiran, tidak dapat meluas ke tempat di mana seorang Buddha berdiri, dan padam seperti obor di dalam air. Oh ! betapa menakjubkan kekuatan seorang Buddha !" Mendengar ucapan mereka, Sang Buddha berkata, "Bukanlah kekuatanKu yang sekarang, o bhikkhu, yang membuat api padam saat mencapai tempat ini. Itu adalah kekuatan dari Perbuatan DhammaKu pada kehidupan lampau. Di tempat ini, tak akan ada api yang dapat menyala selama kalpa ini, keajaiban yang bertahan untuk satu kalpa ." Kemudian Ananda Thera melipat empat selembar jubah dan meletakkannya untuk tempat duduk Sang Guru. Sang Guru pun duduk. Seraya membungkukkan badan ke arah Sang Buddha saat ia duduk bersila, para bhikkhu juga turut bersila di sekelilingnya. Lalu mereka bertanya kepadanya dengan berkata, "Hanya waktu sekarang yang dapat kami ketahui, Bhante; masa kehidupan yang lampau tertutup bagi kami. Ceritakanlah kepada kami." Dan, atas permintaan mereka, ia menceritakan kisah kehidupan masa lampau. Suatu ketika, di tempat yang sama di Magadha ini, Sang Bodhisatta terlahir kembali sebagai seekor burung kecil. Dengan memecahkan kulit telur di mana ia lahir, ia menjadi seekor burung muda yang kirakira sebesar bola besar. Dan orang tuanya memeliharanya di dalam sarang, serta memberinya makan dengan makanan yang mereka bawa di dalam paruh mereka. Ia sendiri tidak memiliki kekuatan baik untuk mengembangkan sayap-sayapnya dan terbang di udara maupun untuk mengangkat kaki-kakinya dan berjalan di tanah. Tahun demi tahun, tempat itu selalu dibumihanguskan oleh api hutan; dan pada saat itulah, lidahlidah api berkobar di sana dengan deru yang dahsyat. Kawanan burung, yang tersentak dan terbang mendadak dari sarang-sarang mereka, dipenuhi rasa takut akan kematian, dan pergi menjauh sambil mencicit-cicit. Ayah dan ibu Sang Bodhisatta juga merasa takut seperti yang lainnya dan terbang pergi meninggalkan Sang Bodhisatta. Terbaring di sarangnya, Sang Bodhisatta memanjangkan lehernya dan,

melihat lidah-lidah api datang mendekati dirinya, Ia berpikir dalam hati, "Jika Aku memiliki kekuatan untuk mengembangkan sayap-sayapku dan terbang, Aku akan terbang menyelamatkan diri; atau, jika Aku dapat menggerakkan kaki-kakiku dan berjalan, Aku akan melarikan diri ke tempat lain dengan berjalan. Apalagi kedua orangtuaku, yang dipenuhi rasa takut akan kematian, terbang pergi menyelamatkan diri mereka sendiri meninggalkanku di sini seorang diri. Tak ada pelindung atau penolong yang mendampingiku. Apa yang harus Aku lakukan sekarang ?" Kemudian pikiran ini muncul di benaknya : "Di dunia ini, ada yang dinamakan keluhuran dari kebaikan, dan yang disebut keluhuran dari Dhamma. Mereka yang, dengan melalui pencapaian kesempurnaan di masa-masa lampau, telah mencapai penerangan sempurna di bawah pohon bodhi; yang, dengan mencapai penglepasan melalui kebaikan, ketenangan dan kebijaksanaan, memiliki juga pengertian tentang pengetahuan dari penglepasan; yang dipenuhi dengan kebenaran, kasih sayang, belas kasih, dan kesabaran; yang mengasihi semua mahluk tanpa pandang bulu; yang dikatakan orang sebagai para Buddha yang maha mengetahui. Ada suatu keluhuran dari apa yang telah mereka capai. Dan Aku juga mencapai satu kebenaran; Aku berpegang teguh dan percaya pada satu prinsip alamiah. Oleh karena itu, sangatlah tepat bagiku untuk merenungkan para Buddha dari masa lampau dan keluhuran yang telah mereka dapatkan, dan untuk berpegang pada kepercayaan sejati dalam diriku dengan mengambil prinsip alamiah; dan dengan perbuatan Dhammma menghalau api untuk menyelamatkan diriKu maupun burung-burung yang lain."

Anda mungkin juga menyukai