Anda di halaman 1dari 3

Pendekatan Keamanan atas Sengketa Kepulauan Spratly di Laut China Selatan Berbicara mengenai keamanan (security), maka tidak

akan terlepas dari tindakan yang dilakukan agar terbebas dari segala ancaman (threat) dari luar dan mengurangi kerentanan (vulnerability) yang ada dari dalam. Jika mengacu kepada sistem internasional, maka keamanan dapat dimaknai sebagai kemampuan negara-negara dan masyarakat untuk meningkatkan identitas independen dan integritas fungsionalnya1. Secara tradisional, kajian mengenai pendekatan keamanan tidak akan jauh dari pandangan realisme, lebih tepatnya neorealisme, terhadap sistem internasional. Neorealisme hirau akan struktur sistem internasional anarki, yang berkontribusi pada terciptanya lingkungan kompetitif di antara negara-negara. Akibatnya, kondisi sistemik tersebut akan mempengaruhi tindakan satu negara untuk membuat negara lain semakin aman atau bisa juga semakin mengancam. Salah satu unit keamanan itu adalah wilayah negara yang berdaulat. Wilayah negara merupakan dasar fisik negara (physical base of state) yang termasuk ke dalam objek keamanan paling konkret dan karenanya menjadi yang paling rentan. Terkait dengan Spratly, sebenarnya ada banyak klaim atas kepemilikan wilayah kepulauan tersebut oleh negara-negara yang secara geografis berdekatan dengan Laut China Selatan. China melakukan klaim atas dasar historis bahwa hampir keseluruhan wilayah Laut China Selatan dulunya merupakan wilayah yang ditemukan dan dikuasai oleh angkatan laut China2. Namun setelah meratifikasi United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), China tidak lagi berkuasa atas seluruh Laut China Selatan. Namun China berhasil mendapatkan klaim atas Kepulauan Paracel dengan menggunakan dalil mengenai archipelagic states yang tertera di dalam UNCLOS. Taiwan juga mengajukan klaim atas Kepulauan Spratly. Setelah reunifikasi, Vietnam juga ikut mengajukan klaim atas Kepulauan Spratly dengan dalil Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sejauh 200 mil. Filipina kemudian juga tidak ketinggalan membangun ZEE sejauh 200 mil dan mengklaim Kepulauan Spratly sebagai wilayah negaranya. Begitu juga dengan Brunei Darussalam yang juga membangun ZEE sejauh 200 mil dan memasukkan Kepulauan Spratly ke dalam teritorinya. Sedangkan Malaysia ikut terlibat ke dalam sengketa Kepulauan Spratly dikarenakan oleh perluasan batas landas kontinennya, sehingga Malaysia merasa berhak untuk ikut mengeksplorasi sumber daya alam di Kepulauan Spratly.

1
2

Barry Buzan, People, State, and Fear (Hertfordshire : Harvester Wheatsheaf, 1991) N. Lu, Flashpoint Spratlys (New York : Dolphin Books, 1995)

China, yang telah memperoleh klaim atas Kepulauan Paracel, pada awalnya masih belum terlibat dalam sengketa Kepulauan Spratly. Ini kemungkinan disebabkan oleh China yang saat itu belum memiliki proyeksi power yang cukup untuk menerapkan hegemoninya di kawasan Laut China Selatan. Terlibatnya China ke dalam sengketa Spratly secara terangterangan dimulai pada tahun 1992, ketika Beijing mengeluarkan Law of the Peoples Republic of China on the Territorial Waters and Contiguous Areas yang menyatakan klaim China atas seluruh Laut China Selatan (termasuk Kepulauan Spratly) dan menerapkan penggunaan militer untuk melindungi wilayah tersebut3. Motif keterlibatan China atas sengketa klaim wilayah Kepulauan Spratly ini diperkirakan untuk memperluas yurisdiksi negaranya ke jantung bahari Asia Tenggara, dengan lingkungan strategis yang luas tentu saja. Keberadaan angkatan laut China di wilayah Laut China Selatan juga mau tidak mau dapat menjadi ancaman, tidak hanya bagi negaranegara Asia Tenggara, namun juga bagi Jepang, Amerika Serikat, dan negara lain yang berkepentingan di perairan Laut China Selatan4. China tercatat pernah melakukan pendudukan di Kalayaan, bagian Kepulauan Spratly yang diklaim oleh Filipina. Ketegangan antara Malaysia dan Filipina, Malaysia dan Vietnam, serta Filipina dan Vietnam juga masih terus berlanjut. Semuanya berakar dari kompetisi antara negara-negara dalam sistem internasional yang anarki. Kompetisi yang mempengaruhi tindakan satu negara (dalam hal ini China) untuk menghadirkan sebentuk ancaman, atau sebutlah hegemoni, atas negara lain (dalam hal ini negara-negara Asia Tenggara dan negara yang berkepentingan di Laut China Selatan). Ancaman yang coba dihadirkan oleh China ini yang kemudian menjadi fokus pembahasan keamanan, khususnya keamanan regional.

Desy Amalia Yusri 170210090005

Ralf Emmers, Maritime Disputes in the South China Sea, dalam Kwa Chong Gwan dan John K. Skogan (eds) Maritime Security in Southeast Asia (New York : Routledge, 2007) 4 M. Leifer, Chinese Economic Reform: the Impact on Policy in the South China Sea, dalam G. Segal dan R. H. Yang (eds) Chinese Economic Reform: The Impact on Security (London : Routledge, 1996)

Lampiran :

Anda mungkin juga menyukai