Anda di halaman 1dari 8

Satu titik kesabaran, kunci keberhasilan Anaknya kelas berapa Ibu? Kelas tiga Pak SMP mana?

a? Masih SD Pak, Wah, bongsor ya? Iya ini Pak, haha.. Itulah percakapan yang dilakukan oleh Ibuku dan seorang supir angkot 9 tahun yang lalu, tepat ketika aku masih duduk di kelas 3 SD. Tak terasa sekarang aku telah sampai pada pungkasan jenjang pendidikan di SMA. Jatuh bangun perjuangan yang aku hadapi rasanya tidak cukup jika harus aku ungkapkan dalam lembaran kertas ini. Momen- momen penting ini berawal dari tiga tahun lalu, ketika aku akan mendaftar ke SMA. Sebagai seorang Ayah, Ayahku memang sosok yang sangat luarbiasa. Dia berhati sabar dan lembut, dia tidak pernah marah padaku, jika dia tidak suka dengan perilakuku dia hanya diam. Keinginan Ayahku adalah agar aku biasa bersekolah di PErguruan Tinggi Negeri favorit kelak suatu hari nanti. Supaya keinginan ini terlaksana, beliau menyekolahkanku di sMA N 1 Purworejo. Aku bukan anak istimewa. Aku juga bukan anak dari kalnagn konglomerat. Aku hanya anak desa biasa yang pada usiaku saat itu, 15 tahun, masih ingin terus tinggal bersama dengan orang tuaku. Bangun tidur, langsung tersedia sarapan buatan ibuku sendiri, pulang sekolah disambut oleh keluarga lengkap, dan terlebih saat Ramadhan kebersamaan itu makin terasa. Namun untuk mengejar cita- citaku, aku harus move on. Bersekolah di SMA N 1 Purworejo dengan jarak 30 km ditambah akses kendaraan umum yang sulit, memaksa aku untuk tinggal di sebuah rumah kost dengan intensitas pulang seminggu sekali. Hari- hariku dimulai. Minggu pertama lancar, minggu kedua aku mulai merasa kesepian, minggu ketiga aku homesick. Menyiksa. Di satu sisi orang tua

mengharapkan aku lebih, di sisi lain aku tidak ingin jauh dari mereka. hingga akhirnya dating penghuni-penghuni lain di kost itu. Syukur Alhamdulillah. Memiliki teman-teman senasib membuatku belajar lebih dewasa dan membuka pikiranku. Selanjutnya hariku terasa lebih enjoy. Prestasiku dikelas juga lumayan, 3 besar. Walau terkadang minder karena berlatar belakang anak desa, ngapak, namun aku tetap semangat menjalaninya. Setiap hari sabtu aku pulang ke rumahku, baiti jannati, rumahku adalah surgaku. Di rumah Ayahku mulai sering menceritakan seputar perguruan tinggi. Aku pada saat itu belum terlalu paham dan antusias untuk mendengarnya. Masamasa kelas sepuluh adalah masa- masa yang menyenangkan. Aku tidak mengikuti les di luar kelas satu pun. Belajar dengan system nyantai, pulang sekolah, makan, tidur siang, ngobrol bareng teman- teman kost. Sampailah pada suatu hari. Ketika itu ulangan akhir semestester genap kelas sepuluh, hari sabtu. Aku berangkat ke sekolah untuk menjalani hari terakhir ulangan. Ketika mata pelajaran terakhir, sejarah, tiba-tiba ruang kelas tempat aku menjalani tes diributkan oleh berita adanya kebakaran di kompleks KBN. Aku mulai tidak tenang dalam mengerjakan tes. Pikiranku kacau, menit terakhir tes terasa bagaikan bertahin- tahun. Akhirnya bel tanda usai ujian berbunyi, aku langsung melangkah keluar mencari teman satu kostku. Firasatku sudah benarbenar tidak baik. Aku tidak menghiraukan pengumuman yang menganjurkanku untuk berkumpul dengan teman- teman lain atau apalah itu. Aku langsung menyeret Putri, teman kostku itu keluar gerbang sekolah untuk langsung pulang menuju kost. Tepat di depan kostku, kudapati segalanya tak berubah, pintu gerbang, rumput, semuanya masih sama ketika terakhir kali aku meninggalkannya tadi pagi. Yang berbeda adalah kerumunan orang yang begitu banyak, dua buah mobil pemadam kebakaran, asap yang membumbung tinggi,ditambah dengan isak tangis seorang ibu- ibu yang tak lain adalah ibu kostku. Hatiku mualai ngilu, jantungku berdebar. Aku takut masuk ke dalam, melihat apa yang telah terjadi. Perlahan aku mulai melangkahkan kakiku masuk, makin ke dalam makin cepat, sampai pada lorong kamarku. Aku tertegun. Mana kamaku? Mana tembok itu? Mana atap

kamarku? Mustahil. Pemandangan yang ada di depanku saat itu adalah reruntuhan tembok dan genting yang rata dengan tanah. Tanpa sisa, tanpa bekas. Lututku mulai lemas, aku jatuh terduduk sambil air mataku mulai keluar. Aku takut sekali, wajah pertama yang terbayang adalah Ayah dan Ibuku. Bagaimana mereka menghadapi semua ini? perlahan mulai kubuka mataku, disekelilingku sudah ada Putrid an ibu- ibu yang merubungku. Mereka menatapku dengan tatapan iba. Aku lalu teringat harus memberitahu Ayahku, aku meminjam ponsel Putri, menghubungi Ayahku. Aku biacara di telepon dengan suara gemetar, aq menceritakan semuanya pada Ayah, namun tak disangka. Nada Ayahku menanggapi berita dariku sangan tenang, lembut, dan bersahaja, tak ada rasa panic sedikitpun. Hal ini justru membuatku semakin tak kuasa menahan luapan airmata. Sejak insiden kebakaran itulah masaku mulai kelam. Semangatku mulai turun, semuanya kacau. Masuk di kelas sebelas, aku memulai segalanya benarbenar dari nol. Bayangkan, segala sesuatu yang kau punya saat kelas satu SMA, musnah. Ibu dan Ayahku harus membelikanku segala sesuatu, seakan aku adalah bayi yang baru lahir ke dunia. Dari ujung rambut sampai ujung kaki semuanya baru. Teman- temanku kadang malah ada yang dengan santainya berkata , Wah, kamu senang Nov, semuanya jadi baru. Walau sebenarnya itu nada menghibur, tp rasanya sakit. Semester awalku kelas sebelas benar- benar jeblok. Aku turun peringkat ke Sembilan. Orang tuaku bermuka masam. Terang saja, aku juga bingung. Kenapa aku serapuh ini? Tapi dengan adanya insiden kebakaran tersebut aku mendapatkan banyak hikmah. Baju- baju seragam pendekku semuanya terbakar habis, namun baju seragam muslimku masih utuh di tempat jemuran. Sejak saat itulah aku mulai konsisten mengenakan baju muslim.Subhanallah. Masuk ke semester dua aku mulai banting setir. Aku berjuang, aku harus bisa bangkit. Aku tidak boleh kalah. Usahaku pun berbuah manis, aku kembali pada jajaran 3 besar di kelasku. Sejak saat itulah aku mulai menyusun cita- citaku. Anganku mulai melayang ke berbagai perguruan tinggi negeri. Seminar- seminar seputar perguruan tinggi aku ikuti. Konsultasi dengan guru BK sekolahku pun sudah aku rencanakan. Masuk ke masa semester lima, atmosfer di kelas terasa berbeda. Kelas yang dulu agak santai dan ramai, kini dioenuhi aura persaingan.

Hari- hari dipenuhi dengan buku-buku, tugas, ulangan, semua berlomba untuk mencapai nilai terbaik. Guru-guru pun selalu memberikan nasihat tanpa henti, kami selalu dimotivasi hamper setiap hari. Acara motivasi di luar sekolah pun membanjiri kami. Aku sempat tertekan ketika Ayahku dan Ibuku, terutama ayah, tanpa henti memberikan beraneka ragam info tentang jalur masuk perguruan tinggi negeri. Mulai dari standar hingga ratusan juta. Sempat terdengar olehku. Papa ingin menyekolahkan kamu, Papa akan berusaha. Kalau masalah uang Papa pinjam pun tak lakoni. Sempat terharu dengan perkataan itu, membuatku berpikir, berkaca pada keadaaan ekonomi kami, Ayahku seorang TU dan Ibuku PNS di Sekolah Dasar. Walaupun sebenernya masih banyak anggota keluarga kami yang memerlukan bantuan kami. Semua fakta ini mutlak memutuskan aku untuk tidak tawar menawar lagi. Aku harus berjuang. Aku harus semangat. Kepalaku saat itu benar-benar penuh. Mempertahankan nilai, keinginan konsultasi yang selalu tertunda, desakan Ayahku yang membuat semua ini benarbenar complicated. Kemudian aku mendapat sebuah pencerahan, lewat ibuku. Beliau berkatasegala sesuatu itu memang ada yang harus dibagi dengan orang lain. Aku pun sadar segala sesuatu tidak mungkin dibebankan kepada kita jika kita tidak mampu menghadapinya. Mulai ku pilah isi kepalaku. Aku meminta Ayahku untuk konsultasi, sedang aku fokus pada pelajaran. Pilihanku pun jatuh di Universitas Indonesia. Perguruan tinggi dengan nama negaraku. Aku mulai mencari info tentang jurusan-jurusan yang ada di Universitas Indonesia. Aku sangat menyenangi pelajaran biologi. Oleh karena itu, aku mencari jurusan yang memiliki unsur tersebut. Sekarang segala sesuatu sudah mulai terkoordinasi, aku sudah bisa focus kepada pelajaranku dan Ayah membantu memikirkan perguruan tinggi. Tiba saatnya ketika pengumuman siapa yang mendapatkan SNMPTN undangan di sekolah kami. Sebenarnya aku tidak tau kalau hari itu adalah saatnya. Sehingga aku cukup terkejut dengan kedatangan guru BK secara terburu-buru. Hatiku saat itu sungguh berdebar-debar, namun aku mencoba untuk tetap tenang. Akhirnya nama itu disebut, Novia Dwi Prabandari, Alhamdulillah. Kemudian menyusul

keenam nama teman-temanku yang lain. Hari itu sangat membahagiakan sekaligus membuatku galau. Pertanyaannya adalah jurusan apa yang akan aku ambil? Otakku mulai berputar. Website UI selalu aku tengok, brosur, booklet, semua tentang UI aku kumpulkan hingga menumpuk namun pilihan tak kunjung dating. Dilema yang sempat pergi itu kini datang lagi. Bahkan lebih gila dari yang dulu. Setiap hari aku terlihat letih, letih karena pikiran. Sampai akhirnya pada hari sabtu aku pulang ke rumah seperti biasa. Aku katakana pada Ayah dan Ibu kalau aku ikut SNMPTN undangan. Mereka terlihat bahagia namun memunculkan raut wajah berpikir sama seperti aku. Kami pun berdiskusi hingga larut malam. Sepakat, Ayahku akan mendatangi guru BK ku di kediamannya, Hari demi hari berlalu. Aku mencoba membuat janji dengan guru BK ku namun jadwal Beliau sudah terlalu padat. Bahkan saat jam kosong aku menyempatkan diri menuju ruang BK. Tapi hasilnya sungguh diluar dugaan. Ramai sekali, gila! Kenapa di jam pelajaran seperti ini masih saja ramai? Aku makin frustasi. Di sisi lain Ayahku menanyakanku terus. Kapan? Takut ayahku sudah tak sabar, akhirnya kuputuskan sendiri. Aku masih ingat, hari jumat,kuberitahu pada ayahku jam 3 sore di rumah guruku. Sampailah akhirnya pada hari Jumat sore. Aku dijemput oleh Ayahku di rumah kostku. Tak tahu mengapa hati ini terasa berdebar-debar. Padahal hanya akan konsultasi. Sampailah kami di depan rumah guru BKku. Kutunggu di depan rumah itu namun tak ada tanda kehidupan. Akhirnya aku mencoba mengetuk, Assalamualaikum teriakku Gimana Vi? Ada orang? tanya Ayahku. Aku menggelengkan kepala.lama sudah kumenunggu. Kulihat Ayahku, mengenakan jaket jeansnya yang sudah lusuh disamping motor besarnya. Terlihat letih, walau setiap ucapannya padaku selalu diiringi dengan senyuman. Pemandangan ini membuat hatiku sakit. Tak tega dengan wajah Ayahku, kugedor pintu itu. Akhirnya datang juga seorang ibu. Mau cari siapa? tanyanya.

Pak Pardi Bu, jawabku. Oh..Maaf dek, Pak Pardinya lagi tenis jawabnya. Oh ya terimakasih Bu, Maaf sudah mengganggu. Permisi Kubalikkan badanku, ku arahkan langkah kakiku menuju Ayahku. Dengan luarbiasa berat, kukatakan kepada Ayah Pak Pardi lagi nggak di rumah Pah Ya,,ga papa besok lagi. Papa pulang dulu ya, Kucium tangan Ayhku. Ayah yang nomor satu itu. Ayahku yang selalu biacar pada semua orang dengan senyuman. Mataku merah, kulihat Ayahku mulai melangkah ke arah motornya. Motor besarnya itu mulai dinyalakan. Suara mesinnya memecah hatiku. Malam harinya aku disms Ibuku. Saat aku baca tanganku terasa lemas, ternyata Ayahku tadi dari kantor langsung pulang ke rumah, kemudian mandi, dan jumatan. Lalu berangkat ke Purworejo. Dia memang sengaja merencanakannya untuk konsultasi ini. faktanya, jarak antara rumah dengan purworejo 30 km. ayahku berangkat ke kantor, pulang untuk jumatan, berangkat menjemputku, kemudian pulang lagi masing- masing 30 km. Total 120 km! aku merasa sangat bersalah membiarkan Ayahku diusianya yang sudah tua itu. Aku tak tau siapa lagi yang pantas disalahkan dalam hal ini kecuali aku. Akhirnya Ayahku bisa konsultasi dan aku disarabkan untuk masuk ke jurusan gizi. Aku juga menyukainya, tujuan hidup mulai terlihat jelas, aku semakin semangat. Tiba pada saat kelulusan dan pengumuman undangan, aku diterima. Aku langsung sujud syukur saat itu juga di rumah. Aku senang sekali sekaligus terharu, akhirnya aku mendapat sekolah yang ku inginkan ya Allah. Kini suasana menjadi lebih tenang, aku mempersiapkan diri registrasi. Aku bersama teman-teman dari Purworejo berangkat bersama naik bis. Kami dikoordinasi oleh kakak-kakak paguyuban yang sangat baik dan perhatian. Bis yang kami naiki melaju dengan lancar, sampailah kami di Kampus UI Depok.

Saat itu kami turun di jalan antara Fakultas MIPA dan FKM. Kemudian kami disambut oleh kakak kelas yang sangat baik-baik. Aku bersama keempat temanku menginap di kontrakan kakak kelasku di daerah kutek. Kami ke sana naik bikun. Sungguh pengalaman yang tak terlupakan. Saat registrasi hari pertama semuanya berjalan lancar. Registrasi hari kedua inilah yang benar-benar berat. Mengambil antrian dari sekian ratus calon mahasiswa. Aku mendapat nomor antrian 130, Namun saat tes kesehatan aku tertinggal jauh karena antrian yang berpindahpindah dan ditambah ada jam istirahat untuk shalat dzuhur. Setelah cek kesehatan kemudian ada acara kunjungan ke fakultas dan paguyuban masing-masing. Saat di stand fakultas aku diajak berkeliling oleh kakak senior FKM. Penyambutan dari FKM sangat heboh, awalnya aku ampai agak takut, tapi ternyata mereka sangat menyenangkan. Setelah rangkaian acara registrasi selesai, esoknya aku pulang kembali ke Purworejo tercinta dengan bis lagi bersama teman- teman seperjuangan. Dalam perjalan kami mendapatkan gangguan, bis mogok ditengah perjalanan sehingga kami diharuskan dioper ke bis lain. Acara oper bis itu terjadi di malam hari, kami diharuskan bergabung dengan penumpang lain. Sampailah kami di tegal, akhirnya bis pengganti datang. Kami pun kembali dalam satu bis. Perjalanan yang panjang, membutuhkan waktu lebih dari 16 jam dari Depok sampai ke Purworejo. Selanjutnya aku hari- hariku di rumah bersama keluarga. Membantu pekerjaan rumah tangga. Aku juga mendaftar asrama dan diterima, lega rasanya kedua orangtuaku mengetahui aku sudah mendapat tempat tinggal. Keberangkatanku selanjutnya, aku menggunakan kereta bersama Ayah, Ibu, dan Budeku. Kami singgah ditempat saudaraku di Manggarai. Sebelum menempati asrama, aku dan Ibuku membeli keperluan- keperluan yang dibutuhkan untuk hidup di asrama. Hal ini benar- benar menghabiskan banyak uang, aku sampai tak enak hati dengan ibuku. Namun Ibu dan Ayahku menginginkan yang terbaik untukku, dengan adanya hal ini , aku secara tidak langsung menerima tanggung jawab untuk membuktikan kepada mereka kesungguhanku kuliah di UI. Aku harus membahagiakan mereka.

Sampailah hari ketika aku diantar oleh Ayah dan Ibuku ke asrama. Kami naik bis kota penuh sesak membawa barang- barang. Kemudian menaiki jembatan penyeberangan, aku sempat melihat Ibuku yang sesekali berhenti untuk mengambil nafas lebih. Ketika aku menatapnya, dia membalas dengan senyuman yang berarti tidak apa, Ibu masih kuat, kamu tenag saja. Rasa haru ini lagi- lagi muncul. Kemudian kami naik angkot warna biru menuju ke kawasan kampus UI, saat aku turun dari mobil angkot itu, saat itulah aku berpamitan dengan Ayah dan Ibuku. Tak terucap kata sedikit pun dari mulutku. Hanya cium di tangan mereka yang kuberikan. Masih sempat kuliat di saat terakhir, Ayahku mengusap air matanya yang hampir menetes keluar. Tak kuasa lagi, aku langsung menurunkan barangku dan melambaikan tangan kepada mereka. Kini aku sudah di kamar asramaku blok C1 nomor 35, aku senang menempatinya. Aku merasa nyaman. Hal yang kurasakan sekarang adalah rindu pada Ayah dan Ibu. Ayahku yang selalu sabar, ayahku yang selalu megkhawatirkan aku, ayahku yang tidak pernah mengungkapkan rasa saynagnya dengan kata- kata. Dia mengungkapkannya denga sikap dan perbuatan, hal ini membuatku merasa sangat berharga. Ibuku, ibuku yang selalu semangat dan berjuang untukku. Ibuku yang pekerja keras, yang selau ingin kuteladani. Aku sayang kalian Ayah Ibu.

Pojok kamar asrama UI C1, 35, Depok.

Anda mungkin juga menyukai