Anda di halaman 1dari 36

Pendahuluan Pengakuan akan ada tidaknya ayat-ayat nasikh dan ayat-ayat mansukh dalam al-Qur'an sangat berperan bagi

kehidupan manusia sehari-hari. Bagaimana umat Islam bersikap kepada orang-orang non-muslim, misalnya sangat mungkin dipengaruhi oleh konsep nasikhmansukh. Mereka yang mengatakan bahwa umat Islam boleh memerangi orang-orang nonmuslim dengan tanpa alasan yang bisa dipertanggungjawabkan boleh jadi dipicu adanya ayatayat "Dan perangilah orang-orang kafir dimanapun mereka kamu temui.1 Juga sebaliknya bagi mereka yang tidak mengakui adanya nasikh-mansukh beranggapan bahwa memerangi orang-orang kafir (non-muslim) tak boleh dilakukan tanpa alasan yang dibenarkan syar'i. Sebab Islam menurut mereka hanyalah boleh berperang melawan orangorang non-muslim dengan alasan mempertahankan diri atau harga diri, dan juga dengan cara defensif bukan ofensif. Oleh karena itu, bukan tidak mungkin konsep nasikh-mansukh bisa sangat mempengaruhi cara berfikir umat Islam, bukan hanya mengenai hubungan antar agama, melainkan juga dalam berbagai bidang kehidupan yang lain. yang dianggap oleh banyak kalangan mufassir tradisional menjadi nasikh (penghapus) atas ayat-ayat lain yang menyerukan toleransi, memberi maaf, bersikap sabar dan lain-lain. Pandangan seperti ini sangat banyak kita temukan dalam kitab-kitab tafsir klasik. Permasalahannya sederhana saja, yaitu adanya pengakuan akan adanya eksistensi nasikh dalam al-Qur'an.
2

Pembahasan tentang naskh adalah pembahasan sejarah. Nasikh-mansukh merupakan bukti terbesar bahwa ada dialektika hubungan antara wahyu dan

, 1 ...... Al-

Qur'an al-Karim, Al-Baqarah ayat 191, Depag, 1993. Hlm.46. 2 Ahmad Baidowi, dalam Pengantar, Teori Naskh dalam Studi al-Qur'an Gagasan Rekonstruktif M.H. Al-Tabataba'I, Yogyakarta, Nun Pustaka, 2003. Hlm. v-vi Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 7 No.11 April 2009

realitas kehidupan manusia. Sebab naskh adalah pembatalan hukum baik dengan menghapuskan dan melepaskan teks yang menunjukkan hukum dalam bacaan (tidak dimasukkan dalam kodifikasi al-Qur'an), atau membiarkan teks tersebut tetap ada sebagai petunjuk adanya hukum yang di mansukh, dikarenakan adanya alasan-alasan tertentu yang berkaitan erat dengan realitas kehidupan Nabi ketika itu.
3F

Lafal nasikh terdapat dalam al-Qur'an, konteks ayat yang mengandung lafal tersebut mengisyaratkan adanya nasikh dalam al-Qur'an. Firman Allah: (

: 82

Artinya: "Seandainya al-Qur'an itu datang bukan dari Allah, niscaya mereka menemukan di dalam kandungannya ikhtilaf (kontradiksi) yang banyak." (Q.S. 4: 82) Ayat tersebut di atas diyakini kebenarannya oleh setiap muslim. Namun para ulama berbeda pendapat tentang cara menghadapi ayat-ayat yang sepintas lalu menunjukkan kontradiksi. Dari sinilah antara lain timbulnya pembahasan tentang nasikh-mansukh. 4 Ulama pertama yang membahas masalah nasikh-mansukh adalah Imam Syafi'i, walaupun saat itu beliau membahasnya dalam kajian sebagai penjelasan dalam memperoleh hukum. 5 Menurut Nasr Hamid Abu Zaid "Naskh pertama
4F 5F

3Nasr

Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur'an, Kritik terhadap Ulumul Qur'an, terj. Khoirin Nahdiyyin, Yogyakarta, LKIS, 2002, Hlm. 141. 4Muhammad Chirzin, Al-Qur'an dan Ulumul Qur'an, Jakarta, PT. Dana Bakti Prima Yasa. 1998. Hlm. 39. 5Wahbah az-Zuhaili, Ushl al-Fiqh al-Islami, Beirut, Dar al-Fikr, 1986. Hlm. 931. Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 7 No.11 April 2009

adalah pengalihan arah kiblat yang sebelumnya mengarah ke masjid al-Aqsha di Palestina dan kemudian dinasikh menghadap ke masjid al-Haram di Mekkah- selanjutnya diikuti puasa pertama (bukan puasa Ramadhan).6 Dalam al-Qur'an kata nasikh disebutkan dalam beberapa bentuk sebanyak empat kali, yaitu: Q.S. 2: 106, 7: 154, 22: 52, 45: 29.
7F

Firman Allah SWT:

: 106

Artinya: "Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya. Kami datangkan yang lebih baik dari padanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." Pengertian Nasikh dan Mansukh Secara etimologi nasikh dapat diartikan sebagai berikut: 1 . mengandung arti menghilangkan seperti contoh dalam surat al-Haj, ayat, 52
6 Nasr

Hamid Abu Zaid, Op. Cit., Hlm. 55. Chirzin, Op. Cit., Hlm. 39. Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 7 No.11 April 2009
7 Muhammad

2 . berarti memindahkan sesuatu dari satu tempat ke tempat lain, seperti: , saya menukilkan kitab ini, yaitu apabila kita menulilkan apa yang di dalam kitab itu meniru lafadh dan tulisannya. 3 . yang berarti mengganti atau menukar seperti contoh dalam surat an-Nahl ayat, 101 . 4 yang berarti memalingkan, seperti memalingkan pusaka dari seseorang kepada orang lain.
8F

Sedangkan secara terminologi (istilah) terdapat perbedaan definisi nasikh, yaitu: dalam kitab Mabahis fi Ulum al-Qur'an, Manna' al-Qattan memberikan defenisi nasikh sebagai: mengangkat hukum syara'. 9 Sementara ulama ushul fiqh mengartikan nasikh sebagai pembatal amal (perbuat ibadah) dengan hukum syara' yang datang kemudian, baik pembatalan itu bersifat jelas atau pun samar, menyeluruh atau pun tidak dengan alasan kemaslahatan umat. 10 Para ulama mutaqaddimin (abad 1-3 H) memperluas arti nasikh sehingga mencakup; (a) pembatalan hukum yang ditetapkan terdahulu oleh hukum yang ditetapkan kemudian; (b) pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian; (c) penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat samar; (d) penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat. 11
9F 10F 11F

8 Wahbah

az-Zuhaili, Op. Cit., Hlm. 933. 9 Manna' al-Qattan, Mabahis fi Ulum al-Qur'an, T.tp. Mansyurat al-Atsr alHadits, 1973, Hlm. 232 10 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushl al-Fiqh, t.k, 1978, Hlm. 222. 11 Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushl al-Syari'at, Dar al-Ma'arif, Beirut, 1975, jilid III, Hlm. 108, dalam Quraish Shihab, Membumikan al-Qur'an, Bandung, Mizan, 2001, Hlm. 144.

Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 7 No.11 April 2009

Bahkan ada di antara mereka yang beranggapan bahwa suatu ketetapan hukum yang ditetapkan oleh satu kondisi tertentu telah menjadi mansukh apabila ada ketentuan lain yang berbeda akibat adanya kondisi lain, seperti misalnya perintah untuk bersabar atau menahan diri pada periode Mekkah di saat kaum muslim lemah, dianggap telah di nasikh oleh perintah atau izin berperang pada periode Madinah. Sebagai mana ada yang berpendapat bahwa ketetapan hukum Islam yang membatalkan hukum pra-Islam merupakan bagian dari pengertian nasikh.12 Oleh para ulama yang datang kemudian (muta'akhirin), pengertian yang luas itu dipersempit. Menurut mereka, nasikh terbatas pada ketentuan hukum yang datang kemudian, guna membatalkan, mencabut atau menyebabkan berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang terdahulu, sehingga ketentuan hukum yang berlaku adalah yang ditetapkan terakhir.
13

1. Keterangan tegas dari Nabi SAW atau sahabatnya, sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh a-Hakim: Tentang Kriteria dan Syarat Keabsahan Nasikh. Di dalam kitab Mabahits fi 'Ulum al-Qur'an, Manna' al-Qattan memberikan beberapa kriteria yang dapat membantu kita untuk mengetahui nasikh-mansukh dalam al-Qur'an.


12 Abdul

2. Kesepakatan ulama bahwa ayat tersebut nasikh atau sebaliknya mansukh.


'Azim Al-Zarqani, Manahil al-'Irfan fi 'Ulum al-Qur'an, Al-Halabiy, Mesir, 1980, jilid II, Hlm.254, dalam Quraish Shihab, Ibid.,Hlm. 144. 13 Quraish Shihab, Ibid.,Hlm. 144. Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 7 No.11 April 2009

3. Melalui pendekatan sejarah, dengan memperhatikan ayat mana yang lebih dahulu turun.14 Ibnu Katsir, dalam rangka membuktikan kekeliruan orang-orang Yahudi, yang mempertahankan, ajaran agama mereka dan menolak ajaran Islam dengan dalih tidak mungkin Tuhan membatalkan ketetapan-ketetapannya yang termaktub dalam Taurat, menyatakan, Tidak ada alasan yang menunjukkan kemustahilan nasikh atau pembatalan dalam hukum-hukum Allah, karena Dia (Tuhan) menetapkan hukum sesuai dengan kehendak-Nya dan melakukan apa saja yang diinginkan-Nya. Pendapat Ibnu Katsir ini mendapat pembenaran dari al-Quran, surah al-Baqarah, ayat 106, yang terjemah harfiahnya adalah: Kami tidak menasikhkan satu ayat atau Kami menjadikan manusia lupa kepadanya, kecuali Kami mendatangkan yang lebih baik darinya atau yang sebanding. Apakah kamu tidak mengetahui sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu. Para ulama yang menyepakati nasikh berbeda pendapat mengenai syarat-syarat keabsahan nasikh, sehingga memunculkan adanya syarat-syarat yang diperselisihkan. Walaupun demikian, ada syarat-syarat yang disepakati, untuk menentukan nasikh dan mansukhnya suatu ayat: syaratsyarat yang disepakati itu adalah: (a) yang dinasikh (mansukh) merupakan hukum syari (b) yang menasikh pun harus dalil syari (c) dalil nasikh turun terkemudian setelah dalil mansukh
14 Manna'

al-Qattan, Op. Cit., Hlm. 233. Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 7 No.11 April 2009

4
(d) antara kedua dalil yang kemudian menjadi mansukh dan nasikh tersebut terdapat pertentangan hakiki di mana keduanya benar-benar tidak bisa dikompromikan.15 Kedua, kedua dalil itu memiliki kekuatan yang sama dalam hal penunjukkan hukum. Dengan menyatakan bahwa di antara syarat keabsahan nasikh adalah bahwa kedua dalil (yang menasikh dan yang dinasikh) merupakan hukum syari. Maka kalangan penerima teori nasikh menegaskan bahwa nasikh hanya terjadi pada masa kenabian Muhammad SAW, saat pewahyuan masih berlangsung. Dengan demikian, setelah Nabi wafat, maka tidak terjadi lagi nasikh, sebab dengan berakhirnya wahyu yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad, berarti kemapanan hukum telah terjadi atau tidak ada perubahan hukum. Syarat keabsahan nasikh adalah hukum yang diwahyukan lebih dulu daripada hukum yang menasikh, hal ini meniscayakan bahwa proses nasikh mansukh adalah terjadi sejalan dengan kronologi pewahyuan hukum-hukum tersebut.Para ulama ushul juga menegaskan bahwa nasikh hanya terjadi apabila terdapat pertentangan hakiki antara kedua dalil syari. Pertentangan hakiki

inilah yang tidak memungkinkan kedua pesan hukum yang terdapat dalam dalil-dalil syari tersebut untuk dikompromikan atau diamalkan sekaligus, sehingga salah satu dari kedua pesan hukum tersebut harus ditinggalkan. Dua dalil syari yang dikatakan bertentangan secara hakiki manakala memenuhi kriteria berikut: Pertama, kedua dalil tersebut sama-sama qathi atau zhanni, baik dari segi pewahyuan (wurud)-nya atau penunjukkan hukum (dalalah)-nya.
15 Ahmad

Baidowi, Op. Cit. Hlm. 55. Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 7 No.11 April 2009

Ketiga, kedua dalil itu berlaku untuk masa pelaksanaan yang sama. 16 Mustafa Zayd memberikan komentar terhadap tiga kriteria yang dikemukakan para ulama ushul di atas, bahwa pertentangan antara hukum yang di nasikh hanyalah sebatas pertentangan lahiriah saja, bukan pertentangan hakiki. Bagi Mustafa Zayd ketidaksamaan masa berlakunya hukum dalam ayat-ayat yang nasikh dan ayat-ayat yang mansukh (sesuai dengan kronologi pewahyuannya di mana pesan hukum yang nasikh membatasi masa berlakukanya hukum yang terdahulu) menunjukkan bahwa antara kedua hukum itu hanya bertentangan secara lahiriah, bukan secara hakiki. 17 Hal senada juga dikemukakan oleh Abd al-Wahab Khalaf, menurutnya tidak ada nasikh pada hukum syari setelah meninggalnya Nabi SAW. Adapun pada masa hidupnya nasikh dihajatkan sejalan dengan kemaslahatan umat.18 Menurut pendapat sebagian ahli tahqiq, al-Quran menggunakan lafald nasikh di segala tempat, adalah sesuai dengan makna yang asli hakiki yang hanya itulah makna yang terguris di dalam dada masing-masing manusia. Oleh karenanya, me-nafi-kan nasikh dengan perkataan raful hukmiy syariyi bi dalilin syariyah atau mengangkat sesuatu hukum syarai dengan dalil syarI adalah tahdid istilahi yang paling tepat bagi lafadh ini, yang sesuai dengan bahasa Arab yang menetapkan bahwasanya nasikh itu bermakna menghilangkan dan mengangkat ke tempat yang lain. Pendapat Ulama Tentang Nasikh Mansukh
19
16 Ahmad

Baidawi, ibid. Hlm. 56 Zayd, al-Naskh fi al-Quran al-Karim, Beirut: Dar al-Fikr, 1971. Hlm.167. dalam Ahmad Baidowi, TeoriHlm. 57 18 Abd. Al-Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, hlm. 222. 19 Hasby Ash Shiddieqy, Ilmu-ilmu Al-quran, Media Pokok Dalam Menafsirkan Al-quran, Jakarta, Bulan Bintang, 1972, Hlm. 150 Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 7 No.11 April 2009
17 Mustafa

6
Adanya nasikh hukum syara dalam al-Quran pada peristiwa-peristiwa tertentu adalah karena mengandung rahasia-rahasia dan hikmah-hikmah yang hanya diketahui oleh ulamaulama yang rasikh ilmunya. Adanya perbedaan pendapat dalam mendefinisikan nasikh menyiratkan makna kepada kita akan adanya beberapa macam perselisihan yang lain pada pokok pembicaraan ini, yaitu: a. Nasikh itu hanya terjadi di al-Quran, maka tidak salah al-Quran di nasikh-kan dengan (ayat) al-Quran pula, karena cukup dalil baik aqli maupun naqli yang membolehkan b. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa Sunnah boleh di nasikh-kan oleh al-Quran, seperti me-nasikh-kan puasa hari asyura dengan ayat syiyam. Kecuali Imam SyafiI yang tidak sependapat (membenarkan) dengan hal ini. c. Jumhur ulama sebelum Abu Musa al Asfahany (w 322 H) mengatakan bahwa adanya nasikh dalam al-Quran adalah sesuatu hal yang dapat di terima oleh akal. Sementara Abu Muslim (sebagai seorang ulama ahli tahqiq) tidak membenarkan nasikh dalam arti umum. Beliau membatalkan beberapa macam nasikh, yang menurut pendapatnya bertentangan dengan al-Quran surat Fushilat ayat 41. menurutnya nasikh adalah takhsis. Hal ini beliau katakan untuk menghindari adanya pembatalan sesuatu hukum yang telah Allah turunkan.20 Adalah Abu Muslim al-Ishfahani, al-Fakhrurrazi dan Muhammad Abduh golongan yang menyatakan bahwa tidak ada nasikh dalam al-Quran. Al-Ishfahani berpendapat bahwa tidak seorang pun yang dapat atau berhak atau
20 Untuk

pemahama0n lebih dalam silahkan lihat dalam: Ibid, Hlm. 150-151 Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 7 No.11 April 2009

mengubah firman Allah, kita wajib beriman bahwa dalam al-Quran tidak ada pembatalan (nasikh). Semua ayat sudah tetap (muhkam) dan wajib kita amalkan. Al-Maraghi menjelaskan bahwa hukum tidak diundangkan kecuali untuk kemaslahatan manusia. Hal ini mungkin berubah karena adanya perubahan keadaan waktu dan tempat, sehingga apabila

suatu hukum diundangkan untuk kebutuhan pada satu waktu, kemudian kebutuhan itu berakhir, maka merupakan satu langkah bijaksana apabila ia dinasikh, dan diganti dengan hukum yang lebih baik dari hukum semula atau sama segi manfaat bagi hamba-hamba-Nya. Muhammad Abduh menolak nasikh dalam arti pembatalan, tetapi menyetujui adanya tabdil (pergantian, pengalihan, pemindahan ayat hukum di tempat ayat hukum lainnya. Adapun Asy-Syatibi berpendapat bahwa hukum-hukum, apabila telah terbukti secara pasti kebenarannya, atau ketepatannya, terhadap mukallaf, maka tidak mungkin me-nasikh-nya kecuali atas pembuktian yang pasti. Sedangkan Abu Musa berpendapat bahwa hukum Tuhan yang dibatalkan bukan berarti bathil. Sesuatu yang dibatalkan penggunaannya karena adanya perkembangan dan kemaslahatan pada suatu waktu bukan berarti yang dibatalkan itu tidak benar ketika berlaku pada masanya, dengan demikian yang membatalkan dan yang dibatalkan keduanya adalah hak dan benar, bukan bathil.21
Chirzin, Al-Quran dan Ulumul Quran.. Hlm. 44. Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 7 No.11 April 2009
21 Muhammad

1. Nasikh al-Quran dengan al-Quran. Nasikh jenis ini disepakati oleh ulama yang meyakini adanya nasikh. Pembagian Nasikh Dalam kitab Mabahits fi Ulumul Quran, Manna al-Qattan, membagi nasikh menjadi empat jenis. 2. Nasikh al-Quran dengan Sunnah, Nasikh ini terbagi dua: Nasikh al-Quran dengan sunnah ahad. Jumhur ulama menyatakan bahwa ini tidak ada (tidak boleh), karena al-Quran memberikan keyakinan sedangkan hadits ahad tidak, karena tidak sah (dibolehkan) menghilangkan yang diyakini dengan yang tidak diyakini. Nasikh al-Quran dengan sunah mutawattir. Imam Malik, Abu Hanifah dan Imam Ahmad membolehkan jenis ini, karena sunnah mutawattir sama dengan al-Quran, karena sama-sama wahyu.22 3. Nasikh Sunnah dengan al-Quran, jumhur ulama memperbolehkan. Adapun Imam asySyafii, dan Ahl Zhahir menolak dengan dalil al-Quran surat Baqarah ayat 106; dan Sunnah menurut pendapat mereka tidak lebih baik dari al-Quran juga tidak serupa dengannya 4. Nasikh Sunnah dengan Sunnah. Di sini terbagi menjadi empat: (i) Nasikh sunnah ahad dengan sunnah ahad, (ii) nasikh sunah mutawattir pada sunnah ahad, (iii) nasikh sunnah mutawattir dengan sunah mutawattir, dan (iv) nasikh sunnah ahad dengan mutawattir. Ketiga nasikh ini diterima ulama, kecuali yang terakhir dilarang.23 Untuk dua jenis yang terakhir ini, imam Syafii menyatakan bahwa seandainya terdapat hadits yang me-nasikh al-Quran tentulah ada ayat yang
22 Lihat

QS An-Najm: 3-4, dan An-Nahl: 44 al-Qattan, MabahitsHlm. 236-237 Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 7 No.11 April 2009
23 Manna

menguatkan hadits tersebut. Demikian pula ketika ada hadits yang di-nasikh al-Quran maka terdapat hadits lain yang menguatkan.24 1. Nasikh bacaan dan hukum, contoh nasikh ayat penetapan hubungan radha sebab 10 susuan, menjadi 5 isapan. Hadits riwayat Aisyah . Bagi ulama yang berpendapat ada nasikh dalam al-Quran membagi Nasikh al-Quran dengan al-Quran menjadi tiga 2. Nasikh hukum, sedang bacaannnya tetap, seperti pada ayat pelarangan wasiat bagi ahli waris. 3. Nasikh bacaan saja, hukumnya tetap dalam contoh laki-laki tua dan wanita tua yang harus dirajam ketika terbukti berzina. Para ulama yang menetapkan adanya nasikh dalam al-Quran telah membagi surat-surat alQuran kepada beberapa bagian: Pertama, surat-surat yang tidak ada padanya nasikh mansukh, yaitu 43 surat. Kedua, suratsurat yang terdapat padanya nasikh saja, yaitu 6 surat. Ketiga, surat-surat yang terdapat padanya mansukh saja, yaitu 40 surat. Dan yang Keempat, surat-surat yang terdapat padanya nasikh mansukh, yaitu 31 surat.25 Sedangkan Muhammad Hasby Ash Shiddieqy sendiri berpendapat bahwa ayat al-Quran semuanya muhkam, bukan mansukh terkecuali jika ada dalil yang tegas dan menunjukkan kepada ke-mansukhan-nya.
26
24 Lihat

Jalaludin Abdurrahman As-Suyuti, al-Itqan fi Ulum al-Quran, Kairo:

Dar at-Turats, hlm. 61, juga as-Syafii, ar-Risalah , hlm. 67-89. dalam makalah Hidayatullah, Nasikh Mansukh, tt. hlm.7 25 Hasby Ash Shiddieqy, Ilmu-ilmu Al-quran., Hlm. 157 26 Ibid, Hlm. 157 Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 7 No.11 April 2009

0
Jumlah Ayat yang Dinasikh Para ulama ahli tahqiq telah mempelajari ayat-ayat al-Quran yang dikatakan mansukhah oleh sebagian ahli tafsir; mereka membahasnya dari berbagai jalan; sehingga dapatlah mereka membatasi ayat-ayat yang dikatakan mansukhah tersebut dalam bilangan yang relatif kecil. Kemudian pendapat (hasil) ini dikoreksi lagi oleh ulamaulama yang lahir belakangan (mutaakhirin) hingga akhirnya menghasilkan jumlah yang lebih kecil lagi. As-Sayuthy misalnya mengatakan dalam Al-Itqan, bahwa ayat yang mansukhah hanya 21 ayat, yang sebagiannya masih diperselisihkan. Kemudian dia mengecualikan ayat istidzan dan ayat qismah, yaitu ayat 58 surat An-Nuur dan ayat 7 surat An-Nisa. As-Sayuthy menegaskan bahwa ayat ini muhkamah. Dengan demikian, ayat yang mansukhah menurut As-Sayuthy menjadi 19 ayat saja.27 Yusup al-Qardhawi dalam bukunya Ijtihad dalam Syariat Islam, mengemukakan bahwa banyak perbedaan pendapat ulama tentang jumlah ayat nasikh mansukh: seperti pendapat Imam ad-Dahlan dan Khudasi yang membatasi hanya 5 ayat, berlainan dengan asySyuyuti, 21 ayat. Secara umum jumlah ayat nasikh mansukh menurut ulama mutaqaddimin jauh lebih banyak dari pada menurut ulama mutaakhirin.
28

K.H. Ali Yafie, dalam tulisannya Mengenal Nasikh-Mansukh dalam Al-Qur'an, menyebutkan adanya hikmah yang terkandung dalam pembahasan ini, lebih lanjut ia menguraikan: adanya nasikh-mansukh tidak dapat dipisahkan Hikmah Adanya NasikhMansukh.
27 Hasby 28 Yusuf

Ash Shiddieqy, Ilmu-ilmu Al-quran., Hlm. 157-158 al-Qardhawi, Ijtihad dalam Syariat Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1987. hlm.22. Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 7 No.11 April 2009

dari sifat turunnya al-Qur'an itu sendiri dan tujuan yang ingin dicapainya. Al-Qur'an tidak diturunkan secara langsung tetapi secara berangsur-angsur dalam kurun waktu 20 tahun lebih. Hal ini memang dipertanyakan orang ketika itu, lalu al-Qur'an sendiri menjawabnya, penahanan itu untuk pemantapan, khususnya dibidang hukum".29 Masih dalam buku yang sama Syekh al-Qosim berkata, "Sesungguhnya al-Kholiq Yang Maha Suci dan Yang Maha Tinggi mendidik bangsa Arab selama 23 tahun dalam proses tadarruj (bertahap) sehingga mencapai kesempurnaan dengan perantara berbagai sarana sosial.30 Nasikh-mansukh dalam pandangan alam yang hidup ini adalah sesuatu yang alami, baik dalam bidang matrial maupun spiritual. Seperti halnya proses kejadian manusia yang sebelumnya berasal dari unsur-unsur sperma dan telur kemudian berubah menjadi janin lalu manjadi anak, menjadi remaja, menjadi dewasa, kemudian menjadi orang tua dan seterusnya.
31

Menurut Abdul Wahab Khalaf, keberadaan nasikh-mansukh ini semata-mata untuk kemaslahatan manusia, dan kemaslahatan itu dapat berubah-ubah sesuai dengan perubahan keberadaan manusia. 32 Hikmah yang lain, menilai sejauh mana kemaslahatan manusia pada hukum Allah secara zhanni, menjadikan lebih baik, dalam artian lebih sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat ketika itu, untuk memerangi akidah, kebiasaan Arab-arab jahiliyah, seperti dalam proses tahapan pengharaman khamar.33
29 K.H.

Ali Yafie, Mengenal Nasikh Mansukh dalam al-Qur'an. dalam Belajar Mudah Ulum al-Qur'an , Jakarta, 2003. Hlm. 175-176. 30 Ibid 31 Ibid 32 Abd Wahab Khalaf, Op.Cit. Hlm. 222 33 Muhammad A. khalafullah, Al-Qur'an Bukan Kitab Sejarah: Seni, Sastra dan Moralitas dalam Kisah-kisah Al-Qur'an, terj. Zuhairi Misrawi dan Aris Maftuhin, Jakarta, Paramadina, 2003. Hlm.52. Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 7 No.11 April 2009

masyarakat sebagai bentuk pemberian kemudahan, kelonggaran dan proses pentahapan dalam menetapkan syari'at.

Sedangkan menurut Nasr Hamid Abu Zaid bahwa fungsi nasikh (hikmah diadakannya nasikh) adalah sebagai pengubahan hukum mengikuti gerak langkah perubahan yang ada dalam 34 a. Untuk memelihara kemaslahatan umat (Islam) Senada dengan para tokoh di atas Mannaal Qattan juga mengemukakan adanya hikmah dari kajian nasikh mansukh ini; yaitu: b. Perkembangan syariat sampai kepada susunan yang sempurna, seperti perkembangan dakwah dan perkembangan kehidupan manusia c. Sumber kebaikan dan kebahagiaan umat35 Nilai Kependidikan dari Nasikh dan Mansukh Nilai kependidikan adalah sesuatu yang baik yang kita ambil dari suatu kejadian atau peristiwa, yang terjadi di alam raya ini. Dalam konteks nasikh mansukh dalam al-Quran, yang sebelumnya kita tahu bahwa realitas dari nasikh mansukh ini menyiratkan akan adanya dialektika hubungan antara wahyu dan kehidupan Hal ini menunjukkan, bahwa konteks nasikh mansukh merupakan fenomena Ilahiyah yang sudah pasti mengandung banyak pelajaran-pelajaran berharga, karena tidak mungkin Tuhan Yang Esa mengadakan satu fenomena tanpa nilai hikmah di dalamnya, dalam hal ini nilai pendidikan Ayat-ayat al-Quran yang diturunkan oleh-Nya kepada rasul-Nya Muhammad saw pada saat tertentu, kemudian (menurut sebagian ulama) pada masa berikutnya di mana masa konteks ayat yang diturunkan tadi sudah tidak
Hamid Abu Zaid, Tektualitas.,Hlm. 150-156. al-Qattan, Mabahits,Hlm. 240 Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 7 No.11 April 2009
34 Nasr 35 Manna

relevan lagi,36 Dari konteks fenomena nasikh mansukh di atas, seharusnya manusia (anak didik) belajar dan atau menerima ilmu pengetahuan sesuai dengan tingkat perkembangan intelektualnya. Imam al-Ghazali yang lahir pada tahun 450 H/1058M, di desa Thus wilayah Iran, yang terkenal dengan gelar pembela Islam (hujjatul Islam) menegaskan bahwa pelajar yang ingin menguasai ilmu dengan baik serta mendalam haruslah belajar setara bertahap. Lebih lanjut beliau berkata seorang pelajar hendaklah tidak mempelajari ilmu secara serentak, tetapi memelihara tertib dan memulainya dari yang lebih penting. lalu di nasikh atau mansukh dengan ayat yang diturunkan kemudian, sebenarnya mengandung makna pendidikan yang sangat baik, seperti: a. Belajar secara bertahap 37 Dengan dasar di atas, belajar haruslah secara tertib, artinya mendahulukan ilmu-Ilmu yang berhak didahulukan dan mengemudiankan ilmu-ilmu yang memang harus dikemudiankan. Kaitannya dengan penyusunan kurikulum, materinya harus disesuaikan dengan tingkat kemampuan intelektual anak. Misalnya dalam ranah psikologis anak, berpikir itu melalui tiga tahapan, yaitu: berpikir konkrit, simbolis, dan absrak. Maka materi untuk usia sekolah lanjutan akan gagal jika diberikan kepada anak usia sekolah dasar (SD), atau sebaliknya. Anak dengan usia sekolah lanjutan yang sudah harus bersifat pengembangan-pengembangan intelektual tidaklah berhasil jika diberikan materi dengan metode untuk sekolah dasar, dan seterusnya.
36 Meskipun

menurut penulis al-Quran itu muhkam semuanya, dan karenanya pas dan cocok untuk segala jaman 37 Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran al-Ghazali Tentang Pendidikan, Yogyakarta, Pustak Pelajar, 1998, Hlm. 87 Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 7 No.11 April 2009

4
b. Pendidikan Kepribadian Nasikh mansukh dalam proses pengharaman khamar yang tersruktur dengan rapi mengisyaratkan nilai pendidikan yang kontekstual dengan sosio kultural peserta didik. Dalam proses pengharaman khamar Allah tidak secara langsung mengharamkan khamar, dikarenakan kondisi sosio kultural yang saat itu tidak memungkinkan. Allah hanya menjelaskan bahwa padanya ada manfaat yang sedikit, tetapi manfaatnya lebih kecil ketimbang mudharat-nya, lalu proses yang kedua Allah melarang melakukan shalat bagi mereka yang dalam keadaan mabuk, dan sebagai puncak dari pelarangan itu Allah memfirmankan bahwa khamar itu adalah najis dan bagian dari perbuatan syaitan karena itu jauhilah. Proses pengharaman khamar itu mengisyaratkan akan pentingnya pemahaman seorang guru (pengajar atau orang tua) pada ilmu kepribadian, atau lebih tepatnya psikologi kepribadian. Dengan pamahaman yang baik akan kepribadian siswa, seorang guru akan dapat: (1) mengenal sifat anak masing-masing, sehingga pelajarannya dapat mudah diterima oleh anak, (2) akan terhindar dari kemungkinan timbul konflik dengan anak-anaknya sendiri, yang

berarti bahwa guru telah kehilangan wibawa di mata siswa-siswanya, dan apakah yang akan diharapkan dengan hasil pendidikan semacam itu?, dan (3) dapat mencegah kemungkinan timbulnya prustasi bagi anak, dan itu berarti suatu sukses besar di dalam proses belajar mengajar.38
38 Agus

sujanto, dkk, Psikologi Kepribadian, jakarta, Bumi Aksara, 1997, Hlm. 7 Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 7 No.11 April 2009

Pelajaran itu adalah; bahwa dalam prose belajar mengajar seorang guru atau pemuka agama (dai / penceramah) seyogyanya memperhatikan peserta didiknya atau orang yang mendengarkan ceramahnya dalam bingkai psikologi sosial mereka sehingga apa yang disampaikan nantinya bisa diterima dan dimengerti oleh mereka yang mendengarkannya. c. Pendidikan itu harus sesuai dengan pendengarnya Adanya ayat-ayat nasikh (menghapus) atas ayat-ayat mansukh (yang dihapus), yang menurut sebagian ulama sudah tidak kontekstual lagi dengan keadaan jamannya mengitibarkan pelajaran berharga bagi dunia pendidikan Kesimpulan Dari pemaparan di atas akhirnya kita dapat mengambil beberapa intisari penting, di antaranya. a. Bahwa tidak dapat kita pungkiri adanya pertentangan ulama tentang keabsahan nasikhmansukh dalam al-Qur'an. Ulama yang menolak masalah ini di antaranya Abu Muslim alIshfahani dan al-Fakhrurrazi, menurut mereka semua ayat sudah tetap (muhkam) dan wajib kita amalkan. Sedangkan Muhammmad Abduh terkesan lebih bisa menerima atau menyetujui adanya nasikh dalam arti tabdil (pergantian) dan menolak nasikh dalam arti pembatalan. b. Menurut ulama yang setuju dengan konsep (teori) nasikh, nasikh terbagi menjadi empat, yaitu: nasikh al-Qur'an dengan al-Qur'an, nasikh al-Qur'an dengan sunnah, nasikh Sunnah dengan al-Qur'an, dan nasikh Sunnah dengan Sunnah. c. Adanya fenomena nasikh mansukh dalam al-Quran ini memberikan banyak pelajaran berharga bagi kita, khususnya dunia pendidikan kita seperti: proses belajar itu seyogyanya dilakukan secara bertahap, arti penting psikologi kepribadian khusunya bagi para (tenaga) pengajar, dan pembelajaran yang baik itu adalah pembelajaran yang memperhatikan pendengarnya dalam bingkai psikologi sosial mereka.
Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 7 No.11 April 2009

6
DAFTAR PUSTAKA Al-Ghazali, Muhammad, Berdialog Dengan Al-Quran; Memahami Peran Kitab Suci Dalam Kehidupan Masa Kini, (Terj), Bandung, Mizan, 1997 Al-Qattan, Manna', Mabahis fi Ulum al-Qur'an, ttp; Mansyurat al-Atsr al-Hadits, 1973. Ash Shiddieqy, Hasby, Ilmu-ilmu AlQuran; Media-media Pokok Dalam Menafsirkan Al-Quran, Jakarta, Bulan Bintang, 1972 Az-Zuhaili, Wahbah, Usul al-Fiqh al-Islami, Beirut, Dar al-Fikr, 1986. Baidowi, Ahmad, Teori Naskh dalam Studi Al-Qur'an: Gagasan Rekonstruktif MH. Al-Tabataba'i, Yogya, Nur Pustaka, 2003. Chirzin, Muhammad, al-Qur'an dan Ulumul Qur'an, Jakarta, PT Dana Bakti Prima Yasa, 1998. Depag RI. Al-Qur'an dan Terjemahnya, Surabaya, Surya Cipta Aksara, 1993. Ibnu Rusn, Abidin, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1998 Khalafullah, Muhammad A, 2003, Al-Qur'an bukan Kitab Sejarah, Seni, Sastra, dan Moralitas dalam Kisah-kisah Al-Qur'an, terj Zuhairi Misrawi dan Aris Maftuhin, Jakarta, Paramadina. Khallaf, Abd Wahab, Ilmu Ushul al-Fiqh, ttp. Dar al-Ilm , 1978 Rahman, Fazlur, Tema Pokok al-Qur'an, Bandung, Pustaka, 1996. Shihab, Quraisy, Membumikan al-Qur'an, Bandung, Mizan,1999 Sujanto, Agus dkk, Psikologi Kepribadian, Jakarta, Bumi Aksara, 1997 Sukardi (editor), Belajar Mudah Ulum al-Qur'an: Studi Khasanah Ilmu al-Qur'an, Jakarta, Lentera, 2002. Yusuf al-Qordhowi, Ijtihad dalam Syari'at Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1987. Zaid, Nasr Hamid Abu, Tektualitas al-Qur'an: Kritik Terhadap Ulumul al-Qur'an, Terj, Khoiron Nahdiyyin, Yogya, LKIS , 2002

Selasa, 10 Juli 2012


Nasikh dan Mansukh
Diposkan oleh Scar's Blog di 19:12

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Al Quran merupakan sumber ilmu yang takkan habis-habisnya untuk dikaji dan diteliti. Banyak cabang-cabang ilmu pengetahuan yang digali dari Al-Quran. Dalam makalah ini kami mencoba sedikit membahas tentang ilmu Nasikh Mansukh yang cukup panjang pembahasannya, namun kami telah berusaha untuk lebih teliti dan jeli dalam mempelajarinya. Dengan harapan sebagai seorang muslim yang taat dan paham kita semakin memahami isi kandungan Al-Quran secara benar dan baik. Di samping itu, tuntutan kebutuhan setiap umat terkadang berbeda satu dengan yang lain. Apa yang cocok untuk satu kaum pada suatu masa mungkin tidak cocok lagi pada masa lain. Oleh karena itu wajarlah jika Allah menghapuskan suatu huum syara dengan huku syara yang lain untuk menjaga kepentingan para hamba berdasarkan pengetahuan-Nya tentang yang pertama dan yang berikutnya.

B. Rumusan Masalah 1. Apa yang dimaksud dengan nasikh dan mansukh ? 2. Bagaimana pendapat ulama mengenai nasikh dan mansukh ? 3. Apa urgensi mempelajari nasikh dan mansukh ? C. Tujuan 1. Untuk mengetahui pengertian nasikh dan mansukh. 2. Untuk mengetahui pendapat ulama mengenai nasikh dan mansukh. 3. Untuk mengetahui urgensi mempelajari nasikh dan mansukh.

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Nasikh Mansukh Nasikh secara etimologi yaitu menghapus / mengganti / memindahkan / mengutip. Sedangkan secara terminologi, nasikh berarti menghapus suatu hukum syara dengan dalil syara yang datang kemudian, dengan catatan kalau sekiranya tidak ada nasikh itu tentulah hukum yang pertama akan tetap berlaku.[1] Seperti terlihat dalam surat Al-Baqarah ayat 106 sebagai berikut :[2]

Artinya : Ayat mana saja[3] yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu? Mansukh secara etimologi yaitu sesuatu yang diganti. Sedangkan secara terminologi, mansukh berarti hukum syara yang menempati posisi awal, yang belum diubah dan belum diganti dengan hukum syara yang datang kemudian. Arti nasikh mansukh dalam istilah fuqaha antara lain: 1. Membatalkan hukum yang telah diperoleh dari nas yang telah lalu dengan suatu nas yang baru datang. Seperti cegahan terhadap ziarah kubur oleh Nabi, lalu Nabi membolehkannya.
[1]

Tim Penyusun MKD, Studi Al-Quran, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 2011), hlm. 123 DEPAG, Al-Quran dan Terjemahnya, Jakarta, 2002, hlm. 20
Para mufassirin berlainan Pendapat tentang arti ayat, ada yang mengartikan ayat Al Quran, dan

[2]

[3]

ada yang mengartikan mukjizat.

2. Mengangkat nas yang umum, atau membatasi kemutlakan nas seperti : a. Surat Al-Baqarah ayat 228;

Artinya : wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru' [4] b. Surat Al-Ahzab ayat 49;

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuanperempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah[5] dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya. Nas yang pertama umum; termasuk didalamnya istri yang sudah didukul (dicampuri)

dan yang belum. Sedang nas yang kedua khusus tertuju pada istri yang belum didukhul. Terjadinya Nasikh-Mansukh mengharuskan adanya syarat-syarat berikut : 1. Hukum yang mansukh adalah hukum syara.[6] 2. Adanya dalil baru yang mengganti (nasikh) harus setelah ada tenggang waktu dari dalil hukum yang pertama (mansukh). 3. Antara dua dalil nasikh dan mansukh harus ada pertetangan yang nyata (kontradiktif). 4. Dalil yang mengganti (nasikh) harus bersifat mutawatir.
[4]

Quru' dapat diartikan suci atau haidh.

[5]

Yang dimaksud dengan mut'ah di sini pemberian untuk menyenangkan hati isteri yang

diceraikan sebelum dicampuri. [6] AL-Khattan, Manna Khalil, Studi Ilmu-Ilmu Quran, (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa,

2006), hlm. 327

B. Pendapat Ulama Mengenai Nasikh Mansukh Timbulnya sikap ulama menanggapi isu nasikh dan mansukh sebenarnya dalam rangka merespon surat An-Nisa ayat 82 ;

Artinya : kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. Berikut sikap pro dan kontra dari para ulama tentang tepri nasikh-mansukh : 1. Pendukung teori nasikh-mansukh. Ulama-ulama yang berpendapat seperti ini adalah Imam Syafii (204 H), An Nahas (388 H), As Suyuti (911 H) dan Asy Syukani (1250 H). Dasar teori nasikh-mansukh dalam konteks makna tersebut antara lain : [7] a. Surat Al-Baqarah ayat 106 :

Artinya : Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?

b. Surat An-Nahl ayat 101 :

Artinya : " Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya Padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui." c. Adanya kenyataan bahwa beberap ayat ada yang menunjukkan gejala kontradiksi. Misalnya dalam penelitian an-Nahas (388 H) terdapat ayat yang berlawanan dengan
[7] Teungku M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Quran dan Tafsir,

(Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 2000), hlm. 104

ayat-ayat yang lain berjumlah 100 ayat, menurutnya realitas yag diteukan tersebut, mengindikasikan adanya ayat-ayat yang di-mansukh. Kemudian jauh sesudahnya As Suyuti (911 H) hanya menemukan 9 ayat saja. Selanjutnya Asy Syukani (1250 H), bahkan hanya menemukan 8 ayat saja yang tidak mampu dikompromikan.

2. Penolak teori nasikh-mansukh. Ulama-ulama yang berpendapat seperti ini adalah antara lain : Abu Muslim Al Ashfahany (322 H), Imam Al Fakhrur Razy-Syafii Mazhaban (605H), Muhammad Abduh (1325 H), Sayyid Rasyid Ridla (1354 h), Dr, Taufiq Shidqy dan Ustadz Khudhaybey. Alasan mereka antara lain : a. Jika di dalam al-Quran ada ayat-ayat yang mansukh berarti membatalkan sebagian isinya. Membatalkan isinya berarti menetapkan bahwa di dalam al-Quran ada yang batal (yang salah). Padahal Allah telah menerangkan ciri al-Quran antara lain dala surat Fussilat ayat 42 :

Artinya : Yang tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji. b. Al-Quran adalah syariat yang diabadikan hingga ahir zaman dan menjadi hujjah bagi manusia sepanjang zaman. c. Kebanyakan ayat-ayat yang tertuang di dalam al-Quran bersifat kulliyah bukan juziy-khas, dan hukum-hukumnya di dalam al-Quran diterangkan secara ijmaly bukan secara khas. d. Al-Quran surat al-Baqarah ayat :106 tidak memastikan kepada adanya naskh ayat alQuran. e. Adanya ayat-ayat yang sepintas nmpk kontradiksi, tidak memastikan adanya naskh.

C. Urgensi Mempelajari Nasikh dan Mansukh

Ilmu nasikh-mansukh dalam penggalian ajaran dan hukum Islam dalam alQuran sangat penting untuk mengetahui proses tshri (penetapan dan penerapan hukum) Islam sejalan dengan dinamika kebutuhan masyarakatnya yang selalu berubah, sejuhmana elastisitas ajaran dan hukumnya, serta sejauhmana perubahan hukum itu berlaku. Disamping itu untuk menelusuri tujuan ajaran, dan illat hukum (alasan ditetapkannya suatu hukum), sehingga suatu hukum dan ajarannya boleh diberlakukan secara longgar dan ketat sebagaimana hukum asalnya sesuai kondisi yang mengitarinya atas dasar tujuan ajaran dan illat hukum tersebut.

BAB III PENUTUP

A. Simpulan Nasikh yaitu menghapus suatu hukum syara dengan dalil syara yang datang kemudian. Sedangkan mansukh yaitu hukum syara yang menempati posisi awal, yang belum diubah dan belum diganti dengan hukum syara yang datang kemudian. Ada dua pendapat para ulama tentang teori nasikh-mansukh yaitu ada yang mendukung atau setuju dan ada yang menolak atau tidak setuju jika terdapat nasikh dan mansukh didalam al-Quran. Urgensi mempelajari nasikh dan mansukh adalah untuk mengetahui proses tashri (penetapan dan penerapan hukum) Islam dan untuk menelusuri tujuan ajaran, serta illat hukum (alasan ditetapkannya suatu hukum).

B.

Saran

Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis senantiasa dengan lapang dada menerima bimbingan dan arahan serta saran dan kritik yang sifatnya membangun demi perbaikan makalah berikutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul HA, Djalal, H. Prof., Dr. 2000. Ulumul Quran (Edisi Lengkap). Surabaya : Dunia Ilmu. AL-Khattan, Manna Khalil. 2006. Studi Ilmu-Ilmu Quran. Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa Ash-Shiddieqy, Teungku M. Hasbi. 2000. Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Quran dan Tafsir. Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra Chirzin, Muhammad. 1998. Al-Quran Dan Ulumul Quran. Jakarta : Dana Bhakti Prima Yasa. DEPAG. 2002. Al-Quran dan Terjemahnya. Jakarta Denffer, Ahmad. 1988. Ilmu Al-Quran. Jakarta : Rajawali. Syaikh Muhammad Bin Sholel al Utsaimin. 2004. Pengantar Ilmu Tafsir. Jakarta : Darus Sunnah Press. Tim Penyusun MKD. 2011. Studi Al-Quran. Surabaya: IAIN Sunan Ampel

Pembentukan Dinasti Umayyah pada masa Muawiyah bin Abi Sufyan


Keturunan umayyah bin Abdul Syam, salah satu suku Quraisy yang dalam sejarah Islam dikenal telah mendirikan pemerintahan dalam dua periode : Damaskus danCordoba. Di masa pra Islam Bani Umayyah selalu bersaing dengan Bani Hasyim yang juga merupakan klan suku Quraisy.Bani Umayyah lebih berperan didalam masyarakat Mekah. Merekalah yang menguasai pemerintahan dan perdagangan yang banyak bergantung pada para pengunjung Kabah, sementara Bani Hasyim adalah orangorang yang berekonomi sederhana.[1] Di masa Khalifah Abu Bakar Siddiq as, Bani umayyah merasa rendah karena kelas mereka berada di bawah kelas kaum Ansar dan Muhajirin. Abu Bakar menyatakan bahwa mereka adalah angkatan yang paling kemudian masuk Islam, dan untuk menjadi setingkat dengan kedua kaum di atas, mereka harus mengikuti perang dalam membela Islam.Dimasa Khalifah Usman bin Affan, yang juga merupakan salah satu anggota Bani Umayyah, Muawiyah mendapatkan ketetapan bahwa kepemimpinan Suriah diberikan kepada Bani Umayyah, sebagaimana Mekah dimasa Jahiliyah berada dalam kekuasaan Quraisy. Masa kekhalifahan Bani Umayyah hanya berumur 90 tahun yaitu dimulai pada masa kekuasaan Muawiyah Ibn Abi Sufyan, dimana pemerintahan yang bersifat Islamiyah berubah menjadi monarchiheridetis (kerajaan turun temurun), yaitu setelah al Hasan bin Ali menyerahkan jabatan kekhalifahan kepada Muawiyah ibn Abu Sufyan dalam rangka mendamaikan kaum muslimin yang pada saat itu sedang dilanda fitnah akibat terbunuhnya Ustman Ibn Affan, perang jamal dan penghianatan dari orang-orang al khawarij dan syiah. Suksesi kepemimpinan secara turun temurun dimulai ketika Muawiyah Ibn Sufyan mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid Ibn Muawiyah. Muawiyah Ibn Abi Sufyan bermaksud mencontoh monarchi di Persiadan Bizantium. Dia memang menggunakan istilah khalifah, namun dia memberikan interprestasi baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut. Dia menyebut khalifah Allah dalam pengertian penguasa yang diangkat oleh Allah.[2] Selanjutnya akan dijelaskan bagaimana keberhasilan pemerintahan bani umayyah oleh penguasa Umawiyah terhadap kemajuan peradaban Islam. Sebab terbentuknya Bani Umayyah Nama Bani Umayyah dalam bahasa Arab berarti anak keturunan Umayyah yaitu umayyah ibn Abdi Syam ibn Abdi Manaf (silsilah terlampir), Seorang bangsawan kaya raya yang banyak pula keturunannya sehingga mampu bersaing menghadapi pamannya,Hasyim ibn Abdi Manaf.Bani umayyah baru masuk Islam setelah Nabi Muhammad SAW berhasil menaklukkan kota Mekah (Fathul Makkah). Pada tahun 8 H. Sepeninggal Rasulullah, Bani umayyah sesungguhnya telah menginginkan jabatan pengganti Rasul (khalifah), tetapi mereka belum berani menampakkan citacitanya itu pada masa Abu Bakar dan umar.[3]

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Dalam sejarah panjang umat Islam, ada banyak nama tokoh-tokoh penting yang mampu membawa agama Islam pada kemajuan peradaban. Agama Islam menjadi sebuah gelombang peradaban hebat yang pada masa tersebut belum ada kekuatan lain yang mampu menghentikan semangat syiar dan perluasan wilayah yang tengah dilakukan oleh umat Islam. Perluasan daerah tersebut sebenarnya telah dilakukan semenjak khalifah pertama (Abu Bakar) memegang tampuk kepemimpinan umat pasca dilakukannya jajak pendapat di antara para sahabat. Perluasan demi perluasan membawa beberapa hal yang pada satu sisi berdampak positif, seperti diterjemahkannya pengetahuan Yunani ke dalam bahasa Arab, akulturasi bangsa Arab dengan Persia, dan lain sebagainya. Sementara sisi negatif dari perluasan tersebut, melemahnya kondisi internal umat Islam karena sebagian elit sibuk dengan urusannya sendiri karena dengan banyaknya daerah jajahan berarti banyak pajak yang masuk, militer terangsang untuk terus memburu jarahan, munculnya raja-raja kecil yang kadang kurang terkoordinasi dengan pemerintah pusat, serta ketimpangan social di daerah ibu kota. Dinasti Umayyah, dengan Muawiyyah sebagai raja yang pertama, telah mampu mengorganisir seluruh kekuatan kultural jazirah Arab dalam satu komandonya, sebab ia berangkat dari salah satu bani dari suku Qurais yang memiliki integritas tinggi, baik dalam kaca mata Mekkah maupun Islam. Sebab pernah nabi bersabda untuk menganjurkan bila kepemimpinan sebaiknya dipegang oleh Qurais. Hanya saja, keberangkatan Muawiyyah membangun dinastinya membutuhkan proses panjang yang berliku, penuh intrik, konspirasi, dan ancaman dari lawanlawannya. Walau demikian, Muawiyyah mampu membuktikan pada semuanya bila dirinya merupakan salah satu politisi unggul dalam dunia Islam dan tokoh penting

yang berhasil membawa Islam pada kejayaan. Maka makalah ini berusaha melacak jejak-jejak Muawiyyah beserta perluasan yang pernah dilakukan oleh raja-raja dari dinasti Umayyah.

B. Rumusan Masalah Yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini berdasar dari pemaparan dalam latar belakang adalah:

a. Siapakah Muawiyyah tersebut? b. Bagaimana sejarah kemunculan dinasti Umayyah? c. Perluasan yang pernah dilakukan Umayyah meliputi daerah mana saja? d. Raja-raja dalam dinasti Umayyah yang berjasa besar adalah?

C. Tujuan Pembahasan

a. Mengetahui biografi muawiyyah, pendiri imperium Umayyah. b. Mengetahui sejarah berdirinya dinasti Umayyah. c. Mengetahui sejauh mana perluasan dari dinasti Umayyah beserta sisi positif dan negatifnya. d. Mengetahui raja-raja dari dinasti Umayyah yang memegang peran penting dalam masa pemerintahannya.

BAB II PEMBAHASAN

A. Muawiyyah ibn Abu Sufyan ibn Harb

Muawiyyah lahir di Makkah pada 597 M dari pasangan Abu Sufyan bin Harb dari bani Umayyah dan Hindun binti Utbah yang juga keturunan bani Umayyah.1[1] Muawiyyah tidak terhitung sebagai kelompok pengikut pertama Nabi Muhammad. Ia masuk Islam setelah penaklukan Makkah(fathul Makkah) pada 623 M.2[2] Kala itu usianya sekitar 25 tahun, ia masuk Islam bersama dengan ayahnya Abu Sufyan, yang awalnya menjadi mata-mata warga Makkah dan menentang Nabi. Setelah dewasa, Muawiyyah tumbuh sebagai sosok yang berbadan tinggi besar dan gagah. Di masa Rasulullah masih hidup, Muawiyyah dikabarkan pernah menjadi salah seorang pencatat wahyu.3[3] Sepeninggal Rasulullah, ia dipercaya oleh Khalifah Umar bin Khattab sebagai Gubernur Syam. Posisi itu terus dipegangnya sampai masa kekhalifahan Sayyidina Ali. Namun, sebagai gubernur, ada satu cacat yang mewarnai pribadi Muawiyyah: senang bermewah-mewah.

Kabar tentang gaya hidup Muawiyyah itu sampai ke telinga Khalifah Umar yang terkenal keras dan amat sederhana. Maka pada suatu ketika, Khalifah Umar pun singgah ke Syam untuk membuktikannya. Begitu menyaksikan sendiri cara hidup Muawiyyah, Khalifah Umar pun menegurnya dengan cukup keras. Teguran itu dijawab Muawiyyah dengan alasan yang masuk akal. Menurut dia, kini ia tengah berada di kawasan yang penuh dengan mata-mata musuh Islam. Karena itu, ia merasa harus menunjukkan kemuliaan penguasa Islam yang berarti juga kemuliaan Islam dan seluruh muslim. Dengan begitu, musuh-musuh Islam akan gentar. Muawiyyah juga memberi catatan, bila Khalifah menginginkan, ia akan menghentikan gaya hidup seperti itu. Mendengar jawaban itu, Khalifah Umar tidak melarang dan tidak pula menganjurkan Muawiyyah melanjutkan caranya itu. Umar hanya mengingatkan risikonya harus ditanggung sendiri. Bila niat itu benar, itu adalah pendapat Muawiyyah sendiri. Tapi, jika itu batil, cara

1[1] http//.www.wordpress.com.Tinjauan Kritis Terhadap Fase-Fase Peradaban Islam.Sabtu 28 November 2009 2[2] Bernard lewis, Bangsa Arab Dalam Lintasan Sejarah, pent. Said jamhuri (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1994) hal. 33. 3[3] Informasi ini kurang begitu valid, mengingat keislaman Muawiyyah tergolong baru, serta mendekati Nabi wafat. Sebagaimana telah diketahui, pasca haji wada tidak turun lagi wahyu. Pendapat tentang Muawiyyah sebagai pencatat wahyu bisa saja terjadi kalau ia mencari data tentang wahyu tersebut semenjak masuk Islam. Dan ia sering bertanya terhadap para sahabat yang hafal Quran dan mengetahui sebagian besar turunnya wahyu. Sehingga kemungkinan besar informasi bila Muawiyyah adalah pencatat wahyu kalau ditelisk lebih jauh semakin menunjukkan bila para kerabat dari Muawiyyah ingin menciptakan sebuah pandangan yang lebih bersih tentang pribadi Muawiyyah.

itu merupakan tipu daya Muawiyyah sendiri. Aku tidak menyuruhmu dan tidak pula melarangmu, ujar Umar waktu itu.4[4]

Ada sebuah ungkapan yang dikenal luas dari pribadi Muawiyyah di kalangan Arab, bahkan sampai sekarang, yang berbunyi:

Aku tidak akan menggunakan pedangku selama cambukku sudah cukup. Aku tidak akan menggunakan cambukku selama lidahku masih bisa mengatasi. Jika ada rambut yang membentang antara diriku dan orang yang menentang diriku, maka rambut itu tidak akan pernah putus selamanya. Jika mereka mengulurnya, aku akan menariknya. Jika mereka menariknya, maka aku akan mengulurnya. 5[5]

Hal tersebut memang mengisyaratkan tentang kepribadian Muawiyyah yang terkenal pandai dalam bernegosiasi. Dengan jalan negosiasi (perang adalah bentuk negosiasi terakhir ketika upaya perundingan tidak tercapai. Lihat bagaimana sukusuku kuno atau Negara-negara modern melakukan upaya diplomasi lebih dahulu dalam kerangka membangun negosiasi, ketika upaya diplomasi gagal, maka ada yang memakai jalan perang untuk membuktikan superioritasnya) pula, Muawiyyah membangun daulah yang mampu membuat Islam sebagai kekuatan baru, ketika Persia dan Bizantium mulai kehilangan pijakan.

Muawiyyah juga membuat perubahan mendasar dalam angkatan perang yang dimilikinya. Muawiyyah mencoba membuat kesetiaan para angkatan perangnya tidak hanya tertuju pada kabilah (bisa diartikan marga) atau suku, namun kepada pemerintah yang telah dibentuknya.6[6] Sehingga dengan demikian ia mendapat
4[4] http//.www.wordpress.com 5[5] Ungkapan ini seelanjutnya terkenal dengan nama rambut Muawiyyah, lih. Ahmad Amin, Husayn, Seratus Tokoh Dalam Islam, ed. Cucu Juanda (Bandung: Rosda Karya,2001) hal. 26. 6[6] Revolusi dalam bidang militer ini merupakan ide-ide Muawiyyah setelah mengetahui system administrasi serta bentuk kesetiaan pasukan Bizantium yang hanya tertuju pada raja mereka. Akibat dari konsekuensi perubahan tadi adalah, Negara menetapkan gaji yang tetap terhadap para pasukan, hal itu belum termasuk rampasan perang, tanah liar, dan promosipromosi penting lain. Tetapi yang menarik dari revolusi militer ini adalah, semakin menguatnya kesetiaan para pasukan hanya kepada Muawiyyah, karena mereka merasa mendapatkan manfaat dari kepatuhan tersebut yang mungkin tidak diperoleh ketika masih terfokus pada kesetiaan terhadap kabilah masing-masing.

legitimasi dari seluruh pasukannya yang tidak terdiri dari satu kabilah atau satu suku saja. Karena kepandaian negosiasi serta mampu mempertemukan sekian suku yang ada di jazirah Arab tersebut, akhirnya kebesaran nama Muawiyyah meemukan relevansinya. Selain itu pula, terhadap umat beragama lain, Muawiyyah juga menjaga toleransi demi persatuan yang tengah ia bangun. Tidak jarang ada pegawai non muslim yang menempati posisi strategis dari pemerintahannya, ia sendiri menikahi salah satu dari perempuan nasrani.7[7] Sehingga hubungan interaksi umat islam dengan yang lainnya, pada kala tersebut bisa dikatakan lumayan baik.

B. Berdirinya Kerajaan Bani Umayyah Sejarah yang membuat Muawiyyah membentuk kerajaan Umayyah tergolong menarik untuk disimak secara lebih lanjut. Prosesnya dimulai ketika dirinya ditunjuk untuk menjadi gubernur di Syam. Ia mampu membuat daerah tersebut menjadi daerah paling kaya di antara seluruh daerah di kekuasaan Islam. Ia menjadi gubernur karena jasa-jasanya yang fenomenal, seperti keberhasilannya mematahkan serangan Romawi dan mengepung Konstantinopel, serta membuat armada laut yang membuat gerakan pasukan muslim semakin luas.8[8] Sewaktu menjabat di Syam, Muawiyyah memang terbilang sebagai gubernur yang cakap dalam mengembangkan potensi yang ada di daerahnya, selain itu ia juga ingin membuat cerminan atas Negara muslim kepada lawan-lawan Islam kalau islam adalah sebuah Negara yang kaya dan tangguh. Peristiwa yang menjadi pemicu dari keberanian Muawiyyah untuk membuat imperium sendiri adalah ketika khalifah usman meninggal terbunuh dalam sebuah

7[7] Keluarga Sarjun adalah pemeluk nasrani, secara turun temurun tuga mengelola bait al mal diserahkan kepada mereka. Muawiyyah menikahi Masyun, seorang perempuan nasrani, dari perempuan ini kemudian lahirlah Yazid, yang menjadi raja setelahnya. Lih, Ahmad Amin, Husayn26. 8[8] Pembuatan armada laut terjadi sekitar tahun 653 M. dan yang mengangkatnya menjadi gubernur di Syam adalah khalifah Umar. A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam II, pent. Mukhtar Yahya (Jakarta: Al Husna Dzikra, 200) hal. 48.

konspirasi politik yang rumit. Khalifah Utsman bagi sebagian besar umat Islam kala itu dinilai terlalu nepotis. Hanya mengandalkan kerabat dan kenalan yang dinilai seide untuk mengisi jabatan-jabatan pemerintahan yang ia pimpin. Utsman dapat menjadi khalifah melewati pertimbangan yang cukup rumit. Ada dua kelompok (bani) dalam Islam yang disegani secara hirarkhis dalam masa itu, yaitu bani Umayyah dan bani hasyim. Keduanya juga memiliki keistimewaan tersendiri yang tidak dimiliki oleh bani-bani lain, bani Umayyah terkenal ulung dalam masalah perniagaan (kekayaan) serta politik. Sedangkan bani Hasyim lebih pada kecenderungan religius (bani Hasyim pada beberapa periode menjadi juru kunci dari Kabah) dan tingkat intelektual mereka. Pemilihan Utsman menjadi khalifah ada dua hal yang melandasinya, pertama adalah, kemungkinan menarik kembali jabatan dari bani Umayyah lebih bisa dimungkinkan dari pada bani Hasyim. Karena bani hasyim telah memiliki basic hegemoni yang kuat di kalangan umat Islam. Kedua, para elit islam ingin metode baru (system pemerintahan), karena menganggap bahwa Umar terlalu tegas, keras dan mengedepankan disiplin. Berbeda dengan Utsman yang cenderung untuk mengambil upaya diplomasi dan kurang begitu mampu untuk memaksakan keputusan yang dibuatnya sendiri.9[9] Dampak dari naiknya Utsman menjadi khalifah juga cukup besar, tampilnya bani Umayyah menjadi kerajaan bayangan dari Negara Islam yang dipimpin oleh Utsman, sehingga sangat masuk akal kalau Muawiyyah menjadi marah atas terbunuhnya utsman. Karena posisi bani Umayyah sudah cukup kuat secara politis,

9[9] Sebenarnya factor ini ada tiga, yang terakhir adalah sebuah kenyataan bahwa Utsman lebih tua dari pada Ali, dengan pengalaman dan kebijakannya pula, diharapkan Utsman mampu membuat perubahan besar dalam Negara Islam. Hanya saja kemudian, 2 faktor ini lebih bernuansa politis dari pada ideologis. Ini terjadi sebab terlihat jelas pertarungan kepentingan antara elit-elit Islam yang terjadi semenjak Nabi Muhammada meninggal. Beruntung Abu BAkar dan Umar mampu meredam konflik tersebut sehingga untuk beberapa waktu konflik itu menipis.A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam I, pent. Mukhtar Yahya (Jakarta: Al Husna Dzikra, 200) hal. 273

dengan berani Muawiyyah menyatakan tidak akan mengakui pemerintahan Ali sebelum pembunuh Utsman ditangkap. Pembangkangan Muawiyyah ini menjadi jalan dari perang Shiffin yang kemudian melahirkan peristiwa tahkim. Harus dipahami betul bahwa bani Umayyah memiliki naluri politik dan strategi yang handal, maka tidak mengherankan kalau pemenang dari konflik antara Ali dan Muawiyyah adalah Muawiyyah, meski secara taktik militer muawiyyah tertinggal jauh dari Ali. Maka kemudian pasca tahkim ini muncul kelompokkelompok dalam Islam yang menjadikan Islam sebuah agama sekaligus identitas kelompok mereka.10[10]

Tahkim menjadi titik awal kelemahan pihak Ali dan kebangkitan Muawiyyah dalam memperkokoh bangunan imperium yang hendak disusunnya. Karena setelah peristiwa tersebut, pihak Ali terpecah menjadi dua bagian, sementara di kelompok Muawiyyah menjadi semakin yakin akan keberhasilan mereka. Padahal peristiwa tahkim adalah sebuah siasat untuk melarikan diri dari peperangan dengan memakai taktik politik. Karena ada dua bentuk pemerintahan dalam sebuah Negara Islam, yaitu Ali dan Muawiyyah, masyarakat menjadi terkena imbasnya, beberapa daerah yang masih loyal terhadap Ali dan secara territorial lebih dekat kepada Muawiyyah menjadi lahan konflik.11[11]

10[10] Maksudnya adalah, dari peristiwa tahkim ini muncul khawarij dan syiah yang meskipun islam, tapi mereka mempunyai perspektif tersendiri tentang apa itu sebenarnya Islam. Perbedaan cara pandang dalam memahami Islam ini selanjutnya melahirkan perkembangan yang luar biasa dalam khazanah pengetahuan islam. 11[11] Kondisi ini dialami oleh gubernur Mesir Qais ibn Saad yang meskipun ia masih sangat loyal pada Ali, ia ternyata tidak dapat mengatasi tipu daya Muawiyyah, karena Qais tidak dapat dibujuk oleh Muawiyyah untuk meninggalkan Ali, namun ternyata Muawiyyah di luar Mesir telah membangun sebuah isu politik bila Qais merupakan gubernur yang mengakui Muawiyyah sebagai pemerintahan yang sah. Karena isu yang terbangun begitu kuat dan sampai pada khalifah Ali, akhirnya Qais sendiri posisinya digantikan oleh Muhammad ibn abi Bakar yang kurang idealis dan tidak memiliki sikap toleransi tinggi seperti yang praktekkan oleh Qais. Akhirnya Muhammad ibn Abi Bakar meninggal karena diserang oleh pasukan

Setelah ali meninggal karena terbunuh, puteranya Hasan menyerahkan kekuasaan kepada Muawiyyah, hal mana untuk mengurangi perpecahan yang terjadi, serta membuat satu pemimpin yang sah dan untuk diikuti oleh seluruh umat.12[12] Langkah Hasan ibn Ali ini merupakan langkah diplomatis yang memang sudah seharusnya ia melakukan hal tersebut. Karena Ali sebagai symbol khalifah yang sah sudah meninggal, dan Muawiyyah telah menyatakan kekuasaannya. Perang yang sudah berlangsung antara umat islam sendiri mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit. Karenanya, langkah Hasan ibn Ali bukan semata-mata tanpa pertimbangan yang nyata. Pada tahun 41 H/661 M, Muawiyyah memindahkan pusat pemerintahannya ke Damaskus, yang melatarbelakangi kepindahannya adalah, bahwa Damaskus merupakan daerah yang subur dan penghasil bahan pangan. Kondisi ini akan mendukung dalam upayanya melakukan persiapan menaklukkan daerah luar Arab. Selain itu pula, Muawiyyah ingin sedikit meredakan pertentangan di sekitar wilayah Arab bagian tengah, lebih tepatnya pertentangan dirinya dengan kelompok khawarij maupun sisa-sisa pengikut Ali. Namun yang lebih kuat adalah, bahwa dahulu semenjak ia berhasil membuat angkatan laut, ada ambisi terpendam untuk menguasai daerah-daerah luar Arab yang selama periode ke belakang masih dipegang oleh kekuasan Persia atau Byzantium. Di luar jazirah Arab, masih terdapat hal-hal baru yang tidak terdapat di jazirah Arab, itulah salah satu alasan utama kepindahan Muawiyyah ke Damaskus.
Muawiyyah yang secara sengaja menunggu saat yang tepat untuk mengalahkan Mesir. Lih. A. Syalabi, Sejarah Dan Kebudayaan Islam I.hal 306 12[12] Ada tiga orang yang sebenarnya menjadi sasaran pembunuhan berencana yang dilakukan oleh sekelompok golongan yang kecewa terhadap peristiwa tahkim (khawarij), yaitu Ali ibn Abi Thalib, Muawiyyah ibn Abi Sufyan, dan Amr ibn Ash. Ali ibn Abi Thalib berhasil mereka bunuh, sementara Muawiyyah hanya mengalami luka, dan Amr ibn Ash terhindar dari pembunuhan. Peristiwa ini membuat khawarij sebagai musuh bersama baik dari pihak Ali maupun Muawiyyah karena langkah-langkah ekstrem mereka. Dan sewaktu Muawiyyah menjadi khalifah yang tunggal, perburuan terhadap kelompok ini gencar dilakukan untuk memberangus ajaran dan pengikutnya.

Sebelum meninggal dalam usianya yang ke-83, Muawiyyah telah menunjuk anaknya Yazid untuk mengantikannya sebagai Raja, dengan demikian nyatalah bahwa konsep Negara modern yang coba dibangun oleh Nabi Muhammad dan dikembangkan oleh para sahabatnya harus hancur di tangan Muawiyyah, sebab konsep tadi untuk peradaban manusia pada masa tersebut terlalu canggih dan kurang mengenal kultur yang ada. Konsep monarchi hereditis ini selain dipakai Muawiyyah untuk menguatkan posisi dirinya dan bani Umayyah juga berguna untuk membuat umat Islam hanya berada pada satu komando, dan tentunya pemegang komando tersebut adalah keturunannya dan sekelompok orang dari dinasti Umayyah.

C. Perluasan Yang Dilakukan Dinasti Umayyah Beserta Sisi Positif Dan Negatifnya Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah, baik di timur maupun barat, wilayah kekuasaan Islam masa Bani Umayyah sangat luas. Daerah-daerah itu meliputi Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, Jazirah Arabia, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, Turkmenia, Uzbek, dan Kirgis di Asia Tengah.13[13]

Ekspansi yang terhenti pada masa khalifah Utsman Ibn Affan dan Ali Ibn Abi Thalib dilanjutkan kembali oleh daulah ini. Di zaman Muawiyah Ibn Abu Sufyan Tunisia dapat ditaklukkan. Di sebelah timur, Muawiyah dapat menguasai daerah Khurasan sampai ke sungai Oxus dan Afganistan sampai ke Kabul. Angkatan lautnya melakukan seranganserangan ke ibu kota Bizantium, Konstantinopel. Ekspansi ke timur yang dilakukan Muawiyah kemudian dilanjutkan oleh khalifah Abd al-Malik Ibn Marwan. Dia mengirim tentara menyeberangi sungai Oxus dan dapat berhasil menundukkan Balkh, Bukhara, Khawarizm, Ferghana dan Samarkand. Tentaranya bahkan sampai ke India dan dapat menguasai Balukhistan, Sind dan daerah Punjab sampai ke Maltan. Ekspansi ke barat secara besar-besaran dilanjutkan di zaman al-Walid ibn Abdul Malik. Pada masa pemerintahannya yang berjalan kurang lebih sepuluh tahun itu tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju wilayah barat daya, benua Eropa, yaitu pada tahun 711 M. Setelah Aljazair dan Maroko dapat ditundukan, Thariq bin Ziyad, pemimpin pasukan Islam, menyeberangi selat yang memisahkan antara Maroko (magrib) dengan benua Eropa, dan mendarat di suatu tempat yang sekarang dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal Thariq). Tentara Spanyol dapat dikalahkan. Dengan demikian, Spanyol menjadi sasaran ekspansi selanjutnya. Ibu kota Spanyol, Kordova, dengan cepatnya dapat dikuasai. Menyusul setelah 13[13] Bernard Lewis..89

itu kota-kota lain seperti Seville, Elvira dan Toledo yang dijadikan ibu kota Spanyol yang baru setelah jatuhnya Kordova. Pasukan Islam memperoleh kemenangan dengan mudah karena mendapat dukungan dari rakyat setempat yang sejak lama menderita akibat kekejaman penguasa. Di zaman Umar ibn Abdul-Aziz, serangan dilakukan ke Prancis melalui pegunungan Piranee. Serangan ini dipimpin oleh Aburrahman ibn Abdullah al-Ghafiqi. Ia mulai dengan menyerang Bordeau, Poitiers. Dari sana ia mencoba menyerang Tours. Namun, dalam peperangan yang terjadi di luar kota Tours, al-Ghafiqi terbunuh, dan tentaranya mundur kembali ke Spanyol. Disamping daerah-daerah tersebut di atas, pulau-pulau yang terdapat di Laut Tengah (mediterania) juga jatuh ke tangan Islam pada zaman Bani Umayyah ini.14[14]

Disamping ekspansi kekuasaan Islam, Bani Umayyah juga banyak berjasa dalam pembangunan di berbagai bidang. Muawiyah mendirikan dinas pos dan tempat-tempat tertentu dengan menyediakan kuda yang lengkap dengan peralatannya di sepanjang jalan. Dia juga berusaha menertibkan angkatan bersenjata dan mencetak mata uang. Pada masanya, jabatan khusus seorang hakim (qadhi) mulai berkembang menjadi profesi tersendiri, Qadhi adalah seorang spesialis dibidangnya. Abdul-Malik mengubah mata uang Bizantium dan Persia yang dipakai di daerah-daerah yang dikuasai Islam. Untuk itu, dia mencetak uang tersendiri pada tahun 659 M dengan memakai kata-kata dan tulisan Arab. 15[15] Khalifah Abdul-Malik juga berhasil melakukan pembenahan-pembenahan administrasi pemerintahan dan memberlakukan bahasa Arab sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan Islam.16[16] Keberhasilan Khalifah Abdul-Malik diikuti oleh puteranya Al-Walid ibn Abd al-Malik (705-715 M) seorang yang berkemauan keras dan berkemampuan melaksanakan pembangunan. Dia membangun panti-panti untuk orang cacat.17[17] Semua personel yang terlibat dalam kegiatan yang humanis ini digaji oleh negara secara tetap. Dia juga membangun jalan-jalan raya yang

14[14] www.wordpress.com 15[15] Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Hida Karya Agung, 1981), 87 16[16] Ibid, 88 17[17] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedia Islam (Jakarta: Ikhtiar Baru van Hoeve, 1994,
vol. V) hlm.130

menghubungkan suatu daerah dengan daerah lainnya, pabrik-pabrik, gedung-gedung pemerintahan dan masjid-masjid yang megah.

Pada masa Umar ibn Abdul Aziz, sekolah kedokteran yang pada awalnya berada di Alexandria dipindahkan ke Antokia.18[18] Di bawah pemerintahannya karya Yunani banyak yang diterjemahkan ke dalam bahasa arab. Pada masa ini pula ilmu tafsir mulai berkembang dengan pesat. Ilmu tafsir memiliki letak yang strategis, disamping karena faktor luasnya kawasan Islam ke beberapa daerah luar Arab yang membawa konsekwensi lemahnya rasa seni sastra Arab, juga karena banyaknya yang masuk Islam. Hal ini menyebabkan pencemaran bahasa Al Quran dan makna Al Quran yang digunakan untuk kepentingan golongan tertentu. Khalifah Umar ibn Abdul Aziz yang memerintah hanya dua tahun 717-720 M, pernah mengirim surat kepada Abu Bakar ibn Amir bin Ham dan kepada ulama yang lain untuk menuliskan dan mengumpulkan hadits, namun hingga akhir pemerintahannya hal itu tidak terlaksana.19[19] Sungguhpun demikian pemerintahan Umar ibn Aziz telah melahirkan metode pendidikan alternative, yakni para ulama mencari hadist ke berbagai tempat dan orang yang dianggap mengetahuinya yang kemudian dikenal metode Rihlah. Pada masa inilah, kitab tentang ilmu hadist sudah mulai dikarang oleh para ulama muslim. Beberapa ulama hadist yang terkenal pada masa itu, antara lain : Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidilah bin Abdullah bin Syihab az-Zuhri, Ibnu Abi Malikah (Abdullah bin Abi Malikah at-Tayammami al-Makky, Al-Auzai Abdurrahman bin Amr, Hasan Basri as-Syabi. Dibidang fiqh secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu aliran ahli al-Ray dan aliran al hadist, kelompok aliran pertama ini mengembangkan

18[18] Yunus, Mahmud.90 19[19] www. Wordpress.com

hukum Islam dengan menggunakan analogi atau Qiyas, sedangkan aliran yang kedua lebih berpegang pada dalil-dalil, bahkan aliran ini tidak akan memberikan fatwa jika tidak ada ayat Al Quran dan hadits yang menerangkannya. Sisi positif dari perluasan wilayah ini adalah adanya dialektika pengetahuan islam dengan pengetahuan lain, seperti ilmu-ilmu filsafat Yunani, serta metodemetode illuminasi dari daerah Persia serta daerah India. Kesemuanya melebur menadi satu dan mewujud dalam khazanah pengetahuan yang mau atau tidak mau mengakuinya bahwa, Islam menyelamatkan bentuk pengetahuan tesebut untuk dibawa kepada generasi setelahnya.20[20] Sementara sisi negative dari perluasan tersebut adalah, terkonsentrasinya kebijakan-kebijakan pemerintah yang hanya berorientasi pada perluasan daerah, sebab mereka menemukan hal baru yang tidak terdapat pada peradaban di daerahnya. Hal ini membuat beberapa perubahan mendasar dalam basic epistemology Islam. Karena dialektika pengetahuan tidak selamanya akan berakhir dengan tergabungnya unsure-unsur terbaik dari tesis dan anti tesis, namun dialektika kadang menjadi sebuah bentuk pemaksaan ideology atau pengetahuan karena anti tesis tidak mampu menjadi lawan dari tesisi itu sendiri.

D. Raja-Raja Yang Memerintah Dalam Daulah Umayyah 1. Muawiyah I bin Abi Sufyan (41-61H/661-680M) 2. Yazid bin Muawiyah (61-64H/680-683M) 3. Muawiyah II bin Yazid (64-65H/683-684M) 4. Marwan bin Hakam (65-66H/684-685M) 5. Abdul Malik bin Marwan (66-86H/685-705M) 6. Al-Walid bin Abdul Malik (86-97H/705-715M) 7. Sulaiman bin Abdul Malik (97-99H/715-717M)

20[20]Thohir, Ajid, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam: Melacak Akar-akar Sosial,
Politik dan Budaya Umat Islam(Jakarta: Rajawali Pers,2002) hal 65

8. Umar bin Abdul Azis (99-102H/717-720M) 9. Yazid bin Abdul Malik (102-106H/720-724M) 10. Hisyam bin Abdul Malik (106-126H/724-743M) 11. Al-Walid II bin Yazid (126-127H/743-744M) 12. Yazid III bin Walid(127H/744M) 13. Ibrahim bin Malik (127H/744M)

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan Muawiyyah berasal dari bani Umayyah, sebuah bani yang memainkan peran penting dalam suku Quraisy karena kecakapan mereka dalam bidang perdagangan dan negosiasi politik. Berangkat dari lingkungan yang sudah mempunyai dasar perpolitikan inilah Muawiyyah kemudian tumbuh menjadi calon penguasa yang

mahir dalam beberapa bidang. Muawiyyah sempat pula membuat Syam sebagai kawasan terkaya selama pemerintahan khalifah Umar, hal ini karena ia mampu mengoptimalkan sumberdaya yang ada di daerah tersebut. Proses berdirinya kerajaan Umayyah tidak terlepas dari peran Utsman yang diangkat menjadi khalifah Umar yang meninggal karena terbunuh, karena Utsman juga berasal dari bani Umayyah, memiliki kecenderungan yang sama dengan Muawiyyah, meski puncak dari perebutan kekuasaan tersebut adalah saat peristiwa tahkim dalam perang shiffin. Kemudian baru secara hukum Muawiyyah menjadi khalifah yang sah pasca Hasan ibn Ali menyerahkan kekuasaan kepadanya dengan berbagai macam pertimbangan, salah satunya adalah menghindari perang saudara yang terus menerus terjadi antara umat Islam. Perluasan Bani Umayyah telah mencapai Eropa, Afrika utara, dan sebagian wilayah Asia tengah, serta Asia kecil. Perluasan tersebut membawa perubahan yang cukup signifikan pula dalam khazanah pengetahuan umat Islam serta system pemerintahan yang ingin dikembangkan oleh Bani Umayyah. Mereka kemudian mampu membuat mata uang tersendiri, system administrasi kenegaraan yang lebih baik, dan tentunya adalah pembenahan-pembenahan lain yang mampu membuat dinasti Umayyah memainkan perannya di tingkatan internasional. Kelemahan dari perluasan tersebut adalah tergerusnya bahasa dan budaya dari bangsa Arab karena kurang mampu bersaing dengan budaya-budaya baru yang ditemukan semasa perluasan daerah kekuasaan. Ada empat belas raja yang memimpin dalam dinasti Umayyah, kesemuanya memiliki kelebihan dan kekurangan, walaupun begitu, terlepas dari salah dan benar, sejarah masa lalu adalah proses terciptanya cermin untuk masa sekarang supaya ke depan, peradaban ini menjadi lebih baik.

B. Saran

Dalam lingkungan akademik, penelitian terhadap sejarah (tidak hanya sebatas pada sejarah Islam) merupakan sebuah kata kunci untuk dapat meraba hubungan antara kenyataan masa sekarang serta harapan masa yang akan datang. Dengan mengetahui sejarah masa lalu, seseorang mampu memahami kenapa karakteristik sebuah Negara menjadi sangat berbeda dengan yang lainnya, ada hubungan genealogis dan cultural territorial yang akan membantu memecahkan beberapa masalah dalam ilmu-ilmu social. Sehingga bisa ditebak kenapa bangsa-bangsa Arab meskipun mempunyai ikatan emosional yang dalam, namun ternyata masih dapat dipecah belah oleh pihak asing. Karena meski mereka sudah mengadopsi system modern, namun mereka masih terikat system kesukuan, dan hanya berpikir pragmatis serta mengambil mana yang lebih menguntungkan untuk kepentingan mereka sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Amin, Husayn, Seratus Tokoh Dalam Islam, ed. Cucu Juanda , Bandung: Rosda Karya, 2001. A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam I, pent. Mukhtar Yahya Jakarta: Al Husna Dzikra, 2000. -------------, Sejarah dan Kebudayaan Islam II, pent. Mukhtar Yahya Jakarta: Al Husna Dzikra, 2000. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedia Islam Jakarta: Ikhtiar Baru van Hoeve, 1994, vol. V http//.www.wordpress.com.Tinjauan Kritis Terhadap Fase-Fase Peradaban Islam.Sabtu 28 November 2009 Thohir, Ajid, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam: Melacak Akar-akar Sosial, Politik dan Budaya Umat Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2002. Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Hida Karya Agung, 1981.

Berdirinya Bani Umayyah


Browse Kumpulan Ilmu Sejarah Berdirinya Bani Umayyah Tags : artikel , bani abbasiyah , bani umayyah , ekspansi islam , khalifah , khulafaurrasyidin , makalah , masa keemasan islam , masa kemunduran islam , masa kemunduran pendidikan , masa kemunduran pendidikan islam , muawiyah bin abu sufyan , pendidikan masa khulafaurrosyidin , perang shiffin , sejarah berdirinya bani umayyah

Bani Umayyah atau Kekhalifahan Umayyah, adalah kekhalifahan Islam pertama setelah masa Khulafaur Rasyidin yang memerintah dari 661 sampai 750 di Jazirah Arab dan sekitarnya; serta dari 756 sampai 1031 di Kordoba, Spanyol. Nama dinasti

ini dirujuk kepada Umayyah bin 'Abd asy-Syams, kakek buyut dari khalifah pertama Bani Umayyah, yaitu Muawiyah bin Abu Sufyan atau kadangkala disebut juga dengan Muawiyah I.[1] Muawiyah bin Abu Sufyan (602 680) bergelar Muawiyah I adalah khalifah pertama dari Bani Umayyah. Muawiyah diakui oleh kalangan Sunni sebagai salah seorang Sahabat Nabi, walaupun keislamannya baru dilakukan setelah Mekkah ditaklukkan. Kalangan Syi'ah sampai saat ini tidak mengakui Muawiyah sebagai khalifah dan Sahabat Nabi, karena dianggap telah menyimpang setelah meninggalnya Rasulullah SAW. Ia diakui sebagai khalifah sejak Hasan bin Ali, yang selama beberapa bulan menggantikan ayahnya sebagai khalifah, berbai'at padanya. Dia menjabat sebagai khalifah mulai tahun 661 (umur 5859 tahun) sampai dengan 680. Terjadinya Perang Shiffin makin memperkokoh posisi Muawiyah dan melemahkan kekhalifahan Ali bin Abu Thalib, walaupun secara militer ia dapat dikalahkan. Hal ini adalah karena keunggulan saat berdiplomasi antara Amru bin Ash (kubu Muawiyah) dengan Abu Musa Al Asy'ari (kubu Ali) yang terjadi di akhir peperangan tersebut. Seperti halnya Amru bin Ash, Muawiyah adalah seorang administrator dan negarawan ulung.[2] Pada masa Muawiyah bin Abu Sufyan perluasan wilayah yang terhenti pada masa khalifah Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib dilanjutkan kembali, dimulai dengan menaklukan Tunisia, kemudian ekspansi ke sebelah timur sampai ke India. Ekspansi yang dilakukan pada masa Umayyah terhitung sangat sukses, tidak hanya daerah barat tapi juga sampai daerah timur dan asia. Disamping ekspansi kekuasaan Islam, Bani Umayyah juga banyak berjasa dalam pembangunan di berbagai bidang. seperti menertibkan angkatan bersenjata dan mencetak mata uang, membangun panti-panti untuk orang cacat, Serta membangun jalan-jalan raya yang menghubungkan suatu daerah dengan daerah lainnya, pabrikpabrik, gedung-gedung pemerintahan dan masjid-masjid yang megah. Masa keemasan bani Umayyah tidak selamanya berlanjut, ketika tampu kepemimpinan (khalifah) dipegang Yazid bin Abdul-Malik (720- 724 M). Masyarakat yang sebelumnya hidup dalam ketenteraman dan kedamaian, pada masa ini berubah menjadi kacau. Dengan latar belakang dan kepentingan etnis politis, masyarakat menyatakan konfrontasi terhadap pemerintahan Yazid bin Abdul-Malik cendrung kepada kemewahan dan kurang memperhatikan kehidupan rakyat. Kerusuhan terus berlanjut hingga masa pemerintahan khalifah berikutnya, Hisyam bin Abdul-Malik (724-743 M). Bahkan pada masa ini muncul satu kekuatan baru dikemudian hari menjadi tantangan berat bagi pemerintahan Bani Umayyah. Kekuatan itu berasal dari kalangan Bani Hasyim yang didukung oleh golongan mawali. Walaupun sebenarnya Hisyam bin Abdul-Malik adalah seorang khalifah yang kuat dan terampil. Akan tetapi, karena gerakan oposisi ini semakin kuat, sehingga tidak berhasil dipadamkannya. Dari perjalanan Bani Umayyah yang semakin redup, disinilah awal mula berdirinya Bani Abbasiyah.

[1] Wikipedia baca juga Hodgson, Marshall G.S.; The Venture Of Islam, Iman dan Sejarah dalam Peradaban Dunia; Jilid Pertama: Masa Klasik Islam; Buku Pertama: Lahirnya Sebuah Tatanan Baru. Jakarta: Paramadina, 1999. [2] Mursi, Muhammad Sa'id. Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah. Penerjemah: Khoirul Amru Harahap, Lc, MHI dan Achmad Faozan, Lc, M.Ag. Editor: Muhammad Ihsan, Lc. Cet. 1, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007

Anda mungkin juga menyukai