Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH EKONOMI SUMBERDAYA ALAM

Dualisme Ekonomi Keterkaitannya Terhadap Globalisasi Pertanian dan Konflik Sumberdaya Alam Yang Muncul di Indonesia Dosen : Prof. Dr. Maryunani, SE.,MS

ANDISTYA OKTANING .L (0910210022) JURUSAN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG

I.

PENDAHULUAN Tiga permasalahan pokok yang dihadapi oleh negara sedang berkembang adalah sebagai berikut: berkembangnya ketidakmerataan pendapatan, kemiskinan, gap atau jurang perbedaan yang semakin lebar antara negara maju dengan negara sedang berkembang. Dalam pelaksanaan pemberdayaan masyarakat (ekonominya) dibanyak negara termasuk di Indonesia terlalu menekankan pentingnyaperanan modal alam (natural Capital) dan modal ekonomi (Economic Capital) modern seperti barang-barang modal buatan manusia, teknologi dan manajemen, dan sering mengabaikan pentingnya modal sosial seperti kelembagaan lokal, kearifan lokal, norma-norma dan kebiasaan lokal. Meskipun secara sadar, pemberdayaan masyarakat (ekonomi) dirancang sebagai bagian dari pembangunan masyarakat, pada kenyataannya perkembangan ekonomi seakan-akan terlepas dan tidak berakar dengan masyarakat itu sendiri. Akibatnya, pemberdayaan masyarakat (ekonominya) yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat terasa asing bagi masyarakat itu sendiri, kurang memberi manfaat yang ujung-ujungnya menampilkan perkembangan ekonomi dualistik dan sarat dengan ketimpangan sosial ekonomi. Istilah negara yang sedang berkembang merupakan sebutan bagi negara-negara yang belum maju atau negara yang masih terbelakang. Dikatakan negara yang sedang berkembang (developing countries) karena negara ini sedang berusaha keras untuk mengembangkan diri dengan melakukan pembangunan ekonomi guna meningkatkan kemakmurannya. Negara-negara yang sedang berkembang ini sebagian besar berada di benua Asia dan Afrika. Dilihat dari penampilan fisik, suatu negara termasuk kategori negara sedang berkembang apabila keadaannya miskin, tingkat hidup penduduk masih rendah, rumah-rumah penduduk masih sederhana, di kota-kota masih banyak pengemis, belum banyak pabrik atau industri, jalan-jalan dan komunikasi maupun transportasi masih kurang, sebagian besar penduduk pendidikannya masih rendah, dan usaha pertambangan dan industri besar dilakukan oleh perusahaan asing. Menurut M. Meier dan RE. Baldwin, yang dikutip oleh Irawan dan Suparmoko (1974: 29-32), dikemukakan bahwa ciri-ciri umum negara yang miskin atau negara yang sedang berkembang ada enam macam, yakni:sebagai produsen barang-barang primer; sumber-sumber alam belum diolah; menghadapi tekanan penduduk; penduduknya masih terbelakang; kekurangan kapital atau modal; dan orientasi perdagangan ke luar negeri. Menurut Todaro (2000) ciri-ciri umum dari setiap negara sedang berkembang dapat diklasifikasikan menjadi tujuh kategori utama sebagai berikut: standar hidup yang rendah, produktivitas yang rendah, tingkat pertumbuhan penduduk dan beban ketergantungan yang terlampau tinggi, tingkat pengangguran penuh dan terselubung yang terlalu tinggi dan terus melonjak, ketergantungan terhadap produksi pertanian dan ekspor barang-barang primer, pasar yang tidak 2

sempurna dan informasi yang tidak memadai, dominasi, ketergantungan, dan Kerapuhan dalam Hubungan Internasional. Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya ketidakmerataan distribusi pendapatan di negara sedang berkembang, menurut Irma Adelman & Cynthia Taft Morris adalah sebagai berikut: menurunnya pendapatan per kapita, inflasi, ketidakmerataan pembangunan antar daerah, investasi yang sangat banyak dalam proyek-proyek yang padat modal (capital intensive), sehingga persentase pendapatan modal dari harta tambahan lebih besar dibandingkan dengan persentase pendapatan yang berasal dari kerja. Hal ini mengakibatkan pengangguran bertambah, rendahnya mobilitas sosial, pelaksanaan kebijaksanaan industri substitusi impor yang mengakibatkan kenaikan harga-harga barang hasil industri untuk melindungi usaha-usaha golongan kapitalis, memburuknya nilai tukar (term of trade) negara sedang berkembang dalam perdagangan dengan negara-negara maju, sebagai akibat ketidakelastisan permintaan negara-negara maju terhadap barang-barang ekspor negara sedang berkembang, hancurnya industri-industri kerajinan rakyat, seperti pertukangan, industri rumah tangga dan lain-lain. Dalam situasi dualisme biasanya negara berkembang hanya memiliki substitusi modal dan tenaga kerja sangat terbatas. Oleh karena itu, prioritas upaya untuk memperkuat kemandirian bangsa adalah sangat tepat jika diletakkan pada Pemberdayaan ekonomi rakyat (sektor-sektor pedesaan dan tradisional, termasuk subsektor sumberdaya alam rakyat) sebagai contoh, perekonomian Indonesia akan menjadi kuat jika terjadi perubahan struktur ekonomi rakyat, yang dicirikan oleh struktur industri ke arah nilai tambah yang tinggi dan hemat energi yang terkait dengan sumberdaya alam di pedesaan. Sektor pertanian atau tradisional adalah sumber utama kekayaan bangsa Indonesia. Untuk mencapai sasaran tersebut sangat diperlukan adanya reformasi ekonomi, yang tidak hanya mencakup reformasi di bidang moneter dan fiskal serta perbankan, tetapi juga reformasi strategi pembangunan, yaitu meletakkan prioritas pada penguatan sektor pedesaan atau sektor tradisional. Sektor ini perlu dipadukan baik kedalam reformasi perekonomian nasional maupun reformasi perekonomian dunia; kemudian diikuti dengan evolusi reformasi politik, yaitu timbulnya pemerintah yang kuat, yang menjamin tegaknya hukum, tertib hukum dan peningkatan pajak. II. TEORI Teori J.H. Boeke tentang dualisme ekonomi di negara berkembang bergantung pada anugerah alami yaitu sumber daya sebagai penunjang pertumbuhan ekonomi dan pembangunan karena dalam ekonomi berkembang, modal alami mungkin hanya sumber modal yang tersedia langsung dari alam. Selain itu, banyak negara yang beruntung memiliki sumber daya alam yang melimpah untuk mengeksploitasi, meskipun seperti yang telah kita lihat, kemungkinan besar bentuk modal alami yang tersedia untuk negara berkembang 3

adalah mungkin tanah. Mengingat pentingnya modal alam untuk pembangunan berkelanjutan, orang bisa menyimpulkan bahwa kelimpahan sumber daya yang lebih besar harus meningkatkan kinerja ekonomi. Artinya, ekonomi yang memiliki sumbangan yang lebih besar dari sumber daya alam pasti memiliki kesempatan yang lebih baik untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran yang lebih tinggi dari ekonomi yang relatif miskin sumber daya. Ini harus terutama berlaku sehubungan dengan negara berpenghasilan rendah dan menengah, yang perekonomiannya bergantung pada umumnya lebih mengeksploitasi persediaan modal alami mereka dalam transisi untuk mengembangkan sektor industri dan jasa dan 'lepas landas' ke tingkat yang lebih tinggi dan lebih seimbang panjang pertumbuhan jangka. Pola penggunaan sumberdaya dalam negara-negara berkembang cukup relevan dengan masalah kerusakan sumberdaya dan kemiskinan. 'Dualisme' ini diungkapkan oleh kekhawatiran penggunaan sumber daya agregat dan ketergantungan dalam ekonomi global. Misalnya, fakta menunjukkan bahwa ekonomi yang paling rendah dan menengah sangat tergantung pada eksploitasi sumber daya alam. Dalam hal ini ketergantungan ekonomi di negara berkembang pada sumber daya alam berkorelasi negatif dengan kinerja ekonomi di negara tersebut. Implikasi bagi negara-negara berpenghasilan rendah adalah bahwa 'lepas landas' menjadi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan seimbang, dengan demikian ketergantungan ekonomi keseluruhan pada sumber daya alam akan bertahan dalam jangka menengah dan panjang. Jadi, salah satu indikator dari teori ini adalah dualisme tingkat ketergantungan sumber daya ekonomi, yang diukur dengan pangsa komoditas primer dalam total ekspor. Seperti halnya di sektor pertanian yang telah memberikan sumbangan yang nyata dalam perekonomian nasional yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia, mempercepat pertumbuhan ekonomi, mengurangi kemiskinan, menyediakan lapangan kerja, dan menyeimbangkan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Sebagai sektor ekonomi, pertanian mempunyai fungsi yaitu: menghasilkan bahan pangan, pakan, agroindustri dan bioenergi; meningkatkan kapabilitas petani dan keluarganya; menghasilkan devisa, pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) pertanian, serta membantu menjaga keseimbangan lingkungan dengan praktek usaha tani yang ramah lingkungan. Dihadapkan pada berbagai perubahan dan perkembangan lingkungan yang sangat dinamis seperti meningkatnya populasi penduduk; meningkatnya impor produk pertanian; tekanan globalisasi dan liberalisasi pasar; pesatnya kemajuan teknologi dan informasi; makin terbatasnya sumberdaya lahan, air dan energi; banyaknya jaringan infrastruktur pertanian yang rusak; menurunnya minat kaum muda pada usaha pertanian, serta perkembangan dinamis sosial budaya masyarakat, maka pembangunan pengolahan dan pemasaran hasil pertanian di Indonesia ke depan menghadapi berbagai macam tantangan.

Tantangan tersebut antara lain bagaimana meningkatkan ketersediaan bahan pangan, pakan, bioenergi dan agroindustri produk dalam negeri; memperbaiki sistem distribusi dan meningkatkan diversifikasi konsumsi dan keamanan pangan; meningkatkan nilai tambah, mutu dan daya saing produk pertanian di pasar domestik dan internasional, regulasi dan deregulasi peraturan dan perundangan bidang pengolahan dan pemasaran hasil pertanian. Rencana Strategis (Renstra) Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian ini merupakan dokumen perencanaan yang berisikan visi, misi, tujuan, sasaran, kebijakan, strategi, program dan kegiatan Ditjen PPHP yang akan dilaksanakan selama lima tahun ke depan (2010-2014). Dokumen ini disusun berdasarkan analisis strategis atas potensi, peluang, tantangan dan permasalahan termasuk isu strategis terkini yang dihadapi dalam pembangunan pengolahan dan pemasaran hasil pertanian selama lima tahun ke depan. Sekali lagi, petunjuk penting untuk mengungkap paradoks dari kinerja ekonomi yang buruk dari berbasis sumber daya negara-negara berkembang saat ini dapat ditemukan fakta penggunaan sumber daya alam dalam perekonomian. Sebagai contoh, negara-negara berkembang saat ini adalah memulai sebuah pola pengembangan sumber daya-tergantung yang memuncak dalam eksploitasi sumber daya perbatasan, terutama dalam bentuk perluasan lahan pertanian dan stres kronis pada sumber daya air tawar, tetapi hasil akhir tidak tidak menghasilkan banyak di jalan kemajuan ekonomi yang berkelanjutan. III. ISI 3.1 Studi Kasus Dualisme Ekonomi di Negara Berkembang: Dualisme Ekonomi Keterkaitannya Terhadap Globalisasi Pertanian dan Konflik Sumberdaya Alam Yang Muncul di Indonesia a. Globalisasi Pertanian Globalisasi secara teoritis penuh dengan tuntutan atas negaranegara yang ingin (dipaksa harus) terlibat, seperti mengendurkan bea masuk, mengendurkan proteksi, mengurangi subsidi, memangkas regulasi ekspor-impor, perburuhan, investasi, dan harga, serta melakukan privatisasi atas perusahaan milik negara. Kondisi tersebut tidak akan banyak membawa produk-produk lokal ke pasar internasional. Sekalipun perusahaan - perusahaan TNCs (Trans Nasional Cooperations) dibebani tanggungjawab sosial, namun fenomenanya tidak akan jauh berbeda dengan pola kemitraan atau contract farming yang pada hakekatnya bermodus eksploitasi. Dalam hal ini Indonesia yang tergolong sebagai negara agraris, masih diliputi oleh konflik ini namun keterkaitannya terhadap globalisasi pertanian yang marak terjadi.

Genderang globalisasi pertanian di Indonesia sesungguhnya telah dimulai sejak pemerintah kolonial Belanda menerapkan kebijakan hongitochten, yaitu cara perdagangan monopoli yang disertai dengan penghancuran kebun-kebun/hutan-hutan rempah penduduk yang berani menyaingi monopoli perdagangan tersebut (Satari, 1999). Pada tahun 1830 globalisasi semakin kentara dengan diterapkannya kebijakan tanam paksa (cultur stelsel). Tanah sebagai sumberdaya alam yang penting dikuasai oleh Pemerintah Kerajaan Belanda yang di desa diwakili Kepala Desa dan dipinjamkan kepada petani, dan petani harus membayarnya. Pada tahun 1870 Pemerintah Kerajaan Belanda memberlakukan UndangUndang Agraria (Agrarische) sebagai pelumas masuknya modal swasta Eropa sebagai tonggak pertanian modern (estate). Rakyat pedesaan yang semula merupakan petani mandiri berubah status menjadi buruh perkebunan, dan berakhir di awal abad ke 19 (VOC bangkrut).

Globalisasi pertanian di Indonesia memuncak pada era 1970-an, ketika program Revolusi Hijau (Green Revolusion) intens diintroduksikan. Berbagai input luar produk dari perusahaan-perusahaan TNCs dipaksakan kepada petani untuk diterapkan. Puncaknya tercapai tahun 1985, yaitu swasembada beras. Setelah itu intensitas dan eskalasi pasar input luar semakin menggila seiring dengan dikembangkannya konsepsi agribisnis. Di penghujung abad 20, kebijakan ekonomi makro Indonesia semakin jelas tepolarisasi pada pertumbuhan. Implikasinya, alokasi sumberdaya untuk pembangunan pertanian tergeser oleh sektor manufaktur sebagai sektor prioritas. Dengan demik ian, pembangunan yang selayaknya agricultureled menjadi di dominasi oleh pemba ngunan yang bersifat manufacturing industries-led.

Meningkatnya respon negatif dari berbagai kalangan atas dampak negatif program Revolusi Hijau tidak lantas membuat TNCs terhenti. Melalui sosialisasi pada berbagai ruang publik, TNCs pun dapat melangkah dengan mulus lewat pendekatan Agribisnis. Lewat pendekatan inilah senyatanya TNCs dapat dengan mudah mengintegrasikan pasar nasional kedalam pasar internasional yang dikuasai dan dikontrolnya. Melalui pendekatan Agribisnis dominasi TNCs diperhalus dengan menghadirkan keragaman istilah yang sepertinya berbau pemerataan, seperti Contrac Farming, Kemitraan (PIR, TRI), Rice Estate, Corporate Farming, dan sebagainya. Dengan demikian, perbudakan dan pemarginalan petani menjadi tidak kentara. Secara sosial praktis, TNCs pun menjadi baking para petani berdasi dalam segala hal. Ini merupakan praktik efisiensi yang perlahan namun pasti akan menyingkirkan para 6

petani kecil (fenomenanya dapat kita saksikan pada usaha tani sayuran di Dataran Tinggi, poultryshop, dsb) b. Konflik Sumber Daya Alam di Riau sepanjang tahun 2008 Berdasarkan catatan Badan Pertanahan Nasional (BPN), sedikitnya ada 7.491 konflik agraria yang saat ini sedang ditangani BPN dan Kepolisian Republik Indonesia. Tingginya konflik ini disebabkan oleh adanya ketimpangan penguasaan sumber daya alam antara masyarakat yang menggantungkan hidup dari sumber ekonomi berbasis sumber daya alam (tanah, hutan, perkebunan, jasa lingkungan dll) dengan penguasaan oleh sektor bisnis, khususnya sektor industri skala besar perkebunan, kehutanan dan pertambangan, dan penguasaan oleh negara yang masih menegasikan adanya hakhak masyarakat adat/lokal (tenurial, tradisional, ulayat). Untuk konteks di Provinsi Riau, Konflik-konflik tersebut terjadi didominasi oleh maraknya penguasaan sumber daya alam oleh perkebunan besar kelapa sawit dan Hutan Tanaman Industri untuk bahan baku industri bubur dan kertas (pulp dan paper), disamping untuk kepentingan perlindungan kawasan hutan konservasi dan lindung. Sepanjang tahun 2008, Scale Up mencatat sedikitnya ada 96 konflik sumber daya alam, dengan luas lahan konflik 200.586,10 hektar. Wujud konflik di lapangan bukan hanya terjadi antara 2 pihak, melainkan bisa lebih, bahkan pemerintah seringkali juga sebagai pihak yang langsung terlibat, baik sebagai pemicu maupun dalam posisi membela salah satu pihak ataupun dengan alasan penegakan hukum positif, seperti dalam kasus penertiban masyarakat kawasan konservasi. Konflik di Industri Kehutanan (Hutan Tanaman Industri)

Hutan Tanaman Industri mulai berkembang di Riau hampir bersamaan dengan Perkebunan, sebagai bentuk ekspansi setelah industri ini terlebih dahulu eksis di Sumatera utara (PT. Inti Indo Rayon). Dalam praktek penguasaan sumber daya alam, Hutan Tanaman Industri relatif lebih besar mendapat resistensi dari masyarakat dibanding perkebunan, karena merupakan komoditi yang tidak memiliki pasar yang bebas seperti kelapa sawit dan masa panennya 6-7 tahun sekali. Makanya untuk mengatasi resistensi masyarakat, industri ini cendrung memperkuat program sosialnya melalui Corporate social Responsibility (CSR). Walaupun pada kenyataannya program CSR yang ada tetap saja belum efektif meredam konflik dengan masyarakat sekitarnya. Di beberapa daerah konflik yang mendapat perlawanan masyarakat cukup kuat, industri ini mencoba menyelesaikan konflik dengan cara membangunkan kebun sawit atau karet untuk masyarakat korban, dan menawarkan skema kerja sama dalam bentuk Hutan Tanaman Rakyat (HTR).

Secara umum industri ini karena tingginya resistensi masyarakat, relatif lebih memiliki beragam alternatif penyelesaian konflik dibandingkan perkebunan kelapa sawit. Namun tetap saja tuntutan masyarakat korban terhadap lahan mereka yang dikuasai perusahaan terjadi dimana-mana. Dalam beberapa kasus menyebabkan bentrok fisik seperti yang terjadi baru-baru ini antara masyarakat Dusun Suluk Bungkal Desa Beringin Kecamatan Pinggir Kabupaten Bengkalis 8

dengan Kepolisian Daerah Riau yang membantu PT. Arara Abadi mengamankan lahannya dari okupasi masyarakat (Serikat Tani Riau). Selama tahun 2008 Scale Up mencatat sedikitnya ada 24 konflik antara masyarakat dengan sektor Kehutanan di Riau, dengan lahan konflik seluas 85.771 hektar. Konflik-konlfik yang ada merupakan konflik berkepanjangan yang terjadi sejak tahun-tahun sebelumnya, tapi belum mendapatkan penyelesaian yang memadai.Tentu saja hal ini menyebabkan warga miskin di pedesaan meningkat hal ini dikarenakan kebijakan ekonomi pemerintah cenderung memfasilitasi penduduk di perkotaan ketimbang warga desa. Pemerintah lebih mementingkan kegiatan di sektor industri/jasa daripada sektor primer (pertanian) yang jadi gantungan hidup mayoritas (43 persen) warga, terutama di pedesaan. Data-data menunjukkan, sebagian besar rumah tangga petani (73,4 persen) adalah petani padi/palawija. Ini menggambarkan dua hal sekaligus: sebagian besar petani miskin, dan sebagian besar orang miskin itu petani. Konsep yang kita kenal tentang urban-rural linkages tak berjalan. Akhirnya, kota makin perkasa, sedangkan desa justru kian merana. Ini terjadi akibat kesalahan strategi industrialisasi. Bukannya membuat sejahtera, industrialisasi malah memiskinkan sektor pertanian. Industrialisasi telah menciptakan dualisme ekonomi: ekonomi padat modal, teknologi, dan modern di perkotaan, dan ekonomi tradisional padat tenaga kerja di pedesaan. Tiadanya keterkaitan di antara keduanya membuat kedua wilayah kian tertutup satu sama lain. Ketidakseimbangan pembangunan antara Indonesia bagian barat dan timur, khususnya antara Jawa dan non-Jawa, juga kian serius. Disparitas antardaerah ini sudah terjadi sejak dulu, tapi hingga kini belum ada perbaikan. Pada 2010, kawasan barat (Jawa+Sumatra) menguasai 81 persen PDB nasional dengan Jawa yang hanya 9 persen dari luas wilayah menguasai 58 persen PDB nasional. Jawa juga menjadi sentra ekonomi sekunder dan tersier, sedangkan luar Jawa ekonomi primer. Menumpuknya tenaga kerja di sektor pertanian/pedesaan memperlemah kapasitas pertanian Indonesia. Hal ini ditunjukkan oleh makin meningkatnya jumlah petani gurem dan rusaknya sumber daya pertanian, baik lahan, DAS, maupun hutan. Menumpuknya tenaga kerja di sektor pertanian yang tidak diimbangi kemampuan sektor ini dalam memberikan penghidupan layak bagi para petani dan tenaga kerja pertanian bukan hanya meningkatkan pengangguran dan kemiskinan di pedesaan serta meningkatkan kesenjangan desa-kota dan pertanianindustri, tapi juga melumpuhkan seluruh perekonomian nasional. Kondisi ini akan mempengaruhi kemampuan petani dan sektor pertanian dalam 9

menopang pangan, pakan, sandang-papan, dan bahan bakar secara berkesinambungan untuk menjamin kualitas (jiwa, raga, dan kecerdasan) warga dan generasi mendatang. Tanpa mengubah insentif ekonomi, dualisme ekonomi ini akan tetap langgeng. Ke depan, sistem ekonomi harus dikembalikan kepada konstitusi. Kekayaan alam yang dimiliki negeri ini harus dikelola untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Lalu, formulasi insentif fiskal seharusnya diarahkan sesuai dengan kepentingan nasional. Sampai beberapa tahun ke depan, masalah pengangguran dan kemiskinan masih akan menjadi isu terpenting, sehingga insentif fiskal harus ditujukan untuk mengatasi dua soal itu. Karena itu, insentif fiskal harus didorong untuk mengembangkan sektor pertanian, pertambangan, dan industri agar pertumbuhan ekonomi tidak selalu ditopang sektor non-tradable. 3.2 Pembahasan Salah satu ciri penting dari negara berkembang seperti telah dijelaskan adalah: perekonomiannya bersifat dualistik. Maksudnya, dalam perekonomian kegiatan ekonomi dapat dibedakan kepada dua golongan: kegiatan ekonomi modern dan kegiatan ekonomi tradisional. Beberapa pendapat telah dikemukakan tentang akibat yang kurang menguntungkan dari adanya dualisme tersebut terhadap kemungkinan untuk mengembangkan perekonomian, terutama yang masih menjalankan kegiatan-kegiatannya secara tradisional. Analisis-analisis tersebut pada dasarnya menunjukkan bahwa ciri ekonomi yang bersifat dualistik tersebut, terutama dualisme sosial dan teknologi, menimbulkan keadaan-keadaan yang menyebabkan mekanisme pasar tidak berfungsi secara semestinya. dan ketidaksempurnaan mekanisme pasar ini selanjutnya mengakibatkan sumber daya yang tersedia tidak digunakan secara efisien. Indonesia pada dasarnya adalah negara agraris, negara dengan sumberdaya dasar pertanian. Dengan demikian, pembangunan (ekonomi) Negara ini seharusnya berkembang atas dasar kemampuan sumberdaya pertaniannya. Perjalanan sejarah sejak kemerdekaan memang menunjukkan berbagai dinamika pembangunan ekonomi nasional bangsa ini. Ada pasang dan ada pula surutnya. Berbagai catatan kisah sukses pertanian pernah dilalui, sejak peningkatan produksi dan produktivitas berbagai komoditas baik tanaman pangan, perkebunan, peternakan, hortikultura maupun perikanan, hingga tercapainya swasembada pangan beras dan gula di tahun 80-an. Sebaliknya kerumitan permasalahan tidak juga semakin reda, sejak masalah-masalah infrastruktur, kelembagaan, tataniaga, SDM, ketenagakerjaan, hingga kepada masalah kesiapan memasuki globalisasi dan daya saing. 10

Pertanian dalam berbagai masa GBHN senantiasa menjadi backbone strategi pembangunan ekonomi nasional. Berbagai persoalan besar bangsa seperti peningkatan ketahanan pangan, pertumbuhan ekonomi dan wilayah, kesempatan kerja, peningkatan ekspor, dan pemeliharan lingkungan, ditumpukan pada kinerja pembangunan pertanian. Sungguh besar peran strategis ekonomi pertanian dilihat dari kacamata tersebut. Namun ironisnya, sampai saat ini, hampir 60 tahun sejak kemerdekaan justru catatan tingkat pendapatan dan kesejahteraan para petani, peternak, pekebun dan nelayan tidak pernah beranjak lebih baik secara riil dibandingkan pelaku pembangunan lainnya. Nilai tukar penghasilan riil mereka stagnan atau justru semakin menurun, kesempatan berusaha di bidang pertanian semakin sulit dan rumit karena semakin menyempitnya sumberdaya fisiknya, infrastruktur dan teknologi yang cenderung tidak bertambah dan tidak bersaing, serta lingkungan internal maupun eksternal yang semakin tidak friendly terhadap pertanian. Globalisasi pertanian secara kausalistik muncul sebagai respon atas tesis Malthus (1766-1834). Ini merupakan perwujudan dari idiologi kapitalistik yang berkarakter efisiensi (profit maxization), competition for gain, freedom, un-security, dan un-sustainability (sementara) yang eksis dalam naungan prudence atau the invisible hand (Adam Smith). Un-security inilah yang mendorong revolusi industri, pencarian dan penaklukkan, imperialisme atau kolonialisme di dunia, dan penemuan lewat rekayasa genetik. Pada dasarnya, un-security-lah yang melandasi semangat evolusi, dan social darwinisme. Globalisasi secara teoretis penuh dengan tuntutan atas negara-negara yang ingin (dipaksa harus) terlibat, seperti mengendurkan bea masuk, mengendurkan proteksi, mengurangi subsidi, memangkas regulasi eksporimpor, perburuhan, investasi, dan harga, serta melakukan privatisasi atas perusahaan milik negara. Kondisi tersebut tidak akan banyak membawa produk-produk lokal ke pasar internasional. Sekalipun perusahaanperusahaan Trans National Corporations (TCNs) dibebani tanggung jawab sosial, namun fenomenanya tidak akan jauh berbeda dengan pola kemitraan atau contract farming yang pada hakekatnya bermodus eksploitasi. Syarat-syarat yang ditetapkan sesungguhnya merupakan perangkap yang sulit ditembus oleh negara dunia ketiga. Kecenderungannya akan mempercepat proses penurunan daya saing produk lokal. Pada perkembangnnya, segala sesuatu yang berbau lokal akan melemah dan hilang. Mahatir (Kompas, 5/2/2004) berpendapat bahwa pengintegrasian perekonomian dunia hanya akan membawa malapetaka bagi negara berkembang. Itu bukan hanya merusak ekonomi lokal, tetapi juga akan menciptakan perlambatan ekonomi, anarki ekonomi, dan kekacauan sosial (social chaos).

11

Mander, Barker, dan Korten (2003) menyatakan bahwa globalisasi ekonomi justru menciptakan kon disi sebaliknya dari klaim para penganjurnya. Kegagalan itu tidak hanya disuarakan oleh oposisi tetapi juga oleh para pendukungnya. UNDP (1999) melaporkan bahwa ketimpangan antar petani kaya dengan petani miskin semakin meluas setelah diberlakukannya globalisasi. Adalah sistem perdagangan dan sistem keuangan global sebagai biang keroknya. Menurut CIA, globalisasi tidak menyentuh kaum miskin, termasuk petani gurem (peasant) yang jumlahnya sangat dominan di Indonesia. Globalisasi cenderung menghancurkan tatanan dan modal -modal sosial. Meskipun gagasannya di tuangkan dalam kerangka pemberdayaan masyarakat sebagai penampakan corporate social responsibility TNCs, namun hasilnya tetap tidak pernah terwujud. Menurut Pollnac (1988) dan Garkovich (1989), menghadirkan sebuah lembaga baru dalam suatu masyarakat dengan maksud memotong struktur hubungan atau jaringan (sosial, komunikasi, kerja) yang telah terpola atau berlangsung mapan, merupakan skenario yang tidak mengindahkan karakterist ik sosio-budaya dan pranata lokal, dan dengan ini kegagalan bisa terjadi. Hasil penelitian FAO atas negara-negara yang mengimplementasikan kesepakatan putaran uruguay di 16 negara menunjukkan telah terjadinya trend konsentrasi pertanian yang jelas berakibat pada marginalisasi petani kecil, meningkatnya pengangguran dan angka kemiskinan. Impor berbagai produk dan bahan baku pertanian kian hari kian meningkat. Meskipun jumlah produk pertanian yang diekspor dan dipasarkan di pasar domestik jauh lebih tinggi daripada impor, namun selisih nilainya hanya 2 persen (Khudori, 2003). Nilai 2 persen sesungguhnya tidak berarti, karena jika dianalisis, nilai transaksi berjalan produk pertanian Indonesia itu sesungguhnya devisit. Betapa tidak, produk pertanian yang diekspor oleh Indonesia sesungguhnya adalah produk yang padat dengan input luar (impor). Keunggulan produk tersebut jelas sangat bersifat kompetitif semu (shadow competitivenes). TNCs sebagai pihak yang paling tahu akan efisiensi memandang bahwa proses produksi usaha tani (on-farm) sangat rentan terhadap risiko dan ketidakpastian, untuk itu ia menerapkan strategi kemitraan atau contarc farming. Memang sebagai pemaklun yang sangat ketergantungan, petani Indonesia masih merasakan keuntungan. Sebagaimana dikatakan Evans (1979) dan Warren (1980), negara ketiga bisa menikmati kemajuan meskipun berada dalam kondisi ketergantungan, suatu proses yang disebutnya sebagai dependent development. Namun keuntungan tersebut jauh lebih rendah dibandingkan dengan biaya dan kerugian yang harus ditanggung, seperti perkembangannya, tesis Malthus bersimbiosis dengan keyakinan dan mitos efficiency sebagai satu-satunya prinsip dasar yang har us dipergunakan dalam 12

pengelolaan lingkungan alam, ekonomi, dan berbangsa. Mitos tersebut kemudian berlanjut pada mitos lain, bahwa hanya Trans National Corporations (TNCs) yang memiliki jaringan pemasaran internasional yang sudah mapan-lah yang paling efisien, dan oleh karenanya TNC lah yang dipercaya dan ditaklidi sebagai pihak yang paling berhak sebagai penyedia pangan dunia. Dalam hal ini kaitan dualisme ekonomi terhadap globalisasi pertanian adalah meningkatnya peluang kelangkaan produksi komoditas-komoditas pertanian. Dalam kondisi tersebut, prioritas pembangunan pertanian diarahkan kepada peningkatan produksi dan pemenuhan serta pencapaian kecukupan bahan panga, terutama beras. Namun, peningkatan produksi saja ternyata sulit untuk meningkatkan kesejahteraan petani di pedesaan. Oleh karena itu, sejak tahun 1994 paradigma pembangunan pertanian mengalami perubahan dari pendekatan produksi menjadi pembangunan pertanian berorientasi agribisnis. Permasalahan mendasar bangsa ternyata sebagian besar berada pada petani dan masyarakat perdesaan yaitu kemiskinan, keterbelakangan, ketidakberdayaan dan pengangguran. Lebih lanjut disampaikan sebuah tawaran untuk pemecahan masalah mendasar bangsa tersebut yaitu dengan mengupayakan profit center berada pada petani. Prinsip tersebut seyogyanya merupakan paradigma pembangunan pertanian pada saat ini dan di masa depan yang harus dihayati dan menjadi acuan operasional bagi seluruh pemangku kepentingan. Faktor-faktor internal yang dominan mempengaruhi kemampuan petani dalam meningkatkan kesejahteraannya antara lain adalah masalah penguasaan sumberdaya, terutama: (1). Sumberdaya alam, (2). Teknologi, khususnya teknologi pasca panen dan pengolahan hasil, (3). Modal dan (4). Informasi, khususnya informasi pasar, akses kepada teknologi dan modal. Sedangkan faktor eksternal antara lain menyangkut: (1). System pembinaan, (2). Kebijakan ekonomi makro, (3). Kebijakan khusus, seperti kebijakan perdagangan menyangkut komoditas tertentu, dan (4). Perubahan lingkungan strategis yang potensial menjadi tantangan dan menimbulkan permasalahan bagi petani. Dari permasalahan yang telah dikemukakan menunjukkan bahwa peluang bagi petani di perdesaan untuk meningkatkan kesejahteraannya melalui perolehan nilai tambah hasil pertanian dapat terlaksana apabila petani di perdesaan dapat menguasai proses pengolahan dan pemasaran komoditas yang diusahakan, atau penerapan system agribisnis secara utuh. Mencermati situasi di atas, jelas sangat diperlukan upaya-upaya pengembangan agribisnis yang lekat dengan peningkatan pemberdayaan (empowering) masyarakat agribisnis terutama skala mikro dan kecil dalam suatu kebijakan yang berpihak. Keberpihakan kebijakan semacam itu sangat (baca: mutlak) diperlukan untuk mengatasi berbagai kendala dan 13

tantangan pengembangan agribisnis yang beriorentasi ekonomi kerakyatan keadilan, dan sekaligus meningkatkan daya saing dalam iklim kebersamaan pelaku - pelaku ekonomi lainnya. Untuk itu, sebagai prasyarat keharusan diperlukan suatu iklim kebijakan yang mendorong terbangunnya institusi (kelembagaan) yang mampu meningkatkan posisi petani menjadi bagian dari suatu kebersamaan entitas bisnis, baik dalam bentuk kelompok usaha bersama, koperasi, korporasi (community corporate) ataupun shareholder. Upaya kelembagaan tersebut diyakini akan dapat menjadi nilai (value) baru, semangat baru bagi petani untuk terutama dapat melonggarkan keterbatasan-keterbatasannya, seperti akses terhadap sumberdaya produktif (terutama lahan), peningkatan produktivitas kerja, akses terhadap pelayanan dan rasa keadilan, serta meningkatkan rasa percaya diri akan lingkungan yang aman, adil dan transparan. IV. KESIMPULAN Tiga permasalahan pokok yang dihadapi oleh negara sedang berkembang adalah sebagai berikut: berkembangnya ketidakmerataan pendapatan, kemiskinan, gap atau jurang perbedaan yang semakin lebar antara negara maju dengan negara sedang berkembang. Berdasarkan teori J.H. Boeke tentang dualisme ekonomi di negara berkembang dimana bergantung pada anugerah alami suatu negara terhadap sumber daya untuk pertumbuhan ekonomi dan pembangunan karena dalam ekonomi berkembang, modal alami mungkin hanya sumber modal yang tersedia langsung dari alam. Adapun dikarenakan Indonesia negara agraris maka kasus dualisme ekonomi didominasi atas globalisasi pertanian yang telah dimulai sejak pemerintah kolonial Belanda menerapkan kebijakan hongitochten, yaitu cara perdagangan monopoli yang disertai dengan penghancuran kebun/hutan rempah penduduk yang berani menyaingi monopoli perdagangan tersebut disingkirkan sehingga menimbulkan konflik karena ketimpangan penguasaan sumber daya alam. Oleh karena itu untuk meminimalisir dampak negative dari globalisasi dan konflik pertanian yang terjadi diperlukan upaya pengembangan agribisnis yang lekat dengan peningkatan pemberdayaan (empowering) masyarakat agribisnis terutama skala mikro dan kecil dalam suatu kebijakan yang berpihak.

14

Daftar Pustaka Buku :


Ramon Lopez and Michael A. Toman. Economic Development And Environmental Sustainability. Oxford : The Initiative for Policy Dialogue Series Endang Mulyani,dkk. 2007. Ekonomi Pembangunan. Jakarta : Universitas Terbuka

M.L.Jhigan.1994. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Jurnal : Ahmad Zazali dan Hary Oktavian. Konflik Sumber Daya Alam, Ancaman Keberlanjutan (Catatan Kritis Akhir Tahun 2008). 2 November 2011.fe-unimal.org

Abbas, Tarmizi. Modal Manusia dan Pertumbuhan Ekonomi. 2 November 2011. elib.pdii.lipi.go.id

Alan. Alam dan Teknologi. 2 November 2011. kerohanianpskh.multiply.com

Pengelolaan Sumberdaya Berbasis Masyarakat Adat. 2 November. dte.gn.apc.org

Mengurangi Belenggu Ekonomi Dualistik. 2 November 2011. tempointeraktif.com

Setiawan, Iwan. Dampak Globalisasi Terhadap Pertanian Indonesia. 2 November. pustaka.unpad.ac.id

15

Renstra Dirjen PPHP. 2 November 2011. diperta.ntbprov.go.id

16

Anda mungkin juga menyukai