Anda di halaman 1dari 20

Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 7 No.

11 April 2009


POTRET PENDIDIKAN DI KECAMATAN BATANG ALAI TIMUR
Muhammad Yusran, S.Pd.I, M.Si




Abstrak

Nasikh-mansukh (abrogasi) merupakan salah satu cabang ilmu-ilmu al-
Qur'an yang mengandung kontroversial sepanjang sejarah. Hal ini
disebabkan paling tidak karena adanya pandangan yang saling
bertentangan mengenai apakah al-Qur'an mengandung ayat-ayat nasikh
dan ayat-ayat mansukh? Kajian Nasikh-mansukh dalam al-Quran bila
kita cermati juga sarat dengan nilai-nilai kependidikan. Nilai
kependidikan adalah sesuatu yang baik yang kita ambil dari suatu
kejadian atau peristiwa, yang terjadi di alam raya ini. Dalam konteks
nasikh mansukh dalam al-Quran, yang sebelumnya kita tahu bahwa
realitas dari nasikh mansukh ini menyiratkan akan adanya dialektika
hubungan antara wahyu dan kehidupan. Hal ini menunjukkan, bahwa
konteks nasikh mansukh merupakan fenomena Ilahiyah yang sudah pasti
mengandung banyak pelajaran-pelajaran berharga, karena tidak mungkin
Allah SWT mengadakan satu fenomena tanpa nilai hikmah di dalamnya,
dalam hal ini nilai pendidikan
Kata Kunci; al-Quran, Nasikh-mansukh, nilai kependidikan

Staf pengajar pada Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Darul Ulum
Kandangan Kalimantan Selatan. Riwayat Pendidikan: S1 ditempuh pada Fakultas
Tarbiyah (Pendidikan Bahasa Arab) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 2004, sedang
program Magister (S2) (Manajemen dan Kebijakan Pendidikan Islam) pada Perguruan
Tinggi yang sama tahun 2006
Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 7 No.11 April 2009


Pendahuluan
Pengakuan akan ada tidaknya ayat-ayat nasikh dan ayat-ayat mansukh
dalam al-Qur'an sangat berperan bagi kehidupan manusia sehari-hari. Bagaimana
umat Islam bersikap kepada orang-orang non-muslim, misalnya sangat mungkin
dipengaruhi oleh konsep nasikh-mansukh. Mereka yang mengatakan bahwa umat
Islam boleh memerangi orang-orang non-muslim dengan tanpa alasan yang bisa
dipertanggungjawabkan boleh jadi dipicu adanya ayat-ayat "Dan perangilah
orang-orang kafir dimanapun mereka kamu temui.
1
Juga sebaliknya bagi mereka yang tidak mengakui adanya nasikh-
mansukh beranggapan bahwa memerangi orang-orang kafir (non-muslim) tak
boleh dilakukan tanpa alasan yang dibenarkan syar'i. Sebab Islam menurut
mereka hanyalah boleh berperang melawan orang-orang non-muslim dengan
alasan mempertahankan diri atau harga diri, dan juga dengan cara defensif bukan
ofensif. Oleh karena itu, bukan tidak mungkin konsep nasikh-mansukh bisa
sangat mempengaruhi cara berfikir umat Islam, bukan hanya mengenai hubungan
antar agama, melainkan juga dalam berbagai bidang kehidupan yang lain.
yang dianggap oleh banyak
kalangan mufassir tradisional menjadi nasikh (penghapus) atas ayat-ayat lain
yang menyerukan toleransi, memberi maaf, bersikap sabar dan lain-lain.
Pandangan seperti ini sangat banyak kita temukan dalam kitab-kitab tafsir klasik.
Permasalahannya sederhana saja, yaitu adanya pengakuan akan adanya eksistensi
nasikh dalam al-Qur'an.
2
Pembahasan tentang naskh adalah pembahasan sejarah. Nasikh-mansukh
merupakan bukti terbesar bahwa ada dialektika hubungan antara wahyu dan


1
...... , Al-Qur'an al-Karim, Al-Baqarah ayat 191,
Depag, 1993. Hlm.46.
2
Ahmad Baidowi, dalam Pengantar, Teori Naskh dalam Studi al-Qur'an
Gagasan Rekonstruktif M.H. Al-Tabataba'I, Yogyakarta, Nun Pustaka, 2003. Hlm. v-vi
Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 7 No.11 April 2009


realitas kehidupan manusia. Sebab naskh adalah pembatalan hukum baik dengan
menghapuskan dan melepaskan teks yang menunjukkan hukum dalam bacaan
(tidak dimasukkan dalam kodifikasi al-Qur'an), atau membiarkan teks tersebut
tetap ada sebagai petunjuk adanya hukum yang di mansukh, dikarenakan adanya
alasan-alasan tertentu yang berkaitan erat dengan realitas kehidupan Nabi ketika
itu.
3

Lafal nasikh terdapat dalam al-Qur'an, konteks ayat yang mengandung
lafal tersebut mengisyaratkan adanya nasikh dalam al-Qur'an.
Firman Allah:
) : 82 (
Artinya: "Seandainya al-Qur'an itu datang bukan dari Allah, niscaya
mereka menemukan di dalam kandungannya ikhtilaf (kontradiksi) yang
banyak." (Q.S. 4: 82)
Ayat tersebut di atas diyakini kebenarannya oleh setiap muslim. Namun
para ulama berbeda pendapat tentang cara menghadapi ayat-ayat yang sepintas
lalu menunjukkan kontradiksi. Dari sinilah antara lain timbulnya pembahasan
tentang nasikh-mansukh.
4

Ulama pertama yang membahas masalah nasikh-mansukh adalah Imam
Syafi'i, walaupun saat itu beliau membahasnya dalam kajian sebagai penjelasan
dalam memperoleh hukum.
5
Menurut Nasr Hamid Abu Zaid "Naskh pertama

3
Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur'an, Kritik terhadap Ulumul Qur'an,
terj. Khoirin Nahdiyyin, Yogyakarta, LKIS, 2002, Hlm. 141.
4
Muhammad Chirzin, Al-Qur'an dan Ulumul Qur'an, Jakarta, PT. Dana Bakti
Prima Yasa. 1998. Hlm. 39.
5
Wahbah az-Zuhaili, Ushl al-Fiqh al-Islami, Beirut, Dar al-Fikr, 1986. Hlm.
931.
Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 7 No.11 April 2009

0
adalah pengalihan arah kiblat yang sebelumnya mengarah ke masjid al-Aqsha di
Palestina dan kemudian dinasikh menghadap ke masjid al-Haram di Mekkah-
selanjutnya diikuti puasa pertama (bukan puasa Ramadhan).
6
Dalam al-Qur'an kata nasikh disebutkan dalam beberapa bentuk
sebanyak empat kali, yaitu: Q.S. 2: 106, 7: 154, 22: 52, 45: 29.
7

Firman Allah SWT:

) : 106 (
Artinya:
"Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau kami jadikan
(manusia) lupa kepadanya. Kami datangkan yang lebih baik dari
padanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu
mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu."
Pengertian Nasikh dan Mansukh
Secara etimologi nasikh dapat diartikan sebagai berikut:
1. mengandung arti menghilangkan seperti contoh dalam surat al-Haj,
ayat, 52

6
Nasr Hamid Abu Zaid, Op. Cit., Hlm. 55.
7
Muhammad Chirzin, Op. Cit., Hlm. 39.
Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 7 No.11 April 2009


2. berarti memindahkan sesuatu dari satu tempat ke tempat lain,
seperti: , saya menukilkan kitab ini, yaitu apabila kita
menulilkan apa yang di dalam kitab itu meniru lafadh dan tulisannya.
3. yang berarti mengganti atau menukar seperti contoh dalam surat
an-Nahl ayat, 101
4. yang berarti memalingkan, seperti memalingkan pusaka dari
seseorang kepada orang lain.
8

Sedangkan secara terminologi (istilah) terdapat perbedaan definisi
nasikh, yaitu: dalam kitab Mabahis fi Ulum al-Qur'an, Manna' al-Qattan
memberikan defenisi nasikh sebagai: mengangkat hukum syara'.
9
Sementara
ulama ushul fiqh mengartikan nasikh sebagai pembatal amal (perbuat ibadah)
dengan hukum syara' yang datang kemudian, baik pembatalan itu bersifat jelas
atau pun samar, menyeluruh atau pun tidak dengan alasan kemaslahatan umat.
10

Para ulama mutaqaddimin (abad 1-3 H) memperluas arti nasikh sehingga
mencakup; (a) pembatalan hukum yang ditetapkan terdahulu oleh hukum yang
ditetapkan kemudian; (b) pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum
yang bersifat khusus yang datang kemudian; (c) penjelasan yang datang
kemudian terhadap hukum yang bersifat samar; (d) penetapan syarat terhadap
hukum terdahulu yang belum bersyarat.
11


8
Wahbah az-Zuhaili, Op. Cit., Hlm. 933.
9
Manna' al-Qattan, Mabahis fi Ulum al-Qur'an, T.tp. Mansyurat al-Atsr al-
Hadits, 1973, Hlm. 232
10
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushl al-Fiqh, t.k, 1978, Hlm. 222.
11
Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushl al-Syari'at, Dar al-Ma'arif, Beirut, 1975,
jilid III, Hlm. 108, dalam Quraish Shihab, Membumikan al-Qur'an, Bandung, Mizan,
2001, Hlm. 144.
Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 7 No.11 April 2009


Bahkan ada di antara mereka yang beranggapan bahwa suatu ketetapan
hukum yang ditetapkan oleh satu kondisi tertentu telah menjadi mansukh apabila
ada ketentuan lain yang berbeda akibat adanya kondisi lain, seperti misalnya
perintah untuk bersabar atau menahan diri pada periode Mekkah di saat kaum
muslim lemah, dianggap telah di nasikh oleh perintah atau izin berperang pada
periode Madinah. Sebagai mana ada yang berpendapat bahwa ketetapan hukum
Islam yang membatalkan hukum pra-Islam merupakan bagian dari pengertian
nasikh.

12
Oleh para ulama yang datang kemudian (muta'akhirin), pengertian yang
luas itu dipersempit. Menurut mereka, nasikh terbatas pada ketentuan hukum
yang datang kemudian, guna membatalkan, mencabut atau menyebabkan
berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang terdahulu, sehingga ketentuan
hukum yang berlaku adalah yang ditetapkan terakhir.

13
1. Keterangan tegas dari Nabi SAW atau sahabatnya, sebagaimana
dalam hadits yang diriwayatkan oleh a-Hakim:

Tentang Kriteria dan Syarat Keabsahan Nasikh.
Di dalam kitab Mabahits fi 'Ulum al-Qur'an, Manna' al-Qattan
memberikan beberapa kriteria yang dapat membantu kita untuk mengetahui
nasikh-mansukh dalam al-Qur'an.

2. Kesepakatan ulama bahwa ayat tersebut nasikh atau sebaliknya
mansukh.

12
Abdul 'Azim Al-Zarqani, Manahil al-'Irfan fi 'Ulum al-Qur'an, Al-Halabiy,
Mesir, 1980, jilid II, Hlm.254, dalam Quraish Shihab, Ibid.,Hlm. 144.
13
Quraish Shihab, Ibid.,Hlm. 144.
Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 7 No.11 April 2009


3. Melalui pendekatan sejarah, dengan memperhatikan ayat mana
yang lebih dahulu turun.
14
Ibnu Katsir, dalam rangka membuktikan kekeliruan orang-orang
Yahudi, yang mempertahankan, ajaran agama mereka dan menolak ajaran Islam
dengan dalih tidak mungkin Tuhan membatalkan ketetapan-ketetapannya yang
termaktub dalam Taurat, menyatakan, Tidak ada alasan yang menunjukkan
kemustahilan nasikh atau pembatalan dalam hukum-hukum Allah, karena Dia
(Tuhan) menetapkan hukum sesuai dengan kehendak-Nya dan melakukan apa
saja yang diinginkan-Nya.
Pendapat Ibnu Katsir ini mendapat pembenaran dari al-Quran, surah
al-Baqarah, ayat 106, yang terjemah harfiah-nya adalah:
Kami tidak menasikhkan satu ayat atau Kami menjadikan manusia lupa
kepadanya, kecuali Kami mendatangkan yang lebih baik darinya atau
yang sebanding. Apakah kamu tidak mengetahui sesungguhnya Allah
berkuasa atas segala sesuatu.
Para ulama yang menyepakati nasikh berbeda pendapat mengenai syarat-
syarat keabsahan nasikh, sehingga memunculkan adanya syarat-syarat yang
diperselisihkan. Walaupun demikian, ada syarat-syarat yang disepakati, untuk
menentukan nasikh dan mansukhnya suatu ayat: syarat-syarat yang disepakati itu
adalah:

(a) yang dinasikh (mansukh) merupakan hukum syari
(b) yang menasikh pun harus dalil syari
(c) dalil nasikh turun terkemudian setelah dalil mansukh

14
Manna' al-Qattan, Op. Cit., Hlm. 233.
Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 7 No.11 April 2009

4
(d) antara kedua dalil yang kemudian menjadi mansukh dan nasikh
tersebut terdapat pertentangan hakiki di mana keduanya benar-benar
tidak bisa dikompromikan.
15
Kedua, kedua dalil itu memiliki kekuatan yang sama dalam hal
penunjukkan hukum.

Dengan menyatakan bahwa di antara syarat keabsahan nasikh adalah
bahwa kedua dalil (yang menasikh dan yang dinasikh) merupakan hukum syari.
Maka kalangan penerima teori nasikh menegaskan bahwa nasikh hanya terjadi
pada masa kenabian Muhammad SAW, saat pewahyuan masih berlangsung.
Dengan demikian, setelah Nabi wafat, maka tidak terjadi lagi nasikh,
sebab dengan berakhirnya wahyu yang diturunkan Allah kepada Nabi
Muhammad, berarti kemapanan hukum telah terjadi atau tidak ada perubahan
hukum.
Syarat keabsahan nasikh adalah hukum yang diwahyukan lebih dulu
daripada hukum yang menasikh, hal ini meniscayakan bahwa proses nasikh
mansukh adalah terjadi sejalan dengan kronologi pewahyuan hukum-hukum
tersebut.
Para ulama ushul juga menegaskan bahwa nasikh hanya terjadi apabila
terdapat pertentangan hakiki antara kedua dalil syari. Pertentangan hakiki inilah
yang tidak memungkinkan kedua pesan hukum yang terdapat dalam dalil-dalil
syari tersebut untuk dikompromikan atau diamalkan sekaligus, sehingga salah
satu dari kedua pesan hukum tersebut harus ditinggalkan. Dua dalil syari yang
dikatakan bertentangan secara hakiki manakala memenuhi kriteria berikut:
Pertama, kedua dalil tersebut sama-sama qathi atau zhanni, baik dari
segi pewahyuan (wurud)-nya atau penunjukkan hukum (dalalah)-nya.

15
Ahmad Baidowi, Op. Cit. Hlm. 55.
Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 7 No.11 April 2009


Ketiga, kedua dalil itu berlaku untuk masa pelaksanaan yang sama.
16
Mustafa Zayd memberikan komentar terhadap tiga kriteria yang
dikemukakan para ulama ushul di atas, bahwa pertentangan antara hukum yang
di nasikh hanyalah sebatas pertentangan lahiriah saja, bukan pertentangan hakiki.
Bagi Mustafa Zayd ketidaksamaan masa berlakunya hukum dalam ayat-ayat
yang nasikh dan ayat-ayat yang mansukh (sesuai dengan kronologi
pewahyuannya di mana pesan hukum yang nasikh membatasi masa berlakukanya
hukum yang terdahulu) menunjukkan bahwa antara kedua hukum itu hanya
bertentangan secara lahiriah, bukan secara hakiki.

17
Hal senada juga
dikemukakan oleh Abd al-Wahab Khalaf, menurutnya tidak ada nasikh pada
hukum syari setelah meninggalnya Nabi SAW. Adapun pada masa hidupnya
nasikh dihajatkan sejalan dengan kemaslahatan umat.
18
Menurut pendapat sebagian ahli tahqiq, al-Quran menggunakan lafald
nasikh di segala tempat, adalah sesuai dengan makna yang asli hakiki yang hanya
itulah makna yang terguris di dalam dada masing-masing manusia. Oleh
karenanya, me-nafi-kan nasikh dengan perkataan raful hukmiy syariyi bi
dalilin syariyah atau mengangkat sesuatu hukum syarai dengan dalil syarI
adalah tahdid istilahi yang paling tepat bagi lafadh ini, yang sesuai dengan
bahasa Arab yang menetapkan bahwasanya nasikh itu bermakna menghilangkan
dan mengangkat ke tempat yang lain.

Pendapat Ulama Tentang Nasikh Mansukh
19

16
Ahmad Baidawi, ibid. Hlm. 56
17
Mustafa Zayd, al-Naskh fi al-Quran al-Karim, Beirut: Dar al-Fikr, 1971.
Hlm.167. dalam Ahmad Baidowi, TeoriHlm. 57
18
Abd. Al-Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, hlm. 222.
19
Hasby Ash Shiddieqy, Ilmu-ilmu Al-quran, Media Pokok Dalam Menafsirkan
Al-quran, Jakarta, Bulan Bintang, 1972, Hlm. 150
Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 7 No.11 April 2009

6
Adanya nasikh hukum syara dalam al-Quran pada peristiwa-peristiwa
tertentu adalah karena mengandung rahasia-rahasia dan hikmah-hikmah yang
hanya diketahui oleh ulama-ulama yang rasikh ilmunya. Adanya perbedaan
pendapat dalam mendefinisikan nasikh menyiratkan makna kepada kita akan
adanya beberapa macam perselisihan yang lain pada pokok pembicaraan ini,
yaitu:

a. Nasikh itu hanya terjadi di al-Quran, maka tidak salah al-Quran di
nasikh-kan dengan (ayat) al-Quran pula, karena cukup dalil baik aqli
maupun naqli yang membolehkan
b. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa Sunnah boleh di nasikh-kan oleh
al-Quran, seperti me-nasikh-kan puasa hari asyura dengan ayat syiyam.
Kecuali Imam SyafiI yang tidak sependapat (membenarkan) dengan hal
ini.
c. Jumhur ulama sebelum Abu Musa al Asfahany (w 322 H) mengatakan
bahwa adanya nasikh dalam al-Quran adalah sesuatu hal yang dapat di
terima oleh akal. Sementara Abu Muslim (sebagai seorang ulama ahli
tahqiq) tidak membenarkan nasikh dalam arti umum. Beliau
membatalkan beberapa macam nasikh, yang menurut pendapatnya
bertentangan dengan al-Quran surat Fushilat ayat 41. menurutnya
nasikh adalah takhsis. Hal ini beliau katakan untuk menghindari
adanya pembatalan sesuatu hukum yang telah Allah turunkan.
20
Adalah Abu Muslim al-Ishfahani, al-Fakhrurrazi dan Muhammad
Abduh golongan yang menyatakan bahwa tidak ada nasikh dalam al-Quran. Al-
Ishfahani berpendapat bahwa tidak seorang pun yang dapat atau berhak atau


20
Untuk pemahama0n lebih dalam silahkan lihat dalam: Ibid, Hlm. 150-151
Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 7 No.11 April 2009


mengubah firman Allah, kita wajib beriman bahwa dalam al-Quran tidak ada
pembatalan (nasikh). Semua ayat sudah tetap (muhkam) dan wajib kita amalkan.
Al-Maraghi menjelaskan bahwa hukum tidak diundangkan kecuali
untuk kemaslahatan manusia. Hal ini mungkin berubah karena adanya perubahan
keadaan waktu dan tempat, sehingga apabila suatu hukum diundangkan untuk
kebutuhan pada satu waktu, kemudian kebutuhan itu berakhir, maka merupakan
satu langkah bijaksana apabila ia dinasikh, dan diganti dengan hukum yang lebih
baik dari hukum semula atau sama segi manfaat bagi hamba-hamba-Nya.
Muhammad Abduh menolak nasikh dalam arti pembatalan, tetapi
menyetujui adanya tabdil (pergantian, pengalihan, pemindahan ayat hukum di
tempat ayat hukum lainnya. Adapun Asy-Syatibi berpendapat bahwa hukum-
hukum, apabila telah terbukti secara pasti kebenarannya, atau ketepatannya,
terhadap mukallaf, maka tidak mungkin me-nasikh-nya kecuali atas pembuktian
yang pasti.
Sedangkan Abu Musa berpendapat bahwa hukum Tuhan yang
dibatalkan bukan berarti bathil. Sesuatu yang dibatalkan penggunaannya karena
adanya perkembangan dan ke-maslahatan pada suatu waktu bukan berarti yang
dibatalkan itu tidak benar ketika berlaku pada masanya, dengan demikian yang
membatalkan dan yang dibatalkan keduanya adalah hak dan benar, bukan
bathil.
21

21
Muhammad Chirzin, Al-Quran dan Ulumul Quran.. Hlm. 44.
Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 7 No.11 April 2009


1. Nasikh al-Quran dengan al-Quran. Nasikh jenis ini disepakati oleh ulama
yang meyakini adanya nasikh.

Pembagian Nasikh
Dalam kitab Mabahits fi Ulumul Quran, Manna al-Qattan, membagi
nasikh menjadi empat jenis.
2. Nasikh al-Quran dengan Sunnah, Nasikh ini terbagi dua:
Nasikh al-Quran dengan sunnah ahad. Jumhur ulama menyatakan
bahwa ini tidak ada (tidak boleh), karena al-Quran memberikan
keyakinan sedangkan hadits ahad tidak, karena tidak sah (dibolehkan)
menghilangkan yang diyakini dengan yang tidak diyakini.
Nasikh al-Quran dengan sunah mutawattir. Imam Malik, Abu Hanifah
dan Imam Ahmad membolehkan jenis ini, karena sunnah mutawattir
sama dengan al-Quran, karena sama-sama wahyu.
22
3. Nasikh Sunnah dengan al-Quran, jumhur ulama memperbolehkan.
Adapun Imam asy-
Syafii, dan Ahl Zhahir menolak dengan dalil al-Quran surat Baqarah
ayat 106; dan Sunnah menurut pendapat mereka tidak lebih baik dari al-
Quran juga tidak serupa dengannya
4. Nasikh Sunnah dengan Sunnah. Di sini terbagi menjadi empat: (i) Nasikh
sunnah ahad dengan sunnah ahad, (ii) nasikh sunah mutawattir pada
sunnah ahad, (iii) nasikh sunnah mutawattir dengan sunah mutawattir, dan
(iv) nasikh sunnah ahad dengan mutawattir. Ketiga nasikh ini diterima
ulama, kecuali yang terakhir dilarang.
23
Untuk dua jenis yang terakhir ini, imam Syafii menyatakan bahwa
seandainya terdapat hadits yang me-nasikh al-Quran tentulah ada ayat yang


22
Lihat QS An-Najm: 3-4, dan An-Nahl: 44
23
Manna al-Qattan, MabahitsHlm. 236-237
Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 7 No.11 April 2009


menguatkan hadits tersebut. Demikian pula ketika ada hadits yang di-nasikh al-
Quran maka terdapat hadits lain yang menguatkan.
24
1. Nasikh bacaan dan hukum, contoh nasikh ayat penetapan hubungan
radha sebab 10 susuan, menjadi 5 isapan. Hadits riwayat Aisyah .

Bagi ulama yang berpendapat ada nasikh dalam al-Quran membagi
Nasikh al-Quran dengan al-Quran menjadi tiga
2. Nasikh hukum, sedang bacaannnya tetap, seperti pada ayat pelarangan
wasiat bagi ahli waris.
3. Nasikh bacaan saja, hukumnya tetap dalam contoh laki-laki tua dan wanita
tua yang harus dirajam ketika terbukti berzina.
Para ulama yang menetapkan adanya nasikh dalam al-Quran telah
membagi surat-surat al-Quran kepada beberapa bagian:
Pertama, surat-surat yang tidak ada padanya nasikh mansukh, yaitu 43
surat. Kedua, surat-surat yang terdapat padanya nasikh saja, yaitu 6 surat.
Ketiga, surat-surat yang terdapat padanya mansukh saja, yaitu 40 surat. Dan
yang Keempat, surat-surat yang terdapat padanya nasikh mansukh, yaitu 31
surat.
25
Sedangkan Muhammad Hasby Ash Shiddieqy sendiri berpendapat
bahwa ayat al-Quran semuanya muhkam, bukan mansukh terkecuali jika ada
dalil yang tegas dan menunjukkan kepada ke-mansukhan-nya.

26

24
Lihat Jalaludin Abdurrahman As-Suyuti, al-Itqan fi Ulum al-Quran, Kairo:
Dar at-Turats, hlm. 61, juga as-Syafii, ar-Risalah , hlm. 67-89. dalam makalah
Hidayatullah, Nasikh Mansukh, tt. hlm.7
25
Hasby Ash Shiddieqy, Ilmu-ilmu Al-quran., Hlm. 157
26
Ibid, Hlm. 157
Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 7 No.11 April 2009

0
Jumlah Ayat yang Dinasikh
Para ulama ahli tahqiq telah mempelajari ayat-ayat al-Quran yang
dikatakan mansukhah oleh sebagian ahli tafsir; mereka membahasnya dari
berbagai jalan; sehingga dapatlah mereka membatasi ayat-ayat yang dikatakan
mansukhah tersebut dalam bilangan yang relatif kecil. Kemudian pendapat (hasil)
ini dikoreksi lagi oleh ulama-ulama yang lahir belakangan (mutaakhirin) hingga
akhirnya menghasilkan jumlah yang lebih kecil lagi.


As-Sayuthy misalnya mengatakan dalam Al-Itqan, bahwa ayat yang
mansukhah hanya 21 ayat, yang sebagiannya masih diperselisihkan. Kemudian
dia mengecualikan ayat istidzan dan ayat qismah, yaitu ayat 58 surat An-Nuur
dan ayat 7 surat An-Nisa. As-Sayuthy menegaskan bahwa ayat ini muhkamah.
Dengan demikian, ayat yang mansukhah menurut As-Sayuthy menjadi 19 ayat
saja.
27
Yusup al-Qardhawi dalam bukunya Ijtihad dalam Syariat Islam,
mengemukakan bahwa banyak perbedaan pendapat ulama tentang jumlah ayat
nasikh mansukh: seperti pendapat Imam ad-Dahlan dan Khudasi yang
membatasi hanya 5 ayat, berlainan dengan asy-Syuyuti, 21 ayat. Secara umum
jumlah ayat nasikh mansukh menurut ulama mutaqaddimin jauh lebih banyak
dari pada menurut ulama mutaakhirin.

28
K.H. Ali Yafie, dalam tulisannya Mengenal Nasikh-Mansukh dalam Al-
Qur'an, menyebutkan adanya hikmah yang terkandung dalam pembahasan ini,
lebih lanjut ia menguraikan: adanya nasikh-mansukh tidak dapat dipisahkan

Hikmah Adanya Nasikh-Mansukh.

27
Hasby Ash Shiddieqy, Ilmu-ilmu Al-quran., Hlm. 157-158
28
Yusuf al-Qardhawi, Ijtihad dalam Syariat Islam, Jakarta, Bulan Bintang,
1987. hlm.22.
Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 7 No.11 April 2009


dari sifat turunnya al-Qur'an itu sendiri dan tujuan yang ingin dicapainya. Al-
Qur'an tidak diturunkan secara langsung tetapi secara berangsur-angsur dalam
kurun waktu 20 tahun lebih. Hal ini memang dipertanyakan orang ketika itu, lalu
al-Qur'an sendiri menjawabnya, penahanan itu untuk pemantapan, khususnya
dibidang hukum".
29
Masih dalam buku yang sama Syekh al-Qosim berkata,
"Sesungguhnya al-Kholiq Yang Maha Suci dan Yang Maha Tinggi mendidik
bangsa Arab selama 23 tahun dalam proses tadarruj (bertahap) sehingga
mencapai kesempurnaan dengan perantara berbagai sarana sosial.
30
Nasikh-mansukh dalam pandangan alam yang hidup ini adalah sesuatu
yang alami, baik dalam bidang matrial maupun spiritual. Seperti halnya proses
kejadian manusia yang sebelumnya berasal dari unsur-unsur sperma dan telur
kemudian berubah menjadi janin lalu manjadi anak, menjadi remaja, menjadi
dewasa, kemudian menjadi orang tua dan seterusnya.

31
Menurut Abdul Wahab Khalaf, keberadaan nasikh-mansukh ini semata-
mata untuk kemaslahatan manusia, dan kemaslahatan itu dapat berubah-ubah
sesuai dengan perubahan keberadaan manusia.

32
Hikmah yang lain, menilai
sejauh mana kemaslahatan manusia pada hukum Allah secara zhanni,
menjadikan lebih baik, dalam artian lebih sesuai dengan situasi dan kondisi
masyarakat ketika itu, untuk memerangi akidah, kebiasaan Arab-arab jahiliyah,
seperti dalam proses tahapan pengharaman khamar.
33

29
K.H. Ali Yafie, Mengenal Nasikh Mansukh dalam al-Qur'an. dalam Belajar
Mudah Ulum al-Qur'an , Jakarta, 2003. Hlm. 175-176.
30
Ibid
31
Ibid
32
Abd Wahab Khalaf, Op.Cit. Hlm. 222
33
Muhammad A. khalafullah, Al-Qur'an Bukan Kitab Sejarah: Seni, Sastra dan
Moralitas dalam Kisah-kisah Al-Qur'an, terj. Zuhairi Misrawi dan Aris Maftuhin,
Jakarta, Paramadina, 2003. Hlm.52.
Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 7 No.11 April 2009


masyarakat sebagai bentuk pemberian kemudahan, kelonggaran dan proses
pentahapan dalam menetapkan syari'at.
Sedangkan menurut Nasr
Hamid Abu Zaid bahwa fungsi nasikh (hikmah diadakannya nasikh) adalah
sebagai pengubahan hukum mengikuti gerak langkah perubahan yang ada dalam
34
a. Untuk memelihara kemaslahatan umat (Islam)

Senada dengan para tokoh di atas Mannaal Qattan juga
mengemukakan adanya hikmah dari kajian nasikh mansukh ini; yaitu:
b. Perkembangan syariat sampai kepada susunan yang sempurna, seperti
perkembangan dakwah dan perkembangan kehidupan manusia
c. Sumber kebaikan dan kebahagiaan umat
35
Nilai Kependidikan dari Nasikh dan Mansukh
Nilai kependidikan adalah sesuatu yang baik yang kita ambil dari suatu
kejadian atau peristiwa, yang terjadi di alam raya ini. Dalam konteks nasikh
mansukh dalam al-Quran, yang sebelumnya kita tahu bahwa realitas dari nasikh
mansukh ini menyiratkan akan adanya dialektika hubungan antara wahyu dan
kehidupan
Hal ini menunjukkan, bahwa konteks nasikh mansukh merupakan
fenomena Ilahiyah yang sudah pasti mengandung banyak pelajaran-pelajaran
berharga, karena tidak mungkin Tuhan Yang Esa mengadakan satu fenomena
tanpa nilai hikmah di dalamnya, dalam hal ini nilai pendidikan

Ayat-ayat al-Quran yang diturunkan oleh-Nya kepada rasul-Nya
Muhammad saw pada saat tertentu, kemudian (menurut sebagian ulama) pada
masa berikutnya di mana masa konteks ayat yang diturunkan tadi sudah tidak

34
Nasr Hamid Abu Zaid, Tektualitas .,Hlm. 150-156.
35
Manna al-Qattan, Mabahits,Hlm. 240
Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 7 No.11 April 2009


relevan lagi,
36
Dari konteks fenomena nasikh mansukh di atas, seharusnya manusia
(anak didik) belajar dan atau menerima ilmu pengetahuan sesuai dengan tingkat
perkembangan intelektualnya. Imam al-Ghazali yang lahir pada tahun 450
H/1058M, di desa Thus wilayah Iran, yang terkenal dengan gelar pembela
Islam (hujjatul Islam) menegaskan bahwa pelajar yang ingin menguasai ilmu
dengan baik serta mendalam haruslah belajar setara bertahap. Lebih lanjut beliau
berkata seorang pelajar hendaklah tidak mempelajari ilmu secara serentak,
tetapi memelihara tertib dan memulainya dari yang lebih penting.
lalu di nasikh atau mansukh dengan ayat yang diturunkan
kemudian, sebenarnya mengandung makna pendidikan yang sangat baik, seperti:
a. Belajar secara bertahap
37


Dengan dasar di atas, belajar haruslah secara tertib, artinya
mendahulukan ilmu-Ilmu yang berhak didahulukan dan mengemudiankan ilmu-
ilmu yang memang harus dikemudiankan. Kaitannya dengan penyusunan
kurikulum, materinya harus disesuaikan dengan tingkat kemampuan intelektual
anak. Misalnya dalam ranah psikologis anak, berpikir itu melalui tiga tahapan,
yaitu: berpikir konkrit, simbolis, dan absrak.
Maka materi untuk usia sekolah lanjutan akan gagal jika diberikan
kepada anak usia sekolah dasar (SD), atau sebaliknya. Anak dengan usia sekolah
lanjutan yang sudah harus bersifat pengembangan-pengembangan intelektual
tidaklah berhasil jika diberikan materi dengan metode untuk sekolah dasar, dan
seterusnya.

36
Meskipun menurut penulis al-Quran itu muhkam semuanya, dan karenanya
pas dan cocok untuk segala jaman
37
Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran al-Ghazali Tentang Pendidikan, Yogyakarta,
Pustak Pelajar, 1998, Hlm. 87
Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 7 No.11 April 2009

4
b. Pendidikan Kepribadian
Nasikh mansukh dalam proses pengharaman khamar yang tersruktur
dengan rapi mengisyaratkan nilai pendidikan yang kontekstual dengan sosio
kultural peserta didik. Dalam proses pengharaman khamar Allah tidak secara
langsung mengharamkan khamar, dikarenakan kondisi sosio kultural yang saat
itu tidak memungkinkan. Allah hanya menjelaskan bahwa padanya ada manfaat
yang sedikit, tetapi manfaatnya lebih kecil ketimbang mudharat-nya, lalu proses
yang kedua Allah melarang melakukan shalat bagi mereka yang dalam keadaan
mabuk, dan sebagai puncak dari pelarangan itu Allah memfirmankan bahwa
khamar itu adalah najis dan bagian dari perbuatan syaitan karena itu jauhilah.
Proses pengharaman khamar itu mengisyaratkan akan pentingnya
pemahaman seorang guru (pengajar atau orang tua) pada ilmu kepribadian, atau
lebih tepatnya psikologi kepribadian. Dengan pamahaman yang baik akan
kepribadian siswa, seorang guru akan dapat: (1) mengenal sifat anak masing-
masing, sehingga pelajarannya dapat mudah diterima oleh anak, (2) akan
terhindar dari kemungkinan timbul konflik dengan anak-anaknya sendiri, yang
berarti bahwa guru telah kehilangan wibawa di mata siswa-siswanya, dan apakah
yang akan diharapkan dengan hasil pendidikan semacam itu?, dan (3) dapat
mencegah kemungkinan timbulnya prustasi bagi anak, dan itu berarti suatu
sukses besar di dalam proses belajar mengajar.
38

38
Agus sujanto, dkk, Psikologi Kepribadian, jakarta, Bumi Aksara, 1997, Hlm.
7
Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 7 No.11 April 2009


Pelajaran itu adalah; bahwa dalam prose belajar mengajar seorang guru
atau pemuka agama (dai / penceramah) seyogyanya memperhatikan peserta
didiknya atau orang yang mendengarkan ceramahnya dalam bingkai psikologi
sosial mereka sehingga apa yang disampaikan nantinya bisa diterima dan
dimengerti oleh mereka yang mendengarkannya.

c. Pendidikan itu harus sesuai dengan pendengarnya
Adanya ayat-ayat nasikh (menghapus) atas ayat-ayat mansukh (yang
dihapus), yang menurut sebagian ulama sudah tidak kontekstual lagi dengan
keadaan jamannya mengitibarkan pelajaran berharga bagi dunia pendidikan
Kesimpulan
Dari pemaparan di atas akhirnya kita dapat mengambil beberapa intisari
penting, di antaranya.
a. Bahwa tidak dapat kita pungkiri adanya pertentangan ulama tentang
keabsahan nasikh-mansukh dalam al-Qur'an. Ulama yang menolak
masalah ini di antaranya Abu Muslim al-Ishfahani dan al-Fakhrurrazi,
menurut mereka semua ayat sudah tetap (muhkam) dan wajib kita
amalkan. Sedangkan Muhammmad Abduh terkesan lebih bisa
menerima atau menyetujui adanya nasikh dalam arti tabdil (pergantian)
dan menolak nasikh dalam arti pembatalan.
b. Menurut ulama yang setuju dengan konsep (teori) nasikh, nasikh terbagi
menjadi empat, yaitu: nasikh al-Qur'an dengan al-Qur'an, nasikh al-
Qur'an dengan sunnah, nasikh Sunnah dengan al-Qur'an, dan nasikh
Sunnah dengan Sunnah.
c. Adanya fenomena nasikh mansukh dalam al-Quran ini memberikan
banyak pelajaran berharga bagi kita, khususnya dunia pendidikan kita
seperti: proses belajar itu seyogyanya dilakukan secara bertahap, arti
penting psikologi kepribadian khusunya bagi para (tenaga) pengajar, dan
pembelajaran yang baik itu adalah pembelajaran yang memperhatikan
pendengarnya dalam bingkai psikologi sosial mereka.
Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 7 No.11 April 2009

6
DAFTAR PUSTAKA

Al-Ghazali, Muhammad, Berdialog Dengan Al-Quran; Memahami Peran Kitab
Suci Dalam Kehidupan Masa Kini, (Terj), Bandung, Mizan, 1997
Al-Qattan, Manna', Mabahis fi Ulum al-Qur'an, ttp; Mansyurat al-Atsr al-Hadits,
1973.
Ash Shiddieqy, Hasby, Ilmu-ilmu Al-Quran; Media-media Pokok Dalam
Menafsirkan Al-Quran, Jakarta, Bulan Bintang, 1972
Az-Zuhaili, Wahbah, Usul al-Fiqh al-Islami, Beirut, Dar al-Fikr, 1986.
Baidowi, Ahmad, Teori Naskh dalam Studi Al-Qur'an: Gagasan Rekonstruktif
MH. Al-Tabataba'i, Yogya, Nur Pustaka, 2003.
Chirzin, Muhammad, al-Qur'an dan Ulumul Qur'an, Jakarta, PT Dana Bakti
Prima Yasa, 1998.
Depag RI. Al-Qur'an dan Terjemahnya, Surabaya, Surya Cipta Aksara, 1993.
Ibnu Rusn, Abidin, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan, Yogyakarta,
Pustaka Pelajar, 1998
Khalafullah, Muhammad A, 2003, Al-Qur'an bukan Kitab Sejarah, Seni, Sastra,
dan Moralitas dalam Kisah-kisah Al-Qur'an, terj Zuhairi Misrawi dan
Aris Maftuhin, Jakarta, Paramadina.
Khallaf, Abd Wahab, Ilmu Ushul al-Fiqh, ttp. Dar al-Ilm , 1978
Rahman, Fazlur, Tema Pokok al-Qur'an, Bandung, Pustaka, 1996.
Shihab, Quraisy, Membumikan al-Qur'an, Bandung, Mizan,1999
Sujanto, Agus dkk, Psikologi Kepribadian, Jakarta, Bumi Aksara, 1997
Sukardi (editor), Belajar Mudah Ulum al-Qur'an: Studi Khasanah Ilmu al-
Qur'an, Jakarta, Lentera, 2002.
Yusuf al-Qordhowi, Ijtihad dalam Syari'at Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1987.
Zaid, Nasr Hamid Abu, Tektualitas al-Qur'an: Kritik Terhadap Ulumul al-
Qur'an, Terj, Khoiron Nahdiyyin, Yogya, LKIS , 2002

Anda mungkin juga menyukai