Anda di halaman 1dari 18

CASE REPORT SESSION PNEUMOTORAKS

Disusun Oleh : Nor Saadah Redzwan Huda Abdul Halim Hanis Syamimi 1301-1211-3054 1301-1211-3093 1301-1211-3067

Preceptor : Rama dr., Sp.BTKV

BAGIAN ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN BANDUNG 2012

I. Nama Umur Agama Alamat

KETERANGAN UMUM : An. A : 12 tahun : Islam : Cikancung, Ciluluk : 26 Oktober 2012

Masuk RS

Tanggal Pemeriksaan : 29 Oktober 2012

II.

ANAMNESIS (auto dan heteroanamnesa) : Sesak nafas :

Keluhan Utama Anamnesis khusus

Sejak 3 hari dirawat di RSHS, pasien merasakan keluhan sesak nafas yang terus menerus dan semakin lama semakin berkurang sesudah di pasang selang di dada. Keluhan nyeri dada tidak ada. 3 jam SMRS, pasien jatuh dari pohon dengan ketinggian 2 meter. Punggung pasien terkena pagar sehingga menyebabkan luka tembus di punggung kanan. Riwayat pingsan tidak ada, tidak ada perdarahan dari hidung, mulut dan telinga, tidak ada mual dan muntah. Keluhan sesak ada yang dirasakan semakin lama semakin memberat. Pasien kemudiannya dibawa ke RS Majalaya dan dirujuk ke RSHS. Keterangan tambahan : Pasien telah dirawat selama 3 hari di IHC.

III.

PEMERIKSAAN FISIK

Status generalis Keadaan umum Kesadaran Tanda vital : Tampak sakit sedang : Kompos mentis : T : 110/80 mmHg R : 30 x / mnt Gizi Kepala : Cukup baik : Konjungtiva tak anemis, Sklera tak ikterik Pupil bulat isokor, diameter ODS 3mm, RC +/+ Leher : JVP tak meningkat HR : 92 x / mnt S : 36,5 C

KGB tak teraba membesar Thorax Abdomen : lihat status lokalis : Datar, lembut Hepar dan Lien tak teraba Bising usus (+) normal Genitalia Extremitas : tidak ada kelainan : akral hangat, CRT <2

Status lokalis Jantung Paru-paru : Bunyi jantung murni reguler, S1=S2 N, Murmur (-) : Vokal Fremitus ka=ki, sonor VBS ka=ki, Ronkhi -/-, Wheezing -/a/r Thoraks dextra : Bentuk dan gerak simetris Terpasang CTT pada anterior linea midaksilaris sinistra Produksi cairan (-), air buble (-), undulasi (+) a/r Thoraks sinistra : Bentuk dan gerak simetris Terpasang CTT pada anterior linea midaksilaris dekstra Produksi cairan (-), air buble(-), undulasi (+) a/r Thorax posterior dx : Tertutup verban

IV.

PEMERIKSAAN PENUNJANG Laboratorium(28 Oktober 2012)


Hb L Ht Tr pH arteri pCO2 arteri pO2 arteri HCO3 arteri Tot CO2 arteri BEA Sat O2 arteri 9,8 8,400 28 178,000 7,410 33 212,0 21,0 22 -3 100

Foto thoraks (26 Oktober 2012)

Kesan : Pneumothorax sinistra

Foto Thoraks (27 Oktober 2012)

Foto Thoraks (28 Oktober 2012)

V.

RESUME Seorang anak laki-laki, berusia 12 tahun, dengan keluhan utama sesak nafas.

Penderita dirujuk dari RS Majalaya. Dari anamnesis didapatkan keluhan sesak nafas semakin lama semakin berkurang sesudah dipasang selang di dada. Riwayat pasien jatuh dari pohon dengan ketinggian 2 meter dengan punggung pasien terkena pagar sehingga menyebabkan luka tembus di punggung kanan. Pingsan (-), PTHM (-), Muntah (-). Pasien telah dirawat selama 3 hari di IHC. Dari pemeriksaan fisik didapatkan status generalis dalam batas normal. Status lokalis a/r Thoraks sinistra : Bentuk dan gerak simetris Terpasang CTT pada anterior linea midaksilaris sin Produksi cairan (-), air buble(-), undulasi (+) a/r Thoraks dekstra : Bentuk dan gerak simetris Terpasang CTT pada anterior linea midaksilaris dx Produksi cairan (-), air buble(-), undulasi (+) a/r Thorax posterior dx : Tertutup verban

Dari pemeriksaan penunjang didapatkan hasil laboratorium dalam batas normal. Dari foto toraks ditemukan kesan pneumotorax.

VI.

DIAGNOSIS KERJA Post insersi CTT bilateral ai open pneumotoraks dekstra ec trauma penetrans aspek thoracalis dekstra aspek posterior + pneumotoraks sinistra ec trauma tumpul sinistra + post sutur primer ai vulnus penetrans a/r thorax dekstra aspek posterior

VII.

USUL PEMERIKSAAN o Periksa laboratorium darah lengkap, urinalisa, AGD ulang

VIII.

TERAPI Umum : - Bed rest duduk - Diet lunak Khusus : - Infus RL 1500cc/24 jam - O2 nasal kanul 3 L/menit - Cefotaxim 2x1 gr i.v - Ranitidin 2x1 ampul i.v - Ketorolac 2x1 ampul i.v - Chest fisioterapi

X.

PROGNOSIS Quo ad vitam Quo ad functionam : ad bonam : ad bonam

PEMBAHASAN PNEUMOTORAKS
PENDAHULUAN Pneumothoraks adalah suatu keadaan ditemukannya gas atau udara di dalam rongga pleura, terjadi karena adanya hubungan terbuka antara rongga dada dan dunia luar. Hubungan mungkin melalui luka di dinding dada yang menembus pleura parietalis atau melalui luka di jalan nafas yang sampai ke pleura visceralis. Dalam keadaan normal rongga pleura tidak berisi udara, supaya paru-paru leluasa mengembang terhadap rongga dada. Pada pneumothoraks, udara masuk ke dalam rongga pleura melalui 3 jalan, yaitu : 1. Udara dari luar dan terdapat penetrasi dinding dada, 2. Udara dari dalam yang masuk melalui robekan dinding alveoli dan seterusnya ke rongga pleura. Dapat juga udara berasal dari esophagus atau viskus abdomen (amat jarang), 3. Pembentukan gas/udara oleh mikroorganisme dalam dinding pleura pada penyakit empiema.

EPIDEMIOLOGI Diperkirakan terdapat 20.000 kasus pneumotoraks spontan setiap tahunnya di Amerika serikat. Di Instalasi Gawat Darurat (IGD) Persahabatan Jakarta pada tahun 1999 didapat 253 penderita pneumotoraks dan angka ini merupakan 5,5 % kunjungan dari seluruh kasus respirasi yang datang. Peningkatan angka kejadian kasus pneumotoraks berdasarkan penelitian setiap tahunnya, belum dapat dijelaskan dengan pasti. Peningkatan angka kejadian ini mungkin berhubungan dengan polusi udara perubahan tekanan atmosfir, rokok dan belakangan ini dikatakan juga dipengaruhi oleh genetik. Terdapat hubungan antara insiden pneumotoraks spontan dengan jenis kelamin, umur, dan penyakit penyerta. Pneumotoraks Spontan lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan. Berdasarkan umur, terlihat 2 kali penambahan kecenderungan pneumotoraks pada usia 20-30an dengan pneumotoraks spontan primer dan 50-60an dengan pneumotoraks spontan sekunder. Walaupun

angka kejadian PSP pada perempuan lebih kecil daripada laki-laki namun angka rekurensinya lebih besar dibandingkan laki-laki yaitu 71,4 % : 46,2 %.

KLASIFIKASI PNEUMOTORAKS Pneumotoraks diklasifikasikan atas pneumotoraks spontan, traumatik, iatrogenik. Pneumotoraks spontan dibagi lagi menjadi pneumotoraks spontan primer dan sekunder. Pneumotoraks traumatik disebabkan oleh trauma pada organ paru dan pneumotoraks iatrogenik merupakan komplikasi dari intervensi diagnostic ataupun terapeutik. Pneumotoraks spontan primer terjadi tanpa kelainan atau penyakit paru yang mendasarinya, namun pada sebuah penelitian dilaporkan bahwa bula subpleural ditemukan pada 76-100% pasien pneumotoraks spontan primer dengan tindakan video-assisted thoracoscopic surgery dan torakotomi. Kasus pneumotoraks spontan primer sering dihubungkan dengan faktor resiko merokok yang mendasari pembentukan bula subpleural, namun pada sebuah penelitian dengan komputasi tomografi (CT-scan) menunjukkan bahwa 89% kasus dengan bula subpleural adalah perokok berbanding dengan 81% kasus adalah bukan perokok. Mekanisme pembentukkan bula masih merupakan spekulasi namun sebuah teori menjelaskan bahwa terjadi degradasi serat elastin paru yang diinduksi oleh rokok yang kemudian diikuti oleh serbukan netrofil dan makrofag. Proses ini menyebabkan ketidakseimbangan protease-antiprotease dan sistem oksidan antioksidan serta menginduksi terjadinya obstruksi saluran nafas akibat proses inflamasi. Hal ini akan meningkatkan tekanan alveolar sehingga terjadi kebocoran udara ke jaringan interstitial paru menuju hilus dan menyebabkan

pneumomediastinum. tekanan di mediastinum akan meningkat dan pleura parietalis pars mediastinum ruptur sehingga terjadi pneumotoraks. Rongga pleura memiliki tekanan negatif, sehingga bila rongga ini terisi oleh udara akibat rupturnya bula subpleural, paru-paru akan kolaps sampai tercapainya keseimbangan tekanan tercapai atau bagian yang ruptur tersebut ditutup. Paru-paru akan bertambah kecil dengan bertambah luasnya pneumotoraks. Konsekuensi dari proses ini adalah timbulnya sesak akibat berkurangnya kapasitas vital paru dan turunnya PO2.

Sebuah penelitian lain menunjukkan bahwa faktor genetik berperan dalam patogenesis terjadinya pneumotoraks spontan primer. Beberapa kasus pneumotoraks spontan primer ditemukan pada kelainan genetik tertentu, seperti: sindrom marfan, homosisteinuria, serta sindrom Birt-Hogg-Dube. Pneumotorakas spontan sekunder terjadi akibat kelainan/penyakit paru yang sudah ada sebelumnya. Mekanisme terjadinya adalah akibat peningkatan tekanan alveolar yang melebihi tekanan interstitial paru. Udara dari alveolus akan berpindah ke interstitial menuju hilus dan menyebabkan pneumomediastinum. Selanjutnya udara akan berpindah melalui pleura parietalis pars mediastinal ke rongga pleura dan menimbulkan pneumotoraks. Beberapa penyebab terjadinya pneumotoraks spontan sekunder adalah: Penyakit saluran napas o PPOK o Kistik fibrosis o Asma bronchial Penyakit infeksi paru o Pneumocystic carinii pneumonia o Necrotizing pneumonia (infeksi oleh kuman anaerobik, bakteri gram negatif atau staphylokok) Penyakit paru interstitial o Sarkoidosis o Fibrosis paru idiopatik o Granulomatosis sel langerhans o Limfangioleimiomatous o Sklerosis tuberus Penyakit jaringan penyambung o Artritis rheumatoid o Spondilitis ankilosing o Polimiositis dan dermatomiosis o Sleroderma o Sindrom Marfan o Sindrom Ethers-Danlos

Kanker o Sarkoma o Kanker paru Pneumotoraks traumatik dapat disebabkan oleh trauma penetrasi maupun

non-penetrasi. Trauma tumpul atau kontusio pada dinding dada juga dapat menimbulkan pneumotoraks. Bila terjadi pneumotoraks, paru akan mengempes karena tidak ada lagi tarikan ke luar dinding dada. Pengembangan dinding dada pada saat inspirasi tidak diikuti dengan pengembangan paru yang baik atau bahkan paru tidak mengembang sama sekali. Tekanan pleura yang normalnya negatif akan meningkat hingga menyebabkan gangguan ventilasi pada bagian yang mengalami pneumotoraks. Pneumotoraks iatrogenik merupakan komplikasi dari prosedur medis atau bedah. Salah satu yang paling sering adalah akibat aspirasi transtorakik (transthoracic needle aspiration), torakosentesis, biopsy transbronkial, ventilasi mekanik tekanan positif (positive pressure mechanical ventilation). Angka kejadian kasus

pneumotoraks meningkat apabila dilakukan oleh klinisi yang tidak berpengalaman. Pneumotoraks ventil (tension pneumothorax) terjadi akibat cedera pada parenkim paru atau bronkus yang berperan sebagai katup searah. Katup ini mengakibatkan udara bergerak searah ke rongga pleura dan menghalangi adanya aliran balik dari udara tersebut. Pneumotoraks ventil biasa terjadi pada perawatan intensif yang dapat menyebabkan terperangkapnya udara ventilator (ventilasi mekanik tekanan positif) di rongga pleura tanpa adanya aliran udara balik. Udara yang terperangkap akan meningkatkan tekanan positif di rongga pleura sehingga menekan mediastinum dan mendorong jantung serta paru ke arah kontralateral. Hal ini menyebabkan turunnya curah jantung dan timbulnya hipoksia. Curah jantung turun karena venous return ke jantung berkurang, sedangkan hipoksia terjadi akibat gangguan pertukaran udara pada paru yang kolaps dan paru yang tertekan di sisi kontralateral. Hipoksia dan turunnya curah jantung akan menggangu kestabilan hemodinamik yang akan berakibat fatal jika tidak ditangani secara tepat.

GEJALA KLINIK Keluhan dan gejala-gejala klinik pneumothoraks amat bergantung pada besarkecilnya lesi pneumothoraks dan ada tidaknya komplikasi penyakit paru. Beberapa pasien menunjukkan keadaan asimptomatik dan kelainan hanya dapat ditemukan pada pemeriksaan foto dada rutin. Pada beberapa kasus, pneumothoraks terluput dari pengamatan. Gejala utama adalah adanya rasa sakit yang tiba-tiba, umumnya bersifat akut, terlokalisasi pada sisi yang terkena serta diikuti sesak nafas. Kelainan ini ditemukan pada 80-95% kasus. Gejala ini akan nampak jelas pada saat penderita melakukan aktivitas berat. Namun rasa sakit tidak selalu timbul, dapat menghebat atau menetap bila telah terjadi perlengketan antara pleura parietalis dan visceralis. Pada tekanan kuat pneumothoraks suatu saat perlengketan ini dapat sobek sehingga terjadi perdarahan (hemopneumothoraks). Pada pemeriksaan fisik, tanda vital pasien umumnya normal, namun beberapa pasien dapat timbul takikardia. Pada inspeksi akan didapatkan sisi dada yang terkena akan tampak lebih besar dan kurang bergerak saat bernapas. Akan ditemukan pula penurunan taktil fremitus dan vokal fremitus, perkusi yang hiperresonans, serta suara napas tidak ada atau berkurang pada sisi yang terkena. Pada pasien dengan tension pnuemothorax biasanya terdapat manifestasi kolaps kardiovaskuler dan ketidakstabilan hemodinamik. Biasanya muncul pada pasien dengan ventilasi mekanik. Secara tipikal pasien biasanya akan mengalami sudden respiratory distress dan agitasi. Pada pemeriksaan fisik akan didapatkan takikardia berat (>140 x/menit), hipotensi, sianosis atau deviasi trakea.

DIAGNOSIS Diagnosis didasari dengan gejala yang didapatkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik disertai pemeriksaan penunjang. Pemeriksan foto roentgen dada merupakan prosedur standar untuk menegakkan diagnosa pneumothoraks. Sebaiknya dilakukan foto dada tegak dengan posisi PA (Posteroanterior) karena dengan posisi semi supine dan AP tidak selalu tampak pada kedua thoraks. Bila penderita tidak dapat tegak dilakukan foto dengan posisi lateral dekubits dengan sisi yang tekena di bagian atas.

Foto rontgen penderita pneumotoraks

Dapat terjadi pengumpulan cairan pada pneumothoraks yang terjadi lebih dari 24 jam. Cairan ini biasanya jernih dan tidak perlu dilakukan analisa cairan. Kejadian efusi pleura pada penderita pneumothoaks spontan berkisar antara 15-20 %. Efusi yang luas dengan cairan > 200 cc sering kemerahan akibat robeknya pembuluh darah. Pasien dengan emfisema bulosa dapat memiliki gambaran radiografi bula yang besar yang bisa tampak seperti pneumotoraks. Untuk mengidentifikasi adanya pneumotoraks adalah dengan garis pleura viseral yang tampak lurus atau cembung terhadap dinding dada, sementara pada bula memiliki gambaran konkaf. Pada pasien yang diagnosisnya belum dapat ditegakkan, pemeriksaan CT-scan dada mungkin diperlukan untuk membedakan dua keadaan ini karena hanya pneumotoraks yang bisa diterapi dengan pemasangan tube torakostomi. Pada pemeriksaan CT-scan pneumotoraks tension didapatkan adanya kolaps paru, udara di rongga pleura, dan deviasi dari struktur mediastinum. Pemeriksaan CT-scan lebih sensitif daripada foto toraks pada pneumotoraks yang kecil walaupun gejala klinisnya masih belum jelas. Penggunaan USG untuk mendiagnosis

pneumotoraks masih dalam pengembangan. Di beberapa pusat trauma, pendeteksian pneumotoraks sudah dimasukkan sebagai bagian dari pemeriksaan FAST (Focused Abdominal Sonography for Trauma).

PENATALAKSANAAN Tujuan utama penatalaksaan pneumotoraks spontan adalah evakuasi udara di dalam rongga pleura, memfasilitasi penyembuhan pleura dan mencegah terjadinya rekurensi secara efektif. Pilihan terapi meliputi, yaitu terapi oksigen, observasi, aspirasi sederhana dengan kateter vena, pemasangan tube, pleurodesis, torakoskopi single port, dan torakotomi.

Terapi oksigen Suplemen oksigen akan mempercepat absorbsi udara di rongga toraks sebanyak 4 x dibandingkan dengan tanpa suplementasi oksigen. Oksigen akan mengurangi tekanan parsial nitrogen di dalam kapiler darah sekitar rongga pleura dan akan meningkatkan gradien tekanan parsial nitrogen. Hal ini akan menyebabkan nitrogen ke dalam kapiler pembuluh darah di sekitar rongga pleura dan diikuti oleh gas lain. Suplementasi oksigen pada konsentrasi tinggi harus diberikan pada seluruh kasus pneumotoraks.

Observasi (tanpa tindakan invasif) Bila hubungan antara alveoli dan rongga pleura dihilangkan, maka udara di dalam rongga pleura akan diabsorbsi secara betahap. Kecepatan absorpsi antara berkisar 1,25 % dari volume hemitoraks setiap 24 jam. ACCP membagi klinis penderita atas penderita dalam kondisi stabil, jika : laju napas < 24 x/menit denyut jantung 60-120 x/menit tekanan darah normal saturasi oksigen > 90 % (tanpa asupan oksigen)

Setelah observasi penderita dapat dipulangkan dan datang kembali ke rumah sakit bila terdapat gejala klinik yang memberat. Tindakan fisioterapi dengan pemberian

penyinaran gelombang pendek pada pneumotoraks spontan kurang dari 30%, secara bemakna meningkatkan absorbsi udara dibandingkan dengan hanya observasi saja.

Aspirasi sederhana dengan kateter vena Aspirasi sederhana terutama direkomendasiksan pada terapi awal penderita pneunotoraks spontan primer (PSP) pertama, karena memiliki tingkat keberhasilan lebih tinggi (70%) dibandingkan bila dilakukan pada penderita pneumotoraks spontan sekunder (PSS). Prosedur ini memiliki keuntungan antara lain morbidity yang minimal dan dapat dilakukan pada pasien rawat jalan sehingga penderita dapat bekerja kembali serta relatif mudah dan murah. Kelemahan prosedur ini apabila gagal maka perlu dilakukan pemasangan tube thoracostomy.

Pemasangan WSD Pemasangan WSD atau tube thoracostomy masih merupakan tindakan pertama sebelum penderita diajukan untuk tindakan yang lebih invasif seperti torakoskopi atau torakotomi. Pemasangan tube thoracostomy pada pneumotoraks terutama

ditujukan pada penderita PSP yang gagal dengan tindakan aspirasi dan penderita PSS, sebelum menjalani tindakan torakoskopi atau torakotomi. Pada penderita PSP angka keberhasilan pemasangan tube thoracostomy lebih tinggi dibandingkan

dengan PSS. Penggunaan suction pada sistem drinase tidak banyak memberikan keuntungan dalam mempercepat pengembangan paru, sehingga pada awal pemasangan biasanya dihubungkan dengan katup satu arah atau dengan perangkat WSD tanpa suction, namun bila terjadi kebocoran udara tube thoracostomy dihubungkan dengan suction.

Pleurodesis Dilakukan terutama untuk mencegah rekurensi terutama penderita dengan risiko tinggi untuk terjadinya rekurensi. Zat sklerosan yang ideal harus memenuhi beberapa kriteria : murah mudah didapat mudah dimanipulasi

mudah disterilisasi mudah dipakai (pada saat tindakan torakosentesis) aman

Bahan yang biasanya digunakan adalah oksitetrasiklin, minosklin, doksisklin, atau talk.

Torakoskopi Tindakan yang dilakukan adalah reseksi bula dan pleurodesis. Torakoskopi pada PSS harus dilakukan bila paru tidak mengembang setelah 48-72 jam.

Torakotomi Merupakan tindakan akhir apabila tindakan yang lain gagal. Tindakan ini memiliki angka rekurensi terendah yaitu kurang dari 1 % bila dilakukan pleurektomi dan 2-5 % bila dilakukan pleurodesis dengan abrasi mekanik.

KOMPLIKASI 1. Tension pneumotoraks Kejadian ini terjadi pada 3 5 % penderita pneumotoraks. Tekanan udara yang terdapat pada tension penumotoraks adalah + 10 s.d 25 cm H2O. Nilai ini jelas berbeda dengan tekanan subatmosfir yang biasanya terdapat pada pneumotoraks biasa. Pengobatan adalah segera melakukan dekompresi dengan jarum, kateter kecil atau pipa interkostalis dan dihubungkan dengan water sealed drainage. 2. Pyo-pneumotoraks Ditemukan pneumotoraks disertai dengan empiema secara bersamaan pada satu sisi paru. Infeksi berasal dari mikroorganisme yang membentuk gas atau dari robekan jaringan paru atau esophagus ke arah rongga pleura. Kebanyakan dari abses subpleura dan sering membuat fistula bonko-pleura. Jenis kuman yang sering terdapat adalah Staphylococcus aureus, Pseudomonas, Klebsiella, M. ruberculous.

Pengobatan dengan chest tube untuk mengeluarkan cairan pus dan udara dari fongga pleura sehingga paru dapat mengembang kembali. Diberikan pula antibiotic sistemik, kadang diperlukan pembilasan rongga pleura dengan cairan antiseptic dan pemberian antibiotic secara local ke dalam pleura. 3. Hidropneumotoraks / hemopneumotoraks Pada 25% penderita penumotoraks ditemukan sedikit cairan dalam rongga pleura. Biasanya bersifat serosa, seroanguinus atau kemerahan (berdarah). Jika pneumotoraks baru saja terjadi, hendaknya segera ditentukan apakah terjadi juga hidrotoraks. Untuk itu perlu dilakukan tindakan torakosentesis. Hidrotoraks dapat timbul dengan cepat setelah terjadinya pneumotoraks pada kasus-kasus trauma, perdarahan intra pleura atau perforasi esophagus (cairan lambung masuk dalam rongga pleura). Bila terjadi hemopneumotoraks pemasangan chest tube dipertahankan untuk mengembangkan paru dan mengukur jumlah darah yang hilang. Pada penumotoraks spontan perdarahan terjadi karena robeknya bagian perlengketan (adhesi) antar pleura. Pada pneumotoraks traumatic perdarahan terjadi pada dinding dada (jarang) dan jaringan paru (lebih sering). Sesudah paru kembali mengembang biasanya perdarahan intra pleura akan segera berhenti. Tetapi bila tetap bila tetap berlanjut setelah dilakukan terapi konservatif perlu dipertimbangkan torakotomi untuk mengikat pembuluh darah yang bocor. 4. Pneumomediastinum dan emfisema subkutan Adanya pneumomediastinum dapat ditentukan dengan pemeriksaan foto dada. Insidensinya 1 % dari seluruh penumotoraks. Kelainan dimulai dari robeknya alveoli ke dalam jaringan interstitial paru dan kemudian diikuti oleh pergerakan udara yang progresif ke arah mediastinum (pneumomediastimum) dan ke arah lapisan fasicia otot-otot leher (emfisema subkutan). Pneumomediastinum jarang menumbulkan kelainan-kelainan klinis walau secara potensial dapat menimbulkan tamponade saluran darah besar. Untuk mencegah komplikasi yang jarang terjadi ini dilakukan tindakan dekompresi pada mediastinum tersebut.

5. Pneumotoraks simultan bilateral Pneumotoraks yang terjadi pada kedua paru secara serentak terdapat pada 2 % dari kejadian pneumotoraks. Keadaan ini timbul sebagai kelanjutan

pneumomediastinum yang secara sekunder timbul dari emfisema jaringan interstitial paru. Sebab lain bisa juga dari emfisema mediastinal yang berasal dari perforasi esophagus. Pengobatan tergantung dari berat ringannya gejala. Bila ringan pengobatan sama dengan penumotoraks spontan primer lainnya. Bila berat, disertai sesak nafas perlu torakotomi untuk mengobati sumber penyebabnya atau melakukan obliterasi secepatnya pada salah satu rongga pleura yang terkena. 6. Pneumotoraks kronik Dinyatakan kronik bila tetap ada selama waktu > 3 bulan. Pneumotoraks kronik ini terjadi bila fistula bronco-plelura 5 % dari seluruh penumotoraks. Faktor penyebabnya adalah : perlengketan pleura yang menyebabkan robekan paru tetap terbuka adanya fistula bronco-pleura yang melalui bulla atau kista adanya fistula bornko-pleura yang melalui lesi penyakit seperti nodul rematoid atau tuberkuloma. Pengobatan yang terbaik adalah dengan menutup fistula bronco-pleura.

REFERENS
1. Arief N, Syahruddin E. Pneumotoraks. Hal 1-2 Jakarta. 2008. 2. Sahn SA, Heffner JE. Spontaneous pneumothorax. N Eng J Med 2000; 342: 868-74 3. Bascom R. Pneumothorax. 2006. Available from:

http://www.emedicine.com/med/fulltopic/topic1855.htm#section%7EIntroduction 4. Chang AK. Pneumothorax, Iatrogenic, Spontaneous and Pneumomediastinum. 2007. Available from: http://www.emedicine.com/emerg/TOPIC469.HTM 5. Boowan JG. Pneumotoraks, Tension and traumatic. 2006. Available from:

http://www.emedicine.com/emerg/TOPIC470.HTM 6. Fishman AP, Elias JA, Fishman JA. Fishmans Pulmonary diseases and disorders ; 2008 7. American College of Chest Physicians. Management of spontaneous pneumothorax: An American College of Chest Physicians Delphi Consensus Ststement. Chest 2001 ; 119: 590-602

Anda mungkin juga menyukai