Anda di halaman 1dari 11

MODUL

PEREKONOMIAN INDONESIA

TM 3
MATERI PEMBAHASAN

EKONOMI INDONESIA DAN KETERBUKAAN

Oleh

: SUPARNO. SE. MM

Tahun : 2009/2010

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB

suparno SE.,MM.

PEREKONOMIAN INDONESIA

EKONOMI INDONESIA DAN KETERBUKAAN


A. Gambaran Umum Perekonomian Indonesia Sekian lama masyarakat Indonesia mengalami ketertekanan ekonomi. Penerapan Teori Pembangunan Rostow dalam pendewasaan dan pematangan perekonomian, hanya mengkondisikan sumberdaya manusia Indonesia sebagai input produksi. Untuk menciptakan value added nasional yang tinggi, minimalisasi ongkos input inilah yang dijadikan alternatif. Sedangkan input-input lain yang sebagian besar diperoleh dari impor tidak dapat dialihkan, baik secara harga maupun penempatannya. Sementara keberlimpahan sumberdaya alam dikuasai asing dan dibawa ke negaranya. Oleh karena itu, Indonesia menjadi negara assembling yang terkenal dengan pekerja murah dan surga bagi negara-negara maju. Celakanya, pemerintah memperuntukkan kemajuan rumah tangga masyarakat (pendapatan konsumen), sebagai pekerja/buruh murah untuk membuat rotimakro. Indikasi makro ekonomi Indonesia yang memberatkan juga terlihat dari minimnya perkembangan sektor riil dibandingkan sektor moneter. Sehingga, hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan tingkat penyerapan tenaga kerja negatif (berkebalikan). Sedangkan hubungan pertumbuhan ekonomi itu sendiri terhadap konsumsi, tetap positif. Terbukti bahwa sumbangan konsumsi terhadap pendapatan nasional menduduki posisi paling besar dan menjadi andalan perekonomian. Perkembangan sektor riil dalam hal ini memiliki permasalahan tersendiri. Pengembangan usaha sektor rumah tangga dalam partisipasi/kontribusi-nya terhadap pendapatan nasional, tidak dijadikan sektor yang menentukan (dikesampingkan) dari pembangunan itu sendiri. Hal ini bertolak belakang dengan kebebasan berusaha ekonomi rakyat sebagai subjek pembangunan menuju masyarakat madani. Regulasi ekonomi seperti izin usaha, agunan kredit yang besar dan keberpihakan pemerintah, menjadi barang langka yang hanya bisa dijanjikan dalam pidato kepresidenan setiap tahunnya. Adapun sektor usaha besar baik milik negara maupun swasta, menjadi prioritas pembangunan menuju industrialisasi. Regulasi bail out utang luar negeri, kredit perbankan beragunan dengan syarat kecukupan dan formalitas izin usaha serta regulasi kemudahan usaha lainnya menjadi bukti keberpihakan pemerintah pada sektor ini. Produk usaha besar tersebut didistribusikan di pasar domestik, dengan target konsumen atau masyarakat dalam negeri yang berpendapatan rendah. Ketimpangan

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB

suparno SE.,MM.

PEREKONOMIAN INDONESIA

terjadi, produk luar negeri yang ternyata jauh lebih murah didambakan masyarakat. Sehingga pemerintah harus memberikan subsidi untuk melindungi usaha besar ini, namun akhirnya kewalahan. Privatisasi dan penanaman modal asing yang menguntungkan pihak asing, merupakan pilihan pahit yang tidak bisa dipilih-pilih lagi sebagai jalan keluar. Kalau demikian, pertumbuhan ekonomi merupakan pencapaian semu yang tidak mensejahterakan rakyat. Akibatnya masyarakat Indonesia semakin tidak mampu memenuhi kebutuhan ekonominya. Sekitar 36,1 juta jiwa penduduk hidup di bawah garis kemiskinan, studi Asian Development Bank menunjukkan 100 juta jiwa masyarakat Indonesia termasuk dalam kategori sejahtera I (pendapatan<US$ 2/hari). Jumlah pengangguran terbuka sebesar 10,8 juta jiwa dari angkatan kerja. Kemiskinan dan pengangguran tersebut berdampak luas terhadap aspek politik, hukum, ekonomi, sosial dan budaya. Begitu krusial permasalahan kesejahteraan masyarakat yang harus diselesaikan dengan kebijakan ekonomi yang tepat. Tidak bisa tidak masyarakat harus memenuhi kebutuhan dasar dan kebutuhan hidup lainnya. Selama ini, seandainya saja tidak ada aturan kredit konsumsi yang besar dan Sumbangan Langsung Tunai (SLT), maka perekonomian Indonesia seharusnya sudah lama hancur. Keadaan ekonomi dirasakan sangat berat oleh masyarakat di daerah, walaupun secara nasional, indikator ekonomi makro menunjukkan perkembangan ekonomi yang membaik (Ketua Dewan Perwakilan Daerah, Ginanjar Kartasasmita, 2006). Laporan Badan Pusat Statistik (BPS, 2007) juga menjelaskan bahwa jumlah orang miskin bertambah, tampaknya lebih mencerminkan kondisi yang sesungguhnya di lapisan bawah masyarakat. Struktural backlog of demand (permintaan yang terpendam) akibat kelesuan sektor riil ekonomi yang berkepanjangan ini, ditutup dengan kredit konsumsi yang semakin menggelembung. Kalau ketergantungan berkepanjangan, tidak menutup kemungkinan sektor rumah tangga Indonesia semakin miskin secara struktural dan tidak dapat diobati dengan model ekonomi apapun. Karena, kepercayaan luar negeri terlebih dalam negeri sendiri (pemerintah dan masyarakat tidak saling percaya) sudah rapuh terhadap perekonomian bangsa. Oleh karena itu makalah ini secara khusus mengkaji bagaimana sistem pengembangan permodalan terbaik untuk pemberdayaan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) agar masyarakat mampu melakukan kegiatan ekonomi. Dengan demikian, pendapatan yang diperoleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya bersifat mandiri dengan usahanya tersebut.

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB

suparno SE.,MM.

PEREKONOMIAN INDONESIA

B. Demokrasi ekonomi sebagai bentuk ekonomi sosialis religius


Demokrasi ekonomi tidak kalah pentingnya dengan demokrasi politik. Kalau Indonesia telah melakukan proses demokratisasi politik semenjak era transisi-reformasi ini, apakah hal yang sama juga berlaku dalam proses demokratisasi ekonomi? Demokrasi ekonomi merupakan bentuk ekonomi sosialis religius. Disebut sosialis karena berlandaskan pada Pasal 33 UUD 1945 yang dijiwai ruh sosialisme dengan adanya kepemilikan faktor-faktor produksi hajat hidup orang banyak oleh negara dan dengan adanya asas kebersamaan yang melandasi kegiatan perekonomian. Namun, tidak hanya sosialis, demokrasi ekonomi yang ditawarkan Bung Hatta juga bercorak religius karena dijiwai oleh Pancasila yang sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini diperkuat dengan bukti bahwa tidak ada satupun agama di dunia yang mengajarkan kepada pemeluknya untuk menomorsatukan individualisme. Dengan demikian, pelaksanaan demokrasi ekonomi memiliki basis ontologis pada tradisi komunalisme yang menjadi ciri khas kehidupan masyarakat yang berketuhanan dan beragama di nusantara.

C. Ekonomi kerakyatan sebagai manifestasi demokrasi ekonomi


Mengacu pada Pasal 33 UUD 1945, ada tiga unsur demokrasi ekonomi yaitu aspek produksi, aspek distribusi, dan aspek kepemilikan usaha bersama oleh rakyat. Adapun garis besar substansinya dijelaskan sebagai berikut. Pertama, partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam proses produksi nasional. Partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam proses pembentukan produksi nasional menempati kedudukan yang sangat penting dalam sistem ekonomi kerakyatan. Hal itu sejalan dengan bunyi Pasal 27 UUD 1945 yang menyatakan, Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Kedua, partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam turut menikmati hasil produksi nasional. Artinya, dalam rangka ekonomi kerakyatan, harus ada jaminan bahwa setiap anggota turut serta menikmati hasil produksi nasional, termasuk para fakir miskin dan anak-anak terlantar. Hal itu antara lain dipertegas oleh Pasal 34 UUD 1945 yang menyatakan, Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Wujud kongkrit dari demokrasi ekonomi yaitu dengan tersedianya sistem jaminan sosial nasional yang mencakup kaum fakir miskin dan anak-anak terlantar. Ketiga, kegiatan produksi dan pembagian hasil produksi nasional itu harus berlangsung di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Artinya, dalam rangka perwujudan demokrasi ekonomi, anggota masyarakat tidak boleh hanya menjadi obyek, namun harus diupayakan agar menjadi subyek perekonomian. Untuk menjadi subyek perekonomian, maka tak ayal lagi perlu adanya partisipasi seluruh

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB

suparno SE.,MM.

PEREKONOMIAN INDONESIA

anggota masyarakat dalam kepemilikan modal atau faktor-faktor produksi nasional, diantaranya modal material (material capital), modal intelektual (intellectual capital), dan modal institusional (institutional capital). Di sini negara wajib secara terus menerus mengupayakan terjadinya peningkatan kepemilikan ketiga jenis modal tersebut secara relatif merata di tengah-tengah masyarakat. Sehubungan dengan modal material, negara wajib melindungi dan mendistribusikan kepemilikan modal material secara relatif merata di antara anggota masyarakat. Misalnya dengan pelaksanaan agenda landreform yaitu pembatasan penguasaan dan redistribusi pemilikan lahan pertanian kepada petani penggarap. Hal ini sesuai dengan amanat Ayat 3 Pasal 33 UUD 1945 dan Pasal 2 UUPA 1960 bahwa negara berhak mengatur peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan lahan pertanian bagi sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Sehubungan dengan modal intelektual, negara wajib menyelenggarakan pendidikan nasional secara cuma-cuma. Hal ini sesuai dengan tujuan negara Indonesia sebagaimana tercantum dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945 yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Disinilah letak pentingnya arti bahwa pendidikan bukanlah sebuah kegiatan untuk dikomersialkan. Sementara itu, sehubungan dengan modal institusional, secara khusus hal itu diatur dalam Pasal 28 UUD 1945, Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tertulis dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang. Kemerdekaan anggota masyarakat untuk berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat tersebut tentu tidak terbatas dalam bentuk serikat-serikat sosial dan politik, tetapi meliputi pula serikat-serikat ekonomi. Dengan demikian tidak ada alasan bagi negara untuk melarang keberadaan serikat buruh, serikat tani, serikat nelayan, serikat usaha kecil-menengah dan berbagai serikat ekonomi lainnya, termasuk mendirikan koperasi. Bertolak dari uraian diatas, dapat dimengerti bahwa tujuan utama ekonomi kerakyatan pada dasarnya adalah untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengendalikan jalannya roda perekonomian dan hal demikian bisa dilakukan jika ada iktikad bersama untuk mendemokratisasikan proses produksi, proses distribusi, dan kepemilikan faktor produksi nasional sehingga kondisi demokrasi ekonomi pun tercapai. D. Masa depan demokrasi ekonomi versus ekonomi neoliberalisme Sebuah pertanyaan reflektif dimunculkan, ditengah-tengah pusaran sistem ekonomi neoliberal yang ditandai oleh dominasi kekuatan kapitalisme global seperti saat ini, bagaimana mungkin demokrasi ekonomi melalui ekonomi kerakyatan dapat diwujudkan? Inilah sebuah perjuangan tiada henti. Bukan hanya pertentangan antara mazhab

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB

suparno SE.,MM.

PEREKONOMIAN INDONESIA

ekonomi, namun sebuah pertarungan ideologi. Yaitu ekonomi kerakyatan versus ekonomi kapitalisme neoliberal. Antara komunalisme dan demokrasi rakyat versus individualisme dan oligarki kaum pemodal. Antara pandangan homo homini socius versus homo homini lupus. Dan meminjam istilah Bung Hatta, ini adalah pertarungan antara paham Daulat Rakyatku versus Daulat Tuanku. Semakin maju perkembangan peradaban manusia yang ditandai dengan revolusi teknologi dan informasi justru diikuti dengan semakin banyaknya kontradiksi dalam kehidupan. Inilah sebuah paradoks di era globalisasi ini. Arah perkembangan dunia yang semestinya kian menghargai keunikan dan kekhasan berbagai negara yang heterogen justru mendekati proses homogenisasi dengan kemanunggalan kekuasaan di tangan AS sebagai polisi dunia. Kampanye demokrasi politik yang disuarakan ke segala penjuru dunia justru dilaksanakan secara tidak demokratis oleh AS dan sekutunya, seperti kasus invasi ke Afganistan (2001) dan Irak (2003). Begitupun, pentingnya demokratisasi politik bagi negara dunia ketiga yang selalu disuarakan oleh badan donor asing seperti IMF dan Bank Dunia sebagai persyaratan pengucuran kredit atau bantuan asing justru diiringi dengan proses pengebirian potensi demokrasi ekonomi negara bersangkutan dengan adanya deregulasi dan liberalisasi kepemilikan faktor produksi nasional untuk kemudian dikuasai (alias dijajah) oleh kaum kapitalis. Melihat realitas diatas seakan tipis kemungkinan mewujudkan sistem demokrasi ekonomi yang bersifat sosialis religius ditengah kian menguatnya sistem ekonomi neoliberal yang kapitalistik dan sekuler di Indonesia. Terlebih setelah ketidakmandirian ekonomi dan politik Indonesia di tengah pergaulan dunia internasional akibat krisis finansial yang memaksa Indonesia bertekuk lutut di tangan kaum pemodal asing. Namun secercah harapan perlu dimunculkan. Masih ada optimisme yang bisa diandalkan. Ada dua pola agenda untuk mewujudkan demokrasi ekonomi di Indonesia. Pertama, agenda evolusioner yang bersifat kultural yaitu berupa kampanye, penyebarluasan gagasan, dan bahkan mungkin indoktrinasi pandangan ekonomi kerakyatan melalui sarana pendidikan nasional, lembaga keagamaan, pergerakan koperasi, dan media massa yang terbebas dari pengaruh hegemoni ideologi kapitalisme. Kedua, agenda revolusioner yang bersifat struktural yaitu perombakan dan perubahan sistem perekonomian nasional dengan mereview segala perundang-undangan dan peraturan yang bertentangan dengan UUD 1945 dan Pancasila untuk kemudian

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB

suparno SE.,MM.

PEREKONOMIAN INDONESIA

digantikan dengan kebijakan-kebijakan nasional yang populis dan pro-rakyat. Revolusi paradigmatik yang melahirkan revolusi kebijakan publik ini hanya memerlukan kemauan dan keberanian pemerintah nasional untuk melakukannya. Sebagian besar masyarakat Indonesia, yang meminjam istilah Bung Karno adalah masyarakat Marhaen yang menjadi korban dari penindasan sistem kapitalisme selama ini, tentu akan berdiri dibelakang pemerintah untuk melawan dominasi kapitalisme asing dan para komprador-nya di Indonesia. Sudah saatnya upaya demokratisasi ekonomi dilakukan sejalan dengan proses demokratisasi di bidang politik yang telah dialami Indonesia belakangan ini. Sehingga pada saat satu abad Indonesia merdeka, Indonesia mampu berdiri tegak di tengah dunia internasional sebagai negara kampiun demokrasi politik maupun ekonomi dengan berlandaskan pada religiusitas berketuhanan dan beragama. Inilah mimpi yang harus diwujudkan, tentu tidak hanya dengan kata-kata dan retorika namun harus dengan tindakan dan aksi untuk sebuah: revolusi menuju demokrasi ekonomi Indonesia!

Karakteristik Unit Usaha di Indonesia dan Produksi Nasional


1. Pandangan Perekonomian Bangsa dalam Pemberdayaan Ekonomi Rakyat Diterapkannya rangsangan-rangsangan (incentives) yang bersifat ekonomis maupun moral untuk menggerakkan roda perekonomian, merupakan pandangan bahwa manusia bukan hanya economic man tetapi juga social and religous man. Sifat manusia yang terakhir ini bisa dikembangakan setaraf dengan sifat yang pertama sebagai sumber kegiatan duniawi (ekonomi). Motif mengoptimumkan terpenuhinya kepentingan pribadi dan opportunisme bukan lagi satu-satunya motif (yang paling kuat) bagi berputarnya roda kegiatan ekonomi. Motif seperti solidaritas, kecintaan terhadap sesama manusia, keadilan, kebenaran, kepercayaan kepada faktor-faktor non duniawi, keagamaan dan sosial lainnya dapat pula menjadi faktor penggerak sama kuatnya bagi aktivitas ekonomi. Higher motives semacam ini dalam teori-teori sistem ekonomi sekuler sering dianggap terlalu lemah sebagai motif penggerak roda-roda besar perekonomian, sehingga peranan utama diberikan kepada lower motives dari manusia. Padahal, konteks sosial bangsa Indonesia memiliki karakteristik dasar istimewa, yaitu kekeluargaan dan keyakinan yang kuat terhadap agamanya. Sifat-sifat demikian merupakan aset untuk

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB

suparno SE.,MM.

PEREKONOMIAN INDONESIA

pemberdayaan ekonomi bangsa berdasarkan keadilan dalam sistem yang diberikan Islam sebagai rahmatan lil alamin. Dilihat dari segi ketahanan nasional, Friedrich Rich mengatakan bahwa konsep perekonomian nasional mempunyai makna tertentu. Konsep ini mendahulukan pengembangan productive forces bukannya exchangeable values dari perekonomian kita. Mengembangkan secara sistematis dan terarah struktur perekonomian yang seimbang dan meningkatkan secara masal kemampuan produktif dari sumber manusiawi maupun sumber-sumber ekonomi nasional lainnya adalah hakekat dari pengembangan productive forces (Boediono). 2. Fenomena dan Kondisi UMKM Di Indonesia, UMKM sebenarnya mendominasi volume perekonomian. Identifikasi faktor-faktor potensial keuangan mikro yang dapat mendukung maupun melemahkan sinergi antara sektor keuangan dengan sektor riil (sektor ekonomi mikro) sangat penting dilakukan. Sehingga kita dapat mendesain konsep sinergi yang positif dengan suatu aturan main dan market discipline yang baik bagi usaha mikro. Jumlah total usaha mikro, kecil dan menengah lebih kurang 42,4 juta unit, yang berarti lebih dari 99 persen jumlah unit usaha yang ada di Indonesia. Klasifikasi usaha dan golongannya dijabarkan sebagai berikut:

Jumlah Usaha Menengah 0,5% = 212.000 unit Jumlah Usaha Kecil 1,5 % = 636.000 unit Jumlah Usaha Mikro 98 % = 41,55 juta unit Adapun jumlah sumberdaya manusia yang terlibat dalam UMKM berkisar pada

angka 79 juta orang. Dilihat dari perannya dalam perekonomian nasional, UMKM berperan dalam:

Kontribusi penyerapan tenaga kerja = 99,5 % Kontribusi Pendapatan Domestik Bruto = 56,7 % Kontribusi ekspor Non Migas = 19,1 % Meskipun peranannya dalam perekonomian sangat besar, UMKM terutama usaha

mikro tidak mampu mengakses perbankan (unbankable). Sebanyak 70% UMKM tidak terlayani oleh bank dan lembaga keuangan karena keterbatasan akses dan pemahaman. Padahal dari jumlah usaha mikro sebanyak 68%2 UMKM tersebut, membutuhkan pinjaman yang dijelaskan sebagai berikut:

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB

suparno SE.,MM.

PEREKONOMIAN INDONESIA

Sebanyak 48% usaha mikro tidak mengajukan pinjaman karena tidak mempunyai akses atau tidak tahu prosedural kredit. Sebanyak 21% kreditnya ditolak. Sebanyak 31% berhasil menerima pinjaman. Sejak tahun 1983, pemerintah secara konsisten telah melakukan berbagai upaya

deregulasi sebagai upaya penyesuaian struktural dan restrukturisasi perekonomian. Kendati demikian, banyak yang mensinyalir deregulasi di bidang perdagangan dan investasi tidak memberi banyak keuntungan bagi perusahaan kecil dan menengah. Bahkan justru perusahaan besar dan konglomerat yang mendapat keuntungan. Studi empiris membuktikan bahwa pertambahan nilai tambah (kenaikan nilai tambah secara absolut maupun per rata-rata perusahaan) ternyata tidak dinikmati oleh perusahaan skala kecil, sedang, dan besar, namun justru perusahaan skala konglomerat, dengan tenaga kerja lebih dari 1000 orang (Kuncoro & Abimanyu, 1995). Dalam konstelasi inilah, begitu pentingnya menumbuhkembangkan UMKM. Setidaknya dilandasi oleh beberapa alasan. Pertama, UMKM menyerap banyak tenaga kerja. Kecenderungan menyerap banyak tenaga kerja umumnya membuat banyak UMKM juga intensif dalam menggunakan sumberdaya alam lokal. Apalagi karena lokasinya banyak di pedesaan, pertumbuhan UMKM akan menimbulkan dampak positif terhadap peningkatan jumlah tenaga kerja, pengurangan jumlah kemiskinan, pemerataan dalam distribusi pendapatan dan pembangunan ekonomi di pedesaan (Simatupang, et al., 1994; Kuncoro, 1996). Dari sisi kebijakan, UMKM jelas perlu mendapat perhatian karena tidak hanya memberikan penghasilan bagi sebagian besar angkatan kerja Indonesia, namun juga merupakan ujung tombak dalam upaya pengentasan kemiskinan. Di pedesaan, peran penting UMKM memberikan tambahan pendapatan (Sandee et al., 1994). UMKM merupakan seedbed bagi pengembangan industri dan sebagai pelengkap produksi pertanian bagi penduduk miskin (Weijland, 1999). UMKM mempunyai kontribusi nyata dalam meningkatkan produksi nasional, jumlah unit usaha dan penyerapan tenaga kerja. Hal ini merupakan potensi yang besar dalam meningkatkan taraf hidup rakyat banyak (Suryadharma Ali, 2005).

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB

suparno SE.,MM.

PEREKONOMIAN INDONESIA

a. Visi Kementerian Koperasi dan UKM Mengacu pada Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 09/M/2005 tanggal 31 Januari 2005 bahwa kedudukan Kementerian Koperasi dan UKM adalah unsur pelaksana pemerintah dengan tugas membantu Presiden untuk mengkoordinasikan perumusan kebijakan dan koordinasi pelaksanaan kebijakan pemberdayaan Koperasi dan UMKM. Tugas Kementerian Koperasi dan UKM adalah merumuskan serta kebijakan dan

mengkoordinasikan

perencanaan,

pelaksanaan,

pemantauan

pengendalian

pemberdayaan koperasi dan UMKM di Indonesia. Sesuai dengan kedudukan, tugas dan fungsinya Kementerian Koperasi dan UKM telah menetapkan visi, yaitu: Menjadi Lembaga Pemerintah yang kredibel dan efektif untuk mendinamisasi pemberdayaan koperasi dan UMKM dalam rangka meningkatkan produktivitas, daya saing dan kemandirian. b. Misi Kementerian Koperasi dan UKM Rumusan misi Kementerian Koperasi dan UKM adalah: Memberikan kontribusi nyata dalam pembangunan nasional melalui perumusan kebijakan nasional; pengkoordinasian perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian kebijakan pemberdayaan di bidang koperasi dan UMKM; serta peningkatan sinergi dan peran aktif masyarakat dan dunia usaha dalam rangka meningkatkan produktivitas, daya saing dan kemandirian koperasi dan UMKM secara sistimatis, berkelanjutan dan terintegrasi secara nasional

Tujuan Kementerian Koperasi dan UKM Tujuan Kementerian Koperasi dan UKM secara umum adalah menjadikan KUMKM sebagai pelaku ekonomi utama dalam perekonomian nasional yang berdaya saing. Tujuan Kementerian Koperasi dan UKM selama periode tahun 2005 2009 dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Mewujudkan kondisi yang mampu menstimulan, mendinamisasi dan memfasilitasi tumbuh dan berkembangnya 70.000 (tujuh puluh ribu) unit koperasi yang berkualitas usahanya dan 6.000.000 (enam juta) unit usaha UMKM baru; 2. Menumbuhkan iklim usaha yang kondusif bagi pengembangan usaha koperasi dan UMKM pada berbagai tingkatan pemerintahan; 3. Meningkatkan produktivitas, daya saing dan kemandirian koperasi dan UMKM di pasar dalam dan luar negeri;

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB

suparno SE.,MM.

PEREKONOMIAN INDONESIA

10

4. Mengembangkan sinergi dan peran serta masyarakat dan dunia usaha dalam pemberdayaan koperasi dan UMKM; Memberikan pelayanan publik yang berkualitas, cepat, tepat, transparan dan akuntabel. Bentuk-bentuk Lembaga Keuangan Mikro (LKM) kaitannya dengan UMKM Banyak kalangan yang menyatakan bahwa sistem keuangan mikro belum secara maksimal meningkatkan produktivitas UMKM dengan laju pertumbuhan yang lebih tinggi. Proporsi usaha mikro formal belum meningkat secara memadai. Penumbuhan wirausaha baru berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi belum berfungsi dengan layak. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka perlu adanya suatu lembaga yang dapat menjalankan fungsi intermediasi antara lembaga keuangan formal dengan pengusaha mikro yaitu Lembaga Keuangan Mikro (LKM) dengan sistem yang tepat. LKM yang memerankan fungsi intermediasi tersebut setidaknya memiliki ciri-ciri sebagai berikut (Suhodo): 1. Menyediakan beragam jenis pelayanan masyarakat. 2. Melayani Rakyat Miskin. 3. Menggunakan prosedur dan mekanisme yang kontekstual dan fleksibel. 4. Keberadaannya di tengah-tengah masyarakat. Sampai saat ini, LKM di Indonesia terdiri dari berbagai bentuk yang sangat beragam dan variasi bentuknya yang besar. Menyebabkan Indonesia dikenal sebagai salah satu sumber LKM dunia. Ragam jenis LKM dapat dikategorisasikan dengan karakteristiknya masing-masing diantaranya, Bank Perkreditan Rakyat (BPR), BRI unit desa; LKM berbentuk koperasi antara lain, koperasi simpan pinjam, koperasi kredit (credit union); LKM milik pemerintah daerah antara lain, Lembaga Dana dan Kredit Pedesaan (LDKP), Badan Kredit Desa (BKD); LKM proyek pemerintah antara lain, Lembaga Ekonomi Produktif Masyarakat (LEPM), Unit Ekonomi Desa Simpan Pinjam (UEDSP), Tempat Pelayanan Simpan Pinjam (TPSP), Proyek Peningkatan Pendapatan Petani Nelayan Kecil (P4K), Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS); LKM-LKM lainnya antara lain, pegadaian, LKM Lembaga Swadaya Masyarakat (LKM LSM), LKM tradisional dan Baitul Maal Wat Tamwil (BMT).

oooooooo ///// oooooooo

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB

suparno SE.,MM.

PEREKONOMIAN INDONESIA

11

Anda mungkin juga menyukai