Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN PRAKTIKUM BIOTEKNOLOGI KULTUR ORGAN

Disusun Oleh:

Nama NIM

: Fanita Widyah Alviana : 115040200111044

Kelompok : Selasa,11.00 WIB Asisten : Husnul Khotimah

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN MALANG 2012

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bioteknologi di bidang pertanian telah berkembang pesat, salah satu contohnya adalah dengan perbanyakan secara vegetatif. Cara perbanyakan vegetatif umumnya akan menghasilkan tanaman yang lebih cepat tumbuh. Dapat tumbuhnya bagian terkecil dari tumbuhan menjadi individu baru karena tumbuhan memiliki sifat mampu untuk tumbuh menjadi tanaman yang sempurna bila disekitar lingkungan tersebut sesuai. Sifat tumbuhan inilah yang kemudian mencetuskan suatu metode perbanyakan tumbuhan secara vegetatif, yaitu dengan kultur jaringan atau kultur organ tumbuhan. Dalam ilmu fisiologi, kultur organ daun digunakan untuk studi deferensiasi dan fungsi dari jaringan khusus. Kebutuhan nutrisi dan keadaan lingkungan dapat di eksplorasi secara lebih tepat dalam kultur In Vitro. Eksplan yang sering digunakan untuk perbanyakan tanaman cocor bebek secara in vitro adalah bagian daun, karena mitosis pada sel-sel yang berkesinambungan sehingga ekstra duplikasi DNA dapat dihindari. Kultur organ daun umumnya menyebabkan tanaman yang dihasilkan identik dengan donornya. Organ tanaman yang dipakai meliputi : tunas, bagian daun, atau organ lainnya, diletakkan pada media nutrisi untuk menumbuhkan eksplan tersebut menjadi tanaman lengkap. Kultur meristem daun merupakan salah satu tipe pengkulturan yang mengambil daun sebagai eksplan. 1.2 Tujuan Untuk mengetahui tentang isolasi eksplan dan inkubasi eksplan Untuk mengetahui factor penentu keberhasilan kultur jaringan Untuk mengetahui teknik dan tahap dalam kultur organ tunas pada krisan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Isolasi eksplan Isolasi eksplan adalah proses pengambilan suatu bagian tanaman dari tempat asalnya untuk diteliti lebih lanjut dalam kultur jaringan.(Gunawan, 1987) Isolasi eksplan adalah isolasi jaringan/organ yang digunakan dalam kultur jaringan. Isolasi eksplan yang digunakan ini adalah ujung pucuk-pucuk apikal (panjang 20 mm) saja, teknik ini disebut sebagai shoot-tip culture, namun bila eksplan yang digunakan adalah ujung pucuk apikal beserta bagian tunas lain dibawahnya disebut sebagai shoot culture.(Smith, 2000) 2.2 Definisi Inkubasi Eksplan Inkubasi eksplan adalah tahapan dimana menumbuhkan eksplan setelah tanaman ditanam pada media kultur dan kondisi pada proses tersebut diatur sedemikian rupa, faktor tersebut antara lain suhu, panjang hari atau lama penyinaran, dan intensitas cahaya.(Smith, 2000) Inkubasi eksplan adalah proses menumbuhkan eksplan setelah ditanam dengan mengatur faktor-faktor eksternal bagi pertumbuhan.(Suryowinoto, 1996) 2.3 Tahap Kultur Jaringan Perbanyakan bibit secara kultur jaringan melalui beberapa tahapan proses yaitu : 1. Pemilihan dan penyiapan tanaman induk sumber eksplan. Tanaman yang akan dilakukan perbanyakan kultur jaringan harus

jelas jenis, spesies, varietas, sehat dan bebas dari hama dan penyakit. (Luri, S. 2010) 2. Inisiasi kultur. Inisiasi adalah pengambilan eksplan dari bagian tanaman yang akan dikulturkan. Bagian tanaman yang sering digunakan untuk kegiatan kultur jaringan adalah tunas. Eksplan yang dikulturkan diharapkan dapat menginisiasi pertumbuhan baru sehingga akan memungkinkan dilakukan pemilihan tanaman yang tumbuhnya paling kuat untuk perbanyakan (multiplikasi tahap selanjutnya). (Luri, S. 2010) 3. Multiplikasi atau perbanyakan propagul Multiplikasi adalah kegiatan memperbanyak calon tanaman dengan menanam eksplan pada media. Pada tahapan ini, eksplan yang sudah diinisiasi akan menggandakan propagul atau bahan tanaman yang diperbanyak seperti tunas atau embrio, serta memeliharanya dalam keadaan tertentu sehingga sewaktu-waktu bisa dilanjutkan untuk tahap berikutnya (Yusnita, 2004). 4. Pemanjangan tunas, induksi, dan perkembangan akar Pengakaran adalah fase dimana eksplan akan menunjukkan adanya pertumbuhan akar yang menandai bahwa proses kultur jaringan yang dilakukan mulai berjalan dengan baik. Tahapan ini bertujuan untuk membentuk akar dan pucuk tanaman yang kuat untuk dapat bertahan hidup sampai dipindahkan ke lingkungan . Tunas-tunas yang dihasilkan pada tahap multiplikasi dipindahkan ke media lain untuk pemanjangan tunas. Pengakaran tunas in-vitro dapat dilakukan dengan memindahkan tunas ke media pengakaran yang umumnya memerlukan auksin seperti NAA atau IBA. Menurut Pierek, auksin secara umum menyebabkan perpanjangan sel, pembesaran sel, pembentukan kalus dan pembentukan akar; dan menurut Wattimena,

mendorong pertumbuhan pucuk. Keberhasilan tahap ini tergantung pada tingginya mutu tunas yang dihasilkan pada tahap sebelumnya. (Luri, S. 2010) 5. Aklimatisasi Tahapan ini merupakan tahap kritis dalam perbanyakan kultur jaringan untuk produksi massal. Aklimatisasi adalah proses pengkondisian planlet atau tunas mikro (jika pengakaran dilakukan secara ex-vitro) di lingkungan baru yang aseptik di luar botol, dengan media tanah, atau pakis sehingga planlet dapat bertahan dan terus menjadi bibit yang siap ditanam di lapangan. Prosedur pembiakan dengan kultur jaringan baru bisa dikatakan berhasil jika planlet dapat diaklimatisasi ke kondisi eksternal dengan keberhasilan yang tinggi. (Luri, 2009a) 2.4 Faktor Penentu Keberhasilan Kultur Jaringan 1. Genotipe Tanaman Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis eksplan dalam kultur invitro adalah genotip tanaman asal eksplan diisolasi. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa respon masing-masing eksplan tanaman sangat bervariasi tergantung dari spesies, bahkan varietas, atau tanaman asal eksplan tersebut. Pengaruh genotip ini umumnya berhubungan erat dengan faktorfaktor lain yang mempengaruhi pertumbuhan eksplan, seperti kebutuhan nutrisi, zat pengatur tumbuh, dan lingkungan kultur. Oleh karena itu, komposisi media, zat pengatur tumbuh dan lingkungan pertumbuhan yang dibutuhkan oleh masing-masing varietas tanaman bervariasi meskipun teknik kultur jaringan yang digunakan sama. Perbedaan respon genotip tanaman tersebut dapat diamati pada perbedaan eksplan masing-masing varietas untuk tumbuh dan beregenerasi. Masing-masing varietas tanaman berbeda kemampuannya dalam merangsang pertumbuhan tunas aksilar, baik

jumlah tunas maupun kecepatan pertumbuhan tunas aksilarnya. Hal serupa juga terjadi pada pembentukan kalus, laju pertumbuhan kalus serta regenerasi kalus menjadi tanaman lengkap baik melalui pembentukan organ-organ adventif maupun embrio somatik. Regenerasi dan perkembangan organ adventif dan embrio somatik juga sangat ditentukan oleh varietas tanaman induk. Perbedaan pengaruh genetik ini disebabkan karena perbedaan kontrol genetik dari masing-masing varietas serta jenis kelamin tanaman induk. 2. Media kultur Perbedaan komposisi media, komposisi zat pengatur tumbuh dan jenis media yang digunakan akan sangat mempengaruhi pertumbuhan dan regenerasi eksplan yang dikulturkan. a. Komposisi Media Perbedaan komposisi media, seperti jenis dan komposisi garamgaram anorganik, senyawa organik, zat pengatur tumbuh sangat mempengaruhi respon eksplan saat dikulturkan. Perbedaan komposisi media biasanya sangat mempengaruhi arah pertumbuhan dan regenerasi eksplan. Meskipun demikian, media yang telah diformulasikan tidak hanya berlaku untuk satu jenis eksplan dan tanaman saja. Beberapa jenis formulasi media bahkan digunakan secara umum untuk berbagai jenis eksplan dan varietas tanaman, seperti media MS. Namun ada juga beberapa jenis media yang diformulasikan untuk tanaman-tanaman tertentu misalnya WPM, VW dll. Media-media tersebut dapat digunakan untuk berbagai tujuan seperti perkecambahan biji, kultur pucuk, kultur kalus, regenerasi kalus melalui organogenesis dan embriogenesis. Media yang dibutuhkan untuk perkecambahan biji, perangsangan tunastunas aksilar umumnya lebih sederhana dibandingkan dengan media untuk regenerasi kalus baik melalui organogenesis maupun embryogenesis.

b. Komposisi hormon pertumbuhan Komposisi dan konsentrasi hormon pertumbuhan yang ditambahkan dalam media sangat mempengaruhi arah pertumbuhan dan regenerasi eksplan yang dikulturkan. Komposisi dan konsentrasi hormon pertumbuhan yang ditambahkan ke dalam media kultur sangat tergantung dari jenis eksplan yang dikulturkan dan tujuan pengkulturannya. Konsentrasi hormon pertumbuhan optimal yang ditambahkan ke dalam media tergantung pula dari eksplan yang dikulturkan serta kandungan hormon pertumbuhan endogen yang terdapat pada eksplan tersebut. Komposisi yang sesuai ini dapat diperkirakan melalui percobaan-percobaan yang telah dilakukan sebelumnya disertai percobaan untuk mengetahui komposisi hormon pertumbuhan yang sesuai dengan kebutuhan dan arah pertumbuhan eksplan yang diinginkan. Hormon pertumbuhan yang digunakan untuk perbanyakan secara invitro adalah golongan auksin, sitokinin, giberelin, dan growth retardant. Auksin yang umum dipakai adalah IAA (Indole Acetic Acid), IBA (Indole Butyric Acid), NAA (Naphtalena Acetic Acid), dan 2,4-D (2,4-dichlorophenoxy Acetic Acid). Selain itu beberapa peneliti pada beberapa tanaman menggunakan juga CPA (Chlorophenoxy Acetic Acid). Sitokinin yang banyak dipakai adalah Kinetin (Furfuryl Amino Purine), BAP/BA (Benzyl Amino Purine/Benzyl Adenine), 2 i-P (2-isopentenyl Adenin). Beberapa sitokinin lainnya yang juga digunakan adalah zeatin, thidiazuron dan PBA (6(benzylamino)-9-(2-tetrahydropyranyl)-9H-purine). Hormon pertumbuhan golongan giberellin yang paling umum digunakan adalah GA3, selain itu ada beberapa peneliti yang menggunakan GA4 dan GA7, sedangkan growth retardant yang sering digunakan adalah Ancymidol, Paraclobutrazol dan TIBA, AbA dan CCC. c. Keadaan fisik media Media yang umum digunakan dalam kultur jaringan adalah medium padat, medium semi padat dan medium cair. Keadaan fisik media akan mempengaruhi pertumbuhan kultur, kecepatan pertumbuhan dan diferensiasinya. Keadaan fisik media ini mempengaruhi

pertumbuhan antara lain karena efeknya terhadap osmolaritas larutan dalam media serta ketersediaan oksigen bagi pertumbuhan eksplan yang dikulturkan. Media yang umum digunakan dalam mikropropagasi adalah media semi-solid (semi padat) dengan cara menambahkan agar. Media semi padat ini digunakan karena beberapa alasan antara lain: eksplan yang kecil mudah terlihat dalam media padat, selama kultur eksplan tetap berada pada orientasi yang sama, eksplan berada di atas permukaan media sehingga tidak diperlukan teknik aerasi tambahan pada kultur, orientasi pertumbuhan tunas dan akar tetap, dan kalus tidak pecah seperti jika ditempatkan pada media cair. Namun penambahan agar dalam beberapa kasus dapat menghambat pertumbuhan karena: agar mungkin mengandung senyawa penghambat yang dapat menghambat morfogenesis beberapa kultur atau memperlambat pertumbuhan kultur, eksudasi fenolik dari eksplan terserap oleh media yang menempel dengan eksplan sehingga dapat mempengaruhi pertumbuhan eksplan, agar harus dicuci bersih dari akar sebelum diaklimatisasi, dan perlu waktu yang lebih banyak untuk mencuci gelas kultur misalnya botol-botol harus diautoclave untuk melarutkan agar sebelum dicuci. 3. Lingkungan tumbuh a) Suhu Tanaman umumnya tumbuh pada lingkungan dengan suhu yang tidak sama setiap saat, misalnya pada siang dan malam hari tanaman mengalami kondisi dengan perbedaan suhu yang cukup besar. Keadaan demikian bisa dilakukan dalam kultur invitro dengan mengatur suhu siang dan malam di ruang kultur, namun laboratorium kultur jaringan selama ini mengatur suhu ruang kultur yang konstant baik pada siang maupun malam hari. Umumnya temperatur yang digunakan dalam kultur in vitro lebih tinggi dari kondisi suhu invivo. Tujuannya adalah untuk mempercepat pertumbuhan dan morfogenesis eksplan. Pada sebagian besar laboratorium, suhu yang digunakan adalah konstan, yaitu 25C (kisaran suhu 17-32C). Tanaman tropis umumnya dikulturkan pada suhu yang sedikit lebih tinggi dari

tanaman empat musim, yaitu 27C (kisaran suhu 24-32C). Bila suhu siang dan malam diatur berbeda, maka perbedaan umumnya adalah 4-8C, variasi yang biasa dilakukan adalah 25C siang dan 20C malam, atau 28C siang dan 24C malam. Meskipun hampir semua tanaman dapat tumbuh pada kisaran suhu tersebut, namun kebutuhan suhu untuk masing-masing jenis tanaman umumnya berbeda-beda. Tanaman dapat tumbuh dengan baik pada suhu optimumnya. Pada suhu ruang kultur dibawah optimum, pertumbuhan eksplan lebih lambat, namun pada suhu diatas optimum pertumbuhan tanaman juga terhambat akibat tingginya laju respirasi eksplan. b) Kelembaban relative Kelembaban relatif dalam botol kultur dengan mulut botol yang ditutup umumnya cukup tinggi, yaitu berkisar antara 80-99%. Jika mulut botol ditutup agak longgar maka kelembaban relatif dalam botol kultur dapat lebih rendah dari 80%. Sedangkan kelembaban relatif di ruang kultur umumnya adalah sekitar 70%. Jika kelembaban relatif ruang kultur berada dibawah 70% maka akan mengakibatkan media dalam botol kultur (yang tidak tertutup rapat) akan cepat menguap dan kering sehingga eksplan dan plantlet yang dikulturkan akan cepat kehabisan media. Namun kelembaban udara dalam botol kultur yang terlalu tinggi menyebabkan tanaman tumbuh abnormal yaitu daun lemah, mudah patah, tanaman kecil-kecil namun terlampau sukulen. Kondisi tanaman demikian disebut vitrifikasi atau hiperhidrocity. Sub-kultur ke media lain atau menempatkan planlet kecil ini dalam botol dengan tutup yang agak longgar, tutup dengan filter, atau menempatkan silica gel dalam botol kultur dapat membantu mengatasi masalah ini.

c) Cahaya Seperti halnya pertumbuhan tanaman dalam kondisi invivo, kuantitas dan kualitas cahaya, yaitu intensitas, lama penyinaran dan panjang gelombang cahaya mempengaruhi pertumbuhan eksplan dalam kultur invitro. Pertumbuhan organ atau jaringan tanaman

dalam kultur invitro umumnya tidak dihambat oleh cahaya, namun pertumbuhan kalus umumnya dihambat oleh cahaya. Pada perbanyakan tanaman secara invitro, kultur umumnya diinkubasikan pada ruang penyimpanan dengan penyinaran. Tunastunas umumnya dirangsang pertumbuhannya dengan penyinaran, kecuali pada teknik perbanyakan yang diawali dengan pertumbuhan kalus. Sumber cahaya pada ruang kultur ini umumnya adalah lampu flourescent (TL). Hal ini disebabkan karena lampu TL menghasilkan cahaya warna putih, selain itu sinar lampu TL tidak meningkatkan suhu ruang kultur secara drastis (hanya meningkat sedikit). Intensitas cahaya yang digunakan pada ruang kultur umumnya jauh lebih rendah (1/10) dari intensitas cahaya yang dibutuhkan tanaman dalam keadaan normal. Intensitas cahaya dalam ruang kultur untuk pertumbuhan tunas umumnya berkisar antara 600-1000 lux. Perkecambahan dan inisiasi akar umumnya dilakukan pada intensitas cahaya lebih rendah. Selain intensitas cahaya, lama penyinaran atau photoperiodisitas juga mempengaruhi pertumbuhan eksplan yang dikulturkan. Lama penyinaran umumnya diatur sesuai dengan kebutuhan tanaman sesuai dengan kondisi alamiahnya. Periode terang dan gelap umumnya diatur pada kisaran 8-16 jam terang dan 16-8 jam gelap tergantung varietas tanaman dan eksplan yang dikulturkan. Periode siang/malam (terang/gelap) ini diatur secara otomatis menggunakan timer yang ditempatkan pada saklar lampu pada ruang kultur. Dengan teknik ini penyinaran dapat diatur konstan sesuai kebutuhan tanaman. 4. Kondisi Eksplan Pertumbuhan dan morfogenesis dalam mikropropagasi sangat dipengaruhi oleh keadaan jaringan tanaman yang digunakan sebagai eksplan. Selain faktor genetis eksplan yang telah disebutkan di atas, kondisi eksplan yang mempengaruhi keberhasilan teknik mikropropagasi adalah jenis eksplan, ukuran, umur dan fase fisiologis jaringan yang digunakan sebagai eksplan. Meskipun masing-masing sel tanaman memiliki kemampuan totipotensi, namun masing-masing jaringan memiliki kemampuan

yang berbeda-beda untuk tumbuh dan beregenerasi dalam kultur jaringan. Oleh karena itu, jenis eksplan yang digunakan untuk masing-masing kultur berbeda-beda tergantung tujuan pengkulturannya. Umur eksplan sangat berpengaruh terhadap kemampuan eksplan tersebut untuk tumbuh dan beregenerasi. Umumnya eksplan yang berasal dari jaringan tanaman yang masih muda (juvenil) lebih mudah tumbuh dan beregenerasi dibandingkan dengan jaringan yang telah terdiferensiasi lanjut. Jaringan muda umumnya memiliki sel-sel yang aktif membelah dengan dinding sel yang belum kompleks sehingga lebih mudah dimodifikasi dalam kultur dibandingkan jaringan tua. Oleh karena itu, inisiasi kultur biasanya dilakukan dengan menggunakan pucuk-pucuk muda, kuncup-kuncup muda, hipokotil, inflorescence yang belum dewasa, dll. Jika eksplan diambil dari tanaman dewasa, rejuvenilisasi tanaman induk melalui pemangkasan atau pemupukan dapat membantu untuk memperoleh eksplan muda agar kultur lebih berhasil. Ukuran eksplan juga mempengaruhi keberhasilan kultur. Eksplan dengan ukuran kecil lebih mudah disterilisasi dan tidak membutuhkan ruang serta media yang banyak, namun kemampuannya untuk beregenerasi juga lebih kecil sehingga dibutuhkan media yang lebih kompleks untuk pertumbuhan dan regenerasinya. Sebaliknya semakin besar eksplan, maka semakin besar kemungkinannya untuk membawa penyakit dan makin sulit untuk disterilkan, membutuhkan ruang dan media kultur yang lebih banyak. Ukuran eskplan yang sesuai sangat tergantung dari jenis tanaman yang dikulturkan, teknik dan tujuan pengkulturannya. (Luri, 2009a) 2.5 Macam-macam Kultur Organ Kultur organ terdiri atas dua macam teknik kultur, yaitu kultur organ dewasa dan kultur bakal organ. Kultur organ dewasa pada umumnya dipakai untuk mempertahankan kehidupan organ yang diambil dari tubuh baik yang masih sehat maupun kehidupan organ yang tidak mungkin dapat bertahan hidup. Kultur bakal organ

memelihara jaringan-jaringan bakal organ untuk dikembangkan di dalam kondisi in-vitro. (Smith, 2000) 1. Produksi tanaman dari tunas-tunas aksilar Produksi tanaman dengan merangsang terbentuknya tunastunas aksilar merupakan teknik mikropropagasi yang paling umum dilakukan. Ada 2 (dua) metode produksi tunas aksilar yang dilakukan yaitu: kultur pucuk (shoot culture atau shoot-tip culture) dan kultur mata tunas (satu mata tunas: single-node culture; lebih dari satu mata tunas: multiple-node culture). Kedua teknik kultur ini berdasarkan pada prinsip perangsangan terbentuknya atau munculnya tunas-tunas samping dengan cara mematahkan dominasi apikal dari meristem apikal. 2. Kultur pucuk (shoot culture atau shoot-tip culture) Kultur Pucuk (Shoot culture) adalah teknik mikropropagasi yang dilakukan dengan cara mengkulturkan eksplan yang mengandung meristem pucuk (apikal dan lateral) dengan tujuan perangsangan dan perbanyakan tunas-tunas/cabang-cabang aksilar. Tunas-tunas aksilar tersebut selanjutnya diperbanyak melalui prosedur yang sama seperti eksplan awalnya dan selanjutnya diakarkan dan ditumbuhkan dalam kondisi invivo. Istilah yang digunakan untuk teknik kultur pucuk ini tergantung dari eksplan yang digunakan. Jika eksplan yang digunakan adalah ujung pucuk-pucuk apikal (panjang 20 mm) saja maka tekniknya disebut sebagai shoot-tip culture, namun bila eksplan yang digunakan adalah ujung pucuk apikal beserta bagian tunas lain dibawahnya disebut sebagai shoot culture. Besar kecilnya eksplan yang digunakan mempengaruhi keberhasilan kultur pucuk. Semakin kecil eksplan, semakin kecil kemungkinannya untuk

terkontaminasi oleh mikroorganisme namun semakin kecil juga kemampuannya untuk beregenerasi dan memperbanyak diri. Sebaliknya, semakin besar eksplan yang digunakan maka semakin besar kemampuannya untuk beradaptasi dalam kondisi invitro, namun makin besar juga kemungkinannya untuk terkontaminasi, makin banyak kebutuhannya akan media dan makin besar wadah/botol kultur yang diperlukan. Oleh karena itu perlu diketahui ukuran eksplan yang sesuai untuk masing-masing varietas dan spesies tanaman. Pertumbuhan pucuk, inisiasi dan perbanyakan tunas aksilar yang dihasilkan umumnya dirangsang dengan cara menambahkan hormon pertumbuhan (umumnya sitokinin) ke dalam media pertumbuhannya. Perlakuan ini dapat merangsang pertumbuhan tunas samping dan mematahkan dominasi apikal dari pucuk yang dikulturkan. Selain itu, dominasi apikal juga dapat dihilangkan dengan perlakuan-perlakuan lain misalnya pemangkasan daun-daun yang terdapat pada buku-buku tunas atau meletakkan eskpan dalam posisi horisontal. Tunas-tunas aksilar yang dihasilkan selanjutnya digunakan sebagai stek miniatur bagi proses perbanyakan berikutnya. Dengan teknik ini dan disertai dengan sub kultur dapat diperoleh banyak sekali plantet dari satu eksplan. Dengan membatasi jumlah sub kultur sampai maksimal 810 kali dapat diperoleh klon tanaman yang true-to-type. Teknik ini telah digunakan secara luas untuk perbanyakan tanaman termasuk tanaman hortikultura seperti pisang, asparagus, anggrek Cymbidium, dll. 3. Kultur mata tunas/single-node atau multiple-node culture (invitro layering) Kultur mata tunas ini merupakan salah satu teknik invitro yang digunakan untuk perbanyakan tanaman dengan merangsang munculnya tunas-tunas aksilar dari mata tunas yang dikulturkan. Seperti halnya kultur pucuk, eksplan yang digunakan dalam kultur

mata tunas dapat berasal dari tunas lateral, tunas samping atau bagian dari batang yang mengandung satu atau lebih mata tunas (mengandung satu atau lebih buku). Dikenal dua teknik kultur mata tunas yaitu eksplan yang mengandung mata tunas lebih dari satu ditanam secara horisontal di atas medium padat (teknik invitro layering) atau (2) tiap buku yang mengandung satu mata tunas dipotong-potong dan ditanam secara terpisah dalam tiap-tiap botol kultur. Seperti halnya teknik kultur pucuk, pertumbuhan tunas-tunas aksilar juga berdasarkan pada prinsip pematahan dominasi apikal. Oleh karena itu, pertumbuhan tunas-tunas aksilar ini terjadi jika eksplan (mata tunas) ditanam pada media yang mengandung sitokinin dalam konsentrasi cukup tinggi sehingga sitokinin ini dapat menghentikan dominasi pucuk apikal dan menyebabkan berkembangnya tunas-tunas aksilar. Tunas aksilar yang terbentuk selanjutnya dipisah-pisahkan dan dapat langsung ditanam pada media pengakaran sehingga diperoleh tanaman baru yang sempurna atau digunakan kembali sebagai bahan tanam untuk perbanyakan selanjutnya. Tunas-tunas tersebut selanjutnya diakarkan, diaklimatisasi dan selanjutnya ditanam di lapangan. Teknik ini telah lama dan banyak dipergunakan untuk perbanyakan tanaman hortikultura seperti kentang, asparagus, melon, semangka, anggrek, dan banyak lagi lainnya. 4. Induksi pembentukan tunas dari meristem bunga Meristem bunga dapat juga dirangsang untuk membentuk tunas-tunas vegetatif dalam kondisi invitro. Eksplan yang digunakan adalah inflorescence bunga yang belum matang (immature inflorescences) yaitu yang belum membentuk organ-organ kelamin jantan dan betinanya. Penggunaan infloresence yang telah dewasa akan menghasilkan pembentukan organ bunga bukan kuncup

vegetatif. Beberapa contoh tanaman hortikultura yang diperbanyak dengan teknik ini adalah brokoli, kol bunga, krisan dan sugar beat. 5. Inisiasi langsung tunas adventif Tunas adventif adalah tunas yang terbentuk dari eksplan pada bagian yang bukan merupakan tempat asal terbentuknya (bukan dari mata tunas atau buku). Tunas-tunas adventif ini dapat terbentuk langsung dari eksplan tanpa melalui proses terbentuknya kalus terlebih dahulu. Teknik ini merupakan salah satu teknik mikropropagasi yang juga banyak dilakukan dan dapat menghasilkan plantlet dalam jumlah jauh lebih banyak dari teknik terdahulu (pembentukan tunas aksilar). Proses pembentukan tunas adventif langsung dari jaringan eksplan seperti akar, pucuk dan bunga disebut organogenesis. Terjadinya organogenesis dipacu oleh adanya komponenkomponen seperti medium, komponen endogen selama eksplan mulai dikulturkan, dan senyawa-senyawa yang terbawa selama inisiasi eskplan. Selain itu organogenesis dipacu juga oleh keberadaan zat pengatur tumbuh eksogen di dalam medium. Tunas dan akar terbentuk pada beberapa lapis sel tipis pada eksplan beberapa spesies oleh adanya perbedaan konsentrasi antara auksin dan sitokinin. Inisiasi akar dapat dipacu dengan penambahan NAA dan zeatin dan pembentukan tunas dipacu dengan penambahan sitokinin seperti zeatin atau benzylaminopurine tanpa penambahan auksin. Pada beberapa spesies organogenesis terbentuk pada lapisan epidermal selama kultur invitro, misalnya pada tanaman Begonia rex (Dodds dan Robert, 1983). Menurut Torrey (1966 dalam Dodds dan Roberts, 1983) membuat hipotesis bahwa organogenesis dari kalus diinisiasi dengan

pembentukan kluster sel-sel meristem (meristemoid) mampu merespon pada faktor-faktor dalam jaringan untuk memproduksi primordium. Inisiasi pembentukan akar, tunas dan embrioid juga dipengaruhi oleh faktor-faktor internal alamiah. Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap rhizogenesis termasuk auksin, karbohidrat, pencahayaan, dan fotoperiode. Pada beberapa kultur jaringan auksin memacu pembentukan akar, sedangkan adanya auksin eksogen dapat menghambatnya dan rhizogenesis dapat distimulasi oleh anti-auksin. Keberhasilan pembentukan tunas adventif secara langsung ini sangat tergantung pada bagian tanaman yang digunakan sebagai eksplan serta sangat dipengaruhi oleh spesies atau varietas tanaman asal eskplan tersebut. Pada tanaman yang responsif, hampir semua bagian tanaman (daun, akar, batang, meristem, dll.) dapat dirangsang membentuk organ adventif, namun pada tanaman lainnya tunas adventif ini hanya dapat terbentuk pada bagian-bagian tanaman tertentu saja seperti umbi lapis, embryo atau kecambah. Seperti halnya teknik mikropropagasi lainnya, tunas adventif secara langsung ini terbentuk melalui serangkaian tahap mulai inisiasi (Tahap 1). Setelah eksplan berada pada kondisi aseptis dan tunas mulai tumbuh, eksplan dapat langsung disubkulturkan ke media perbanyakan (atau media yang sama dengan inisiasi: tergantung varietas) untuk memperbanyak tunas-tunas adventif dari mata tunas adventif yang telah terbentuk pada tahap sebelumnya. Tunas-tunas tersebut selanjutnya dipisahkan, diakarkan dan diaklimatisasi untuk memproduksi tanaman lengkap dan utuh yang dapat tumbuh dalam keadaan alamiah. Teknik ini telah banyak digunakan secara komersial untuk perbanyakan tanaman-tanaman hortikultura khususnya tanamantanaman hias. Contoh tanaman hias yang diperbanyak dengan teknik ini adalah tanaman-tanaman keluarga Gesneriaceae, seperti Achimenes, Saitpaulia, Sinningia dan Streptocarpus. Pada tanaman-

tanaman tersebut, tunas langsung terbentuk dari eksplan daun tanpa pembentukan kalus terlebih dahulu. 6. Somatic embryogenesis langsung Embrio aseksual atau embrio somatik (somatic embryo) adalah embrio yang terbentuk bukan dari penyatuan sel-sel gamet jantan dan betina atau dengan kata lain embrio yang terbentuk dari jaringan vegetatif/somatik. Embrio ini dapat terbentuk dari jaringan tanaman yang dikulturkan tanpa melalui proses yang dikenal dengan nama somatic embryogenesis. Jika proses ini terbentuk langsung pada eksplan tanpa melalui proses pembentukan kalus terlebih dahulu, maka prosesnya disebut somatic embryogenesis langsung (direct somatic embryogenesis). Beberapa jenis tanaman hortikultura (misalnya jeruk) dapat secara alamiah membentuk embryo aseksual ini. Dalam kondisi alamiah, embrio aseksual ini terdapat terutama pada tanamantanaman yang bisa menghasilkan lebih dari satu embryo pada bijinya misalnya pada jeruk, atau tanaman yang menghasilkan biji-biji vegetatif (apomixis) misalnya pada manggis. Selain itu, embrio aseksual ini dapat juga terbentuk dari jaringan-jaringan tanaman seperti ovule, jaringan nukleus (nucellar embryoni), jaringan integumun pada ovule (misalnya pada pepaya), jaringan pembungkus biji/mesocaps pada wortel. Tanaman-tanaman tersebut dapat juga membentuk embrio aseksual ini secara invitro. Dalam kondisis invitro, embrio aseksual ini dapat terbentuk secara langsung dari eksplan-eskplan embrio (seksual/zygotic) dari golongan monokotil dan dikotil, dari kecambah muda (hipocotyl dan cotyledon), dan bagian eksplan juvenil lainnya. Embrio aseksual ini dapat digunakan sebagai salah satu cara perbanyakan tanaman secara invitro. Embrio yang telah terbentuk dapat dimultiplikasi, selanjutnya melalui beberapa proses perkembangan sampai masak

dan dapat berkecambah membentuk tanaman utuh. Tanaman ini selanjutnya diaklimatisasi dan ditanam pada kondisi alamiahnya. Teknik ini digunakan untuk perbanyakan beberapa tanaman hortikultura terutama anggrek dimana embrio aseksual (berupa protocorm like body, plb) terbentuk dari dari meristem, daun, dll. 7. Pembentukan organ penyimpan cadangan makanan mikro Beberapa jenis tanaman dapat dikembangbiakan secara vegetatif dengan menggunakan organ penyimpanan seperti tuber, rhizome, bulbus, dll. Organ-organ penyimpanan ini juga bisa dihasilkan pada tanaman-tanaman yang memang secara alamiah memproduksi organ penyimpanan tersebut. Teknik untuk mendapatkan organ penyimpanan ini sangat bervariasi tergantung pada jenis jaringan yang dikulturkan. Organ penyimpanan mikro ini dapat digunakan sebagai bibit untuk penanaman langsung di lapangan atau ditanam untuk produksi umbi-umbi bibit. Beberapa jenis organ penyimpanan mikro yang telah dikembangkan adalah pembentukan umbi lapis mikro (bulbil) pada amarylis dan lili paris, pembentukan corm mikro (cormlet) pada gladiol, pembentukan protocorm pada anggrek dan pembentukan tuber mikro (tuberlet) pada kentang. a. Umbi lapis mikro (bulbil) dan corm mikro (cormlet) Umbi lapis mikro (bulbil/bulblet) dan kormus mikro (cormlet) dapat dirangsang untuk terbentuk secara invitro pada spesies-spesies tanaman yang secara alamiah dapat membentuk bulbus dan corm. Bulbil dapat terbentuk langsung pada kuncup/tunas aksilar dan dapat pula terbentuk pada tunas adventif yang terbentuk dari eksplan daun, ovary, inflorescence, dan diantara lapisan-lapisan daun bulbus.

Dominasi tunas-tunas apikal seringkali menghambat terbentuknya tunas-tunas adventif pada potongan eksplan bulbus. Subkultur potongan bulbus tersebut dapat merangsang terbentuknya bulbil atau terbentuknya tunas-tunas adventif dimana bulbil nantinya dapat terbentuk. Propagul yang dihasilkan dan diaklimatisasi dapat berupa plantlet, plantlet yang mengandung bulbil atau dorman bulbil. Contoh tanaman yang menghaslkan bulblet adalah lili, dan bawangbawangan. Beberapa jenis tanaman monokotil lainnya dapat memproduksi organ penyimpanan mikro pada dasar batangnya (corm), seperti pada gladiol. Cormlet pada gladiol dapat terbentuk langsung pada jaringan eksplan, pada kalus, atau pada plantlet yang telah berakar namun masih dalam botol kultur setelah daun-daunnya mengalami senescence. Cormlet yang dihasilkan secara invitro ini dapat digunakan langsung sebagai bibit di lapangan atau digunakan sebagai eksplan untuk kultur berikutnya.

Gambar 2. Bulblet dan Plantlet pada Kultur Invitro Lili dari Potongan Umbi Krek Lili

b. Tuber mikro (tuberlet) pada kentang Tanaman-tanaman yang secara alamiah dapat memproduksi tuber dapat juga memproduksi tuber mikro (tuberlet) secara invitro dalam lingkungan kultur yang sesuai. Dalam kultur invitro tuberlet

ini dapat terbentuk langsung pada batang plantlet dan tuber muncul pada tunas-tunas aksilar sepanjang tunasnya. Tuber ini biasanya terbentuk pada batang plantlet yang ditanam dalam media yang mengandung sitokinin pada konsentrasi tinggi. Tuber ini biasanya lebih mudah terbentuk pada kondisi gelap dibandingkan dengan penanamannya dalam kondisi terang. Tuber mikro yang dihasilkan secara invitro ini dapat langsung digunakan sebagai bibit di lapangan dan dapat memproduksi tanaman kentang yang normal. Selain itu, tuberlet ini juga dapat digunakan sebagai bahan tanam dasar untuk produksi umbi bibit kentang berkualitas.

Gambar 3. Pembentukan Tuber Kentang Mikro yang Diperoleh dari Kultur Pucuk Umur 10 minggu Setelah Inisiasi, skala bar = 10 mm (Sumber: Trigiano & Gray, 2000) (Luri, 2009a)

BAB III METODOLOGI 3.1 Alat, Bahan dan Fungsi a. Alat Pinset : alat untuk mengambil eksplan secara steril Skapel : berfungsi sebagai pisau pembedah / pemotong Petridish : cawan petri / tempat menaruh eksplan sementara LAFC : ruangan penanaman Sprayers : menyemprotkan cairan Mata Pisau : memotong bahan eksplan Cutter atau gunting : memotong eksplan sebelum di sterilkan Gelas ukur 400ml : tempat cairan yang di butuhkan Botol kultur 5 buah : media penanaman Saringan : menyaring bahan cairan yang menggumpal Spatula : mengaduk cairan Kacamata : pelindung mata Bunsen atau korek : Pembakaran pada proses penanaman eksplan

b. Bahan Tunas krisan : bahan eksplan / penanaman Detergen : bahan sterilisasi dari kotoran Bayclean : bahan sterilisasi Aquades : penambah / pembuat larutan Fungisida : bahan sterilisasi dari jamur Etanol (C2H5OH) 70% : sterilisasi alat

3.2 Cara Kerja a. Sterilisasi Awal

Ambil eksplan dari tanaman hidup

Gosok eksplan dengan detergen 10% (10 gr/100%) selama 5 menit

Bilas dengan air yang mengalir

Cuci dengan Clorox (Bayclean) 10%

Aduk dengan spatula

b. Penanaman di LAFC

Potong-potong bagian eksplan

Tanam semua bagian tadi kedalam media MS (tidak menancap hanya menempel) Tutup botol kultur dengan plastik atau alumunium foil Ikat dengan karet (NB : mulut botol dipanaskan terlebih dahulu) Lakukan pengamatan 3 hai sekali selama 2 minggu 3.3 Analisa Perlakuan Pada sterilisasi awal pada praktikum kultur organ, tanaman yang di ambil sebagai bahan (eksplan) adalah tanaman krisan. Eksplan yang diambil adalah pada bagian tunas di ketiak daun. Kemudian eksplan diambil dengan dipotong menjadi 4 bagian kecil. Lalu eksplan tersebut di rendam dengan detergen selama kurang lebih 5 menit untuk menghilangkan / mensterilisasi dari kotoran yang masih ada di eksplan. Kemudian, dibilas dengan air, tujuannya adalah untuk membersihkan dari sisa detergen yang tersisa. Setelah itu, dicuci dengan klorox (bayclean) sebagai desinfektan / sterilisasi lagi, lalu dibilas ulang dengan air untuk menghilangkan bayclean yang tersisa. Dilanjutkan dengan merendam di dalam fungisida,untuk

proses sterilisasi dari jamur yang kemungkinan melekat di eksplan (kontaminasi). Sedangkan pada proses berikutnya, yakni penananman eksplan pada LAFC, diawali dengan memotong bagian eksplan menjadi 4 bagian kecil, lalu ditanam di dalam media MS yang sudah disiapkan dengan cara menempelkan eksplan pada media agar eksplan bisa tumbuh dengan baik. Mulut botol dipanaskan untuk mensterilkan mulut botol dari bakteri atau kontaminan yang lain. Kemudian media ditutup dengan plastic atau alumunium foil.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pengamatan 4.2 Pembahasan Pengamatan 9 November 2012 No . 1. Botol ke1 Dokumentasi Pengamatan Kondisi Eksplan Tidak Kontami Kontami nan nan

Keterangan Jenis Kontamina n: Pertumbuh an: -

2.

Jenis Kontamina n: Pertumbuh an: -

3.

Jenis Kontamina n: Pertumbuh an: -

4.

Jenis Kontamina n: Pertumbuh an: Jenis Kontamina n: Pertumbuh an: -

5.

Pengamatan 13 November 2012 No . 1. Botol ke1 Dokumentasi Pengamatan Kondisi Eksplan Tidak Kontami Kontami nan nan

Keterangan Jenis Kontamina n: Pertumbuh an: -

2.

Jenis Kontamina n: jamur Pertumbuh an: terbentuk hifa putih dan ada juga yang abu-abu agak kehitaman

3.

Jenis Kontamina n: Pertumbuh an: Jenis Kontamina n: jamur Pertumbuh an: terbentuk hifa putih Jenis Kontamina n: Pertumbuh an: -

4.

5.

Pengamatan 19 November 2012 No . 1. Botol ke1 Dokumentasi Pengamatan Kondisi Eksplan Tidak Kontami Kontami nan nan

Keterangan Jenis Kontamina n: jamur Pertumbuh an: terbentuk hifa putih

2.

3.

4.

5.

Jenis Kontamina n: jamur Pertumbuh an: terbentuk hifa putih dan ada juga yang abu-abu agak kehitaman Jenis Kontamina n: jamur Pertumbuh an: terbentuk hifa putih Jenis Kontamina n: jamur Pertumbuh an: terbentuk hifa putih Jenis Kontamina n: jamur Pertumbuh an: terbentuk hifa putih

4.2 Pembahasan Dari data hasil praktikum yang telah didapat, diketahui bahwa hasil perbanyakan tanaman krisan melalui kultur organ yang telah dilakukan pada praktikum kali ini gagal 100%. Hal ini diketahui dari pengamatan yang telah dilaksanakan selama 2 minggu. Dengan pengamatan terakhir pada tanggal 19 November 2012. Data yang diperoleh yaitu terdapat kontaminan berupa jamur pada kelima botol percobaan yang ditandai dengan munculnya hifa berwarna putih dan hifa berwarna coklat keabu-abuan pada botol ke 2. Sesuai dengan ciri-cirinya, Kontaminasi pada eksplan dapat disebabkan oleh media eksplan dan kondisi lingkungan. Kontaminan dapat berupa jamur. Ciri-ciri eksplan yang terkontaminasi adalah akan terlihat koloni jamur, biasanya berwarna putih, abu-abu atau hitam, berbentuk seperti serabut, benang, atau kapas. Oleh karena itu, berdasarkan pengamatan yang didapat, kontaminan dikategorikan sebagai jamur. Kontaminasi Jamur dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Dari faktor media, setelah pembuatan media dan pengamatan selama 2 minggu sebelumnya, media steril seluruhnya. Jadi, ada faktor utama penyebab kontaminasi pada kultur organ ini adalah dari tanaman. Kontaminasi bisa terjadi pada permuakan tanaman, antar sel atau dalam sel tanaman. Eksplan awal merupakan sumber utama kontaminasi, tapi kontaminasi kembali dapat terjadi selama proses kultur. Proses sterilisasi eksplan harus disesuaikan dengan jenis eksplan, tingkat kelunakan jaringan dan kandungan kontaminan pada eksplan yang digunakan. Udara merupakan sumber utama spora dan agen kontaminasi lainnya, termasuk badan dan pakaian si pelaksana. Bisa disebabkan pula oleh kontaminasi endogenus. Organisme yang hidup pada jaringantanaman lebih susah ditangani. Hal ini mungkin dapat dikontrol dengan pemberian pestisida atau fungisida sistemik yang diberikan pada tanaman stok sebelum dijadikan eksplan atau dapat juga diberikan di kultur itu sendiri. Untuk itu, dapat diketahui bahwasanya praktikum propagasi krisan melalui kultur organ ini tidak berhasil akibat kelima botol terkontaminasi oleh jamur.

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Isolasi eksplan adalah proses pengambilan suatu bagian tanaman dari tempat asalnya untuk diteliti lebih lanjut dalam kultur jaringan. Dan Inkubasi eksplan adalah proses menumbuhkan eksplan setelah ditanam dengan mengatur faktor-faktor eksternal bagi pertumbuhan. Tahap kultur Jaringan meliputi Pemilihan dan penyiapan tanaman, induk sumber eksplan, Inisiasi kultur, Multiplikasi atau perbanyakan propagul, Pemanjangan tunas, induksi, dan perkembangan akar, dan Aklimatisasi. Dari hasil praktikum, semua eksplan uji coba yang dilakukan tidak berhasil akibat kontaminan jamur. Jamur mulai berkembang pada proses perkembangan kultur organ. Jamur mulai teridentifikasi dengan munculnya hifa.

5.2 Saran Untuk praktikum dan asisten sudah cukup baik dan lancar. Diharapkan lebih baik lagi pada praktikum kedepannya dan jadwal pengamatan harap tidak bertepatan dengan hari libur nasional.

DAFTAR PUSTAKA

Caponetti, J. D., D. J. Gray, and R. N. Trigiano. 2005. History of plant tissue and cell culture. p. 9-15. In R. Trigiano and D. J. Gray (Eds.) Plant Development and Biotechnology. CRC Press. New York. Gunawan, L.W. 1987. Teknik Kultur Jaringan. Pusat antar fakultas pertanian, IPB : bogor Luri, Sepdian. 2009a. Faktor-Faktor Penentu Keberhasilan Kultur Jaringan. http://kulturjaringan.blogspot.com Diakses tanggal 19 November 2012. Smith, R.H. 2000. Plant Tissue Culture : techniques and experiments. Academic press : London. Yusnita, 2004. Kultur Jaringan; Cara Memperbanyak Tanaman Secara Efisien. Agromedia Pustaka, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai