Anda di halaman 1dari 36

BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Diabetes Melitus merupakan salah satu penyakit tertua pada manusia. Berasal dari istilah kata Yunani, Diabetes yang berarti pancuran dan Melitus yang berarti madu atau gula. Kurang lebih istilah Diabetes Melitus menggambarkan gejala diabetes yang tidak terkontrol, yakni banyak keluar air seni yang manis karena mengandung gula. Oleh karena demikian, dalam istilah lain penyakit ini disebut juga Kencing Manis. Secara definisi medis, definisi diabetes meluas kepada suatu kumpulan aspek gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat kekurangan insulin baik yang sifatnya absolut maupun relatif. Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, Diabetes Merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia (kadar gula darah yang tinggi) yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau bahkan bisa kedua-duanya. Menurut WHO, penyakit ini merupakan penyakit pembunuh terbanyak ke-3 di dunia setelah Jantung dan Kanker. Di Indonesia sendiri, diperkirakan ada sekitar 20 juta orang menderita penyakit ini (data 2009), dan masih menurut WHO, Indonesia merupakan negara dengan penderita DM terbanyak ke-4 setelah China, India, dan Amerika Serikat. Jumlah penderita penyakit ini mengalami kenaikan 2,5 x lipat dari tahun tahun sebelumnya. Peningkatan penderita penyakit ini, diduga akibat berubahnya pola hidup masyarakat, dimana pola makan di kota kota (khususnya kota besar) telah bergeser dari pola makan tradisional yang mengandung banyak karbohidrat dan serat dari sayuran, menjadi ke pola makan dengan komposisi makanan yang terlalu banyak mengandung protein, lemak, gula, garam dan mengandung sedikit serat. Komposisi makanan seperti ini terutama terdapat pada makanan siap saji (Fast Food) yang akhir ini sangat digemari, terutama oleh anak anak.
1

Diabetes meilitus adalah gangguan endokrin kronis yang ditandai oleh gangguan semua jenis metabolisme pada latar belakang kekurangan insulin absolut atau relatif. Gangguan metabolisme yang terjadi dengan diabetes, negatif mempengaruhi keadaan organ internal, yang mengapa diabetes mellitus sering berkembang dalam keadaan seperti nefropati diabetik. Salah satu konsekuensi dari penyakit ginjal diabetes adalah anemia yang terjadi pada kebanyakan pasien dengan penyakit ini. Pada makalah akan dibahas tentang tentang penyebab, pentingnya dan prinsip-prinsip pengobatan anemia pada pasien dengan diabetes mellitus. 1.2 TUJUAN PENULISAN

Tujuan penulisan dan pembahasan presentasi kasus ini agar dapat memahami mengenai penyakit diabetes mielitus tipe II dengan anemia yang sering dijumpai di bagian gawat darurat rumah sakit serta penanganannya. Sebagian besar pasien datang dalam keadaan hipoglikemia dan sebagian lainnya datang dalam keadaan gawat darurat yang memerlukan tindakan yang cepat dan tepat. Penting untuk dokter umum sebagai tenaga medis terdepan untuk mendiagnosis dan tatalaksana dini secara tepat sebelum dirujuk.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI Diabetes Melitus (DM) atau yang sering dikenal dengan penyakit kencing manis adalah kondisi dimana tubuh seseorang mengalami gangguan dalam mengendalikan kadar glukosa darah. Akibatnya, kadar glukosa darah meningkat (hiperglikemia) secara berkepanjangan (kronik). Diabetes mellitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia. (Brunner dan Suddarth, 2002). Diabetes Melllitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar gula (glukosa) darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif (Arjatmo, 2002).

2.2 KLASIFIKASI Klasifikasi diabetes mellitus sebagai berikut : Tipe I : Diabetes mellitus tergantung insulin (IDDM) Tipe II : Diabetes mellitus tidak tergantung insulin (NIDDM) Diabetes mellitus yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom lainnya Diabetes mellitus gestasional (GDM) 2.3 ETIOLOGI Etiologi secara umum tergantung dari tipe Diabetes, yaitu : 1. Diabetes Tipe I ( Insulin Dependent Diabetes Melitus /IDDM ) Diabetes yang tergantung insulin yang ditandai oleh penghancuran sel-sel beta pankreas disebabkan oleh : a. Faktor genetik Penderita DM tidak mewarisi DM tipe 1 itu sendiri tapi mewarisi suatu predisposisi / kecenderungan genetik ke arah terjadinya DM tipe 1. Ini

ditemukan pada individu yang mempunyai tipe antigen HLA ( Human Leucocyte Antigen ) tertentu. HLA merupakan kumpulan gen yang bertanggung jawab atas antigen transplatasi dan proses imun lainnya. b. Faktor Imunologi Respon abnormal dimana antibodi terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggap seolah-olah sebagai jaringan asing. c. Faktor lingkungan Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses autoimun yang menimbulkan destruksi sel beta. 2. Diabetes Tipe II (Non Insulin Dependent Diabetes Melitus /NIDDM ) Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin pada diabetes tipe II belum diketahui. Faktor genetik diperkirakan memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin. Selain itu terdapat faktor-faktor risiko tertentu yang berhubungan yaitu : a. Usia Umumnya manusia mengalami penurunan fisiologis yang secara dramatis menurun dengan cepat pada usia setelah 40 tahun. Penurunan ini yang akan beresiko pada penurunan fungsi endokrin pankreas untuk memproduksi insulin. b. Obesitas Obesitas mengakibatkan sel-sel beta pankreas mengalami hipertropi yang akan berpengaruh terhadap penurunan produksi insulin. Hipertropi pankreas disebabkan karena peningkatan beban metabolisme glukosa pada penderita obesitas untuk mencukupi energi sel yang terlalu banyak. c. Riwayat Keluarga Pada anggota keluarga dekat pasien diabetes tipe 2 (dan pada kembar non identik), risiko menderita penyakit ini 5 hingga 10 kali lebih besar daripada subjek (dengan usia dan berat yang sama) yang tidak memiliki riwayat penyakit dalam keluarganya. Tidak seperti diabetes tipe 1, penyakit ini tidak berkaitan dengan gen HLA. Penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa diabetes tipe 2 tampaknya terjadi akibat sejumlah defek genetif, masing-masing memberi kontribusi pada risiko dan masing-masing juga dipengaruhi oleh lingkungan.
4

d.

Gaya hidup (stres) Stres kronis cenderung membuat seseorang mencari makanan yang

cepat saji yang kaya pengawet, lemak, dan gula. Makanan ini berpengaruh besar terhadap kerja pankreas. Stres juga akan meningkatkan kerja metabolisme dan meningkatkan kebutuhan akan sumber energi yang berakibat pada kenaikan kerja pankreas. Beban yang tinggi membuat pankreas mudah rusak hingga berdampak pada penurunan insulin.

2.4 PATOFISIOLOGI Pada diabetes melitus tipe 2 jumlah insulin normal malah mungkin lebih banyak tetapi jumlah reseptor insulin yang terdapat pada permukaan sel yang kurang. Reseptor insulin ini dapat diibaratkan sebagai lubang kunci pintu masuk ke dalam sel. Pada keadaan tadi jumlah lubang kuncinya yang kurang, hingga meskipun anak kuncinya (insulin) banyak, tetapi karena lubang kuncinya (reseptor) kurang, maka glukosa yang masuk sel akan sedikit, sehingga sel akan kekurangan bahan bakar (glukosa) dan glukosa di dalam pembuluh darah meningkat. Dengan demikian keadaan ini sama dengan pada DM tipe 1. Perbedaannya adalah DM tipe 2 disamping kadar glukosa tinggi juga kadar insulin tinggi atau normal. Keadaan ini disebut resistensi insulin. Sebagian besar patologi diabetes melitus dapat dihubungkan dengan efek utama kekurangan insulin yaitu : a. Pengurangan penggunaan glukosa oleh sel-sel tubuh, yang mengakibatkan peningkatan konsentrasi glukosa darah sampai setinggi 300 sampai 1200mg per 100ml. b. Peningkatan mobilisasi lemak dan daerah penyimpanan lemak sehingga menyebabkan kelainan metabolisme lemak maupun pengendapan lipid pada dinding vaskuler. c. Pengurangan protein dalam jaringan tubuh.

Keadaan patologi tersebut akan berdampak : 1. Hiperglikemia Hiperglikemia didefinisikan sebagai kadar glukosa darah yang tinggi daripada rentang kadar puasa normal 80-90 mg/100 ml darah, atau rentang non puasa sekitar 140-160 mg/100 ml darah. Dalam keadaan insulin normal asupan glukosa atau produksi glukosa dalam tubuh akan difasilitasi (oleh insulin) untuk masuk ke dalam sel tubuh. Glukosa itu kemudian diolah untuk menjadi bahan energi. Apabila bahan energi yang dibutuhkan masih ada sisa akan disimpan sebagai glikogen dalam sel-sel hati dan sel-sel otot (sebagai massa sel otot). Proses glikogenesis (pembentukan glikogen dari unsur glukosa ini dapat mencegah hiperglikemia). Pada penderita diabetes melitus proses ini tidak dapat berlangsung dengan baik sehingga glukosa banyak menumpuk di darah (hiperglikemia). Secara rinci proses terjadinya hiperglikemia karena defisit insulin tergambar pada perubahan metabolik sebagai berikut : a. b. c. Transport glukosa yang melintasi membran sel-sel berkurang. Glukogenesis (pembentukan glikogen dari glukosa) berkurang dan tetap terdapat kelebihan glukosa dalam darah. Glikolisis (pemecahan glukosa) meningkat, sehingga cadangan glikogen berkurang, dan glukosa hati dicurahkan dalam darah secara terus menerus melebihi kebutuhan. d. Glukoneogenesis (pembentukan glukosa dari unsur non karbohidrat) meningkat dan lebih banyak lagi glukosa hati yang tercurah ke dalam darah hasil pemecahan asam amino dan lemak. Hiperglikemia akan mengakibatkan pertumbuhan berbagai mikroorganisme dengan cepat seperti bakteri dan jamur. Karena mikroorganisme tersebut sangat cocok dengan daerah yang kaya glukosa. Setiap kali timbul peradangan maka akan terjadi mekanisme peningkatan darah pada jaringan yang cidera. Kondisi itulah yang membuat mikroorganisme mendapat peningkatan pasokan nutrisi. Kondisi itulah yang membuat mikroorganisme mendapat peningkatan pasokan nutrisi. Kondisi ini akan mengakibatkan penderita diabetes melitus mudah mengalami infeksi oleh bakteri dan jamur.

2.

Hiperosmolaritas Hiperosmolaritas adalah adanya kelebihan tekanan osmotik pada plasma sel

karena adanya peningkatan konsentrasi zat. Sedangkan tekanan osmosis merupakan tekanan yang dihasilkan karena adanya peningkatan konsentrasi larutan pada zat cair. Pada penderita diabetes melitus terjadinya hiperosmolaritas karena peningkatan konsentrasi glukosa dalam darah (yang notabene komposisi terbanyak adalah zat cair). Peningkatan glukosa dalam darah akan berakibat terjadinya kelebihan ambang pada ginjal untuk memfiltrasi dan reabsorbsi glukosa (meningkat kurang lebih 225 mg/ menit). Kelebihan ini kemudian menimbulkan efek pembuangan glukosa melalui urin (glukosuria). Ekskresi molekul glukosa yang aktif secara osmosis menyebabkan kehilangan sejumlah besar air (diuresis osmotik) dan berakibat peningkatan volume air (poliuria). Akibat volume urin yang sangaat besar dan keluarnya air yang menyebabkan dehidrasi ekstrasel. Dehidrasi intrasel mengikuti dehidrasi ekstrasel karena air intrasel akan berdifusi keluar sel mengikuti penurunan gradien konsentrasi ke plasma yang hipertonik (sangat pekat). Dehidrasi intrasel merangsang pengeluaran ADH dan menimbulkan rasa haus. Glukosuria dapat mencapai 5-10% dan osmolaritas serum lebih dan 370-380 mosmols/ dl dalam keadaan tidak terdapatnya keton darah. Kondisi ini dapat berakibat koma hiperglikemik hiperosmolar nonketotik (KHHN). 3. Starvasi Selluler Starvasi Selluler merupakan kondisi kelaparan yang dialami oleh sel karena glukosa sulit masuk padahal di sekeliling sel banyak sekali glukosa. Ada banyak bahan makanan tapi tidak bisa dibawa untuk diolah. Sulitnya glukosa masuk karena tidak ada yang memfasilitasi untuk masuk sel yaitu insulin. Dampak dari starvasi selluler akan terjadi proses kompensasi selluler untuk tetap mempertahankan fungsi sel. Proses itu antara lain : a. Defisiensi insulin gagal untuk melakukan asupan glukosa bagi jaringan-jaringan peripheral yang tergantung pada insulin (otot rangka dan jaringan lemak). Jika tidak terdapat glukosa, sel-sel otot memetabolisme cadangan glikogen yang mereka miliki untuk dibongkar menjadi glukosa dan energi mungkin juga akan menggunakan asam lemak bebas (keton). Kondisi ini berdampak pada penurunan massa otot, kelemahan otot, dan rasa mudah lelah.
7

b.

Starvasi selluler juga akan mengakibatkan peningkatan metabolisme protein dan asam amino yang digunakan sebagai substrat yang diperlukan untuk glukoneogenesis dalam hati. Hasil dari glukoneogenesis akan dijadikan untuk proses aktivitas sel tubuh. Protein dan asam amino yang melalui proses glukoneogenesis akan dirubah

menjadi CO2 dan H2O serta glukosa. Perubahan ini berdampak juga pada penurunan sintesis protein. Proses glukoneogenesis yang menggunakan asam amino menyebabkan penipisan simpanan protein tubuh karena unsur nitrogen (sebagai unsur pemecah protein) tidak digunakan kembali untuk semua bagian tetapi diubah menjadi urea dalam hepar dan dieksresikan dalam urine. Ekskresi nitrogen yang banyak akan berakibat pada keseimbangan negative nitrogen. Depresi protein akan berakibat tubuh menjadi kurus, penurunan resistensi terhadap infeksi dan sulitnya pengembalian jaringan yang rusak (sulit sembuh kalau cidera). c. Starvasi sel juga berdampak peningkatan mobilisasi dan metabolisme lemak (lipolisis) asam lemak bebas, trigliserida, dan gliserol yang akan meningkat bersirkulasi dan menyediakan substrat bagi hati untuk proses ketogenesis yang digunakan sel untuk melakukan aktivitas sel. Ketogenesis mengakibatkan peningkatan kadar asam organik (keton), sementara keton menggunakan cadangan alkali tubuh untuk buffer pH darah menurun. Pernafasan kusmaull dirangsang untuk mengkompensasi keadaan asidosis metabolik. Diuresis osmotik menjadi bertambah buruk dengan adanya ketoanemis dan dari katabolisme protein yang meningkatkan asupan protein ke ginjal sehingga tubuh banyak kehilangan protein. Adanya starvasi selluler akan meningkatakan mekanisme penyesuaian tubuh untuk meningkatkan pemasukan dengan munculnya rasa ingin makan terus (polifagi). Starvasi selluler juga akan memunculkan gejala klinis kelemahan tubuh karena terjadi penurunan produksi energi. Dan kerusakan berbagai organ reproduksi yang salah satunya dapat timbul impotensi dan orggan tubuh yang lain seperti persarafan perifer dan mata (muncul rasa baal dan mata kabur).

2.5 TANDA DAN GEJALA Gejala atau keluhan klasik DM :


Sering berkemih/kencing (poliuria), Sering atau cepat merasa haus/dahaga (polidipsia), Lapar yang berlebihan (polifagia),

Gejala lain :

Kehilangan berat badan yang tidak jelas penyebabnya Kesemutan/mati rasa pada ujung saraf di telapak tangan dan kaki Cepat lelah dan lemah Mengalami gangguan penglihatan secara tiba-tiba Apabila terjadi luka/tergores, penyembuhannya lambat Mudah terkena infeksi terutama pada kulit

2.6 FAKTOR RESIKO Orang yang memiliki risiko terkena DM adalah mereka yang telah berusia > 45 tahun atau mereka yang berusia lebih muda tetapi mengalami kegemukan (Indeks Massa Tubuh > 23 kg/m2) dan disertai dengan faktor risiko lain sebagai berikut:

Kebiasaan tidak aktif Orang tua menyandang DM Riwayat melahirkan bayi dengan berat lahir > 4 kg atau riwayat DM pada saat hamil (DM gestasional) Kadar kolesterol HDL <50 mg/dl Penderita Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) atau keadaan klinis lain yang berhubungan dengan resistensi insulin (gangguan fungsi insulin) Riwayat toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT) Riwayat penyakit jantung dan pembuluh darah Mereka yang memiliki risiko DM dianjurkan melakukan pemeriksaan glukosa

darah secara berkala, setahun sekali atau sesuai dengan anjuran dokter. Bahkan akhir-

akhir ini, para ahli menganjurkan untuk menambahkan pemeriksaan HbA1c untuk mendeteksi kondisi prediabetes dan juga untuk pemantauannya.

2.7 DIAGNOSIS DIABETES MIELITUS

Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara:


1. Jika ditemukan gejala klasik DM, dan hasil pemeriksaan glukosa darah sewaktu >

200 mg/dl. Glukosa sewaktu adalah hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir.
2. Pemeriksaan glukosa darah puasa 126 mg/dl dengan adanya keluhan klasik DM.

Puasa diartikan individu tidak mendapatkan kalori tambahan selama minimal 8 jam.
3. Pemeriksaan kadar gula plasma pada tes toleransi glukosa oral (TTGO) 200

mg/dl. TTGO yang dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 g glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.

2.8 TERAPI DAN PENGOBATAN DM Tipe I Penderita diabetes mellitus tipe I (diabetes yang tergantung kepada insulin) menghasilkan sedikit insulin atau sama sekali tidak menghasilkan insulin. Sebagian besar diabetes mellitus tipe I terjadi sebelum usia 30 tahun. Para ilmuwan percaya bahwa faktor lingkungan (mungkin berupa infeksi virus atau faktor gizi pada masa kanak-kanak atau dewasa awal) menyebabkan sistem kekebalan menghancurkan sel penghasil insulin di pankreas. Untuk terjadinya hal ini diperlukan kecenderungan genetik. Pada diabetes tipe I, 90% sel penghasil insulin (sel beta) mengalami kerusakan permanen. Terjadi kekurangan insulin yang berat dan penderita harus mendapatkan suntikan insulin secara teratur. Biasanya orang yang mengalami DM tipe ini di haruskan menggunakan Insulin ( Injeksi pastinya) sebagai pengobatannya, penggunaan insulin ini, agar jumlah gula yang menumpuk tadi, jadi berkurang akibat penambahan insulin ini.

10

DM Tipe II Pada diabetes mellitus tipe II (diabetes yang tidak tergantung kepada insulin, NIDDM), pankreas tetap menghasilkan insulin, terkadang kadarnya lebih tinggi dari normal. Tetapi tubuh membentuk kekebalan terhadap efeknya, sehingga terjadi kekurangan insulin relatif. Diabetes tipe II bisa terjadi pada anak-anak dan dewasa, tetapi biasanya terjadi setelah usia 30 tahun. Faktor resiko untuk diabetes tipe II adalah obesitas,, 80-90% penderita mengalami obesitas. Terapi DM tipe II Penderita DM tipe ini, selain dengan terapi olahraga dan diet, diberikan pula terapi OHO (Obat Hiperglikemi Oral), ada 4 golongan obat ini, yaitu : PEMICU SEKRESI INSULIN Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal dan kurang, namun boleh diberikan pada pasien dengan berat badan lebih. Obat ini paling banyak digunakan sebagai obat hipoglikemi Pembagian golongan sulfonilurea berdasar lama kerjanya : @ Short acting @ Long acting @ Intermediate acting Glinid Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengansulfonilurea, dengan penekanan pada meningkatkan sekresi insulin fase pertama.Golongan ini terdiri dari 2 macam obat : Repaglinid (derivat asam bensoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin), Obat ini di absorbs secara cepat setelah pemberian per oral dan di ekskresi secara tepat melalui hati. PENAMBAH SENSITIVITAS TERHADAP INSULIN Tiazolidindion (rosiglitazon dan pioglitazon) golongan ini mempunyai : Tolbutamide : Chlorpropamide : Glibenclamide, Gliclazide, Glipizide, Gliquidone

Sulfonilurea

Tiazolidindion

11

efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa diperifer. Tiazolidindion dikontraindikasikan pada penderita dengan gagal jantung,karena dapat memperberat oedem/resistensi cairan dan juga pada pasien dengan gangguan faal hati. Perlu pemantauan faal hati secara berkala. PENGHAMBAT GLUKONEOGENESIS Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa

Metformin hati (glukoneogenesis), disamping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer. Terutama dipakai pada penderita DM yang gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (kreatinin > 1.5 mg/dl) dan juga pada pasien dg hipoksemia (CVD,sepesis,syok,CHF) PENGHAMBAT GLUKOSIDASE ALFA (acarbose) Obat ini bekerja dengan mengurangi absorbsi glukosa di ususHalus,sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa Darah sesudah makan. Efek : kembung dan flatulens. 2.9 KOMPLIKASI DAN PENCEGAHAN MIKROVASKULAR Komplikasi mikrovaskular terjadi akibat penebalan membran basal

pembuluh-pembuluh kecil. Penyebab penebalan tersebut tampaknya berkaitan langsung dengan tingginya kadar glukosa darah. Penebalan mikrovaskular tersebut menyebabkan iskemia dan penurunan penyaluran oksigen dan zat gizi ke jaringan. Selain itu, Hb terglikosilasi memiliki afinitas terhadap oksigen yang lebih tinggi sehingga oksigen terikat lebih erat ke molekul Hb. Hal ini menyebabkan ketersediaan oksigen untuk jaringan berkurang. Hipoksia kronis juga dapat menyebabkan hipertensi karena jantung dipaksa meningkatkan curah jantung sebagai usaha untuk menyalurkan lebih banyak oksigen ke jaringan. Ginjal, retina, dan sistem saraf perifer, termasuk neuron sensorik dan motorik somatic sangat dipengaruhi oleh gangguan mikrovaskular diabetik.
12

Sirkulasi mikrovaskular yang buruk juga akan menganggu reaksi imun dan inflamasi karena kedua hal ini bergantung pada perfusi jaringan yang baik untuk menyalurkan sel-sel imun dan mediator inflamasi. 1. Kerusakan ginjal (Nefropati) Diabetes mellitus kronis yang menyebabkan kerusakan ginjal sering dijumpai, dan nefropati diabetic merupakan salah satu penyebab terjadinya gagal ginjal. Di ginjal, yang paling parah mengalami kerusakan adalah kapiler glomerolus akibat hipertensi dan glukosa plasma yang tinggi menyebabkan penebalan membran basal dan pelebaran glomerolus. Lesi-lesi sklerotik nodular, yang disebut nodul Kimmelstiel-Wilson, terbentuk di glomerolus sehingga semakin menghambat aliran darah dan akibatnya merusak nefron. 2. Kerusakan sistem saraf (Neuropati) Penyakit saraf yang disebabkan diabetes mellitus disebut neuropati diabetic. Neuropati diabetic disebabkan hipoksia kronis sel-sel saraf yang kronis serta efek dari hiperglikemia. Pada jaringan saraf terjadi penimbunan sorbitol dan dan fruktosa dan penurunan kadar mioinositol yang menimbulkan neuropati selanjutnya timbul nyeri, parestesia, berkurangnya sensasi getar dan propoioseptik, dan gangguan motorik yang disertai hilangnya refleks-refkeks tendon dalam, kelemahan oto-otot dan atrofi. Neuropati dapat menyerang saraf-saraf perifer, saraf-saraf kranial atau sistem saraf otonom. Terserangnya sistem saraf otonom disertai diare nokturnal, keterlambatan pengosongan lambung, hipotensi dan impotensi. 3. Gangguan penglihatan (Retinopati) Retinopati disebabkan memburuknya kondisi mikro sirkulasi sehingga terjadi kebocoran pada pembuluh darah retina. Hal ini bahkan bisa menjadi salah astu penyebab kebutaan. Retinopati sebenarnya merupakan kerusakan yang unik pada diabetes karena selain karena gangguan mikrovaskular, penyakit ini juga disebabkan adanya biokimia darah sehingga terjadi penumpukan zat-zat tertentu pada jaringan retina. Gangguan awal pada retina tidak menimbulkan keluhan-keluhan sehingga penderita kebanyakan tidak mengetahui telah terkena retinopati. Hal ini baru terdeteksi oleh ahli mata dengan ophtalmoskop.jika gangguan ini dibiarkan dan kerusakan menjadi sangat progresif serta menyerang daerah penting (makula) maka
13

penderita dapat kehilangan penglihatannya. Katarak dan glaukoma (meningkatnya tekanan pada bola mata) juga merupakan salah satu dari komplikasi mata pada pasien diabetes. Oleh karenanya, selain mengontrol kadar gula darah, mengontrol mata pada dokter mata secara rutin juga mutlak dilakukan oleh pasien diabetes. MAKROVASKULAR Komplikasi makrovaskular terutama terjadi akibat aterosklerosis. Komplikasi makrovaskular ikut berperan dan menyebabkan gangguan aliran darah, penyulit komplikasi jangka panjang, dan peningkatan mortalitas. Pada diabetes terjadi kerusakan pada lapisan endotel arteri dan dapat disebabkan secara langsung oleh tingginya kadar glukosa darah, metabolit glukosa, atau tingginya kadar asam lemak dalam darah yang sering dijumpai pada pasien diabetes. Akibat kerusakan tersebut, permeabilitas sel endotel meningkat sehingga molekul yang mengandung lemak masuk ke arteri. Kerusakan sel-sel endotel akan mencetuskan reaksi imun dan inflamasi sehinga akhirnya terjadi pengendapan trombosit, makrofag, dan jaringan fibrosis. Sel-sel otot polos berproliferasi. Penebalan dinding arteri meyebabkan hipertensi, yang semakin merusak lapisan endotel arteri karena menimbulkan gaya merobek sel-sel edotel. Efek vascular dari diabetes kronis adalah penyakit arteri koroner, stroke, dan penyakit vascular perifer. Pasien diabetic yang menderita infark miokard memiliki prognosis yang buruk dibandingkan pasien diabetes tanpa infark miokard. Penyakit arteri koroner merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada populasi pengidap diabetes. Dengan pengelolaan diabetes yang baik, komplikasi-komplikasi tersebut dapat dicegah dan dihambat. Terdapat empat hal utama yang dapat dilakukan untuk mengendalikan kadar gula darah: 1. 2. 3. 4. Mengikuti pola makan sehat Meningkatkan kegiatan jasmani/aktivitas fisik Pengobatan yang sesuai Melakukan pemantauan melalui pemeriksaan secara berkala

14

BAB III STATUS PASIEN


3.1 Identitas Pasien Nama pasien Jenis kelamin Umur Alamat Pekerjaan Agama Tanggal masuk RS 3.2 Anamnesis Autoanamnesis pada tanggal 22 Oktober 2012 Keluhan Utama : Lemas sejak 1 hari SMRS. Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang ke IGD RSPAD Gatot Soebroto dengan keluhan lemas sejak 1 hari SMRS. Pasien juga mengeluhkan kepalanya yang dirasakan pusing. Pasien juga mengeluh batuk yang sudah dirasakannya sejak 7 hari SMRS, batuk kering kadang disertai dengan dahak berwarna putih. Kemudian pasien juga mengeluhkan rasa sakit di bagian perut disertai rasa mual dan begah. Nafsu makan dan minum menurun tidak seperti biasanya. BAB dan BAK tidak ada keluhan. Pasien sudah menderita diabetes mellitus sejak 10 tahun. Semenjak saat itu pasien mulai merasakan keluhan frekuensi BAK yang meningkat, pasien merasakan mudah haus dan meminum air yang lebih banyak dari biasanya, frekuensi makan yang meningkat pada pasien dan pasien juga mengatakan semenjak menderita DM pasien mengalami penurunan berat bedan 10 kg. Pasien rutin kontrol berobat untuk mengontrol DM. Pasien rutin mengkonsumsi obat diabenese yang termasuk golongan sulfonylurea 1x100 mg/ hari. : Ny. SMR : Perempuan : 63 tahun : Tanjung priok, Jakarta utara : Ibu rumah tangga : Islam : 22 Oktober 2012

15

Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat penyakit DM sejak tahun 2002 Riwayat hipertensi disangkal Riwayat penyakit jantung disangkal Riwayat penyakit paru disangkal Riwayat alergi disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga Riwayat penyakit DM disangkal Riwayat hipertensi disangkal Riwayat asma disangkal Riwayat penyakit jantung disangkal Riwayat penyakit alergi disangkal

3.3 Pemeriksaan Fisik Keadaan Umum Kesadaran Vital Sign Tekanan darah Frekuensi Nadi Frekuensi nafas Suhu Berat badan Tinggi badan IMT Status gizi Kulit : 110/80 mmHg : 84x / menit : 20 x/menit, reguler : 36,5 C : 45 kg : 159 cm : 17,85 kg/m2 : Normoweight : Sawo matang, tidak ikterik, tidak sianosis, tidak ada hematom, suhu raba normal, turgor kulit baik, ulkus Kepala&rambut dekubitus (-), kering (+). : Normocephal, rambut hitam dengan beberapa rambut putih, distribusi merata, tidak mudah dicabut & tidak mudah rontok. : Tampak sakit sedang. : Compos Mentis

16

Mata

: Konjungtiva pucat (+/+), Sklera tidak ikterik, kedudukan bola mata simetris, pupil bulat isokor, diameter 3 mm, lensa keruh -/-, reflek cahaya positif, edema palpebra tidak ada : Normotia, liang telinga lapang, discharge tidak ada, serumen (+/+) : Bentuk normal, tidak terdapat deviasi septum maupun sekret hidung, tidak ada nafas cuping hidung. : Mukosa mulut basah, lidah tidak kotor, bibir tidak kering, tidak tampak sianosis. : Faring tidak hiperemis, tonsil TI TI tenang. : Simetris, JVP 5-2 cm, trakea lurus ditengah, kelenjar tiroid tidak teraba membesar, kelenjar getah bening tidak teraba membesar, tidak ada kaku kuduk. : Bentuk normal (Normochest), simetris saat statis dan dinamis, spider nervi tidak ada

Telinga Hidung Mulut & gigi Tenggorokan Leher

Thorak Paru - Inspeksi

: Simetris saat statis dan dinamis, tidak tampak retraksi supraklavikula dan interkostal, tidak ada pelebaran vena, tidak tampak sikatriks. : Fremitus taktil kanan dan kiri simetris. : Sonor pada kedua lapang paru : Suara nafas dasar vesikuler pada kedua lapang paru, ronkhi tidak ada , wheezing tidak ada.. : : Iktus Cordis tidak tampak : Iktus Cordis tidak kuat angkat, teraba pada sela iga V Linea Midclavicula Sinistra. : Batas kanan jantung : sela iga IV linea sternalis dextra. Batas kiri jantung : sela iga V linea midclavicula Sinistra. Batas pinggang jantung : sela iga III linea sternalis sinistra. : Bunyi jantung I II reguler, murmur (-), gallop (-). : : Datar, tidak tampak benjolan, sikatriks maupun venektasi. : Supel, nyeri tekan epigastrium (+), hepar dan lien tidak teraba pembesaran, ballotement tidak ada, turgor kulit baik : Tympani pada seluruh lapang abdomen. Shifting dullness tidak ada. : Bising usus ada, normal : Telapak tangan dan kaki tampak pucat, palmar eritem (-/-), akral hangat, CRT <2, kekuatan motorik kaki kanan dan
17

- Palpasi - Perkusi - Auskultasi Jantung - Inspeksi - Palpasi - Perkusi

- Auskultasi Abdomen - Inspeksi - Palpasi - Perkusi - Auskultasi Ekstremitas

kiri baik. Edema Refleks fisiologis Refleks patela Reflek achilles Sensibilitas Nyeri Tekan Raba Kanan (+) (+) (+) 3.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG Laboratorium 22 oktober 2012 Jenis pemeriksaan Hematologi Hemoglobin Hematokrit Erotrosit Leukosit Trombosit MCV MCH MCHC Kimia Klinik Ureum Kreatinin Glukosa (sewaktu) Natrium Kalium Klorida Hasil 7.2 23 2.9 12.250 410.000 80 25 31 46 0.7 Darah 172 134 3.2 103 Nilai rujukan 12-16 g/dl 37-47 % 4.3=6.0 juta/ul 4.800-10.800/ul 150.000-400.000/ul 80-96 fl 27-32 pg 32-36 g/dl 20-50 mg/dl 0.5-1.5 mg/dl < 140 mg/dl 135-147 mEq/L 3.5-5.0 mEq/L 95.105mEq/L Kiri (+) (+) (+) Kanan Kiri (+) (+) (+) (+) + +

3.5 RESUME Pasien datang ke IGD RSPAD Gatot Soebroto dengan keluhan lemas sejak 1 hari SMRS. Pasien juga mengeluhkan kepalanya yang dirasakan pusing. Pasien juga mengeluh batuk yang sudah dirasakannya sejak 7 hari SMRS. Kemudian
18

pasien juga mengeluhkan rasa sakit di bagian perut disertai rasa mual dan begah. Pasien sudah menderita diabetes mellitus sejak 10 tahun. Semenjak saat itu pasien mulai merasakan keluhan frekuensi BAK yang meningkat, pasien merasakan mudah haus dan meminum air yang lebih banyak dari biasanya, frekuensi makan yang meningkat pada pasien dan pasien juga mengatakan semenjak menderita DM pasien mengalami penurunan berat bedan 10 kg. Pasien rutin kontrol berobat untuk mengontrol DM. Pasien rutin mengkonsumsi obat diabenese yang termasuk golongan sulfonylurea 1x100 mg/ hari. Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis, dengan tekanan darah 110/ 80 mmHg, frekuensi nadi 84 x / menit, respirasi rate 20 x / menit dan suhu 36,5 C. pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda-tanda konjungtiva anemis dan warna kulit pucat pada pada kedua ekstremitas atas dan bawah. Nyeri tekan pada epigastrium (+), Pitting edema pada kedua tungkai kaki. Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil, haemoglobin 7.2 g/ dL, hematokrit 23%, eritrosit 2.9 juta/ uL, leukosit 12250 / uL, trombositt 410000/ uL, MCV 80 fl, MCH 25 pg, MCHC 31 g/dL, Gula darah sewaktu 172 mmol/L, natrium 134 mEq/L, kalium 3.2 mEq/L. 3.6 DAFTAR MASALAH 1. Diabetes Melitus tipe II tidak terkontrol 2. Anemia 3. Sindrom dispepsia 4. Hiponatremia 5. Hipokalemia

3.7 PENGKAJIAN 1. Diabetes Melitus tipe II tidak terkontrol Anamnesis

19

Pasien datang ke IGD RSPAD Gatot Soebroto dengan keluhan lemas sejak 1 hari SMRS. Pasien juga mengeluhkan kepalanya yang dirasakan pusing. Pasien sudah menderita diabetes mellitus sejak 10 tahun. Semenjak saat itu pasien mulai merasakan keluhan frekuensi BAK yang meningkat, pasien merasakan mudah haus dan meminum air yang lebih banyak dari biasanya, frekuensi makan yang meningkat pada pasien dan pasien juga mengatakan semenjak menderita DM pasien mengalami penurunan berat bedan 10 kg. Pasien rutin kontrol berobat untuk mengontrol DM. Pasien rutin mengkonsumsi obat diabenese yang termasuk golongan sulfonylurea 1x100 mg/ hari. Pemeriksaan fisik Kulit kering (+) Pitting edema pada ke dua tungkai (+/+) Pemeriksaan laboratorium Glukosa darah sewaktu 172 mg/dl Asessment: Diabetes Mielitus Tipe II tidak terkontrol Penatalaksanaan Rencana diagnostik: - Cek GDS serial, Hba1c, Rencana terapi: - Diet DM 1800 kalori/ 24 jam - Metformin 3 x 500 mg Rencana edukasi : Menjelaskan kepada pasien tentang penyakit tersebut. Dan memberikan edukasi untuk mengikuti pola makan sehat, meningkatkan kegiatan jasmani/aktivitas fisik, pengobatan yang sesuai dan rutin, serta melakukan pemantauan melalui pemeriksaan secara berkala

20

2. Anemia Anamnesis Lemas sejak 1 hari SMRS. Pasien juga mengeluhkan kepalanya yang dirasakan pusing. Pemeriksaan fisik Konjungtiva pucat (+/+), telapak tangan dan kaki tampak pucat Pemeriksaan laboratorium Hb 7,2 g/dl, Ht 23 %, Eritrosit 12.250/ul MCV 80 / MCH 25 / MCHC 31 Asessment: anemia normositik hipokrom Penatalaksanaan: Rencana diagnostik Darah lengkap (serial), urin lengkap, feses lengkap, darah samar feses, Kadar Fe darah, TIBC. Rencana terapi - Transfusi darah PRC 500 cc Rencana edukasi : Untuk meningkatkan efektivitas pengobatan anemia pada pasien dengan diabetes, suntikan eritropoietin suplemen dengan besi.

3. Sindrom Dispepsia Anamnesis


21

Pasien juga mengeluhkan rasa sakit di bagian perut disertai rasa mual dan begah. Pemeriksaan fisik Nyeri tekan pada daerah epigastrium (+) Penatalaksanaan: Rencana diagnostik : Pemeriksaan endoskopi bila pasien masih mengalami nyeri lambung meskipun telah minum obat lambung. Atau nyeri berkurang atau hilang sesaat untuk kemudian muncul kembali. Rencana terapi : Ranitidine 2 x 1 ampul Rencana edukasi Hindari makanan yang dapat meningkatkan asam lambung, menghindari faktor resiko seperti alkohol, makanan yang pedas, obatobatan yang berlebihan, nikotin rokok, dan stress serta mengatur pola makan.

4. Hiponatremia Anamnesis : Pemeriksaan laboratorium

Natrium 134 mEq/L Penatalaksanaan: Rencana diagnostik : cek elektrolit dan osmolaritas serum, elektrolit dan osmolaritas urin Rencana terapi : - IVFD RL 20 tpm

22

5. Hipokalemia Anamnesis : Pemeriksaan laboratorium

Kalium 3,2 mEq/L Penatalaksanaan: Rencana diagnostik : - cek elektrolit dan osmolaritas serum, elektrolit dan osmolaritas urin Rencana terapi :

KSR 3 x 1 tab

FOLLOW UP

Tanggal 22 oktober 2012

Pemeriksaan S: lemas O: TD 110/80mmHg, Nadi 80x/ RR 20x/ T 360C KU/KES : TSS/ CM Konjungtiva anemis Kulit pucat pada kedua ekstremitas A: DM tipe 2, anemia, sindrom dispepsia P: IVFD 1000 cc/ 24 jam Transfusi PRC 500 cc Diet DM 1800 kalori/ 24 jam

23

Metformin 3 x 500 mg Ranitidine 2 x 1 ampul Flumucyl 3 x 1 sachet 23oktober 2012 Cek KDGH S: O: TD 110/80mmHg Nadi 80x/ RR 20x/ T 36,50C KU/ KES : TSS/ CM Laboratorium Hb 10.3/ Ht 31/ Leu 13.400/ Trom 401.000 GDS 06.00 = 140 / 11.00 = 155 A : DM tipe 2, sindrom dispepsia P: IVFD 1000 cc/ 24 jam Metformin 3 x 500 mg KSR 3 x 1 tab Ranitidine 2 x 1 ampul Diet DM 1800 kalori/ 24 jam

DIAGNOSA AKHIR Diabetes mellitus tipe II, anemia normositik hipokrom, dan sindrom dispepsia. PROGNOSIS Quo ad vitam Quo ad functionam Quo ad sanationam : dubia ad bonam : dubia ad bonam : dubia ad bonam

24

BAB IV ANALISA KASUS

PEMBAHASAN DIAGNOSIS 1. Diabetes Mielitus Tipe II Pada Diabetes Tipe II terjadi mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin pada diabetes tipe II masih belum diketahui. Faktor genetik memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin. Faktor-faktor resiko : a. Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65 th) b. Obesitas c. Riwayat keluarga Gejala atau keluhan klasik DM :

Sering berkemih/kencing (poliuria), Sering atau cepat merasa haus/dahaga (polidipsia), Lapar yang berlebihan (polifagia),

Gejala lain :

Kehilangan berat badan yang tidak jelas penyebabnya Kesemutan/mati rasa pada ujung saraf di telapak tangan dan kaki Cepat lelah dan lemah Mengalami gangguan penglihatan secara tiba-tiba Pada pasien ini didapatkan keluhan lemas sejak 1 hari SMRS. Pasien juga

25

mempunyai riwayat diabetes sejak 10 tahun yang lalu dengan diawali gejala-gejala klasik DM dan pasien mengaku rutin minum obat diabenese 1x 100 mg setiap hari. Dari pemeriksaan fisik ditemukan kulit kering yang biasa ditemui pada pasien penderita diabetes, dan pitting edema pada kedua tungkai. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan Glukosa darah sewaktu 172 mg/dl. 2. Anemia normositik hipokrom Anemia adalah suatu kondisi dimana kadar sel darah merah dalam tubuh berkurang atau jumlah hemoglobin yang berkurang dalam darah. Tiga penyebab utama anemia adalah perdarahan yang berlebihan seperti perdarahan akut ataupun kronik, hemolisis yang berlebihan, atau hematopoiesis yang tidak efektif. Gejala anemia bervariasi tergantung pada penyebabnya, namun yang biasanya muncul antara lain : Lelah, lemah, letih, dan lesu Pucat Pusing atau sakit kepala Detak jantung cepat atau berdebar, tidak teratur Sesak nafas Nyeri pada dada Tangan dan kaki dingin Gangguan kognitif Dalam sel darah tubuh kita terbentuk di sumsum tulang. Namun, bagi sumsum merah sedang bekerja, ia harus mendapatkan sinyal yang pasti dalam bentuk hormon eritropoietin. Erythropoietin diproduksi oleh sel khusus di ginjal. Pada nefropati diabetik (lihat di atas) tidak hanya membunuh sel-sel ginjal yang terlibat dalam filtrasi darah, tetapi juga sel-sel yang menghasilkan eritropoietin, sehingga dalam hubungannya dengan gagal ginjal kronis pada pasien diabetes mengalami anemia (kekurangan erythropoietin menyebabkan penghentian dari sumsum tulang) . Selain kurangnya erythropoietin dalam patogenesis (pembangunan) anemia
26

pada pasien dengan diabetes adalah peran defisiensi besi dan kehilangan protein kronis yang menyertai gagal ginjal. Menurut penelitian terbaru, untuk gagal ginjal kronis yang dikembangkan dengan latar belakang nefropati diabetes rumit oleh anemia di lebih dari setengah kasus. Anemia secara signifikan mengurangi kualitas hidup pada pasien dengan diabetes mellitus. Dengan latar belakang anemia penurunan nafsu makan, kemampuan fisik, intelektual, dan fungsi seksual pasien. Penderita diabetes dengan anemia memiliki risiko lebih besar terkena penyakit jantung, seperti yang mungkin, anemia merupakan faktor independen yang berkontribusi terhadap kerusakan jantung dan pembuluh darah. Pada pasien ini dari anamnesa didapat kan keluhan Lemas sejak 1 hari SMRS. Pasien juga mengeluhkan kepalanya yang dirasakan pusing. Pusing bisa disebabkan kondisi hipoglikemia atau dapat pula disebabkan oleh kondisi anemia yang dialami oleh pasien. Pada pemeriksaan fisik ditemukan konjungtiva pucat (+/+), telapak tangan dan kaki tampak pucat. Penegakan diagnosis anemia ini didukung pula oleh pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan darah didapatkan Hb 7,2 g/dl, Ht 23 %, Eritrosit 12.250/ul, MCV 80 / MCH 25 / MCHC 31. 3. Sindrom dispepsia Dispepsia adalah suatu gejala, bukan diagnosis. Gejala ini dapat berlangsung dalam beberapa tahun (atau bahkan seumur hidup) dan sering kali terjadi kekambuhan. Dispepsia merupakan penyakit saluran pencernaan yang paling umum yang menjangkiti sekitar 25% populasi dunia sepanjang tahun. Prevalensinya bervariasi disetiap negara tergantung pada prevalensi infeksi H.pylori, obesitas, asupan rokok-alkohol-obat dan rempah-rempah dalam masakan, lebih jauh dari itu sebagian besar penderita tidak melakukan terapi akan gangguan kesehatan ini. Gejala dispepsia dibedakan menjadi: 1. Tipe refluks: peraaan terbakar retrostenal, regurgitasi 2. Tipe maag/ulkus: Nyeri egigastrum pada saat perut kosong dengan rasa makanan hambar, antasida atau obat penekan asam 3. Tipe dismotilitas: perasaan penuh setelah makan, distensi, cepat kenyang,

27

mual 4. Rome II: Selain gejala pada tipe refluks disertai pula dengan sindrome iritasi usus besar (perasaan nyeri saat buang air besar, dengan diare atau pun konstipasi) dan penyakit hepatobiliar (tardive empedu). Gejala ini dikatakan kronis bila berlangsung selama sekurang-kurangnya 12 minggu (tidak berlanjut), dan bila gejala telah berlangsung selama 12 bulan maka dapat dikategorikan emphasif. 5. Rome III: gejala dibedakan menjadi 2 kelompok, kelompok 1 berupa nyeri epigastrum yang dominan atau perasaan terbakar (sindrome nyeri epigastrum), dan gejala kelompok 2 berupa perasaan cepat kenyang atau penuh setelah makan (sindrom distres posprandial).

Kriteria rome I, II dan III digunakan untuk menjelaskan tingkat kesulitan pencernaan pada dispepsia. Ini adalah hal yang sulit untuk dijelaskan artinya belum ada penjelasan yang pasti dalam hal kriteria tersebut. Dispepsia dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Dispepsia organik: esofagitis erosif, erosi lambung, gastritis akut atau kronis, ulkus lambung, ulkus duodenum, duodenitis, malignansi (lymphoma, karsinoma). Bukti adanya dispepsia organik dapat diamati dengan endoskopi (biopsi lambung), dan penggunaan barium. 2. Dispepsia fungsional atau dispepsia non-ulkus: seorang pasien dengan kecemasan atau kekhawatiran akan penyakit-penyakit serius (misal kanker) atau baru saja mengalami kejadian buruk kemungkinan akan mengalami dispepsia tipe ini. Pada dispepsia tipe ini tidak terdeteksi adanya lesi. 3. Dispepsia terinduksi obat: aspirin, obat anti-inflamasi nonsteroid (AINS), antibiotik, bifosfonat, alendronat, estrogen, steroid, digoksin, klorokuin, suplemen kalium, zat besi. Untuk mengetahui adanya dispepsia tipe ini maka harus dilakukan penelitian terhadap sejarah pengobatan pasien. 4. Dispepsia akibat penyakit sistemik ekstraintestinal seperti diabetes melitus, hipotiroid, hiperparatiroid, penyakit Addison's dan uremia. Gejala penyakit endokrin harus diselidiki setelah kemungkinan dispepsia organik dikecualikan.

28

Diabetes melitus dapat menyebabkan gastroparesis yang hebat sehingga timbul keluhan rasa penuh setelah makan, cepat kenyang, mual dan muntah. Lebih jauh diabetik radikulopati pada akar saraf thoraks dapat menyebabkan nyeri abdomen bagian atas. Pada pasien ini didapat kan keluhan rasa sakit di bagian perut disertai rasa mual dan begah. Pemeriksaan fisik ditemukan nyeri tekan pada daerah epigastrium (+). Pada pasien ini dicurigai sindrome dispepsia disebabkan oleh penyakit sistemik diabetes meilitus yang mengakibatkan rasa tidak nyaman pada saluran pencernaan.

4. Hiponatremia Hiponatremia (kadar natrium darah yang rendah) adalah konsentrasi natrium yang lebih kecil dari 136 mEq/L darah. Konsentrasi natrium darah menurun jika natrium telah dilarutkan oleh terlalu banyaknya air tubuh. Pengenceran natrium bisa terjadi pada orang yang minum air dalam jumlah yang sangat banyak (contoh pada penderita diabetes, atau pada kelainan psikis tertentu, dan pada penderita yang dirawat di rumah sakit yang menerima sejumlah besar cairan intravena). Jumlah cairan yang masuk melebihi kemampuan ginjal untuk membuang kelebihannya. Asupan cairan dalam jumlah yang lebih sedikit (kadang sebanyal 1 L/hari), bisa menyebabkan hiponatremia pada orang-orang yang ginjalnya tidak berfungsi dengan baik, misalnya pada gagal ginjal. Jika kadar natrium menurun secara perlahan, gejala cenderung tidak parah dan tidak muncul sampai kadar natrium benar-benar rendah, jika kadar natrium menurun dengan cepat, gejala yang timbul lebih parah dan meskipun penurunan sedikit, tetapi gejala cenderung timbul. Otak sangat sensitif terhadap perubahan konsentrasi natrium darah. Karena itu gejala awal dari hiponatremia adalah letargi (keadaan kesadaran yang menurun seperti tidur terlelap, dapat dibangunkan sebentar, tetapi segera tertidur kembali), sejalan dengan makin memburuknya hiponatremia, otot-otot menjadi kaku dan bisa terjadi kejang. Diagnosis hiponatremia ditegakan berdasarkan hasil pemeriksaan darah. Pada pasien ini dari gejala tidak menggambarkan adanya hiponatremia. Tetapi pada pemeriksaan laboratorium didapat kadar natrium darah 134 mEq/L menandakan adanya hiponatremia ringan.
29

5. Hipokalemia Hipokalemia (kadar kalium yang rendah dalam darah) adalah suatu keadaan dimana konsentrasi kalium dalam darah kurang dari 3,8 mEq/L darah. Ginjal yang normal dapat menahan kalium dengan baik. Jika konsentrasi kalium darah terlalu rendah, biasanya disebabkan oleh ginjal yang tidak berfungsi secara normal atau terlalu banyak kalium yang hilang melalui saluran pnecernaan ( diare, muntah, penggunaan obat pencahar dalam waktu yang lama atau polip usus besar). Hipokalemia jarang karena asupan yang kurang karena kalium banyak ditemukan dalam makanan sehari-hari. Kalium bisa hilang lewat air kemih karena beberapa alasan. Yanng [aling sering adalah akibat penggunaan obat diuretik tertentu yang menyebabkan ginjal membuang natrum, air dan kalium dalam julah yang berlebihan. Obat-obat tertentu seperti insulin dan obat-obat asma (albuterol, terbutalin dan teofilin), meningkatkan perpindahan kalium ke dalam sel dan mengakibatkan hipokalemia. Tetapi pemakaian obat-obatan ini jarang menjadi penyebab tunggal terjadinya hipokalemia. Hipokalemia ringan biasanya tidak menyebabkan gejala sama sekali. Hipokalemia yang lebih berat (<3 mEq/L darah) bisa menyebabkan kelemahan otot, kejang otot dan bahkan kelumpuhan. Irama jantung menjadi tidak normal, terutama pada penderita penyakit jantung. Diagnosis hipokalemia ditegakan berdasarkan hasil pemeriksaan darah. Pada pasien ini dari pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar kalium darah 3,2 mEq/L menandakan adanya hipokalemia. PEMBAHASAN TATALAKSANA 1. Diabetes Mielitus Tipe II Pengobatan pada DM tipe II terdiri dari 4 golongan obat : Pemicu sekresi insulin Penambah sensitivitas terhadap insulin Penghambat glukoneogenesis

30

Penghambat glukosidase alfa (acarbose) Pada perawatan pasien diberikan obat metformin 3 x 500mg. Metformin

adalah zat antihiperglikemik oral golongan biguanid untuk penderita DM tipe II. Mekanisme kerja metformin yang tepat belum jelas, walaupun demikian metformin dapat memperbaiki sensitivitas hepatik dan periferal terhadap insulin tanpa menstimulasi sekresi insulin serta menurunkan absorpsi glukosa dari saluran lambung usus. Metformin hanya mengurangi kadar glukosa darah dalam keadaan hiperglikemia serta tidak menyebabkan hipoglikemik bila diberikan sebagai obat tunggal. Metformin tidak menyebabkan pertambahan berat badan bahkan cenderung dapat menyebabkan kehilangan berat badan. 2. Anemia normositik hipokrom Mengingat bahwa faktor utama dalam pengembangan anemia pada pasien dengan diabetes adalah kurangnya erythropoietin dalam obat pengobatan yang digunakan mengandung eritropoietin. Eritropoietin senyawa organik kompleks dari sifat karbohidrat-protein. Komponen Karbohidrat dari molekul dari erythropoietin ada dua jenis: alfa dan beta (maka obat eritropoietin nama). Penderita diabetes dengan nefropati diabetes harus masuk dengan penurunan tingkat erythropoietin hemoglobin di bawah 120 g / l (yaitu, anemia dini), tidak efektifnya pengobatan lain (misalnya besi). Terapi awal dengan eritropoietin dapat memperlambat perkembangan angiopathy (kerusakan pembuluh darah kecil), dan, akibatnya, penyakit ginjal, sehingga memperbaiki prognosis penyakit dan memfasilitasi alirannya. Pasien dengan diabetes, eritropoietin diberikan dalam dua cara: secara intravena dan subkutan. Injeksi standar frekuensi - 3 kali seminggu. Untuk meningkatkan efektivitas pengobatan anemia pada pasien dengan diabetes, suntikan eritropoietin suplemen dengan besi. Pengobatan anemia pada pasien dengan diabetes wajib, karena anemia tidak hanya menurunkan kualitas hidup pada pasien dengan diabetes tetapi juga mempercepat perkembangan penyakit dan komplikasinya. Saat ini masalah utama dari erythropoietin penggunaan obat untuk mengobati anemia pada pasien dengan diabetes

31

adalah tingginya biaya obat sendiri. Pada pasien ini untuk mengatasi anemia langkah awal diberikan transfusi darah PRC 500 cc setelah dilakukan crossmatching hingga dicapai kadar Hb target 10 g/dl. Kemudian dievaluasi apakah terjad kenaikan Hb mencapai kadar rata-rata atau tidak. Bila belum mencapai target dan kondisi klinis memburuk lakukan tranfusi lagi bila target belum tercapai tetapi kondisi klinis baik dapat diberikan rencana terapi pemberian erytropoietin. Kadar leukosit yang tinggi dapat disebabkan oleh gangguan fungsi sel darah putih dan pula dikarenakan mudahnya pasien diabetes terkena infeksi, terutama infeksi saluran kemih dan kulit. 3. Sindrom dispepsia Intervensi dini terhadap sindrome dispepsia yaitu dengan mengkonsumsi obat yang bisa menetralkan atau menghambat produksi yang berlebihan dari asam lambung (jenis antasid). Bisa juga diberikan obat yang memperbaiki motilitas lambung. Apabila setelah 2 sindrom dispepsia. Pada pasien ini berikan obat Ranitidine 2 x 1 ampul. Ranitidin merupakan golongan obat antihistamin reseptor 2 (AH2). Mekanisme kerja ranitidin adalah menghambat reseptor histamin 2 secara selektif dan reversibel sehingga dapat menghambat sekresi cairan lambung.ranitidin mengurangi volume ion hidrogen dan sel parietal akan menurun sejalan dengan penurunan volume cairan lambung. 4. Hiponatremia Hiponatremia berat merupakan keadaaan darurat yang memerlukan minggu obat yang diberikan tidak bermanfaat, biasanya akan direncanakan untuk pemeriksaan lanjutan untuk mengetahui penyebab gejala dari

pengobatan segera. Cairan intravena diberikan untuk meningkatkan konsentrasi natrium darah secara perlahan. Kenaikan konsentrasi yang terlalu cepat bisa mengakibatkan kerusakan otak yang menetap. Asupan cairan diawasi dibatasi dan penyebab hiponatremia diatasi jika keadaannya memburuk atau tidak menunjukan perbaikan setelah dilakukan pembatasan asupan cairan, maka pada SIADH diberikan demeclocyline atau diuretik thiazide untuk mengurangi efek hormon antidiuretik terhadap ginjal.
32

Pada pasien ini diberikan resusitasi cairan yaitu IVFD RL 500 cc/ 20 tpm. 5. Hipokalemia Hipokalemia merupakan kelainan elektrolit yang cukup banyak dijumpai delam praktek klinik. Berbagai faktor penyebab perlu diidentifikasi sebagai awal dari manajemen. Pemberian kalium bukanlah sesuatu yang perlu ditakuti oleh para klinisi, seandainya diketahui kecepatan pemberian yang perlu untuk setiap derajay hipokalemia, pemberian kalium perlu dipikirkan pada pasien-pasien pnyekit jantung, hipertensi, stroke, atau keadaan-keadaan yang cenderung menyebabkan deplesi kalium. Terapi cairan rumatan yang mengandung 20 mEq/L mempermudah terapi awal pasien rawat inap. Pada pasien ini diberikan obat KSR 3 x 1

33

BAB V KESIMPULAN
Diabetes mellitus adalah gangguan endokrin kronis yang ditandai oleh gangguan semua jenis metabolisme pada latar belakang kekurangan insulin absolut atau relatif. Faktor utama timbulnya DM adalah karena gaya hidup yang tidak sehat, seperti makan makanan yang mengandung kalori tinggi dan kurang berolah raga. Meskipun faktor keturunan berkontribusi, tetapi DM tidak akan muncul bila tidak ada faktor pencetus, yakni gaya hidup yang tidak sehat. Gangguan metabolisme yang terjadi dengan diabetes, negatif mempengaruhi keadaan organ internal, yang mengapa diabetes mellitus sering berkembang dalam keadaan seperti nefropati diabetik. Salah satu konsekuensi dari penyakit ginjal diabetes adalah anemia yang terjadi pada kebanyakan pasien dengan penyakit ini. Karena DM bisa menimbulkan berbagai komplikasi, maka pengobatan DM harus dilakukan secara terpadu oleh beberapa spesialis yang terkait dengan komplikasi DM seperti jantung, ginjal, mata dan syaraf. Pemeriksaan fungsi ginjal, status metabolik dan lemak dalam darah harus dilakukan secara berkala. 70% orang yang mengalami cuci darah karena gagal ginjal adalah penderita DM.

34

DAFTAR PUSTAKA
1. Perkeni. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia. 2011 2. Darmono. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Mellitus. Dalam : Noer, dkk, editors, Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I, Edisi Ketiga, Penerbit FK UI, Jakarta, 1999. 3. Tjokroprawiro. Diabetes Mellitus, Airlangga University Press, Surabaya. 1998. 4. Manaf A. Insulin : Mekanisme Sekresi dan Aspek Metabolisme, Dalam : Aruw, ddk, editors, Ilmu Penyakit Dalam Jilid III, Edisi Keempat, Penerbit FK UI, Jakarta, 2006. 5. Waspadji S. Komplikasi Kronik Diabetes Mellitus : Pengenalan dan Penangganan. Dalam : Noer, dkk, editors, Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I, Edisi Ketiga, Penerbit FK UI, Jakarta, 1999. 6. Tjokroprawiro. Angiopati Diabetik : MakroangiopatiMikroangiopati. Dalam : Noer, dkk, editors, Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I, Edisi Ketigaa, Penerbit FK UI, Jakarta, 1999. 7. http://nicegoinlife .blogspot.com/2012/08/diabetes-dananemia.html 8. http://www.medicinesia.com/kedokterandasar/metabolik-endokrin/komplikasi-kardiovaskular-dan-ginjalpada-diabetes/ 9. http://koranindonesiasehat.wordpress.com/2009/11/29/sakitmaag-atau-dispepsia-penyakit-menahun-yang-membandel/ 10. http://aishabaharun.blogspot.com/2012/02/hiperkalemiahipokalemia.html 11. http://prodia.co.id/penyakit-dan-diagnosa/anemia

35

36

Anda mungkin juga menyukai