Anda di halaman 1dari 6

TUGAS SISTEM HUKUM INDONESIA STUDY CASE HUKUM TATA NEGARA

Disusun oleh : 1. Gusti Rafangga R 2. Adha Panca Wahyu A 3. Vrizza Puri Trisna 4. Miftahul Saaddah 5. Ferdian Elmansyah Kelas B.HI.2 PRODI HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2010/2011 105120400111016 105120400111040 105120401111012 105120401111020 105120407111026

Abstraksi Di dalam mengembangkan pemahaman tentang hukum tata negara, maka dianalisislah kasus DIY yang menganut sistem monarki yang dianggap tidak sesuai dengan NKRI. Dalam artikel ini menceritakan penyebab munculnya kotroversi DIY ini dan juga pendapat dari berbagai pihak terhadap polemik tersebut. Dasar-dasar hukum dari polemik ini terdapat dalam UUD pasal 18 dan UU pasal 22 tahun 1999 bahkan sekarang sedang dibahas tentang RUU DIY. Yogyakarta. Tetapi hal ini menjadi masalah dalam pemerintahan Indonesia, karena pemerintahan Indonesia menganut sistem demokrasi yang kepemimpinannya dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. 2) Kasus Keistimewaan Yogyakarta Harus Dipertahankan YOGYAKARTA,SENIN-Pemerintah pusat harus menjamin status keistimewaan bagi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tetap dipertahankan. Jaminan itu penting sejalan dengan kian dekatnya masa jabatan periode kedua Gubernur DIY dan Wakil Gubernur DIY, yang dijabat Sultan Hamengku Buwono X dan Paku Alam IX, yang berakhir pada 9 Oktober 2008. Pemerintah pusat juga menjanjikan perpanjangan masa jabatan gubernur dan wagub sampai undang-undang (UU) yang mengatur keistimewaan DIY secara detail selesai. Minggu (28/9), anggota DPRD DIY, Heru Wahyukismoyo, menyebutkan, pemilihan kepala daerah secara langsung sebenarnya tak sejalan dengan Sila IV Pancasila, yakni musyawarah dan mufakat sebagai amanat demokrasi Pancasila. Jadi, jika gubernur-wakil gubernur DIY tak dipilih secara langsung, bukan pelanggaran atas konstitusi. Turbulensi politik ini akibat reformasi konstitusi yang tidak konsisten dengan akar kebangsaan, katanya.. Guru besar sejarah Universitas Gadjah Mada, Joko Suryo, menuturkan, salah satu sisi yang harus menjadi pertimbangan penting dalam pembahasan keistimewaan

1) Pendahuluan Hukum tata negara adalah sekumpulan hukum atau peraturan yang mengatur organisasi dari pada negara, antara lain hukum yang mengatur wewenang dan kewajiban-kewajiban alat-alat perlengkapan negara, mengatur hak, dan kewajiban warga negara, dasar pendirian, struktur kelembagaan, pembentukan lembagalembaga negara, Dapat disimpulkan bahwa hukum tata negara merupakan wilayah dan warga negara.yang menentukan wilayah lingkungan masyarakatnya, dan akhirnya menentukan badan-badan dan fungsinya masing-masing yang berkuasa dalam lingkungan masyarakat hukum itu serta menentukan susunan dan wewenang badanbadan tersebut. Dalam kasus keistimewaan Yogyakarta dinyatakan bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta menginginkan untuk mengatur wilayahnya sendiri. Contohnya dalam proses pemilihan umum (pemilu), Daerah Istimewa Yogyakarta ingin menganut proses pemilihan seperti jaman nenek moyangnya yaitu proses pemilihan umum daerah tersebut harus berdasarkan keturunan raja bukan proses pemilu yang demokrasi (berdasarkan pilihan rakyat, dan yang menjadi pejabat tidak harus keturunan kerajaan). Karena notaben dari Daerah Istimewa Yogyakarta adalah kerajaan, sehingga yang menjadi pejabat merupakan keturunan dari kerajaan. Hal ini disambut hangat oleh masyarakat Daerah Istimewa

DIY adalah konteks sejarah yang melatarbelakanginya. Hanya dengan menilik sejarah berdirinya Keraton Yogyakarta dan penggabungannya ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), kita akan bisa mendapat gambaran lengkap tentang makna keistimewaan DIY itu, ujarnya. Dari segi kesejarahan, Joko mengatakan, Kesultanan Yogyakarta ada lebih dahulu dibandingkan NKRI. Pada masa kolonial, sultan diakui otoritasnya sebagai penguasa wilayah Yogyakarta. Ini berbeda dengan kekuasaan monarki lainnya di Nusantara yang setelah ditaklukkan langsung dihapuskan Belanda, katanya. Hal itu, kata Joko, tak terlepas dari ikatan kuat antara sultan sebagai pengayom dan rakyat sebagai kawulanya. Berdasarkan pertimbangan penasihat pemerintahan kolonial saat itu, penghapusan kesultanan justru akan berpotensi besar menimbulkan gejolak di masyarakat, katanya. Hal serupa juga berlanjut pada masa penjajahan Jepang ketika Kesultanan Yogyakarta berstatus daerah istimewa yang memiliki pemerintahan otonom. Selo Soemardjan dalam bukunya, Perubahan Sosial di Yogyakarta, pun menjelaskan, ketika Jepang datang menggantikan Belanda untuk menjajah negara ini tahun 1942, Sultan Hamengku Buwono (HB) IX meminta agar diperbolehkan memerintah rakyat Yogyakarta secara langsung, tidak melalui pepatih dalem. Jepang meluluskan permintaan itu, bahkan melantik untuk kedua kalinya Raja Keraton Yogyakarta HB IX agar kokoh kedudukannya. Jepang memberi istilah Koti atau Daerah Istimewa Yogyakarta untuk diperintah HB IX. Ikatan kuat antara raja dan rakyat itu, kata Joko, terus berlangsung hingga zaman modern. Salah satu yang menonjol adalah pada masa kepemimpinan HB IX, yang dinilai sebagai pemimpin yang benar-benar menunjukkan karakter kerakyatannya.

Mengenai konteks keistimewaan pada masa kemerdekaan, Joko melihat hal itu jelas tercantum dalam Amanat 5 September 1945 yang dikeluarkan HB IX dan Paku Alam (PA) VIII. Amanat itu menyatakan penggabungan diri Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman ke dalam NKRI dengan status daerah istimewa yang memiliki kekuasaan penuh untuk mengatur wilayahnya. Amanat itu dijawab Presiden Soekarno dengan menyerahkan Piagam Kedudukan kepada HB IX dan PA VIII sebagai tanda persetujuannya pada 6 September 1945 (tertanggal 19 Agustus 1945). Hal itu juga tercantum dalam Pasal 18 UUD 1945, sebelum perubahan, yang menyatakan, negara menghormati daerah yang memiliki status istimewa. Dari tinjauan ini, Joko menilai, secara historis, sosiologis, dan politis, pemerintahan di bawah kepemimpinan sultan adalah sistem yang paling tepat bagi Yogyakarta. Pemerintahan sultan menciptakan stabilitas bagi masyarakat Yogyakarta. Kalau sistem itu diganti, justru bisa menyebabkan instabilitas, katanya. Ketua Senat Akademik UGM Sutaryo mengatakan, tak bisa dimungkiri, ruh keistimewaan DIY adalah kepemimpinan sultan sebagai kepala daerah. Tanpa itu, keistimewaan tidak ada maknanya, katanya. Ketua DPRD DIY Djuwarto berharap pemerintah pusat segera mengesahkan perpanjangan jabatan gubernur sebelum masa jabatan Sultan HB X habis. Hal ini untuk menghindari vakum kekuasaan di DIY, katanya. Mengenai Rancangan Undang- Undang Keistimewaan DIY, Djuwarto mengatakan, masyarakat tidak perlu khawatir karena Komisi II DPR berjanji akan membuka ruang sebesar-besarnya bagi aspirasi masyarakat Yogyakarta. (sig/eng/tra)

3) Pembahasan keistimewaan Jogjakarta dalam Draft RUU antara lain adalah: a. Sultan Hamengkubuwono dan Paku Alam bertahta, walaupun tidak menjadi gubernur dan wakil gubernur, mereka akan tetap jadi orang nomor satu ke kedua di Yogya. b. Pemerintah Daerah yang terpilih harus meminta persetujuan apapun ke Sultan terkait pemerintahan. Bahkan DPRD dalam menyusun anggaran pun harus meminta persetujuan Sultan. c. Kalau Sultan dan Paku Alam mencalonkan diri sebagai gubernur dan wakil gubernur, maka pencalonan itu bersipat perorangan, tanpa melalui partai politik. d. Jika Sultan dan Paku Alam mencalonkan diri, maka kerabat Keraton lainnya tidak boleh mencalonkan diri. e. Jika hanya satu-satunya calon, maka DPRD tidak akan lagi melakukan pemilihan terhadap Sultan dan Paku Alam: Mereka langsung dikukuhkan menjadi gubernur dan wakil gubernur. f. Jika tidak terpilih jadi gubernur dan wakil gubernur, posisi Sultan dan Paku Alam adalah gubernur utama dan wakil gubernur utama. Posisi ini berada di atas gubernur/kepala daerah. Apapun kebijakan kepala daerah harus meminta persetujuan pada gubernur utama (Sultan) dan wakil gubernur utama (Paku Alam). Undang undang tata Negara Dalam menganalisis Kasus tentang permasalahan system pemerintahan di Yogyakarta. Yang pertama dengan menggunakan landasan UUD 45 pada pasal 18A maupun 18B juga pada UU no 22 tahun 1999 yang membahasa langsung tentang keistimewaan Provinsi Yogyakarta.Seperti bunyi dalam Pasal 18A ayat 1 hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan

pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. Jadi dalam memutuskan suatu kebijakan atau wewenang pemerintah harus memastikan keistimewaan Negara itu apakah itu dari segi sejarah atau budaya yang dipunyai oleh provinsi itu sehingga provinsi itu menjadi istimewa. Seperti yang dialami Provinsi DIY dimana dengan sejarah dan budaya yang ada Provinsi Yogyakarta menjadi provinsi istimewa selama ini. Jadi pemerintah sendiri harusnya mengerti dengan keistimewaan dari DIY dan warga Negara Indonesia sendiri merupakan masyarakat yang multicultural jadi pemerintah tidak bisa memaksakan untuk selalu mengikuti suatu kebijakan bahkan suatu kebijakan yang berbau tentang culture masyarakat.Pasal 18B ayat 1 berbunyi Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan UndangUndang begitu juga bunyi pasal 18B ayat 2 yaitu Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-undang. Pada ayat 1 pasal tersebut mungkin persepsi yang dikemukakan oleh Presiden SBY memang benar karena dalam UU telah diatur bahwa Negara Indonesia merupakan Negara yang berdemokrasi jadi system pemerintahan yang monarki yang dianut oleh provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memang salah. Dan dalam ayat 2 dijelaskan Negara mengakui, Negara menghormati hukum adat yang ada tapi harus sesuai dengan prinsip NKRI. Sehingga pertanyaan yang muncul adalah Apakah system yang dianut oleh DIY yang merupakan suatu provinsi

istimewa itu merupakan suatu penyimpangan prinsip dari NKRI?.Pada UU 22 tahun 1999 tentang pemerintahan Daerah pada pasal 122 disitu dituliskan Pengakuan keistimewaan Propinsi istimewa Yogyakarta didasarkan pada asalusul dan peranannya dalam sejarah perjuangan nasional, sedangkan isi keistimewaannya adalah Pengangkatan Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Sultan Yogyakarta dan Wakil Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Paku Alam yang memenuhi syarat sesuai dengan undang-undang ini. Dengan adanya UU ini sebenarnya sudah memastikan bahwa Yogyakarta tidak melanggar prinsip dari NKRI karena sudah adanya pengakuan yang tertulis dan adanya aturan yang mengatur bagaimana keistimewaan itu dan apa bentuk dari keistimewaan tersebut maka kedudukan kedua pemimpin provinsi dan bentuk system yang digunakan oleh DIY juga bukan merupakan suatu kesalahan. 4) Penutup Dengan melihat pada realita yang terjadi pada kasus diatas maka, dapat diambil suatu kesimpulan guna menarik argument yang ada dari masyarakat bahwa penerapan hukum tata Negara di Indonesia belum sesuai dengan undang-undang yang berlaku dan konstitusi yang ada. Sebagaimana telah disebutkan dalam pasal 18 A dan B UUD 1945 yang menyatakan bahwa : 1. Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur Undangundang. 2. Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan

masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang. Sehingga dapat disimpulkan bahwa setiap daerah di Indonesia berhak mengembangkan segala aspek-aspeknya, kebudayaaan maupun otonomi daerahnya selama daerah tersebut masih perprinsip pada kesatuan yang utuh yaitu NKRI dan tetap berjalan sesuai norma dan aturan yang berlaku. Seperti yang terjadi dalam kasus DIY tersebut bahwa seharusnya pemerintah harus mencermati adanya hukum-hukum adat yang berlaku dan bahkan yang telah disahkan oleh UUD maupun UU. Solusi yang kita berikan terhadap polemik yang tertulis dia atas yaitu : 1. Pembuatan suatu RUU yang sedang dirapatkan ini merupakan suatu hal yang bagus tetapi apabila isi RUU tersebut hampir sama dengan UU No. 22 tahun 1999 sebaiknya tidak usah dilakukan. 2. Sebagai seluruh warga Indonesia seharusnya apabila terjadi suatu permasalahan kita harus kembalikan pada konstitusi kita yang berlaku. Jangan langsung bertindak atau menghukum sendiri. 3. Pemerintah seharusnya mempelajari sumber-sumber hukum yang berlaku sebelum memutuskan suatu permasalahan. 4. Adanya suatu penjelasan atau pembelajaran ke masyarakat mengenai sumber-sumber hukum kepada masyarakat. 5. Masyarakat harus menghormati adanya hukumhukum adat yang berlaku dan

adnya keisimewaan yang ada dalm suatu daerah tertentu. Dalam kasus seperti Jogyakarta diatas, hal tersebut dapat dipecahkan melalui koordinasi atau rapat pembahasan tentang UU daerah guna membahas tentang otonomi yang berkaitan dengan keistimewaan suatu daerah. Namun kedua pihak, antara Pemerintah dan Warga harus ada rasa saling menyadari bahwa Indonesia berasal dari berbagai macam suku dan ras sehingga

pluralisme sudah tentu ada.Oleh karena itu, peraturan daerah yang dibuat seharusnya dapat menjadi jalan tengah bagi kasus seperti diatas. 5) Daftar Pustaka http://www.hukumtatanegaraindones ia.blogspot.com/ UUD 1945 UU Indonesia

Anda mungkin juga menyukai