Anda di halaman 1dari 4

Menjadikan ( lagi ) Madura sebagai Pulau Garam

Diposting oleh : Tim Redaksi Rato Ebhu Kategori: Ekonomi - Dibaca: 1030 kali Madura dan garam ibarat dua sisi mata uang. Keduanya saling melekat dan tidak bisa dipisah satu dengan yang lainnya. Munculnya istilah pulau garam untuk sebutan lain bagi pulau Madura merupakan bukti nyata bahwa Madura sebagai salah satu penghasil garam terbesar di negeri ini. Madura bisa mensuplay sekitar 50% kebutuhan garam nasional. Dan dari jumlah tersebut, 60% dihasilkan oleh para petani garam yang ada di kabupaten Sampang yang tersebar di 5 kecamatan, yaitu kecamatan Pangarengan, Sreseh, Jrengik, Camplong dan kecamatan Sampang. Luas lahan garam yang ada di kabupaten Sampang 5.545 Ha, yang terdiri dari lahan garam rakyat seluas 4.300 Ha dengan kapasitas produksi garam 300.000 ton/tahun, dan lahan milik PT. Garam dengan luas lahan 1.245 Ha dengan kapasitas produksi garam berkisaran 60.000 ton/tahun. Artinya Kabupaten Sampang bisa memproduksi garam sebanyak 360. 000 ton/tahun dari total produksi garam nasional yang berada di kisaran angka 1,2 juta ton/tahun. Dari gambaran diatas, dapat disimpulkan bahwa kabupaten Sampang memiliki sumber daya alam (garam) yang sangat luar biasa dan berpotensi untuk meningkatkan PAD kabupaten Sampang. Berjarak sekitar 10 meter dari jantung kota sampang, Kecamatan Pangarengan yang baru terbentuk pada tahun 2004 dan merupakan hasil pemekaran dari Kecamatan Torjun Kabupaten Sampang terdiri dari 6 Desa yaitu Desa Pangarengan, Apa an, Gulbung, Pacangga an, Panyerangan dan Ragung. Dari 6 Desa tersebut 4 desa diantaranya yaitu Desa Pangarengan, Apaan, Gulbung dan Ragung merupakan penghasil garam terbesar di Kabupaten Sampang bahkan Madura. Hal ini disebabkan karena letak geografis Kecamatan Pangarengan yang berada di daerah pesisir dan berbatasan langsung dengan selat Madura. Jadi tidaklah mengherankan apabila dipertengahan musim kemarau, disisi kiri jalan dari arah Sampang mulai dari Desa Aeng Sareh Kec. Sampang menuju Desa Ragung Kecamatan Pangarengan terlihat seperti gunung es tumpukan dan hamparan garam yang ada di tambak garam milik petani. Pada saat musim kemarau tiba, banyak pekerja dari luar Kecamatan Pangarengan diantaranya dari Kecamatan Tambelengan, Jrengik, Torjun, Camplong dan Kecamatan Sampang yang sengaja datang ke Kecamatan Pangarengan untuk mencari keberuntungan baik menjadi buruh tani maupun menjadi kuli angkut garam. Bahkan setiap tahunnya tercatat ada sekitar 250-300 keluarga dari kabupaten lain, misalnya Sumenep, yang sengaja datang dan menetap sementara (selama musim kemarau) di Kecamatan Pangarengan untuk menjadi tenaga kerja atau penggarap di lahan tambak milik PT. Garam. Hal ini menjadi gambaran bahwa pada saat musim kemarau kecamatan Pangarengan bisa dijadikan tempat alternatif untuk mencari pekerjaan.

Proses persiapan Di saat musim penghujan tiba para petani tidak bisa lagi memproduksi garam, lahan tambak yang biasa digunakan untuk memproduksi garam beralih fungsi menjadi tambak ikan bandeng dan udang. Ketika musim kemarau tiba, para petani harus memperbaiki lahan tambak tersebut untuk dikembalikan ke fungsi semula sebagai lahan garam. Menurut H. Sholeh Zaini salah satu petani garam dari desa Pangarengan, untuk memperoleh garam dengan kualitas yang baik harus melalui beberapa proses. Proses yang pertama adalah persiapan dan perbaikan lahan. Untuk memperbaiki lahan dibutuhkan waktu yang cukup lama, karena harus memperbaiki pematang atau tabun dan dilanjutkan dengan meratakan dan mengeraskan lahan yang bertujuan agar garam tidak tercampur tanah. "Kalau cuaca atau panas matahari normal, waktu yang dibutuhkan sekitar 15 hari, tapi kalau dalam masa proses tersebut terjadi hujan maka perbaikan lahan harus diulangi lagi dari awal" keluhnya. Proses pembuatan garam. Proses selanjutnya adalah proses pembuatan garam. Ada dua cara pembuatan garam yang dikenal oleh petani garam. yaitu cara biasa dan yang kedua dikenal dengan istilah Portugis Sistem (Aplak). Dalam cara biasa, proses pembuatan garam dilakukan dengan cara mengalirkan air laut ke kotak penampungan yang disebut dengan bosem dengan ukuran 30m x 20m dan kedalaman 2-3m. Selanjutnya air dari bosem tersebut dialirkan dengan menggunakan alat berupa kincir angin ke kotak paminian dengan kedalaman air kira-kira 10 cm. Proses ini membutuhkan waktu sekitar 10 hari. Selanjutnya air tersebut dialirkan lagi juga menggunakan kincir angin ke kotak yang ke 2 (ben-emben). Dalam proses ini dibutuhkan waktu sekitar 5 hari lagi sampai air mencapai kadar garam 20. Proses selanjutnya adalah mengalirkan air dari ben-emben ke kotak utama (paderen). Dalam proses ini akan terjadi pengendapan air laut menjadi garam. Biasanya waktu yang dibutuhkan antara 10 hari sampai 15 hari. Semakin lama waktu yang digunakan dalam proses pengendapan ini maka garam yang dihasilkan juga semakin besar. Disamping itu besar-kecilnya ukuran lahan (paderen) yang tersedia juga berpengaruh terhadap garam yang diperoleh. Menurut H. Sholeh "Kalau cuaca normal (+35C) dengan luas paderen antara 13mx80m dalam waktu 10 sampai 15 hari bisa dihasilkan garam sekitar 5 ton. Biasanya dalam 1 mantong ( luas lahan 1,5 Ha) terdiri dari 2 sampai 3 paderen dan bisa memproduksi garam sekitar 80-100 ton selama satu musim (kemarau)" jelasnya. Sementara dalam proses pembuatan garam dengan cara Portugis Sistem relatif sama dengan pembuatan garam yang menggunakan cara biasa. Dalam proses Portugis sistem ini waktu yang dibutuhkan lebih lama dibanding dengan pembuatan garam yang menggunakan cara biasa termasuk juga dalam tehnik pengerukannya. Kalau dalam pembuatan garam dengan cara biasa membutuhkan waktu maksimal 1 bulan, sedangkan pada cara Portigis Sistem (Aplak) membutuhkan waktu minimal 2 bulan dengan cara membuat garam di atas garam. Perbedaan yang kedua adalah pada proses panen. Pada pembuatan garam cara biasa garam yang akan di panen dikeruk habis tanpa sisa, sedangkan pada cara portugis sistem pengerukan dilakukan hanya 1/3 bagian (bagian permukaan saja) sedangkan sisanya dibiarkan tetap berada di

lahan, sehingga kualitas garam yang dihasilkan lebih bagus dari yang menggunakan cara biasa. Menurut Mochammad Aksan pengusaha garam yang sekaligus Kepala Desa Pangarengan mengatakan bahwa dalam pembuatan garam, petani umumnya lebih tertarik memakai cara biasa karena garam bisa dipanen lebih awal dan hasilnya bisa segera dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Sementara untuk cara Portugis Sistem (aplak) membutuhkan waktu lebih lama. "Petani enggan menggunakan cara portugis sistem, karena disamping waktu panen yang lebih lama dari cara biasa, cara ini rentan dengan kegagalan karena apabila sebelum masa panen terjadi hujan maka garam gagal panen dan otomatis proses harus diulang dari awal. Walaupun kualitas garam dari hasil Portugis Sistem ini lebih bagus dan harganya lebih mahal dari cara biasa" terangnya. Proses panen. Sebelum proses panen dilakukan, terlebih dahulu harus dilakukan proses pengerukan dengan menggunakan alat berupa sorkot yang terbuat dari kayu berukuran 4x6 dengan panjang sekitar 30 cm yang diujung bawahnya diberi paku berjejer dengan jarak 1 cm (kurang lebih 30 buah) yang berfungsi untuk menghancurkan garam menjadi butiran-butiran garam kecil seperti biji jagung. Setelah proses ini selesai maka garam sudah siap dipanen dan dipindah ke tempat penampungan garam sementara yang ada di pinggir tambak atau yang dikenal dengan istilah pangeret. Proses Pemasaran. Masih menurut Aksan, kualitas garam madura jauh lebih bagus dibandingkan dengan hasil produksi garam dari daerah lain termuasuk garam import. "Kalau untuk dikonsumsi, garam madura adalah yang terbaik, karena kandungan kadar garamnya sangat bagus, sedangkan garam dari daerah lain termasuk juga garam import baik yang dari India maupun Australia, rasanya agak pahit" terangnya. Namun demikian proses pemasaran garam madura masih mengalami kendala. Ketika musim panen tiba, banyak garam yang dibiarkan menumpuk ditempat penampungan yang ada di tambak karena harga yang ditawarkan oleh perusahaan maupun pedagang relatif murah. Dan kalaupun harus terpaksa dijual itu hanya cukup untuk mengganti biaya produksi. Ditanya tentang harga garam yang ideal, H. Mabrur salah satu petani garam mengatakan "idealnya harga garam Rp. 500.000-/ton. Karena realita di lapangan petani menjual garam ke pedagang menggunakan sistem krus bukan ton" katanya. Lantas H. Mabrur menjelaskan, bahwa sistem jual beli garam yang terjadi selama ini adalah petani harus menjual garam ke pedagang sebanyak 24 zak dengan berat antara 65kg-70 kg. Dengan kata lain, pedagang membeli garam ke petani dengan akad ton akan tetapi realisasi di lapangan setara dengan 1,5 ton. "Kalau harga garam hanya di kisaran Rp. 400. 000, - apalagi sampai dibawah itu, maka bisa dipastikan para petani utamanya para penggrarap (mantong) akan mengalami kerugian, karena penggarap hanya mendapatkan 1/3 dari hasil garam yang mereka panen sedangkan sisanya adalah milik juragan mereka (pemilik lahan)" katanya menjelaskan.

Masih menurut H. Mabrur, kendala utama yang dihadapi petani adalah faktor modal. Menjelang musim kemarau tiba, para petani harus mengeluarkan dana awal untuk membuat alat pendukung pertanian berupa kincir angin minimal 2 buah dengan harga sekitar Rp. 1.500.000,-/buah. Disamping itu petani harus mempekerjakan minimal 2 orang selama kurang lebih 10 hari untuk merawat dan memperbaiki lahan garam yang rusak akibat musim penghujan dengan upah Rp. 40.000, -/orang. Selama ini modal yang digunakan para petani umumnya berasal dari pinjaman para tengkulak dengan perjanjian hasil panen garam dari petani tersebut harus dijual kepada mereka dengan harga yang ditentukan mereka (tengkulak). Oleh karena itu dia berharap adanya perhatian yang serius dari pemerintah untuk senantiasa memikirkan nasib dan masa depan para petani garam. Menurutnya, ada dua hal pokok yang sangat dibutuhkan para petani garam saat ini, yaitu adanya bantuan modal atau pinjaman modal dari pemerintah dengan bunga yang lunak, dan yang kedua pemerintah harus mencarikan terobosan pemasaran dengan patokan harga yang ideal. Disamping itu diperlukan adanya langkah berani dari pemerintah untuk lebih memihak kepada para petani, salah satunya adanya aturan tentang larangan/pembatasan garam import. Menurut H. Mabrur "Salah satu penyebab anjloknya harga garam lokal adalah bebasnya garam dari luar negeri masuk ke Indonesia. Dan kalau larangan atau pembatasan garam import ini bisa diberlakukan oleh pemerintah, maka keberadaan garam lokal dengan segala permasalahannya bisa segera terselesaikan" kataya dengan nada optimis. Imron

Anda mungkin juga menyukai