Anda di halaman 1dari 11

Indepth Report

Belajar dari Perang Infomasi Industri Migas


Studi Kasus Lapindo

Oleh: Firdaus Cahyadi Knowledge Management Yayasan SatuDunia

Karakter Industri Migas

Kita warga negara Indonesia pantas bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan kekayaan alam di negeri ini. Salah satu kekayaan alam itu adalah sumberdaya alam (SDA) minyak dan gas (migas). Indonesia di tahun 1972-1979 misalnya, pernah mencapai kejayaan sebagai produsen minyak mentah. Berdasarkan berbagai catatan, saat itu Republik ini mampu memproduksi minyak mentah sebanyak 1,4 juta barel per hari (bph)1. Meskipun pada tahun-tahun berikutnya mengalami penurunan produksi.Namun hal itu tidak menurunkan minat para investor untuk masuk ke sektor migas. Cadangan migas di Indonesia masih cukup banyak. Salah satu cadangan migas itu ada di Jawa Timur. Menurut catatan Walhi Jawa Timur, Provinsi Jawa Timur menopang 40% migas nasional dengan 28 blok migas dalam tahap eksplorasi. Salah satunya adalah Blok Brantas, yang memiliki 49 sumur yang tersebar di tiga kabupaten di Jawa Timur (Sidoarjo 43 sumur, 4 sumur di Mojokerto, dan 2 sumur di Pasuruan)2. Salah satu karakter industri ekstraktif, termasuk migas, adalah sumberdaya yang menjadi asupan utama3 dari industri tersebut tidak bisa dipindahkan. Ini berbeda dengan sektor industri lainnya. Akibatnya, kawasan yang menjadi tempat sumberdaya mineral itu berada selalu diperebutkan. Dari sinilah menyebabkan industri migas lebih banyak pendekatan politik yang digunakan dalam mendapatkan dan mengeksploitasinya, bukan hanya pendekatan ekonomi dan teknologi semata. Namun, dari sinilah kemudian muncul pula potensi perang

1 2

http://herijurnalis.blogspot.com/2009/03/potret-dan-prospek-industri-migas.html http://www.mediaindonesia.com/read/2011/01/13/195211/68/11/Ironi-Kekayaan-Migas-di-Jawa-Timur 3 Faktor yang penting dan membuat industri itu bisa berjalan

informasi dalam memperebutkan penguasaan dan pengoperasian sumberdaya mineral itu, termasuk sumberdaya migas. No 1 2 3 Sektor Industri Manufaktur Tambang Agroindustri Asupan Utama Buruh dan Barang mentah Sumberdaya mineral Iklim Konsekuensi Dapat dipindahkan Tidak dapat dipindahkan Dapat terbatas dipindahkan di wilayah namun yang

memiliki iklim yang sama 4 Jasa Pengetahuan Sangat mudah dipindahkan

Karakteristik sektor-sektor industri (Idaman Andarmosoko, pelatihan KM SatuDunia)

Dan Perang Informasi pun dimulai Karena karakter industri migas yang seperti itulah maka tak mengherankan bila perang informasi dalam industri ini sudah dimulai sejak dalam tahap eksplorasi. Hal itu terlihat jelas dalam persitiwa munculnya semburan lumpur panas Lapindo di Sidoarjo. Dalam kasus Lapindo, hak publik yang pertama kali hilang adalah hak atas informasi, ujar Anggota Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) periode 20072012 Syafruddin Ngulma Simeulue dalam diskusi offline di kantor SatuDunia 2010 silam. Harusnya sebelum pengeboran, masyarakat diiformasikan mengenai kemungkinan resiko terjadinya kecelakaan pengeboran. Bahkan, lanjut Syafruddin Ngulma Simeulue, sampai kini di dalam dokumen tata ruang Sidoarjo itu tidak dikenal Blok Brantas. Tragisnya Imam Utomo Gubernur Jawa Timur saat itu

pernah menyatakan tidak perlu merubah tata ruang untuk memberikan ijin pengeboran di blok Brantas, ujarnya. Padahal dalam setiap pengeboran itu memiliki resiko tinggi terhadap terjadinya kecelakaan dan resiko itu tidak diinformasikan ke masyarakat4. Menurut pengakuan warga Reno Kenongo dan Siring, Sidoarjo5, sejak awal kegiatan, Lapindo tidak melakukan sosialisasi kepada warga sekitar. Saat pembebasan tanah, tidak ada yang tahu bahwa kawasan itu nantinya akan dijadikan kawasan tambang. Warga hanya tahu bahwa kawasan itu nantinya akan dijadikan sebagai kawasan peternakan. Tidak adanya informasi yang akurat mengenai risiko terjadinya kecelakaan industri pengeboran dalam kasus Lapindo ini juga diperkuat oleh laporan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dalam laporan auditnya, BPK menyebutkan bahwa berdasarkan hasil

penelahaan dokumen usulan dan evaluasi pengeboran diketahui bahwa PT Lapindo Brantas maupun evaluasi BP Migas tidak memasukkan aspek risiko kemungkinan terjadinya mud volcano di wilayah Jawa Timur atau di daerah Sidoarjo. Setelah terjadinya semburan lumpur panas, Lapindo baru memetakan detail sesar di permukaan Banjar Panji 1(BJP-1) pada bulan Agustus 2006. Interpretasi pemetaan sesar tersebut menunjukkan adanya pola penyebaran daerah bencana yang sirkuler mengelilingi titik semburan. Adanya potensi risiko pengeboran akan menembus gunung lumpur dan adanya sesar/patahan ternyata tidak dimasukkan dalam prognosa pengeboran maupun evaluasi

4 5

http://korbanlumpur.info/opini/artikel/625-jejak-penyesatan-informasi-kasus-lumpur-lapindo.html 2008, Yuliani, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Bertaruh Keselamatan, Bahaya Industri Migas di Kawasan Padat Huni,.

pengeboran. Berdasarkan dokumen yang ada, prognosa maupun evaluasi pengeboran hanya memasukkan aspek risiko pengeboran dalam bentuk loss, kick, maupun blowout. Singkat kata, tidak ada informasi yang mencukupi mengenai kondisi geologi yang beresiko menimbulkan bencana ekologi jika dilakukan pengeboran di wilayah Porong. Kondisi geologi mengenai adanya potensi bencana justru baru dipetakan dan kemudian diinformasikan setalah muncul semburan lumpur.

Saat Terjadi Kecelakaan... 29 Mei 2006, adalah tanggal yang mungkin selalu melekat di ingatan warga Sidoarjo. Di tanggal itulah harta benda yang mereka miliki dan usahakan selama bertahun-tahun musnah hanya dalam waktu yang sekejap. Bukan hanya rumah dan tanah yang tenggelam, namun juga harapan untuk bisa hidup seperti layaknya manusia merdeka. Mulai di hari itu pula udara dan air tanah di Porong, Sidoarjo mulai membahayakan bagi keberlanjutan hidup manusia. Ya..kedua kebutuhan dasar manusia, bahkan makhluk hidup itu telah tercemar. Di saat itulah konflik sosial antara masyarakat dengan perusahaan dimulai. Perang informasi pun dilanjutkan. Lapindo mengungkapkan bahwa semburan lumpur Lapindo adalah murni bencana alam, karena dampak dari gempa Yogyakarta. Namun beberapa pakar geologi dan pengeboran justru mengatakan sebaliknya. Iklan di media massa mungkin adalah cara yang cukup efektif untuk memoles citra diri yang sedang ternoda. Belum lama berselang peringatan dua tahun semburan lumpur panas di Sidoarjo, iklan Lapindo kembali menghiasi berbagai media massa.

Seperti iklan-iklan Lapindo sebelumnya, pesan utama dalam iklan itu adalah meskipun lumpur panas yang terjadi di Sidoarjo merupakan bencana alam, namun Lapindo tetap memiliki komitmen sosial. Sah-sah saja bila sebuah korporasi yang sedang mengalami krisis menggunakan iklan sebagai bagian dari strategi public relation (PR) untuk menggalang opini publik guna mendongkrak kembali citra korporasi. Persoalannya kemudian adalah serangkaian argumentasi yang dikutip dalam iklan untuk mendongkrak citra korporasi itu ternyata justru menyesatkan publik dalam memahami kasus ini. Dalam iklannya di sebuah majalah nasional, Lapindo mengutip pernyataan Ketua Panitia Seminar Forum Masyarakat Jawa Timur yang mengatakan bahwa semburan lumpur sebagai underground blow out didasarkan pada data yang tidak faktual dan analisis yang salah. Intinya Lapindo tatap bersikeras bahwa semburan lumpur adalah bencana alam bukan kelalaian dalam operasional pertambangan. Underground blow out sendiri adalah munculnya aliran minyak, gas dan lumpur yang tidak bisa dikendalikan di dalam pipa pengeboran atau lubang sumur sehingga menimbulkan nyala api di bawah permukaan atau di dalam sumur. Jika pembaca tidak jeli, maka pembaca akan dengan mudah tergiring untuk mengikuti opini publik yang mamang sudah sejak awal sengaja digalang oleh Lapindo. Untuk menguji kebenaran pernyataan dalam iklan tersebut ada baiknya kita membandingkannya dengan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam auditnya terkait dengan kasus ini. BPK menemukan dokumen Berita Acara Penanggulangan Kejadian Semburan Lumpur di keitar lokasi sumur BJP-1 tanggal 8 Juni 2006 yang telah ditandatangani oleh Lapindo dan BP

Migas. Dokumen itu menyebutkan bahwa BP Migas maupun Lapindo telah sepakat bahwa semburan tersebut akibat underground blow out. Beberapa penelitian dan pendapat sebagian besar pakar geologi menyatakan bahwa semburan lumpur Lapindo terkait dengan proses pengeboran. Namun upaya penyesatan informasi yang memposisikan Tuhan sebagai kambing hitam dengan mengatakan bahwa lumpur Lapindo adalah bencana alam terus berlanjut. Celakanya gencarnya penyesatan informasi tersebut mampu mempengaruhi pola berpikir pemerintah dalam menyelesaikan kasus semburan lumpur Lapindo. Munculnya Peraturan Presiden (Perpres) 14 Tahun 2007 yang mereduksi persoalan ganti rugi menjadi sekedar persoalan jual beli aset adalah salah satu hasil dari gencarnya penyesatan informasi ke lembaga-lembaga pemerintah bahkan sampai ke lembaga kepresidenan.

Penguasaan Media Massa Mainstream Besarnya perhatian masyarakat terhadap kasus Lapindo ini menyebabkan iklan di media massa saja tidak cukup ampuh untuk mempengaruhi opini publik. Penguasaan penuh media harus dilakukan. Dengan penguasaan penuh media massa, maka seluruh pemberitaan mengenai kasus Lapindo dapat dikontrol. Seperti ditulis di sebuah portal berita6, Presiden Direktur PT Bakrie Telecom Tbk (BTEL) Anindya Novyan Bakrie saat memaparkan Bakrie Telecom, Media and Technology (BakrieTMT2015) yang akan menyinergikan lini bisnis telekomunikasi (BTEL), media (VIVA Group) dan teknologi (BConn dan BNET) sampai dengan tahun 2015.

http://www.investor.co.id/bedahemiten/era-konvergensi-di-mata-bakrie-telecom/8867

No

Media Group

Newspaper

Magazine

Radio Station

Television Station Kompas TV


7

Cyber Media

Other Bussines

KompasGramedia Group

Kompas, The Jakarta Post, Warta Kota dan 11 surat kabar lokal

37 Majalah dan Tabloid, 5 book publisher

Sonora Radio dan Otomotion Radio

Kompas.com, Kompasiana.com
8

Hotel,Printing, House, Promotion, Agencies, University

MNC (Media Nusantara Citra)

Seputar Indonesia

Genie, Mom&Kiddy, Realita, Majalah Trust

Trijaya FM,Radio Dangdut TPI, Global, Women Radio ARH

RCTI, Global TV, (MNC TPI TV),

Okezone.com

IT Bussines

Indovision (Televisi Cable)

Jawa Pos

Jawa Fajar,

Pos, Riau

23

majalah

Fajar FM di Makassar

JTV Surabaya dan stasiun


9

di

Travel

Bureau,

mingguan

Power House 3 TV

Pos, Rakyat Merdeka, dan 90

lokal

surat kabar lokal berbagai daerah 4 Mugi Reka Aditama (MRA) Cosmopolitan, Harpers Bazaar,Esquire, FHM, Good Hard Rock FM , MTV Sky
11 10 12

di

OChannel

Holder of Saveral International Boutique

House Keeping dan 10 majalah lainnya (kebanyakan franchise) 5 Bali Post Bali post, Tabloid Tokoh Bali TV dan Balipost, bisnis bali

7 8

Saat tulisan ini dibuat Group Kompas sedang mempersiapkan kompasTV Kompasiana adalah sebuah Media Warga (Citizen Media) 9 Batam, Pekanbaru, Makassar 10 Bandung, Jakarta, Bali dan Surabaya 11 Jakarta dan Bandung 12 Has been taken over SCTV

Suluh Indonesia dan 2 koran lainnya 6 Mahaka Media Harian Republika Golf Digest, Radio FM Jak

8 TV lokal lainnya

JakTV, One
13

TV

Entertaiment. Outdoor Advertisment

Arena, Parents Indonesia, A+

Femina Group

Femina, Gadis, Ayah Bunda,

Radio FM

Production House

Dewi dan 10 majalah lainnya 8 Bakrie Group AnTV, One TV Vivanews.com Property, minning, palm oil dan telekomunikasi 9 Lippo Group
14

Jakarta Globe, Investor Daily, Suara Pembaruan

Majalah Investor, Globe Asia, Asia Campus

Beritasatu.com

Property,hospital, Education, insurance, internet provider service

10

Trans Corp

TransTV, Trans7

Detik.com

15

11

Media Group
16

Media Indonesia, Lampung Post, Borneo News

MetroTv

mediaindonesia.com

Sumber: diolah dari tabel konglomerasi media Ignatius Haryanto17

Konglomerasi media tentu saja bukan hanya fenomena ekonomi semata. Konglomerasi media adalah salah satu peluang yang sangat besar bagi munculnya dominasi informasi di

13 14

Bekerjasama dengan Group Bakrie Berita Satu Media Holdings 15 Saat tulisan ini dibuat, masih dalam proses akusisi 16 http://id.wikipedia.org/wiki/Media_Group 17 10 tahun Yayasan Tifa,Semangat Masyarakat Terbuka

masyarkaat tentang kasus tertentu. Kasus Lapindo menjadi salah satu hal yang dapat dijadikan contoh bagaimana peran konglomerasi media dalam mendominasi informasi dalam kasus ini. TV One, salah satu televisi milik Group Bakrie, menyebut semburan lumpur sebagai lumpur Sidoarjo bukan lumpur Lapindo18. Bahkan TV itu secara khusus mewawancarai pakar geologi Rusia Dr. Sergey Kadurin yang menyatakan semburan lumpur adalah akibat gempa bumi bukan akibat kesalahan pengeboran19. Sementara pendapat pakar yang menyatakan bahwa semburan lumpur akibat pengeboran tidak diwawancarai. Hal yang sama juga terjadi di ANTV. Televisi milik Group Bakrie itu juga menyebut semburan lumpur sebagai lumpur Sidoarjo bukan lumpur Lapindo. ANTV juga menayangkan pendapat Dr. Sergey Kadurin yang menyatakan semburan lumpur adalah akibat gempa bumi bukan akibat kesalahan pengeboran20. Seperti halnya TV One, pakar yang menyatakan bahwa semburan lumpur akibat pengeboran tidak dimintai pendapat. Hal yang sama juga terjadi pada vivanews.com. Portal berita milik Group Bakrie itu juga menyebut semburan lumpur sebagai lumpur Sidoarjo, bukan lumpur Lapindo. Di saat yang hampir bersamaan pula portal berita itu menampilkan pendapat pakar geologi Rusia yang menyatakan semburan lumpur bukan akibat pengeboran21. Liputan khusus terhadap pakar Rusia juga ditampilkan secara audio-visual di portal vivanews.com22.

Belajar dari Perang Informasi Industri Migas

18

Penyebutan semburan lumpur dengan lumpur Sidoarjo mengarahkan opini publik bahwa semburan itu adalah bencana alam bukan akibat pengeboran. 19 http://www.youtube.com/watch?v=F9H1X8cMaoE 20 http://www.youtube.com/watch?v=vLlvU9pcVZU 21 http://nasional.vivanews.com/news/read/180457-lumpur-sidoarjo-bukan-karena-pengeboran 22 http://video.vivanews.com/read/11227-wawancara-dengan-pakar-geologi-rusia-tentang-penyebab-lumpur-sidoarjo

Sebagai masyarakat yang berpotensi terkena dampak dari industri migas tentu kita harus belajar dari perang informasi yang terjadi, dengan studi kasus Lapindo tersebut di atas. Pertama, perang informasi di dalam industri migas terjadi sejak dalam tahap eksplorasi. Dari sini masyarakat harus mulai waspada dan kritis terhadap informasi yang dikeluarkan oleh industri migas atau pihak-pihak yang terkait dengan operasional eksplorasi dan eksploitasi industri migas. Kedua, masyarakat harus mulai merencanakan sebuah perang informasi sejak dari awal sebuah industri migas melakukan eksplorasi. Masyarakat harus mulai melakukan riset kaitan antara pemilik industri migas dengan kepemilikan media mainstream. Setelah menemukan relasinya, masyarakat harus mulai merencanakan untuk melawannya, termasuk merencanakan media apa yang akan digunakan untuk melawan. Tentu masih banyak hal yang bisa ditarik pelajaran dari perang informasi industri migas ini. Namun, paling tidak kedua pelajaran ini dapat dijadikan pijakan untuk memenangkan, atau minimal mengimbangi perang informasi dari industri migas.

Anda mungkin juga menyukai