Anda di halaman 1dari 13

KINERJA DAN PERKEMBANGAN KAWASAN INDUSTRI

STUDI KASUS : KAWASAN INDUSTRI DI JABODETABEK (JAKARTA-BOGOR-DEPOK-TANGERANG-BEKASI)


Oleh : Heri Apriyanto

Abstract
According to Indonesian Industrial Estate Association Data, 78% industrial estates in Indonesia is located at Jawa Island where 80% of those located in West Jawa Province, and 55% of those located at Jabodetabek. Based on land ownership for industrial estates in Indonesia, 82% of those located at Jawa Island where 84% of those located at West Jawa Province, and 41% of those located at Jabodetabek. Compared to Batam, the growth of industrial estates in Jabodetabek is not faster than Batams, even tends stagnant. The goal of this research is to identify technology performance index and industrial estates growth in Jabodetabek. The targets of this research are: to identify the growth of industrial estates, to identify the need of industrial estates, to identify the selection of location criteria for investor, also to evaluate the technology performance of the industrial estates in order to achieve the better condition of industrial estates. This research used primary data and secondary data. Output of this research are: industrial estates policies and regulations in Indonesia and Jabodetabek, profile and distribution of industrial estates, demand and supply side of industrial estates, preference in selecting industrial estates and technology performance index of industrial estates in Jabodetabek. Keywords : Industrial Estate,Technology Performance Index of Industrial Estates, the growth of industrial estates in Jabodetabek

I.

PENDAHULUAN Perkembangan pembangunan yang pesat merupakan implikasi dari berkembangnya sektor industri. Oleh karena itu industrialisasi bukan hanya sebagai alat untuk meningkatkan kemajuan lagi, tapi juga sudah menjadi kelaziman yang hampir ada di setiap kota-kota di dunia. Kemajuan inovasi teknologi juga menjadi insentif bagi sektor industri untuk terus berkembang, dan karena teknologi sudah merupakan salah satu parameter esensial dari kemajuan suatu bangsa, maka pada saat ini industrialisasi sudah tidak dapat dielakkan lagi. Namun industrialisasi tidak berarti hanya menyelesaikan masalah pembangunan, industrialisasi itu sendiri juga mendatangkan masalah, khususnya di perkotaan. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu metoda untuk pemanfaatan industri yang efektif, efisien, dan ramah lingkungan. Penentuan kawasan terhadap suatu konsentrasi industri dapat menjadi alternatif terhadap pemanfaatan industri yang lebih efektif, efisien, dan ramah lingkungan.

Kelemahan utama pemerintah Indonesia dalam investasi, khususnya dalam sektor industri adalah masalah pengalokasian kegiatannya. Banyak kasus unit usaha industri yang mendirikan unit industrinya tidak sesuai dengan kebijakan tata ruang wilayah. Isu lain adalah mengenai ketidakmerataan alokasi industri. Mayoritas investasi industri berada di Pulau Jawa. Dari keseluruhan kawasan industri di Indonesia yang terdaftar oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan, sebanyak 78% kawasan industri di Indonesia berada di Jawa, 80% diantaranya berada di Jawa Barat, dan 55% dari kawasan industri di Jawa Barat berada di wilayah Jabotabek. Berdasarkan lahan yang telah terkuasai untuk kawasan industri di Indonesia, 82% diantaranya adalah di Jawa, kemudian diantara yang di Jawa tersebut 84% diantara berada di Jawa Barat, dan 41% dari lahan yang telah direncanakan berada di wilayah Jabotabek. Namun diperkirakan perkembangan kawasan industri di Jabodetabek tidak sepesat di Pulau Batam. Bahkan diperkirakan perkembangannya mengalami kecenderungan jalan di tempat. 1

Mengenai ketidaksesuaian lokasi industri dengan kebijakan tata ruang, karena memang tidak ada atau belum ada peraturan yang mengharuskan para investor di bidang industri untuk mendirikan unit usaha industrinya di dalam kawasan industri. Sebagai dampaknya adalah rendahnya tingkat pengisian (occupancy rate) dari suatu area yang sudah ditetapkan sebagai kawasan industri, sedangkan unit usaha industri yang berada di luar kawasan tersebut sebenarnya masih banyak. Permasalahan lain yang timbul adalah masalah transportasi (yang berujung pada masalah kemacetan), masalah lingkungan (seperti pencemaran/polusi udara, air, dan suara). Berdasarkan hal di atas maka perlu dikaji tingkat kinerja teknologi dan perkembangan KI yang ada di Jabodetabek. Dengan kajian ini diharapkan dapat diidentifikasi perkembangan kondisi KI, mengidentifikasi kebutuhan sebenarnya dari suatu KI, mengidentifikasi kriteria pemilihan lokasi bagi investor, serta melakukan evaluasi kinerja teknologi KI sehingga dapat menghasilkan keadaan yang lebih baik. 2. METODOLOGI 2.1 Definisi dan Pengertian Kawasan Industri Kawasan industri (KI) adalah suatu tapak yang cukup luas yang ditata berdasarkan suatu pola yang jelas dan dilengkapi dengan prasarana, fasilitas dan pelayanan yang dikelola untuk menampung dan melayani industri. Segala kemudahan yang disiapkan di kawasan industri diharapkan dapat mempermudah pembangunan dan pengendalian industri. dengan segaLa kemudahan yang disiapkan di kawasan itu, diharapkan pihak industri dapat memperkecil ongkos investasi maupun operasinya. Selain itu dengan terkelompoknya industri di satu kawasan, juga diharapkan dapat mempermudah upaya pengelolaanya dan dampak yang tidak dikehendaki juga lebih mudah dikendalikan. Definisi kawasan industri berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1996 Tentang Kawasan Industri adalah kawasan tempat pemusatan kegiatan industri pengolahan yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana penunjang yang dikembangkan dan dikelola oleh Perusahaan Kawasan Industri yang telah memiliki Izin Usaha Kawasan Industri. Dengan definisi tersebut maka keberadaan kawasan industri di suatu lokasi ditunjukkan dengan ciri-ciri umum sebagai berikut: pertama, adanya lahan yang sudah dilengkapi dengan sarana dan prasarana dengan kapling tanah minimial; kedua, adanya suatu badan/manajemen pengelola yang telah memiliki izin usaha kawasan

industri; dan ketiga, pada umumnya banyak diisi oleh industri manufaktur (pengolahan multi jenis). Definisi lain dari Kawasan Industri (Industrial Estate) adalah kawasan tempat pemusatan kegiatan industri pengolahan yang dilengkapi dengan prasarana, sarana, dan fasilitas penunjang lainnya yang disediakan dan dikelola oleh Perusahaan Kawasan Industri yang telah memiliki izin usaha industri (Deperindag, 2001). Walaupun seharusnya Kawasan Industri merupakan public tools, partisipasi pemerintah yang tidak jelas dan tidak signifikan mengakibatkan kawasan industri menjadi sasaran investasi komersil. Pengembangan KI dimaksudkan untuk mendorong pertumbuhan sektor industri lebih terarah, terpadu, dan memberikan hasil guna yang lebih optimal bagi daerah dimana kawasan industri berlokasi. Berdasarkan pengamatan di beberapa negara, KI mempunyai peran dalam pembangunan industri (Studi Nasional Kawasan Industri di Indonesia, Buku III vol 1, 1984 : hal 15), adalah dalam hal : a. KI dikembangkan untuk menunjang pembangunan industri melalui usaha-usaha yang lebih efisien dalam hal : - Investasi bagi jenis-jenis industri terpilih menurut kriteria pemasaran dan kemampuan negara bersangkutan - Pengarahan tata ruang nasional pembangunan industri, sebagai bagian pembangunan ekonomi nasional - Penyediaan wadah usaha berupa kawasan yang telah dipersiapkan untuk menjamin terkendalinya berbagai dampak wilayah yang ditimbulkan. b. KI dikembangkan mengikuti beberapa dari prakondisi berikut : - Dikembangkannya berbagai industri berat/dasar di negara bersangkutan, atau kemungkinannya impor hasil industri-industri itu secara terjamin, bagi penyediaan bahan baku - Siap dan tersedianya tenaga terampil yang cukup untuk mengisi kebutuhan tenaga kerja - Penguasaan dari penyesuaian (pengembangan) teknologi produksi dan manajemen yang akan menjadi tulang punggung kegiatan dalam KI. c. Skala pengembangan kawasan industri akan sangat ditentukan oleh perhitungan yang matang terhadap pemasaran (nasional dan internasional) produk secara kompetitif. Manfaat pengembangan KI dalam skala wilayah, mengarah kepada (Studi Nasional

Kawasan Industri di Indonesia, Executive Summary, 1984) : - Memanfaatkan kondisi sosial, infrastruktur, dan sumberdaya alam dalam wilayah tertentu - Memperbesar peluang partisipasi masyarakat setempat dalam proses perkembangan industri - Meningkatkan optimasi tata ruang wilayah. 2.2 Dasar Hukum KI Dasar hukum yang melandasi pembangunan dan pengembangan industri maupun kawasan industri adalah : a. Undang-Undang : - Undang-undang No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian; - Undang-undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, khususnya pasal 22 butir 4; - Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah. b. Peraturan Pemerintah : - Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 1986 tentang Kewnangan Pengaturan, Pembinaan, dan Pengembangan Industri; - Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 1995 tentang Izin Usaha Industri; - Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom; - Peraturan Pemerintah No. 84 Tahun 2000 tentang Pedoman Organisasi Peringkat Daerah. c. Keputusan Presiden : - Keppres No. 33 Tahun 1990 tentang Pembangunan Tanah bagi Pembangunan Kawasan Industri, khususnya pasal 7; - Keppres No. 41 Tahun 1996 tentang Kawasan Industri; - Keputusan Presiden No. 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan. - Peraturan Menteri/Keputusan Menteri : - Surat Keputusan Menteri Perindustrian No. 291/M/SK/10/1989 tentang Tata Cara Perizinan dan Standar Teknis Kawasan Industri; - Surat Keputusan Menteri Perindustrian No. 30/M/SK/4/1991 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Penetapan

Kawasan Industri yang Diberi Status Kawasan Berikat; Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 5 Tahun 1992 tentang Rencana Tapak Tanah dan Tata Tertib Pengusahaan Kawasan Industri serta Prosedur Pemberian IMB dan Ijin Undang-undang Gangguan (UUG)/HO bagi Perusahaan yang Berlokasi dalam Kawasan Industri; Surat Keputusan Menteri Perindustrian No. 230/M/SK/1993 tentang Perubahan Keputusan Menteri Perindustrian No. 291/M/SK/10/1989; Surat Keputusan Menteri Perindustrian No. 231/M/SK/1993 tentang Perubahan Keputusan Menteri Perindustrian No. 30/M/SK/4/1991; Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 589/MPP/Kep/10/1999 tentang Penetapan Jenis-Jenis Industri dalam Pembinaan Masing-masing Direktorat Jenderal dan Kewenangan Pemberian Izin Bidang Industri dan Perdagangan di Lingkungan Departemen Perindustrian dan Perdagangan; Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Kep51/MenLH/10/1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair bagi Kegiatan Industri.

2.3 Metode Metoda yang digunakan adalah : - kajian literatur/referensi seperti : peraturan/ regulasi, RTRW Kabupaten/Kota, studi, dan sebagainya; - survei lapangan untuk mengumpulkan data primer, seperti site plan, jumlah perusahaan, sarana dan prasarana, dan sebagainya; - pengambilan sampel beberapa KI untuk mengetahui tingkat kinerja teknologi pengelola KI dan KI; - analisis Metode yang digunakan untuk mengetahui tingkat kinerja teknologi suatu KI dan perusahaan pengelolanya adalah melalui komponen-komponen teknologi yang dapat digolongkan menjadi sebagai berikut : a. Technoware (T) = perangkat teknis : mencakup peralatan, perlengkapan, mesin-mesin, kendaraan bermotor, pabrik, infrastruktur fisik, dan barang-barang modal lainnya yang digunakan manusia dalam mengoperasikan suatu transformasi produksi. b. Humanware (H) = kemampuan sumberdaya manusia : meliputi pengetahuan,

keterampilan/keahlian, kreativitas, prestasi, dan pengalaman seseorang atau sekelompok orang dalam memanfaatkan sumberdaya alam dan teknologi yang tersedia. c. Infoware (I) = perangkat informasi : berkaitan dengan proses, prosedur, teknik, metode, teori, spesifikasi, desain, observasi, manual, dan fakta lainnya yang diungkapkan melalui publikasi, dokumen, dan cetak biru. d. Orgaware (O) = perangkat organisasi/kelembagaan dan peraturan : dibutuhkan untuk mewadahi perangkat teknis, kemampuan sumberdaya manusia, dan perangkat informasi, terdiri dari praktek-praktek manajemen, keterkaitan, dan pengaturan organisasi untuk mencapai hasil yang positif. Analisis ini dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran mengenai sejauh mana tingkat kecanggihan komponen teknologi yang dimiliki berpengaruh terhadap kinerja kawasan industri secara keseluruhan. Dalam hal ini pengaruh teknologi tersebut dikaji secara deskriptif kualitatif. Adapun metode yang digunakan adalah metode analisis komparatif yang mengacu pada analisis perbandingan komponen teknologi terhadap suatu state of the art dari komponen yang bersangkutan. State of the art yang digunakan dalam hal ini adalah standar-standar perencanaan kawasan industri yang ada, terutama yang dikeluarkan oleh Deperindag. Sedangkan untuk komponen yang tidak memiliki standar, maka analisis dilakukan dengan membandingkan kinerja komponen yang bersangkutan di suatu kawasan terhadap komponen yang sama di kawasan yang lain. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Analisis Kebijakan Industri a. Indonesia Hingga akhir PJP I pada masa orde baru, pengembangan sektor industri di Indonesia masih mengacu pada konsep Wilayah Pusat Pertumbuhan Industri (WPPI) dan Zona Industri, yang telah dicanangkan pada pertengahan Pelita III. Konsepsi WPPI dimaksudkan untuk menghindarkan terjadinya suatu daerah kantong (enclave) akibat pembangunan industri dasar/kunci yang memanfaatkan sumberdaya alam yang berlokasi di daerah yang relatif belum berkembang. Pembangunan industri dasar/kunci diharapkan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi pengembangan dan kehidupan ekonomi di daerah yang merupakan Zona Industri. Konsep ini disusun untuk mencapai tujuan-tujuan : (1) memicu pertumbuhan kegiatan

industri secara berhasil guna dan berdaya guna (efektif dan efisien), (2) menjalin kerjasama timbal balik yang bersifat saling menguntungkan antar zona industri yang berada pada satu sistem wilayah ekonomi, dan (3) menghindari terjadinya tumpang tindih kepentingan antar sektor dalam suatu zona industri. Berdasarkan konsep tersebut, wilayah Indonesia dikategorikan ke dalam 8 WPPI yang terdiri dari 34 zona industri (ZI) dengan karakteristik khusus, berdasarkan tingkat perkembangan dan karakteristik kegiatan yang sedang atau akan dikembangkan. Namun sejalan dengan perkembangan ekonomi Indonesia, penerapan konsep WPPI/ZI ternyata tidak sepenuhnya dapat terwujud. Beberapa WPPI berkembang tidak seperti yang diharapkan. Berdasarkan kekurangan dan ketidaksesuaian konsep WPPI/ZI yang dicanangkan pada awal Pelita III, maka pada awal PJP II pemerintah melakukan revisi terhadap konsep WPPI/ZI tersebut. Konsep baru ini mengelompokan pusat pertumbuhan industri di Indonesia menjadi 6 WPPI dengan 53 ZI. Namun pada akhir abad ke 20 dan awal abad ke 21 diidentifikasi bahwa konsep WPPI kurang efektif dan efisien dalam rangka mengembangkan sektor industri di Indonesia dan pemerataan pembangunan antar wilayah-wilayah di Indonesia. Kelemahan dari konsep WPPI yang ditetapkan pemerintah tersebut adalah tidak terjadinya efek penetesan (trickling down effect) ke daerah sekitar yang diharapkan. Turunan dari WPPI, yaitu zona industri yang hanya melakukan spidolisasi terhadap daerah-daerah yang diperbolehkan untuk dikembangkan menjadi sektor industri tidak mampu untuk menarik investasi ke dalam wilayah dan hanya wilayah-wilayah yang sudah mapan infrastrukturnya saja yang dapat menarik investasi. Dengan adanya permasalahan-permasalahan tersebut di atas, maka pemerintah mencanangkan konsep baru dalam pengembangan industri dan pemerataan pembangunan di Indonesia, yaitu dengan konsep kawasan industri. Konsep kawasan industri adalah konsep yang mengembangkan industri melalui pengaturan terhadap kawasan peruntukan industri. Kawasan industri harus dikelola oleh perusahaan yang memiliki izin usaha kawasan industri, jadi keberadaannya tidak dibiarkan, ada pengendalian dan pengelolaannya. b. Jabodetabek Secara makro dalam lingkup wilayah integrasi Jabodetabek, sektor industri masih dijadikan sektor unggulan dalam bagian pengembangan wilayah.

Hal ini dapat dilihat bahwa berdasarkan RTRW Kawasan Tertentu Jabotabek, 1999, hampir seluruh Jabodetabek sektor industri masih direncanakan untuk dikembangkan dengan skala pengembangan dan skala prioritas tertentu. Untuk mengetahui sistem pusat permukiman kawasan tertentu Jabotabek sampai tahun 2015 dapat dilihat pada Tabel 1. 3.2 Analisis Profil KI di Jabodetabek Jabodetabek merupakan wilayah dengan tingkat pertumbuhan industri yang tinggi dibanding dengan wilayah lain di Indonesia. Hal ini dapat terjadi karena wilayah Jabodetabek merupakan wilayah dengan ketersediaan prasarana, sarana, fasilitas, dan utilitas terlengkap di Indonesia. Hal ini disebabkan karena terdapat Jakarta sebagai pusat (core) pertumbuhan dan pembangunan. Insentif spasial banyak terdapat di wilayah Jabodetabek, seperti akses yang mudah dan dekat terhadap outlet, seperti pelabuhan laut (seaport) Tanjung Priok, yang sudah ditetapkan sebagai pelabuhan peti kemas sehingga memberi kemudahan kepada pelaku usaha untuk mendapatkan barang mentah (raw material) yang dibutuhkan dalam proses industri, dan juga memberi kemudahan pendistribusian hasil-hasil industri (output). Di wilayah Jabodetabek juga terdapat pelabuhan udara/bandara (airport) yang terbesar di Indonesia,

yaitu Bandara Internasional Soekarno-Hatta, yang terletak di Cengkareng, Kabupaten Tangerang. KI yang berada di wilayah Jabodetabek berjumlah 22 Kawasan (Deperindag, 2003). Daerah dengan jumlah kawasan industri terbanyak di Jabodetabek adalah Kabupaten Bekasi, dengan jumlah 10 KI. Untuk selengkapnya distribusi Kawasan Industri di Jabodetabek adalah : di DKI Jakarta berjumlah 3 KI, di Bekasi berjumlah 10 KI, di Tangerang berjumlah 7 KI, dan di Bogor berjumlah 2 KI. Luas lahan industri keseluruhan Jabodetabek yang telah direncanakan adalah 5941,44 Ha. Dari keseluruhan lahan tersebut yang telah terkuasai adalah seluas 5224,44 Ha, atau sekitar 87,93%. Sedangkan lahan yang telah siap adalah 3447,9 Ha, atau sekitar 58,03% dari seluruh lahan yang telah direncanakan, lahan yang telah digunakan atau telah dijual seluas 2397,16 Ha, atau telah terjual 40,35%. Untuk selengkapnya jumlah kawasan industri dari tiap lokasi/kabupaten (regency) berdasarkan luas lahannya dapat dilihat pada Tabel 2. Dari keseluruhan kawasan industri yang ada di Jabodetabek, kawasan industri yang mempunyai status investasi berasal dari asing (PMA) berjumlah 4 (empat) KI, yang mempunyai status investasi PMDN berjumlah 8 (delapan) KI, yang mempunyai status investasi non-fasilitas berjumlah 9 (empat) KI, dan yang lainnya 1 (satu) KI.

Tabel 1 Sistem Pusat Permukiman Kawasan Tertentu Jabotabek, Tahun 2015


No 1. Hirarki Pusat PKN Lokasi DKI Jakarta Proyeksi Penduduk (2015) 12.500.000 Kegiatan Usaha Jasa/Perkantoran/Perdagangan/Industri/ Transportasi/Permukiman Jasa/Perdagangan/Industri/Permukiman Jasa/Perdagangan/Industri/Permukiman Jasa/Perdagangan/Industri/Permukiman Jasa/Perdagangan/Pendidikan/Permukiman Industri/Permukiman Permukiman Industri/Permukiman Jasa/Industri/Permukiman Jasa/Perdagangan/Permukiman Jasa/Permukiman Industri/Permukiman Permukiman Permukiman Permukiman : Pusat Kegiatan Wilayah

2. PKW Kota Tangerang 2.750.000 3. PKW Kota Bekasi 2.250.000 4. PKW Kota Bogor 750.000 5. PKW Kota Depok 650.000 6. PKL Cikarang 421.000 7. PKL Serang 346.000 8. PKL Cileungsi 200.000 9. PKL Cibinong 175.000 10. PKL Parung 165.000 11. PKL Serpong 265.000 12. PKL Balaraja 450.000 13. PKL Mauk 310.000 14. PKL Teluk Naga 150.000 15. PKL Leuwilang 175.000 Keterangan : - PKN : Pusat Kegiatan Nasional - PKW - PKL : Pusat Kegiatan Lokal Sumber : RTRW Kawasan Tertentu Jabotabek, 1999

Tabel 2

Luas Agregat Kawasan Industri perKabupaten/Kota di Jabodetabek


Luas Lahan (Ha) Provinsi Lokasi Ren cana Lahan Industri (Ha) Telah Diguna kan
594,24 17,52 1681,78 103,62 2397,16

Terkua Dima Telah sai tangkan Siap


1009,30 157,00 3199,50 858,64 5224,44 1009,30 85,00 608,64 776,30 55,97 522,58

Sisa
182,06 51,34 411,27 419,00 1063,67

Perbandin gan lahan Perbandingan terkuasai lahan siap dengan dengan yang digunakan dimatang (%) kan (%)
100,00 54,14 80,73 70,88 82,03 76,55 31,30 80,35 19,83 69,53

DKI Jakarta Jabar Jabar Banten Jumlah

1106,30 Jakarta 200,00 Bogor Bekasi 3281,50 Tangerang 903,64 5491,44

2582,80 2093,05 4285,74 3447,90

Sumber : Deprindag, 2003

3.3 Analisis Spasial KI di Jabodetabek Berdasarkan analisis dapat diketahui bahwa pada umumnya KIdi Jabodetabek terletak di lokasi yang strategis atau memiliki aksesibilitas yang tinggi. Sebagian besar terletak dekat dengan jalan toll dan jalan utama sehingga memudahkan dalam proses kegiatan industrinya, terutama koleksi dan distribusi bahan baku dan produk. Selanjutnya dalam menganalisis kesesuaian lokasi kawasan industri di Jabodetabek ini dilakukan dengan cara membandingkan kesesuaian lokasi antara lokasi eksisting kawasan industri saat ini dengan arahan lokasi kawasan industri menurut Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) masing-masing kabupaten/kota. Berdasarkan hasil analisis, diketahui secara umum dapat disimpulkan bahwa lokasi kawasan industri eksisting di Kawasan Jabodetabek telah sesuai dengan arahan lokasi kawasan industri menurut rencana tata ruangnya. 3.4 Analisis Sediaan Permintaan (Supply Demand) KI di Jabodetabek Analisis sediaan kawasan industri dianalisis dengan pertama-tama mengidentifikasi luasan rencana peruntukan untuk kegiatan industri di wilayah Jabodetabek. Luasan peruntukan kegiatan industri tersebut diperoleh dari rencana pemanfaatan ruang pada rencana tata ruang wilayah (RTRW) kabupaten/Kota di wilayah Jabodetabek. Disamping dari dokumen RTRW, data luasan kawasan industri diambil dari buku Indonesia Directory Industrial Estate (2002) yang disusun oleh Himpunan Kawasan Industri. Berdasarkan buku tersebut diperoleh data (1) jumlah dan luasan kawasan industri yang saat ini telah beroperasi di Jabodetabek, dan (2) jumlah dan luasan kawasan industri yang telah

memperoleh ijin. Berdasarkan data luasan peruntukan dan luas kawasan industri tersebut dihitung perkiraan unit industri yang bisa ditampung. Penghitungan perkiraan jumlah unit industri yang akan ditampung tersebut menggunakan asumsi-asumsi sebagai berikut : - Tingkat okupasi rata-rata kawasan industri yang telah beroperasi di Jabodetabek sebesar 69,5 %, - Proporsi kapling industri suatu kawasan industri rata-rata sebesar 70 %, - Luas yang dibutuhkan oleh 1 unit industri sebesar 1,34 hektar. Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa ketersediaan lahan untuk kawasan industri di masing-masing kabupaten/kota wilayah Jabodetabek. Luasan kawasan industri yang paling luas terdapat di Kabupaten Tangerang, kemudian disusul dengan Kabupaten Bekasi. Berdasarkan tabel yang sama, juga dapat dilihat bahwa perkiraan unit industri yang dapat ditampung di Kawasan Industri Jabodetabek sebesar kurang lebih 12 ribu unit industri. Analisis permintaan kawasan industri diarahkan untuk mengetahui permintaan lahan untuk kawasan industri. Permintaan lahan untuk kawasan industri ini dilakukan dengan memperkiraan pertumbuhan unit industri. Jumlah unit industri yang akan tumbuh dihitung dengan menghitung kebutuhan investasi khususnya investasi di sektor industri. Kebutuhan investasi di sektor industri tersebut selanjutnya dikonversi ke dalam unit industri. Konversi kebutuhan industri ke unit industri tersebut menggunakan rasio rata-rata antara investasi baru di bidang industri dengan jumlah proyek investasi.

Tabel 3 6

Ketersediaan Lahan Kawasan Industri di Jabodetabek Tahun 2001


No. 1 2 3 4 5 Kabupaten/ Kota DKI Jakarta Bekasi Tangerang Depok Bogor JABODETABEK Luas KI Operasi (Ha) 1,256.30 4,592.00 1,726.00 240.00 7,814.30 Ijin (Ha) 1,150.00 5,737.00 2,394.00 500.00 9,781.00 4 Jumlah KI (Buah) 8 30 21 Perkiraan Perkiraan

Luas Kapling (Ha) Industri (Unit) 1,420.6 4,015.9 1,675.8 350.0 7,462.3 1,060 2,997 1,251 261 5,569.0

Sumber : Diolah dari Indonesia Industrial Estate Directory (2002)

Analisis permintaan kawasan industri ini akan menggunakan asumsi-asumsi sebagai berikut : - Pertumbuhan ekonomi wilayah Jabodetabek sebesar 5 % per tahun, - Incremental Capital Outpur Ratio (ICOR) wilayah Jabodetabek sebesar 3,5, - Proporsi investasi sebesar 17,5 % dari PDRB wilayah Jabodetabek, - Rasio rata-rata antara investasi industri dan jumlah proyek industri sebesar Rp. 21,338 Milyar (bilangan ini akan digunakan untuk konversi kebutuhan investasi ke unit industri), - Proporsi investasi sektor Industri sebesar 58,5 % dari total kebutuhan investasi, - Luas yang dibutuhkan oleh 1 unit industri sebesar 1,34 hektar. Berdasarkan perhitungan diperkiraan unit industri di wilayah Jabodetabek sebesar 1.076 unit

industri (lihat Tabel 4). Dari jumlah tersebut sebagian besar diperkirakan akan berada di wilayah Jakarta. Unit industri kecil diperkirakan akan berkembang di Kota Depok. Selanjutnya apabila dibandingkan antara sediaan dan penawaran maka dapat dilihat bahwa hingga pada tahun 2003, sediaan lahan kawasan industri masih dapat menampung pekembangan kebutuhan lahan untuk kegiatan industri. Secara keseluruhan, persentase kebutuhan terhadap penyediaan lahan sebesar 19 %. Di wilayah DKI Jakarta, rasio antara kebutuhan dan penyediaan sudah mencapai 85 % (lihat Tabel 5). Sementara di Kota Depok kebutuhan lahan industri sebesar 14,74 Ha lahan untuk industri tidak tersedia lahan KI, sehingga kegiatan industri di Kota Depok lebih banyak berlokasi di luar KI (zona industri). Hal ini karena Kota Depok tidak memiliki KI.

Tabel 4 Permintaan Lahan Untuk Kegiatan Industri di Jabodetabek Tahun 2004


PDRB No. Kabupaten /Kota Tahun 2000 (Rp. Juta) 1 DKI Jakarta 2 Bekasi 3 Tangerang 4 Depok 5 Bogor JABODETABEK 188,035,991.00 8,657,823.63 16,156,497.00 2,385,424.72 8,688,485.60 223,924,221.95 Perkiraan Investasi (Rp. Juta) 32,906,298.43 1,515,119.14 2,827,386.98 417,449.33 1,520,484.98 39,186,738.84 Perkiraan Inv. Industri (Rp. Juta) 19,264,596.97 887,008.29 1,655,259.73 244,390.69 890,149.66 22,941,405.34 Perkiraan Unit Industri (Unit) 903.00 42.00 78.00 11.00 42.00 1,076.00 Perkiraan Kebut. Lahan (Ha) 1,210.02 56.28 104.52 14.74 56.28 1,441.84

Sumber : hasil perhitungan, 2003

Tabel 5 7

Analisis Sediaan-Penawaran Lahan dan Unit Industri Tahun 2003


Lahan Industri No. Kabupaten /Kota DKI Jakarta Bekasi Tangerang Depok Bogor JABODETABEK Suply (Ha) 1 2 3 4 5 1,420.6 4,015.9 1,675.8 350.0 7,462.3 Demand (Ha) 1,060 2,997 1,251 261 5,569.0 Unit Industri Suply (Unit) 1210.02 56.28 104.52 14.74 56.28 1441.84 Demand (unit) 903 42 78 11 42 1,076 0.16 0.19 0.16 0.19 Rasio Sediaan-Permintaan Lahan 0.85 0.01 0.06 Unit 0.85 0.01 0.06

Sumber : hasil analisis, 2003

3.5 Analisis Preferensi Pemilihan Lokasi KI di Jabodetabek Dalam pembangunan kawasan industri akan disediakan lahan matang berikut dengan infrastrukturnya yang meliputi jaringan air minum, telepon, air kotor, air hujan, dan jaringan jalan di dalam kawasan maupun keluar kawasan (hubungannya dengan jaringan jalan). Disamping itu, kawasan industri merupakan pengumpulan atau konsentrasi dari beberapa perusahaan industri, sehingga diharapkan di antara perusahaan industri dapat dibina hubungan yang mengkait dan memudahkan dalam usaha mengatasi/mengurangi dampak kurang menguntungkan yang mungkin ditimbulkan oleh kegiatan industri. Dengan demikian, faktor lokasi telah termasuk dalam faktor pertimbangan pemilihan lokasi kawasan industri. Berikut adalah beberapa faktor yang pemilihan lokasi kawasan industri di Jabodetabek : a. Aksesibilitas Aksesibilitas ini meliputi kemudahan atau kedekatan untuk memperoleh bahan baku dan tenaga kerja, serta untuk mencapai pasar. b. Harga/Sewa Lahan Harga/sewa lahan akan berpengaruh pada biaya produksi yang akan berakibat pada harga produk. Harga/sewa lahan di kawasan industri biasanya lebih mahal dibandingkan dengan harga di luar kawasan industri. Harga/sewa lahan di kawasan industri yang lebih mahal tersebut disebabkan karena harga/sewa tersebut telah memasukkan biaya pembebasan, pematangan dan penyediaan infratruktur pendukung serta margin keuntungan bagi pengusaha kawasan industri. c. Aglomerasi di Kawasan Industri

d.

e.

f.

g.

3.6

Aglomerasi di kawasan industri akan cenderung dapat mengurangi biaya ongkos produksi. Pengurangan ongkos produksi tersebut karena dua hal (1) terdapat perusahaan pendukung, dan (2) pengeluaran untuk prasarana menjadi relatif lebih sedikit. Ketersediaan Lahan Ketersediaan lahan sangat berpengaruh dalam pemilihan lokasi. Hal ini karena kegiatan industri membutuhkan lahan yang memadahi. Ketersediaan Fasilitas dan Utilitas Ketersediaan fasilitas dan utilitas merupakan pertimbangan dalam pemilihan lokasi. Kegiatan industri untuk menghasilkan produknya agar mampu bersaing membutuhkan dukungan fasilitas dan utilitas yang memadahi. Aman Faktor keamanan dan kepastian merupakan faktor yang saat ini sangat diperhatikan oleh para calon investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Hal ini tercermin dari hasil kajian Bappenas dan KDI (2002), dimana sekitar 60% dari responden mengemukakan bahwa alasan tidak mau menanamkan modalnya di Indonesia karena tiga alasan (1) ketidakstabilitas politik, (2) Ketidaksetabilan sosial (demo buruh), dan (3) Ketidakstabilan nilai tukar mata uang. Prestise Pretise biasanya merupakan salah satu faktor yang juga berpengaruh pada pemilihan lokasi industri, meskipun pengaruhnya tidak begitu kuat Tingkat Kinerja Teknologi KI di Jabodetabek

Sejalan dengan definisi kawasan industri yang dikeluarkan oleh Deperindag, maka kawasan industri merupakan suatu kawasan pemusatan kegiatan industri yang memiliki sarana dan prasarana yang dikembangkan oleh suatu perusahaan KI. Dengan demikian kawasan industri merupakan produk dari suatu perusahaan KI yang mengembangkannya. Berdasarkan hal tersebut, maka dalan kajian kinerja teknologi ini, dapat dibedakan dalam 2 bagian besar, yakni kinerja teknologi kawasan industri sebagai suatu produk dan kinerja teknologi kawasan industri sebagai suatu perusahaan yang mengembangkan dan mengelola KI. Kajian terhadap KI sebagai suatu produk akan menitikberatkan pada keunggulan-keunggulan komponen teknologi yang dimilikinya dibandingkan dengan kawasan industri lainnya. Sedangan kajian terhadap perusahaan KI akan menitikberatkan pada kinerja teknologi yang dimiliki perusahaan yang bersangkutan dalam konteks pengembangan kawasan yang dikelolanya. Komponen teknologi yang dijadikan tolok ukur untuk menilai kinerja teknologi suatu kawasan industri, antara lain meliputi 4 komponen utama, yakni Technoware, Humanware, Infoware dan Orgaware. Dari ke 4 komponen tersebut, dalam studi ini 1 komponen akan dikaji dalam kaitannya dengan kinerja teknologi kawasan industri sebagai suatu produk, yakni komponen Technoware. Sedangkan 3 komponen lainnya akan lebih menjelaskan kinerja teknologi perusahaan kawasan industri dalam konteks pengelolaan kawasan. Sampel diambil masing-masing 1 KI yang ada di wilayah yang bersangkutan. Sedangkan pemilihan sampel kawasan industri di tiap wilayah didasarkan pada kinerja kuantitatif kawasan yang cenderung terbaik di wilayah yang bersangkutan. Adapun Kawasan-kawasan industri tersebut antara lain meliputi : (1) KI Cibinong Center Industries Estate yang dikelola oleh PT Cibinong Center Industries Estate (CCIE) mewakili wilayah Bogor; (2) KI Jakarta Industrial Estate Pulogadung yang dikelola oleh PT Jakarta Industrial Estate Pulogadung (JIEP) mewakili Jakarta, (3) KI East Jakarta Industrial Park yang dikelola oleh PT East Jakarta Industrial Park (EJIP) mewakili wilayah Bekasi; dan (4) KI Cikupa Mas yang dikelola oleh PT Mitratangerang Bhumimas (MB) yang mewakili wilayah Tangerang. a. Kinerja Technoware KI

Elemen-elemen yang diukur meliputi : sistem peruntukan lahan, sistem jaringan jalan, sistem jaringan drainase dan sewerage, sistem penyediaan air bersih, sistem pengolahan air limbah, sistem penyediaan energi listrik, sistem telekomunikasi, sistem pengolahan sampah dan fasilitas penunjang. Berdasarkan analisis dengan dengan menggunakan metode pembobotan pada tiap aspek technoware yang telah dibahas sebelumnya, maka diperoleh gambaran kinerja total komponen technoware di kawasan industri yang dikaji seperti terlihat pada Gambar 1. Dengan melihat gambar tersebut dapat disimpulkan bahwa dari sisi technoware, maka kawasan Industri EJIP memiliki kinerja yang paling baik dari 4 kawasan industri yang dikaji. Sedangkan kawasan Industri CCIE merupakan kawasan industri yang paling rendah kinerja technowarenya.
8 7 6 5 4 3 2 1 0
CCIE JIEP EJIP MB

Gambar 1 Kinerja Kumulatif Komponen Technoware KI (Sumber : Hasil Analisis, 2003) Aspek krusial yang perlu mendapatkan perhatian dari komponen technoware ini adalah masih lemahnya tingkat teknologi serta ketidaksesuaian spesifikasi pengolahan limbah dengan standar-standar yang terkait dengan pengolahan limbah. Hal penting lain yang perlu mendapatkan perhatian, bahwa belum adanya kesadaran dari pengelola kawasan untuk menjadikan komponen teechnoware sebagai suatu keunggulan kawasan yang dapat menjadikan industri-industri yang berkembang didalamya berkembang secara berkesinambungan sesuai perkembangan teknologi yang bersangkutan. b. Kinerja Humanware KI Elemen-elemen yang diukur meliputi : rasio jumlah karyawan dengan luas lahan terbangun, spesifikasi dan jabatan, tingkat pendidikan dan pengembangan SDM.

Berdasarkan analisis dapat disimpulkan bahwa dari sisi humanware, kawasan-kawasan industri yang disurvei memiliki kinerja yang berbeda-beda. Dengan mengkumulatifkan kinerja masing-masing indikator yang mewakili kineja humanware ini maka dapat disimpulkan bahwa kawasan industri yang memiliki kinerja humanware yang relatif baik adalah kawasan industri JIEP dan diikuti oleh EJIP. Namun secara umum kinerja humanware menunjukkan suatu titik lemah pada sistem pengembangan kemampuan pegawai dan tidak ditemukannya suatu unit khusus yang dikembangkan untuk menangani riset-riset terkait pengembangan suatu kawasan industri secara kontinu. Hal ini mengakibatkan kawasan-kawasan industri yang hanya bertindak sebagai penjual kawasan saja, tidak terlihat adanya suatu visi pengembangan kawasan yang mencoba menempatkan kawasan industri sebagai suatu bagian dari proses inovasi teknologi aplikatif yang terkait pada sistem perkembangan industri internasional. c. Kinerja Infoware KI Elemen-elemen yang diukur meliputi : media promosi dan unit khusus sistem informasi. Berdasarkan analisis terhadap elemen tersebut, maka dapat dikatakan bahwa dari sisi infoware, KI JIEP menunjukkan kinerja yang relatif baik dibandingkan dengan 3 kawasan sampel lainnya. Kondisi ini ditunjukkan oleh luasnya sistem promosi yang dijalankan serta adanya suatu unit khusus yang mengelola sistem informasi kawasan yang bersangkutan. Sistem informasi belum dipandang sebagai suatu hal yang dapat menjadi daya tarik kawasan. Konsekuensi dari kelemahan ini adalah rendahnya kemampuan kawasan dalam pengelolaan sistem informasi yang dimilikinya, sehingga informasi terkait kawasan yang bersangkutan tersosialisaikan dalam bentuk yang sangat sederhana seperti booklet, koran dana media informasi sederhana lainnya. Belum terlihat adanya inovasi di bidang ini. d. Kinerja Organware KI Dalam hal ini kinerja orgaware memiliki parameter yang luas, mulai dari kinerja kerja sama antar unit dalam organisasi, kerja sama antar organisasi yang berbeda maupun pola manajemen organisasi yang bersangkutan. Dalam hal ini kinerja orgaware dilihat dari sejauh mana kawasan industri yang bersangkutan memiliki jaringan kerja sama dengan lembaga-lembaga lain.

Hasil kajian menunjukkan bahwa 3 kawasan dari 4 kawasan industri sampel memiliki kerja sama dengan lembaga lain dalam rangka pengembangan kawasannya. Kawasan CCIE adalah kawasan industri sampel yang tidak memiliki kerja sama dengan pihak lain. Sementara Kawasan JIEP dan EJIP memiliki jaringan kerja sama terutama dalam kaitannya dengan kerjasama teknik, pemasaran dan informasi. Namun demikian pihak-pihak yang bekerja sama masih berada pada skala perusahaan dalam negeri. Tidak terlihat adanya suatu sistem kerjasama yang erat antar satu pengelola kawasan dengan kawasan lainnya. Hal ini mengakibatkan masingmasing kawasan berkembang sendiri-sendiri tanpa memperhitungkan trend dan perilaku perkembangan industri secara global. 4. PENUTUP 4.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut : - Perkembangan KI di Jabodetabek sejalan dengan perkembangan industri nasional, - Secara umum lokasi KI di Jabodetabek masih sesuai dengan RTRW Kabupaten/Kota masing-masing wilayah, - Sediaan lahan kawasan industri untuk tahun 2004 masih dapat menampung pekembangan kebutuhan lahan untuk kegiatan industri, - Rata-rata tingkat okupansi (penggunaan lahan yang telah dimatangkan) kawasan industri di Jabotabek masih rendah yaitu 57,16 %, sedangkan prosentase antara lahan yang dikuasai dengan lahan yang telah dimatangkan sebesar 77,43%. - Kawasan industri dengan kinerja komponen teknologi (Technoware) yang lebih baik juga mempunyai tingkat okupansi yang lebih tinggi. - Tidak ada perlakuan yang berbeda oleh pemerintah baik industri yang ada di kawasan dan yang di luar kawasan industri. - Secara umum, kajian kinerja teknologi kawasan-kawasan industri di kawasan industri di Jabodetabek menunjukkan adanya suatu pola yang monoton dalam pengembangan komponen teknologi. Teknologi belum dipandang secara khusus untuk mampu menjadikan kawasan tersebut sebagai suatu kawasan industri berbasis teknologi yang dapat dijadikan suatu image yang memiliki daya tarik.

10

4.2 Saran Saran-saran yang dapat dikemukakan untuk pemerintah dari kajian ini adalah: - Pemberlakuan sanksi yang tegas bagi industri yang melanggar ketentuan lokasi pendirian industri.

- Menutup ijin pendirian industri di luar kawasan


industri dengan ketetapan waktu yang pasti dan tidak memperpanjang ijin usaha industri yang berada di luar kawasan industri jika akan meneruskan usahanya di tempat tersebut. Memberikan perlakuan yang berbeda antara industri yang di dalam kawasan industri dan yang di luar kawasan industri, sehingga investor lebih tertarik masuk di kawasan industri. Demikian juga memberikan ketentuan yang berbeda bagi pengelola kawasan industri, sehingga pengelola kawasan industri bisa menjual/menyewakan lahan untuk industri bisa lebih kompetitif dibandingkan lahan di luar kawasan industri, seperti pajak bumi dan bangunan. perlu dilakukan identifikasi kembali jenis-jenis industri apa saja yang tidak boleh didirikan di luar kawasan industri.

Balitbang Indag-Puslitbang Sumberdaya Wilayah dan Lingkungan Deperindag, Jakarta, 2001. _____, Pengkajian Perkembangan Kawasan Industri di Jabodetabek, Laporan Akhir, P2KTPW-BPPT, Jakarta, 2003 _____, Studi Nasional Kawasan Industri di Indonesia, Deperindag, Jakarta, 1984. Rencana Tata Ruang Wilayah : - DKI Jakarta, tahun 1999 - Kabupaten Bogor, tahun 1999-2009 - Kota Depok, tahun 2000-2010 - Kabupaten Tangerang, tahun 2002-2011 - Kota Tangerang, tahun 1994-2010 - Kota Bekasi, tahun 2000 2010. - Kabupaten Bekasi - Kawasan Bopunjur (Keppres No. 114 Tahun 1999) - Kawasan Tertentu Jabotabek, 1999

- Berkaitan dengan masalah lingkungan, maka

DAFTAR PUSTAKA Buku : Badan Koordinasi Penanaman Modal, Perkembangan Penanaman Modal Tahun 2002 dan Prospek Penanaman Modal Tahun 2003, Jakarta, 2002. Edward, Penentuan Jenis-jenis Industri yang Diprioritaskan untuk Dikembangkan, ITB, Bandung, 1991 _____, Environment-Friendly Industrial Park Development and Management Policy Guidance in Indonesia, Bappenas-Korea Development Institute (KDI)- Korea Research Institute for Human Settlements (KRIHS), Jakarta, 2002. _____, Himpunan Produk Hukum Menteri Dalam Negeri di Bidang Penataan Ruang, Direktorat Pembinaan Program, Ditjen Bangda, Jakarta, 2000. _____, Model Pengembangan Rencana Drainase Perkotaan, P2KTPW-BPPT, Jakarta, 2002. _____, Model Pengembangan Prasarana Air Bersih Perkotaan, P2KTPW-BPPT, Jakarta, 2002. _____, Pedoman Teknis Pengembangan Kawasan Industri (Industrial Estate) di Daerah, 11

12

13

Anda mungkin juga menyukai