Anda di halaman 1dari 17

MUHAMMAD ASAD

Sejarah pemikiran politik Muslim modern tidak bisa dilepaskan dari pengalaman kolonialisme. Demikian itu terlihat dari komitmen politik umat Islam kontemporer yang merupakan produk dari perjuangan kemerdekaan. Semua gerakan Islam pada awal abad ke20 di dunia Islam betul-betul politis. Peran gerakan sufi seperti Sanusiyyah (Libya) dan Mahdiyyah (Sudan) serta nama-nama besar seperti Jamaluddin al-Afghani (1838-97), Muhammad Abduh (1849-1905), Rasyid Ridha (1865-1935) dan Muhammad Iqbal (18751938) tidak bisa dikesampingkan. Sementara itu, dalam prosesnya, sebagian konsep Barat, dengan tak terhindarkan lagi, mempengaruhi pemikiran Muslim dengan cara yang sangat dialektis. Ambillah misalnya slogan modern bahwa "semua kedaulatan milik Allah" (la hukma illa'llah), yang dapat dimengerti hanya jika dipertentangkan dengan munculnya negara bangsa berdaulat ala Barat pasca era Renaissance. Jika Negara -dan kemudian, Rasio-menjadi hal yang sangat disucikan selama Pencerahan abad ke-18, maka adalah sangat alamiah jika umat Islam gigih memperjuangkan kedaulatan (hakimiyah) Allah. Sayang, ini tidak lebih daripada mengatakan bahwa Tuhan ada dan bahwa Kehendak-Nya harus dilaksanakan. Namun, slogan "semua kedaulatan milik Allah" diteriakkan seolah-olah ia menyediakan solusi konkrit bagi masalah-masalah konkrit. Maka, Maududi dengan percaya diri memproklamasikan bahwa "Tak seorang pun, kelas atau kelompok dalam masyarakat, dan bahkan juga semua penduduk secara keseluruhan, dapat menyatakan dirinya sebagai pemilik atau pemegang kedaulatan. Allah sendirilah yang memegang kedaulatan yang sebenarnya; sedang semua yang lain hanyalah hamba-hamba-Nya." dan menambahkan: "Allah adalah pembuat aturan hukum dalam arti seutuhnya dan wewenang untuk menetapkan berlakunya aturan hukum itu secara mutlak berada di tangan-Nya." Sayangnya, dalam kerangka praktis statemen itu bermakna kecil seperti janji kosong yang lain, bahwa "Islam itu solusi" (al-Islam huwa al-hal). Slogan tentang kedaulatan Tuhan, bagaimanapun benarnya, bukanlah solusi karena permasalahan politik adalah permasalahan manusia, dan manusia saja, sebagai khalifah Allah di muka bumi (QS. 24:55), sebagai teolog, ahli hukum, gubernur dan administrator, yang harus menerjemahkan norma-norma Tuhan ke dalam tataran praktis. "Kedaulatan Tuhan hanya dapat diperoleh melalui umat manusia, dan tidak seorang penguasa pun atau faqih pun dapat mengklaim tidak berbuat salah", demikian

Fathi Osman. Pada faktanya, tidak ada keputusan politik tanpa ijtihad manusia sebelumnya. Di sini mesti dimaknai, bahwa Islam sebagai soluasi memerlukan keseriusan para ulama dan intelektual Islam untuk merumuskannya dalam konesp politik Islam yang lebih praktis dan solutif. Situasinya sama dengan slogan modern lain yang cukup dominan: Al-Islam din wa daulah. Ini juga, merupakan reaksi bagi realitas Barat: lancarnya sekularisasi ruang publik di bawah doktrin "pemisahan negara dan gereja" seperti dipraktekkan secara lebih murni di Perancis. Namun, pada faktanya, kata "sekular", ketika diaplikasikan pada kebanyakan demokrasi Barat, merupakan hal yang agak ganjil mengingat mereka masih berdasarkan pada fondasifondasi religius atau pseudo-religius (agama palsu). Di sini, lagi-lagi, slogan balik umat Islam membuat statemen yang benar: Negara dan agama harus berada dalam hubungan yang harmonis. Agama tidak boleh menjadi urusan pribadi saja. Tetapi pada saat yang sama, slogan itu agak samar-samar bahwa, bagi umat Islam juga, agama dan Negara merupakan dua hal yang berbeda. Pada faktanya, kita tidak mengatakan ad-din ad-dunya tetapi mengatakan agama dan negara itu sebagai dua hal. Di dunia Muslim yang riil seringkali muncul pemisahan dua wilayah secara sehat: keduanya bekerja sama, tidak saling mendominasi, seperti dalam kasus-kasus lain di dunia, termasuk Inggris, Jerman, Austria, Belgia, Spanyol, dan Russia. Dengan kata lain: negara Islam, sementara secara konseptual itu teokrasi, tidak perlu, dan tidak bisa, dipimpin oleh seorang imam, secara praktis. Dalam hal ini awam-isme -- sebut saja begitu -- atau ketiadaan ulama penguasa, adalah betul-betul Islami. Secara tegas Hasan al-Turabi mengatakan: "(Dalam demokrasi Islam) idealnya tidak ada kelas ulama, yang akan mencegah terwujudnya pemerintahan elitis atau teokratis. Apakah sebutannya beragama, teokratis, atau bahkan teokratis-nasionalis, negara Islam bukanlah pemerintahan ulama." Namun sejarah belakangan menunjukkan bahwa Islam nampak seperti anti-demokrasi. Penjelasan Elie Kedourie bahwa "gagasan demokrasi masih cukup asing dalam mind-set Islam," adalah di antara yang paling berani. Menurut Kedourie, demokrasi telah dicoba namun gagal karena umat Islam sudah terbiasa dengan "otokrasi dan ketaatan pasif". Argumen yang sama tentang ketidakcocokan demokrasi dengan Islam secara umum, dan kultur Arab secara khusus, dikemukakan oleh Lewis (1994) dan Ajami (1998). Argumenargumen itu nampaknya juga didukung oleh banyak penolakan demokrasi di level wacana. Hal ini merefleksikan bahwa dunia Muslim pertama-tama memasuki demokrasi melalui

persinggungan dengan kolonialisme, dan melihatnya digunakan untuk melakukan destruksi atas struktur kekuasaan Muslim tradisional. Dengan demikian, adalah cukup alamiah bahwa umat Islam yang terlibat dalam perjuangan kemerdekaan akan menolak demokrasi sebagai suatu penemuan dari kekuatan kafir, yang bertentangan dengan Qur'an dan Sunnah. Dalam prosesnya, umat Islam menjadi korban nominalisme. Mereka percaya bahwa demokrasi itu tidak dapat diterima karena, diterjemahkan dari bahasa Latin, berarti "pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat". Jika demikian, Syaikh Nahnah dari Aljazair menyatakan bahwa masalahnya mungkin dapat dipecahkan dengan menamakan kembali demokrasi sebagai syuracratiyya atau oleh Maududi disebut sebagai "teo-demokrasi". Masalahnya, tentu saja, bukan nama semata-mata tetapi esensi demokrasi: pemerintahan perwakilan untuk mengontrol para pemegang otoritas melalui mekanisme seperti pemisahan kekuasaan; konsultasi; dan pemilihan umum. Tidak ada satupun dari demokrasi ini yang menolak Allah berdaulat dan Syari'ah diberlakukan. Semua ini sesuai (compatible) dengan Islam. Fathi Osman nampaknya benar ketika menuntut bahwa polemik syura-demokrasi harus ditangani secara sekaligus dengan cara substantif, bukan semantik belaka. Yusuf Qardawi secara terang-terangan menyatakan: "orang yang mengatakan bahwa demokrasi itu kufr berarti ia tidak cukup mengerti apa itu Islam dan apa itu demokrasi." Karena, demikian Qardawi, "Siapa yang memperhatikan substansi demokrasi, tentu akan melihat bahwa justru ia berasal dari Islam." Wacana umat Islam dalam masalah-masalah politik secara menakjubkan menguat selama abad ke-20, walaupun, menurut Graham Fuller, "Islam politik masih berada dalam tahapan bayi." Atau bahkan Islam politik telah gagal, demikian Olivier Roy. Walaupun begitu, wacana politik Islam terus menguat hingga kini. Secara original wacana ini didominasi oleh wacana Sayyid Quthb (1906-1966) yang dengan bukunya yang cukup terkenal, Ma'alim fi alThariq (1964) yang melakukan penyadaran politik bagi gerakan Islam sama seperti yang dilakukan Karl Marx dengan Communist Manifesto (1848)-nya untuk gerakan sosialis. Apa yang menarik bagi kita bukanlah doktrin Sayyid Quthb bahwa Islam "bersifat revolusioner. Ia adalah revolusi melawan pendewaan manusia, melawan ketidakadilan, melawan prasangka politik, ekonomi, ras dan agama" tetapi lebih pada pandangannya bahwa semua negara yang ada itu tidak Islami (jahiliyah) dan tidak sah. Secara radikal ia menyatakan bahwa "Tujuan kami adalah melakukan revolusi dalam sistem praktik masyarakat. Tatanan jahiliah harus disingkirkan sehingga ke akar-akarnya." Quthb tidak percaya pada kemungkinan demokrasi Islam dan tidak setuju pada adanya

pencarian persamaan antara Islam dan sistem politik yang ada. Ia menolak sistem-sistem Barat maupun Timur. Hanya Islamlah "yang dapat melakukan lompatan besar dari kurungan peradaban Barat yang dekaden" Namun, seorang pemikir membuat semuanya berbeda dalam mengubah paradigma politik Muslim. Muhammad Asad mencapai hal ini dengan buku kecil tetapi penting, The Principles of State and Government in Islam (1961), semata-mata berdasarkan norma-norma Qur'an dan 70 buah Hadits. Buku ini hadir sebelum buku Sayyid Quthb Ma'alim fi al-Thariq yang terbit pada tahun 1964. Grunebaum berpendapat bahwa buku Asad ini dapat dikatakan sebagai satu kelas dengan Institutes-nya Calvin atau Communist Manifesto-nya Marx-Engels. Walhasil, untuk zaman modern, Asad telah ikut menancapkan tonggak Islamisasi lembaga kenegaraan (statecraft) dan Islamisasi pengetahuan, terutama dalam bidang ilmu politik. Jika dilihat, ada dua poin yang membuat Asad lebih revolusioner daripada semua tulisan Quthb. Yang pertama bahwa Asad telah membuat ummat menyadari bahwa titel khalifah telah secara salah ditujukan pada para penguasa Muslim yang menurut Qur'an seharusnya bergelar Amir. Menurut Qur'an semua warga Muslim dari negara Islam adalah para khalifah yang sebenarnya. Setiap orang adalah khalifah Tuhan di muka bumi (2:30; 6:165; 24:55; 27:62; 73:72; 35:39). Dan Asad berada pada pendirian bahwa musyawarah (Syura) itu sebisa mungkin harus merupakan persetujuan rakyat (konsensus). Poin revolusioner kedua adalah bersifat metodologis. Dia sadar bahwa negara Islam modern tidak dapat dibangun oleh fiqh abad pertengahan yang sudah "usang" yang, berdasarkan interpretasi subjektif dan logika deduktif, telah menjadi yang disucikan (sacrosant). Dengan mengikuti Ibn Hazm, Asad mengajukan bahwa kehidupan umat Islam harus berdasarkan hanya kepada al-Qur'an dan al-Sunnah yang lebih bersifat abadi yang sifatnya normatif dan jelas atau disebut dengan al-nushush. Pengertian Asad tentang bolehnya kita ber-ijtihad kepada apa-apa yang tidak dijelaskan secara khusus dalam Qur'an dan Sunnah, menurut Hamid Enayat, bisa membuat munculnya interpretasi yang liberal tentang Islam. Dengan demikian, dapatlah disebutkan bahwa Asad sangat penting dalam mendorong demokrasi Islam. Upaya seperti ini dapat diteruskan guna menangkap tantangan zaman, dan kemudian menggali jawabannya, seperti Asad, pada teks genuine Islam: al-Qur'an dan al-Sunnah. Upaya inilah yang menurut Grunebaum, sebagai upaya penghampiran (rapprochement) Islam pada tradisi politik Barat mutakhir, dengan menggambarkan kekayaan wahyu Islam

dihadapkan pada warisan sejarah Barat. Begitulah Asad, walaupun dengan keterbatasan teks, dia dapat memutuskan bentuk yang jelas dari Negara Islam. Kekukuhannya dalam penggabungan metode tekstual dan rasional di zaman modern ini dapat memperteguh suatu varian hibrida antara Islam dan modernisme. Asad, dengan demikian, dapat digolongkan sebagai seorang modernis atau reformis yang memberikan suatu sikap yang jelas dalam menghadapi gap antara teks dan konteks. Sikap seperti Asad ini nampaknya telah banyak diterima di dunia Muslim. Sayyid Quthb saja kini berkeyakinan akan perlunya konstitusi tertulis yang menjamin hak-hak asasi manusia, pemilihan umum yang bebas dan adil, keterbatasan waktu bagi presiden, dan rotasi kekuasaan melalui "pluralitas partai dalam masyarakat Muslim." Ikhwanul Muslimin Mesir mengajukan secara to the point bahwa pada tahun 1994 mereka secara resmi menerima hak perempuan Muslim untuk memilih, dipilih, menempati posisi pemerintahan, dan melakukan kerja-kerja publik pada umumnya. Hassan al-Turabi, juru bicara parlemen Sudan, sementara dianggap oleh administrasi Amerika sebagai seorang teroris, merupakan salah seorang yang lebih liberal, jelas-jelas merupakan pemikir Islam kontemporer. Nampaknya, tidak ada yang lebih gigih melakukan re-validasi perempuan Muslim dengan basis Qur'an dan Sunnah dibandingkan dengannya, dengan bukunya, "Women, Islam and Muslim Society", yang muncul pertama kalinya secara semi-anonim pada tahun 1973. Dia berkesimpulan bahwa "sebuah revolusi melawan kondisi perempuan pada masyarakat Muslim tradisional itu tidak bisa dihindari." Syaikh Gannouchi, pemimpin Gerakan Kecenderungan Islam (kemudian berkembang menjadi Parai Nahda pada 1989) yang dihukum mati di negaranya Tunisia, pernah mengatakan pada tahun 1999: Banyak kaum Islamis mengasosiasikan demokrasi dengan intervensi luar negeri dan kekafiran. Tetapi demokrasi adalah sebuah perangkat mekanisme untuk menjamin kebebasan berpikir dan berkumpul dan kompetisi damai untuk otoritas pemerintahan melalui kotak suara... Kita tidak punya pengalaman modern dalam Islam yang dapat mengganti demokrasi. Islamisasi demokrasi merupakan hal yang paling dekat untuk mengimplementasikan syura. Mereka yang menolak pemikiran ini tidak memproduk sesuatu yang lain selain sistem kekuasaan satu-partai... Saya tidak melihat pilihan lain di hadapan kita selain harus mengadaptasi cita-cita demokrasi. Mungkin akan lebih berbahaya jika kita mengabaikan demokrasi... Mereka yang harus bisa mendapatkan demokrasi adalah umat Islam.

Fathi Osman, sarjana yang dikenal berasal dari Mesir, melihat demokrasi berdasarkan pada fitrah menausia dan sumber-sumber tertulis Islam, menganggap masyarakat plural sebagai anugerah Tuhan (QS. 5:48; 11:118). Baginya, "demokrasi penuh adalah satu-satunya sistem yang dapat menyelamatkan hak-hak asasi manusia untuk setiap individu dan kelompok dalam Negara kontemporer..." Tidak ada kerangka yang lebih baik untuk menyelamatkan hak-hak persamaan dan tanggung jawab bagi semua. Maka, "tidak ada alternatif yang lebih baik untuk demokrasi." Mekanismenya menyediakan cara-cara praktis untuk mengimplementasikan syura. Maka jadilah parlemen Muslim itu sebagai ahl al-hal wa al-aqd. Parlemen dalam membuat hukum harus menghormati supremasi absolut untuk norma-norma permanen dan prinsip-prinsip syari'ah; tetapi "selama terdapat ruang untuk ijtihad, maka disana ada ruang untuk pembuatan hukum (legislasi)." Osman juga menunjukkan bahwa menurut QS. 9:71 baik perempuan maupun laki-laki mempunyai tanggungjawab yang sama amar ma'ruf nahyi munkar. Dengan demikian perempuan Muslim harus juga menempati posisi parlemen, kementrian pemerintah, hakim, militer, dan kepolisian. Demikianlah beberapa pemikiran Muslim modern tentang konsepsi politik menurut Islam. Kini saatnya kita melakukan pemilahan dalam kajian politik Islam ini. Kajian Pemikiran Politik Islam Tidak diragukan lagi bahwa politik Islam merupakan masalah yang subtil dan kontroversial untuk dikaji. Biasanya, titik tolak diskusi masalah ini adalah keunikan Islam yang tidak memisahkan antara yang sakral dan yang sekular, yang religius dan yang politis. Sementara itu realitas menunjukkan hal yang agak beda: dalam sejarah Islam, kepemimpinan temporer lebih mengutamakan tajamnya pedang daripada otoritas spiritual. Namun begitu, kepercayaan umat Islam bahwa keimanan mereka telah betul-betul mencakup semua kehidupan telah memunculkan perbedaan pandangan pada pertanyaan apakah Islam betul-betul mempunyai relevansi dengan kehidupan politik. Revolusi Iran telah memberikan kehidupan baru, secara ironis, kepada dua pandangan tadi. Sebagian peneliti berbicara dengan pandangan yang baru bahwa Islam merupakan kekuatan pembimbing (guiding force) bagi revolusi, Islam merupakan arahan konkrit bagi pembebasan politik dan kultural. Sementara yang lain melihatnya dalam dominasi mullah pada masa rezim Shah Iran sebagai pengabdi religius atas tirani politik dan kultural. Demikian beberapa perbedaan pendekatan terhadap politik Islam. Berikut adalah klasifikasi

yang bisa diambil dari fenomena-fenomena politik Islam. Pendekatan Muslim Konservatif Pendekatan kebanyakan umat Islam biasanya menekankan pada kewajiban untuk kembali pada versi Islam yang belum ternoda untuk menghadapi permasalahan politik hari ini. Secara tipikal, mereka mengeluhkan fakta bahwa dunia telah dekaden, di mana manusia telah diperbudak oleh kediktatoran, teknologi, dan seks, dan disertai oleh ketundukkan negara-negara kepada ideologi-ideologi asing dan kekuatan superpower. Para penguasa politik sudah tidak lagi melindungi kehidupan, kepemilikan dan martabat warga negaranya. Mereka telah menjadi "para koruptor", yang menjadi budak kekuasaan. Mereka bahkan telah pula memanipulasi sentimen agama untuk melegitimasi kekuasaan mereka. Apa yang didengungkan untuk mengobatinya adalah bahwa kebebasan mereka terletak pada agama: "pembebasan dari tirani mereka terletak pada mengatributkan semua otoritas pada Tuhan". Mereka harus juga memahami bahwa Islam adalah agama terbaik; agama yang menyelamatkan secara imanen sekaligus secara transenden, karena ia adalah agama yang praktis, yang membimbing masalah politik, sosial, ekonomi, dan internasional. Politik Islam akan terwujud jika Islam itu sendiri terwujud dan hal ini hanya akan terjadi dengan cara keimanan dan pengorbanan. Jika umat Islam hari ini mendapatkan kembali semangat umat Islam awal, mereka akan melakukan perubahan sesuai dengan perubahan yang telah dilakukan oleh generasi Islam awal tadi. Mereka yang berpendapat seperti ini mempunyai asumsi dasar tentang Islam, politik, dan masa depan. Pertama, mereka berasumsi bahwa Islam merupakan pemikiran yang terbaik dalam kerangka peradaban, sekaligus sebagai kekuatan yang utuh. Di sini mereka menghadapkan Islam dengan Barat secara diametral. Kedua, karena mereka menekankan adanya penyatuan agama (din) dan negara (daulah), mereka berasumsi bahwa tidak ada manfaatnya untuk melakukan pembatasan terhadap politik. Ketiga, mereka tidak begitu mempedulikan detail-detail masa depan -bahwa, bagaimana regenerasi politik dihubungkan dengan regenerasi Islam. Dengan demikian, diperlukan adanya "spiritualisasi" politik.

Pendekatan Muslim Progresif Pendekatan konservatif di atas, jika diringkaskan adalah sebuah pendekatan yang membuat politik yang lebih religius (Islami). Selain pendekatan ini, terdapat pula pihak-pihak

yang menyerukan agama untuk lebih bersifat politis. Pendekatan ini memusatkan pada pentingnya ideologisasi doktrin agama kepada tujuan-tujuan politik yang radikal. Pendekatan ini bianya memperlihatkan bahwa selama ini pemikiran keagamaan bersifat konservatif: bahwa Tuhan itu berada di atas kita dan jauh, kurang memperhatikan ketidakadilan dan ketimpangan yang terjadi pada manusia. Dengan lebih memfokuskan pada transendensi Tuhan dan kepasifan-Nya, para ulama telah membantu dan menyenangkan kelas feodal, yang bahagia jika kita semua berpikir bahwa kepasifan itu adalah sebuah hal yang alamiah. Maka adalah sangat penting bagi umat Islam untuk menjadikan agama sebuah ideologi yang menekankan imanensi daripada transendensi, dan melakukan gerakan linier, bukan hirarkis: "Semangat peradaban adalah semangat bangsa, semangat ketuhanan yang menyejarah." Teologi dan agama secara umum perlu menyediakan "logika" bukan dalam kerangka kapitalisme seperti apa yang terjadi pada masa lalu, tetapi sosialisme revolusioner. Kita dapat membandingkan asumsi pendekatan ini dengan pendekatan lain. Pertama, Islam di sini dilihat sebagai sebuah ideologi, program dan aktivitas kebenaran, yang dapat membangkitkan umat Islam dengan gairah komitmennya untuk keadilan sosial dan kejelasan tantangannya pada status quo. Kedua, politik bukanlah hanya bagian tertentu dari Islam, tetapi ia adalah sebab utamanya (raison d'etre). Di sini nampak bahwa Islam diperlukan baik oleh para penguasa yang menggunakannya sebagai opium bagi rakyat, atau oleh mereka yang menyerukan "perjuangan kaum tertindas". Ketiga, dalam hubungannya dengan masa depan, penegasan kembali atau penafsiran kembali keimanan itu tidaklah cukup, walaupun sangat penting. Dalam bentuknya yang terakhir, yaitu fundamentalisme (sebut saja begitu), Islam dipandang tidak lagi hanya sebagai "mesianisme murni": "Umat Islam sedang menunggu perubahan radikal" dalam kehidupan ekonomi, sosial, dan kewargaan mereka, dan kelompokkelompok Islam harus memenuhi harapan masyarakat dan memimpin revolusi. Demikian, misalnya pendapat Ali Syari'ati. Ringkasnya, pendekatan ini memandang bahwa Islam harus dipolitisasikan. Cara pandang seperti ini telah begitu banyak percabangannya. Pandangan ini melihat agama telah dilemahkan dalam kehidupan publik. Dengan demikian, diperlukan adanya emansipasi agama. Pandangan ini menjelaskan alasan kemunculan kelompok-kelompok seperti Ikhwanul Muslimin sebagai akibat dari adanya penjualan besarbesaran dari kaum feodal dan nasionalis borjuis kepada para imperialis. Inilah yang menimbulkan reaksi terutama di kalangan kelas bawah kota dan para mahasiswa. Tetapi tidak berakhir di situ saja, dan tentu saja terlihat bahwa masa depan "materialisme dan nasionalisme" akan menggantikan "idealisme dan metafisika". Garis historis betul-betul

menakjubkan: Islam nampaknya akan dipaksa untuk tidak diberi ruang. Inilah dampak dari analisis Francis Fukuyama bahwa ideologi sudah berakhir (the end of ideology). Yang lain lebih mendukung ide pemisahan agama dari politik, tetapi dapat dibedakan menjadi dua jalan. Mereka tidak merujuk pada kualitas-kualitas yang buruk dari agama. Mereka lebih menunjuk pada kualitas-kualitas sejarah Islam sendiri yang tidak menguntungkan. Kemudian, mereka tidak membicarakan pemisahan itu secara positif, tetapi lebih bersifat saran atau keinginan saja. Sebagian, misalnya, menemukan dalam politik Arab sebuah aliansi yang tidak suci antara kekuatan politik reaksioner dengan otoritas religius reaksioner. Memang tidak sepenuhnya begitu, tetapi energi original Islam yang diturunkan menjadi "Islam rakyat" lebih populer. Islam seperti ini membuat adanya penyatuan agama dan negara lebih berbahaya karena ia mengizinkan ulama atau otoritas keagamaan menjadi kelas keturunan yang mengklaim monopoli pengetahuan dan mendapatkan pendapatan dari wakaf. Demikian pula, nilai-nilai yang mereka sampaikan, seperti ketundukan pada Allah dan takdir, hanya membuat fatalisme. Hasilnya adalah bahwa agama dan negara tidak dapat dipersatukan. Walaupun banyak varian-nya, para pendukung pemisahan agama dan negara itu mempunyai asumsi-asumsi yang sama. Pertama, mereka tidak berpikir bahwa Islam itu sebuah peradaban atau ideologi, seperti dalam dua pendekatan lain, tetapi sebagai masalah yang sulit dan perlu diselesaikan. Kedua, mereka melihat politik sebagai wilayah utama aktivitas, di mana setiap hal yang penting dapat diputuskan; yang dalam hal ini terdapat kesamaan dengan mereka yang ingin mempolitisasikan Islam. Ketiga, sementara "para politisi" mengajukan masa depan yang religius dalam cara yang revitalistik, kelompok "para pemisah" ini berbeda, karena mereka melihat abad modern secara esensial itu sekular dan dengan demikian merekomendasikan pemisahan agama dan politik. Ciri khas pandangan kaum sekular.

Pendekatan Ilmu Sosial Para ilmuwan sosial juga mempunyai variasi cara pandang terhadap politik Islam secara tersendiri. Kebanyakannya mereka berasumsi bahwa pemisahan Islam dan politik itu memang diinginkan. Kenyataan menunjukkan bahwa kebanyakan setuju pada pandangan bahwa Islam itu stagnan, rigid, atau merupakan suatu masalah; bahwa politik merupakan pusat utama aktivitas, dan bahwa masa depan modernisasi berdasarkan pada pembentukan tatanan sekular. Tetapi yang lain menganggap masalah ini secara berbeda. Satu kelompok, misalnya, berpikir bahwa politik di negara-negara berkembang itu

dipengaruhi lebih oleh identifikasi keluarga, etnis, dan pasar daripada oleh kebijakan birokratis dan pembangunan institusi. Bertentangan dengan Barat, sumber-sumber otoritas formal di negara-negara ini sangat jarang menjadi satu-satunya sumber loyalitas dan kekuasaan yang efektif. Di negara-negara mayoritas Muslim, otoritas dan tradisi Islam seringkali tidak proporsional pada peran sosial yang diakui secara resmi; mereka lebih sering menerjemahkan politik dalam artian informal. Walaupun terdapat persaingan dan keseimbangan kekuasaan yang tetap di kelas ulama yang membuat pemerintah mudah untuk mengeksploitasinya, sementara para ulama itu menyerah pada pemerintah, mereka tetap mempunyai pengikut setia di masyarakat. Bersamaan dengan itu, yang lain menyatakan bahwa informalitas politik Islam tidak begitu banyak bermanfaat. Argumennya di sini adalah bahwa politik di negara-negara Islam tertinggal dalam perkembangan institusional karena Islam kekurangan dalam mengorganisasikan keulamaan. Hal ini akan menimbulkan dua konsekuensi. Salah satunya adalah bahwa sejarah Islam tidak begitu memerlukan adanya Pembaharuan. Karena tidak ada gerakan yang meruntuhkan kekuasaan ulama. Konsekuensi kedua adalah bahwa ulama tidak pernah secara riil membentuk suatu kekuasaan yang mantap. Ulama selalu dalam keadaan diam terhadap status quo. Betapapun banyak perbedaannya, mereka yang berpandangan politik informal biasanya sama dalam memandang Islam, politik, dan masa depan. Pertama, mereka melihat Islam sebagai semata-mata "seperti itu", sebuah fakta kehidupan yang harus dihitung. Tendensi-tendensi normatif dalam pendekatan-pendekatan lain itu tidak ada. Kemudian, Islam juga dipandang sebagai suatu vitalitas, tetapi diuji oleh lingkungan yang menjadikannya "sesuatu"; dengan demikian agak bersifat independen. Kedua, karena perhatian mereka adalah masalah interaksi antara faktor formal dan informal, mereka memberikan perhatian analisis yang lebih besar kepada politik. Politik adalah hal yang cukup kompleks; ia tidak secara otomatis berada di bawah Islam, atau dianggap sebagai wilayah aksi atau arena utama aktivitas bagi Islam. Ketiga, mereka melihat masa depan sebagai kelanjutan dari masa lalu. Islam tidak akan pernah maju atau mundur, ia hanya akan menjadi energi bagi masyarakat untuk mereaksi sumber-sumber formal kekuasaan. Pertama, Islam dalam pandangan ini dipandang sebagai sebuah ideologi, suatu keimanan yang mungkin mempengaruhi perilaku tetapi menyediakan kesempatan kecil untuk tindakan independen. Islam lebih bersifat "variabel dependen" yang manuvernya dialamatkan pada konteks politik -pandangan yang berbeda dari mereka yang bersifat "politis". Kedua, hampir sama dengan pendekatan politik informal, pendekatan utilitarian ini menyatakan

bahwa politik merupakan jaringan perhubungan sosial yang kaya yang berdasarkan pada umur, keluarga, posisi resmi, dan pengetahuan; dengan demikian pemikiran ini menunjukkan kehalusan politik itu sendiri. Hal ini dikatakan oleh seorang peneliti politik Indonesia antara 1948 hingga 1962, "Loyalitas tradisional menimbulkan struktur politik, dan proses politik modern hanyalah merupakan organisme temporer yang mengadaptasikan diri pada mekanisme sosial tradisional dalam budaya politik Sunda". Jika Islam merupakan variabel dependen, maka begitu pula politik. Ketiga, mengenai masalah masa depan, nampak bahwa, dengan majunya modernisasi, isi dan konfigurasi kekuatan sosial akan berubah. Ketika hal ini terjadi, akan terdapat juga perubahan-perubahan dalam menentukan siapa yang memegang kekuasaan dan bagaimana mereka menjalankannya, dan ini juga dalam konteks perubahan yang saling berhubungan bahwa kita dapat mengevaluasi pentingnya politik Islam secara khusus. Demikianlah berbagai arus pemikiran terjadi pada diri umat Islam. Semua ini merupakan respons terhadap modernisasi yang begitu massif. Dan sebagai penutup, menarik apa yang diungkapkan oleh Natsir yang menyebutkan: bahwa aplikasi model politik Islam apapun bisa dipakai, termasuk demokrasi -- selama jika dengan demokrasi ini bisa mendatangkan manfaat yang besar buat Islam dan umatnya. Dalam konteks ke-Indonesia-an hari ini, politik Islam mestilah bisa ditampilkan dengan semangat Islam yang menzaman, cerdas, lugas dan berpihak pada upaya tegaknya nilai-nilai keadilan sosial yang kini makin jauh dari harapan umat. Dan syari'ah Islam mesti berupaya untuk mewujudkannya. Dan pada akhirnya setiap pemikiran politik Islam akan diuji oleh kontekstualisasi di mana pemikiran politik Islam itu hidup.

Negara Islam (Negara dan Islam) Dimasa kontemporer ini terlihat ada kecenderungan para pakar islam berbeda dalam merumuskan bagaimana konsep Negara islam menyangkut Negara. Keragaman pandangan dunia islam tidak hanya terbatas pada paham keagamaan belaka yang melahirkan berbagai mazhab dalam islam, tetapi juga mengimbas atau melahirkan berbagai mazhab dalam islam, tetapi juga meluas kebanyak aspek kehidupan, terutama mengenai konsep Negara dalam islam. Pandangan islam atau paham islam tentang Negara bahkan terpolarisasi sedemikian tajam Karen a Negara atau politik memang merupakan wilayah yang sangat komplek dan penuh

pertentangan, sehingga dimensi teologis bertemali dengan aspek ideologis dan kepentingankepentingan praktis, yang dalam dunia politik muslim juga melibatkan kompetisi dan persaingan.

Konsep Negara islam. Masalah penamaan atau penyebutan agama islam bagi umat islam mungkin hanya merupakan faktor psikologi saja. Menurut Fadzlul Rahman Negara islam adalah organisasi yang dibentuk oleh masyarakat muslim itu dalam rangka memenuhi keinginan mereka dan tidak untuk kepentingan orang lain. Maksud dari Keinginan mereka adalah untuk melaksanakan kehendak Allah sebagaiman tercantum dalam wahyu Allah. Atau suatu Negara yang didirikan atau dihuni oleh umat islam dalam rangka memenuhi keinginan mereka untuk melaksanakan perintah Allah melalui wahyu-Nya. Muhammad Asad mengatakan bahwa Negara islam adalah alat untuk mencapai tujuan berdasarkan tujuan Negara pada ayat Al- quan surat (Ali- Imran : 103-104). Menurut Haikal didalam islam tidak terdapat satu system pemerintahan yang baku. Menurutnya sistem pemerintahan yang sesuai dengan ketentuan- ketentuan islam adalah system yang menjamin kebebasan dan berasaskan prinsip bahwa pengangkatan kepala Negara dari kebijaksanaannya harus sepersetujuan rakyat. Setiap umat islam telah membentuk pola tersendiri dalam memberikan tanggapan tentang definisi Negara islam. Dalam masalah ini terdapat tiga kelompok pendapat diantaranya: 1) Pendapat pertama islam adalah agama yang sempurna dan lengkap dengan pengaturan untuk segala aspek kehidupan manusia termasuk masalah kehidupan bernegara. Kerana itu umat isalam tidak perlu mengadopsi system ketata negaraan barat. Malah sebaliknya umat islam dihimbau kembali kepada system ketatanegaraan islam sendiri dengan menunjukkan contoh Negara yang dibentuk oleh nabi Muhammad Saw dan Khulafaurrasyidin. 2) Pendapat kedua islam adalah hanya suatu agama saja, tidak ada hubungannya dengan masalah kenegaraan. Nabi Muhammad di utus kedunia hanyalah seorang rasul seperti halnya rasul- rasul sebelumnya dengan tugas hanya menyempurnakan akhlak manusia. Nabi tidak pernah mendapat tugas untuk mendirikan dan mengepalai suatu Negara

3) Pendapat ketiga islam tidak merupakan suatu agama yang serba lengkap yang didalamnya terdapat suatu system kenegaraan yang lengkap pula. Selain itu dalam bidang ibadah hendaknya diterapkan system hablum minannas demi kesejahteraan warga Negara demi suatu Negara, oleh karena itu sangat dibutuhakan situasi yang kondusif untuk pengembangannya yaitu Negara yang aman dan tingginya perhatian pada keselamatan hidup manusia, terjaminnya hak- hak asasi manusia dengan selalu mengedepankan Al-quran dan Hadist nabi Muhammad saw. Adapun proses pembentukan Negara islam bisa melalui sebuah perjuangan yang panjang seperti Pakistan, yang berusaha memisahkan diri dari Negara India yang mayoritas Hindu. Tujuan Negara islam menurut Fadzlul Rahman adalah untuk memepertahankan kesalamatan dan integritas Negara, memelihara terlaksananya undang- undang dan keterlibatan serta membangun Negara itu sehingga setiap warga negaranya menyadari kemampuannya dan bersedia menyumbangkandemi kesejahteraan seluruh warga Negara. Ciri- ciri Negara islam adalah: Seruan untuk kembali kepada Al-Quran dan hadist nabi Penegasan akan hak untuk mengadakan analisa yang mandiri (ijtihad) tentang AlQuran dan Sunnah, dari pada harus bersandar dan meniru pendapat dari generasi tokoh dahulu yang berpengetahuan tinggi tentang islam atau (taqlid) Penegasan kembali keaslian dan keunikan Al- Quran , yang berbeda dengan lainnya. Negara-negara Islam Adapun Negara- Negara yang termasuk Negara islam adalah awalnya Turki berasaskan islam ketika masih dibawah Turki Usmani selama enam ratus tahun , kemudian dengan datangnya Mustafa Kemal maka telah merubahnya menjadi Negara yang Republik yang masih berasaskan islam , namun dengan perkembangan selanjutnya maka Negara tersebut berubah menjadi Negara sekuler hingga saat ini. Selain itu Mesir, Iraq (termasuk Negara demokrasi- sosialis), Arab Saudi ( monarki dan rajanya selain sebagai pemimpin politik juga memimpin agama dan menggunakan syariat islam sebagai hokum yang berlaku bagi kerajaannya), Pakistan ( Republik Islam Pakistan), Malaysia, Dll.

Lalu bagaimana dengan Negara kita Indonesia apakah termasuk Negara islam? Menurut tokoh- tokoh PSII, dalam Negara Indonesia merdeka sistem pemerintahan yang berdasarkan kedaulatan rakyat, dimana pemerintahan bertanggung jawab terhadap rakyat melalui wakil- wakil mereka di Dewan Perwakilan Rakyat ( DPR), merupakan system yang islami. Hal ini berdasarkan pendapat Masyumi, NU, PSII, dan Perti,tentang system pemerintahan yang paling dekat dengan ajaran islam adalah system demokrasi, tetapi empat partai tersebut baik secara eksplisit maupun implisit berpendirian bahwa kedaulatan rakyat itu tidak mutlak dan bukan tanpa batas. Keinginan dan keputusan rakyat atau wakil- wakil mereka antara lain tidak boleh bertentangan dengan ajaran atau hukum yang telah ditetapkan oleh Allah.

Tokoh politik Muhammad Iqbal Muhammad Iqbal (1873-1938) beliau merupakan penyair, filosuf, ahli hukum, pemikir politik, dan reformis muslim. Muhammad iqbal merupakan tokoh dominan umat islam pada abad ke 20. Ia juga dianggap penting tidak hanya di Asia Selatan tetapi juga di Timur Tengah. Penulis penulis diarab mulai dari Sayyid Quttub sampai kepada Shadiq AlMahdi mengakui pengaruhnya. Karena ia menulis dalam bahasa Persia, bahasa Urdu, maupun bahasa Inggris, tulisan- tulisannya juga dapat dibaca oleh para reformis Iran, seperti Ali Syariati, seorang pahlawan, ideolog muda Iran, dan islam selama revolusi Iran. Muhammad Iqbal memperlihatkan daya tanggapnya yang luar biasa, dan kejeniusannya dalam mengidentifikasi dan menghadapi banyak masalah, serta keprihatinannya terhadap perkembangan islam pada saat itu. Beliau hidup ditengah- tengah minoritas islam yang dulu pernah memerintah India, dan sekarang hidup berdampingan tidak saja dengan suatu mayoritas Hindu, tetapi juga dengan pemerintahan kolonialisme Inggris. Dengan adanya ini maka timbullah kesadaran dalam dirinya akan keharusan memperbaharui masyarakat muslim, maka cara yang dilakukannya adalah melalui suatu proses penafsiran kembali dan perbaikan, pengukuhan hubungan integral antara islam dengan politik dan masyarakat, dukungan terhadap alternative islam, dan penegasan kembali watak tradisional masyarakat muslim.

Beliau yakin bahwa intelektualisme agama Hindu dan panteisme sufi sangat mengurangi kemampuan komunitas muslim untuk bertindak. Oleh karenanya sikap berdiam muslim India dianggapnya sebagai penyimpangan- penyimpangan dari semagat islam, yaitu semagat yang dinamis, dan evolusi yang kreatif. Dengan mendasarkan diri pada Al-quran, maka Iqbal mengembangkan suatu weltanschaung yang dinamis melalui teori kediriannya yang meliputi semua realitas, diri, masyarakat, dan Tuhan. Beliau berpendapat bahwa manusia adalah seorang mukmin yang menerima tanggung jawab, yang diamanatkan dalam Al- quran, dan berusaha melahirkan masyarakat yang teladan yang akan dicontoh oleh orang- orang lain, menurutnya muslim atau non muslim adalah sama. Dalam bahasa mistik, Iqbal mengatakan tentang kepribadian yang kehilangan diri dalam komunitas, oleh karena itu dapat diketahui bahwa kepribadiannya telah menjelma menjadi tradisi- tradisi masa lalu dan jembatan yang menghubungkan masa lampau dan masa depannya adalah sesuai dengan barisan syair- syair sebgai berikut: Bagaikan setetes yang, berusaha meluas, menjadi samudra.kuat dan kaya, menjadi caracara kuno, cermin masa lalu terhadap masa depan,dan hubungannya antara apa yang akan tiba, dan apa yang berlalu sebelumnya. Pendapat beliau tentang Negara islam Tujuan dari Negara islam adalah menerima prinsip- prinsip islam, dan berupaya mewujudkannya didalam sejarah melalui suatu organisasi tertentu, dengan berdasarkan kepada sabda nabi Muhammad Saw. Menurutnya tiang kembar Negara dan masyarakat islam adalah kenabian Muhammad dan yang paling penting adalah doktrin tauhid. Bagi iqbal tauhid adalah prinsip yang mempersatukan masyarakat, sumber persamaan, solidaritas, dan kemerdekaan. Tauhid adalah jiwa dan tubuh masyarakat kita. Dengan demikian dalam kehidupannya ia mencerminkan persatuan agama dan Negara. Dasar kedua untuk Negara dan masyarakat muslim adalah persamaan mutlak yang berakar dalam doktrin tauhid dan misi nabi yang berasaskan Al-Quran dan Hadist. Adapun peran besar dari Iqbal sendiri ialah mengorbankan kembali kesadaran akan semangat dinamis islam. Dengan dibangunnya prinsip- prinsip mendasar dalam puisinya, y ng dapat menggerakkan umat islam, baik yang buta huruf maupun yang tidak, kepada suatu intuisi tentang apa yang seharusnya terdapat dalam pikiran mereka, sehingga mendapatkan solusi

atas permasalahan tersebut. Beliau juga menggagas tentang Pan-Islamisme yang mensyaratkan suatu khilafah. Karena peristiwa- peristiwa yang terjadi pada masa hidupnya menghendaki beberapa perubahan. Yang akhirnya dapat menyatukan beberapa pendapat yang, dan akan timbul suatu persamaan, persaudaraan, setiakawanan, dan sifat nasionalisme yang tinggi. Ia juga menegaskan tentang prinsip- prisip politik islam, yang diyakininya sebagai dasar bagi peremajaan kembali masyarakat islam dengan adanya pelaksanaan praktis kepada para polotisi, sosiologi, ekonomi dan sebagainya. Adapun keunggulan Muhammad Iqbal dari pada tokoh lainnya adalah selain beliau merupakan seorang puitis yang luar biasa karena ia menulisnya kedalam berbagai bahasa dan banyak dikagumi oleh beberapa tokoh lainnya karena kesustraannya itu, namun beliau juga seorang politisi yang ulung dengan gagasan Pan- Islamismenya.

Kesimpulan Sebagaimana yang kita saksikan dalam sejarah jika suatu Negara tidak mampu mempertahankan integritas Negara , maka sungguh amat sulit menjamin terlaksananya undang- undang. Situasi yang semacam ini juga akan mengakibatkan warga Negara yang tidak mampu merealisasikan kemampuan baik dalam Negara dan beribadah dalam rangka maelaksanakan wahyu Allah, baik itu ibadah yang bersifat hablum minannas maupun hablumminal Allah. Oleh karena itu hendaknya dalam tata pemerintahan dibarengi dengan berlandaskan kepada Al-quran dan Hadist.

Daftar Bacaan : John. L. Esposito, Dinamika Kebangunan Islam, ( Jakarta : PT. Rajawali Pers, 1987) hal 26

Mukti Ali, Islam Dan Sekularisme Di Turki Modern, ( yoqjakarta : Djambatan, 1994), hal 84. Sjadzali Munawir, Islam Dan Tata Negara, ( Jakarta : UI- Press, 1993), cet ke-v, hal 196 Muhammad Iqbal, The Secrets Of The Self, ( London: 1920), Hal 56- 59

Anda mungkin juga menyukai