Anda di halaman 1dari 4

POLRI DALAM PERUBAHAN PARADIGMA Oleh: Adithiya Diar* Perkembangan masyarakat selalu seiring dengan semakin berkembangnya segala

aspek kebutuhan, termasuk dari segi kebutuhan akan kenyamanan dan keamanan. Perkembangan masyarakat tersebut secara langsung membawa tuntutan agar penegakan hukum di Indonesia dapat terlaksana dengan baik, tentunya yang berorientasi kepada penguatan terhadap tanggung jawab personalia dari setiap institusi penegak hukum, terutama ditubuh Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Semenjak Proklamasi kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945, Polri yang merupakan institusi penegak hukum ini secara terus menerus meningkatkan kemampuan anggotanya dalam pengabdian kepada masyarakat demi terwujudnya suatu negara yang tentram dan damai. Dengan peningkatan kemampuan tersebut diharapkan agar Polri mampu untuk menumbuhkembangkan sikap professional dan bertanggung jawab terhadap tugasnya sesuai dengan pedoman hidup yang tertuang dalam tribrata. Dilihat dari historis, lahirnya Polri yang salama ini diperingati pada tanggal 1 Juli, sebenarnya bukanlah hari lahir Polri. Sebab sejarah telah mencatat bahwa di Surabaya, Komandan Polisi Istimewa Jawa Timur, Inspektur Polisi Kelas I Moehammad Jasin, telah memproklamasikan kedudukan kepolisian pada tanggal 21 Agustus 1945, jauh sebelum Hari Bhayangkara 1 Juli 1946 yang kemudian lebih dikenal sebagai HUT Polri pada saat ini. Perubahan Paradigma Di era Orde Baru, kedudukan Polri berada di bawah Panglima ABRI. Era ini berlangsung sangat panjang yaitu hampir 32 tahun. Dalam tataran pemikiran zaman orde baru, Polri yang berkedudukan sebagai bagian dari militer mengemban tugas dwi fungsi militer. Dimana ABRI

dijadikan tulang pungung sistem politik Orde Baru sebagai kekuatan kekeluargaan yang integral. Dwi fungsi ABRI pada masa itu dapat pula diartikan sebagai suatu doktrin di lingkungan militer Indonesia yang menyebutkan bahwa ABRI memiliki dua tugas, tugas yang pertama menjaga keamanan dan ketertiban negara, dan tugas kedua adalah pemegang kekuasaan dan mengatur negara. Tujuan dari Penyatuan Polri kedalam militer tidak lain hanya untuk menyamakan mental dan militansi ABRI sebagai upaya koreksi terhadap langkah-langkah politik di era demokrasi terpimpin. Implikasi dari integrasi yang kokoh ini adalah organisasi Polri langsung berada di bawah Menteri Pertahanan dan Panglima ABRI. Artinya Polri yang mandiri secara operasional dan pembinaan sejak era kemerdekaan berakhir dengan diintegrasikannya Polri kedalam ABRI. Disisi lain, akibat dari penyatuan Polri kedalam ABRI juga berdampak pada peranan, fungsi dan tugas Polri yang menjadi rancu dengan tugas-tugas militer. Serta soliditas, moral anggota dan kreatifitas menjadi pimpinan Polri menjadi surut. Sihingga Polri dimasa itu dinilai sebagai lembaga bulldozer yang berperan menjadi penegak hukum dan penyidik. Sejak tumbangnya pemerintahan orde baru, secara langsung memberikan dampak yang cukup besar terhadap kemandirian institusi Polri. Dampak tumbangnya pemerintahan orde baru tersebut dapat terlihat bagaimana institusi Polri terpisah dari ABRI, dan mendapatkan kepercayaan sebagai penyelenggara pemerintahan yang independen. Dimana keberadaan Polri merupakan salah satu sub-sistem dari pemerintahan negara yang menjalankan sebagian fungsi pemerintahan atau negara yang bertanggung jawab kepada Presiden. Sebagai penyelenggara pemerintahan yang independen, kehadiran Polri pada saat ini dituntut untuk bertanggungjawab yang diiringi SDM yang berkualitas dalam menjalankan perannya di dalam mengawal demokrasi. Polri yang dahulunya pengemban tugas-tugas militer,

kini mendapatkan tugas pokok yang berorientasi untuk memelihara keamanan dan ketertiban (order maintenance), menegakkan hukum (Law enforcement officers), serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. Seiring berjalannya waktu, tugas pokok Polri kinipun dihadapkan pada tugas yang berspektif HAM. Lahirnya Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 8 Tahun 2009 adalah landasan hukum dimana Polri tidak hanya sebagai order maintenance dan Law enforcement officers, melainkan juga dituntut untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia dalam menjalankan seluruh tugasnya disegala aspek. Tugas terbaru ini boleh dikatakan sebagai tugas tambahan yang bukan menitikberatkan pada institusi, melainkan lebih menitik beratkan kepada karakter personilnya. Dimana dapat dipahami bahwa setiap anggota personil Polri juga merupakan manusia biasa, yang memiliki kedudukan sama dihadapan hukum (equality before the law). Dengan demikian, merekapun juga harus menjaga dan menghormati HAM yang melekat pada diri orang lain. Tugas yang berspektif HAM ini lahir hanya semata-mata karena polisi yang sehari-hari bersinggungan dengan masyarakat yang harus dilindungi hak yang melekat padanya. Selain itu tugas ini lahir dengan tujuan untuk mengubah paradigma masyarakat yang terlanjur menilai bahwa Polri adalah sebagai institusi yang sering bertindak represif, yang sering melakukan pelanggaran hukum dan melakukan pelanggaran hak asasi manusia menjadi institusi yang bermitra dengan masyarakat dalam melawan tindak kriminal. Tantangan Polri Kedepannya Polri sudah terpisah dari ABRI selama 12 (dua belas) tahun, tetapi tidak serta merta mengubah penilaian dari masyarakat bahwasanya Polri merupakan institusi yang masih mewarisi watak militeristik dengan citra having force and power. Hal ini seiring dengan masih

munculnya kasus kekerasan, pelanggaran HAM, serta belum adanya penegakan hukum yang berkeadilan dan akuntabel dalam menjalankan tugas pokoknya. Penilaian masyarakat tersebut hingga kini nyaris mendekati kebenaran, karena diperkuat pula dengan adanya data dari KOMNAS HAM yang menempatkan Polri sebagai institusi yang menduduki peringkat teratas yang dilaporkan oleh masyarakat ke KOMNAS HAM terkait dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh oknumnya dalam pelaksanaan tugas pokok Polri pada tahun 2010. Menyikapi segala kondisi diatas, tantangan Polri kedepannya ditujukan untuk membangun perpolisian yang mempunyai karakter sipil, professional, dan berintegritas tinggi dalam melaksanakan tugasnya. Untuk mencapai tantangan itu, maka semua yang menyangkut tugas pokok yang ada, haruslah berdasarkan pada asas keterbukaan (openness) dan akuntabilitas (accountability). Keterbukaan dapat diartikan bahwa Polri adalah bagian dari masyarakat, yang berintegrasi dengan masyarakat serta memiliki hak yang sama sebagai warga negara. Akuntabilitas artinya polisi harus dapat mempertanggungjawabkan semua perilakunya secara hukum, dan meminimalisir pelanggaran HAM yang terjadi. Dengan keterbukaan dan akuntabilitas diharapkan agar Polri kembali mendapatkan kepercayaan masyarakat, sekaligus dapat membentuk karakter personil Polri kedalam institusi sipil yang professional dan bertanggung jawab terhadap masyarakat. Sehingga tujuan Polri sebagai mitra sejajar masyarakat dalam melawan tindak kriminal, dapat pula terlaksana dengan baik. *Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta angkatan 2007 Rubrik Opini Jambi Ekspres, Sabtu 9 Juli 2011

Anda mungkin juga menyukai