Anda di halaman 1dari 37

MELAKSANAKAN PANCASILA DI ORDE REFORMASI

Winarno
A. Pendahuluan
Era reformasi ini ada gejala Pancasila ikut terdeskreditkan sebagai
bagian dari pengalaman masa lalu yang buruk. Sebagai suatu konsepsi
politik Pancasila pernah dipakai sebagai legitimasi ideologis dalam
membenarkan negara Orde Baru dengan segala sepak terjangnya. Sungguh
suatu ironi sampai muncul kesan di masa lalu bahwa mengkritik
pemerintahan Orde Baru dianggap anti Pancasila.
Jadi sulit untuk dielakkan jika muncul pendeskreditan atas Pancasila di
masa kini. Pancasila ikut disalahkan dan menjadi sebab kehancuran. Orang
gamang untuk berbicara Pancasila dan merasa tidak perlu untuk
membicarakannya. Bahkan bisa jadi orang yang berbicara Pancasila
dianggap ingin kembali ke masa lalu. Anak muda menampakkan kealpaan
bahkan phobia-nya apabila berhubungan dengan Pancasila. Salah satunya
ditunjukkan dari pernyataan Ketua Umum Gerakan Mahasiswa dan Pemuda
Indonesia M Danial Nafis pada penutupan Kongres I GMPI di Asrama Haji
Pondok Gede, Jakarta, Senin, 3 Maret 2008 bahwa kaum muda yang
diharapkan menjadi penerus kepemimpinan bangsa ternyata abai dengan
Pancasila. Pernyataan ini didasarkan pada hasil survey yang dilakukan oleh
aktivis gerakan nasionalis tersebut pada 2006 bahwa sebanyak 80 persen
mahasiswa memilih syariah sebagai pandangan hidup berbangsa dan
bernegara. Sebanyak 15,5 persen responden memilih aliran sosialisme
dengan berbagai varian sebagai acuan hidup dan hanya 4,5 persen
responden yang masih memandang Pancasila tetap layak sebagai pandangan
hidup berbangsa dan bernegara (Kompas, 4 Maret 2003)

Di sisi lain, rezim reformasi sekarang ini juga menampakkan diri untuk
malu-malu terhadap Pancasila. Jika kita simak kebijakan yang dikeluarkan
ataupun berbagai pernyataan dari pejabat negara , mereka tidak pernah lagi
mengikutkan kata-kata Pancasila. Hal ini jauh berbeda dengan masa Orde
Baru yang hampir setiap pernyataan pejabatnya menyertakan kata kata
Pancasila Menarik sekali pertanyaan yang dikemukakan Peter Lewuk yaitu
apakah Rezim Reformasi ini masih memiliki konsistensi dan komitmen
terhadap Pancasila? Dinyatakan bahwa Rezim Reformasi tampaknya ogah
dan alergi bicara tentang Pancasila. Mungkin rezim Reformasi mempunyai
cara sendiri mempraktikkan Pancasila. Rezim ini tidak ingin dinilai
melakukan indoktrinasi

Pancasila dan tidak ingin menjadi seperti dua

rezim sebelumnya yang menjadikan Pancasila sebagai ideologi kekuasaan


untuk

melegitimasikan

kelanggengan

otoriterisme

Orde

Lama

dan

otoriterisme Orde Baru (Media Indonesia, Kamis, 31 Juni 2007)


Saat ini orang mulai sedikit- demi sedikit membicarakan kembali
Pancasila dan menjadikannya sebagai wacana publik. Beberapa istilah baru
diperkenalkan untuk melihat kembali Pancasila. Kuntowijoyo memberikan
pemahaman baru yang dinamakan radikalisasi Pancasila (Kompas, 20
Februari 2001). Azyumardi Azra menggunakan istilah rejuvenasi Pancasila
(Kompas, 17 Juni 2004). Koento Wibisono mengatakan perlunya reposisi dan
reorientasi Pancasila (Makalah Pelatihan Nasional Dosen Pancasila . 2004).
Simposium Hari Lahir Pancasila di Kampus FISIP UI Depok tanggal 31 Mei
2006 menggunakan istilah restorasi Pancasila. Ada pula yang menggunakan
istilah dekontruksi Pancasila (Santoso. 2003)
Jika menyimak istilah-istilah yang dipakai di atas, nampaknya
Pancasila ingin diberlakukan kembali (re/de) tetapi dengan pemahaman
yang boleh dikatakan baru atau tidak lagi seperti masa lalu. Wacana ini
menjadi penanda bahwa Pancasila bukanlah yang pantas ikut disalahkan

tetapi lumrah untuk terus dibicarakan. Sekaligus pula mengimplikasikan


adanya kesamaan pandangan bahwa Pancasila dengan pemaknaan baru itu
perlu dilaksanakan dalam kehidupan bernegara. Istilah lain yang muncul
adalah bagaimana selanjutnya Pancasila itu dioperasionalkan, dipraktekkan,
difungsikan atau dikebumikan.
Sesungguhnya jika dikatakan bahwa rezim sekarang alergi terhadap
Pancasila tidak sepenuhnya benar. Pernyataan besar dari negara mengenai
Pancasila menurut penulis dewasa ini adalah dikeluarkannya ketetapan
MPR No XVIII/ MPR /1998 tentang Pencabutan Ketetapan MPR RI No II /
MPR / 1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Eka
Prasetya Pancakarsa) dan Penetapan tentang Penegasan Pancasila sebagai
dasar Negara. Pada pasal 1 Ketetapan tersebut dinyatakan bahwa Pancasila
sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945
adalah dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia harus
dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara. Dokumen
kenegaraan lainnya adalah Peraturan Presiden No 7 tahun 2005 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009.
Salah satu kutipan dari dokumen tersebut menyatakan bahwa dalam rangka
Strategi Penataan Kembali Indonesia, bangsa Indonesia ke depan perlu
secara bersama-sama memastikan Pancasila dan Pembukaan UndangUndang Dasar 1945 tidak lagi diperdebatkan. Untuk memperkuat
pernyataan ini, Presiden Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada salah
satu bagian pidatonya yang bertajuk "Menata Kembali Kerangka Kehidupan
Bernegara Berdasarkan Pancasila" dalam rangka 61 tahun hari lahir Pancasila
meminta semua pihak untuk menghentikan perdebatan tentang Pancasila
sebagai dasar negara, karena berdasarkan Tap MPR No XVIII /MPR/1998,
telah menetapkan secara prinsip Pancasila sebagai dasar negara. (Kompas, 1
Juni 2006)

Berdasar uraian di atas menunjukkan bahwa di era reformasi ini


elemen masyarakat bangsa tetap menginginkan Pancasila meskipun dalam
pemaknaan yang berbeda dari orde sebelumnya. Demikian pula negara atau
rezim yang berkuasa tetap menempatkan Pancasila dalam bangunan negara
Indonesia. Selanjutnya juga keinginan menjalankan Pancasila ini dalam
praktek kehidupan bernegara atau lazim dinyatakan dengan istilah
melaksanakan Pancasila. Justru dengan demikian memunculkan masalah
yang menarik yaitu bagaimana melaksanakan Pancasila itu dalam
kehidupan bernegara ini.
Permasalahan ini menarik tetapi juga membosankan oleh karena ada
kesan diulang-ulang bahkan sejak Orde Baru yang dengan masif-nya
menggelorakan perlunya Pancasila dilaksanakan, diamalkan dan dihayati
oleh segenap elemen bangsa. Akhirnya orang menjadi bosan dengan retorika
pengamalan Pancasila. Namun demikian permasalahan ini penting untuk
diketahui karena memang Pancasila tetap dibutuhkan dalam kehidupan
bernegara. Orde sekarang tidak ingin kembali pada pengamalan Pancasila
orde sebelumnya yang telah dianggap gagal tetapi juga belum menemukan
bentuk pengamalan lain yang dirasakan cocok dengan pemaknaan baru atas
Pancasila sekarang ini. Jadi sekarang ini dibutuhkan bentuk-bentuk
pelaksanaan baru atas Pancasila dalam kehidupan bernegara dengan
mensyaratkan tidak menjadikan Pancasila berlebih-lebihan tetapi juga
tidak menjadikannya terdeskreditkan secara jauh. Pancasila hendaknya
dilaksanakan secara wajar dan benar dalam kehidupan bernegara Indonesia .
Makalah ini ingin menggambarkan sekaligus mengusulkan bagaimana
melaksanakan Pancasila secara wajar sesuai dengan konteks pemaknaan
Pancasila dan dalam konteks kehidupan bernegara Indonesia era reformasi.
Tulisan

juga

berupaya

menyajikan

bagaimana

warganegara dalam pelaksanaan Pancasila itu.

bentuk

keterlibatan

B. Pelaksanaan Pancasila Dalam Kehidupan Bernegara


Mengapa dalam wacana publik sejarang ini, orang leluasa untuk
memaknai kembali kembali dengan sudut pandangnya masing-masing
tetapi kemudian berhenti ketika sampai pada bagaimana Pancasila itu
dilaksanakan? Ternyata sebagai suatu konsep teoritik, Pancasila seakan tiada
habis untuk dibicarakan, namun selanjutnya dalam tataran praktis, publik
sulit untuk melanjutkan. Akhirnya timbul kesan bahwa Pancasila memang
hanya untuk disuarakan, bergema sebatas dalam wacana saja yang ujungujungnya menjadi retorika ulangan.
Menanggapi hal ini, Saafroedin Bahar (2007) mengakui bahwa
tidaklah mudah menjabarkan serta menindaklanjuti Pancasila. Menurutnya
ada tiga hal yang menyebabkan kesukaran penjabaran Pancasila itu. Pertama,
oleh karena selama ini elaborasi tentang Pancasila itu bukan saja cenderung
dibawa ke hulu, yaitu ke tataran filsafat, bahkan ke tataran metafisika dan
agama yang lumayan abstrak dan sukar dicarikan titik temunya. Kedua, oleh
karena

terdapat

kesimpangsiuran

serta

sesungguhnya core value dari lima sila

kebingungan

tentang

apa

Pancasila itu. Ketiga, justru oleh

karena memang tidak demikian banyak perhatian diberikan kepada


bagaimana cara melaksanakan Pancasila sebagai Dasar Negara tersebut
secara fungsional ke arah yaitu ke dalam tatanan kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Sebab pertama dapat kita telusuri pada pengalaman Orde Baru dalam
memaknai Pancasila. Telah terjadi proses ideologisasi terhadap Pancasila
selama masa Orde baru. Pancasila yang pada mulanya adalah sebuah
kesepakatan politik atau platform demokratis bagi semua golongan di
Indonesia berubah menjadi ideologi yang benar-benar komprehensif integral
yang khas yang berbeda dengan ideologi lain (Nasution. 1993). Dalam masa

Orde Baru terjadi mistifikasi Pancasila (Somantri. 2006) atau Pancasila


dipahami sebagai sebuah mitos (Santoso. 2003). Sebab kedua, adalah dengan
dijadikannya Pancasila sebagai wacana publik maka pemaknaan Pancasila
itu sendiri menjadi amat terbuka lengkap dengan argumentasi akademiknya
masing- masing.

Pancasila bagi para ahli filsafat misal Notonagoro,

Abdulkadir Besar, dan Driyakarya dikatakan sebagai konsepsi filsafatnya


bangsa Indonesia. Pemaknaan ini yang digunakan selama masa Orde Baru.
Pancasila telah dilepaskan dari sejarah kelahirannya serta keterikatannya
dengan bangunan kenegaraaan Indonesia. Sebab ketiga adalah benar adanya
bahwa banyak sekali wacana publik terutama akademik yang berbicara
tentang Pancasila akhir-akhir ini, namun sayang sekali pembicaraan mereka
tidak banyak memberi perhatian tentang bagaimana cara melaksanakan
Pancasila itu. Pembicaraan hanya berkutat pada masalah isi makna
Pancasila, keprihatinan akan Pancasila, atau perlunya Pancasila dalam
kehidupan bernegara.
Sebab pertama dan kedua saling bertautan. Dengan menjadikan
Pancasila sebagai konsep filsafat sesungguhnya telah membawa Pancasila
pada tataran filsafati, metafisika, teologis bahkan tataran mitos yang semakin
abstrak dan tidak ada titik temu. Pancasila semakin terpisah dari bangun
negara Indonesia dan sulit dicarikan core value sesungguhnya dalam konteks
bernegara. Akibatnya muncul sebab yang ketiga yaitu orang menikmati saja
perdebatan dalam makna Pancasila yang berbeda-beda itu dan segan untuk
membicarakan cara pelaksanaannya karena hal yang abstrak itu memang
sulit untuk diturunkan.
Oleh karena itu Saafroedin Bahar (2007) menyarankan bahwa upaya
menemukan konsepsi dasar dari Pancasila dan penjabarannya tidak dapat
dan tidak boleh dilepaskan dari keterkaitannya dengan keseluruhan
substansi dan proses perumusan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945,

serta pasal-pasal yang tercantum dalam Batang Tubuh Undang-Undang


Dasar 1945. Dengan demikian lima sila Pancasila tetap terkait langsung
dengan konteks kehidupan bernegara Indonesia. Berdasar hal itu maka
pemaknaan Pancasila tidak bisa lepas dari pemaknaan sejarah (interpretasi
historis) yaitu pada kata proses perumusan dan pemaknaan secara yuridis
(interpretasi yuridis) merujuk pada kata pasal-pasal yang tercantum.
Dari sisi historis , Pancasila berisikan gagasan atau ide untuk
menjawab sejumlah persoalan dasar sebuah bangsa yang hendak merdeka.
Sekaligus pula gagasan yang berhasil dirumuskan ini menjadi gagasan
bersama dalam arti diterima sebagai bentuk kesepakatan di atas gagasan gagasan lain tentang kehidupan berbangsa. Dalam kaitan ini oleh sebagian
kalangan, Pancasila merupakan suatu common platform atau platform
bersama bagi berbagai ideologi politik yang berkembang saat itu di
Indonesia atau titik temu seluruh segmen masyarakat Indonesia untuk saling
bertemu dan bekerjasama (Nasution. 1995, Ismail 1999).

Pancasila

merupakan kontrak sosial (Onghokham. 2001). Pancasila merupakan


konsepsi politik (Agus Wahyudi dalam http://filsafat.ugm.ac.id/aw)
Isi dari gagasan atau ide mengenai Pancasila sesungguhnya
merupakan jawaban prinsipal atas persoalan dasar kebangsaan Indonesia
kala itu sebagai berikut:
1. Masalah pertama apa negara itu?. Masalah ini dijawab dengan prinsip
kebangsaan Indonesia
2. Masakah kedua, bagaimana hubungan antar bangsa antar negara ?
Masalah ini dijawab dengan prinsip perikemanusiaan
3. Masalah ketiga siapakah sumber dan pemegang kekuasaan negara ?
Masalah ini dijawab dengan prinsip demokrasi ?
4. Masalah keempat, apa tujuan negara ? Masalah ini dijawab dengan
prinsip negara kesejahteraan.

5. Masalah kelima, bagaimana hubungan antar agama dan negara ?


Masalah ini dijawab dengan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa.
(Syarbaini. 2003)
Pancasila dalam interpretasi yuridis merupakan norma-norma dasar
bernegara.

Dalam

ilmu

hukum

disebut

Grundnorm

atau

Staatfundamentalnorm. Sesuai dengan teori jenjang norma (stufentheorie)


dari Hans Nawiasky, norma-norma dasar tentang kehidupan bernegara itu
dijabarkan secara konsisten dan koheren ke dalam konstitusi, ditindaklanjuti
dalam

undang-undang

peraturan

pelaksanaan

serta

kebijakan

pemerintahan lainnya. Dengan demikian penjabaran Pancasila dan upaya


menjabarkan gagasan dasar Pancasila secara yuridis adalah kedalam
konstitusi negara dalam hal ini pasal-pasal dalam UUD 1945. Pasal-pasal itu
selanjutnya dijabarkan ke dalam pelbagai undang-undang. Jadi norma dasar
Pancasila dijabarkan ke dalam norma hukum negara yaitu UUD 1945.
Dari kedua pemaknaan itu, menurut hemat penulis, pemaknaan
secara historis ini lebih banyak mengundang tafsir luas dan beragam jika
dibanding penafsiran yuridis. Dikarenakan konteks jaman yang berubah,
maka

kelima

gagasan-gagasan

dasar

tersebut

bisa

mengembang

pemaknaannya dikaitkan dengan persoalaan kebangsaan dewasa ini yang


semakin kompleks. Orang bisa dengan leluasa menginterpresikan lima
gagasan sesuai dengan konteks jaman bahkan kepentingannya sebagaimana
pernah berlaku pada orde-orde pemerintahan sebelumnya. Namun jika kita
merujuk pada sejarah, gagasan dasar itu dipandang tetap kontekstual dan
mampu memberi jawaban atas persoalan kebangsaan. Menurut Susilo
Bambang Yudhoyono jawaban itu bisa kita dapatkan kembali dengan cara
merefleksi yaitu mengikuti jalan pikiran Bung Karno pada 1 Juni 1945 yang
dianggap masih tetap relevan dan juga masih tetap menjadi kerangka dan
sumber inspirasi dan solusi menghadapi permasalahan kebangsaan dewasa

ini. (Pidato kenegaraan, 1 Juni 2006). Karena itu untuk

menghindari

pemaknaan yang bisa meluas bahkan beragam mengenai Pancasila kita bisa
kembali pada pemaknaan gagasan dasar Pancasila ketika pertama kali
dimunculkan.
Jadi gagasan tentang kebangsaan, perikemanusiaan, demokrasi ,
kesejahteraan dan prinsip Ketuhanan atau sekarang sesuai dengan urutan
sila sila Pancasila yaitu Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan
keadilan adalah core values nya bangsa dan menjadi sumber inspirasi dan
solusi manakala kelima masalah kebangsaan itu muncul kembali. Prinsip
prinsip Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan ini
penting untuk diketahui, dimengerti dan dipahami oleh segenap elemen
bangsa. Pada konteks inilah kita berbicara bagaimana nilai-nilai dasar
Pancasila dapat diterima dan disosialisasikan kepada semua warganegara
baik warganegara biasa (rakyat) dan terlebih lagi warganegara yang sedang
menjalankan pemerintahan (pejabat negara). Nilai dasar yang dihayati
warganegara ini nantinya bisa menjadi norma etik bernegara yang dapat
dijadikan acuan bagi penyelesaian masalah kebangsaan dan kenegaraan.
Dalam

pemaknaan

yuridis,

nilai

dasar

Pancasila

yang

terimplementasikan ke dalam hukum dasar negara maupun perundang


undangan negara bisa mengarahkan hukum Indonesia agar sesuai dengan
cita hukum Indonesia. Menurut pendapat S Attamimi (1991), Pancasila pada
konteks hukum adalah sebagai cita hukum yang memiliki dua fungsi yaitu;
a) fungsi regulatif artinya cita hukum menguji apakah hukum yang dibuat
adil atau tidak adil bagi masyarakat
b) fungsi konstitutif artinya fungsi yang menentukan bahwa tanpa dasar
cita hukum maka hukum yang dibuat akan kehilangan maknanya
sebagai hukum

Norma norma hukum yang meliputi pelbagai peraturan perundangundangan negara Indonesia yang berpuncak pada UUD 1945 inilah yang
mengatur

tertib

penyelenggaraan

bernegara

termasuk

kehidupan

warganegara. Berkaitan dengan hal ini maka yang diperlukan adalah


kesadaran hukum warganegara baik rakyat negara ataupun penyelenggara
negara untuk terlibat yang meliputi; mentaati peraturan perundangan yang
berlaku, memberi masukan bagi proses penyusunan hukum dan mengawasi
termasuk memberi penilaian terhadap hukum yang berlaku. Agar
kesadaraan hukum ini menguat maka diperlukan sosialisasi yang luas pula
pada segenap elemen bangsa.
Berdasar uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan
Pancasila termasuk penjabarannya dalam konteks kehidupan bernegara
Indonesia mencakup dua hal. Pertama, menjabarkannya nilai dasar Pancasila
itu kedalam norma etik bernegara yang berisikan seperangkat lima gagasan
dasar yang bisa menjadi sumber inspirasi dan solusi bagi masalah
kebangsaan Indonesia. Kedua, menjabarkan lima nilai dasar Pancasila itu
kedalam norma hukum bernegara yaitu aturan perundangan-undangan
negara dimana isi materinya tidak bertentangan dengan Pancasila itu
sendiri. Untuk berjalannya kedua itu dibutuhkan pemahaman yang luas
pada segenap warganegara baik rakyat maupun penyelenggara negara
melalui proses sosialisasi termasuk proses pendidikan Pancasila.

C. Sosialiasi Nilai Nilai Pancasila Dalam Tiga Pendekatan


Gagasan atau nilai-nilai dasar Pancasila itu memang perlu
disosialisasikan kepada segenap warganegara Indonesia oleh karena
berfungsinya dalam praktek bernegara membutuhkan dukungan warganya.
Bagi warganegara biasa dukungan itu berbentuk penerimaan terhadap nilai
nilainya, internalisasi nilai yang selanjutnya menjadi acuan penyelesaian soal

10

kebangsaan dan kemampuan kritis jika terjadi penyimpangan pelaksanaan


penyelenggaraan bernegara. Bagi warganegara selaku penyelenggara
negara, sebagai sumber inspirasi bagi pembuatan kebijakan dan menjadi
tauladan warga dalam bernegara. Oleh karena itu kesadaran etik maupun
kesadaran hukum yang mencerminkan nilai Pancasila amat penting dimiliki
oleh semua warganegara Indonesia. Sosialisasi nilai Pancasila bisa dilakukan
melalui pendidikan Pancasila
Orde Baru sebenarnya memiliki pengalaman yang kaya dalam hal
mensosialisasikan nilai-nilai Pancasila termasuk melakukan pendidikan
Pancasila kepada warganegara. Pada bidang pendidikan formal waktu itu
pendidikan Pancasila dikemas melalui mata pelajaran Pendidikan Moral
Pancasila (PMP), mata pelajaran PPKn dan matakuliah Filsafat Pancasila di
perguruan tinggi. Undang-undang No 2 tahun 1989 juga mengamanatkan
bahwa kurikulum semua jenjang wajib berisikan Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan. Di bidang kemasyarakatan atau jakur non formal,
sosialisasi Pancasila dikemas melalaui penataran P4. Namun setelah berjalan
sampai pada berakhirnya Orde Baru, pendidikan Pancasila model Orde Baru
ini dianggap gagal.
Beberapa kalangan menilai

bahwa Pendidikan Pancasila dan

Kewarganegaraan yang bertujuan membentuk budi pekerti luhur telah gagal


mencapai sasaran. Pendidikan yang sudah dilaksanakan puluhan tahun itu
hanya menghasilkan warga negara yang kurang bertanggung jawab dan
bahkan

mematikan hati nurani. Tidak tercapainya tujuan pendidikan

Pancasila, disebabkan sistem pengajaran yang keliru. Pendidikan Pancasila


berlangsung unilateral, datang dari negara, dan tidak memungkinkan
munculnya perbedaan pendapat. Sistem itu menghasilkan warga negara
yang tidak cerdas karena pendidikan dilakukan otoriter demi kepentingan
penguasa. Pendidikan Pancasila yang dilakukan doktriner berakibat fatal.

11

Pancasila setelah dikemas dalam Pendidikan Moral Pancasila justru


mematikan hati nurani generasi muda karena tanpa disertai keteladanan
(Kompas, Kamis, 16 Juni 2005). Pelajaraan Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan (PPKn), Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU) Pancasila,
serta Kewiraan telah gagal melakukan sosialisasi dan diseminasi demokrasi.
Kegagalan ini setidaknya bersumber pada tiga hal. Pertama, secara substantif
PPKn, Pancasila dan Kewiraan tidak secara terencana dan terarah mencakup
materi dan pembahasan yang lebih

terfokus pada pendidikan demokrasi

dan kewarganegaraan. Tidak heran kalau materi-materi yang ada umumnya


terpusat pada pembahasan yang bersifat idealistik, legalistik, dan normatif.
Kedua, meskipun materinya potensial untuk pendidikan demokrasi dan
kewarganegaraan, tetapi tidak bisa berkembang karena pendekatan dalam
pembelajarannya bersifat indoktrinatif, regimentatif (bersifat kekuasaan),
monologis, dan tidak partisipatif. Ketiga, substansi pelajaran itu lebih
teoritis. Tidak heran kalau terdapat kesenjangan yang jelas antara teoritis
dan wacana yang dibahas dengan realitas sosial politik yang ada. (Kompas ,
Kamis, 18 Oktober 2001). Penataran P4 juga dianggap gagal. Dinyatakan
bahwa ternyata penataran P4 yang sudah dilakukan sekitar dua dekade ini
tidak mampu mengubah perilaku mereka yang telah ditatar termasuk para
penatarnya sendiri. Dilihat dari hasilnya selama ini Penataran P4 hanya
membuang-buang uang negara dan merupakan kegiatan indoktrinasi mental
yang kosmetik. Penataran P4 telah menjadi kontra produktif ketika
keteladanan dari pimpinan makin sirna dan moral aparat ambruk karena
mereka sudah mabuk dengan kekuasaan dan kekayaan serta KKN menjadijadi. (Suara Pembaruan, 3 Juni 1998)
Namun demikian dengan kegagalan tersebut bukan berarti sosialisasi
dan pendidikan akan nilai-nilai Pancasila tidak dianggap penting kemudian
dihentikan. Di era reformasi ini, ada keinginan untuk bagaimana

12

mensosialisasi nilai dasar Pancasila namun tidak terjebak dalam kesalahan


yang sama. Hal ini timbul oleh karena kegelisahan terhadap munculnya
berbagai efek buruk perilaku warga bangsa yaitu perilaku melanggar etika
sosial kebangsaan maupun pelanggaran hukum. Sepuluh rektor perguruan
tinggi di Yogyakarta mendesak pemerintah dan seluruh lembaga pendidikan
di

Indonesia

untuk

melakukan

reaktualisasi

pendidikan

Pancasila

(www.ugm.ac.id). Pendidikan Pancasila yang sedikitnya berisikan 36 butir


nilai pada lima sila perlu diajarkan dalam kegiatan ekstrakulikuler bagi
siswa SD sampai SMA/SMK agar mereka mempunya jiwa, watak,
kepribadian patriotik dan nasionalis yang kuat sesuai nilai luhur Pancasila
(Antara, 09 Juli 2008)
Oleh karena itu perlu disusun reaktualisasi akan bentuk pendidikan
Pancasila dengan beberapa pembatasan.

Pertama, mendasarkan pada

pemaknaan baru atas Pancasila, strategi pendekatan yang berpijak pada


warganegara, keterlibatan negara yang minimal dan tidak ingin mengulang
kesalahan masa lalu. Reaktualisasi pendidikan Pancasila ini akan berhasil
dengan melalui tiga jalur pendekatan pengembangan yaitu pendekatan
pengembangan pendidikan pembelajaran (psyco-paedagogic development),
pengembangan sosial budaya (socio-cultural development) dan pengembangan
yang dipengaruhi oleh kekuasaan (socio- political intervention).

1. Pengembangan

Pendidikan

Pembelajaran

(Psyco-Paedagogic

Development)
Psyco paedagogic development adalah pendekatan yang berasumsikan
bahwa

pengembangan

nilai

akan

berhasil

apabila

nilai

tersebut

diinternalisasikan , ditanamkan atau dididikkan pada diri peserta didik.


Sosialisasi nilai tersebut berlangsung dalam proses yang disengaja,
direncanakan, dan sistematis. Pendekatan ini umumnya dilakukan pada

13

lingkup dan jalur pendidikan formal seperti sekolah, madrasah dan


perguruan tinggi. Namun demikian keberhasilan sosialisasi melalui
pendekatan ini masih tergantung pada faktor-faktor lain seperti materi,
metode pembelajarannya dan kualitas pemberi dan penerima sosialisasi.
a. Filsafat pendidikan yang melandasi
Terkait dengan materi dan metode pembelajaran nilai-nilai Pancasila
ini maka perlu dikaitkan pula dengan filsafat pendidikan yang dianut. Sebab
penggunaan filsafat pendidikan yang relevan tentu saja amat berpengaruh
bagi

keberhasilan

dalam

memaknai

nilai

Pancasila

dan

metode

pembelajarannya. Filsafat pendidikan adalah filsafat yang digunakan dalam


studi mengenai masalah-masalah pendidikan yang bila dihubungkan
dengan

makalah

ini

adalah

masalah

nilai

Pancasila

dan

metode

pembelajarannya. Beberapa aliran filsafat pendidikan adalah

filsafat

pendidikan progresivisme yang didukung oleh filsafat pragmatisme; filsafat


pendidikan perenialisme yang didukung oleh idealisme; filsafat pendidikan
esensialisme yang didukung oleh idealisme dan realisme; dan aliran
rekonstruksionisme. (http://fadliyanur.blogspot.com)
1). Progressivisme
Progressivisme merupakan aliran filsafat yang lahir di Amerika Serikat
sekitar abad ke-20. Filsafat progressivisme bermuara pada aliran filsafat
pragmatisme yang di perkenalkan oleh William James (1842-1910) dan John
Dewey (1885 1952), yang menitikberatkan pada segi manfaat bagi hidup
praktis. Progressivisme didasari oleh ide-ide dasar filsafat pragmatisme
dengan azas utama yaitu manusia dalam hidupnya untuk terus survive
(mempertahankan hidupnya) terhadap semua tantangan, dan memandang
sesuatu dari segi manfaatnya. Oleh karena itu filsafat progresivisme tidak
mengakui kemutlakan kehidupan, menolak absolutisme dan otoriterisme
dalam segala bentuknya. Nilai-nilai yang dianut bersifat dinamis dan selalu

14

mengalami perubahan. Dalam bidang pendidikan filsafat ini meletakkan


dasar-dasar kemerdekaan dan kebebasan kepada anak didik. Anak didik
diberikan kebebasan baik secara fisik maupun cara berpikir, guna
mengembangkan bakat dan kemampuan yang terpendam dalam dirinya,
tanpa terhambat oleh rintangan yang dibuat oleh orang lain. Oleh karena itu
filsafat

progressivisme

tidak

menyetujui

pendidikan

yang

otoriter.

Kebudayaan dipandang sebagai hasil budi manusia, dikenal sepanjang


sejarah sebagai milik manusia yang tidak beku, melainkan selalu
berkembang dan berubah. Nilai-nilai yang dianut dipandang bersifat
dinamis dan selalu mengalami perubahan. Maka pendidikan sebagai usaha
manusia yang merupakan refleksi dari kebudayaan itu haruslah sejiwa
dengan kebudayaan itu. Untuk itu pendidikan sebagai alat untuk
memproses

dan

merekonstruksi

kebudayaan

baru

haruslah

dapat

menciptakan situasi yang edukatif yang pada akhimya akan dapat


memberikan warna dan corak dari output (keluaran) yang berupa manusiamanusia yang berkualitas unggul, berkompetitif, insiatif, adaptif dan kreatif
sanggup menjawab tantangan zamannya.
2). Perenialisme
Filsafat perenialisme terkenal dengan bahasa latinnya Philosophia
Perenis. Pendiri utama dari aliran filsafat ini adalah Plato, Aristoteles,
kemudian dilanjutkan oleh St. Thomas Aquinas dalam abad ke-13.
Perenialisme berasal dari kata perennial yang berarti abadi, kekal atau selalu.
Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif.
Perenialisme menentang pandangan progresivisme yang menekankan
perubahan dan sesuatu yang baru. Dalam pendidikan, kaum perenialis
berpandangan bahwa dalam dunia yang tidak menentu dan penuh
kekacauan serta mambahayakan tidak ada satu pun yang lebih bermanfaat
daripada kepastian tujuan pendidikan, serta kestabilan dalam perilaku

15

pendidik. Untuk mengembalikan keadaan krisis ini, maka perenialisme


memberikan jalan keluar yaitu kembali kepada kebudayaan masa lampau
yang dianggap cukup ideal dan teruji ketangguhannya. Perenialisme
berpandangan bahwa persoalan nilai adalah persoalan spiritual, sebab
hakikat manusia adalah pada jiwanya. Sedangkan perbuatan manusia
merupakan pancaran isi jiwanya yang berasal dari dan dipimpin oleh Tuhan.
Secara teologis, manusia perlu mencapai kebaikan tertinggi, yaitu nilai yang
merupakan suatu kesatuan dengan Tuhan. Untuk dapat sampai kesana
manusia harus berusaha dengan bantuan akal rationya yang berarti
mengandung

nilai

kepraktisan.Menurut

Aristoteles,

kebajikan

dapat

dibedakan: yaitu yang moral dan yang intelektual. Kebajikan moral adalah
kebajikan yang merupakan pembentukan kebiasaan, yang merupakan dasar
dari kebajikan intelektual. Jadi, kebajikan intelektual dibentuk oleh
pendidikan

dan

pengajaran.

Kebajikan

intelektual

didasari

oleh

pertimbangan dan pengawasan akal. Menurut Plato, manusia secara kodrat


memiliki tiga potensi yaitu nafsu, kemauan dan pikiran. Pendidikan
hendaknya berorientasi pada potensi itu agar supaya kebutuhan yang ada
pada setiap lapisan masyarakat bisa terpenuhi. Dengan memperhatikan hal
ini, maka pendidikan yang berorientasi pada potensi dan masyarakat akan
dapat terpenuhi. Ide-ide Plato ini kemudian dikembangkan oleh Aristoteles
dengan lebih mendekatkan kepada dunia kenyataan, Bagi Aristoteles tujuan
pendidikan adalah "kehahagiaan". Untuk mencapai pendidikan itu, maka
aspek jasmani, emosi dan intelek harus di kembangkan secara seimbang.
Tujuan pendidikan adalah mengembangkan akal budi supaya anak didik
dapat hidup penuh kebijaksanaan demi kebaikan hidup itu sendiri. Oleh
karenanya tujuan pendidikan di sekolah perlu sejalan dengan pandangan
dasar di atas, mempertinggi kemampuan anak untuk memiliki akal sehat.
3). Esensialisme

16

Esensialisme adalah filsafat pendidikan yang di dasarkan kepada nilainilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia.
Esensialisme didukung oleh idealisme obyektif yang berpendapat hahwa
alam semesta itu pada hakikatnya adalah jiwa/spirit dan segala sesuatu yang
ada ini nyata ada dalam arti spiritual. Esensialisme juga didukung realisme
yang berpendapat bahwa kualitas nilai tergantung pada apa dan bagaimana
keadaannya, apabila dihayati oleh subjek tertentu, dan selanjutnya
tergantung pula pada subjek tersebut. Idealisme modern yang menjadi salah
satu eksponen essensialisme, pandangan-pandangannya bersifat spiritual
sedangkan realisme modern, sebagai eksponen yang lain, titik berat
tinjauannya adalah mengenai alam dan dunia fisik. Alam adalah yang
pertama-tama memiliki kenyataan pada diri sendiri, dan dijadikan pangkal
berfilsafat. Maka anggapan mengenai adanya kenyataan bukan hanya dari
subyek atau obyek semata-mata, melainkan pertemuan keduanya. Bahwa
nilai itu tidak dapat ditandai dengan suatu konsep tunggal, karena minat,
perhatian dan pengalaman seseorang menentukan adanya kualitas tertentu.
Walaupun idealisme menjunjung asas otoriter atau nilai-nilai, namun juga
tetap mengakui bahwa pribadi secara aktif bersifat menentukan nilai-nilai itu
atas dirinya sendiri (memilih, melaksanakan). Esensialisme berpendapat
bahwa pendidikan haruslah bertumpu pada nilai- nilai yang telah teruji
keteguhan-ketangguhan, dan kekuatannya sepanjang masa.
4). Rekonstruksionisme
Dalam konteks filsafat pendidikan, aliran rekonstruksionisme adalah
suatu aliran yang berusaha merombak tata susunan lama dan membangun
tata

susunan

hidup

kebudayaan

yang

bercorak

modern.

Kata

rekonstruksionisme dalam bahasa Inggeris rekonstruct yang berarti


menyusun kembali. Aliran rekonstruksionisme, pada prinsipnya, sepaham
dengan aliran perenialisme, yaitu hendak menyatakan adanya krisis

17

kebudayaan modern. Keduanya memandang bahwa keadaan sekarang


merupakan zaman yang mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh
kehancuran, kebingungan dan kesimpangsiuran. Jika perenialisme berupaya
dengan

jalan

kembali

pada

kebudayaan

lama,

maka

aliran

rekonstruksionisme menempuhnya dengan jalan berupaya membina suatu


konsensus yang paling luas dan mengenai tujuan pokok dan tertinggi dalam
kehidupan

umat

manusia.

Untuk

mencapai

tujuan

tersebut,

rekonstruksionisme berupaya mencari kesepakatan antar sesama manusia


atau orang, yakni agar dapat mengatur tata kehidupan manusia dalam suatu
tatanan dan seluruh lingkungannya. Maka, proses dan lembaga pendidikan
perlu merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup
kebudayaan yang baru, dan untuk mencapai tujuan utama tersebut
memerlukan kerjasama antar ummat manusia. Dalam proses pendidikan,
pembinaan kembali daya intelektual dan spiritual yang sehat akan membina
kembali manusia melalui pendidikan yang tepat atas nilai dan norma yang
benar pula demi generasi sekarang dan generasi yang akan datang, sehingga
terbentuk dunia baru dalam pengawasan umat manusia.
Sosialisasi nilai dasar Pancasila dan proses pembelajarannya akan
memiliki keberhasilan bermakna manakala berpijak pada filsafat pendidikan
yang tepat digunakan. Dalam hal ini aliran progresivisme bisa dianggap
menciptakan kegagalan pendidikan Pancasila. Progresivisme memandang
suatu nilai itu baik jika itu bersifat pragmatis, berguna langsung dalam
kehidupan terlebih pada kehidupan material seperti sekarang ini. Padahal
nilai-nilai Pancasila bukanlah nilai nilai material, nilai-nilai Pancasila tidak
bisa untuk mencari kerja, atau mendapatkan ketrampilan. Jadi dari sisi
pragmatisme tidak menguntungkan. Karena itulah mengapa anak muda
sekarang ini segan atau malas belajar Pancasila karena dianggap tidak
berguna

untuk

mencukupi

kebutuhan

18

materialnya.

Paham

yang

berkembang sekarang ini adalah progresivisme yang didukung oleh


pragmatisme. Aliran rekonstruktivisme juga tidak tepat , oleh karena
sesungguhnya aliran ini sebagai kelanjutan dari progresivisme. Nilai-nilai
dasar Pancasila sampai saat sekarang ini adalah kesepakatan bersama
bangsa sebagaimana dalam Ketetapan MPR No XVIII/MPR/1998. Ada
konsensus nasional yang di era reformasi ini tidak akan dilakukan
perubahan yaitu : Pancasila, Pembukaan UUD 1945, Negara Kesatuan
Republik Indonesia dan Bhineka Tunggal Ika. Jika kita merekonstruksi
kesepakatan akan nilai Pancasila berarti kita memulai lagi kehidupan
bernegara. Dalam pendidikan, tidak harus semua warisan kebudayaan ditata
ulang karena ada krisis kebudayaan sebab ada hal-hal baik yang masih bisa
diteruskan.
Filsafat perenialisme tidak sepenuhnya bisa digunakan dalam
memandang pendidikan Pancasila. Nilai atau gagasan dasar Pancasila
bukanlah nilai-nilai abadi, bukan nilai spiritual manusia Indonesia sebagai
pancaran dari Tuhan. Gagasan dasar Pancasila adalah hasil sejarah dan
pergulatan pemikiran bangsa ketika menghadapi persaoalan kebangsaan
kala itu. Persoalan kebangsaan berkembang dan semakin komplek dan
gagasan dasar sebagai jawabannya harus terus dikembangkan sehingga
mampu menjawab tantangan itu. Karena itu kita berbicara bahwa nilai dasar
Pancasila bersifat terbuka yang menurut Franz Magnis Suseno (2001)
memiliki tiga ciri yaitu (1) bahwa nilai-nilai tidak berasal dari luar dari
moral , budaya masyarakat itu sendiri (2) dasarnya bukan keyakinan
ideologis sekelompok orang melainkan hasil musyawarah dari konsensus
masyarakat tersebut dan (3) nilai-nilai itu sifatnya dasar, secara garis besar
saja sehingga tidak langsung operasional. Namun demikian Pancasila tetap
dipandang sebagai hasil budaya bangsa yang tinggi nilai dan keberadaannya
bagi kelangsungan hidup bernegara. Pendidikan nilai Pancasila merupakan

19

pendidikan tentang karya luhur para pendahulu bangsa yang tetap


kontekstual untuk permasalahan dewasa ini.
Oleh karena nilai dasar Pancasila perlu kita kontekstualisasikan
dengan persoalan kebangsaan yang senantiasa berubah maka, pendidikan
Pancasila harus pula mampu melihat persoalan itu sebagai realitas dan
menjadi isi pembelajarannya. Anak didik diperkenalkan dengan realitasrealitas yang ada secara obyektif yang kemudian dianalisis dengan ide-ide
dasar Pancasila. Kenyataan (realitas) dipertemukan dengan gagasan
(idealisme) untuk mendapatkan penyelesaian. Dengan demikian pendidikan
Pancasila tidak murni berisikan hal-hal yang ideal tetapi juga realistis karena
bersinggungan dengan kenyataan yang dihadapi. Pandangan antara
idealisme dan realisme merupakan komponen dalam filsafat pendidikan
esensialisme yang berpandangan bahwa gagasan-gagasan dasar ideal akan
semakin menemukan kebenarannya dan diyakini jika teruji melalui
kenyataan-kenyataan yang dihadapi. Pendidikan Pancasila lebih tepat jika
dilandasai oleh filsafat pendidikan esensialisme.
b. Penataan metode pembelajarannya
Selanjutnya metode atau strategi pembelajaran yang mana yang tepat
dalam sosialisasi nilai-nilai Pancasila tergantung pada asumsi yang
melandasinya, jenis materi pembelajaran, dan filsafat dan teori pembelajaran
yang dianut. Pengalaman pendidikan Pancasila era Orde Baru memberi
pelajaran kepada kita bahwa kegegalan semata-mata karena materi, tetapi
terutama pada asumsi dan teori pembelejaran yang dianut. Pancasila bagi
Orde Baru dipandang sebagai nilai kebenaran yang pasti yang mana warga
diposisikan sebagai obyek pembelajaran yang siap untuk menerima
Pancasila. Oleh karena itu yang berlaku adalah proses indoktrinasi dan
pengajaran Pancasila nilai bukan proses pembelajaran. Selain itu pengajaran
Pancasila hanya sekedar menyampaikan sejumlah pengetahuan (ranah

20

kognitif) sedangkan ranah afektif dan psikomotorik masih kurang


diperhatikan. Ini berakibat pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
cenderung menjenuhkan siswa.
Mengenai materi atau isi pembelajaran Pancasila perlu dibuat
pemetaan

yang

disesuaikan

dengan

tingkat

perkembangan

siswa.

Pemaknaan baru atas Pancasila memberi penjelasan bahwa konsep teoritik


Pancasila bisa dipecah sebagai konsepsi filosofis, historis, politik, dan
yuridis. Dari sisi filosofis Pancasila adalah lima nilai dasar yang karena
sifatnya abstrak perlu dijabarkan atau diturunkan lagi kedalam nilai-nilai
instrumental kehidupan (norma etik dan sosial). Misal nilai Ketuhanan
diturunkan menjadi toleransi dan kerjasama antar umat beragama. Nilai
kemanusiaan berisi kejujuran dan menghormati orang lain. Nilai persatuan
menjadi nilai kebersamaan dan tanggungjawab sosial. Nilai kerakyatan
menjadi menghargai pendapat orang lain dan bermusyawarah. Nilai
keadilan menjadi tolong menolong dan berlaku adil. Materi yang bersifat
nilai (afektif) ini tepat diberikan kepada tingkat dasar (SD) sebab anak usia
SD lebih bersifat emosional, lebih mudah menerima dalam hal penanaman
nilai dan sikap. Sekaligus pula materi nilai ini melandasi karakter anak
untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan di atasnya
Dari sisi historis dan politis, Pancasila merupakan salah satu karya
luhur bangsa yang bisa mempersatukan kelompok-kelompok masyarakat
Indonesia. Aspek historis Pancasila tepat disajikan pada siswa SMP dan yang
sederajat. Anak sudah mampu merekam proses yang terjadi di masa lalu dan
belajar menghayati bahwa Pancasila merupakan nilai yang tepat untuk
Indonesia yang majemuk ini. Rasa kebangsaaan dan patriotisme bisa
ditumbuhkan melalui belajar sisi historis Pancasila. Aspek yuridis Pancasila
berisi norma dasar Pancasila yang terjabar kedalam norma hukum yang
tertuang dalam pelbagai peraturan perundangan negara. Tujuan yang

21

diinginkan adalah tumbuhnya kesadaran hukum warganegara untuk


senantiasa taat tetapi juga kritis terhadap berlakunya hukum di Indonesi a.
Materi ini tepat untuk siswa SMA ataupun mahasiswa. Mereka bersifat
rasional, mampu berfikir kritis dan bersikap terhadap hukum yang berlaku.
Dengan pemetaan dan penataan materi seperti di atas , pembelajaran
Pancasila dimungkinkan tidak terjadi pengulangan materi mulai dari SD,
SMP , SMA dan perguruan tinggi.

Belajar Pancasila diharapkan tidak

menjenuhkan atau membosankan siswa sebagaimana berlaku pada masa


lalu yang sering dicemooh belajar Pancasila tetap itu-itu saja, tidak berubah.
Berkaitan dengan metode pembelajarannya, aliran idealisme dan
aliran realisme sebagai komponen filsafat esensialisme berpadu dalam suatu
sintesa dengan mengatakan bahwa nilai itu tidak dapat ditandai dengan
suatu konsep tunggal, karena minat, perhatian dan pengalaman ses eorang
turut

menentukan

adanya

kualitas

tertentu.

Walaupun

idealisme

menjunjung asas otoriter atas nilai-nilai, namun juga tetap mengakui bahwa
pribadi secara aktif bersifat menentukan nilai-nilai itu atas dirinya sendiri
(memilih, melaksanakan). Jadi nilai Pancasila kita pandang sebagai kebaikan
bersama yang dituju tetapi proses internalisasinya tetaplah menghargai anak
untuk aktif memilih, memilah dan melaksanakan nilai itu. Dengan demikian
metode pembelajaran berpusat pada siswa untuk aktif terlibat dengan nilai
tetapi guru/ pendidik memiliki referensi nilai yaitu Pancasila itu sendiri
sebagai rujukan dan tujuan dari proses internalisasi.
Mengenai metode pembelajaran nilai ini, dikenal adanya 5 model
pendekatan yaitu: (1) Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach), (2)
Pendekatan perkembangan moral kognitif (cognitive moral development
approach), (3) Pendekatan analisis nilai (values analysis approach), (4)
Pendekatan klarifikasi nilai (values clarification approach), dan (5) Pendekatan
pembelajaran berbuat (action learning approach). (Teuku Ramli Zakaria, 2001).

22

Masing-masing pendekatan memiliki ciri dan penerapan yang berbeda.


Kelima pendekatan ini juga memiliki kelebihan dan kekurangannya masingmasing. Perlu ditentukan pendekatan mana yang tepat untuk pembelajaran
Pancasila disesuaikan dengan filsafat pendidikan yang melandasinya.
Pendekatan penanaman nilai tidak sepenuhnya digunakan sebab
pendekatan ini lebih berpusat pada guru yang aktif untuk menanamkan nilai
yang dianggap sudah baku. Sedangkan posisi siswa dipandang sebagai
obyek yang siap untuk diberi atau ditanamkan nilai-nilai tersebut.
Pendekatan ini dipandang indoktrinatif, tidak sesuai dengan perkembangan
kehidupan demokrasi karena dinilai mengabaikan hak anak untuk memilih
nilainya sendiri secara bebas.
Pendekatan perkembangan moral kognitif juga kurang tepat untuk
pembelajaran nilai Pancasila. Pendekatan ini berpijak dari teorinya John
Dewey, Jean Piaget dan L Kolhberg yang lebih menekankan pada proses
penalaran moral dalam mengatasi suatu dilema moral. Moralitas dipandang
bukan hasil tetapi proses. Penekanan kepada proses semata dan
mengabaikan isi atau hasil, tidak akan mencapai sepenuhnya apa yang
diharapkan. Disamping itu pendekatan ini memberi kebebasan penuh pada
anak akan suatu nilai yang diyakini baik. Pendekatan ini bias filsafat Barat
dan menekankan pada nilai-nilai sekuler.
Pendekatan analisis nilai dan klarifikasi nilai memberi kekebasan
anak menggunakan rasionya dalam hal menganalisis, memilih dan
menentukan nilai-nilai yang dianggapnya baik. Nilai dalam hal ini bersifat
relatif dan subyektif bagi orang itu tidak bergantung pengaruh luar seperti
budaya dan agama. Sama dengan pendekatan kognitif, pendekatan ini bias
budaya Barat yang memberi kebebasan anak untuk memilih dan
melaksanakan nilai. Proses dianggap lebih penting daripada hasil.

23

Pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach) memberi


penekanan pada usaha memberikan kesempatan kepada siswa untuk
melakukan perbuatan-perbuatan moral, baik secara perseorangan maupun
secara bersama-sama dalam suatu kelompok. Pendekatan ini langsung pada
praktek pelaksanaan nilai dengan suatu kegiatan. Metode pembelajarannya
meliputi bermaian peran, sosio drama, kerja kelompok, dan proyek.
Pendekatan ini bisa menghasilkan anak yang lebih aktif dan partisipatif
untuk menjalankan nilai.
Dari berbagai pendekatan di atas, sebenarnya tidak ada suatu
pendekatan yang bisa dikatakan tepat untuk sebuah pembelajaran nilai
dengan konteks yang berbeda-beda oleh karena masing-masing memiliki
kekurangan. Berpijak pada filsafat pendidikan dianut maka pembelajaran
Pancasila lebih baik menekankan pendekatan penanaman nilai sebagai
tujuannya sedangkan proses pembelajarannya bisa menggunakan variasi
pendekatan yang lain. Nilai etik sosial, nilai kebangsaan maupun norma
hukum yang merupakan cerminan dari Pancasila hendaknya tetap kita
pandang sebagai nilai ideal sebagai titik tolak sekaligus hasil dari proses
pembelajaran Pancasila. Sedangkan proses penemuan nilai dilakukan
melalui variasi pendekatan moral kognitif, analisis nilai, klarifkasi nilai dan
pembelajaran berbuat dimana proses-proses tersebut lebih banyak berpusat
pada siswa daripada guru. Dengan demikian dalam pembelajaran pendidik
memfasilitasi tetapi juga pada akhirnya memverifikasi nilai-nilai yang
ditemukan siswa apakah sesuai atau tidak dengan nilai dasar Pancasila.

2. Pengembangan Sosial Budaya (Socio-Cultural Development)


Socio-Cultural Development adalah pendekatan yang berpandangan
bahwa sosialisasi nilai akan berhasil bila didukung oleh lingkungan sosial
budaya yang ada di sekitarnya. Oleh karena itu perlu diciptakan lingkungan

24

sosial budaya yang kondusif bagi sosialisasi nilai-nilai Pancasila di


masyarakat. Penciptaan lingkungan sosial budaya tersebut mencakup
penciptaan pola interaksi, kelembagaan maupun wadah sosial budaya di
masyarakat. Dukungan yang ada di lingkungan tersebut amat berpengaruh
bagi

keberhasilan sosialisasi nilai-nilai Pancasila. Dengan

demikian

sosialisasi Pancasila tidak semata-mata melalui pendekatan pendidikan


(psyco paedagogic development) tetapi juga harus ditunjang socio-cultural
development.
Pengalaman Orde Baru

menunjukkan bahwa sosialisasi nilai-nilai

Pancasila ini misalnya melalui praktek simulasi P4 oleh lembaga-lembaga


sosial, penciptaan slogan seperti desa pelopor P4, keluarga Pancasila,
ekonomi Pancasila, pemuda Pancasila, masyarakat Pancasila bahkan ada
pula yang disebut kesebelasan Pancasila. Praktek Orde Baru mengadakan
ideologisasi Pancasila hampir pada semua segmen kehidupan warganya.
Sosialisasi lewat jalur sosial budaya ini pada akhirnya dianggap berlebihan
dan tidak lebih dari indoktrinasi ideologi Pancasila dalam pemaknaan Orde
Baru itu sendiri. Kegagalan bukan karena tidak berhasilnya internalisasi
tetapi ternyata rezim itu sendiri yang membohongi rakyat dengan
penyimpangan-penyimpangannya atas Pancasila. Oleh karena itu rakyat
menjadi jenuh bahkan muak yang berakibat Pancasila ikut menanggung
kesalahan.
a. Pendekatan sosiologis terhadap masyarakat Indonesia
Berdasar ini, maka jalur socio-cultural development perlu ditata ulang
dengan mempertanyakan terlebih dahulu bagaimana menempatkan kembali
Pancasila di mata masyarakat agar kesan Orde Baru tidak muncul.
Penempatan ini penting dilakukan sebab kondisi sosial budaya (socio
cultural) yang mendukung tidak mungkin bisa dikembangkan sebelum ada
kesediaan

masyarakat

untuk

menerima

25

Pancasila.

Penerimaan

ini

bergantung pada pandangan akan penting tidaknya nilai Pancasila bagi


masyarakat Indonesia dalam konteks sosial.
Dari sisi politik, Pancasila merupakan kesepakatan politik yang
menjadi titik temu dari berbagai kelompok masyarakat Indonesia sehingga
bersedia bersatu atau berintegrasi. Pada titik pembicaraan ini, ada dua
pendekatan dalam teori sosiologi tentang bagaimana masyarakat bisa
bersatu. Pendekatan itu adalah pendekatan fungsional struktural atau
fungsionalisme-struktural dan pendekatan konflik. Kedua pendekatan ini
memiliki pandangan sekaligus gambaran tentang bagaimana struktur
masyarakat itu berjalan dan bersatu melalui sudut pandang yang berbeda.
Perspektif fungsionalisme struktural melihat masyarakat dengan
menganalogikannya sebagai organisme biologis (Nasikun, 2006). Masyarakat
dilihat sebagai sistem organis yang memiliki struktur dan fungsi yang
masing-masing
ketertiban

dan

saling

mempengaruhi

harmoni

sosial.

dan

Meskipun

melengkapi
masyarakat

membentuk
mengalami

ketegangan, disfungsi, disharmoni , disintegrasi dan penyimpangan lainnya


namun dapat teratasi melalui penyesuaian dan proses institusioanalisasi.
Faktor yang paling penting dalam mengintegrasikan masyarakat adalah
konsensus

diantara

anggota

masyarakat

itu

mengenai

nilai-nilai

kemasyarakatan tertentu. Interaksi sosial bisa diatur karena commitment


mereka terhadap norma norma sosial bersama yang menghasilkan daya
untuk mengatasi perbedaan pendapat dan kepentingan anggota masyarakat
itu. Beberapa ilmuwan yang berjasa dalam mengembangkan teori ini adalah
August Comte (1798- 1857), Herbert Spencer (1820-1930), Emile Durkheim
(1858-1917), dan Talcott Parson (1902 1979). Yang terakhir ini dianggap
amat berarti dalam pengembangan teori struktural fungsional sehingga
diasosiasikan teori Parsonian (Megawangi, 1999)

26

Pendekatan konflik muncul sebagai reaksi atas fungsionalisme


struktural. Pandangan teori konflik berdasar pada anggapan bahwa
masyarakat senantiasa berubah yang tidak pernah berakhir, mengandung
konflik sebagai gejala yang melekat, setiap unsurnya menyumbang bagi
terjadinya disintegrasi

dan integrasi terjadi diatas penguasaan sejumlah

orang atas orang lain (Nasikun, 2006). Sebab timbulnya konflik adalah
adanya dikotomi dalam masyarakat antara kelompok ordinat dan
subsordinat. Jika menurut Karl Marx (1818-1883) perbedaan ini karena
perbedaan kepemilikan faktor produksi maka menurut Ralf Dahrendorf
terjadi karena perbedaan kepemilikan kekuasaan. Kekuasaan sebagai
sumber daya yang terbatas di masyarakat akan senantiasa diperebutkan.
Dengan pengertian seperti ini dalam setiap masyarakat apapun akan selalu
terjadi konflik. Misalnya konflik dosen- mahasiswa, konflik pastor jamaah,
pemimpin politik dan pengikutnya (Megawangi, 1999). Dalam hal terjadinya
konflik maka yang dibutuhkan adalah pengendalian konflik dalam bentuk
konsiliasi, mediasi, dan arbitrasi (Nasikun, 2006).
Berdasar dua pendekatan di atas, perlu kita menempatkan Pancasila
dalam konteks masyarakat Indonesia yang plural ini. Menurut pendekatan
fungsional struktural, masyarakat akan senantiasa terintegrasi diatas
tumbuhnya konsensus akan nilai nilai sosial kemasyarakatan yang bersifat
fundamental. Pancasila merupakan nilai nilai konsensus bangsa. Jadi
Pancasila bisa menjadi nilai sosial bersama (common values) diantara
masyarakat Indonesia sehingga bisa mempersatukan. Namun demikian nilai
sosial bersama tidak menjamin secara penuh bahwa integrasi masyarakat
Indonesia terjaga Masyarakat Indonesia yang plural dengan berbagai ragam
kepentingan akan selalu rawan terjadi konflik. Teori konflik menyatakan
bahwa integrasi dapat terjadi diatas suatu paksaan (coercion) dari kelompok
dominan atas kelompok lain, dan terdapatnya saling ketergantungan

27

diantara kelompok-kelompok masyarakat itu. Pendekatan konflik juga


menyarankan perlunya ketrampilan pengendalian konflik yang meliputi
konsiliasi, mediasi, dan arbitrasi. Dengan demikian jika suatu saat konflik
memuncak dapat dilakukan pengendalian dalam bentuk koersif oleh negara
namun dengan tidak berlebihan. Pengendalian ini bisa dibenarkan karena
negara memiliki hak monopoli atas kekuasaan politik. Di sisi lain
masyarakat perlu trampil didalam cara-cara mengelola dan mengendalikan
konflik. Nilai-nilai bersama Pancasila bisa dijadikan masyarakat sebagai
acuan dalam rangka penyelesaian konflik ini. Misalnya penyelesaian konflik
tidak

bertentangan

kemanusiaan,

dengan

menuju

nilai

persatuan

Ketuhanan,
masyarakat

menghargai

itu,

dilakukan

derajat
secara

demokratis dan menghasilkan rasa keadilan antar pihak.


b. Penciptaan kondisi sosial budaya yang mendukung Pancasila
Berdasar pemaknaan Pancasila dalam kaitannya dengan masyarakat
Indonesia sebagaimana di atas, maka Pancasila yang dihadirkan ke
masyarakat adalah Pancasila sebagai etik sosial (social ethic) bersama.
Pancasila dari sisi sosial politis bukan dari sisi filosofis, karena pemaknaan
Pancasila sebagai konsep filsafat dipandang tidak penting jika dilihat dari
kepentingan mengintegrasikan masyarakat Indonesia. Sebagai norma sosial
yang fundamental Pancasila di masyarakat Indonesia berfungsi dua , pertama
sebagai nilai konsensus yang bisa mempersatukan dan sekaligus sebagai
cita-cita bersama dan kedua sebagai acuan bagi penyelesaian konflik.
Norma sosial Pancasila sebagai nilai dan cita-cita bersama bisa
diturunkan lagi kedalam norma sosial yang lebih konkrit. Misal nilai
kemanusiaan dijabarkan menjadi perlunya kejujuran. Konsep kejujuran
inilah yang dikembangkan secara sosial budaya menjadi lingkungan yang
mendukung. Penciptaan lingkungan sosial budaya yang jujur, misalnya
melalui keteladanan para pemimpin masyarakat, slogan-slogan kejujuran ,

28

iklan untuk bertindak jujur dan lembaga lain yang berkiprah untuk
meningkatkan kejujuran. Contohnya adalah Kantin Kejujuran di kota
Bekasi yang baru barui ini diresmikan.( Sinar Harapan, 28 Oktober 2008).
Kantin Kejujuran dapat dikatakan sebagai lingkungan sosial budaya yang
mendukung bagi implementasi nilai-nilai Pancasila terutama sila kedua.
Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dapat dijadikan contoh lembaga
sosial masyarakat yang mendukung implementasi nilai nilai Pancasila sila
pertama. Komunitas Anti Kekerasan dapat dijadikan contoh lembaga sosial
masyarakat yang mendukung implementasi nilai nilai Pancasila sila
keempat. Penciptaan pekan olah raga nasional, duta wisata, kontes budaya
nusantara merupakan lingkungan sosial budaya yang baik baik sosialisasi
nilai nilai Pancasila sila ketiga.
Dengan demikian lembaga sosial budaya yang dibentuk masyarakat
tidak perlu mencerminkan secara langsung Pancasila misalnya dengan
sebutan Masyarakat Pancasila tetapi cukup mewakili salah satu norma
sosial yang ada. Cara seperti ini memungkin tidak terjadinya lagi
ideologisasi Pancasila

atau serba Pancasila dalam masyarakat Indonesia

yang bisa menimbulkan kejenuhan dan penolakan. Cara-cara seperti ini


secara tidak langsung telah memberikan kondisi sosial budaya yang amat
kondusif bagi sosialisasi nilai-nilai Pancasila di masyarakat.

3. Pengaruh Sosial Politik dari Kekuasaan (Socio- Political Intervention)


Socio- Political Intervention berasumsi bahwa sosialisasi nilai-nilai
Pancasila dalam batas- batas tertentu membutuhkan peran negara untuk
mempengaruhi upaya tersebut. Dalam batas tertentu mengandung maksud
bahwa di era demokrasi sekarang ini peran negara diupayakan minimal
sedang peran masyarakat yang diperbesar. Dalam negara demokrasi , perlu
dihindari keterlibatan negara secara penuh dalam berbagai aspek kehidupan

29

masyarakat.

Jadi

peran

negara

demokrasi

adalah

memfasilitasi,

menyediakan sarana, kebijakan, program dan anggaran bagi sosialisasi nilainilai

Pancasila

untuk

selanjutnya

menawarkan

kerjasama

dengan

masyarakat untuk menjalankan sosialisasi tersebut.


Pengalaman selama era Orde Baru menunjukkan bahwa pendekatan
Socio- Political Intervention

ini dilakukan secara penuh oleh negara/

pemerintah. Penataran P4 menjadi proyek besar bagi ideologisasi Pancasila


untuk masyaraat luas. setiap warganegara diharuskan ikut penataran P-4.
Kegagalan P4 bukan hanya karena metode pembelajarannya yang
indoktrinatif tetapi juga P4 dikesankan hanya untuk warganegara biasa yang
harus menerima dan menghayati Pancasila. Para pejabat negara justru
banyak yang mengingkari nilai-nilai Pancasila itu dalam perbuatannya.
Inilah yang membuat masyarakat alergi dan merasa dibohongi dari
penataran P4. Udin S Winataputra (2001) menyatakan bahwa seiring dengan
semakin kuatnya tuntutan demokratisasi melalui gerakan reformasi baru baru ini, dan juga dilandasi oleh berbagai kenyataan sudah begitu maraknya
korupsi, kolusi, dan nepotisme selama masa Orde Baru, tidak dapat
dielakkan tudingan pun sampai pada Penataran P-4 yang dianggap tidak
banyak membawa dampak positif, baik terhadap tingkat kematangan
berdemokrasi dari warganegara, maupun terhadap pertumbuhan kehidupan
demokrasi di Indonesia.
P4 sesungguhnya merupakan bentuk pendidikan politik bagi
masyarakat. Sejalan dengan era demokrasi sekarang ini , dengan tidak
adanya lagi penataran P4 tetap dibutuhkan bentuk pendidikan politik yang
mampu menyemaikan demokrasi dan juga nilai nilai Pancasila. Dalam hal
ini negara perlu menciptakan format pendidikan politik masyarakat yang
dimaksud.

30

Berkaca pada pengalaman Orde Baru, negara tidak perlu berperan


besar dalam mensosialisasi nilai-nilai Pancasila di masyarakat, tetapi negara
/pemerintah memfasilitasi secara luas dengan cara bekerjasama dengan
masyarakat agar masyarakat secara berangsur-angsur dengan kesadaran
sendiri melaksanakan nilai-nilai Pancasila. Di negara demokrasi, peran
negara dapat ditunjukkan misalnya dengan membentuk komisi-komisi yang
bersifat independen tetapi dengan fasilitas dari negara untuk berperan
dalam pemecahan persoalan-persoalan kebangsaan. Sekarang ini, di
Indonesia telah terbentuk banyak komisi, misal Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), Komisi Nasional HAM (Komnas HAM), Komisi Pemilihan
Umum (KPU), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Nasional dan
Keselamatan Transportasi (KNKT) dan lain-lain. Komisi-komisi yang bersifat
indepeneden yang difasilitasi negara ini berbeda dengan lembaga sosial
masyarakat misalnya Komisi Untuk Orang

Hilang dan Anti Kekerasan

(Kontras) yang mana merupakan lembaga yang betul betul hasil swadaya
masyarakat sendiri. Jika demikian, negarapun dapat membentuk suatu
komisi independen yang secara khusus berperan dalam hal sosialisasi nilainilai Pancasila , termasuk konsensus tentang NKRI, Pembukaan UUD 1945
dan Bhineka Tunggal Ika, misalkan dengan nama Komisi Kebangsaan
Indonesia (KKI). Komisi ini dengan fasilitas dan anggaran negara dapat
berperan

besar

mensosialisasikan

konsensus-konsensus

bangsa pada

masyarakat, bekerjasama dengan masyarakat, bertindak secara independen


dan negara berpengaruh secara minimal.
Di sisi lain peran pemerintah dalam hal sosialisasi nilai-nilai Pancasila
adalah tetap melaksanakan pendidikan Pancasila kepada pejabat negara
nya. Jika penataran P4 Orde Baru berkesan untuk warganegara biasa /
rakyat, tetapi justru dalam era reformasi ini perlu diadakan lagi bentuk
pendidikan Pancasila

tetapi khusus untuk para penyelenggara negara.

31

Negara berkepentingan agar para penyelenggara negara memiliki nilai-nilai


konsensus nasional bangsa termasuk Pancasila sebab dengan memiliki nilai
dan gagasan dasar tersebut integrasi dan kelangsungan hidup bangsa
Indonesia dipelihara oleh penyelenggara negara itu sendiri. Penyelenggara
negara juga diharapkan tidak menyimpang dalam pelaksanaan tugasnya.
Kepentingan lain adalah perilaku para penyelenggara negara ini akan
menjadi contoh nyata bagi warganegara biasa. Gagasan ini misalnya
diwujudkan dalam bentuk suatu departemen mengadakan penataran
wawasan kebangsaan untuk para pegawainya.
Pengaruh negara terhadap sosialisasi nilai-nilai Pancasila juga perlu
dilakukan untuk mendukung pendekatan psyco-paedagogic development, dan
socio-cultural development. Terhadap psyco-paedagogic development, misalnya
dilakukan dengan menyusun standar nasional pendidikan, standar isi
pembelajaran, program-program tertentu yang nantinya dilakukan sendiri
oleh sekolah. Terhadap socio-cultural development, negara dapat berperan
misalnya dengan cara menyediakan dana kompetetif untuk lembaga sosial
kemasyarakatan.

D. Penutup
Dalam bagian penutup ini, berdasar uraian di atas akan penulis
simpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Akibat pemberlakuan Orde Baru yang melakukan mistifikasi dan
ideologisasi Pancasila pada semua ranah kehidupan, Pancasila di era
reformasi menjadi terdeskreditkan atau mendapat kesan buruk dan salah
sehingga patut untuk ditinggalkan. Namun sebagai suatu gagasan besar
kebangsaan dan konsensus nasional, Pancasila tetap ingin ditempatkan

32

kembali dalam bangunan kehidupan bernegara Pancasila baik oleh


warga bangsa maupun penyelenggara negara
2. Upaya menempatkan kembali Pancasila dalam sistem bernegara tidak
sekedar memposisikan Pancasila secara layak dan benar sesuai dengan
pemaknaan baru tetapi juga menuntut perlunya Pancasila dilaksanakan
atau dijalankan secara konsisten dalam kehidupan bernegara termasuk
didalamnya mensosialisasikan nilai-nilai dasarnya
3. Melaksanakan dan mensosialisasikan Pancasila dalam kehidupan
bernegara dapat dilakukan melalui tiga pendekatan yaitu pendekatan
pengembangan pendidikan pembelajaran (psyco-paedagogic development),
pengembangan

sosial

budaya

development)

(socio-cultural

dan

pengembangan yang dipengaruhi oleh kekuasaan (socio- political


intervention).
4. Jalur

psyco-paedagogic

development

adalah

dengan

melakukan

pembelajaran Pancasila melalui pendidikan formal dengan cara menata


kembali isi materi dan metode pembelajarannya. Materi Pancasila yang
meliputi konsep filosofis, historis, politis dan yuridis dibedakan dan
dipetakan disesuaikan dengan tingkat perkembangan peserta didik.
Metode pembelajarannya berpusat pada peserta diri dalam proses
menemukan nilai sedangkan pendidik berfungsi memfasilitasi sekaligus
menverifikasi hasil berdasar nilai-nilai Pancasila. Pembelajaran Pancasila
lebih

tepat

didasarkan

pada

filsafat

pendidikan

esensialisme,

menggunakan pendekatan penanaman nilai yang dipadukan dengan


pendekatan lain secara sinergis dan melengkapi.
5. Jalur socio-cultural development adalah dengan menempatkan Pancasila
sebagai etik sosial bersama di masyarakat. Penyebarluasan dan
internalisasi nilai nilai etik dilakukan melalui pembentukan kelembagaan
sosial,

wadah

dan

pola-pola

interaksi

33

yang

bisa

mendukung

implementasi nilai tersebut dan sekaligus berfungsi sebagai upaya


pencegahan dan penyelesaian masalah masalah kebangsaan.
6. Jalur socio- political intervention adalah keikutsertaan negara untuk
memfasilitasi , membantu, dan mendukung usaha-usaha sosialisasi
Pancasila. Peran negara dapat dilakukan dengan cara pembentukan
komisi

independen

yang

berperan

dalam

sosialisasi

nilai-nilai

kebangsaan, pendidikan nilai-nilai Pancasila dan kebangsaan kepada


penyelenggara negara sendiri dan memberikan kebijakan atau program
yang mendukung jalur psyco-paedagogic development dan jalur socio-cultural
development.

Daftar Pustaka

Adnan Buyung Nasution. 1993. Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di


Indonesia : Studi Sosio Legal atas Konstituante 1956-1959. Jakarta; Pustaka
Utama Grafiti
Faisal Ismail. 1999. Ideologi, Hegemoni dan Otoritas Agama. Jakarta. Tiara
Wacana
Franz Magnis Suseno. 2001. Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral Dasar
Kenegaraan Modern. Jakrta : Gramedia
George Ritzer & Douglas J Goodman. 2005. Teori Sosial Modern. Edisi -6
Cetakan III. Jakarta: Prenada Media
Gumilar Rusliwa Somantri. 2006. Pancasila dalam Perubahan Sosial Politik
Indonesia Modern. Makalah dalam Simposium Nasional Restorasi
Pancasila : Mendamaikan Politik Identitas dan Modernitas . Jakarta :
FISIP UI
Hamid S Attamimi.1991. Pancasila sebagai cita Hukum dalam Oetojo Usman
dan Alfian. (Peny) 1991. Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa dalam Berbagai
Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Berbegara, Jakarta : BP-7
Pusat
Irfan Nasution dan Ronny Agustinus (Peny). 2006. Restorasi Pancasila :
Mendamaikan Politik Identitas dan Modernitas . Jakarta : FISIP UI
Koento Wibisono. 2004. Pancasila dan Identitas Nasional Indonesia . Makalah
disajikan dalam Pelatihan Nasional Dosen Pancasila di Denpasar, 2 4
Agustus 2004

34

Listiyono Santoso & Heri Santoso . 2003. (De) Konstruksi Indoeologi Negara :
Upaya Membaca Ulang Pancasila. Yogyakarta : Penerbit Ning-Rat Press
Nasikun. 2006. Sistem Sosial Indonesia . Jakarta: Rajawali
Ratna Megawangi. 1999. Membiarkan Berbeda, Sudut Pandang Baru tentang
Relasi Gender. Jakarta: Misan
Syahrial Syarbaini. 2003. Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi. Jakarta;
Ghalia Indonesia
Udin S Winataputra. 2001. Jatidiri Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Wahana
Sistematis Pendidikan Demokrasi. Bandung: Disertasi Program Pascasarjana
UPI
Sumber Media Dan Internet
Antara. 9 Juli 2008. Pendidikan Pancasila Perlu Dimasukkan Ektrakulikuler
Siswa SD-SMA
Kompas.18 Oktober 2001. Pendidikan Pancasila dan Kewiraan Gagal
Sosialisasikan Demokrasi
Kompas, 1 Juni 2006. Pidato Presiden Republik Indonesia Dr. H. Susilo
Bambang Yudhoyono Menata Kembali Kerangka Kehidupan Bernegara
Berdasarkan Pancasila Dalam Rangka Memperingati Hari Lahir
Pancasila
Kompas. 17 Juni 2004. Azyumardi Azra : "Rejuvenasi" Pancasila dan
Kepemimpinan Nasional
Kompas. 20 Februari 2001. Kuntowijoyo : Radikalisasi Pancasila
Kompas. 4 Maret 2003. Hilangnya Ideologi Pancasila di Kalangan Remaja
Kompas.16 Juni 2005. Pendidikan Pancasila Gagal
Kompas. 6 Desember 2001. Onghokham : Pancasila sebagai Kontrak Sosial.
Media Indonesia. 31 Juni 2007. Peter Lewuk: Rezim Reformasi Alergi Bicara
Pancasila
Sinar Harapan. 28 Oktober 2008. Jaksa Agung Resmikan Kantin Kejujuran di
Bekasi
Suara Pembaruan. 3 Juni 1998. P4 Tak Mampu Mengubah Perilaku Aparatur
Agus Wahyudi . Ideologi Pancasila: Doktrin yang Komprehensif atau
Konsepsi Politis? dalam http://filsafat.ugm.ac.id/aw
Fadliyanur:
Aliran
aliran
dalam
Filsafat
Pendidikan
dalam
http://fadliyanur.blogspot.com
Ketetapan MPR RI No XVIII/ MPR /1998 tentang Pencabutan Ketetapan MPR
RI No II / MPR / 1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila (Eka Prasetya Pancakarsa) dan Penetapan tentang Penegasan
Pancasila sebagai dasar Negara. http; www.mpr.go.id

35

Peraturan Presiden No 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka


Menengah Nasional 2004-2009 . http ; www.bappenas.go.id
Saafroedin Bahar . 2007. Bagaimana Melaksanakan Pancasila Sebagai Dasar
Negara Melalui Paradigma Fungsional. www.setwapres.go.id
Teuku Ramli Zakaria. 2001. Pendekatan-Pendekatan Pendidikan Nilai Dan
Implementasi Dalam Pendidikan Budi Pekerti
dalam http :
//www.pdk.go.id/Balitbang/Publikasi/Jurnal/No_026/Pendekatan_Pendid
ikan
_Teuku_Ramli.htm

36

37

Anda mungkin juga menyukai