Anda di halaman 1dari 3

Mengapa Korupsi Tumbuh Subur di Indonesia

Pertanyaan besar yang patut kita ajukan berkaitan dengan masalah korupsi di Indonesia ialah mengapa korupsi tumbuh subur di Inedonesia?. Tak dapat dipungkiri lagi dan semua orang tahu kalau praktik korupsi sudah terjadi dan terwariskan dari generasi ke generasi, bahkan mungkin tak sedikit pula orang yang pura-pura tidak tahu akan hal ini. Ya, itulah korupsi di Indonesia. Praktik korupsi agaknya merupakan sebuah kebiasaan yang telah membudaya dan ada pada setiap lapisan birokrasi di Indonesia. Dalam ranah akademis, ketika bkita berbicara mengenai sebuah fenomena sosial yang terjadi dalam sebuah masyarakat, sering kita dituntut untuk memakai sebuah kacamata yang dalam hal ini sering disebut bingkai atau prespektif tertentu. Artinya segala sesuatu yang ingin kita jelasakan harus mempunyai dasar pemikiran dan pandangan dengan berbagai variasi dari bagaimana kita ingin menjelaskan fenomena tersebut. Secara historis, praktik korupsi merupakan sebuah kebiasaan yang membudaya mulai dari tiga tahap atau fase mayor yang ada pada sejarah bangsa ini. Dalam hal ini, kemudian saya sebut sebagai tiga tahap dalam fase praktik korupsi yang ada di Indonesia. Yaitu fase pertama pada zaman kerajaan kuno, fase kedua pada zaman penjajahan, dan fase yang ketiga pada zaman moderen atau zaman yang sering kita sebut semagai zaman yang global.

Fase pertama, Pada zaman kerajaan-kerajaan kuno. Berbicara mengenai korupsi, tntu tidak dapat terelakkan dari priktek-priktek yang bisa dikatakan satu paket dengan praktik korupsi itu sendiri. Yang saya maksud disini ialah ketika kita berbicara mengenai korupsi, tentu kita juga akan sedikit menyinggung kolusi dan nepotisme. Ya, ketiga hal ini sering dan bahkan tak jarang bermunculan dalam kasus yang bersamaan. Praktik KKN yang ada dalam fase kerajaan kuno di Indonesia agaknya menjadi sebuah praktik kekerasan terhapdap masyarakat yang dilegalkan. Bagaimana tidak?, dalam aspek penentuak pemegang kekuasaan selalu diperuntukkan hanya untuk kerabat-kerabat dekat dari birokrasi itu sendiri. Akibatnya, status dalam birokrasi yang ada menjadi sangat sakral dan banyak orang yang dengan mati-matian ingin merebut dan menduduki kursi birokrasi dalam hal ini status sakral tersebut. Alhasil, banyak dari kerajaan-kerajaan yang pecah karena praktik KKN yang memang tidak bisa dibenarkan tersebut. Kerajaan Singosari dengan perang saudaranya yang dimulai dari Prabu Anusopati, Prabu Ranggawuni, hingga Prabu Mahesa Wongateleng dan seterusnya yang kemudian menjadi dendam kesumat yang diturunkan secara turun temurun. Kerajaan Majapahit dengan Perang Paregregnya, serta banyak konflikkonflik lain yang yang mungkin luput rasi saksi buku sejarah yang tebal di perpustakaan. Hal ini memberikan gambaran bahwa kekuasaan dan kejayaan yang ada melalui proses KKN yang

dilegitimasikan membuat banyak pihak tergiur dengan kenikmatan yang ditawarkannya. Timbullah konflik dan perpecahan. Fase kedua, Pada zaman kolonial atau penjajahan. Pada zaman ini, istilah korupsi, kolusi, dan neoptisme mulai dikenal dan masuk kedalam sistem sosial politik yang ada dalam bangsa Indonesia. Dan ironinya, hal tersebutlah yang membuat penjajah dengan mudahnya masuk dan mulai menjajah bangsa ini. Budaya korupsi telah dibangun oleh para penjajah terutama belanda dengan periode penjajahan yang paling lama yaitu sekitar 350 tahun lamanya. Ya, waktu yang cukup panjang untuk membina dan menciptakan generasi-generasi korup dalam birokrasi di Indonesia. Cerdasnya, generasi-generasi itu muncul bukan dengan ketidak sengajaah atau tanpa perkiraan belaka, tapi generasi itu memang sengaja dibuat untuk mempertahankan status quo Belanda yang ingin terus mempertahankan kekuasaannya atas Indonesia. Ibarat anjing peliharaan, penjajah kemudian memelihara banyak anjing yang dijadikan sebagai boneka untuk menindas banyak orang tanpa harus sengaja mengotori tangan sendiri tentu dengan tujuan untuk kepentingan pribadi mereka (Belanda). Fase ketiga, Korupsi pada zaman modern. Inilah zaman yang saat ini kita pijak, dimana praktik korupsi sudah mendarah daging dalam diri tiap individu yang tergabung dalam satuan birokrasi. Kita sadari bahwa sesungguhnya praktik-praktik yang ada memang tak bisa terlekkan. Lihainya kemampuan para koruptor di zaman ini untuk berlindung dibalik payung hukum, serta kelemahan dan keterbatasan hukum itu sendiri untuk mengikat dan menindak berbagai jenis kejahatan dan praktik KKN yang ada di Indonesia. Terlepas dari itu semua, hal yang paling mempengaruhi keadaan atau buruknya kondisi dan praktik korupsi yang terjadi di Indonesia pada zaman modern ini adalah akibat dari memori sejarah dan warisan masa lalu yang ditinggalkan dari generasi ke generasi. Masalah dalam zaman modern ini ialah ketika penanganan korupsi yang ada oleh pemerintah justru seolah-olah merupakan sebuah permainan dan sandiwara belaka. Pemerintah dianggap tidak tegas dan tidak serius untuk menangani masalah korupsi tersebut. Bagaimana tidak tegas dan tidak bermain-main, pada kenyataannya dugaan besar terhadap permainan korupsi itu sendiri ialah berada di puncak birokrasi. Pantas saja kasus-kasus tidak korupsi yang di ekspose di mediamedia massa hanyalah kasus sebatas korupsi kelas kakap yang kemudian saya sebut demikian. Akibatnya, pandangan publik tentang penegakan hukum di Indonesia berkaitan dengan perkara diatas di ibaratkan sebagai bilah pisau. Tumpul di atas dan tajam dibawah. Kemudian benar adanya ketika saya katakana bahwa hukum seolah-olah hanya mempan untuk kaum melarat, hukum yang ada di Indonesia kerap mencari dan menuntut sebuah kepastian, bukan keadilan yang merupakan esensi dari hukum itu sendiri. Masih ingat dengan kasus nenek-nenek yang divonis beberapa bulan karena mencuri beberapa buah kokoa?, menurut saya itu merupakan suatu fenomena yang memang dapat dibenarkan kalau fenomena tersebut memang dapat dikategorikan dan dimasukkan dalam rahan hukum, tapi terlalu tidak etis karena kita sadari bahwa apa sih artinya masalah sepele kalau bisa kita selesaikan dengan cara kekeluargaan. Toh penyelesaian konflik bukan hanya bisa didapat lewat pengadilan. Bermodal toleransi dan empati saja mungkin sudah bisa menyelesaikan konflik sepele dan sungguh tidak penting untuk diangkat ke ranah hukum. Kemudian ketika kita berbicara tentang masalah korupsi dalam pandangan atau prespektif seorang sosiolog, dalam sosiologi kita mengenal teori penyimpangan beserta berbagai asumsi yang ada didalamnya. Seorang sosiolog kadang akan melihat fenomena korupsi sebagai sebuah penyimpangan. Dimana ada akan aka saya sebutkan salah satu asumsi kenapa seseorang cenderung berperilaku menyimpang yang akan saya kaitkan dengan fenomena korupsi yang

sedang kita bahas. seorang cenderung melakukan hal yang menyimpang ketika seseorang merasa bahwa perbuatan menyimpang itu lebih menguntungkan, itu adalah sebuah pernyataan yang tak bisa dipungkiri lagi. Meskipun banyak dari kita mencoba untuk bermunafik ria atau menutup-nutupi bahwasanya benar adanya menyimpang adalah lebih menguntungkan daripada berbuat kebajikan yang merepotkan. Ya, mendapatkan uang dengan cara yang instan memang kerap menjadi sebuah iming-iming yang besar apalagi bagi mereka yang mempunyai status sosial yang tinggi dan sudah mempunyai kekuasaan yang besar yang dengan otomatis akan mengendorkan pengawasan sosial terhadap orang yang bersangkutan karena kemistri atau otoritas yang melekat dalam diri orang itu sendiri. Itulah beberapa hal menarik yang harus kita amati. Saya hanya memberikan beberapa prespektif dari banyak prespektif yang bisa kita gunakan untuk menjelaskan mengapa korupsi tumbuh subur di Indonesia, bagaimana korupsi bisa tumbuh subur di Indonesia, bagaimana kemudian praktik KKN selalu berjalan dengan mulus dan tikus kecil pun dikorbankan untuk kepentingan tikus yang lebih besar. Banyak sekali nyanyian yang menyindir masalah korupsi, itu merupakan sebuah apresiasi masyarakat terhadap setiap fenomena konyol yang terjadi di Indonesia ini. lemahnya kekuatan hukum untuk mengikat dan memberikan dampak jera bagi para pelakunya adalah salah satu faktor yang kerap kali menjadi backing dalam praktik KKN di Indonesia. Kita lihat saja kasus Nazaruddin yang baru-baru ini terjadi. Seberapa besar kerugian yang ditimbulkan dengan tuntutan dan vonis yang dijatuhkan tidak menunjukkan hubungan yang sinergis. Itu merupakan sebuah kebobrokan dan gambaran bahwa pemerintah kesannya hanya main-main belaka. Kalau memang mau memberantas korupsi, berantaslah dengan serius. Perlakukan hukuman yang memang benar-benar akan membuat mereka yang bermain di tribun paling atas merasa merinding dan turun dari permainan yang sedang dimainkannya.

Anda mungkin juga menyukai