Anda di halaman 1dari 6

Feminisme Dan Ilmu Pengetahuan Kritik Feminis Terhadap Obyektivitas Metodologi Ilmu Pengetahuan oleh: bambang agung *

Science it would seem is not exies , she is a man, a father and infected too. Virginia Woolf

Pengantar Issu "Bebas Nilai" dalam ilmu pengetahuan berkibar kembali setelah muncul fenomena baru dalam diskusi besar ilmu pengetahuan, yaitu barisan para feminis. Karena merekalah yang paling gencar membongkar asumsi-asumsi dan pengandaian-pengandaian dasar ilmu pengetahuan, terutama dalam metodologi-metodologi yang dipakai. Hal ini tampak hanya dengan melihat judul buku-buku yang mereka tulis, seperti "Another Voice: Feminist Perspectives on Social Life and Social Science" oleh Marcia Millman dan Rosabeth Moss Kenter, "The Science Question in Feminism" dan "Whose Science Whose Knowledge" oleh Sandra Harding, "Feminism and Science" oleh Evelyn Fox Keller dan masih banyak yang lain. Dari judul-judul itu dengan cepat kita akan menangkap apa dasar atau motivasi dari penulisan buku itu, yaitu rekonstruksi "ilmu pengetahuan laki-laki". Kemudian tidak mengherankan kalau kritik paling hebat dan dahsyat pada ilmu pengetahuan, datang dari mereka-mereka ini. Mereka melihat bahwa kenyataan dominasi laki-laki dalam segala aspek kehidupan dengan sendirinya akan berpengaruh pada obyektivitas pengetahuan, yang kemudian akan obyektif menurut paradigma laki-laki. Hal ini akan tampak sekali kalau kita membongkar asumsi-asumsi yang diterima dalam setiap metodologi ilmu pengetahuan, seperti disebutkan di atas. Pada gilirannya, prinsip "Bebas Nilai" pun jadi dipertanyakan, tepatnya diragukan. Karena obyektivitas sebagai tiang utama prinsip bebas nilai, ternyata juga masih dipertanyakan. Singkatnya, membicarakan prinsip bebas nilai tidak akan relevan kalau sebelumnya tidak dicek dahulu objektivitasnya. Untuk memeriksa obyektivitas tersebut, maka kita harus mulai dengan melihat kembali asumsi-asumsi dari metodologi yang dipakai. Dalam tulisan di bawah ini, saya akan mencoba memperlihatkan bagaimana para feminis itu membuktikan bahwa ilmu pengetahuan lewat metodologinya itu sangat bias gender. Sehingga dari situ mereka berani mengatakan bahwa ilmu pengetahuan tidak lagi memiliki hak untuk

melakukan klaim bebas nilai dan obyektif. Penolakan akan objektivitas ilmu pengetahuan memang bukan hal yang baru, tapi di sini saya akan menambahkan deskripsi tentangnya dari kaca mata feminis. Satu Contoh Di bangku sekolah, kita pasti pernah mempelajari dan menghafal bahwa kategori hewan itu dibagi dalam beberapa klas, yaitu Mammalia (menyusui), Aves (burung), Amphibia (habitat ganda), Insecta (serangga) dan Vermes (cacing). Tapi yang tidak diajarkan pada kita, adalah bahwa klasifikasi Linneanus itu lemah validitasnya karena klasifikasi tersebut menggunakan kriteria yang berbeda-beda. Mamalia diklasifikasikan menurut organ produksinya, aves menurut jenisnya, amphibia menurut habitat gandanya, insecta menurut ruas-ruas tubuhnya, dan warna kulit yang coklat kemerah-merahan untuk vermes. Dan pasti juga tidak diajarkan pada kita bahwa klasifikasi yang demikian ini, menurut tokoh-tokoh feminis, mengandung bias gender. Schiebinger membuktikan hal itu dengan dengan mendasarkan argumentasinya pada penelusuran sejarah klasifikasi sejak jaman yunani kuno sampai masa Linneanus. Ternyata dalam tradisi filosofis yang panjang, telah diambil kesepakatan bahwa manusia adalah animaa rationale, demikian jargon yang dipakai oleh abad pertengahan. Sedangkan manusia perempuan, karena emosionalnya dan ketidakrasionalannya yang menonjol maka dia digolongkan pada hewan menyusui. Sedangkan manusia laki-laki yang sempurna dengan rasionalitasnya, di atas kerajaan hewan tersebut. Kemampuan khas perempuan dalam reproduksi (the lactating mamma) semakin mendukung keterkaitannya dengan unsur hewani. Klasifikasi yang demikian ini menurut Schiebinger telah tercemar ideologi gender yang dominan saat itu, tanpa disadari Linneanus sekali pun.Lakilaki dan Distorsi Ilmu Pengetahuan. Asumsi-asumsi yang mendasari riset-riset sosiologis, ditunjukkan oleh Marcia Millman dan Rosabeth Moss Kanter dalam Another Voice: Feminist Perspectives on Social Life and Social Science, banyak menimbulkan problema yang sangat merugikan perempuan. Terutama dalam riset-riset sosiologis Weberian yang sangat menekankan rasionalitas. Di sini terjadi pembatasan bidang yang bersifat konvensional dan mengakibatkan terjadinya pengabaian bidang-bidang lain yang sangat penting. Hal ini bersandar pada dua hal,
1)

Pandangan steorotip bahwa perempuan lebih dikendalikan dan digerakkan oleh motif emosi

dan perasaan yang dihayati dengan sadar. Sedangkan laki-laki dimotivasi oleh pertimbangan instrumental dan pertimbangan-pertimbangan lain yang sifatnya rasional.
2)

Pandangan bahwa hanya kegiatan dan keyakinan laki-laki lah yang menciptakan struktur sosial.Kosekuensi logis dari pandangan pertama di atas tentu saja sangat jelas bagi perempuan, merugikan. Penelitian-penelitian sosiologis selanjutnya dengan sendirinya akan memfokuskan diri subyek dan situasi yang bersifat publik dan resmi. Sedangkan organisasi dan bidang kehidupan sosial yang tidak resmi dan dosmetik tidak diperhatikan. Dan kita tahu bahwa aktifitas maupun prestasi itu kebanyakan bersifat pribadi, tidak resmi dan bersetting lokal. Sebagai ibu rumah tangga misalnya.Sedangkan pada pandangan kedua, mengarah pada pandangan adanya "masyarakat tunggal" dengan mengabaikan bahwa perempuan dan laki-laki adalah dua dunia sosial yang berbeda. Generalisasi dilakukan seolah-olah tidak ada perbedaan dalam dua dunia sosial tersebut. Dan mudah ditebak mana yang dominan dalam generalisasi tersebut. Misalnya dalam keluarga, bisa jadi di sini ada beberapa dunia sosial yang pendukung keluarga tersebut. Keluarga mempunyai makna yang berbeda-beda bagi masing-masing anggota keluarga. Dengan demikian mana boleh disimpulkan bahwa struktur sosial diciptakan hanya oleh laki-laki, kalau unsur utama masyarakat yaitu keluarga saja sudah terdiri dari beberapa dunia sosial.Penyingkapan potensi distorsi dalam metodologi dan paradigma ilmu-ilmu sosial ini kemudian menjalar juga pada ilmu-ilmu "keras" seperti teknik dan ilmu alam. Anggapan awal terjadinya distorsi itu adalah karena sedikitnya kaum hawa ini oleh yang terlibat dalam dunia ilmiah, sehingga dengan terjadi semakin "malpraktek" kalangan ilmiah laki-laki. Diharapkan

berimbangnya secara kuantitas dan kualitas laki-laki dan perempuan dalam dunia ilmiah, akan berpengaruh pada pemilihan permasalahan ilmu, perumusan masalah sampai perspektifnya. Anggapan awal ini lalu berkembang dengan meneruskan anggapan dalam ilmu-ilmu sosial, yaitu dengan mempertanyakan ideologi pengetahuannya.Sandra Harding membeberkan pada para teoritisi feminis lain bagaimana kerangka besar tradisi dan tatanan sosial maskulin ini berpengaruh dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Yang selanjutnya mengarahkan dan melanggengkan peran domestik dan publik, di mana dalam pembagian peran tersebut terjadi ketidakadilan seturut dengan terjadinya dominasi oleh salah

satu peran.Pertama-tama Sandra Harding menunjukkan bahwa banyak bukti yang menunjukkan bahwa perempuan banyak mengalami hambatan untuk ikut berpartisipasi dalam bidang ilmiah, terutama dalam ilmu-ilmu keras. Hambatan itu bisa bersifat formal atau pun motivasional. Anak laki-laki lebih banyak mendapat dorongan menggeluti ilmu-ilmu tersebut tetapi anak perempuan tidak dipandang sebelah mata. Melainkan "dianjurkan" untuk memilih bidang lain yang lebih feminin seperti bidang sastra, ilmiah manajemen, itu, otomatis atau akademi sekretaris pada kalau seandainya dan dia menyatakan ingin juga berperan dalam peran publik. Dominasi laki-laki pada berpengaruh perumusan dan penjelasan hasil-hasil masalah-masalah ilmiah. Desain eksperimental interpretasi

penelitian dilakukan dengan cara-cara male biased. Singkat kata, perumusan masalah, teori, metodologi dan observasi tidak dapat lepas dari kaca mata laki-laki. Sandra Harding juga melihat bahwa hasrat berlebih dari ilmu pengetahuan dan epistemologinya obyektivitas vs untuk berpegang akal teguh vs pada dikotomi jiwa vs kaku seperti subyektivitas, emosi, badan merupakan

simbolisasi dan manisfestasi dari sifat maskulin dan feminin. Yang dengan sendirinya kemajuan ilmu pengetahuan yang obyektif dan rasional, juga bebas nilai, selalu mengandaikan perempuan yang didominasi oleh subyektivitas, emosional dan hewani. Pengandaian yang demikian tentu saja berkontradiksi dengan klaim-klaim ilmu itu sendiri.Feminis Empiris, Feminis Standpoint, Feminis Postmodern Dengan kenyataan di atas, para feminis yang berkecimpung dalam usaha pendasaran epistemologis pada gerakan mereka, berkembang menjadi tiga aliran, demikian menurut Harding. Mereka adalah: Feminis Empiris, Feminis Standpoint (Titik Pijak) dan Feminis Postmodern.Seksisme dalam ilmu pengetahuan bagi feminis empiris masih dapat dikoreksi dengan jalan kembali lebih ketat dan taat pada asas dan norma metodologis penelitian ilmiah yang sudah ada. Dalam pandangan ini Harding melihat ada kontradiksi dalam asumsi dasar empirisme itu sendiri. Empirisme tidak

pernah melihat kondisi sosial peneliti, dalam hal ini misalnya laki-laki yang meneliti perempuan, berkait erat atau mempengaruhi hasil penelitian. Artinya, metode ilmiah dianggap dapat menghilangkan bias gender dari sang peneliti. Anehnya, para feminis empiris ini bersikeras mampu menghasilkan penelitian yang lebih obyektif dan tidak bias dibanding peneliti laki-laki yang non-feminis. Sedangkan bias itu sudah dimulai saat pemilihan masalah yang hendak diteliti. Tetapi feminis empiris tidak bisa menerima hal ini karena metodologis empirisme hanya berlaku pada pengujian hipetesis dan interpretasi bukti-bukti (context of justification), bukan pada penentuan maupun perumusan masalah (context of discovery). Maka dengan ini, struktur sosial yang menjadi pijakan terjadinya bias terlepas dari jangkauan norma dan asas metodologis.Tesis pokok epistemologis Feminis Standpoint adalah bahwa dominasi laki-laki dalam kehidupan sosial menyebabkan mereka memperoleh pemahaman yang parsial dan melenceng.Sebaliknya posisi tertindas perempuan menjanjikan pemahaman yang lebih lengkap dan sportif. Tesis ini diperjuangkan oleh para feminis standpoint karena dianggap secara moral dan ilmiah lebih menguntungkan dan menjadikannya sebagai dasar penafsiran atas alam dan kehidupan sosial. Keberatan terhadap pendekatan ini segera muncul, seperti ditulis Harding, ketika diajukan kenyataan bahwa keutuhan tesis itu bisa dijamin kalau perempuan pun ternyata tidak hanya bisa diklasifikasikan sebagai kelompok yang tertindas saja, melainkan masih bisa diklasifikasikan menurut ras, agama dan suku. Sedangkan Feminis Postmodern -yang banyak terinspirasi oleh Nietzsche, Derrida, Faucault, beserta merebaknya ilmuilmu semiotik, psikoanalisa, dekonstruksi, strukturalisme -- lebih memilih garis untuk meragukan semua klaim universal entah itu eksistensi, modernisme, bahasa dan juga ilmu pengetahuan. Pendek kata ini juga menentang semua bentuk persekutuan dalam cerita besar humanisme (baca: kemanusian laki-laki). Sehingga dengan sendirinya segala bentuk distorsi dan eksploitasi yang mendasarkan dirinya pada cerita besar itu pun harus ditolak. Ilmu pengetahuan dalam hal ini beserta segala klaim objektf dan bebas nilainya juga tidak luput dari penolakan ini. Sandra Harding, yang mengakui berada di barisan feminis

postmodern ini, lebih jauh menjelaskan bahwa penerapan kategori analitis yang sifatnya stabil dan mapan (bagi laki-laki) pada teori-teori feminisme secara konsekuen harus ditolak. Para feminis postmodern ini sadar bahwa kehidupan mengikuti sosial tidak laju tersebut. pernah tinggal diam tetapi selalu bergerak Jadi bagi para feminis ini adalah sia-sia cepat bila sekali. Dan akal, kekuatan kehendak kita tidak akan mampu meredakan dan mengharapkan adanya suatu teori utama dalam paradigma "ilmu normal" beserta seluruh asumsi metodologis dan konseptual yang bersifat universal. Teori yang koheren dan konsisten dianggap sebagai halangan bagi pemahaman dan praktek sosial feminisme.Penutup. Dari uraian di atas, kita segera sadar bahwa adalah tidak mungkin untuk membuka perbincangan dengan para feminis tentang prinsip bebas nilai jika kita masih mengacu pada paradigma "ilmu normal" yang oleh mereka sudah tidak diterima lagi karena dianggap telah bias gender. Sedangkan prinsip bebas nilai di lain pihak tetap harus dipertahankan karena ilmu pada dirinya adalah seratus persen otonom dalam isi ilmu pengetahuan. Dalam konteks perbincangan prinsip bebas kita nilai, kali ini, epistemologis feminisme yang dibangun gerak para feminis baru tersebut dengan sendirinya otonom. Sehingga relevan kalau dihubungkan dengan artinya sebagai epistemologis berpretensi untuk bebas nilai. Penolakan para feminis ini terhadap prinsip bebas nilai yang diawali dengan penolakannya pada asumsi-asumsi metodologis yang dipakai dalam "ilmu-ilmu normal" sifatnya adalah eksidental, hanya pada ilmu-ilmu yang mereka tuduh bias gender itu.Jadi sebenarnya, prinsip bebas nilai yang mereka tolak itu telah mereka jalani dan perjuangkan. Mereka malah mengusulkan kerangka baru ilmu pengetahuan yang tidak bias gender agar prinsip bebas nilai itu dapat semakin mendekati titik idealnya.
**Pustaka:Harding, S. The Science Question in Feminism, Milton Keynes, England: Open University Press, 1986Keller, EF. "Feminsm and Scince". Signs; Journal of Women in Culture and Society, 1982, vol. 7 no. 3.Schiebinger, L. "Why Mammals are Called Mammals: Gender Politics in 18th Century Natural History". American Historical in Feminism, vol. 98. No. 2 (April 1993)

Anda mungkin juga menyukai