Anda di halaman 1dari 22

SEANDAINYA IKAN BISA BERSUARA: TANTANGAN ABADI MANAJEMEN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUT PADA PASCA-REFORMASI INDONESIA Ian

M.Dutton PENDAHULUAN Indonesia sedang mengalami periode perubahan transformatif yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dari perspektif manajemen sumberdaya pesisir dan laut di Indonesia, dua perubahan yang sangat menyolok yang telah terjadi adalah pengenalan undang-undang yang berhubungan dengan otonomi regional dan pembentukan Kementrian Kelautan dan Perikanan. Perubahan yang pertama mengubah kerangka regulasi untuk manajemen

dengan menciptakan beragam wewenang yang terdesentralisasi. Perubahan yang kedua mengangkat manajemen pesisir dan laut ke tingkatan baru dan memungkinkan isu-isu kelautan yang terkait perikanan akan dipertimbangkan dengan cara yang terintegrasi untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia (Dahuri 2001). Secara bersama-sama, inovasi-inovasi telah menentukan tahap untuk perbaikan manajemen sumberdaya pesisir dan laut. Orgaisasi Pangan dan Pertanian [Food and Agriculture Organization] memperkirakan bahwa Indonesia memiliki 6,7 juta nelayan ikan laut dan ikan air tawar dan tanggungannya di 7.000 desa pesisir (FAO 2000). Dari perspektif ini, perubahan-perubahan manajemen yang diuraikan di atas

muncul dengan latarbelakang meningkatnya konflik dan peruntungan yang bertentangan. Konflik tersebut disebabkan oleh meningkatnya persaingan antara nelayan-nelayan lokal dan nelayan-nelayan luar untuk memperoleh persediaan ikan. Ini merupakan gejala ketiadaan sistem regulasi yang efektif untuk mengontrol akses terhadap persediaan perikanan, dan gejala ketiadaan pedoman strategis untuk menyeimbangkan pengembangan perikanan dengan pemakain-pemakaian sumberdaya laut lain seperti reklamasi pantai dan pemukiman, pengambilan minyak dan gas, pariwisata dan konservasi. Peruntungan yang bertentangan ini mencerminkan pengaruh pasar global pada tahun-tahun sekarang: faktor-faktor seperti pertumbuhan cepat dalam permintaan akan produk-produk perikanan, kekurangan suplai dari sumber-sumber lain di Asia, teknologi-teknologi baru dan fluktuasifluktuasi mata uang telah menciptakan peluang-peluang luar biasa bagi wirausahawan dan pedagang perantara lain. Banyak perusahaan penangkapan ikan komersial dan individu-individu penting didalam komunitas-komunitas tergantung pada perikanan laut telah mendapat banyak manfaat dari meningkatnya nilai ekspor produk ikan sejak tahun 1998. Diperkirakan penerimaan tahunan dari ekspor perikanan yang dilaporkan melebihi $2 milyar.' Namun demikian, manfaat-manfaat ini terutama dinikmati oleh elit perusahaan perikanan dan seringkali dengan mengorbankan anggota-anggota komunitas lain dan masyarakat Indonesia

pada umumnya, khususnya jika kita memeriksa lebih cermat distribusi dari semua biaya dan manfaat. Sebagai akibat dari eksploitasi berlebihan persediaan dan tekanan-tekanan pengembangan lainnya, maka sekarang ada banyak komunitas penangkapan ikan yang hidup dalam kemiskinan yang hina dina dan yang memiliki sedikit prospek mata pencaharian yang berkesinambungan (Yowono 1998). Dari perspektif ikan dan ekosistem yang menjadi sandaran mereka, hal-hal bertambah buruk, bukan lebih baik. Semakin banyak nelayan secara legal dan illegal menangkap lebih banyak ikan dengan teknologi yang legal dan destruktif. Sedikit regulasi yang berusaha mencegah eksploitasi illegal dan polusi yang diberlakukan. Kurang dari 7 persen terumbu karang Indonesia yang masih berada dalam kondisi bagus (Hopley dan Suharsono 2000). Singkatnya, bencana ekologis laut sedang terjadi, namun

pengetahuan publik tentang trend-trend ini tidak memadai. Yang sama pentingnya, tidak ada urgensi politik dalam mengatasi trend-trend ini bagi sumberdaya-sumberdaya ikan dan jutaan orang yang bergantung pada penangkapan ikan untuk mata pencaharian dan subsistens. Kemajuan-kemajuan sekarang dalam manajemen sumberdaya pesisir dan laut yang melibatkan jutaan dollar investasi dalam pembangunan kapasitas, pengentasan kemiskinan, pengembangan perikanan dan proyekproyek serupa selama ini telah berbuat relatif sedikit untuk memastikan

bahwa manfaat-manfaat besar yang bisa diperoleh dari persediaanpersediaan ikan yang sehat dan ekosistem laut akan berkesinambungan. Keadaan ini harus berubah, dan yang harus berubah cepat, untuk melindungi keamanan jangka panjang dan kesejahteraan ekonomi, sosial dan

lingkungan Indonesia. Sebuah pendekatan yang komprehensif, terpadu dan

berkesinambungan terhadap pengembangan dan manajemen sumberdaya pesisir dan laut semakin dibutuhkan sebagai bagian dari proses pascareformasi. Dalam menemukan solusi-solusi, banyak yang harus dipelajari dari upaya-upaya manajemen pesisir terpadu yang teruji pada tahun-tahun belakangan ini dibawah program-program yang dilaksanakan oleh,

diantaranya, the US Agency for International Development (USAID) dan Bappenas (the Coastal Resources Management Project Program: lihat Knight dan Tighe 2003); Pusat Studi Sumberdaya Pesisir dan Laut di Universitas Pertanian Bogor; dan Lembaga Riset Laut dan Perikanan dan Kementrian Kelautan dan Perikanan. ARTI PENTING SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUT INDONESIA Indonesia menempati posisi strategis pada titik pertemuan samudra Pasifik dan samudra India. Gugusan pulau ini mengandung hutan bakau terbesar di dunia dan Indonesia memiliki daerah terumbu karang terbesar dari negara manapun (Hopley dan Suharsono 2000). Perairan Indonesia merupakan laut

tropis yang paling produktif. Perairan ini merupakan pusat keragaman laut global dan memberi bidang yang signifikan secaa global bagi spesies migrasi (rais dkk., 1998; Kahn 2003). Industri pesisir dan laut seperti produksi minyak dan gas, transportasi, perikanan dan pariwisata menyumbang 26 persen PDB dan mempekerjakan lebih dari 15 persen tenaga kerja Indonesia. Kira-kira 140 juta orang Indonesia tinggal dalam jarak 60 km dari pesisir, banyak diantaranya didalam kota-kota pesisir besar yang menempati posisi menonjol dalam

perekonomian nasional (Dahuri dan Dutton 2000). Bahasan berikut ini terutama berfokus pada industri-industri laut yang terkait perikanan, sebagian karena adanya signifikansi sosial dan ekonomi tertentu dan sebagian lagi karena hanya ada informasi andal yang terbatas mengenai komponenkomponen non-perikanan dalam sektor laut. Perikanan laut Perikanan Indonesia menghasilkan kira-kira 4,5 juta ton ikan pada tahun 1997 (WHO 2000). Perikanan laut merupakan mayoritas dari total produksi ikan (3,7 juta ton). Jenis penangkapan ikan utama adalah (dalam urutan) pukat kantong, jaring pengangkat, jaring kekang serta penangkapan ikan tuna galah dan tali. Kira-kira 94 persen dari perkiraan produksi ini dilaporkan didapat oleh nelayan-nelayan skala kecil. Namun demikian, tangkapan secara keseluruhan dilaporkan sangat kurang, sehingga angka tersebut

menyesatkan. Total armada penangkapan ikan diperkirakan terdiri dari 402.000 kapal dan telah berkembang dari hanya 334.000 kapal pada tahun 1988. Dari kapal-kapal ini, 57 persen tidak menggunakan mesin; sisanya 55 persen menggunakan mesin diluar. Produksi akuakultur Akuakultur merupakan sebuah komponen perikanan Indonesia yang semakin penting. Kultur ikan menempati kira-kira 560.000 hektar pada tahun 1998, dengan 60 persen berada di muara atau bekas kawasan bakau dan sisanya berada dibawah akuakultur ladang padi dan kolam air tawar (PCI 2001). Produksi air payau menghasilkan kira-kira 370.000 ton ikan dan udang (55 persen dari total produksi akuakultur), dengan produksi udang bernilai $1,24 milyar pada tahun 2000. Mayoritas produksi ditujukan ke pasar Jepang. Ketahanan pangan Sekitar 46 persen produksi ikan Indonesia dikonsumsi secara segar, sebagian karena adanya permintaan dan produksi (sebagian besar penangkapan ikan manual dengan kapasitas pengolahan pasca tangkapan yang kecil) dan sebagian karena adanya orientasi ekspor yang terbatas dari kebanyakan produsen. Kira-kira 30 persen dikeringkan, digarami atau diasap untuk konsumsi lokal atau provinsi. Ketersediaan ikan adalah penting bagi kelangsungan hidup sehari-hari dari banyak penduduk komunitas pesisir,

khususnya di wilayah-wilayah yang lebih kering dimana produksi pertanian alternatif terbatas adanya. Barangkali salah satu ukuran arti penting dari sumberdaya perikanan yang paling penting bagi kesehatan, kesejahteraan dan ketahanan pangan adalah penilaian FAO (1997) mengenai sumber-sumber suplai protein hewani. Kirakira 53 persen dari total suplai protein hewani Indonesia berasal dari ikan berada diatas laporan rata-rata global 16,5 persen dan jauh lebih besar daripada untuk negara-negara maju seperti Amerika Serikat (6,8 persen) dan Australia (6,5 persen). ANCAMAN-ANCAMAN PENGEMBANGAN TERHADAP SUMBERDAYA PESISIR DAN

Ancaman-ancaman terhadap sumberdaya pesisir dan laut dan komunitaskomunitas tanggungannya bisa dibagi kedalam dua kategori: alamiah (natural) dan antropogenik (anthropogenic). Efek-efek dari kategori alamiah tidak dikenal luas dalam rancangan dari banyak proyek pengembangan pesisir dan laut tetapi sangat penting dalam membentuk pemfungsian ekosistem dan konteks untuk manajemen. Ancaman-ancaman alamiah meliputi badai, gunung berapi (termasuk erupsi bawah laut), tsunami, perjangkitan bintang laut mahkota-duri, dan kekacauan biologis lain, serta banjir.

Ancaman-ancaman antropogenik diuraikan jauh lebih baik. Ada 10 jenis ancaman utama: (1) Ancaman pertama adalah praktek-praktek

penangkapan ikan yang destruktif, (2) Ancaman kedua adalah penangkapan ikan berlebihan, yang meliputi penangkapan ikan illegal yang tidak menurut aturan dan tidak dilaporkan, (3) Ancaman ketiga adalah perubahan iklim, (4) Ancaman keempat adalah aliran dan endapan yang meningkat dan terkonsentrasi, (5) Ancaman kelima adalah limbah dan pencemar-pencemar lain dari darat, (6) Ancaman keenam adalah polusi minyak dan pengapalan, (7) Ancaman ketujuh adalah penambangan dan penggalian pasir dan terumbu, (8) Ancaman kedelapan adalah pariwisata dan pembangunan infrastruktur terkait, (9) Ancaman kesembilan adalah urbanisasi pantai, dan (10) Ancaman kesepuluh adalah ancaman terhadap perusakan bakau dan rumput laut. EVOLUSI MANAJEMEN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUT Pra-reformasi Ada beberapa era khusus dari kebijakan pengembangan pesisir dan laut di Indonesia moderen. Dibawah Rencana Pembangunan 25 Tahun (PJP I, 1969-93) dan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) terkait, kebijakan perencanaan nasional memberi penekanan besar pada

pengembangan daratan (terrestrial), khususnya di Jawa dan Sumatra (Sloan dan Sughandy 1994; MOSE 1996). Kawasan lindung laut yang pertama

(Pulau Seribu) ditetapkan secara resmi hanya pada tahun 1982; tidak sampai akhir tahun 1980-an perhatian strategis diberikan pada manajemen dengan skala yang lebih luas (Alder, Sloan dan Utolseya 1994; Sloan dan Sughandy 1994; Purwaka 1995). Pada Repelita pertama PJP II (1993-98), empat tujuan untuk

pengembangan pesisir dan laut ditetapkan (Dahuri, Sitepu dan Button 1999). Tujuan pertama adalah memberi dukungan bagi usaha-usaha pesisir dan laut yang diperluas diseluruh Indonesia, khususnya di wilayah-wilayah timur. Tujuan kedua adalah memberi dukungan bagi industri-industri lepas-pantai, khususnya produksi minyak dan gas. Tujuan ketiga adalah memperkuat kedaulatan dan yurisdiksi nasional dengan memetakan landas kontinen dan zona ekonomi eksklusif. Tujuan keempat adalah membentuk jaringan informasi geografis pesisir dan laut. Untuk mencapai tujuan-tujuan ini, pemerintah membentuk sebuah unit kelautan didalam Bappenas dan menetapkan strategi-strategi nasional. Pemerintah juga melaksanakan serangkaian proyek yang bertujuan untuk membangun pengetahuan mengenai sumberdaya-sumberdaya pesisir dan laut serta kapasitas kelembagaan untuk manajemennya. Proyek Pendidikan Ilmu Kelautan, didanai oleh Bank Pembangunan Asia [Asian Development Bank (ADB)] menetapakan kurikulum nasional pertama untuk ilmu kelautan di enam universitas. Proyek Evaluasi dan Perencanaan Sumberdaya Kelautan

[Marine Resources Evaluation and Planning (MREP)] dilaksanakan di 10 provinsi antara tahun 1993 dan 1998.Program Rehabilitasi dan Manajemen Terumbu Karang [Coral Reef Rehabilitation and Management Program (Coremap)], sebuah program bantuan multilateral, mulai berjalan pada tahun 1998 setelah proses rancangan yang lama dan sedang dilaksanakan dalam fase antara tahun 1998 dan 2013 (GEF 1998). LSM-LSM seperti Dana Seluruh Dunia untuk Alam (World Wide Fund for Nature), Konservasi Alam (Nature Conservancy), Biro Lahan Basah Asia (Asian Wetlands

Bureau/Wetlands International), Telapak/ Jaring Pela dan Conservation International telah menetapkan program-program konservasi laut. Ada berbagai program bantuan bilateral, termasuk Proyek Pesisir, Mitra Pesisir dan Proyek Manajemen Sumberdaya Pesisir (Coastal Resources

Management Project), yang didukung oleh USAID; proyek Pengawasan Laut Norwegia (Norwegian Seawatch project); dan Proyek Lingkungan Kerjasama Kanada (Canadian Collaborative Environmental Project). Akhirnya, ada program-program riset dan pendidikan kerjsama seperti program

Netherlands-Indonesian Buginesia dan Teluk Banten; program patungan Indonesian-German Marine Ecosystems and Resources Program; program ASEAN Living Coastal Resources yang didukung oleh Australian Agency for International Development (AusAID); dan program UNESCO's Man and the Biosphere Programme.

10

Sofa (1998) mengevaluasi proyek manajemen pesisir dan proyek terkait antara tahun 1987 dan 1998. Ia memperkirakan bahwa kira-kira $400 juta dibelanjakan pada proyek-proyek manajemen pantai dan laut (diluar perikanan) selama periode tersebut. Ia juga mencatat bahwa beberapa prakarsa ini berlanjut ketika pendanaan langsung melalui lembaga-lembaga pemerintah pusat telah terhenti dan bahwa sangat sedikit yang berdampak langsung pada kualitas hidup komunitas pesisir atau kualitas ekosistem laut. Dibawah konsep wawasan nusantara yang telah berhasil Indonesia menangkan dalam perumusan Konvensi PBB tentang Undang-Undang laut (the Law of the Sea), para pengambil keputusan menyatakan bahwa semua kawasan laut dianggap merupakan bagian dari milik nasional dan tak terpisahkan untuk tujuan-tujuan manajemen. Penafsiran ini menimbulkan tanggung jawab yang tidak jelas untuk mengatur akses terhadap

sumberdaya-sumberdaya laut, untuk menyelesaikan konflik-konflik antara pemakaian-pemakaian dan untuk memastikan bahwa sumberdaya-

sumberdaya laut dikelola atas basis berkesinambungan. Tidak ada lembaga yang khusus bertanggung jawab untuk mengkoordinasikan sektor-sektor yang berbeda atau tingkat-tingkat pemerintahan yang berbeda. Di Indonesia, kira-kira 22 undang-undang dan ratusan regulasi serta surat keputusan menteri berkaitan dengan sumberdaya-sumberdaya pesisir (Patlis, Knight et al. 2003a). Akibat-akibat dari keseragaman aturan-aturan ini

11

adalah yurisdiksi-yurisdiksi yang semakin tak jelas (dan sering tumpangtindih) dan tidak adanya koordinasi kebijakan. Contoh klasik adalah sebuah pengalaman di Teluk Lembeh Sulawesi Utara pada tahun 1996-97 ketika sebuah perusahaan penangkapan ikan asing memasang sistem jaring perangkap yang luas yang menjadi terkenal sebagai Dinding Kematian (Walls of Death).5 Karena perusahaan ini bermarkas di Jakarta dan tunduk pada regulasi-regulasi pemerintah pusat, maka dibutuhkan waktu lebih dari setahun agar keberapan-keberatan lokal diperhatikan dan dinding tersebut dibongkar. Contoh ini menunjukkan bagaimana pemerintah-pemerintah provinsi dana lokal menghadapi suatu hambatan umum yang nampak tak teratasi bagaimana memeroleh suara resmi dalam pengambilan keputusan tentang pengembangan laut dan pesisir pada tingkat lokal. Terdapat kebutuhan yang jelas untuk mendesentralisasikan pengambilan keputusan, memampukan pemerintah-pemerintah lokal dan komunitas-komunitas untuk melindungi kepentingan mereka dan mencegah intervensi-intervensi pusat yang tidak tepat. Sampai pertengahan 1990-an, terdapat berbagai upaya untuk

merangsang peningkatan upaya-upaya pemerintah lokal di beberapa provinsi (Hunt, Dut-ton dan Duff 1998; Crawford et al. 1998). Namun demikian, sebagian besar, hal tersebut merupakan usaha sebagaimana biasanya karena kebanyakan proyek pengembangan kapasitas diadakan melalui

12

pemerintah pusat, sehingga pemerintah-pemerintah lokal tergantung pada lembaga-lembaga pusat untuk mendefinisikan agenda-agenda mereka. Reformasi pasca-reformasi Pada bulan Mei 1999, dengan bagian yang terbukti merupakan sebuah undang-undang kontroversial tentang otonomi regional, sebagian besar hambatan dihilangkan. Undang-undang 22/1999 secara khusus membuat ketentuan bagi pemerintah-pemerintah provinsi untuk menjalankan

wewenang atas laut teritorial (sampai 12 mil laut) dan bagi pemerintahanpemerintahan distrik/kota untuk menggunakan wewenang mengelola

sepertiga wilayah tersebut (sampai maksimum empat mil laut). Undangundang 22/1999 didukung oleh undang-undang terkait tentang wewenang keuangan dan pembagian pendapatan, yakni Undang-Undang 25/1999. Penyegar selanjutnya untuk sektor laut terjadi pada bulan Oktober 1999, ketika presiden yang baru terpilih, Abdurrahrnan Wahid, membentuk sebuah kementrian yang secara khusus berhubungan dengan identifikasi dan pengembangan sumberdaya laut dan pesisir, khususnya perikanan. Ia menunjuk seorang veteran dan mantan menteri, yakni Sarwono Keputusan manajemen

Kusumaatmadja, bersejarah ini

untuk menandai

memimpin batas air

kementrian sebenarnya

tersebut. dalam

sumberdaya laut dan melambangkan peningkatan tingkat pengakuan politik akan arti penting laut Indonesia.

13

Implikasi-implikasi bagi perikanan dan manajemen pesisir Menteri baru mengidentifikasi perbaikan perikanan dan manajemen pesisir sebagai dua prioritas utama (Kusumaatmadja 2000a). Ia memerintahkan sebuah tinjauan kebijakan pengembangan perikanan yang komprehensif, yang menghasilkan proposal untuk serangkaian reformasi sapuan untuk manajemen perikanan (PCI 2001). Reformasi-reformasi merangsang

kementrian untuk merestrukturisasi dan memperbaiki manajemen perikanan yang sejalan dengan manajemen sumberdaya laut dan pesisir pada umumnya. Misalnya, sebagaimana yang diuraikan oleh Kementrian Kelautan dan Perikanan, reformasi-reformasi awal menuntun kembali kebijakan pengembangan perikanan kearah dua sasaran utama: pemanfaatan sumberdaya perikanan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia; dan konservasi sumberdaya untuk pemanfaatan optimal yang berkesinambungan (MMAF 2002a). Bantuan global Pada tahun-tahun sekarang, terdapat sebuah perubahan menyolok dalam sifat bantuan luar negeri untuk manajemen sumberdaya laut (Button, Bengert dan Tulungen 2001). Namun demikian, masih ada warisan kuat dari salahdiagnosis dan salah-penerapan mengenai penentuan posisi berbasis
14

terknologi terhadap masalah-masalah sosial dan ekologi yang kompleks. Beberapa proyek pesisir dan laut yang lebih besar pada tahun-tahun sekarang melibatkan proses-proses konsultasi rumit dan pentahapan progresif berdasarkan hasil-hasil. Tetapi praktek-praktek pembiayaan dari lembaga-lembaga pemberian pinjaman dan kebanyak pendonor nampak bertentangan dengan pembelajaran sebenarnya dan manajemen adaptif. Sedikit lembaga donor yang nampak siap berinvestasi dengan fleksibilitas yang memadai dan komitmen jangka panjang untuk memastikan hasil-hasil yang abadi. Pengalaman sekarang dengan beberapa proyek yang

menerapkan pendekatan pembelajaran menunjukkan bahwa sifat budaya maritim Indonesia yang beragam juga memerlukan model-model yang disesuaikan atau diperoleh secara lokal, dan bukan kloning cangkokan (lihat, misalnya, Parks et al. 2001; Schuttenberg 2001; Crawford et al. 2003). MENUJU MANAJEMEN YANG BERKESINAMBUNGAN Pertimbangan-pertimbangan untuk kesinambungan Biaya dari eksploitasi sumberdaya laut yang berkesinambungan ditanggung oleh seluruh rakyat Indonesia. Studi Terumbu Beresiko (The 'Reefs at Risk') (Burke, Selig dan Spalding 2002) menunjukkan hal ini dengan jelas. Selama periode 20 tahun, penangkapan ikan secara berkesinambungan bisa menghasilkan sebanyak $63.000/km2 lebih banyak dari penangkapan ikan berlebihan pada terumbu yang sehat (Cesar 1996). Itulah perbedaan antara

15

$39.000 yang akan individu peroleh dari penangkapan ikan secara tak berkesinambungan dan $102.000 yang masyarakat bisa harapkan dari penangkapan ikan yang berkesinambungan. Isu-isu mengenai kesamaan dan keadilan sosial mendasari banyak hal sekarang tentang kesinambungan. Argumen utama mengenai mengapa kita sebaiknya peduli tentang kesinambungan berhubungan dengan pemberian peluang-peluang bagi

generasi mendatang (Rais et al. 1998). Kesinambungan memerlukan promosi tujuan-tujuan sosial, ekonomi dan lingkungan (atau ekologi) didalam proses pembangunan. Adalah sulit untuk mencapai keseimbangan demikian, khususnya ketika ada pertukaran antara tujuan-tujuan dibawah sistem organisasi sosial yang berbeda. Pembangunan nasional sekarang secara tradisional mengutamakan kepentingan ekonomi diatas kepentingan sosial dan ekologi, bahkan ketika terdapat aturan-aturan tradisional yang berusaha mencapai penggunaan sumberdaya yang berkesinambungan (Thorburn 1998). Manajemen penangkapan ikan mencontohkan pertukaran demikian. Bahkan ketika nelayan-nelayan mengetahui bahwa persediaan dieksploitasi berlebihan, mereka berbuat sedikit untuk mengatur tingkat eksplotasi mereka secara spontan (Walters dan Maguire 1996). Sifat permintaan global memperkuat perilaku demikian. Harga yang semakin tinggi untuk sirip hiu

16

diseluruh Asia dan substitusi produk dari ikan pari merupakan contoh sebaliknya dari hal ini.

Persyaratan-persyaratan untuk kesinambungan Kesinambungan tidaklah mesti bertentangan dengan pembangunan

ekonomi, namun jika penggunaan sumberdaya pesisir dan laut ingin berkesinambungan, negara ini perlu memenuhi beberapa persyaratan. Pertama, diperlukan pengetahuan yang lebih baik tentang ekosistem laut Dutton dan Hotta (1995) menyatakan bahwa, untuk menempatkan pola pembangunan pada pijakan yang lebih berkesinambungan, maka haurs ada keinginan untuk berinvestasi dalam memahami bagaimana sistem ini bekerja. Meskipun ada warisan ilmu kelautan yang menyolok bermula sejak abad ke17 (Rumphius 1705) dan kompilasi keadaan pengetahuan yang komprehensif tentang sumberdaya laut Indonesia sampai pertengahan tahun 1990-an (Tomascik et al. 1997), kita sedikit sekali tentang sistem kelautan Indonesia, baik secara umum (misalnya, distribusi dan kelimpahan spesies) ataupun secara rinci (misalnya, lokasi kawasan pembiakan spesies-spesies utama atau hubungan antara pemanenan spesies dan perekrutan). Kedua, ada kebutuhan untuk membangun konstituensi. Survei nasional pertama mengenai sikap terhadap sumberdaya-sumberdaya laut mengungkapkan bahwa orang-orang Indonesia sangat sedikit mengetahui
17

tentang geografi sumberdaya-sumberdaya laut Indonesia yang luas dan tentang arti penting sosial dan ekonominya (Dutton et al. 2001 c). Kesenjangan-kesenjangan signifikan dalam pengetahuan dan pemahaman dasar yang signifikan membatasi kemampuan individu untuk mengelola sumberdaya-sumberdaya pesisir dan laut secara efektif. Yang lebih penting, orang-orang Indonesia sangat peduli tentang keadaan lautnya kemampuannya mensinambungkan banyak nilai yang dan

diberikannya.

Jelasnya, ada kemunculan konstituensi untuk fungsi-fungsi Kementrian Kelautan dan Perikanan. Polusi laut diperingkat sebagai masalah nasional keenam yang paling menekan. Ketiga, ada kebutuhan untuk belajar bagaimana mengelola. Selama 15 tahun lalu, berbagai investasi jangka panjang dalam proyek konservasi dan pembangunan telah menguji berbagai model. Yang menonjol adalah proyek-proyek yang didukung oleh Program Manajemen Sumberdaya Alam USAID-Bappenas. Proyek ini dimulai pada awal tahun 1990-an dengan pengembangan sebuah rencana pengwilayahn untuk Taman Nasional Bunaken yang baru dibuat, dan menghasilkan salah satu sistem bayaran pemakai pertama yang efektif untuk taman-taman laut di Asia Tenggara. Sekumpulan model manajemen pesisir yang terpadu diciptakan dibawah Proyek Pesisir8 (Knight dan Tighe 2003), di empat provinsi dan pada tingkat nasional.

18

Keempat, ada kebutuhan untuk membangun jaringan kawasan lindung laut [marine protected areas (MPAs)] yang kuat. Ada kira-kira 27 kawasan lindung laut resmi yang mencakup wilayah 4,5 juta hektar, atau kurang dari 1 persen zona ekonomi eksklusif Indonesia. Ini merupakan sebagian dari target 10 juta hektar menjelang akhir tahun 2000 yang ditetapkan oleh pemerintah pada tahun 1990 (Alder, Sloan dan Utolseya 1994). Kebanyakan kawasan lindung laut didanai secara tak memadai dan bertindak sebagai taman-

taman kertas. Ada pemberlakuan regulasi yang tak memadai atau tak ada pemberlakuan regulasi, yang meliputi regulasi akses pemakai. Sangat sedikit kawasan lindung laut yang dirancang atau dikelola untuk memastikan konektivitas antara elemen-elemen atau kekenyalan dalam menghadapi perubahan iklim. Pengalaman global dengan kawasan-kawasan lindung laut

menunjukkan bahwa barangkali 30 persen laut Indonesia mungkin perlu disisihkan sebagai kawasan bebas penangkapan ikan jika keragaman hayati dan produktivitas laut ingin dipertahankan (Roberts et al. 2001; Halpern and Warner 2002). Agar efektif sepenuhnya, rencana kawasan lindung laut nasional perlu dibuat jaringan didalam sistem pengwilayahan pemakaian laut nasional yang serupa dengan sistem pengwilayahan darat yang digunakan diseluruh Indonesia (Hunt, Dutton dan Duff 1998).

19

Kelima, ada kebutuhan akan bantuan pembangunan yang ditargetkan secara lebih baik. Menurut sejarah, bantuan manajemen sumberdaya perikanan dan bantuan manajemen sumberdaya laut berada dalam lintastujuan, dengan sedikit koordinasi oleh para pendonor atau penerima bantuan. Struktur-struktur kelembagaan telah menyulitkan koordinasi demikian, dan biasanya pendonor harus berhubungan dengan mitra-mitra yang berbeda untuk berbagai sasarannya. Kementrian perlu menyajikan perspektif yang lebih strategis untuk pengembangan sumberdaya laut. Kesimpulan Sistem laut dan pesisir memberi manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan yang luas bagi Indonesia dan membentuk basis bagi industri-industri utama yang memiliki potensi menghasilkan nilai yang bahkan lebih besar bagi masyarakat pada basis jangka panjang jika dikelola secara

berkesinambungan. Sayangnya, karena warisan manajemen yang salah di masa lalu, tata kelola yang tidak efektif dan ketiadaan kontrol regulasi yang tepat, maka potensi dari sumberdaya yang luas ini untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang dan mendatang terkikis dengan cepat dan tidak dapat diperoleh lagi. Hal ini sebagian besar terjadi karena cara pengembangan sekarang ini menekankan keuntungan jangka pendek bagi aktor-aktor individual daripada kepentingan jangka panjang masyarakat Indonesia. Jelasnya, pendekatan-pendekatan sekarang terhadap

20

pengembangan dan manajemen sumberdaya laut gagal mempertimbangkan ekuitas sosial yang lebih luas dan dimensi-dimensi kesinambungan ekologis. Indonesia memiliki arti penting global yang luar biasa sebagai tempat keragaman hayati laut global, sebagai sebuah wilayah habitat dan persinggahan bagi spesies-spesies pindahan yang menjadi perhatian global dan sebagai sebuah negara yang sangat tergantung pada sumberdaya laut untuk ketahanan ekonomi dan pangan. Sangatlah picik bila masyarakat global gagal membantu Indonesia untuk memajukan program ambisius

manajemen laut dan pesisir yang mendapat momentum langkah pada periode pasca-reformasi. Tampa bantuan pengembangan jangka panjang yang ditargetkan secara cermat untuk manajemen laut Indonesia yang berkesinambungan, ramalan jangka panjang untuk sumberdaya laut Indonesia dan jutaan orang yang bergantung padanya akan suram. Akibat dari kegagalan sistem ini akan memperburuk kemiskinan komunitas pesisir, menimbulkan konflik antara komunitas-komunitas sumberdaya laut dan antara nelayan-nelayan dan pemakai-pemakai serta mengancam kelangsungan hidup dan

lain,

perdamaian desa-desa pesisir. Selain itu, kegagalan ini akan meningkatkan laju eksploitasi spesies-spesies penting yang dilindungi secara global dan menciptakan insentif-insentif bagi nelayan-nelayan menjelajahi yurisdiksiyurisdiksi berdaulat lain untuk memperoleh spesies-spesies sasaran. Sebuah

21

progam proaktif untuk membantu pemerintah dan komunitas Indonesia dalam memastikan penggunaan sumberdaya laut yang berkesinambungan

nampaknya merupakan sebuah investasi strategis yang akan menjadi strategi menang-menang bagi Indonesia dan mitra-mitra pengembangan.

22

Anda mungkin juga menyukai