Anda di halaman 1dari 49

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang Pneumonia adalah merupakan radang paru-paru yang disebabkan oleh bermacam-macam etiologi, yaitu bakteri, virus, jamur dan benda asing. Berdasarkan anatomis dari struktur paru yang terkena infeksi, pneumonia dibagi menjadi pneumonia lobaris, pneumonia lobularis (bronkopneumonia), dan pneumonia intersitialis (bronkiolitis). Keadaan yang menyebabkan turunnya daya tahan tubuh, yaitu aspirasi, penyakit menahun, gizi kurang/malnutrisi energi protein (MEP), faktor iatrogenik seperti trauma pada paru, anestesia, pengobatan dengan antibiotika yang tidak sempurna merupakan faktor yang mempengaruhi terjadinya pneumonia. Pneumonia hingga saat ini masih merupakan masalah kesehatan utama pada anak di negara berkembang. Pneumonia merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak berusia di bawah 5 tahun (balita). Menurut survei kesehatan nasional (SKN) 2001, 27,6% kematian bayi dan 22,8% kematian balita di Indonesia disebabkan oleh penyakit sistem respiratori, terutama pneumonia. Faktor-faktor yang mempengaruhi pneumonia pada anak di bawah lima tahun di antaranya usia, jenis kelamin, status gizi, dan riwayat imunisasi. Disamping faktor-faktor tersebut ada juga faktor ekstrinsik seperti tingkat pendidikan dan pekerjaan orang tua, ventilasi, dan kebiasaan merokok di sekitar anak. Berikut ini adalah sebuah laporan kasus pada seorang bayi laki - laki umur 4 tahun yang berobat ke Puskesmas Welahan II.

1.2 Tujuan penulisan Tujuan dari penulisan laporan ini adalah untuk mengetahui cara mendiagnosis dan mengelola pasien dengan pneumonia sekaligus untuk mengevaluasi tindakan yang telah diberikan dengan kepustakaan yang ada. Tujuan umum Untuk mengetahui penyakit pneumonia, cara mendiagnosis dan mengelola penderita pneumonia sesuai kepustakaan yang ada. Tujuan Khusus 1. Dokter muda mengetahui teori penyakit pneumonia sesuai kepustakaan yang ada

2.

Dokter muda mampu melakukan autoanamnesa dan alloanamnesa kepada penderita pneumonia

3.

Dokter muda mampu melakukan pemeriksaan fisik dan mengerti pemeriksaan penunjang untuk diagnosis pasti pneumonia

4.

Dokter muda mampu melakukan pengelolaan secara komprehensif pada kasus ini.

1.3 Manfaat penulisan Penulisan laporan kasus ini diharapkan dapat dijadikan media belajar bagi mahasiswa agar dapat mendiagnosis dan mengelola pneumonia secara tepat.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru. Berdasarkan tempat terjadinya infeksi, dikenal dua bentuk pneumonia, yaitu : 1. Community acquired pneumonia, bila infeksinya terjadi di lingkungan masyarakat dan 2. Pneumonia nosokomial, bila infeksinya terdapat di rumah sakit. Batasan pengertian dari Community acquired pneumonia (CAP) adalah suatu infeksi akut pada parenkim paru yang diperoleh di luar rumah sakit. Diagnosa umumnya didapat dari anamnesis dan bukti klinis dari suatu proses infeksi akut dengan ditemukan demam dan tanda serta gejala distres respirasi atau dari bukti radiologi dengan suatu infiltrat yang akut. Pneumonia nosokomial atau Hospital Acquired pneumonia (HAP) adalah suatu infeksi akut pada parenkim paru yang didapat saat maupun setelah mendapat perawatan di rumah sakit, untuk di Indonesia sendiri saat memakai batasan waktu, yaitu infeksi yang didapat setelah 72 jam mendapat perawatan di rumah sakit.

2.2 Etiologi Sampai saat ini etiologi pasti jarang teridentifikasi, bisa karena bakteri atau virus atau keduanya. Bakteri patogen yang sering ditemukan adalah S pneumoniae, Moraxella

catharalis dan H influenzae, M pneumoniae, C pneumoniae, sedangkan dari virus adalah RSV dan influenzae Adan B. Etiologi karena virus menurun dengan bertambahnya usia sedangkan etiologi karena C pneumoniae dan M pneumoniae meningkat sesuai usia. Streptococcus pneumoniae merupakan penyebab bakteri tersering menyebabkan pneumonia pada semua kelompok umur. Virus paling sering mengenai anak usia kurang dari 5 tahun dan Respiratory syncytial virus (RSV ) merupakan penyebab infeksi tersering pada anak usia di bawah 3 tahun, sedangkan Adenovirus, Parainfluenzae dan Influenzae pada bayi. Mycoplasma pneumoniae dan Clamydia pneumoniae merupakan penyebab CAP tersering pada anak usia sekolah atau usia diatas 5 tahun namun jarang terjadi pada anak usia pra sekolah. Etiologi pneumonia dapat dibagi menjadi 2, yaitu yang penyebabnya bukan bakteri (tabel) dan pneumonia karena bakteri. Agen yang nonbakteri terdiri dari 3 Mycoplasma spp, 1 Rickettsia spp, Chlamydia spp, 1 protozoan parasite dan yang terakhir 16 grup virus yang berbeda. Pada tabel dapat dilihat agen utama dengan variasi umur, dengan frekuensi 3

kejadian, tipe derajat beratnya dan cara penyebaran ke paru. Sedangkan agen bakteri meliputi S pneumoniae, H influenzae dan S aureus sebagai patogen yang berperan penting. Selain itu agen yang lain adalah Streptococcus grup B, Streptococcus grup A, bakteri anaerob,

Legionella pneumophila, Neisseria meningitidis dan bakteri enterik gram negatif.

Age Group Newborn

Common Pathogens (in Order of Frequency) Group B Streptococci Gram-negative bacilli Listeria monocytogenes Herpes Simplex Cytomegalovirus Rubella

1-3 months

Chlamydia trachomatis Respiratory Syncytial virus Other respiratory viruses

3-12 months

Respiratory Syncytial virus Other respiratory viruses Streptococcus pneumoniae Haemophilus influenzae Chlamydia trachomatis Mycoplasma pneumoniae

Age Group 2-5 years

Common Pathogens (in Order of Frequency) Respiratory Viruses Streptococcus pneumoniae Haemophilus influenzae Mycoplasma pneumoniae Chlamydia pneumoniae

5-18 years

Mycoplasma pneumoniae Streptococcus pneumoniae Chlamydia pneumoniae

Haemophilus influenzae Influenza viruses A and B Adenoviruses Other respiratory viruses

2.3 Epidemiologi Pneumonia Pneumonia masih menjadi penyakit terbesar penyebab kematian anak dan juga penyebab kematian pada banyak kaum lanjut usia di dunia. World Health organization (WHO) tahun 2005 memperkirakan kematian balita akibat pneumonia di seluruh dunia sekitar 19 persen atau berkisar 1,6 2,2 juta, di mana sekitar 70 persennya terjadi di negaranegara berkembang, terutama Afrika dan Asia Tenggara. Berdasarkan data WHO/UNICEF tahun 2006 dalam Pneumonia: The Forgotten Killer of Children, Indonesia menduduki peringkat ke-6 dunia untuk kasus pneumonia pada balita dengan jumlah penderita mencapai 6 juta jiwa. Diperkirakan sekitar separuh dari total kasus kematian pada anak yang menderita pneumonia di dunia disebabkan oleh bakteri pneumokokus. Meskipun sudah dilakukan berbagai upaya untuk penanggulangan penumonia, tetapi kasus pneumonia masih tetap tinggi. Menurut WHO, angka kematian bayi di atas 40 per 1000 kelahiran hidup (di Indonesia : 41 per 1000 kelahiran hidup), angka kematian balita di atas 15 per 1000 balita (di Indonesia : 81 per 1000 kelahiran hidup). Proporsi kematian balita akibat pneumonia lebih dari 20 % (di Indonesia 30 %) angka kematian pneumonia balita di atas 4 per 1000 kelahiran hidup (di Indonesia diperkirakan masih di atas 4 per 1000 kelahiran hidup). Menurut SKRT 2001 urutan penyakit menular penyebab kematian pada bayi adalah pneumonia, diare, tetanus, ISPA sementara proporsi penyakit menular penyebab kematian pada balita yaitu pneumonia (22,5%), diare (19,2%) infeksi saluran pernafasan akut (7,5%), malaria (7%), serta campak (5,2%). Angka kejadian pneumonia di Indonesia dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2006 mengalami penurunan. Kasus pneumonia pada tahun 2004 sebanyak 293.184 kasus dengan kasus Angka Insiden (AI) 13,7; tahun 2005 sebanyak 193.689 kasus dengan AI 8,95;dan pada tahun 2006 sebanyak 146.437 kasus dengan AI 6,7. Di Propinsi Jawa Tengah, sebesar 80% - 90% dari seluruh kasus kematian ISPA disebabkan pneumonia. Angka kejadian pneumonia balita di Jawa Tengah pada tahun 2004 sebanyak 424 dengan AI 0,13, tahun 2005 sebanyak 1.093 dengan AI 0,33, dan tahun 2006 5

sebanyak 3.624 dengan AI 11,0. Untuk data mengenai pelaporan penyakit ISPA pada anak usia < 5 tahun di Puskesmas Welahan 2, dapat dilihat pada tabel di bawah.
PUSKESMAS PUSTU BIDAN DI DESA BUKAN PNEMON BUKAN PNEMON BUKAN PNEMON PNEM PNEM PNEM PNEMO IA PNEMON IA PNEMON IA ONIA ONIA ONIA NIA BERAT IA BERAT IA BERAT DESA 2 2 2 < 2B 1B 11- <2 B <2 B 2 L5 L- 5T 5T B LB LB 1T T 1T H H L 1T L 1T L H H H H H 1 11 12 1 1 15 T H 2 2 2B 111- <2 B <2 B L5 5 5T B LB L1T T T H L 1T L 1T H H H H H 1 11 3 6 2 2B 11- <2 B L5 5T B L1T T H L 1T H H H -

N o

UJUNGPAN DAN

3 1 63 6 3 1

KARANGAN 3 12 98 YAR GUWOSOBO 10 48 3 KERTO 8 7 KEDUNGSA RIMULYO - 2 9

1 8 23 7 7 4 1 9 0 0

14 -

2 - 23 43 6 4 2 - 20 48 0 2 2 4 44 0 3

5 BUGO

KENDENGSI 11 1 11 DIALIT 2 6

7 SIDIGEDE

12 90 1 0 2

10 -

3 - 19 29 2 1

2.4 Klasifikasi Program Pemberantasan ISPA (P2 ISPA) mengklasifikasi ISPA sebagai berikut: o Pneumonia berat: ditandai secara klinis oleh adanya tarikan dinding dada kedalam (chest indrawing). o Pneumonia: ditandai secara klinis oleh adanya napas cepat. o Bukan pneumonia: ditandai secara klinis oleh batuk pilek, bisa disertai demam, tanpa tarikan dinding dada kedalam, tanpa napas cepat. Rinofaringitis, faringitis dan tonsilitis tergolong bukan pneumonia Berdasarkan hasil pemeriksaan dapat dibuat suatu klasifikasi penyakit ISPA. Klasifikasi ini dibedakan untuk golongan umur dibawah 2 bulan dan untuk golongan umur 2 bulan-5 tahun. Untuk golongan umur <2 bulan ada 2 klasifikasi penyakit yaitu :

Pneumonia berada: diisolasi dari cacing tanah oleh Ruiz dan kuat dinding pada bagian bawah atau napas cepat. Batas napas cepat untuk golongan umur kurang 2 bulan yaitu 60 kali per menit atau lebih.

Bukan pneumonia: batuk pilek biasa, bila tidak ditemukan tanda tarikan kuat dinding dada bagian bawah atau napas cepat. Untuk golongan umur 2 bulan-5 tahun ada 3 klasifikasi penyakit yaitu : Pneumonia berat: bila disertai napas sesak yaitu adanya tarikan dinding dada bagian bawah kedalam pada waktu anak menarik napas (pada saat diperiksa anak harus dalam keadaan tenang tldak menangis atau meronta). Pneumonia: bila disertai napas cepat. Batas napas cepat ialah untuk usia 2 -12 bulan adalah 50 kali per menit atau lebih dan untuk usia 1-4 tahun adalah 40 kali per menit atau lebih. Bukan pneumonia: batuk pilek biasa, bila tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah dan tidak ada napas cepat.

2.5 Patogenesis Pneumonia merupakan hasil dari inflamasi langsung pada jaringan paru. Dengan kata lain pneumonia terjadi karena adanya inflamasi pada ruang alveolar dan menyebabkan terganggunya pertukaran udara. Komplikasi infeksi lain yang sering terjadi yaitu bronkiolitis atau laringotrakeobronkitis. Pneumonia juga terjadi melalui penyebaran hematogen atau karena aspirasi. Pada umumnya inflamasi terjadi karena invasi dari bakteri, virus, atau jamur tetapi dapat juga terjadi kerusakan akibat bahan kimia Setelah agen virus yang menyebabkan pneumonia inokulasi pada saluran pernapasan bagian atas akan mengalami proliferasi dan menyebar secara kontiniutatum dan mengenai saluran pernapasan bagian bawah sampai ke bagian distal. Infeksi pada epitel menyebabkan hilangnya epitel beserta silia dengan terjadi pelepasan dan penumpukan sisa-sisa jaringan bersama mukus yang menetap serta terjadi akumulasi. Pada saat infeksi melanjut ke jalan napas bagian terminal terjadi hilangnya integritas batas antara sel-sel alveolus dan membran hialin sehingga dapat terjadi edema paru. Terjadi respon inflamasi pada tempat dimana terjadi kerusakan jaringan yang mengakibatkan infiltrasi sel-sel mononuklear pada lapisan submukosa dan jaringan interstisial yang lebih lanjut memberi kontribusi terjadi penyempitan jalan napas dan menghambat pertukaran gas antara alveolus dan kapiler. Terjadi obstruksi yang relatif dan menimbulkan hiperinflasi dan air trapping. Obstruksi yang komplit atau

mekanisme penutupan katup menyebabkan terjadi atelektasis. Lebih lanjut terjadi ketidakseimbangan ventilasi-perfusi yang menimbulkan hipoksia. Terdapat lima penemuan gambaran patologi utama pada penderita dengan infeksi yang fatal yaitu bronkiolitis akut, bronkiolitis nekrotising, pneumonia interstisial, pneumonia alveolus dan kerusakan alveolus yang difus. Karakteristik dari bronkiolitis akut yaitu adanya kerusakan dari epitel bersilia yang superfisial dan reversibel disertai dengan infiltrasi dari sel mononuklear. Bronkiolitis nekrotising meluas sampai ke dalam lapisan submukosa saluran pernapasan dan mungkin tidak reversibel. Kondisi ini terutama dihubungkan dengan pneumonia karena adenovirus. Pneumonia interstisial merupakan kelainan yang difus

dimana terjadi respon inflamasi dengan sel mononuklear yang dominan dan melibatkan septum alveolus peribronkial. Pada pneumonia alveolus dimana alveolus terisi oleh lapisan sel-sel yang degenerasi dan inflamasi dari sel-sel mononuklear atau polimorfonuklear dengan atau tanpa membran hialin. Membran hialin terdiri dari endapan-endapan fibrin yang

dicetuskan oleh pelepasan lokal dari kompleks faktor-faktor VII jaringan seperti inhibitor fibrinolisis. Ketika membran hialin terjadi, proses ini menggambarkan kerusakan alveolus yang difus. Tanda histopatologi ini menunjukkan fase akut dari ARDS. Bronkiolitis akut dan pneumonia interstisial adalah kasus fatal dari pneumonia nonbakteri yang tersering. Pneumonia alveolus merupakan perwujudan dari superinfeksi bakteri, ARDS atau perubahanperubahan yang dihubungkan dengan pemakaian ventilator dan toksisitas oksigen. Tiga faktor penting yang berpengaruh terhadap gambaran patologi pada pneumonia nonbakteri pada anak adalah anatomi, penyakit paru yang ada dan imunitas. Pada bayi yang lebih muda dengan kemampuan jalan napas yang kecil serta tidak ada hubungan antara ruang-ruang alveolus memberi kontribusi terjadi wheezing dan atelektasis lobaris. Penyakit paru yang ada seperti displasia bronkopulmonari adalah karakteristik dari emfisema, metaplasia skuamosa dari cabang bronkus, hipertropi dari sel-sela goblet dan meningkatnya reaktivitas dari otot polos. Ketidakmampuan untuk membersihkan sekret yang terjadi akibat infeksi pada pasien dengan displasia bronkopulmonari sering terjadi bronkospasme, atelektasis dan gagal napas. Gambaran imunopatologi karena infeksi dengan RSV dan M pneumoniae berbeda antara bayi dan anak yang lebih tua. Terjadi interaksi antara virus RSV dengan sel-sel epitel serta IgE spesifik dan selanjutnya terjadi pelepasan histamin yang yang diyakinkan sebagai suatu mekanisme bronkospasme pada penyakit virus. Akumulasi dari imun setelah infeksi yang berulang oleh M pneumoniae gambaran klinis penyakitnya lebih nyata pada anak yang lebih tua dan orang dewasa. Sel mediated immunity spesifik dapat dideteksi dengan kadar yang rendah pada anak yang lebih muda namun meningkat pada dewasa serta mungkin memberi 8

kontribusi untuk patogenesisnya. Berbagai variasi yang unik dari infeksi pneumonia karena virus meliputi pneumonia giant sel (leukemia atau infeksi HIV dengan superinfeksi campak), pneumonia interstisial limfoid atau hiperplasia limfoid paru (HIV dengan infeksi EBV). Pada umumnya pneumonia karena bakteri terjadi kolonisasi pada nasofaring akibat aspirasi atau inhalasi dari organisma tersebut. Paru mempunyai mekanisme perlindungan terhadap bakteri dengan mekanisme yang bervariasi meliputi filtrasi partikel-partikel di hidung, pencegahan terhadap aspirasi sekret yang terinfeksi oleh refleks epiglotis, pengeluaran bahan-bahan yang teraspirasi dengan refleks batuk, pengeluaran organisma oleh sekresi mukus dan sel-sel bersilia, memakan dan membunuh bakteri oleh makrofag alveolus, netralisasi bakteri oleh komponen imun lokal yang spesifik dan nonspesifik (contohnya komplemen, opsonin dan antibodi) dan partikel-partikel yang di transport dari paru melalui aliran limfe. Infeksi pada paru mungkin terjadi apabila satu atau lebih barier ini berubah, terhambat atau rusak. Penyebaran hematogen terjadi dengan cara emboli infeksi yang berasal dari fokal infeksi yang supuratif seperti abses pada kulit atau jaringan lunak yang disebabkan oleh S aureus yang kejadiannya jarang. Pneumonia karena S pneumoniae dimulai dengan inflamasi akut dan hiperemis pada mukosa saluran pernapasan bawah, terjadi eksudasi dari cairan edema, penumpukan fibrin dan infiltrasi dari lekosit PMN pada alveolus (hepatisasi merah ), dikuti oleh dengan penumpukan fibrin yang dominan dan aktivitas dari makrofag (hepatisasi kelabu). Eksudat pada alveolus dicerna secara enzimatik dan diabsorbsi atau dikeluarkan oleh reflek batuk. Terjadinya resolusi dengan kembalinya morfologi dan fisiologi ka arah normal pada paru. Berbeda dengan pneumonia yang disebabkan oleh S.aureus dan C.pneumonia dimana frekuensi terjadinya kerusakan struktur jaringan oleh abses yang multipel sedikit. Ada 4 stadium dari pneumonia lobaris. Pada stadium kongestif terjadi dalam 24 jam pertama paru terdapat konsistensi yang nyata dan karakteristik secara mikroskopik

didapatkan vaskuler yang kongestif serta edema pada alveolar. Terdapat beberapa bakteri dan sedikit netrofil. Pada stadium hepatisasi merah terjadi pada hari kedua dan ketiga. Dinamakan hepatisasi merah karena konsistensinya mirip dengan hepar dengan ciri-ciri adanya beberpa eritrosit, netrofil serta deskuamasi dari sel epitel dan fibrin di dalam alveolar. Pada stadium hepatisasi kelabu terjadi pada hari kedua dan ketiga setelah hepatisasi merah dimana paru warna coklat keabuan menjadi kuning karena eksudat yang fibrinopurulen, kerusakan

eritrosit dan hemosiderin. Stadium akhir adalah stadium resolusi dengan ciri-ciri terjadinya resorpsi dan perubahan dari struktur paru. Inflamasi dengan adanya fibrin mungkin meluas

dan melewati ruang pleura menyebabkan terdengar suara rub pada auskultasi dan mungkin berperan dalam proses resolusi atau organisasi serta perlekatan dari pleura. Bronkopneumonia merupakan bagian dari konsolidasi satu atau lebih dari lobus paru., biasanya melibatkan zona paru yang berkaitan, bisa karena suatu aspirasi yang berasal dari orofaring. Eksudat netrofil terdapat di tengah bronkus dan bronkiolus dengan penyebaran dari tengah ke tepi dan berdekatan dengan alveolus. Pada pneumonia interstisial inflamasi yang sebagian atau yang difus melibatkan interstisial dengan karakteristik adanya infiltrasi dari limfosit, makrofag, dan sel-sel plasma. Alveolus tidak mengandung eksudat yang bermakna, tetapi membran hialin kaya protein mirip dengan yang ditemukan pada ARDS mungkin berbatasan dengan ruang alveolar. Superinfeksi karena bakteri pada pneumonia karena virus dapat juga menghasilkan peradangan pada sebagian interstisial dan ruang alveolus. Pneumonia miliaris menggunakan suatu batasan yang bervariasi dengan ciri-ciri lesi yang dihasilkan dari penyebaran patogen ke paru melalui sirkulasi darah. Derajat imunokompromais berhubungan dengan lesi dari tuberkulosis miliaris, histoplasmosis dan kokidioidomikosis mungkin bermanifestasi sebagai granuloma dengan nekrosis kaseosa dengan fokus nekrosis. Infeksi miliar bisa karena herpes virus, sitomegalovirus atau infeksi karena virus varisela zoster. Pada pasien dengan imunokompromais berat menghasilkan sejumlah lesi perdarahan nekrosis akut. Faktor-faktor yang mempermudah atau menurunkan pertahanan lokal (misalnya pemasangan ET, sindrom gangguan motilitas silia) sebagai predisposisi untuk terjadi pneumonia pada anak. Agen penyebab mungkin banyak terdapat di paru karena penyebaran hematogen atau secara langsung lewat inhalasi. Apapun penyebab yang mendasar peranan respon inflamasi penting untuk meningkatkan aktivitas netrofil dan melepaskan mediator inflamasi ke jaringan. Proses ini akhirnya menimbulkan perembesan plasma dan enzim-enzim oksidasi kedalam jaringan. Akibatnya hilangnya aktifitas surfaktan dengan terjadi kolaps dan konsolidasi. Pada anak, agen penyebab, usia anak dan penyakit mendasar semuanya menampakkan gambaran dari penyakitnya. Defek pada anatomi, fisiologi dan imunologi merupakan faktor predisposisi terjadinya infeksi pada saluran pernapasan bawah. Defek ini meliputi anomali kongenital (seperti palatoschizis, fistula trakeoesofageal atau sekuestrasi dari paru), defek pada fungsi imun yang didapat atau kongenital, aspirasi (seperti anak dengan disautonomia yang familial, pasien koma, anak dengan pemberian makanan lewat NGT, setelah kejang, selama anastesi) dan perubahan dari kwalitas sekret mukus (seperti pasien dengan fibrosis kistik). Variasi dari tipe 10

infeksi pada paru mungkin berkembang pada anak yang mendapat terapi dengan obat-obat sitostatika dan imunosupresif karena penyakit keganasan atau penyakit pembuluh darah kolagen atau pada orang yang mendapat transplantasi organ. Pasien dengan defisiensi imun mungkin berkembang menjadi pneumonia yang disebabkan oleh bakteri aerob dan anaerob gram negatif, Staphylococcus, Legionella spp, Nocardia, berbagai macam jamur (meliputi Aspergillus dan Candida spp serta Pneumocystis carinii) dan virus seperti sitomegalovirus. Beberapa pasien yang mengalami penekanan respon imun terjadi reaktivasi dari infeksi yang laten. Bayi yang baru lahir menderita pneumonia yang didapat dari berbagai rute yang meliputi infeksi transplasenta, aspirasi dari organisma yang terjadi saat lahir melalui jalan lahir serta postnatal selama perawatan atau di rumah yang berasal dari sumber penularan atau kontaminasi dari peralatan atau bahan-bahan.

2.6 Faktor Risiko Faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian pneumonia terbagi atas dua kelompok besar yaitu faktor instrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor instrinsik meliputi umur, jenis kelamin, status gizi, berat badan lahir rendah, status imunisasi, pemberian ASI, dan pemberian vitamin A. Faktor ekstrinsik meliputi kepadatan tempat tinggal, polusi udara, tipe rumah, ventilasi, kelembaban, letak dapur, jenis bahan bakar, penggunaan obat nyamuk, asap rokok, penghasilan keluarga serta faktor ibu baik pendidikan, umur ibu, maupun pengetahuan ibu. Salah satu sumber media penularan penyakit pneumonia adalah kondisi fisik rumah serta lingkungannya yang merupakan tempat hunian dan langsung berinteraksi dengan penghuninya. a. Faktor ekstrinsik Ventilasi Rumah Ventilasi adalah proses penyediaan udara segar dan pengeluaran udara kotor secara alamiah atau mekanis. Fungsi ventilasi adalah untuk menjaga agar aliran udara di dalam rumah tetap segar, sehingga keseimbangan oksigen yang diperlukan tetap terjaga. Disamping itu, juga berfungsi sebagai lubang masuknya cahaya alam atau matahari ke dalam ruangan. Kurangnya udara segar yang masuk ke dalam ruangan dan kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan pening katan risiko kejadian ISPA. Kurangnya oksigen dan meningkatnya kadar karbondioksida di dalam rumah yang bersifat racun bagi penghuninya, karena akan menghambat afinitas oksigen terhadap hemoglobin darah. Selain itu ventilasi yang buruk menyebabkan aliran udara tidak 11

lancar, sehingga bakteri patogen sulit untuk keluar karena tidak ada aliran udara yang cukup untuk membawa bakteri keluar rumah. Kepadatan Hunian Standar luas ruang tidur menurut Kepmenkes RI nomor 829 tahun 1999 adalah minimal 8 m2, tidak dianjurkan digunakan lebih dari 2 orang tidur dalam satu ruang tidur, kecuali anak di bawah umur 5 tahun. Kepadatan hunian yang berlebihan memudahkan penularan penyakit infeksi pernapasan, tuberkulosis, meningitis, dan parasit usus dari satu orang ke yang lain. Pencemaran udara dalam rumah Pencemaran udara dalam rumah biasanya berasal dari asap dapur, asap rokok, dan asap obat nyamuk bakar. Ketiga bahan pencemar udara tersebut bila berada dalam rumah menjadi faktor risiko terhadap infeksi pneumonia pada balita. Asap rokok dan debu dapat menyebabakan iritasi mukosa saluran pernafasan sehingga merusak sistem mekanisme pertahanan di saluran pernafasan, akibatnya bakteri mudah masuk ke dalam saluran nafas dan anak akan mudah terkena ISPA berulang. Pembakaran minyak tanah, kayu bakar dan asap kendaraan bermotor disamping akan menghasilkan zat pollutan dalam bentuk debu (partikel) juga menghasilkan zat pencemar kimia berupa karbondioksida, karbonmonoksida, oksida sulfur, oksida nitrogen dan hydrocarbon yang berbahaya bagi kesehatan karena zat-zat tersebut menyebabkan reaksi peradangan pada saluran pernafasan dan bisa menyebabkan produksi lender meningkat yang dapat menurunkan mekanisme pertahanan di saluran pernafasan. Lingkungan tumbuh Lingkungan tumbuh balita yang mempengaruhi terhadap terjadinya pneumonia adalah kondisi sirkulasi udara di sekitar rumah dan lingkungan perumahan yang padat. Pendidikan Ibu Anak Balita Tingkat pendidikan ibu yang rendah diduga sebagai salah satu faktor risiko yang dapat meningkatkan angka kematian akibat penyakit pneumonia pada anak Balita. Dengan semakin tingginya pendidikan seorang ibu diharapkan akan lebih mudah menerima pesan kesehatan dan cara pencegahan penyakit. Pengetahuan Ibu Anak Balita Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang. Pendapatan Keluarga 12

Pendapatan merupakan salah satu wujud dari sumber daya, merupakan faktor yang mempengaruhi perilaku, khususnya yang berhubungan dengan kesehatan. Kondisi sosial ekonomi orangtua Kemampuan orantua dalam menyediakan lingkungan tumbuh yang sehat pada balita sangat mempengaruhi terhadap terjadinya pneumonia Kebersihan rumah Kebersihan rumah adalah salah satu faktor yang berpengaruh terhadap penghuninya, khususnya pada anak balita. b. Faktor Intrinsik Umur Anak Balita Kejadian pneumonia erat kaitannya dengan umur, risiko untuk terkena pneumonia pada anak yang lebih muda lebih besar dibandingkan dengan anak yang lebih tua umurnya. Jenis Kelamin Anak Balita Penyakit pneumonia dapat terjadi pada setiap orang dengan tidak memandang ras, agama, suku, jenis kelamin dan status sosial. Namun insiden terjadi ISPA (pneumonia) pada anak balita berdasarkan jenis kelamin disebutkan banyak terjadi pada anak perempuan, Status gizi bayi Status gizi adalah ukuran keberhasilan dalam pemenuhan nutrisi untuk anak yang diindikasikan oleh berat badan dan tinggi badan anak. Status gzi juga didefinisikan sebagai status kesehatan yang dihasilkan oleh keseimbangan antara kebutuhan dan masukan nutrien. Riwayat persalinan Riwayat persalinan yang mempengaruhi terjadinya pneumonia adalah ketuban pecah dini dan persalinan preterm. Konsumsi ASI ASI merupakan sumber kalori dan protein yang sangat penting bagi anak khususnya anak dibawah usia 1 tahun serta melindungi bayi terhadap infeksi karena ASI mengandung antibodi yang penting dalam meningkatkan kekebalan tubuh. Bayi yang diberi susu botol atau susu formula rata-rata mengalami dua kali lebih banyak serangan pneumonia dibanding bayi yang mendapatkan ASI. Jumlah konsumsi ASI saat bayi akan sangat mempengaruhi imunitas anak. Bayi yang diberi ASI secara eksklusif akan memiliki daya tahan tubuh yang lebih baik dibandingkan dengan bayi 13

yang tidak diberi ASI secara eksklusif. Nilai gizi ASI yang lebih tinggi dan adanya
antibodi, sel-sel leukosit serta enzim dan hormone melindungi bayi terhadap berbagai infeksi.

2.7 Gambaran Klinis dan Diagnosis


Manifestasi klinis ISPA dapat berupa batuk, kesulitan bernafas, sakit tenggorokan, pilek, demam dan sakit telinga. Menurut berat ringanya, ISPA dibagi menjadi 3 golongan,yaitu: 1. ISPA Ringan, dengan gejala yaitu: Batuk Serak, yaitu anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan suaranya, misalnya pada waktu berbicara atau menangis Pilek, yaitu mengeluarkan lendir dari hidung Demam, yaitu suhu badan anak lebih dari 37C

2. ISPA Sedang yaitu jika dijumpai gejala-gejala seperti ISPA ringan dan disertai dengan gejala: Pernafasan lebih dari 50x/menit (anak umur kurang dari 1 tahun) dan lebih dari 40x/menit (anak umur lebih dari 1 tahun) Suhu lebih dari 39C Tenggorokan berwarna merah Timbul bercak-bercak campak Telinga sakit atau mnegeluarkan nanah dari lubang telinga Pernafasan berbunyi/ wheezing

3. ISPA Berat yaitu jika seorang anak dijumpai gejala-gejala seperti ISPA ringan atau sedang ditambah dengan gejala sebagai berikut: Bibir atau kulit membiru Pernafasan cuping hidung Anak tidak sadar atau kesadarannya menurun Bunyi nafas gargling, atau snorring Dijumpai adanya terraksi otot-otot bantu pernafasan, seperti intercostal, sternal,suprasternal Nadi cepat dan lemah >160x/menit (anak umur < 1 tahun) Tenggorokan berwarna merah

14

Diagnosis klinis ditegakkan dengan adanya batuk, sesak napas atau ronki dan distres respirasi, namun penelitian menunjukkan bahwa prediktor terbaik adalah takipnu. Pada balita takipnu dan retraksi adalah indikator pneumonia. Penatalaksanaan pneumonia pada balita menurut WHO menggunakan kedua indikator ini pada fasilitas primer agar dapat digunakan oleh semua tenaga kesehatan.
Usia < 2 bulan 2 -12 bulan 12 bulan-5 tahun >5 tahun Respiratory Rate > 60 >70 > 50 > 40 >50 > 20 Indication of severe infection

Secara praktis penyebab pneumonia dapat diduga bedasarkan data klinik dan epidemiologi, penemuan dari foto polos dada dan dari tes labaratorium seperti darah lengkap, jumlah sedimen eritrosit dan kadar dari protein C reaktif. Meskipun hal ini sulit untuk menentukan etiologinya karena pendekatannya secara nonmikrobiologi dimana etiologi sebagai gold standar tidak diketahui. Ada beberapa usaha untuk menghubungkan kondisi nonmikrobiologi dengan penyebab mikrobiologi. Misalnya perbedaan antara pneumonia

karena tipikal (contohnya bakteri) dan atipikal pneumonia (virus atau mikoplasma) yang mungkin berguna pada kasus remaja dan dewasa namun pada bayi dan anak pra sekolah tidak ditemukan. Dalam suatu studi, pneumonia karena bakteri dan virus dihubungkan dengan insiden konjungtivitis (27% dibandingkan 8 %) dan otitis media ( 42% dibanding dengan 22%). Dalam dua studi, wheezing ditemukan lebih sering pada pasien dengan pneumonia karena viral daripada karena pneumonia bakteri (43% dengan 16% dan 56% dengan 16%). Foto polos dada pembacaannya secara subyektif tidak dapat digunakan untuk membedakan antara penyakit bakteri dan virus. Ada beberapa pemeriksaan laboratorium terutama yang berguna dalam mengevaluasi anak dengan pneumonia. Beberapa organisma penyebab mungkin diidentifikasi dari kultur atau dengan teknik antibodi immunoflurosensi, namun dalam prakteknya terlalu mahal dan butuh waktu untuk pemeriksaan rutin. Tes ini jarang tersedia dan jarang digunakan pada keadaan emergensi. Pada pemeriksaan darah lengkap dengan kasus pneumonia

pneumococcus, jumlah lekosit meningkat secara dramatis, namun tes ini tidak spesifik dan digunakan dalam manajemen pasien rawat jalan. Namun dianjurkan bahwa lekosit dapat digunakan sebagai pedoman untuk tes pada bayi atau anak yang demam dengan jumlah 15

kenaikan lekosit yang bermakna dan tidak ada sumber infeksi lain. Ada beberapa penyokong yang didapatkan dari foto polos dada dengan pemeriksaan fisik normal. Pemeriksaan darah lengkap perlu dipertimbangkan pada anak yang sakit berat dengan imunokompromais. Kultur darah jarang positif pada anak dengan pneumonia. Kultur darah hanya diperoleh pada pasien yang sakit berat, imunokompromais atau mempunyai gejala-gejala yang menetap. Kultur sputum dan tes antibodi imunofluerosensi dilakukan pada kasus pasienpasien yang sakit berat. Pengecatan gram dilakukan pada anak yang lebih tua dan remaja yang sudah

kooperatif dengan batuk yang produktif. Pengecatan sputum dan kultur mungkin diperoleh. Syarat dari kegunaan spesimen ini harus mengandung 10 sel-sel epitel dan lekosit lebih dari 25 per lapangan pandang besar. Tes antibodi cepat tersedia untuk RSV, virus influenzae tipe 1, 2 dan 3, virus influenzae A dan B serta adenovirus. Test antibodi ini dapat membantu menentukan penyebab dari pneumonia karena virus. Spesimen yang diambil dari nasofaring untuk kultur dan tes antibodi assay kurang bermanfaat karena akan dikacaukan dengan bakteri komensal nasofaring. Tes antigen antibodi assay untuk infeksi karena pneumokokus kurang sensitif dalam membantu diagnosis infeksi karena S pneumonia. Lebih lanjut, deteksi kompleks imun pneumokokus mungkin membantu menentukan penyebab pada anak usia di atas 2 tahun. Tes serologi untuk IgM atau suatu peningkatan dari titer IgG menunjukkan infeksi oleh spesies Mycoplasma dan Chlamydia. Kultur Mycoplasma dan Chlamydia tidak rutin direkomendasikan. Tes PCR tidak mudah diperoleh dan hasil positif tidak menyatakan secara langsung penyebabnya. Pemeriksaan darah lengkap dan hitung jenis, kadar protein C reaktif serta jumlah sedimen eritrosit tidak membedakan infeksi bakteri dari virus serta tidak dilakukan secara rutin. Saturasi oksigen juga diperiksa dengan pulse oximetry pada anak dengan distres respirasi, takipnu yang bermakna atau pucat. Selama beberapa tahun kriteria standar untuk tes diagnosis dari pneumonia adalah dengan gambaran foto polos dada. Namun foto polos dada merupakan gambaran secara subyektif dimana tidak dapat di bedakan antara infeksi karena virus dan bakteri. Gambaran radiologi tidak menggambarkan secara pasti dalam membedakan antara dua kelas etiologi utama. Pada infeksi virus ada 4 penemuan radiologi yang dideteksi yaitu infiltrat parahiler peribronkial, hiperekpansi, atelektasis lobar atau segmental dan pelebaran limfonodi hilus.

16

Meskipun penemuan radiologi tidak spesifik untuk C pneumonia suatu kombinasi dari klinik dan radiologi menunjukkan diagnosis sebelum ada hasil laboratorium. Dalam studi dari 125 kasus dengan C pneumoniae, Radkowski dan kawan kawan menunjukkan bahwa gambaran foto dada menampakkan hiperekspansi yang bilateral dan infiltrat yang difus dengan pola radiologi yang bervariasi termasuk infiltrat, nodul retikuler, atelektasis, campuran dan bronkopneumonia. Efusi pleura dan konsolidasi lobaris tidak terlihat. Foto polos dada tidak membedakan agen penyebab infeksi pneumonia. Konsolidasi lobaris yang klasik dihubungkan dengan infeksi pneumococcus serta infiltrat interstisial dihubungkan dengan pneumonia karena virus. Namun kedua kondisi ini baik konsolidasi lobaris maupun infiltrat pneumonia telah diidentifikasi pada semua tipe infeksi karena virus saja, infeksi bakteri saja dan pada infeksi campuran. Foto polos dada tidak rutin anak dengan infeksi saluran pernapasan bawah ringan tanpa komplikasi. Indikasi untuk foto polos dada adalah pada penemuan klinis yang meragukan, pneumonia yang lama, pneumonia yang tidak berespon terhadap terapi antibiotika serta kemungkinan komplikasi seperti efusi pleura. Ada beberapa tes yang dilakukan seperti tes aglutinin dingin dan tes aglutinasi urin latex. 1. Tes aglutinin dingin. Pada anak yang muda atau anak sekolah dengan pneumonia, terutama pasien dengan onset gejala yang bertahap dan gejala prodormal yang terdiri dari nyeri kepala, gejala-gejala abdomen, tes aglutinin dingin mungkin membantu konfirmasi untuk kecurigaan klinik ke arah infeksi mycoplasma. Tes ini sangat mudah dengan menyediakan satu tempat dengan sedikit darah dalam suatu pipa spesimen yang mengandung antikoagulan dan masukkan ke dalam suatu cangkir yang berisi air es. Sesudah beberapa menit di dalam air es pipa diangkat ke tempat terang dan sedikit dimiringkan serta secara perlahan diputar. Adanya lapisan gumpalan kecil eritrosit pada pipa merupakan indikasi bahwa tes ini positif. Sayangnya tes ini hasilnya hanya positif pada separuh kasus dari infeksi mycoplasma dan mungkin beberapa infeksi yang lain serta kondisi-kondisi yang menyebabkan tes aglutinin dingin positif. 1 2. tes aglutinasi urin latex Tes ini mungkin membantu untuk mengidentifikasi organisma yang sesuai. Namun demikian teknologi saat ini tidak memberikan semua strain agen infeksi yang umum untuk diidentifikasi. Tes ini sangat jarang tersedia pneumonia. Thorakosintesis dilakukan pada anak dengan efusi pleura yang diidentifikasi melalui foto polos dada. Tes ini merupakan tindakan untuk diagnosis dan terapi yang dapat 17 saat penanganan akut pada anak dengan

membantu mengidentifikasi sumber infeksi dan dapat mengurangi distres respirasi. Pengambilan cairan dari kavum pleura akan dikirim untuk dilakukan pengecatan gram dan kultur bersamaan tes rutin yang lain. Jika thorasintesis terdapat suatu empiema maka diperlukan tindakan thoracostomi.

2.9 Pengelolaan Pengelolaan pasien meliputi: 1. Perawatan sebelum di rumah sakit a.Perawatan anak di luar rumah sakit dengan pneumonia terbatas pada bantuan respirasi.

18

b.Pengukuran saturasi dengan pulse oksimetri untuk evaluasi pemberian oksigen pada anak selama di luar rumah sakit c.Anak yang mengalami distres respirasi akan dilakukan pemasangan intubasi. 2. Perawatan di bagian Unit gawat darurat a. Mengidentifikasi dan mengelola anak dengan distres respirasi, hipoksemi, dan hiperkarbi. Merintih, napas cuping hidung, takipnu berat dan distres respirasi merupakan indikasi untuk segera memberikan bantuan pernapasan. b. Mayoritas anak yang didiagnosa dengan pneumonia di unit gawat darurat diterapi sebagai pasien rawat jalan dengan antibiotika oral. - Konfirmasi dengan foto polos dada mungkin dilakukan pada pasien ini namun tidak terlalu berguna. - Antibiotika yang sesuai diberikan pada anak dengan panas tinggi dan ada penemuan klinik yang mengarah kuat ke penyakit pneumococcal meliputi amoksisilin, penisilin dan kombinasi eritromisin dan

sulfisoxazole. Antibiotika alternatif lain yang dapat diberikan adalah azithromycin dan clarithromycin. Anak yang lain mendapat eritromisin dosis tunggal atau kombinasi dengan sulfisoxazole atau mendapat azithromycin dan clarithromycin. c. Untuk infeksi karena pneumonia virus yaitu RSV terutama pada bayi dengan penyakit dasar pada paru dan infeksinya berat dapat diberikan Ribavirin aerosol. Obat ini tidak mungkin diberikan di unit gawat darurat karena ditakutkan petugas kesehatan terpapar terhadap obat ini. Oleh karena itu pasien harus dirawat di ruang isolasi. Antibodi spesifik terhadap RSV saat ini tersedia dan diberikan pada anak dengan risiko tinggi. Herpes virus pada bayi

umumnya disebabkan karena agen herpes simpleks dan pada anak yang lebih tua terjadi pneumonia akibat komplikasi dengan infeksi varisela. Asiklovir tersedia untuk mengobati pneumonia ini. Pneumonia karena influenzae A terutama yang berat atau yang terjadi pada risiko tinggi diterapi dengan

amantadine. Hanya sedikit data untuk anti influensa lain (contohnya oseltamivir) pada pneumonia influenzae. d. Anak yang terkena toksin mendapat resusitasi dan bantuan napas. Hasil foto polos dada akan menunjukkan suatu efusi atau empiema. Terapi antibiotika meliputi vancomisin (terutama digunakan pada daerah dimana streptokokus

19

resisten terhadap penisilin) dan sefalosporin. Sefuroksim merupakan pilihan yang baik karena aktivitasnya terhadap agen streptokokus Perawatan pasien rawat jalan lebih lanjut. Kebanyakan anak dengan pneumonia tanpa komplikasi pemulihan tanpa sequele. Pada anak yang kelihatan baik namun memiliki gejala-gejala kronik atau berulang, tes lebih lanjut diperlukan. Tes lebih lanjut meliputi tes kulit untuk mengidentifikasi patogen karena jamur dan tuberkulosis, tes keringat untuk mengidentifikasi kistik fibrosis, titer terhadap organisma jarang dan bronkoskopi. Beberapa hal yang perlu dikerjakan seorang ibu untuk mengatasi anaknya yang menderita ISPA, antara lain: Mengatasi panas (demam) Untuk anak usia 2 bulan - 5 tahun demam diatasi dengan memberikan parasetamol atau dengan kompres, bayi <2 bulan dengan demam harus segera dirujuk. Parasetamol diberikan 4 kali tiap 6 jam untuk waktu 2 hari. Cara pemberiannya, tablet dibagi sesuai dengan dosisnya, kemudian digerus dan diminumkan. Memberikan kompres, dengan menggunakan kain bersih, celupkan pada air (tidak perlu air es). Mengatasi batuk Dianjurkan memberi obat batuk yang aman yaitu ramuan tradisional yaitu jeruk nipis sendok teh dicampur dengan kecap atau madu sendok teh , diberikan tiga kali sehari. Pemberian makanan Berikan makanan yang cukup gizi, sedikit-sedikit tetapi berulangulang yaitu lebih sering dari biasanya, lebih-lebih jika muntah. Pemberian ASI pada bayi yang menyusu tetap diteruskan. Pemberian minuman Usahakan pemberian cairan (air putih, air buah dan sebagainya) lebih banyak dari biasanya. Ini akan membantu mengencerkan dahak, kekurangan cairan akan menambah parah sakit yang diderita. mengalami

20

Lain-lain Tidak dianjurkan mengenakan pakaian atau selimut yang terlalu tebal dan rapat, lebih-lebih pada anak dengan demam. Jika pilek, bersihkan hidung yang berguna untuk mempercepat kesembuhan dan

menghindari komplikasi yang lebih parah. Usahakan lingkungan tempat tinggal yang sehat yaitu yang berventilasi cukup dan tidak berasap. Apabila selama perawatan dirumah keadaan anak memburuk maka dianjurkan untuk membawa kedokter atau petugas kesehatan. Untuk penderita yang mendapat obat antibiotik, selain tindakan diatas usahakan agar obat yang diperoleh tersebut diberikan dengan benar selama 5 hari penuh. Dan untuk penderita yang mendapatkan antibiotik, usahakan agar setelah 2 hari anak dibawa kembali kepetugas kesehatan untuk pemeriksaan ulang Pengobatan pada pasien rawat inap dan rawat jalan Awal pengobatan pasien rawat jalan pada anak dengan pneumonia tergantung penemuan klinik dan usia pasien. Anak yang dicurigai menderita penyakit pneumonia awalnya akan diobati dengan amoksisilin atau penisilin. eritromisin dengan dosis tunggal atau kombinasi dengan sulfisoxazole atau sefalosporin oral merupakan obat alternatif. Untuk anak yang lain terutama anak usia sekolah, eritromisin dosis tunggal atau kombinasi dengan sulfixosazole dapat diberikan. Agen

makrolid lain dapat diberikan sebagai alternatif seperti eritromisin. Anak yang mendapat perawatan akan mendapat pengobatan dengan sefuroksim atau sefalosporin lain yang broad spektrum. Vancomisin diberikan pada pasien dengan pneumonia karena toksik pada pasien yang resisten penisilin dari pneumokokus yang diisolasi. Asiklovir diindikasikan untuk pengobatan pneumonia yang disebabkan oleh herpes virus. Pasien rujukan

Bayi atau anak yang dirawat karena pneumonia mungkin dirujuk karena mereka membutuhkan perawatan pada unit penyakit kritis atau karena rumah sakit asal penderita dirawat tidak mempunyai fasilitas untuk perawatan anak.

21

Rujukan dipertimbangkan bila penderita pneumonia mengalami komplikasi ke penyakit kronis. Pasien ditransfer dengan tujuan pasien mendapat perawatan lanjut dengan subspesialis anak.

Unit yang merujuk pasien akan merasa nyaman bila

pasien rujukannya

dengan pneumonia yang mengalami gangguan respirasi, mendapat dukungan respirasi pada unit yang dirujuk. Sasaran dari farmakoterapi adalah untuk menghilangkan infeksi, menurunkan kesakitan dan mencegah komplikasi. Saat ini berbagai macam antibiotika baru telah dipasarkan di Indonesia. Sebagian telah mendapat rekomendasi untuk anak. Antibiotika tersebut umumnya sangat selektif untuk bakteri tertentu dan harganyapun masih mahal, sehingga dalam penentuan penggunaannya kita harus sangat rasional. Termasuk dalam kelompok antibiotika baru ini Cephalosporin, Macrolide, Carbapenem, dan Quinolon. Antibiotika Beta Lactam cukup banyak dan sudah lama dikenal antara lain golongan penisilin, cephalosporin, carbapenem dan monobactam. Pengobatan didasarkan atas umur anak keadaan klinik serta faktor-faktor epidemiologi. Terapi antibiotika mulai diberikan sesuai pada anak dengan CAP karena bakteri. Karena informasi definitif tentang organisma penyebab biasanya tidak diketahui maka pilihan antibiotika berdasarkan terapi empiris. Pemberian antibiotika atau lama terapi selama 7-10 hari pada pasien CAP tanpa komplikasi. Meskipun tidak ada studi yang mengontrol lama pemberian antibiotika yang optimal. Evaluasi pada pasien rawat jalan dilakukan 24-72 jam setelah terdiagnosis. Evaluasi ulang penting pada anak yang gejalanya tidak hilang atau berlanjut atau panas 48 jam setelah diagnosis. Pada anak dengan gejala asimtomatik dengan pemeriksaan fisik yang normal setelah terapi tidak perlu evaluasi dengan foto polos dada. Foto polos dada ulang dan CT scan direkomendasikan pada pasien dengan sakit lama dan terjadi komplikasi seperti empiema.7 Pneumokokus resisten penisilin terjadi pada terapi CAP. Terdapat bukti yang mengindikasikan bahwa pada pasien rawat inap terapi intravena dengan penisilin atau sefalosporin lebih efektif melawan pneumokokus resisten penisilin. Antibiotika oral laktam tepat sebagai pilihan pertama terapi pada pasien rawat jalan dengan CAP. Dari kepustakaan yang lain mengemukakan mengenai pemberian beberapa antimikroba sesuai empiris terapi antara lain kotrimoksazol dengan dosis 40mgkg/hari

(sulfamethoksazol)+8mg/kg/hati (trimethroprim) dibagi dalam 2 dosis, amoksisilin dengan

22

dosis 40 mg/kgbb/ hari dibagi 3 dosis PO ( BB 5 kg : 62,5 mg; 5-10 kg :125 mg; > 10kg : 250 mg), Penisilin VK PO dengan dosis 40 mg/kg/hari dibagi 3 dosis, Cefuroxime dengan dosis untuk tablet : 250 mg tiap 12 jam dan IV : 150-200 mg/kg/hari dibagi 3 dosis atau tiap 8 jam, Cefpodoxime dengan dosis 10 mg/kgbb/hari dibagi 2 dosis, Cefprozil dosis 30 mg/kgbb/hari dibagi 2 dosis, Ceftriaxone dengan dosis 50-75 mg/kgbb/hari secara IV atau IM sehari sekali, Cefotaxime dengan dosis < 50kg : 100-200 mg/kgbb/hari secara IV atau IM tiap 6-8 jam pemberian dan > 50kg : sesuai dosis dewasa ( 1-2 gram IV/IM tiap 6-8 jam maksimal 12 gram/hari), EritromisinS (EES, Eryc, E-Mycin) dosis untuk neonatus 50 mg/kgbb/hari (base) PO dibagi 4 dosis selama 14 hari atau 30-50 mg/kgbb/hari (base dan etilsuksinat) PO tiap 6-8 jam, Eritromisin dan Sulfisoxazole dimana untuk anak < 2 bulan tidak

direkomendasi dan untuk anak >2 bulan 50 mg/kgbb/hari dibagi 3 atau 4 dosis, Clarithromycin dosis 15 mg/kgbb/hari tiap 12 jam, Azithromycin dengan dosis hari ke 1 :10 mg/kgbb PO sekali, tidak boleh lebih dari 500 mg/hari dan hari ke 2 sampai 5 : 5 mg/kgbb PO dibagi 4 dosis tidak boleh lebih dari 250 mg/hari. Untuk anti virus sebagai inhibitor sintesis DNA dan replikasi virus. Acyclovir dosis 10 mg/kgbb/dosis secara IV tiap 8 jam, Ribavirin dengan dosis 2 gram aerosol diatas 2 jam 3 kali selama 3 hari dengan menggunakan generator aerosol partikel kecil Viratex. Pencegahan dengan vaksin yang dikeluarkan mungkin mencegah dengan tepat tipetipe pneumonia. Vaksin pneumonia akan diberikan secara rutin untuk anak dengan penyakit kronik, terutama yang asplenik atau lien yang tidak berfungsi. Ini tidak rutin diberikan pada anak. Namun suatu vaksin pneumonia baru telah berkembang dan akan diberikan pada bayi sebagai bagian dari jadwal imunisasi rutin pada masa anak. Vaksin influenzae umumnya diberikan hanya pada anak dengan sakit kronik. Vaksin H influenzae tipe B diberikan dengan baik pada anak dan telah menurunkan insiden infeksi yang disebabkan oleh organisma ini. Vaksin varisela mempunyai pengaruh kuat yang mendadak pada insiden varisela. Suatu injeksi imunoglobulin spesifik dari RSV memegang peranan untuk mencegah infeksi berat karena RSV dengan tepat pada anak. Imunisasi pada masa anak-anak telah membantu mencegah pneumonia pada anak. Pneumonia diketahui merupakan komplikasi dari rubela, varisela dan pertusis. Kejadian pneumonia dari penyakit ini jarang terjadi karena imunisasi rutin yang diberikan pada masa anak-anak. Pneumonia karena H influenzae tipe B juga jarang terjadi karena pemberian rutin vaksin Hib. Pada anak dengan pneumonia, penentuan rawat inap diputuskan apabila terdapat: Penderita tampak toksik 23

Umur kurang dari 6 bulan Distress pernapasan berat Hipoksemia Dehidrasi atau muntah Terdapat efusi pleura atau abses paru Kondisi imunokompromised Ketidakmampuan orangtua untuk merawat Didapatkan penyakit penyerta lain, misalnya penyakit jantung bawaan Pasien membutuhkan pemberian antibiotika secara parenteral

2.10 Komplikasi 1. Komplikasi intra pulmoner : Cor pulmonal sub akutum, abses paru, emfiema, atelektasis, pneumotoraks, bronkiektasis. 2. Komplikasi ekstra pulmoner : otitis media akut, perikarditis, syok septik, peritonitis, artritis, dan endokarditis. Cor pulmonal sub akutum (CPSA) adalah hipertrofi dan dilatasi ventrikel kanan tanpa atau dengan gagal jantung kanan akibat penyakit yang menyerang struktur atau fungsi paru-paru atau pembuluh darahnya. CPSA ditandai dengan frekuensi nafas > 60 x/menit, denyut jantung > 160 x/menit disertai dengan hepatomegali dengan tepi tumpul.

2.11 Prognosis Prognosis pada penderita pneumonia adalah baik. Pada pasien yang mendapat

penanganan sesuai protokol pneumonia outcomenya baik. Beberapa kasus dengan pneumonia karena virus membaik tanpa pengobatan. Umumnya bakteri patogen dan organisma yang atipikal respon terhadap terapi antimikroba. Prognosis pneumonia karena varisela sedikit berisiko. Pneumonia karena staphylococcus meskipun jarang dapat sangat berat dan walaupun diobati. Anak dengan imunokompromais dengan penyakit dasar paru serta neonatus berisiko tinggi terjadi sekuele berat. Beberapa pneumonia karena virus, terutama penyakit adenovirus, kecenderungan menyebabkan bronkiolitis obliteran dan sindroma paru yang hiperlusen Edukasi yang diberikan pada orang tua agar berhati-hati dalam melihat tanda-tanda distres respirasi dan mencari pertolongan medis segera bila ditemukan tanda tersebut. Kebanyakan anak diterapi dengan antibiotika untuk rawat jalan dan akan membaik setelah 48 24

jam terapi. Jika tidak ada perbaikan harus dipikirkan untuk terapi lebih lanjut. Pada pasien dengan pendidikan yang tinggi dapat melihat di website.emedicine pneumoni senter, dapat juga melihat juga pada artikel lain di bakterial pneumonia dan viral pneumonia.

2.12 Faktor-faktor yang mempengaruhi ketuntasan dalam penangangan penyakit pneumonia balita 2.12.1 Faktor Predisposing (Faktor Permudah) Faktor ini mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi, dan sebagainya. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: untuk berperilaku kesehatan, misalnya dalam pencegahan penyakit pneumonia diperlukan pengetahuan dan kesadaran ibu tentang penyakit pneumonia. Di samping itu, kepercayaan dari tradisi dapat menghambat ibu untuk memeriksakan anak ke sarana kesehatan. Karena faktor-faktor ini terutama yang positif mempermudah terwujudnya perilaku maka sering disebut faktor pemudah.

a) Pendidikan
Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang pendidikan, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan kesehatan yang didasarkan kepada pengetahuan dan kesadaran melalui proses pembelajaran diharapkan akan berlangsung lama (long lasting) dan menetap, karena didasari oleh kesadaran. Memang kelemahan dari pendekatan pendidikan kesehatan ini adalah hasilnya lama, karena perubahan perilaku melalui proses pembelajaran pada umumnya memerlukan waktu yang lama (Notoatmodjo, 2005). Menurut Notoatmodjo (2003), orang dengan pendidikan formal yang lebih tinggi akan mempunyai pengetahuan yang lebih tinggi dibanding orang dengan tingkat pendidikan formal yang lebih rendah, karena akan lebih mampu dan mudah memahami arti dan pentingnya kesehatan serta pemanfaatan pelayanan kesehatan.
Menurut Feldstein dalam Nainggolan (2008), bahwa tingkat pendidikan dipercaya memengaruhi permintaan akan pelayanan kesehatan. Pendidikan yang tinggi akan memungkinkan seseorang untuk mengetahui dan mengenal gejala-gejala awal.

25

Kunjungan ke dokter yang rendah adalah sebagai akibat rendahnya pendidikan dan sikap

yang masa bodoh terhadap pelayanan kesehatan. b) Pekerjaan Pekerjaan adalah suatu kegiatan/aktivitas yang dilakukan seseorang untuk memperoleh imbalan guna memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Anderson dalam Notoatmodjo (2003), menyatakan bahwa struktur sosial yang salah satu diantaranya adalah pekerjaan menentukan dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan. c) Penghasilan Keluarga Masyarakat berpenghasilan rendah mempunyai suatu prevalensi sakit, kelemahan, kronitas penyakit dan keterbatasan kegiatan karena masalah kesehatan. Ditambah pula bahwa mereka lebih sukar mencapai pelayanan kesehatan, dan bila dapat mencapainya akan memperoleh mutu pelayanan kesehatan yang lebih rendah dibanding dengan lapisan masyarakat menengah atas (Zulikfan, 2004).
Tingkat penghasilan merupakan penghasilan yang diperoleh bapak dan ibu yang digunakan untuk kehidupan sehari-hari, sehingga semakin besar jumlah pendapatannya, maka taraf kehidupan akan semakin baik. Status sosial ekonomi dianggap sebagai salah satu faktor risiko penting untuk pneumonia, karena penderita pneumonia pada balita banyak ditemukan pada kelompok keluarga dengan sosial ekonomi rendah (Kartasasmita, 1993).

d) Pengetahuan Menurut Notoatmodjo (2003), pengertahuan adalah apa yang diketahui oleh seseorang tentang sesuatu hal yang didapat secara formal maupun informal. Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan terdiri dari 6 (enam) tingkatan, yaitu: Tahu (know) Tahu diartikan sebagai mengingat sesuatu yang telah dipelajari sebelumnya, termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh badan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Memahami (Comprehension)

26

Memahami diartikan sebagai suatu untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi dan dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan terhadap objek yang dipelajari. Aplikasi (Application) Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi dan kondisi yang sebenarnya. Aplikasi disini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan buku-buku, rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain. Analisa (Analysis) Analisa adalah suatu kemampuan untuk menjelaskan materi atau objek analisa komponen-komponen tetapi di dalam suatu struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Sintesa (Synthesis) Sintesa menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu keseluruhan yang baru atau kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi yang telah ada. Evaluasi (Evaluation) Kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek.

2.12.2 Faktor Enabling (Faktor Pendukung) Faktor ini mencakup ketersediaan sarana/fasilitas bagi masyarakat misalnya puskesmas, rumah sakit, polindes, dokter atau bidan swasta, dan lain-lain. Fasilitas ini pada hakikatnya mendukung terwujudnya perilaku kesehatan maka disebut juga faktor pendukung. a) Ketersediaan sarana kesehatan Menurut Notoatmodjo (2007), meskipun kesadaran dan pengetahuan masyarakat tinggi tentang kesehatan, namun fasilitas kesehatan yang tidak mendukung maka tindakan tentang kesehatan tidak akan terwujud. Oleh karena itu pengetahuan dan kesadaran yang tinggi harus diikuti dengan ketersediaan sarana kesehatan yang baik sehingga terwujud perilaku hidup sehat. b) Jarak ke sarana kesehatan 27

Rochman (1994) menyatakan bahwa keterjangkauan/jarak merupakan salah satu faktor yang memengaruhi pemanfaatan pelayanan kesehatan.

2.12.3 Faktor Reinforcing (Faktor Penguat) Faktor-faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku petugas kesehatan. Untuk berperilaku sehat, masyarakat kadang-kadang bukan hanya perlu pengetahuan yang positif dan dukungan fasilitas saja, melainkan diperlukan perilaku contoh/acuan yang diberikan oleh petugas kesehatan, keluarga, maupun tokoh panutan dalam masyarakat. Faktor ini disebut juga sebagai faktor penguat. Dukungan Tokoh Panutan Tokoh panutan (Reference Group) adalah sekelompok social yang menjadi acuan bagi seseorang untuk membentuk pribadi dan perilakunya (Soekanto, 2007). Tokoh panutan merupakan faktor social yang sangat penting dalam suatu proses adopsi atau perubahan. Perilaku orang lebih banyak dipengaruhi oleh orang-orang yang dianggap penting. Apabila seseorang penting bagi seseorang individu, maka apa yang dia katakana atau perbuatannya cenderung untuk dicontoh oleh individu tersebut. Demikian halnya dalam keinginan seseorang untuk meminum obat secara teratur, keberadaan tokoh panutan akan sangat menentukan dalam pengambilan keputusan. Apabila seorang tokoh panutan mendukung atau ikut berpartisipasi dalam mengontrol pengobatan kusta, maka orang-orang yang mengangapnya sebagai panutan akan cenderung untuk mengikutinya dan demikian juga sebaliknya. Berhasil atau tidak suatau program pemerintah khususnya program pengobatan kusta tidak cukup hanya dengan tersedianya obat dan logistic lainnya, tetapi juga diperlukan petugas kesehatan yang berdedikasi, dukungan lintas program dan lintas sektoral serta yang tidak kalah pentingnya adalah dukungan atau peran serta masyarakart agar tujuan program pengobatan kusta tercapai sesuai dengan yang diharapkan maka dukungan dari berbagai pihak di wilayah Puskesmas sangat dibutuhkan baik dari tokoh masyarakat, tokoh agama, guru, LSM, serta kelompok-kelompok khususnya lainnya yang berada di wilayah tersebut. Notoatmodjo (2007) menyebutkan bahwa faktor yang berpengaruh terhadap perilaku kesehatan selain adanya dukungan dari keluarga juga adanya dukungan dari tokoh masyarakat di sekitarnya.

28

Dukungan dari Petugas Kesehatan. Menurut Nur (2004) kerjasama dan penyuluhan dari petugas kesehatan sangat diperlukan sebagai contoh/acuan dalam melakukan tindakan kesehatan. Peran petugas kesehatan mempunyai pengaruh terhadap perilaku ibu dalam kaitannya dengan pencegahan penyakit pneumonia. Menurut Sarfino dalam Smet (1994), dukungan petugas kesehatan merupakan dukungan sosial dalam bentuk dukungan informatif, di mana perasaan subjek bahwa lingkungan memberikan keterangan yang cukup jelas mengenai hal-hal yang diketahui. Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam kesehatan serta memiliki pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan (Kepmenkes RI, 2005). Dari uraian di atas, disimpulkan bahwa dukungan petugas kesehatan adalah dukungan yang diberikan oleh petugas kesehatan dalam melakukan upaya kesehatan baik itu berupa penyuluhan, saran dan tindakan petugas kesehatan dalam memberikan pelayanan kepada ibu. Dukungan keluarga Keluarga merupakan sebagai lembaga sosial yang mempunyai fungsi tradisional keluarga seperti fungsi sosial ekonomi, karena sebagian hasil kerja yang dilakukan di dalam atau di luar rumah dikelola dalam keluarga, yang ditunjukkan dengan adanya pembentukan kerabat, keturunan dan hubungan sosial melalui keluarga dan fungsi proses pendidikan termasuk di dalamnya penanaman nilai dan ideologi kepada anggota keluarga, oleh karena itu penangan yang baik terhadap persoalan keluarga akan memberikan kontribusi yang positif bagi upaya kesehatan para anggotanya (Notosoedirdjo&Latipun, 2005). Orang-orang yang mendapat perhatian dan penghiburan maupun pertolongan dari keluarganya cenderung lebih mudah mengikuti nasehat medis, karenanya peranan keluarga sangat besar bagi penderita dalam mendukung perilaku atau tindakan dalam memamfaatkan pelayanan kesehatan. Menurut hasil penelitian Rachmalina dan Sunanti (2004) di Kabupaten Bangkalan peran anggota keluarga membantu penderita kusta teratur minum obat.

29

BAB III LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Penderita Nama Jenis kelamin Umur /Tanggal lahir Pendidikan Alamat : An. RA : Laki - laki : 4 tahun/ 7 Maret 2008 : TK Kecil : Sidigede RT/RW 004/001, Welahan

Identitas Orang Tua Nama ayah Umur Pendidikan Pekerjaan Alamat : Tn. NK : 32 tahun : SMP : Wiraswasta : Sidigede RT/RW 004/001, Welahan

Nama ibu Umur Pendidikan Pekerjaan Alamat

: Ny. PM : 20 tahun : MTS : Wiraswasta : Sidigede RT/RW 004/001, Welahan

3.2 Data Dasar Anamnesis (Alloanamnesis) Anamnesis diperoleh dari orangtua pasien. a. Keluhan Utama :sesak nafas b. Riwayat Penyakit Sekarang : 1 minggu penderita batuk, hilang timbul, terutama pada malam hari, disertai pilek, ingus putih kental, sesak (-), panas nglemeng (+), keringat malam hari (-), menggigil (-), muntah (-). Penderita dibawa berobat ke bidan, oleh bidan diberi obat puyer namun tidak ada perubahan. 3 hari batuk semakin berat dan semakin sering, disertai panas tinggi, terus menerus, menggigil (-), muntah (-), batuk ngekel, sesak (-), rewel, mencret (+), 5 30

kali/ hari, @ 2-3 sendok makan, warna kuning, cair, ampas (+), darah (-), lendir (-), nyemprot (-), bau asam (-), mata cekung (-). Oleh ibu penderita diberi obat dari bidan namun tidak membaik. 1 hari batuk semakin berat, ngekel, anak tampak sesak, sesak dirasakan terus menerus, tidak dipengaruhi oleh aktivitas, mengi (-), biru biru (-), bengkakbengkak(-). Mencret sudah berhenti, anak rewel, masih mau minum sedikit sedikit, kencing seperti biasa, warna kuning jernih, jumlah cukup. Kemudian penderita dibawa ke Puskesmas Welahan 2. c. Riwayat Penyakit Dahulu Anak sudah pernah sakit seperti ini (sering kambuh-kambuhan sejak usia 1 tahun) Penyakit yang sering diderita batuk, pilek Riwayat panas nglemeng, nafsu makan menurun dan keringat dingin malam hari serta riwayat berat badan tidak naik disangkal Riwayat kontak dengan penderita batuk lama atau batuk disertai darah disangkal Riwayat sesak nafas jika udara dingin, terkena debu dan bulu hewan disangkal Riwayat alergi terhadap makanan dan obat-obatan disangkal

d. Riwayat Penyakit Keluarga Tidak ada anggota keluarga yang sakit seperti ini Riwayat asma pada anggota keluarga tidak ada Riwayat anggota keluarga dan tetangga yang menderita batuk lama dan disertai darah disangkal Pohon keluarga

Keterangan : : Penderita

31

e. Riwayat Penyakit yang Pernah Diderita Morbili Pertusis Varisela Difteri Malaria Tetanus Fraktur Pneumoni Bronkhitis Kejang : belum pernah : belum pernah : belum pernah : belum pernah : belum pernah : belum pernah : belum pernah : belum pernah : belum pernah : belum pernah Diare Disentri basiler : (-) : belum pernah

Disentri amoeba : belum pernah Demam tifoid Cacingan Operasi Tuberkulosis : belum pernah : belum pernah : belum pernah : belum pernah

Alergi obat/makanan : belum pernah Demam berdarah : belum pernah Hepatitis :belum pernah

Pilek dan batuk: (+)

f. Riwayat Perinatal Saat mengandung penderita, ibu periksa kehamilan di bidan lebih 4x, dan disuntik TT 1 x. Riwayat penyakit selama kehamilan disangkal, riwayat perdarahan saat kehamilan disangkal. Riwayat pernah keguguran disangkal, riwayat sakit panas selama kehamilan disangkal. Obat-obatan yang diminum selama kehamilan yaitu vitamin dan tablet penambah darah dari bidan.

g. Riwayat persalinan dan kehamilan Anak laki - laki lahir dari ibu berusia 20 tahun, hamil aterm (9 bulan), lahir secara spontan ditolong oleh bidan, bayi langsung menangis, tidak ada biru-biru, tidak ada cacat lahir, berat lahir 2800 gram, panjang badan dan lingkar kepala saat lahir ibu lupa. No 1 Kelahiran dan Persalinan Umur Meninggal Penyebab meninggal

Laki-laki, aterm, spontan, di 4 tahun bidan, 2800 gram

h. Riwayat Pemeliharaan Postnatal Setelah lahir, anak di periksakan di balai kesehatan desa dan bidan, dinyatakan sehat

32

i. Riwayat Imunisasi : - BCG - DPT - Polio - Hep. B - Campak : 1 kali, (1 bulan, scar (+)) : 3 kali, ( 2, 4, 6 bulan ) : 4 kali, ( 0, 2, 4, 6 bulan) : 3 kali, ( 1, 4, 6 bulan ) : 1 kali, ( 9 bulan )

Kesan : imunisasi dasar lengkap sesuai umur

j. Riwayat Perkembangan dan Pertumbuhan Anak Pertumbuhan Berat badan lahir 2800 gram, panjang badan lahir ibu lupa, berat badan bulan lalu kg, berat badan sekarang 13,5 kg, tinggi badan sekarang 101 cm. Usia saat ini 4 tahun. Berdasarkan status antropometri WHO anthro, sebagai berikut:

WHZ score

33

WAZ score

HAZ score

Kesan : Gizi baik dan perawakan normal

Perkembangan Senyum Miring Tengkurap Duduk Gigi keluar Merangkak Berdiri Berjalan : 2 bulan : 3 bulan : 4 bulan : 5 bulan : 7 bulan : 9 bulan : 11 bulan : 13 bulan

Kesan: Perkembangan sesuai umur 34

k. Riwayat Makan dan Minum anak a. ASI b. Susu formula : diberikan sejak lahir hingga anak usia 2 tahun : 2 tahun sekarang kadang diberikan susu formula, @120cc, 4 sendok takar, kadang tidak habis c. Makanan sapihan Usia 4 bulan Usia 8 bulan :

: anak diberikan bubur instan, 2 X @ 2-3 sendok teh, kadang habis : nasi uleg 3x sehari, @ mangkok, kadang habis (tahu, tempe. sayur)

Usia 12 bulan sekarang : makanan padat seperti orang dewasa, 1 piring kecil, (tahu, tempe, sayur, ikan) Kesan: ASI tidak exclusive, penyapihan dini (+) Kualitas kurang, kuantitas cukup

l. Riwayat Keluarga Berencana Ibu pasien memakai KB suntik. Sikap terhadap KB yang dipilih adalah yakin dan percaya.

m. Riwayat Sosial Ekonomi Kedua orangtua pasien bekerja sebagai wiraswasta. Penghasilan sebulan Rp 900.000,-. Tanggungan satu anak belum mandiri. Biaya pengobatan ditanggung Jamkesmas.
Kriteria Sosial Ekonomi menurut BPS (Badan Pusat Statistik) 1. Jumlah anggota keluarga (3) 2. Luas lantai bangunan : a. < 8 m2 per kapita b. > 8 m2 per kapita 3. Jenis lantai bangunan tempat tinggal terluas : a. Bambu/ rumbia/ kayu berkualitas rendah/ tembok tanpa diplester b. Semen/ keramik/ kayu berkualitas tinggi 4. Jenis dinding bangunan tempat tinggal terluas : a. Bambu/ rumbia/ kayu berkualitas rendah b. Tembok/ kayu berkualitas tinggi 5. Fasilitas untuk buang air besar : a. Bersama/ umum/ lainnya b. Sendiri 6. Sumber air minum : a. Sumur atau mata air tak terlindungi/ sungai/ air hujan (skor : 1) (skor : 0) (skor : 0) (skor : 0) (skor : 0)

35

b. Air kemasan/ledeng/pompa/sumur atau mata air terlindungi 7. Sumber penerangan utama : a. Bukan listrik b. Listrik (PLN/non PLN) 8. Jenis bahan bakar untuk memasak sehari-hari : a. Kayu/ arang/ minyak tanah b. Gas/ listrik

(skor : 0)

(skor : 1)

(skor : 0)

9. Berapa kali dalam seminggu rumah tangga membeli daging/ susu/ ayam : a. Tidak pernah membeli/ satu kali b. Dua kali atau lebih 10. Berapa kali sehari biasanya rumah tangga makan : a. Satu kali/ dua kali b. Tiga kali atau lebih 11. Berapa stel pakaian baru dalam setahun biasanya dibeli oleh/ untuk setiap/ sebagian besar anggota keluarga : a. Tidak pernah membeli/ satu kali b. Lebih dari satu kali 12. Apabila ada anggota keluarga yang sakit apakah mampu berobat ke Puskesmas atau Poliklinik : a. Ya b. Tidak 13. Lapangan pekerjaan utama kepala rumah tangga : a. Tidak bekerja/ pertanian padi/ palawija b. Perkebunan/ peternakan/ perikanan/ industri/ perdagangan/ angkutan/ jasa lainnya (skor : 1) 14. Pendidikan tertinggi yang ditamatkan kepala keluarga : a. SD/ MI ke bawah/ SLTP b. SLTA ke atas (skor : 0) (skor : 1) (skor : 0) (skor : 1) (skor : 0)

15. Apakah keluarga memiliki barang-barang berikut yang masing-masing bernilai paling sedikit Rp 500.000,- : a. Tidak ada b. Tabungan/emas/TV berwarna/ternak/sepeda motor (skor : 1)

16. Apakah rumah tangga pernah menerima kredit UKM/KUKM setahun lalu? a. Tidak b. Ya (skor: 0)

Jumlah skor : 6

36

Kriteria BPS: Jumlah skor <10 = miskin, jumlah skor 10 = tidak miskin. Keluarga ini termasuk dalam keluarga tidak miskin menurut kriteria BPS. Kesimpulan : Keluarga miskin menurut BPS.

3.3 Pemeriksaan Fisik Dilakukan pada tanggal 8 September 2012 pukul 12.00 WIB. Laki - laki, 4 tahun, BB: 13,5 kg, TB: 101 cm Kesan Umum Tanda vital HR RR Suhu Status Internus Turgor Tonus Rambut Kulit Edema Serebral Kepala Mata : kembali cepat : normotonus : hitam, tidak mudah dicabut : ikterik (-), sianosis (-), anemi (-) :: kejang (-) : Mesocephal : konjungtiva palpebra anemis (-), pupil isokor 3mm/3mm, refleks kornea, bulu mata, dan cahaya normal Telinga Hidung Mulut Gigi geligi Leher Tenggorok Dada Pulmo Inspeksi : discharge (-). : nafas cuping (-), discharge (+) : mukosa kering (-), bibir sianosis (-) : karies (-) : pembesaran kelenjar limfe leher (-) : T1-1 hiperemis (-), faring hiperemis (-) : Simetris statis dinamis, retraksisuprasternal (-) : : simetris statis dinamis, retraksisuprasternal (-), interkostal barrel chest (-), pectus carinatum/excavatus (-) Palpasi Perkusi : Stem fremitus kanan = kiri : Sonor seluruh lapangan paru 37 (-), : 115 x / menit, nadi : reguler, isi dan tegangan cukup : 32x / menit : 37,2C (Aksiler) : Sadar, kurang aktif, napas spontan (+)

Auskultasi

: Suara dasar

: vesikuler

Suara Tambahan : Ronkhi basah halus +/+; Hantaran +/+ RBH (+) Hantaran (+)

Jantung Inspeksi Palpasi

: : Iktus kordis tidak tampak : Iktus kordis teraba sela iga ke IV 2 cm sebelah medial linea medioclavikula sinistra, tidak kuat angkat, tidak melebar. Perkusi : Konfigurasi jantung dalam batas normal : BJ I-II murni, M1>M2, A1<A2, P1<P2, Bising (-), Gallop(-). : : datar, lemas, bising usus (+) N : supel,hepar tak teraba, lien tak teraba : pekak sisi (+) normal, pekak alih (-)

Auskultasi Abdomen Inspeksi Palpasi Perkusi

Auskultas: bising usus (+) normal. Ekstremitas superior Sianosis Akral dingin Capillary refill Pucat Tonus Klonus Kekuatan otot 5/5/5 -/-/<2 -/+N/+N inferior -/-/ <2 -/+N/+N -/5/5/5

Kelenjar getah bening : Tidak terdapat pembesaran kelenjar limfe di leher, aksila maupun inguinal Genital : Laki - laki, phimosis (-) 38

Pemeriksaan Penunjang SKOR TB


NO 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Kontak TB Uji tuberkulin Berat badan / gizi Demam yang tidak diketahui penyebabnya Batuk kronik Pembesaran KGB colli, axilla, inguinal Pembengkakan sendi / tulang, panggul, falang Foto thorax TOTAL SKOR 0 0 0 0 0 0 -

3.3 Diagnosis Kerja - Diagnosa Utama - Diagnosa Comorbid - Diagnosa Komplikasi - Diagnosa Pertumbuhan - Diagnosa Gizi - Diagnosa Perkembangan - Diagnosa Imunisasi - Diagnosa Sosial-Ekonomi : Pneumonia ::: Berat Badan Normal, Perawakan : Gizi baik : Perkembangan sesuai umur : Imunisasi dasar lengkap, sesuai umur : Sosial ekonomi kurang Normal

3.4 Penatalaksanaan Medikamentosa: Rx : - Kotrimoksazol syrup 2x10ml - Paracetamol syrup 3x 7,5ml - vitamin B kompleks 3 x tablet - vitamin C 3 x tablet Mx : Evaluasi keadaan umum, tanda distress respirasi, jaga jalan napas, follow up respon terhadap pengobatan Ex : o Menjelaskan kepada orangtua mengenai penyakit yang diderita dan pengenalan tanda-tanda bahaya dari penyakit pneumonia yang diderita anak 39

o Menjelaskan kepada orangtua mengenai perlunya menjaga status gizi dan asupan nutrisi agar dapat meningkatkan status imunitas penderita o Menjelaskan kepada orangtua mengenai faktor resiko terjadinya pneumonia, dan menganjurkan untuk menghindari faktor resiko tersebut o Menjelaskan pada orang tua agar selalu menjaga kebersihan lingkungan rumah dan membiasakan membuka jendela rumah pada siang hari untuk sirkulasi o Memotivasi orang tua agar membawa anak untuk kontrol ke bidan maupun puskesmas guna memantau kemajuan anak.

3.5 HASIL KUNJUNGAN RUMAH Kunjungan rumah tanggal 8 September 2012 Keadaan Rumah Status Ukuran Teras rumah Halaman rumah Dinding rumah Lantai rumah Ruangan : Rumah milik kakek-nenek penderita, penghuni 6 orang : 12 m x 7 m : ada : ada (halaman depan dan belakang) : sebagian kayu, dan sebagian tembok bata : tanah : 3 kamar tidur @ berukuran 3m x 3m, 1 ruang tamu, 1 dapur, 1 kamar mandi, 1 ruang kerja Ventilasi Pencahayaan : ada, kurang memadai ( 1m x 0,5m) : pencahayaan kurang, ruang tidur tidak memiliki jendela, jendela di ruang tamu jarang di buka , sinar matahari tidak dapat masuk ke setiap ruangan dalam rumah Kebersihan Sumber : kurang, membersihkan rumah (1 kali sehari) : air sumur, jumlah air cukup, air dipergunakan untuk minum, mandi, memasak dan mencuci

Kebiasaan Sehari-hari Asuh : Kedua orangtua penderita bekerja sebagai wiraswasta, lokasi bekerja di rumah. Perawatan pasien sehari- hari oleh ayah, ibu, kakek, dan nenek.

40

Bila sakit penderita berobat ke Puskesmas atau bidan. Jarak Puskesmas terdekat dari tempat tinggal 500 m, dijangkau dengan berjalan kaki. Keinginan anak dipenuhi jika ada uang. Asih: Kasih sayang diberikan oleh ibu, ayah, saudara sepupu, kakek, dan nenek. Asah: Stimulasi mental diperoleh terutama dari ayah dan ibu yang berpendidikan tamat SMP dan Madrasah. Bermain dengan saudara sepupu yang berusia 10 tahun yang masih sekolah. Alat bermain: sepeda, mobil-mobilan, dan lain-lain

Penderita saat ini sekolah kelas TK kecil, kedua orangtua penderita bekerja sebagai wiraswasta di rumah. Penderita tinggal bersama ayah, ibu, sepupu, kakek, dan nenek penderita. Makanan dan minuman dimasak sebelum dimakan. Sumber air minum dari air sumur. Alat makan dicuci dengan sabun. Mandi dua kali sehari dengan sabun mandi. Rumah dibersihkan sekali sehari, sampah dibuang di halaman belakang rumah dan dibakar. Jika ada keluarga yang sakit maka langsung berobat ke Puskesmas atau bidan.

Lingkungan Rumah penderita terletak di Desa Sidigede, terletak di perkampungan yang berpenduduk cukup padat. Rumah berjarak + 1 meter dengan tetangga, memiliki teras, memiliki halaman depan dan belakang, keadaan sekitar kurang bersih dan selokan mengalir dengan lancar. Rumah penderita berdinding tembok bata dan sebagian kayu, jendela kurang sehingga ventilasi dan pencahayaan kurang. Kamar mandi dan WC tidak menyatu dalam rumah. Penghuni rumah 6 orang Kesan : ukuran rumah kurang memadai bagi penghuni, kondisi bangunan rumah dan kebersihan kurang baik, ventilasi dan pencahayaan kurang, kebiasaan sehari-hari cukup, lingkungan sekitar rumah cukup padat.

41

DENAH RUMAH Halaman Belakang KM & WC TCP Kamar tidur 1 Kamar tidur 2 Kamar tidur 3

Dapur

Ruang tamu

Ruang kerja

Teras Depan

BAB III

42

BAB IV PEMBAHASAN

Pada anamnesis pneumonia, biasanya didahului dengan infeksi saluran pernapasan bagian atas selama beberapa hari. Panas tinggi biasanya 39 - 40C, sehingga dapat terjadi kejang pada individu tersebut. Selain itu penderita biasanya berkeringat dan menggigil. Anak sangat gelisah, sesak napas, napas cepat dan dangkal serta napas cuping hidung, pernapasan dari mulut disertai nyeri dada sehingga penderita memfiksir dada yang sakit.Penderita juga batuk-batuk, kadang-kadang disertai muntah dan diare. Batuk mula-mula kering, kemudian menjadi produktif sebagai produk mukopurulen dari proses radang yang terjadi. Hasil pemeriksaan fisik pada pneumonia tergantung dari luas daerah yang terkena proses infamasi. Biasanya didapatkan batuk, napas cepat, sesak napas, napas cuping hidung, retraksi suprasternal/ retraksi epigastrial, takikardi, lemah, sianosis sekitar mulut dan hidung serta panas tinggi.Pada perkusi dada sering tidak didapatkan kelainan dan pada auskultasi didapatkan ronkhi basah halus nyaring. Bila sarang pneumonianya menjadi satu, mungkin pada perkusi terdengar keredupan, suara pernapasan terdengar mengeras, pada auskultasi didapatkan ronkhi basah halus nyaring. Jika didapatkan tanda-tanda sumbatan saluran napas bagian bawah berupa wheezing ekspirator dan eksperium yang memanjang maka disebut pneumonia dengan komponen asmatik. Hepar dapat terdorong kebawah atau dapat membesar. Bila terjadi komplikasi gagal jantung kongestif maka didapatkan hepar membesar dengan tepi tumpul disertai dengan frekuensi napas > 60 x/menit dan nadi 160 x/menit.5,6 Pada kasus ini, dari anamnesis didapatkan bahwa penderita mengalami riwayat batuk pilek sebelumnya disertai panas nglemeng selama 1 minggu, 3 hari panas terus-menerus, sesak nafas, dan pernafasan cepat. Sedangkan dari pemeriksaan fisik didapatkan sesak nafas, tidak sianosis, auskultasi suara dasar vesikuler dengan suara tambahan hantaran dan ronki basah halus nyaring. Sakit yang seperti ini sering kambuh-kambuhan dialami penderita sejak berumur 1 tahun. Orangtua pasien sering memeriksakan ke bidan desa dan puskesmas. Diagnosis pasien ini dibedakan dari bronkiolitis karena pada bronkiolitis pada anamnesis biasanya didahului infeksi saluran nafas, disertai batuk, pilek, tanpa kenaikan suhu atau dengan panas tidak tinggi (subfebril).Adanya sesak nafas yang makin hebat, pernafasan yang cepat dan dangkal dan disertai serangan batuk.Dari pemeriksaan fisik didapatkan sesak nafas, nafas cepat dan dangkal. Terlihat juga nafas cuping hidung disertai retraksi intercostal dan suprasternal, anak gelisah dan sianotik. Pada pemeriksaan paru didapatkan hipersonor, 43

ekspirium diperpanjang, wheezing, ronki basah halus nyaring kadang terdengar pada akhir ekspirasi. Pada pasien ini dapat diusulkan untuk melakukan x-foto lateral untuk melihat gambaran hiperaerasi dan pembesaran diameter anteroposterior. Pneumonia dapat disebabkan oleh kuman non spesifik maupun kuman spesifik seperti Mycobacterium tuberculosis. Gejala klinik pada pneumonia karena proses spesifik tidak khas, tetapi pada umumnya didapatkan keluhan badan lemah, kehilangan nafsu makan, berat badan sulit naik bahkan menurun, panas sub febril yang berlangsung lama. Bila gejala tersebut diperkuat dengan adanya riwayat kontak dengan penderita tuberculosa maka dugaan anak tersebut terinfeksi Mycobacterium tuberculosis semakin kuat. Pemeriksaan fisik paru sering tidak menunjukkan kelainan meskipun daerah perifokal luas. Dapat ditemukan manifestasi tuberkulosis ekstra torakal misalnya konjungtivitis fliktenularis, skrofuloderma, benjolan pada tulang punggung, selangkangan dan lutut, manifestasi pada tulang, dan tanda meningitis tuberkulosa seperti penurunan kesadaran, kejang, kaku kuduk, rangsang meningeal dan defisit neurologis. Pemeriksaan penunjang yang penting adalah tes PPD5TU. Tes BCG biasanya dilakukan bila dicurigai atau pada keadaan anergi. Jumlah leukosit yang meninggi, monosit yang relatif tinggi dan laju endap darah yang meningkat akan menyongsong diagnosis. Sedangkan pemeriksaan foto rontgen toraks memberi gambaran pembesaran kelenjar para trakeal, penyebaran milier, bronkogen, atelektasis atau efusi pleura. Gold standart adalah ditemukan kuman gram positif tahan asam berbentuk batang pada pemerksaan bakteriologis dengan pengecatan Ziehl Nielsen. Keluhan badan lemah, kehilangan nafsu makan, berat badan sulit naik bahkan menurun, panas sub febril yang berlangsung lama, serta riwayat kontak dengan penderita tuberkulosa pada anak ini disangkal. Penderita pun telah mendapat imunisasi BCG satu kali ketika berumur 1 tahun. Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan ekstra torakal dan intra torakal yang mengarah ke diagnosis pneumonia yang disebabkan mycobacterium tuberculosa. Prinsip pengelolaan pendetita sebaiknya dilakukan secara komprehensif, meliputi aspek kuratif, promotif, preventif, dan rehabilitatif yang pelaksanaannya disesuaikan dengan kondisi penderita saat ini. Upaya promotif dan preventif dilakukan agar tidak ada penularan dan tidak mengalami komplikasi, sedang upaya kuratif dan rehabilitatif dilakukan agar penderita sembuh. Antibiotik diberikan pada penderita pneumonia berdasarkan umur, keadaan umum penderita dan dugaan penyebab sebagai terapi inisial secara empiris. Untuk menurunkan

44

panas diberikan Paracetamol dengan dosis 1015 mg/kgBB sekali pemberian serta pemberian ambroksol untuk mengencerkan lendir sehingga mudah dikeluarkan. Pada pasien ini, pengelolaan pneumonia dengan pemberian antibiotika berupa kotrimoksazol syrup 2x10ml injeksiampisilin 4 x 125 mg. Untuk penurun panas pada pasien ini diberikan paracetamol syrup 3x7,5ml bila panas dan sebagai roboransia diberikan vitamin B kompleks 3 x tablet dan vitamin C 3 x tablet. Meskipun termasuk dalam gizi baik, anak tersebut juga memerlukan pengelolaan di bagian gizi di samping pengobatan bronkopnemonia yang sedang dijalaninya. Pada infeksi akut yang disertai kenaikan suhu tubuh, penderita memerlukan tambahan energi, protein, air dan elektrolit. Sebaliknya nafsu makan mereka sangat berkurang sehingga makanan yang biasa dimakan ditolak. Penyakit pnemonia yang sifatnya akut biasanya tidak berlangsung lama, maka tidak perlu memaksa anak untuk menghabiskan jumlah makanan yang telah ditentukan atas dasar kebutuhannya. Makanan sebaiknya diberikan sering kali dalam jumlah yang sedikit setiap kalinya, akan tetapi jumlah air harus dipenuhi. Dapat juga diberikan tambahan air buah seperti jus jeruk dan sebagainya. Dari segi preventif upaya pencegahan yang dapat dilakukan yaitu pencegahan primer, sekunder dan tertier. Pencegahan primer merupakan tingkat pencegahan awal untuk menghindari risiko tertular. Pencegahan sekunder untuk deteksi dini penyakit sebelum penyakit menimbulkan gejala yang khas dan pengobatan penderita untuk memutus mata rantai. Pencegahan tertier dengan melakukan tindakan klinis untuk mencegah kerusakan lebih lanjut atau mengurangi komplikasi setelah penyakit tersebut diketahui. Upaya pencegahan tersebut dapat dilakukan dengan menjaga keadaan gizi agar tetap baik, immunisasi, menjaga kebersihan prorangan dan lingkungan dengan memperhatikan kriteria rumah sehat, mencegah anak berhubungan dengan penderita pneumonia. Dalam upaya promotif dilakukan berupa penyuluhan yang bertujuan untuk merubah kebiasaan yang kurang baik dalam masyarakat agar berperilaku sehat dan ikut serta berperan aktif dalam bidang kesehatan. Upaya promotif dan preventif kepada keluarga dan tetangga penderita, dan masyarakat,, yaitu dengan memberikan penyuluhan tentang pneumonia. Penyuluhan yang diberikan tentang penyakit pneumonia adalah proses peningkatan pengetahuan, kemauan dan kemampuan masyarakat yang belum menderita sakit sehingga dapat memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatannya dari penyakit pneumoia. Langkah-langkah yang bisa dicapai dalam melakukan upaya promotif dan preventif ini antara lain:

45

Melakukan supervisi dan memberikan bimbingan penatalaksanaan standar kasuskasus pneumonia kepada perawat atau paramedis

Melakukan pemeriksaan pengobatan kasus- kasus pneumonia berat/ penyakit dengan tanda-tanda bahaya yang dirujuk oleh perawat/ paramedis dan merujuknya ke rumah sakit bila dianggap perlu

Memberikan pengobatan kasus pneumonia berat yang tidak bisa dirujuk ke rumah sakit

Bersama dengan staff puskesmas memberi kan penyuluhan kepada ibu-ibu yang mempunyai balita perihal pengenalan tanda-tanda penyakit pneumonia serta tindakan penunjang di rumah,

Melatih semua petugas kesehatan di wilayah puskesmas yang diberi wewenang mengobati penderita penyakit penumonia

Melatih kader untuk bisa, mengenal kasus pneumonia serta dapat memberikan penyuluhan terhadap ibu-ibu tentang penyakit tersebut,

Memantau

aktifitas

pemberantasan

dan

melakukan

evaluasi

keberhasilan

pemberantasan penyakit pneumonia. Mendeteksi hambatan yang ada serta menanggulanginya termasuk aktifitas pencatatan dan pelaporan serta pencapaian target. Menganjurkan memberikan makanan yang mengandung gizi yang cukup yang meliputi karbohidrat, protein, dan lemak untuk penderita Menasehatkan supaya selalu menjaga kebersihan diri dan lingkungan terutama lingkungan rumah antara lain dengan menambah ventilasi agar sirkulasi udara lancar. Dalam upaya rehabilitatif perlu dilakukan langkah untuk menganjurkan agar anak selalu diperiksakan kesehatannya secara rutin di Posyandu atau Puskesmas setiap bulan untuk memantau kesehatan, pertumbuhan, dan perkembangan anak, serta menjalankan terapi. Selain itu, dapat pula memberikan nasehat kepada orang tua penderita untuk secara optimal berusaha mencukupi kebutuhan dasar anak untuk mencapai tumbuh kembang optimal yang meliputi : Asuh : memenuhi kebutuhan akan pangan/gizi, papan/pemukiman yang layak, perawatan kesehatan dasar antara lain :imunisasi, penimbangan anak yang teratur dan pengobatan kalau sakit. Asih : memberikan kasih sayang dan perhatian pada penderita supaya pengobatan berjalan sampai tuntas dan mencegah berulangnya penyakit.

46

Asah : memberikan stimulasi mental psikososial dengan alat pengasah edukatif yang dapat berupa gambar dan suara.

Dalam menangani penyakit pneumonia pada balita, maka puskesmas Welahan 2 melalui program P2M telah melakukan beberapa upaya kuratif, promotif, preventif maupun rehabilitatif seperti : Penanganan kasus penumonia sesuai standar yang ada Merujuk kasus-kasus pneumonia berat Melakukan pelaporan dan pencatatan kasus pneumonia yang baru dan lama secara berkala Melakukan kunjungan rumah (2 hari setelah menerima pengobatan) dalam rangka follow up penderita, melihat respon pengobatan, menentukan langkah penanganan selajutnya Melakukan penyuluhan mengenai pneumonia bersama dengan penyuluhan P2M yang lain Prognosis penderita pneumonia secara mum tergantung dari ada tidaknya komplikasi selain faktor usia, status gizi, kecepatan dan ketepatan pengobatan yang diberikan. Dengan pemberian antibiotika yang tepat secara dini dan pemberian diet yang tepat mortalitas penyakit dapat diturunkan. Prognosis penderita ini untuk kehidupan (quo ad vitam) adalah ad bonam karena pasien mendapat penanganan segera, prognosis terhadap kesembuhan (quo ad sanam) adalah ad bonam karena status gizi anak baik. Prognosis terhadap fungsi paru (quo ad fungsionam) adalah dubia ad bonam, karena status gizi anak yang baik dapat mempercepat penyembuhan dan mengembalikan fungsi paru semula tetapi karena anak juga menderita asma episodik sering, maka dapat terjadi penurunan fungsi paru.

47

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru yang sering disebabkan oleh bakteri patogen seperti Streptococcus pneumoniae, Moraxella catharalis, Haemofilus Influenza, Micoplasma pneumoniae, Chlamydia pneumoniae. Sedangkan penyebab dari golongan virus antara lain Respiratory Syncytial Virus, Influenzae virus A dan B. Pneumonia dapat terjadi karena adanya faktor ekstrinsik yang meliputi ventilasi rumah, kepadatan hunian, pencemaran udara dalam rumah, lingkungan tumbuh sang anak, pendidikan ibu balita, pengetahuan ibu balita, pendapatan keluarga, kondisi sosial ekonomi orangtua, dan kebersihan, sedangkan faktor intrinsik dari pneumonia antara lain umur balita, jenis kelamin balita, status gizi, riwayat persalinan, dan konsumsi ASI. Diagnosis klinis pneumonia dapat ditegakkan dengan adanya batuk, sesak napas atau ronki dan distres respirasi, namun penelitian menunjukkan bahwa prediktor terbaik adalah takipnu. Klasifikasi World Health Organization (WHO) mengenai pneumonia pada balita dapat dipakai untuk menentukan tingkat keparahan dan langkah penanganan segera oleh petugas kesehatan. Prinsip pengelolaan penderita pneumonia pada balita dilakukan secara komprehensif dan holistik, meliputi upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Upaya promotif dan preventif dilakukan agar tidak ada penularan dan tidak mengalami komplikasi lanjut, sedang upaya kuratif dan rehabilitatif dilakukan agar penderita sembuh dan dapat mencapai tumbuh kembang yang optimal.

5.2 Saran Perlu adanya upaya promotif dan preventif kepada keluarga dan tetangga penderita serta masyarakat, yaitu dengan memberikan penyuluhan untuk mengenal tanda-tanda pneumonia, faktor resiko, bahaya penyakit pneumonia, dan langkah-langkah yang harus dilakukan jika anak dicurigai menderita pneumonia. Perlu adanya langkah-langkah promotif dan preventif secara edukatif dan persuasif untuk pencapaian kriteria rumah sehat maupun perilaku hidup sehat dan bersih agar tidak menyebabkan penyakit Pembentukan kader P2M dan pembinaan secara berkala kepada kadernya dalam rangka membantu deteksi dini penyakit pneumonia.

48

DAFTAR PUSTAKA

1. Retno A.S, Landia S, Makmuri MS. Pneumonia. Naskah LengkapContinuingEducation Ilmu Kesehatan Anak; 2006 2. Behrman RE, Kleigman,Arvin,Nelson WE. Nelson. Ilmu kesehatan anak edisi ke-1. Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2000 : 883-4 3. Sidhartani ZM. Pneumonia pada Anak. Dalam : Peranan dan penatalaksanaan pada infeksi saluran napas. Semarang : Hoechst Mosion Rusel, 1998, 1-8. 4. Rodriguez JAG, Martinez MJF. Dynamics of Nasopharyngeal Colonization By Potential Respiratory Pathogen. Journal Antimicrobial Chemotherapy. 2002; 50 : 59 73. 5. Trastenojo MS, Sidhartani : Pulmonologi Dalam : Pedoman Pelayanan Medik Anak RSDK / Fk UNDIP Semarang : Laboratorium FK UNDIP / UPF Kesehatan Anak RSDK, 1989 : 30 97 6. Rachmatullah P. Ilmu Penyakit Paru Buku II. Semarang : Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNDIP, 1993 : 1 24 7. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Jakarta,1991: 1228-39. 8. Starke JR. Tuberkulosis. Dalam:Nelson Texbook of Pediatrics 15thed. WB Saunders Company, Philadelphia, Pennsylvania. 1996:1028-43. 9. Sidhartani M. Epidemiologi Community Acquired Pneumonia Pada Anak. Kumpulan Makalah Simposium Respirologi Anak Masa Kini : 11 12 Desember 1998 : Bandung. Bandung Bagian IKA FK UNPAD, 1998 11 14. FK UI. Ilmu Kesehatan Anak Jilid 3.

49

Anda mungkin juga menyukai