Anda di halaman 1dari 18

B. NEGOSIASI Berdasarkan UU no.

30 tahun 1999 Pasal 6(2), dikatakan bahwa para pihak dapat dan berhak untuk menyelesaikan sendiri sengketa yang timbul diantara mereka. Kemudian, kesepakatan itu dituangkan dalam bentuk tertulis. Negosiasi merupakan komunikasi dua arah, ketika masing-masing pihak saling mengemukakan keinginannya. Negosiasi adalah proses upaya untuk mencapai kesepakatan dengan pihak lain, suatu proses interaksi dan komunikasi yang dinamis dan beranekaragam. Atau bisa dikatakan, negosiasi merupakan proses tawar-menawar dari masing-masing pihak untuk mencapai kesepakatan. Negosiasi adalah cara penyelesaian sengketa yang paling dasar dan yang paling tua digunakan oleh umat manusia. Penyelesaian melalui negosiasi merupakan cara yang paling penting. Alasan utamanya adalah dengan cara ini, para pihak dapat mengawasi prosedur penyelesaian sengketanya dan setiap penyelesaiannya didasakan kesepakatan para pihak. Cara penyelesaian melalui negosiasi biasanya adalah cara yang pertama kali ditempuh manakala para pihak bersengketa. Negosiasi dalam pelaksanaannya memiliki dua bentuk utama: bilateral dan multilateral. Negosiasi dapat dilangsungkan melalui saluransaluran diplomatik pada konperensi-konperensi internasional atau dalam suatu lembaga atau organisasi internasional. A. Tinjauan Dasar Mengenai Negosiasi Negosiasi diperlukan dalam kehidupan manusia karena sifatnya yang begitu erat dengan filosofi kehidupan manusia dimana setiap manusia memiliki sifat dasar untuk mempertahankan kepentingannya, di satu sisi, manusia lain juga memiliki kepentingan yang akan tetap dipertahankan, sehingga, terjadilah benturan kepentingan. Padahal, kedua pihak tersebut memiliki suatu tujuan yang sama, yaitu memenuhi kepentingan dan kebutuhannya. Apabila terjadi benturan kepentingan terhadap suatu hal, maka timbul lah suatu sengketa. Dalam penyelesaian sengketa dikenal berbagai macam cara, salah satunya negosiasi. Secara umum, tujuan dilakukannya negosiasi adalah mendapatkan atau memenuhi kepentingan kita yang telah direncanakan sebelumnya dimana hal yang diinginkan tersebut disediakan atau dimiliki oleh orang lain sehingga kita memerlukan negosiasi untuk mendapatkan yang diinginkan.

Dalam setiap proses negosiasi, selalu ada dua belah pihak yang berlawanan atau berbeda sudut pandangnya. Agar dapat menemukan titik temu atau kesepakatan, kedua belah pihak perlu bernegosiasi. Istilah Negoisasi tercantum di dalam Bab I Ketentuan Umum UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaiaan Sengketa, Pasal 1 butir 10, disebutkan bahwa ADR adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati oleh para pihak, Dalam praktik yakni penyelesaian dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsolidasi, atau penilaian ahli. Pengertian negosiasi dapat berbeda-beda tergantung dari sudut pandang siapa yang terlibat dalam suatu negosiasi. Dalam hal ini, ada dua pihak yang berkepentingan dalam bernegosiasi, Negosiasi dapat didefinisikan sebagai : pembicaran dengan orang lain dengan maksud untuk mencapai kompromi atau kesepakatan untuk mengatur atau mengemukakan. Istilah-istilah lain kerap digunakan pada proses ini seperti : pertawaran, tawar-menawar, perundingan, perantaraan atau barter Menurut Hartman menegaskan bahwa negosiasi merupakan suatu proses komunikasi antara dua pihak yang masing-masing mempunyai tujuan dan sudut pandang mereka sendiri, yang berusaha mencapai kesepakatan yang memuaskan kedua belah pihak mengenai masalah yang sama. Menurut Oliver, negosiasi adalah sebuah transaksi dimana kedua belah pihak mempunyai hak atas hasil akhir. Hal ini memerlukan persetujuan kedua belah pihak sehingga terjadi proses yang saling memberi dan menerima sesuatu untuk mencapai suatu kesepakatan bersama. Sedangkan menurut Fisher R dan William Ury; Negoisasi adalah komunikasi dua arah dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat keduabelah pihak memiliki berbagai kepentingan yang sama atau berbeda. Dari beberapa pengertian diatas, dapat dikemukakan bahwa suatu proses negosiasi selalu melibatkan dua orang atau lebih yang saling berinteraksi, mencari suatu kesepakatan kedua belah pihak dan mencapai tujuan yang dikehendaki bersama yang terlibat dalam negosiasi.

Dengan kata lain negosiasi adalah kegiatan yang dilakukan untuk mencapai suatu keadaan yang dapat diterima kedua belah pihak. Negosiasi diperlukan ketika kepentingan seseorang atau suatu kelompok tergantung pada perbuatan orang atau kelompok lain yang juga memiliki kepentingan-kepentingan tersebut harus dicapai dengan jalan mengadakan kerjasama. Negosiasi adalah pertemuan antara dua pihak dengan tujuan mencapai kesepakatan atas pokokpokok masalah yang : 1. Penting dalam pandangan kedua belah pihak 2. Dapat menimbulkan konflik di antara kedua belah pihak 3. Membutuhkan kerjasama kedua belah pihak untuk mencapainya. Negosiasi tidaklah untuk mencari pemenang dan pecundang; dalam setiap negosiasi terdapat kesempatan untuk menggunakan kemampuan sosial dan komunikasi efektif dan kreatif untuk membawa kedua belah pihak ke arah hasil yang positif bagi kepentingan bersama. Salah satu tujuan orang bernegosiasi adalah menemukan kesepakatan kedua belah pihak secara adil dan dapat memenuhi harapan/keinginan kedua belah pihak. Dengan kata lain, hasil dari sebuah negosiasi adalah adanya suatu kesepakatan yang memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak. Artinya, tidak ada satupun pihak yang merasa dikalahkan atau dirugikan akibat adanya kesepakatan dalam bernegosiasi. Selain alasan tersebut diatas, tujuan dari negosiasi adalah untuk mendapatkan keuntungan atau menghindarkan kerugian atau memecahkan problem yang lain Negosiasi sama-sama menang secara sederhana adalah bisnis yang baik. Ketika pihak-pihak yang berkepentingan di dalam suatu perjanjian merasa puas dengan hasilnya, mereka akan berusaha membuat perjanjian itu berhasil, tidak sebaliknya. Mereka pun akan bersedia untuk bekerja sama satu sama lain pada masa datang. Barangkali anda bertanya, Bagaimana saya bisa menang di dalam suatu negosiasi bila saya membolehkan pihak lawan juga memenuhi kebutuhan mereka?. Jawaban pertanyaan ini terletak pada kenyataan bahwa orang yang berbeda mempunyai kebutuhan yang berbeda. Negosiasi menjelaskan setiap proses komunikasi antara individu yang ditujukan untuk mencapai kompromi atau kesepakatan untuk kepuasan kedua belah pihak. Negotiation involves examining the facts of a situation, exposing both the common and opposing interests

of the parties involved, and bargaining to resolve as many issues as possible. Negosiasi melibatkan memeriksa fakta dari sebuah situasi, exposing baik umum dan kepentingan yang berlawanan dari pihak yang terlibat, dan tawar-menawar untuk menyelesaikan masalahmasalah sebanyak mungkin. Yang perlu kita ketahui dalam negosiasi tidak akan pernah tercapai kesepakatan kalau sejak awal asing-masing atau salah satu pihak tidak memiliki niat untuk mencapai kesepakatan. Kesepakatan harus dibangun dari keinginan atau niat dari kedua belah pihak, sehingga kita tidak bertepuk sebelah tangan. Karena itu, penting sekali dalam awal-awal negosiasi kita memahami dan mengetahui sikap dari pihak lain, melalui apa yang disampaikan secara lisan, bahasa gerak tubuh maupun ekspresi wajah. Karena jika sejak awal salah satu pihak ada yang tidak memiliki niat atau keinginan untuk mencapai kesepakatan, maka hal tersebut berarti membuang waktu dan energi kita. Untuk itu perlu dicari jalan lain, seperti misalnya: conciliation, mediation dan arbitration melalui pihak ketiga. B. Teknik Dan Panduan Singkat Bernegosiasi Dalam negosiasi sendiri diperlukan upaya agar bahasan yang ada tidak melenceng atau keluar dari terbuka responsif dan aserti persuasif. Jika keluar dari tujuan utama dari bahasan maka relasi tidak akan pernah bisa dibangu karena masing-masing pihak akan saling menghindar sehingga substansinya tidak pernah tersentuh, sedangkan jika keluar dari tujuan utama dari bahasan maka relasi juga tidak bisa terbangun karena akan terjadi konfrontasi atau pertikaian dari masing-masing pihak. Beberapa prinsip yang diterapkan di dalam bernegoisasi: 1. Negosiasi harus memiliki struktur, hal ini bertujuan untuk mempermudah pengaturan jalannya negosiasi. Tanpa dibentuk struktur yang dibentuk terlebih dahulu dan disepakati bersama negosiasi tidak akan berjalan, karena masing-masing pihak akan berusaha melakukan tindakan sesuai dengan keinginannya; 2. Struktur negosiasi akan menentukan strategi. dengan adanya struktur yang jelas, maka akan lebih jelas strategi yang akan diambil dalam negosiasi. 3. Struktur bisa dibentuk. Pembentukan struktur merupakan sebuah hal yang bisa dilakukan dengan memperhatikan pola-pola relasi yang sudah ada sebelumnya termasuk di dalamnya pola-pola kekuasaan yang meingkupinya;

4. Sumber kekuasaan dalam nengosiasi adalah kontrol terhadap proses. Untuk dapat mempengaruhi jalannya negosiasi sehingga tujuan akan bisa diperoleh maka seorang negosiator haruslah mampu mempengaruhi jalannya proses; 5. Proses bisa diarahkan, sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa mengontrol proses dalam negosiasi merupakan hal yang sangat penting dalam negosiasi. Namun hal yang perlu diperhatikan dalam hal tersebut adalah proses dapat diarahkan dengan cara memperkuat relasi dan pengaruh dalam semua tahap negosiasi; 6. Negosiator adalah pembelajar. Hal ini merupakan hal yang sangat penting karena jika seorang negosiator tidak mau memperhatikan, mempelajari, dan memahami keadaan serta perubahan yang terjadi di sekelilingnya, maka negosiasi yang dilakukannya akan selalu gagal; 7. Negosiator adalah peminpin. Sebagaimana point-point sebelumnya maka seorang negosiatior haruslah mampu memimpin dengan baik. Karena tingkat kepemimpinan akan juga berpengaruh kepada derajat kepercayaan orang lainnya. C. Beberapa Keuntungan dan Kerugian di Dalam Negoisasi 1. Keuntungan Negoisasi : a. Mengetahui pandanga pihak lawan; b. Kesempatan mengutarakan isi hati untuk didengar piha lawan; c. Memungkinkan sengketa secara bersama-sama; d. Mengupayakan solusi terbaik yang dapat diterima oleh keduabelah pihak; e. Tidak terikat kepada kebenaran fakta atau masalah hukum; f. f. Dapat diadakan dan diakhiri sewaktu-waktu. 2. Kelemahan Negoisasi : a. Tidak dapat berjalan tanpa adanya kesepakatan dari keduabelah pihak; b. Tidak efektif jika dilakukan oleh pihak yang tidak berwenang mengambil c. kesepakatan;

d. Sulit berjalan apabila posisi para pihak tidak seimbang; e. Memungkinkan diadakan untuk menunda penyelesaian untuk mengetahui informasi yang dirahasiakan lawan; f. Dapat membuka kekuatan dan kelemahan salahsatu pihak; g. Dapat membuat kesepakan yang kurang menguntungkan. 3. Prasyara Negoisasi yang efektif : a. Kemauan (Willingness) untuk menyelesaikan masalah dan bernegoisasi secara sukarela; b. Kesiapan (Preparedness) melakukan negoisasi; c. Kewenangan (authoritative) mengambil keputusan; d. Keseimbangan kekuatan (equal bergaining power) ada sebagai saling ketergantungan; e. Keterlibatan seluruh pihak (steaholdereship) dukungan seluruh pihak terkait; f. Holistic (compehenship) pembahasan secara menyeluruh; g. Masih ada komunikasi antara para pihak; h. Masih ada rasa percaya dari para pihak i. Sengketa tidak terlalu pelik j. Tanpa prasangka dan segala komunikasiatau diskusi yang terjadi tidak dapat digunakan sebagai alat bukti. C. MEDIASI Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa melalui proses perundingan atau mufakat para pihak dengan dibantu oleh mediator yang tidak memiliki kewenangan memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian. Ciri utama proses mediasi adalah perundingan yang esensinya sama dengan proses musyawarah atau konsensus. Sesuai dengan hakikat perundingan atau musyawarah atau konsensus, maka tidak boleh ada paksaan untuk

menerima atau menolak sesuatu gagasan atau penyelesaian selama proses mediasi berlangsung. Segala sesuatunya harus memperoleh persetujuan dari para pihak. Mediasi juga merupakan suatu cara penyelesaian sengketa melalui pihak ketiga. Yang menjadi pihak ketiga ini organisasi internasional, negara ataupun individu. Pihak ketiga ini dalam sengketa ini dinamakan mediator. Fungsi utamanya adalah mencari solusi (penyelesaian) mengidentifikasi, hal-hal yang dapat disepakati para pihak serta membuat usulan-usulan yang dapat mengakhiri sengketa, informal, dan bersifat aktif. Dalam proses negoisasi sesuai dengan pasal 3 dan 4 haque convention on the pacific settlement of disputes (1907) yang menyatakan bahwa usulanusulan yang diberikan mediator janganlah dianggap sebagai suatu tindakan yang bersahabat terhadap suatu pihak (yang merasa merugikan). Dengan demikian ada 4 hal yang mendasar dari pengertian mediasi tersebut, yaitu : a. Adanya sengketa yang harus diselesaikan b. Penyelesaian melalui perundingan c. Tujuan perundingan untuk memperoleh kesepakatan d. Peranan Mediator dalam membantu penyelesaian Para pihak bebas menentukan prosedurnya yang terpenting adalah kesepakatan para pihak, mulai dari proses pemilihan mediator, cara mediasi, diterima atau tidaknya ususlanusulan yang diberikan oleh mediator, sampai berakhirnya tugas dari mediator. Pengaturannya dalam Pasal 6 (3-5) UU no.30 tahun 1999. Mediasi adalah suatu proses kegiatan sebagai kelanjutan dari gagalnya negosiasi yang dilakukan oleh para pihak menurut ketentuan Pasal 6 (2). Mediasi melibatkan pihak ketiga (Pasal 6 (3). Kebijakan MA-RI memberlakukan mediasi ke dalam proses perkara di Pengadilan didasari atas beberapa alasan sebagai berikut : Pertama, proses mediasi diharapkan dapat mengatasi masalah penumpukan perkara. Jika para pihak dapat menyelesaikan sendiri sengketa tanpa harus diadili oleh hakim, jumlah perkara yang harus diperiksa oleh hakim akan berkurang pula. Jika sengketa dapat diselesaikan melalui perdamaian, para pihak tidak akan menempuh upaya hukum kasasi karena perdamaian merupakan hasil dari kehendak bersama para pihak, sehingga mereka

tidak akan mengajukan upaya hukum. Sebaliknya, jika perkara diputus oleh hakim, maka putusan merupakan hasil dari pandangan dan penilaian hakim terhadap fakta dan kedudukan hukum para pihak. Pandangan dan penilaian hakim belum tentu sejalan dengan pandangan para pihak, terutama pihak yang kalah, sehingga pihak yang kalah selalu menempuh upaya hukum banding dan kasasi. Pada akhirnya semua perkara bermuara ke Mahkamah Agung yang mengakibatkan terjadinya penumpukan perkara. Kedua, proses mediasi dipandang sebagai cara penyelesaian sengketa yang lebih. cepat dan murah dibandingkan dengan proses litigasi. Di Indonesia memang belum ada penelitian yang membuktikan asumsi bahwa mediasi merupakan proses yang cepat dan murah dibandingkan proses litigasi. Akan tetapi, jika didasarkan pada logika seperti yang telah diuraikan pada alasan pertama bahwa jika prkara diputus, pihak yang kalah seringkali mengajukan upaya hukum, banding maupun kasasi, sehingga membuat penyelesaian atas perkara yang bersangkutan dapat memakan waktu bertahun-tahun, dari sejak pemeriksaan di Pengadilan tingkat pertama hingga pemeriksaan tingkat kasasi Mahkamah Agung. Sebaliknya, jika perkara dapat diselesaikan dengan perdamaian, maka para pihak dengan sendirinya dapat menerima hasil akhir karena merupakan hasil kerja mereka yang mencerminkan kehendak bersama para pihak. Selain logika seperti yang telah diuraikan sebelumnya, literatur memang sering menyebutkan bahwa penggunaan mediasi atau bentukbentuk penyelesaian yang termasuk ke dalam pengertian alternative dispute resolution (ADR) merupakan proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah dibandingkan proses litigasi. Ketiga, pemberlakuan mediasi diharapkan dapat memperluas akses bagi para pihak untuk memperoleh rasa keadilan. Rasa keadilan tidak hanya dapat diperoleh melalui proses litigasi, tetapi juga melalui proses musyawarah mufakat oleh para pihak. Dengan diberlakukannya mediasi ke dalam sistem peradilan formal, masyarakat pencari keadilan pada umumnya dan para pihak yang bersengketa pada khususnya dapat terlebih dahulu mengupayakan penyelesaian atas sengketa mereka melalui pendekatan musyawarah mufakat yang dibantu oleh seorang penengah yang disebut mediator. Meskipun jika pada kenyataannya mereka telah menempuh proses musyawarah mufakat sebelum salah satu pihak membawa sengketa ke Pengadilan, Mahkamah Agung tetap menganggap perlu untuk mewajibkan para pihak menempuh upaya perdamaian yang dibantu oleh mediator, tidak saja karena ketentuan hukum acara yang berlaku, yaitu HIR dan Rbg, mewajibkan hakim untuk terlebih dahulu mendamaikan para pihak sebelum proses memutus dimulai, tetapi juga karena

pandangan, bahwa penyelesaian yang lebih baik dan memuaskan adalah proses penyelesaian yang memberikan peluang bagi para pihak untuk bersama-sama mencari dan menemukan hasil akhir. Keempat, institusionalisasi proses mediasi ke dalam sistem peradilan dapat memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam penyelesaian sengketa. Jika pada masa-masa lalu fungsi lembaga pengadilan yang lebih menonjol adalah fungsi memutus, dengan diberlakukannya PERMA tentang Mediasi diharapkan fungsi mendamaikan atau memediasi dapat berjalan seiring dan seimbang dengan fungsi memutus. PERMA tentang Mediasi diharapkan dapat mendorong perubahan cara pandang para pelaku dalam proses peradilan perdata, yaitu hakim dan advokat, bahwa lembaga pengadilan tidak hanya memutus, tetapi juga mendamaikan. PERMA tentang Mediasi memberikan panduan untuk dicapainya perdamaian. Mediator yang handal dan profesional harus dapat menangkap dan mendiagnosis bahasa tubuh seperti gerakan tubuh, gerakan tangan, ekspresi wajah dan lain-lain, disamping harus memiliki strategi bahasa lisan yaitu pertenyaan-pertanyaan yang disampaikan kepada para pihak. Ada tipe mediator yang hanya sedikit menggunakan pertanyaan, tipe semacam ini disebut tipe fasilitatif. Ada mediator yang banyak menggunakan pertanyaan, tipe semacam ini disebut tipe evaluatif dan tipe penyelesaian. Banyak sekali bentuk-bentuk pertanyaan yang harus dimiliki oleh seorang mediator, diantaranya adalah : 1. Bentuk pertanyaan terbuka. Bentuk ini dapat dikemukakan pada setiap tahapan mediasi, misalnya Pertanyaan : Dapatkah Saudara ceritakan mengapa saudara bisa sangat emosi sehingga saudara menampar wajah isteri saudara dengan keras ? ( Dalam kasus perkara perceraian ). Dapatkah saudara ceritakan mengapa saudara bisa menjual tanah yang dibeli bersama dengan isteri saudara tanpa sepengetahuan isteri saudara ? ( Dalam kasus perkara harta bersama ). 2. Bentuk pertanyaan tertutup. Bentuk pertanyaan ini hanya dapat diajukan pada situasi tertentu saja, yang dimaksudkan untuk mendapatkan jawaban : ya atau tidak.

Misalnya pertanyaan : apakah saudara menyukai kebahagiaan hidup di akhirat ? dijawab : ya. Apakah saudara senang hidup bahagia didunia tetapi harta yang saudara miliki masih bercampur dengan harta yang menjadi hak orang lain ? dijawab : tidak. Apakah saudara yakin dengan agama Islam yang mengatur secara adil pembagian harta warisan ? dijawab : ya. Apakah saudara sudah siap kalau kasus waris saudara diselesaikan menurut hukum Islam yang saudara yakini ? dijawab : ya. Apakah saudara rela hubungan persaudaraan dan kekerabatan saudara hancur dan bermusuhan karena sekedar memperebutkan harta benda dunia ? dijawab : tidak. ( dalam kasus perkara gugat waris ). 3. Bentuk pertanyaan memperjelas Bentuk pertanyaan ini ingin memperjelas pemahaman, tetapi memungkinkan pihak yang ditanya memberikan jawaban yang bersifat membenarkan, mengubah atau membantah. Misalnya : pertanyaan : Apakah sebenarnya saudara masih mengharapkan hidup berdampingan dengan isteri saudara ? Jawaban yang bersifat membenarkan : ya. Jawaban yang bersifat mengubah : asalkan isteri saya bisa merubah kebiasaan suka hutang tanpa sepengetahuan suami. Jawaban yang bersifat membantah : sangat sulit hidup dengan isteri ucapannya kasar ( kasus perkara permohonan cerai talak ). 4. Bentuk pertanyaan reflektif Bentuk pertanyaan ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan salah satu atau kedua pihak guna memikirkan hal tertentu. Misalnya : Salah satu pihak merasa tidak memiliki kekuatan tetapi ada perasaan ketakutan, maka mediator dapat bertanya Apakah anda punya perasaan takut sehingga tak berdaya? (Kasus perkaraSyiqoq).

5. Bentuk pertanyaan menyelidiki Bentuk pertanyaan ini untuk mendapatkan informasi tambahan. Misalnya : Seandainya orang tua saudara mau membantu menyelesaikan persoalan saudara, apakah saudara bersedia menerima bantuan mereka? Suami menjawab : Ya, tetapi apakah orang tua isteri saya bersedia juga? Suami menambahkan : mestinya orang tua kedua pihak harus sama-sama membantu menyelesaikan. Dalam kasus ini jika ternyata pihak isteri tidak memberikan perhatian, maka mediator dapat mengulang pernyataan itu karena mediator mengetahui ada hal-hal penting yang dikemukakan oleh suami agar ada Hakam yang membantu mendamaikan dari kedua pihak, mengulang pernyataan ini disebut dengan REITERASI (Kasus perkara Syiqoq). D. KONSILIASI Konsiliasi adalah cara penyelesaian sengketa yang sifatnya lebih formal dibandingkan mediasi. Biasanya konsiliasi ini berbentuk badan konsiliasi yang dibentuk oleh para pihak melalui perjanjian. Komisi ini berfungsi untuk menetapkan persyaratan-persyaratan penyelesaian yang diterima oleh para pihak, sehingga lebih formal atau luas karena ada aturan dan ada lembaga atau lembaganya. Komisi konsiliasi ini bisa sudah terlembaga atau ad hoc (sementara) yang berfungsi untuk menetapkan persyaratan penyelesaian yang diterima oleh para pihak. Namun putusannya tidak mengikat para pihak. Persidangan suatu badan konsiliasi terdiri dari dua tahap yaitu tahap tertulis dan tahap lisan, kemudian badan ini akan mendengarkan keterangan lisan para pihak. Para pihak mendengarkan keterangan lisan para pihak dan dapat diwakkili oleh kuasanya. Hasil faktafakta yang diperoleh konsilator (sebutan dari konsiliasi) menyerahkan laporannya kepada para pihak dengan kesimpulan dan usulan-usulannya, dan putusannya tidak mengikat karena diterima atau tidaknya usulan tersebut tergantung sepenuhnya kepada para pihak.

Adapun prosesnya hampir serupa dengan mediasi, tetapi biasanya diatur oleh undangundang. Ketika suatu pihak diwajibkan hadir, konsiliator cenderung menekan dan bertanggung jawab atas norma sesuai undang-undang atau badan terkait, dan langkah hukum akan diambil bila kesepakatan tidak tercapai. A. Timbulnya Konsiliasi Perjanjian pertama untuk mengatur konsiliasi diadakan antara Swedia dan Chili 1920. Tahun 1975 ditandai dengan dua perkembangan penting. Pertama suatu perjanjian antara Prancis Swiss mendefinisan fungsi komisi konsiliasi permanen yaitu tugas komisi konsiliasi permanen ialah untuk menjelaskan masalah dalam sengketa, dengan tujuan itu mengumpulkan semua keterangnan yang berguna melalui penyelidikan atau dengan cara lain,dan berusaha untuk membawa pihak-pihak pada persetujuan. Komisi ini, setelah mempelajari kasus itu, dpat mendekatkan pada pihak-pihak batas penyelesaian yang kelihatannya sesuai, dan menetapkan batas waktu kapan mereka harus membuat keputusan. Pada akhir pemeriksaannya komisi itu akan membuat suatu laporan, karena hal ini memungkinkan, yang menyatakan bahwa pihak-pihak harus mencapai persetujuan dan, jika perlu, batas persetujuan, atau bahwa terbukti tidak mungkin untuk melakukan penyelesaian. Pemeriksaan komisi, kecuali jika pihak-pihak tidak setuju, harus diakhiri dalam waktu enam bulan terhitung sejak hari diserahkannya sengketa itu pada komisi tersebut. Periode antara tahun 1925 dan Perang Dunia Ke-dua konsiliasi berkembang luas dan hampir dibuat 200 perjanjian pada tahun 1940. Sebagian besar berdasarkan pada perjanjian antara Prancis Swiss tahun 1925. B. Praktek Konsiliasi Fungsi komisi konsiliasi adalah untuk menyelidiki sengketa dan batas penyelesaian yang mungkin. Fungsi komisi konsiliasi adalah memberikan informasi dan nasehat tentang pokok masalah posisi pihak-pihak dan untuk menyarankan suatu penyelesaian yang bertalian dengan apa yang mereka terima, bukan apa yang mereka tuntut. Karena proposal komisi konsiliasi dapat diterima atau ditolak, praktek yang umum untuk komisi itu adalah memberikan pihak-pihak jangka waktu tertentu selama beberapa bulan guna memperlihatkantanggapan mereka. Jika proposal komisi diterima komisi itu membuat procesverbal (persetujuan) yang mencatat fakta konsiliasi dan menentukan batas penyelesaian. Jika

batas diusulkan ditolak, maka konsiliasi itu gagal dan para pihak tidak mempunyai kewajiban lagi. C. Pentingnya Konsiliasi Konsiliasi terbukti paling berguna untuk sengketa-sengketa mengenai hukum, tapi para pihak menginginkan kompromi yang sama. Sengketa jenis ini ialah sengketa antara Italian Republic dan Holy See, konsiliasi akan muncul untuk menawarkan suatu alternatif yang jelas. Pertama, cara konsiliasi itu diatur melalui dialog dengan dan antara pihak-pihak tidak terdapat resiko konsiliasi yang memberikan akibat yang sangat mengejutkan pihakpihak, seperti yang kadang terjadi dalam acara pemeriksaan hukum. Kedua, proposal komisi tidak mengikat dan jika tidak dapat diterima , boleh di tolak. Komisi konsiliasi pada daerah landas kontinen antara Islandia dan Jan Mayen 1981, komisi ini telah membuat rekomendasi tertentu untuk bagian batas daerah khusus kedua belah pihak. Dalam praktek konsiliasi yang umum, cukup mendapat tempat sederhana di antara prosedur yang terdapat dalam negara, dan kasus Jan Mayen kebetulan merupakan peringatan akan nilainya. Seperti penyelidikan, proses yang mengembangkan konsiliasi, konsiliasi dapat diterima dalam semua kebutuhan dan memperlihatkan kelebihan yang berasal dari struktur keterlibatan pihak luar dalam menyelesaikan sengketa internasional. Tidak ada satupun ketentuan dalam UU no.30 tahun 1999 yang mengatur tentang hal ini. Perkataan konsiliasi sebagai salah satu lembaga alternatif penyelesaian sengketa dapat kita temukan dalam ketentuan Pasal 1 angka 10 dan alinea ke-9 PENJELASAN UMUM UU no.30 tahun 1999. Konsiliasi memiliki makna perdamaian layaknya negosiasi, perbedaanya konsiliasi merupakan langkah awal perdamaian sebelum sidang peradilan dilaksanakan. E. PENDAPAT HUKUM OLEH LEMBAGA ARBITRASE Arbitrase sebagai suatu bentuk kelembagaan dapat juga memberikan konsultasi dalam bentuk opini atau pendapat hukum atas permintaan dari setiap pihak yang memerlukannya tidak terbatas pada para pihak dalam perjanjian. E. ARBITRASE Istilah arbitrase berasal dari kata Arbitrare (bahasa Latin) yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu perkara menurut kebijaksanaan.

Arbitrase yaitu penyelesaian sengketa melalui badan arbitrase. Artinya, penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada atau menaati keputusan yang diberikan oleh hakim atau para hakim yang mereka pilih atau mereka tunjuk. Berdasarkan UU no. 30 tahun 1999 Pasal 1 (1), yakni cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Secara singkat sumber Hukum Arbitrase di Indonesia adalah sebagai berikut: A. Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 menentukan bahwa semua peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini. Demikian pula halnya dengan HIR yang diundang pada zaman Koloneal Hindia Belanda masih tetap berlaku, karena hingga saat ini belum diadakan pengantinya yang baru sesuai dengan Peraturan Peralihan UUD 1945 tersebut. B. Pasal 377 HIR Ketentuan mengenai arbitrase dalam HIR tercantum dalam Pasal 377 HIR atau Pasal 705 RBG yang menyatakan bahwa : Jika orang Indonesia atau orang Timur Asing menghendaki perselisihan mereka diputus oleh juru pisah atau arbitrase maka mereka wajib memenuhi peraturan pengadilan yang berlaku bagi orang Eropah. Sebagaimana dijelaskan di atas, peraturan pengadilan yang berlaku bagi Bangsa Eropah yang dimaksud Pasal 377 HIR ini adalah semua ketentuan tentang Acara Perdata yang diatur dalam RV. C. Pasal 615 s/d 651 RV Peraturan mengenai arbitrase dalam RV tercantum dalam Buku ke Tiga Bab Pertama Pasal 615 s/d 651 RV, yang meliputi : 1. Persetujuan arbitrase dan pengangkatan para arbiter (Pasal 615 s/d 623 RV)

2. Pemeriksaan di muka arbitrase (Pasal 631 s/d 674 RV) 3. Putusan Arbitrase (Pasal 631 s/d 674 RV) 4. Upaya-upaya terhadap putusan arbitrase (Pasal 641 s/d 674 RV) 5. Berakhirnya acara arbitrase (Pasal 648-651 RV) D. Penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU No. 14 /1970 Setelah Indonesia merdeka, ketentuan yang tegas memuat pengaturan lembaga arbitrase dapat kita temukan dalam memori penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan Penyelesaian perkara diluar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit atau arbitrase tetap diperbolehkan. E. Pasal 80 UU NO. 14/1985 Satu-satunya undang-undang tentang Mahkamah Agung yang berlaku di Indonesia yaitu UU No. 14/1985, sama sekali tidak mengatur mengenai arbitrase. Ketentuan peralihan yang termuat dalam Pasal 80 UU No. 14/1985, menentukan bahwa semua peraturan pelaksana yang telah ada mengenai Mahkamah Agung, dinyatakan tetap berlaku sepanjang peraturan tersebut tidak bertentangan dengan Undang-Undang Mahkamah Agung ini. Dalam hal ini kita perlu merujuk kembali UU No. 1/1950 tentang Susunan Kekuasaan dan Jalan Pengadilan Mahkamah Agung Indonesia. UU No. 1/1950 menunjuk Mahkamah Agung sebagai pengadilan yang memutus dalam tingkat yang kedua atas putusan arbitrase mengenai sengketa yang melibatkan sejumlah uang lebih dari Rp. 25.000,- (Pasal 15 Jo. Pasal 108 UU No. 1/1950). F. Pasal 22 ayat (2) dan (3) UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing Dalam hal ini Pasal 22 ayat (2) UU No. 1/1967 menyatakan: Jikalau di antara kedua belah pihak tercapai persetujuan mengenai jumlah, macam,dan cara pembayaran kompensasi tersebut, maka akan diadakan arbitrase yang putusannya mengikat kedua belah pihak. Pasal 22 ayat (3) UU No. 1/1967 :

Badan arbitrase terdiri atas tiga orang yang dipilih oleh pemerintah dan pemilik modal masing-masing satu orang, dan orang ketiga sebagai ketuanya dipilih bersama-sama oleh pemerintah dan pemilik modal. G. UU No. 5/1968 yaitu mengenai persetujuan atas Konvensi Tentang Penyelesaian Perselisihan Antara Negara dan Warga Asing Mengenai Penanaman Modal atau sebagai ratifikasi atas International Convention On the Settlement of Investment Disputes Between States and Nationals of Other States. Dengan undang-undang ini dinyatakan bahwa pemerintah mempunyai wewenang untuk memberikan persetujuan agar suatu perselisihan mengenai penanaman modal asing diputus oleh International Centre for the Settlement of Investment Disputes (ICSD) di Washington. H. Kepres. No. 34/1981 Pemerintah Indonesia telah mengesahkan Convention On the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards disingkat New York Convention (1958), yaitu Konvensi Tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Luar Negeri, yang diadakan pada tanggal 10 Juni 1958 di Nww York, yang diprakarsaioleh PBB. I. Peraturan Mahkamah Agung No. 1/1990 Selanjutnya dengan disahkannya Konvensi New York dengan Kepres No. 34/1958 , oleh Mahkamah Agung di keluarkan PERMA No. 1/1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing, pada tanggal 1 maret 1990 yang berlaku sejak tanggal di keluarkan. J. UU No. 30/1999 Sebagai ketentuan yang terbaru yang mengatur lembaga arbitrase, maka pemerintah mengeluarkan UU No. 30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, pada tanggal 12 Agustus 1999 yang dimaksudkan untuk mengantikan peraturan mengenai lembaga arbitrase yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman dan kemajuan perdagangan internasional. Oleh karena itu ketentuan mengenai arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 615 s/d 651 RV, Pasal 377 HIR, dan Pasal 705 RBG, dinyatakan tidak berlaku lagi.

Dengan demikian ketentuan hukum acara dari lembaga arbitrase saat ini telah mempergunakan ketentuan yang terdapat dalam UU NO. 30/1999. Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Penyelesaian dengan jalan ini memiliki berbagai kelebihan dan kekurangan yang dijelaskan sebagai berikut. Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Dalam Pasal 53 Undang-undang terkait dinyatakan pula bahwa para pihak dalam suatu perjanjian berhak untuk memohon pendapat yang mengikat dari Lembaga Arbitrase atas hubungan hukum tertentu dari suatu perjanjian. Lembaga arbitrase disini adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa. Arbitrase disini dapat berupa, klausul arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat oleh para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat oleh para pihak setelah timbul sengketa. Berikut di bawah ini penjelasan mengenai kelebihan dan kelemahan dari penyelesaian sengketa yang ditempuh melalui jalan arbitrase. Kelebihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase: 1. Kerahasiaan sengketa para pihak terjamin; 2. Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif; 3. Para pihak dapat memilih arbiter yang memiliki pengalaman dan latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, secara jujur dan adil; 4. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalah serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan 5. Putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak melalui prosedur sederhana dan langsung dapat dilaksanakan. Kelemahan penyelesaian sengketa melalui arbitrase:

1. Putusan arbitrase sangat tergantung pada kemampuan teknis arbiter untuk memberikan putusan yang memuaskan kepada kedua belah pihak. Karena walaupun arbiter adalah seorang ahli, namun belum tentu dapat memuaskan para pihak; 2. Tidak terikat dengan putusan arbitrase sebelumnya, atau tidak mengenal legal precedence. Oleh karenanya, bisa saja terjadi putusan arbitrase yang berlawanan dan bertolak belakang; 3. Pengakuan dan pelaksanaan atau eksekusi putusan arbitrase bergantung pada pengakuan dan kepercayaan terhadap lembaga arbitrase itu sendiri; 4. Proses arbitrase ini akan memakan waktu, tenaga serta biaya yang lebih mahal, jika ada salah satu pihak yang belum puas dan masih ingin memperkarakan putusan arbitrase. KAITAN ADVOKASI DALAM ADR

Anda mungkin juga menyukai