Anda di halaman 1dari 15

Adam menurut Islam

Adam hidup selama 930 tahun setelah penciptaan (sekitar 3760-2830 SM), sedangkan Hawa lahir ketika Adam berusia 130 tahun. Al-Quran memuat kisah Adam dalam beberapa surat, di antaranya Al-Baqarah [2]:30-38 dan Al-Araaf [7]:11-25. Menurut ajaran agama Abrahamik, anak-anak Adam dan Hawa dilahirkan secara kembar, yaitu, setiap bayi lelaki dilahirkan bersamaan dengan seorang bayi perempuan. Adam menikahkan anak lelakinya dengan anak gadisnya yang tidak sekembar dengannya. Menurut Ibnu Humayd, Ibnu Ishaq, dan Salamah anak-anak Adam adalah: Qabil dan Iqlima, Habil dan Labuda, Sith dan Azura, Ashut dan saudara perempuannya, Ayad dan saudara perempuannya, Balagh dan saudara perempuannya, Athati dan saudara perempuannya, Tawbah dan saudara perempuannya, Darabi dan saudara perempuannya, Hadaz dan saudara perempuannya, Yahus dan saudara perempuannya, Sandal dan saudara perempuannya, dan Baraq dan saudara perempuannya. Total keseluruhan anak Adam sejumlah 40.

Wujud Adam
Menurut hadits Muhammad yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Adam memiliki postur badan dengan ketinggian 60 hasta (kurang lebih 27,432 meter).[2] Hadits mengenai ini pula ditemukan dalam riwayat Imam Muslim dan Imam Ahmad, namun dalam sanad yang berbeda.[3] Sosok Adam digambarkan sangat beradab sekali, memiliki ilmu yang tinggi dan ia bukan makhluk purba. Ia berasal dari surga yang berperadaban maju. Turun ke muka bumi bisa sebagai manusia dari sebuah peradaban yang jauh lebih maju dan jauh lebih cerdas dari peradaban manusia sampai kapanpun, oleh karena itulah Allah menunjuknya sebagai `khalifah` (pemimpin) di muka bumi. Dalam gambarannya ia adalah makhluk yang teramat cerdas, sangat dimuliakan oleh Allah, memiliki kelebihan yang sempurna dibandingkan makhluk yang lain sebelumnya dan diciptakan dalam bentuk yang terbaik. Sesuai dengan Surah Al Israa' 70, yang berbunyi:

Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkat mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan (Al Israa' 17:70)

Dalam surah At-Tiin ayat 4 yang berbunyi:

sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaikbaiknya. (At Tiin 95:4)

Menurut riwayat di dalam Al-Qur'an, ketika Nabi Adam as baru selesai diciptakan oleh Allah, seluruh malaikat bersujud kepadanya atas perintah Allah, lantaran kemuliaan dan kecerdasannya itu, menjadikannya makhluk yang punya derajat amat tinggi di tengah

makhluk yang pernah ada. Sama sekali berbeda jauh dari gambaran manusia purba menurut Charles Darwin, yang digambarkan berjalan dengan empat kaki dan menjadi makhluk purba berpakaian seadanya.

Makhluk sebelum Adam


Mengenai penciptaan Adam sebagai khalifah di muka bumi diungkapkan dalam Al-Qur'an:

Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat; Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi. Mereka bertanya (tentang hikmat ketetapan Tuhan itu dengan berkata): Adakah Engkau (Ya Tuhan kami) hendak menjadikan di bumi itu orang yang akan membuat bencana dan menumpahkan darah (berbunuh-bunuhan), padahal Kami senantiasa bertasbih dengan memuji-Mu dan mensucikan-Mu? Tuhan berfirman: Sesungguhnya Aku mengetahui akan apa yang kamu tidak mengetahuinya. (Al-Baqarah 30)

Menurut syariat Islam, manusia tidak diciptakan di Bumi, tetapi diturunkan dimuka bumi sebagai manusia dan diangkat /ditunjuk Allah sebagai Khalifah (pemimpin/pengganti /penerus) di muka bumi atau sebagai makhluk pengganti yang tentunya ada makhluk lain yang di ganti, dengan kata lain adalah Adam 'bukanlah makhluk berakal pertama' yang memipin di Bumi. Dalam Al-Quran disebutkan tiga jenis makhluk berakal yang diciptakan Allah yaitu manusia, jin, dan malaikat. Manusia dan Jin memiliki tujuan penciptaan yang sama oleh karena itu sama-sama memiliki akal yang dinamis dan nafsu namun hidup pada dimensi yang berbeda. Sedangkan malaikat hanya memiliki akal yang statis dan tidak memiliki nafsu karena tujuan penciptaanya sebagai pesuruh Allah. Tidak tertutup kemungkinan bahwa ada makhluk berakal lain selain ketiga makhluk ini. Dari ayat Al-Baqarah 30, banyak mengundang pertanyaan, siapakah makhluk yang berbuat kerusakan yang dimaksud oleh malaikat pada ayat di atas. Dalam Arkeologi, berdasarkan fosil yang ditemukan, memang ada makhluk lain sebelum manusia. Mereka nyaris seperti manusia, tetapi memiliki karakteristik yang primitif dan tidak berbudaya. Volume otak mereka lebih kecil dari manusia, oleh karena itu, kemampuan mereka berbicara sangat terbatas karena tidak banyak suara vowel yang mampu mereka bunyikan. Sebagai contoh Pithecanthropus Erectus memiliki volume otak sekitar 900 cc, sementara Homo sapiens memiliki volume otak di atas 1000 cc (otak kera maksimal sebesar 600 cc). Maka dari itu bisa diambil kesimpulan bahwa semenjak 20.000 tahun yang lalu, telah ada sosok makhluk yang memiliki kemampuan akal yang mendekati kemampuan berpikir manusia pada zaman sebelum kedatangan Adam. Surah Al Hijr ayat 27 berisi:

Dan Kami telah menciptakan jin sebelum (Adam) dari api yang sangat panas. (Al Hijr 15:27)

. Dari ayat ini, sebagian lain ulama berpendapat bahwa makhluk berakal yang dimaksud tidak lain adalah Jin seperti dalam kitab tafsir Ibnu Katsir mengatakan: "Yang dimaksud dengan makhluk sebelum Adam diciptakan adalah Jin yang suka berbuat kerusuhan." Menurut salah seorang perawi hadits yang bernama Thawus al-Yamani, salah satu penghuni sekaligus penguasa/pemimpin di muka bumi adalah dari golongan jin. Walaupun begitu pendapat ini masih diragukan karena manusia dan jin hidup pada dimensi yang berbeda. Sehingga tidak mungkin manusia menjadi pengganti bagi Jin.

Penciptaan Adam
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Penciptaan Adam Setelah Allah SWT. menciptakan bumi, langit, dan malaikat, Allah berkehendak untuk menciptakan makhluk lain yang nantinya akan dipercaya menghuni, mengisi, serta memelihara bumi tempat tinggalnya. Saat Allah mengumumkan para malaikat akan kehendak-Nya untuk menciptakan manusia, mereka khawatir makhluk tersebut nantinya akan membangkang terhadap ketentuan-Nya dan melakukan kerusakan di muka bumi. Berkatalah para malaikat kepada Allah:

Mengapa engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" (Q.S. Al-Baqarah [2]:30)

Allah kemudian berfirman untuk menghilangkan keraguan para malaikat-Nya:

Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (Q.S. Al-Baqarah [2]:30)

Lalu diciptakanlah Adam oleh Allah dari segumpal tanah liat yang kering dan lumpur hitam yang dibentuk sedemikian rupa. Setelah disempurnakan bentuknya, maka ditiupkanlah roh ke dalamnya sehingga ia dapat bergerak dan menjadi manusia yang sempurna.

Kesombongan Iblis
Saat semua makhluk penghuni surga bersujud menyaksikan keagungan Allah itu, hanya Iblis dari bangsa Jin yang membangkang dan enggan mematuhi perintah Allah karena merasa dirinya lebih mulia, lebih utama, dan lebih agung dari Adam. Hal itu disebabkan karena Iblis merasa diciptakan dari unsur api, sedangkan Adam hanyalah dari tanah dan lumpur. Kebanggaan akan asal-usul menjadikannya sombong dan merasa enggan untuk bersujud menghormati Adam seperti para makhluk surga yang lain. Disebabkan oleh kesombongannya itulah, maka Allah menghukum Iblis dengan mengusirnya dari surga dan mengeluarkannya dari barisan para malaikat disertai kutukan dan laknat yang

akan melekat pada dirinya hingga kiamat kelak. Disamping itu, ia telah dijamin sebagai penghuni neraka yang abadi. Iblis dengan sombong menerima hukuman itu dan ia hanya memohon kepada Allah untuk diberi kehidupan yang kekal hingga kiamat. Allah memperkenankan permohonannya itu. Iblis mengancam akan menyesatkan Adam sehingga ia terusir dari surga. Ia juga bersumpah akan membujuk anak cucunya dari segala arah untuk meninggalkan jalan yang lurus dan menempuh jalan yang sesat bersamanya. Allah kemudian berfirman bahwa setan tidak akan sanggup menyesatkan hamba-Nya yang beriman dengan sepenuh hati.

Pengetahuan Adam
Allah hendak menghilangkan pandangan miring dari para malaikat terhadap Adam dan menyakinkan mereka akan kebenaran hikmah-Nya yang menyatakan Adam sebagai penguasa bumi, maka Allah memerintahkan malaikat untuk menyebutkan nama-nama benda. Para malaikat tidak sanggup menjawab firman Allah untuk menyebut nama-nama benda yang berada di depan mereka dan mengakui ketidaksanggupan mereka dengan mengatakan bahwa mereka tidak mengetahui sesuatupun kecuali apa yang diajarkan-Nya. Adam lalu diperintahkan oleh Allah untuk memberitahukan nama-nama benda itu kepada para malaikat dan setelah diberitahu oleh Adam, berfirmanlah Allah kepada mereka bahwa hanya Allah lah yang mengetahui rahasia langit dan bumi serta mengetahui segala sesuatu yang nampak maupun tidak nampak. Ini menunjukkan bahwa manusia memiliki akal yang dinamis. Sedangkan malaikat hanya memiliki akal yang statis sehingga hanya mengetahui hal-hal yang diajarkan langsung oleh Allah saja.

Adam menghuni surga


Adam diberi kesempatan oleh Allah untuk tinggal di surga dulu sebelum diturukan ke Bumi. Allah menciptakan seorang pasangan untuk mendampinginya. Adam memberinya nama, Hawa. Menurut cerita para ulama, Hawa diciptakan oleh Allah dari salah satu tulang rusuk Adam sebelah kiri sewaktu beliau masih tidur sehingga saat beliau terjaga, Hawa sudah berada di sampingnya. Allah berfirman kepada Adam:

Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu syurga ini, dan makanlah makananmakanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orangorang yang zalim." (Q.S. Al-Baqarah [2]:35)

Tipu daya Iblis


Sesuai dengan ancaman yang diucapkan saat diusir oleh Allah dari surga akibat pembangkangannya, Iblis mulai berencana untuk menyesatkan Adam dan Hawa yang hidup bahagia di surga yang tenteram dan damai dengan menggoda mereka untuk mendekati pohon yang dilarang oleh Allah kepada mereka.

Iblis menipu mereka dengan mengatakan bahwa mengapa Allah melarang mereka memakan buah terlarang itu karena mereka akan hidup kekal seperti Tuhan apabila memakannya. Bujukan itu terus menerus diberikan kepada Adam dan Hawa sehingga akhirnya mereka terbujuk dan memakan buah dari pohon terlarang tersebut. Jadilah mereka melanggar ketentuan Allah sehingga Dia menurunkan mereka ke bumi. Allah berfirman:

Turunlah kamu! Sebahagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan. (Q.S. Al-Baqarah [2]:36)

Mendengar firman Allah tersebut, sadarlah Adam dan Hawa bahwa mereka telah terbujuk oleh rayuan setan sehingga mendapat dosa besar karenanya. Mereka lalu bertaubat kepada Allah dan setelah taubat mereka diterima, Allah berfirman:

Turunlah kamu dari syurga itu! Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.

Peristiwa ini hanyalah skenario yang dirancang oleh Allah. Tujuannya adalah untuk memberikan pengetahuan kepada Adam dan Hawa mengenai apa yang boleh mereka kerjakan dan apa yang tidak boleh mereka kerjakan. Adam dan Hawa diturunkan ke Bumi bukan karena hukuman melainkan karena sebelum mereka diciptakan, Allah memang akan menjadikan manusia sebagai khalifah di muka Bumi. Oleh karena itu jika mereka tidak memakan buah terlarang pun mereka tetap akan diturunkan ke Bumi.

Adam dan Hawa turun ke bumi


Adam dan Hawa kemudian diturunkan ke Bumi dan mempelajari cara hidup baru yang berbeda jauh dengan keadaan hidup di surga. Mereka harus menempuh kehidupan sementara dengan beragam suka dan duka sambil terus menghasilkan keturunan yang beraneka ragam bentuknya. Menurut kisah Adam diturunkan di (Sri Lanka) di puncak bukit Sri Pada dan Hawa diturunkan di Arabia. Mereka akhirnya bertemu kembali di Jabal Rahmah di dekat Mekkah setelah 40 hari berpisah. Setelah bersatu kembali, konon Adam dan Hawa menetap di Sri Lanka, karena menurut kisah daerah Sri Lanka nyaris mirip dengan keadaan surga.[4] Di tempat ini ditemukan jejak kaki Adam yang berukuran raksasa. Di bumi pasangan Adam dan Hawa bekerja keras mengembangkan keturunan. Keturunan pertama mereka ialah pasangan kembar Qabil dan Iqlima, kemudian pasangan kedua Habil dan Labuda. Setelah keempat anaknya dewasa, Adam mendapat petunjuk agar menikahkan keempat anaknya secara bersilangan, Qabil dengan Labuda, Habil dengan Iqlima. Namun Qabil menolak karena Iqlima jauh lebih cantik dari Labuda. Adam kemudian menyerahkan persolan ini kepada Allah dan Allah memerintahkan kedua putra Adam untuk berkurban. Siapa yang kurbannya diterima, ialah yang berhak memilih jodohnya. Untuk kurban itu, Habil mengambil seekor kambing yang paling disayangi di antara hewan peliharaannya, sedang Qabil mengambil sekarung gandum yang paling jelek dari yang

dimilikinya. Allah menerima kurban dari Habil, dengan demikian Habil lebih berhak menentukan pilihannya.

Adam menurut Yahudi dan Kristen

Lukisan mural berjudul Penciptaan Adam karya Michelangelo di atap Kapel Sistine di Vatikan yang menggambarkan peristiwa penciptaan Adam dan Hawa.
Usia dalam Alkitab

Nama Metusalah Yared Nuh Adam Set Kenan Enos Mahalaleel Lamekh Sem Eber Kenan Arpakhsad Selah Henokh Peleg Rehu Serug Ayub Terah Ishak Abraham Nahor Yakub Esau Ismael Lewi Amram Kehat

Umur LXX 969 969 962 962 950 950 930 930 912 912 910 910 905 905 895 895 777 753 600 600 464 404 460 438 465 433 466 365 365 239 339 239 339 230 330 210? 210? 205 205 180 180 175 175 148 304 147 147 147? 147? 137 137 137 137 137 137 133 133

Laban Debora Sara Miryam Harun Ribka Musa Yusuf Yosua

130+ 130+ 127 125+ 123 120+ 120 110 110

130+ 130+ 127 125+ 123 120+ 120 110 110

Kisah tentang Adam terdapat dalam Kitab Kejadian pada Torah dan Alkitab pasal 2 dan 3, dan sedikit disinggung pada pasal 4 dan 5. Beberapa rincian lain tentang kehidupannya dapat ditemukan dalam kitab-kitab apokrif, seperti Kitab Yobel, Kehidupan Adam dan Hawa, dan Kitab Henokh. Menurut kisah di atas, Adam diciptakan menurut gambar dan rupa Allah[5]. Adam kemudian ditempatkan di dalam Taman Eden yang berarti tanah daratan, terletak di hulu Sungai Pison, Gihon, Tigris, dan Efrat (di sekitar wilayah Irak saat ini). Ia kemudian diperintahkan olehNya untuk menamai semua binatang. Allah juga menciptakan makhluk penolong, yaitu seorang wanita yang oleh Adam dinamai Hawa. Adam dan Hawa tinggal di Taman Eden dan berjalan bersama Allah, tetapi akhirnya mereka diusir dari taman itu karena mereka melanggar perintah Allah untuk tidak memakan buah dari pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat. Setelah diusir dari taman itu, Adam harus bekerja untuk menghidupi keluarganya. Adam dan Hawa mempunyai tiga orang putra yang disebut dalam Kitab Kejadian, yaitu Kain, Habel, Set, dan sejumlah putra dan putri yang tidak disebutkan jumlahnya.[6]. Kitab Yobel menyebutkan dua orang anak perempuan Adam dan Hawa, yaitu Azura yang menikah dengan Set dan Awan, yang menikah dengan Kain. Baik Kitab Kejadian maupun Kitab Yobel menyatakan bahwa Adam mempunyai anak yang lain, tetapi nama mereka tidak disebutkan. Menurut silsilah Kitab Kejadian, Adam meninggal dunia pada usia 930 tahun. Dengan angkaangka seperti itu, perhitungan seperti yang dibuat oleh Uskup Agung Ussher, memberikan kesan bahwa Adam meninggal hanya sekitar 127 tahun sebelum kelahiran Nuh, sembilan generasi setelah Adam. Dengan kata lain, Adam masih hidup bersama Lamekh (ayah Nuh) sekurang-kurangnya selama 50 tahun. Menurut Kitab Yosua, kota Adam masih dikenal pada saat bangsa Israel menyeberangi Sungai Yordan untuk memasuki Kanaan[7]. Menurut legenda, setelah diusir dari Taman Eden, Adam pertama kali menjejakkan kakinya di muka bumi di sebuah gunung yang dikenal sebagai Puncak Adam atau Al-Rohun yang kini terdapat di Sri Lanka.

Adam menurut Baha'i


Oleh: Kholili Hasib DALAM mempelajari sebuah ilmu, harus memperhatikan kaidah dan petunjuk agama. Ilmu apapun jika menafikan petunjuk dan prinsip-prinsip dasar thalabul ilmi (mencari ilmu) akan mengakibatkan jatuh pada kesesatan. Belajar al-Quran dan Hadist, jika niat salah, maka kekeliruan yang didapat. Bahkan bisa tersesat jika konsep al-Quran dan hadisnya salah.

Rasulullah shallahu alaihi wa sallam bersabda : Barangsiapa ilmunya bertambah, namun tidak bertambah petunjuk, maka ia akan semakin jauh dari Allah. (HR. Abu Nuaim). Ilmu filsafat sering disalah persepsi sebagai ilmu yang menyebabkan orang tersesat. Ada beberapa sebab ilmu ini dianggap miring, sehingga harus dijauhi. Di antaranya; pengaruh framework Orientalis Barat. Menurut orientalis, Islam tidak memiliki tradisi pemikiran rasional dan filosofis. Kaum Muslim hanya mengadopsi. Akibatnya, yang dipelajari adalah filsafat Barat dengan cara belajar menurut framework Barat. Implikasi dari pemikiran ini ada dua; pertama, para mahasiswa yang termakan framework tersebut mempelajari filsafat sekuler. Filsafat yang dikonstruk ilmuan Barat tanpa reserve dan kajian kritis. Cara belajar yang begini yang menjauhkan dari Allah, karena tidak memakai framework Islam dan worldview Islam. Kedua, sebagian kaum Muslim yang percaya dengan propaganda orientalis itu langsung memukul rata bahwa semua jenis filsafat haram dan tidak boleh dipelajari karena berasal dari orang Barat yang sekular. Sebagian kaum Muslim pun rigid dan kaku menyikapi ilmu filsafat. Mereka percaya saja apa yang dipropagandakan orientalis itu tanpa mengkaji mendalam bagaimana respon para ulama terdahulu. Dalam tradisi ulama terdahulu, telah lama berkembang persepsi bahwa Islam memiliki tradisi filsafat tersendiri yang berbeda dan berlawanan dengan filsafat Barat atau Yunani. Ilmu syariat mengawal dan terus dijadikan pondasi dalam ilmu filsafat. Bahkan beberapa ulama terdahulu mempelajari ilmu filsafat Yunani dalam rangka mengoreksi dan mengkritik kekeliruannya. Hanya, ada petunjuk dan kaidah untuk mempelajarinya. Ibn Rusyd dalam karyanya Fasl al-Maqal menjelaskan urgensi mempelajari filsafat. Dalam keterangannya, Ibn Rusyd mengaitkan dengan pemecahan persoalan-persoalan dalam ilmu syariat. Ibn Rusyd mengungkapkan bahwa syariat Allah itu wajib diikuti dan membimbing manusia menuju kemulyaan. Filsafat di sini ternyata bukan filsafat anti-ketuhanan, dan sekular, namun cara berpikir mendalam, logis, teratur tanpa menafikan wahyu. Imam al-Ghazali sesungguhnya juga tidak menolak filsafat. Akan tetapi -- seperti yang ditulis dalam Tahafut al-Falasifah -- beliau hanya mengkritik prinsip pemikiran-pemikiran filsafat yang tidak sesuai dengan wahyu. Prinsip-prinsip filsafat Yunani ia kritik karena bertentangan dengan konsep-konsep Islam. Al-Ghazali percaya, bahwa Islam memiliki prinsip-prinsip filsafat tersendiri yang berbeda dengan konsep-konsep asing. Hal ini ia buktikan dalam karya-karya lainnya seperti Ihya Ulumuddin, al-Mustasyfa, Fadaih al-Bathiniyyah,alMunqidz min al-Dlalal, Kimiya al-Saadah, dan lain-lain. Karya-karya tersebut menyajikan penjelasan prinsip-prinsip memperoleh pengetahuan, klasifikasi ilmu, logika, cara pemecahan persoalan secara mendalam, sampai ke akarakarnya dan sistematis yang merupakan ciri berpikir filsafat secara umum. Bahkan Ibn Taimiyah dalam Minhaj al-Sunnah menulis bahwa filsafat bisa diterima jika memenuhi syarat. Yaitu asalkan berdasarkan pada akal dan berpijak pada kebenaran yang dibawa oleh para Nabi Shalallahu alai wa sallam. Filsafat yang berdasarkan al-Sunnah ini beliau sebut dengan al-Falsafah al-Shahihah (filsafat yang benar). Dengan demikian, sesungguhnya para ulama menerima filsafat sebagai disiplin ilmu yang bisa dipelajari. Imam al-Ghazali mensyaratkan orang yang sudah memiliki dasar-dasar agama, berilmu dan cerdas yang boleh mendalami ilmu filsafat dan mantiq. Orang awam dilarang karena belum memerlukannya. Tuduhan bahwa al-Ghazali mematikan filsafat adalah tidak benar. Penolakan para ulama sesungguhnya wajar dan berlaku untuk ilmu-ilmu yang lainnya, tidak hanya filsafat. Ilmu apa saja, jika tidak sesuai dengan syariat tidak boleh diikuti. Tiap ilmu memiliki jenjang masing-masing dalam mempelajarinya. Seperti halnya pelajaran kalkulus tidak diajarkan kepada anak sekolah dasar. Bukan diharamkan, tapi belum waktunya.

Dalam Islam, cara berpikir yang mendalam dan logis memiliki prinsipnya tersendiri yang berbeda dengan prinsip ilmu-ilmu asing. Maka, dalam tradisi para ulama terhadahulu sudah biasa terjadi adapsi (modifikasi) ilmu yang berasal dari Yunani. Prinsip-prinsip yang bertentangan dengan nilai-nilai ketuhanan dibuang dan diganti dengan konsep-konsep Islami. Ini merupakan sesuatu yang alami dalam dialektika peradaban. Michael Marmura -- seperti ditulis oleh Hamid Fahmy Zarkasyi -- mengatakan cendekiawan Muslim bukan hanya sekedar menterjemahkan karya-karya Yunani tanpa memprosesnya lebih lanjut. Tidak semua konsep Yunani diterima, ada proses seleksi, pemurnian, modifikasi dan reformulasi konsep. Aktifitas menyeleksi konsep tentu tidak dapat dilakukan kecuali cendekiawan Muslim memiliki pengetahuan sebelumnya tentang mantiq, filsafat dan tentunya prinsip-prinsip dasar akidah Islam. Berarti, mereka memiliki tradisi berpikir yang kritis, analitis, tertib dan mendalam. Jika filsafat dimaknai secara umum sebagai metode berpikir yang mendalam, sistematis, evaluatif, analtitis dan tertib, maka dalam tradisi ilmu-ilmu Islam kita menjumpainya. Hamid Fahmy Zarkasyi mencatat bahwa banyak orang yang tidak sadar bahwa wujud filsafat dalam Islam bisa ditemukan dalam ilmu-ilmu Islam seperti Tafsir, Hadis, Ushul Fikih, Ilmu Kalam, Tasawwuf. Framework Islam Wacana-wacana dalam ilmu-ilmu Islam yang meliputi masalah-masalah Tuhan, akhlak, alam semesta, penciptaan, kehidupan dunia-akherat dan sebagainya sudah dapat diklasifikasi kedalam metafisika, epistemologi dan kosmologi, dan masuk kedalam kategori filsafat. Para ulama telah mengkajinya sebelum berkenalan dengan pemikiran filsafat Yunani. Adapun tuduhan bahwa kaum Muslim baru mengenal filsafat setelah membaca karya-karya Yunani adalah tuduhan orientalis. Orientalis Alfred Gullimaune, OLeary dan lain-lain mengatakan bahwa Islam tidak memiliki tradisi berpikir yang logis dan argumentatif mendalam. Penilaian ini tidak tepat, tujuannya untuk merendahkan tradisi pemikiran ulama, yang sesungguhnya sangat maju dan canggih. Dengan demikian prinsip-prinsip dasar dalam filsafat telah ada dan menjadi bagian dalam tradisi keilmuan Islam. Kaidah Ushul Fikih yang disusun oleh Imam al-Syafii mengandung logika-logika yang canggih. Al-Jili menulis kitab mantiq. Para mutakallimun Sunni (teolog Muslim) membantah pemikiran Mutazilah dengan metode berpikir yang argumentatif, mendalam dan tertata tanpa mengabaikan dalil-dalil al-Quran al-Sunnah. Jadi, tradisi berpikir filosofis dalam tradisi ulama Islam tidaklah asing, ia jauh telah ada sebelum para cendekiawan Arab bersentuhan dengan pemikiran Yunani. Filsafat Islam memiliki framework tersendiri. Penggunaan prinsip-prinsip dasar logika dan filsafat sesungguhnya telah digunakan oleh para ulama terdahulu dengan dua tujuan. Pertama, memecahkan problem-problem keilmuan dan konsep-konsep dasar dalam Islam. Penjelasan tentang sumber kebenaran, klasifikasi ilmu dan pemilahan ilmu-ilmu yang baik dan buruk menurut syariat dikaji dalam konteks pemikiran yang sekarang disebut filosofis. Ketika para ulama membahas konsep ilmu, maka itu sudah dapat dikatakan pembahasannya masuk wilayah filsafat. Jadi, sesungguhnya filsafat dalam koridor Islam itu sudah menjadi bagian dari disiplin ilmu-ilmu keislaman. Kajian tentang konsep dan prinsipprinsip ilmu dalam ilmu filsafat disebut epistemologi. Kedua, para ulama mendalami prinsip-prinsip filsafat dalam rangka mengkritik dan mengoreksi pemikiran asing, yang tidak sesuai dengan konsep Islam. Untuk itu, yang dipelajari adalah filsafat asing dan filsafat yang Islami. Imam al-Ghazali telah melakukannya. Untuk mengetahui kesalahan-kesalahan mendasar, Imam al-Ghazali

mendalami terlebih dahulu prinsip-prinsip filsafat Yunani yang bertentangan dengan Islam. Syed Muhammad Naquib al-Attas mengindentifikasi bahwa kemunduran umat Islam dalam berbagai bidang pada dasarnya disebabkan merebaknya penyakit kekeliruan ilmu yang dialami kaum Muslim. Kesalahan ilmu dan kekurangan ilmu itu disebabkan invasi ilmu Barat yang sangat gencar menyerang jiwa dan kalbu kaum Muslimin (Syed MN. al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, hal. 5). Bahkan menurut al-Attas, bagi cendekiawan Muslim mempelajari peradaban (termasuk filsafat) Barat hukumnya fardlu kifayah. Sebab, tanpa mengetahuinya kita tidak mempu mengkritik dan membenahinya. Tidak semua memang perlu mempelajarinya, menurut Imam al-Ghazali, itu hanya untuk orang yang berilmu, orang awam dilarang mempelajarinya. Artinya, ini bagi yang telah memiliki bekal dasar-dasar akidah, mantiq dan syariah yang kuat. Untuk itu bagi kita yang mempelajari filsafat, hendaknya ditata niat baik-baik. Segala aktifitas keilmuan adalah semata demi mendapatkan kebahagiaan (saadah) akhirat. Artinya, niat untuk berjuang li ilaai kalimatillah. Kita juga perlu memakai framework Islam, bukan framework Barat. Hal ini berarti, pertama-tama akidah harus dikuatkan. Karena, seperti petunjuk Imam al-Ghazali dan Syed al-Attas, bahwa kita mempelajari ilmu ini dalam rangka membela konsep-konsep Islam, menguatkan akidah umat. Dengan framework Islam, filsafat menjadi alat mengokohkan akidah, bukan malah mendekonstruksinya atau menjadikan pluralis atau sekularis.* Penulis adalah peneliti InPAS Surabaya, alumni Pascasarjana ISID Gontor
Share this post :
Tweet

Related Posts :

BAGAIMANA MENGHADAPI PERTENTANGAN ILMU INTUITIF DAN ILMU SAINS? Menurut Soejono Soemargono (1983) dalam Ilmu Filsafat Suatu Pengantar (Surajiyo, 2005:59), Pengetahuan meliputi pengetahuan non ilmiah dan pengetahuan ilmiah.

Pengetahuan non ilmiah merupakan pengetahuan yang diperoleh dengan landasan bukan dari kaedah-kaedah keilmiahan yang diakui dunia sains, serta bersifat non empiris. Pengetahuan ini hidup dalam hati manusia yang mengetahui sesuatu tetapi didapatkan dari mimpi, firasat dan pemahaman manusia terhadap sesuatu obyek dalam pengalaman hidupnya, baik yang mengembang di masa lalunya maupun di masa akan datang. Pengetahuan tersebut muncul melalui instrumen indrawi, pengecapan lidah, pembauan dan perabaan kulit, sehingga pengetahuan ini bersifat subyektif, spekulatif, ekspresif dan aktif. Subyektif, sebab pengetahuan non ilmiah tidak dapat ditelusuri obyektivitasnya oleh orang lain setinggi apapun pendidikannya. Spekulatif, sebab pengetahuan ini didasarkan pada idea subyektif yang tidak jelas secara empiris. Ekspresif, sebab merupakan ungkapan apa yang ada dalam hati seseorang. Dikatakan aktif sebab pengetahuan ini umumnya selalu ada dan sulit untuk diubah, apalagi diluruskan oleh individu lain yang tidak terlibat dalam proses pemperolehan ilmu non ilmiah ini. ILMU INTUITIF Termasuk dalam pengetahuan non ilmiah ini adalah pengetahuan intuitif, yaitu pengetahuan yang diperoleh dari wangsit atau ilham yang datang dari alam metafisik atau cenderung ghaib. Penerima pengetahuan ini tidak menjejaki dan menelusuri urutan unsur pribadi ghaib yang membawa berita dan terlibat dalam lahirnya obyek intuisi ini. Umumnya pengetahuan ini menjadi pedoman dan petunjuk tentang sesuatu yang akan terjadi di masa depan, misalnya tentang ramalan-ramalan akan adanya sesuatu dan akan terjadinya suatu peristiwa. Pengetahuan intuitif ini juga memiliki kategori dan ciri pengetahuan non ilmiah, di mana sifatnya subyektif, spekulatif, ekspresif dan aktif. Dalam http://www.belindch.wordpress.com disebutkan bahwa pengetahuan intuitif pada hakikatnya merupakan pengetahuan yang diperoleh lewat pengalaman langsung seseorang dan menghadirkan pengalaman serta pengetahuan yang lengkap bagi orang tersebut. Pengetahuan jenis ini bersifat subyektif, sebab hanya dialami oleh orang tersebut (Russell, 2010). Kartanegara (2005) dalam http://www.belindch.wordpress.com juga menyebutkan bahwa pengetahuan intuitif bersumber pada naluri/hati seseorang. Adanya batin dalam diri manusia menjadi sumber muncul dan hidup suburnya pengetahuan intuitif ini. Batin menyampaikannya secara langsung tanpa perantara apapun, baik dari proses internalisasi maupun aliran arus akal pikiran penerima pengetahuan tersebut, terlebih dari sentuhan indera. Pengetahun ini juga bisa untuk membentuk pikiran seseorang dalam kapasitasnya yang mampu menggerakkan seluruh alat tubuh, sehingga timbul gerakan dan perilaku ataupun tindakan sadar yang di luar dugaan dan seolah-seolah atas dasar kemauan tanpa pertimbangan. Kita bisa saksikan orang yang diliputi bisikan intuisi ini, berbicara dan berbuat di luar nalar dirinya dan apalagi orang lain. Walaupun seseorang yang memiliki pengetahuan intuitif ini sadar pada saat ia berbicara dan berbuat, tetapi datangnya pengetahuan ini berawal dari proses yang tidak disadarinya, sehingga terkesan tiba-tiba dan mengagetkan orang lain. Pengetahuan ini muncul sebagai hasil penghayatan, ekspresi dan individualitas seseorang, sehingga validitas pengetahuan ini sangat bersifat pribadi. Pengetahuan intuitif disusun dan diterima dengan kekuatan visi imaginatif dalam pengalaman pribadi seseorang (Kneller, 1971). Intuisi lahir tanpa adanya pemikiran dan pembelajaran, sehingga bentuknya juga individualis dan ekspresif, sejauh ekspresi tersebut bersifat menggubah berbagai kesan yang kita terima, melalui potensi imajinasi aktif (fantasia) ke dalam wujud berbagai kesatuan imaji maupun keberadaan keseluruhan secara esensial yang bersifat individual (Supangkat, 2006). Apa yang dihasilkan dari proses intuisi ini tidaklah selalu ditetapkan sebagai kebenaran dalam arti sebenar-benarnya. Maksudnya, jika seseorang memiliki intuisi tentang akan

terjadinya atau akan adanya sesuatu tidak selalu menjadi kenyataan yang dapat disaksikan oleh orang banyak sehingga pengetahuan intuitif ini diakui secara empiris. ILMU EMPIRIS Selain non ilmiah, salah satu bentuk ilmu adalah ilmu ilmiah. Menurut Surajiyo (2005:58), pengetahun ilmiah adalah segenap hasil pemahaman manusia yang diperoleh dengan menggunakan metode-metode ilmiah. Prosedural ilmiah ini menentukan dalam kapasitas dan validitas pengetahuan tersebut. Metode ilmiah ini menghasilkan ilmu sains atau bisa disebut sebagai ilmu empiris, sebab melalui proses empiris lahiriah. Urutan-urutan yang harus dilalui, setahap demi setahap, bermula dari pengamatan, memunculkan hipotesis dan setelah dilakukan pembuktian hipotesis berulangkali, diperoleh sebuah hasil akhir dalam bentuk pemahaman dan pengetahuan tertentu dinamakan metode ilmiah. Proses ilmiah tersebut sistematis dan mendasarkan pada wujud-wujud fisik yang nyata dan lahiriah. Hasil pengetahuan melalui prosedur metode ilmiah berbentuk teori. Dalam perjalanan sejarah manusia, dari sekian banyak teori yang diakui kebenarannya di suatu zaman, sebenarnya banyak juga teori yang gugur oleh teori yang lebih akhir dan terbaru. Dengan demikian, ilmu yang didapat dari proses empiris ini tidaklah disebut sebagai sebuah kebenaran dalam arti sebenar-benarnya, tetapi hanya mendapatkan status kebenaran dari sudut pandang metode ilmiah, yang hasil pengamatan bisa menunjukkan konklusi berbeda dari pengamatan dan penelitian sebelumnya. TITIK TEMU ILMU INTUITIF DAN EMPIRIS Memperhatikan beberapa pendapat dan pengertian antara ilmu intuitif dan ilmu sains atau ilmu empiris di atas, maka kita dapat memperoleh sebuah titik yang mempertemukan keduanya, meskipun juga tidak mungkin dipertemukan oleh pelakunya. Masing-masing pelaku (baca:ilmuwan) dalam kedua jenis ilmu tersebut berpegang teguh pada dasar masingmasing yang dianggap sebagai sebuah kebenaran. Lebih jauh kita bisa mengungkap bahwa selain pada obyek pengetahuannya yang masingmasing bisa empiris bisa juga non-empiris, yang membedakan ilmu intuitif dan ilmu sains/empiris sebenarnya pada prosedur perolehan hasil pemahaman, tidak pada sisi kebenaran hasil pemahamannya, Yang satu menggunakan metode ilmiah yang bisa dilakukan oleh ilmuwan lain, yang satunya tidak melalui metode ilmiah tetapi berdasarkan pertimbangan subyektif yang sepihak yang tidak dapat diamati oleh orang lain. Bahkan jika kita perhatikan lebih seksama, maka apa yang dihasilkan dari proses intuisi sesungguhnya sebuah dugaan yang dalam metode ilmiah dinamakan Hipotesis, yaitu kumpulan dugaan dan persepsi terhadap hasil pengamatan tentang obyek tertentu. Dugaan atau isi intuisi manusia bisa benar-benar ada dan terjadi atau sebaliknya, hipotesis dalam metode ilmiah juga bisa benar-benar ada dan terjadi atau sebaliknya. Apabila menjadi kenyataan, maka intuisi tersebut disimpulkan sebagai intuisi yang tepat dan benar, dan dalam metode ilmiah apabila ada dan terjadi sesuai hipotesis, maka disimpulkan bahwa hipotesis tersebut tepat dan benar. Disebabkan intuisi ini subyektif, maka bisa dilakukan oleh semua orang tanpa kapasitas pendidikan tertentu dan tanpa perlu ada proses ilmiah. TITIK PEMISAH ILMU INTUITIF DAN EMPIRIS Yang akan menjadi titik pemisah dari keduanya selama-lamanya adalah jika intuisi tersebut membicarakan tentang sesuatu yang berwujud metafisik dan ghaib, yang unsur hipotesis dalam keilmiahan tidak akan dan tidak mungkin diwujudkan oleh ilmuwan manapun. Sesuatu yang ghaib dan metafisik tidak dapat dikaji secara metode ilmiah, sebab syarat metode ilmiah

adalah adanya dukungan bukti-bukti fisik dalam pengamatannya, yang dalam hukum metafisik dan ghaib, bukti ini tidak ada, atau mungkin ada tetapi sifatnya personal. Dalam kata lain, jika yang dikaji adalah obyek yang bentuknya metafisik dan ghaib, maka ilmu intuitif dan ilmu empiris tidak akan bertemu sampai kapanpun, artinya tetap akan ada pertentangan antara ilmu intuitif dan ilmu empiris. Akan tetapi, jika bentuknya benda atau kejadian fisik, maka bisa bertemu pada titik hipotesis, selama ada niat atau semangat untuk mengakui keberadaan pengamatan melalui metode ilmiah ini. Kenyataanya, walaupun kedua ilmu ini bisa bertemu dalam obyek pengamatan tertentu, masing-masing ilmuwan dari ilmu intuitif dan ilmu empiris tidak saling menerima kelemahan metode yang digunakan, sehingga timbul pertentangan yang tidak ada ujungnya. Menurut Surajiyo (2010:62-63), ada lima ciri-ciri pengetahuan ilmiah, yaitu 1. Empiris. Terhasil dari pengamatan percobaan 2. Sistematis. Berbagai data saling berhubungan dan ketergantungan yang teratur 3. Obyektif. Bebas prasangka dan kesukaan pribadi. 4. Analitis. Adanya pembedaan pokok penelitian 5. Verifikatif. Dapat diperiksa kebenarannya oleh orang lain. BAGAIMANA SIKAP KITA TERHADAP PERTENTANGAN ILMU INTUITIF DAN ILMU EMPIRIS? Sebagai manusia yang memiliki unsur lahir dan bathin, unsur jasmani dan rohani, maka kode yang digunakan dalam proses untuk mendapatkan hasil sebuah pengamatan adalah kode lahir dan batin juga. Kita harus menerima, selagi obyek yang diteliti dan diamati berbentuk jasmani dan fisik, maka ilmu empiris yang digunakan untuk menelaahnya. Selagi yang diamati atau hendak diketahui adalah metafisik dan ghaib, maka ilmu intuisilah yang digunakan. Dan oleh karena intuisi ini bisa dilakukan oleh semua orang tanpa ada pembedaan dan syarat-syarat tertentu, maka kita harus menerima juga bahwa intuisi seseorang dengan orang lain bisa berbeda, sehingga hasil kesimpulannya juga berbeda. Perbedaan ini tidak memusnahkan intuisi, tidak juga menghapus apa yang di anggap benar menurut intuisi seseorang. Dalam hukum ini berlaku bahwa apa yang dianggap benar oleh seseorang, belum tentu benar menurut pandangan orang lain. Maka, sikap utama kita adalah kelapangan hati untuk menerima perbedaan dan intuisi setiap manusia, selagi masih dalam batas-batas yang memenuhi syarat peraturan yang berlaku dan wajar dari sudut pandang kenormalan dan orang banyak. APAKAH ILMU (EMPIRIS) ITU BEBAS, BISA BEBAS ATAU TIDAK BEBAS NILAI SAMA SEKALI? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita harus membahas pengertian ilmu dan nilai itu sendiri. Menurut Singgih Iswara (2010:59), Ilmu atau bahasa inggrisnya science, berasal dari bahasa Arab (Ilm) yaitu suatu bentuk aktivitas manusia yang dengan melakukannya umat manusia memperoleh suatu pengetahuan dan pemahaman yang senantiasa lebih lengkap dan lebiih cermat tentang alam di masa lampau, sekarang dan akan datang, serta suatu kemampuan yang meningkat untuk menyesuaikan dirinya dan/atau mengubah lingkungannya serta mengubah sifatnya sendiri. Sementara definisi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud, 1995:690), nilai adalah harga. Dan oleh karena nilai itu merupakan harga, maka tidak ada ukuran atau parameter yang jelas dan obyektiv untuk menilai harga suatu obyek, sebab pemberi nilai dalam hal ini memiliki subyektivitas dan apresiasi tersendiri yang spesifik dan unik terhadap harga tersebut.

Kemudian, untuk membahas ini, kita bisa memperhatikan pernyataan dari Russel, yaitu bahwa persoalan yang mengacu pada nilai berada di luar ilmu, bukan karena persoalan tersebut bersentuhan dengan filsafat, melainkan karena persoalan nilai sama sekali terletak di luar ranah pengetahuan. Ketika kita mengatakan bahwa sesuatu itu memiliki nilai, kita tidak menyatakan suatu fakta yang bebas dari perasan pribadi kita; malahan kita memberikan ungkapan atas emosi kita sendiri. (Russel, 2005). Dari pengertian ilmu (baca:ilmu empiris) dan nilai tersebut, maka antara ilmu dan nilai ada saling kait meskipun berbeda area pembahasan dan pengamatannya. Jika sebuah nilai bisa timbul dikarenakan oleh sebuah ilmu, ilmu juga bisa ada melalui perantara adanya nilai tertentu. Ilmu muncul atas adanya pengamatan yang melahirkan hipotesis, dan nilai juga bisa melahirkan sebuah tuntutan obyek untuk diamati sehingga lahir hipotesis awal. Tetapi harus digarisbawahi bahwa ruang lingkup keberadaan ilmu dan nilai tetap berbeda, karena nilai bersifat subyektif sedangkan ilmu obyektif. Sebuah ilmu empiris bisa dianggap bernilai baik menurut sebagian orang, tetapi bisa diangap bernilai buruk oleh sebagian orang lain. Dengan kondisi tersebut maka dapat ditarik pemahaman lanjutan bahwa ilmu itu bebas nilai, sedangkan nilai bisa bebas ilmu, bisa juga terikat ilmu. Nilai bisa timbul karena emosi, firasat, duga prasangka, rasa suka dan benci, tetapi juga obyektivitas dengan menyandarkan pada bukti-bukti dukungannya. Wujud ilmu itu abstrak. Sedangkan harga atau nilai diwujudkan kepada sesuatu obyek yang fisikal dan empiris, walaupun penilaian tersebut dilakukan oleh sebuah pribadi yang memiliki sisi keabstrakan/batin yaitu manusia. Sesuatu yang abstrak tidak dapat dijadikan sebagai luahan penilaian dan ekskpresi seseorang maupun kelompok masyarakat, bagaimanapun baik atau buruk penilaian tersebut. Nilai itu sendiri bisa merupakan bagian dari sebuah prosesing fisik yang melibatkan dan menuntut dukungan bukti fisik dalam beberapa tahapan kejadian, yang setelah tercukupinya variabel yang harus dilalui, maka akhirnya muncul nilai tertentu. Dan nilai dalam kasus seperti ini muncul mengikuti munculnya pengetahuan. Pelaku penilaian adalah Subyek yang abstrak, sedangkan yang dinilai adalah obyek yang seharusnya konkrit. Obyek abstrak tidak dapat dinilai tepat dan akurat, kecuali prasangkaprasangka saja. Keabstrakan bersifat unik dan subyektiv. Sesungguhnya, wujud ilmu mutlak dan tanpa batasan apapun. Sesuatu yang absolut tidak dapat menerima penilaian tepat dari sisi manapun, meskipun penilaian dilakukan oleh pribadi yang memiliki sisi keabstrakan juga. DAFTAR PUSTAKA Depdikbud.1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua. Jakarta:Balai Pustaka Iswara, Singgih dan Sriwiyana, Hadi. 2010. Filsafat Ilmu Dalam Pendidikan Tinggi. Jakarta:Cintya Press. Kartanegara, Mulyadhi. 2005. Integrasi Ilmu : Sebuah Rekonstruksi Holistik dalam http://www.belindch.wordpress.com. Unduh pada 25 Oktober 2011:17.17 WIB Kneller, G. F. 1971. Introduction to the Philosophy of Education dalam http://www.belindch.wordpress.com. Unduh pada 25 Oktober 2011:17.17 WIB Russel, Bertrand. 2005. Perjumpaan Sains-Agama dan Cita-Cita Politik dalam http://grelovejogja.wordpress.com. Unduh pada 25 Oktober 2011:20.06 WIB

Russell, B. 2010. The Problems of Philosophy dalam http://www.belindch.wordpress.com. Unduh pada 25 Oktober 2011:17.17 WIB Supangkat, Jim dan Zaelani, Rizki A,. 2006. Ikatan Silang Budaya dalam http://www.belindch.wordpress.com. Unduh pada 25 Oktober 2011:17.17 WIB Surajiyo. 2005. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta:PT.Bumi Aksara.

Anda mungkin juga menyukai